1
BAB I PENGANTAR
A.
Latar Belakang Perpindahan penduduk bukan hanya
tentang masalah
sosial demografi semata, tetapi juga masalah kehidupan berbangsa dan bernegara.1 Negara juga punya kepentingan dalam menata kehidupan
masyarakat
untuk
menciptakan
stabilitas
sosial,
membangun identitas kolektif, serta mengatasi permasalahan ekonomi di tempat asal dan daerah tujuan. Namun kehidupan baru yang dijalani oleh pendatang di tempat baru sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan bermacam tantangan, terutama berkaitan dengan kehidupan ekonomi dan adaptasi budaya. Untuk itu, penelitian ini akan melihat perkembangan salah satu masyarakat yang ada di Lampung hasil program pemindahan penduduk, yaitu orang Bali.2 Fokus kajiannya yaitu Lihat “Amanat Presiden Soekarno pada rapat umum Musjawarah Gerakan Nasional Transmigrasi” dalam Bunga Rampai: Transmigrasi dari Sabang-Dili-Merauke 1989 (Jakarta: Pensiunan Pegawai Transmigrasi, 1994), hlm. 40. 1
Selama ini, Pulau Bali dikenal sebagai satu-satunya pulau yang menjadi pusat pemertahanan agama Hindu sebagai basis kebudayaan Bali. Pulau Bali dianggap sebagai benteng terakhir kejayaan era keemasan agama Hindu di Nusantara yang mulai terdesak dengan datangnya pengaruh Islam dan Nasrani. Namun, di awal abad 20 mulai banyak orang Bali yang meninggalkan pulau Bali dan membangun kehidupan baru di pulau-pulau lain di Indonesia. Selengkapnya periksa Nengah Bawa Atmaja, Geneaologi 2
2
pada sejarah orang Bali yang dimulai dari proses perpindahan, kehidupan awal di tempat baru dan berlanjut pada adaptasi budaya yang dilakukan oleh orang Bali. Di masa Indonesia merdeka, setiap tahun rutin diadakan perayaan Hari Raya Nyepi bertaraf nasional di daerah-daerah yang dianggap sebagai basis umat Hindu. Daerah yang menjadi tempat penyelenggaraan tersebut biasanya adalah di Pulau Bali atau Pulau Jawa. Namun, perayaan Nyepi secara nasional pada tahun 1997 sedikit berbeda. Perayaan yang dilakukan pada 12 Juni 1997,
di
Stadion
Tejosari,
Kecamatan
Bantul,
Kota
Metro
(Lampung Tengah) merupakan perayaan yang untuk pertama kalinya diselenggarakan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) di luar Pulau Jawa dan Bali.3 Pemilihan Provinsi Lampung sebagai pusat perayaan Dharma Santi tingkat nasional tahun baru Saka 1919 menurut I Nyoman Suryana, pengurus PHDI Lampung, dalam Harian Lampung Post (10/4/1997) adalah karena selain di Pulau Bali dan Jawa, komunitas orang Bali di Lampung adalah yang terbesar dibandingkan dengan daerah lainnya.4 Fakta Keruntuhan Majapahit: Islamisasi,Toleransi dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 425.
“Presiden Soeharto: Kendalikan Diri dalam Hadapi Isu yang Menimbulkan Saling Curiga” Kompas Edisi 13 April 1997, hlm, 1. 3
“Menjelang Kedatangan Pak Harto, Wajah Kota Metro di Poles jadi Menawan”, Lampung Post Edisi 10 April 1997, hlm. 4. 4
3
tersebut menarik untuk menjadi pijakan awal untuk melihat bagaimana proses kedatangan orang Bali di Lampung.5 Tulisan ini pun dilatarbelakangi oleh beberapa laporan media yang menyebutkan tentang keberhasilan orang Bali dalam membangun kehidupan baru di Lampung. Salah satunya seperti yang dimuat di Harian Kompas pada edisi 7 April 1996 berjudul “Seputih
Raman,
Kecamatan
dengan
Seribu
Pura”,
yang
menggambarkan kehidupan penduduk di Desa Rama Indra I, Kecamatan Seputih Raman hampir sama persis dengan kehidupan di pedesaan Pulau Bali. “Di halaman rumah, beberapa ekor babi berkeliaran bebas. Begitu pula suasana dalam rumah, terlihat beberapa pernik khas Bali, lukisan dan ukiran kayu berukuran besar. Juga dalam berpakaian, kaum pria lebih suka mengenakan sarung dari pada celana panjang. Anak-anak berbicara khas Bali. Seluruh pola hidup masyarakat di Desa Rama Indra I hampir tidak ada bedanya dari kehidupan masyarakat Bali di Pulau Dewata umumnya.6” Pada edisi lain, berita dengan judul “Lampung yang Tumbuh dalam Keberagaman”, terbitan Kompas pada edisi 10 Mei 2002, berisi tentang gambaran orang Bali di Seputih Raman yang menjadi pusat perkembangan orang Bali pertama di Lampung sejak tahun 1956. Pada Edisi tersebut dilaporkan bahwa sejak “Tahun Baru Saka di Lampung; Manifestasi Kerukunan Umat Beragama” Kompas Edisi 11 April 1997, hlm 1. 5
“Seputih Raman, Kecamatan dengan Seribu Pura”, Kompas Edisi 7 April 1996, hlm. 15. 6
4
kedatangan pada tahun 1956 hingga tahun 1990-an, orang Bali dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan masyarakat dari
kecamatan
sekitar.
Kecamatan
Terbanggi
Besar
yang
mayoritas dihuni oleh masyarakat asli Lampung, Kecamatan Poncowati yang mayoritas masyarakat Jawa, dan orang Bali di Seputih Raman dapat membangun sinergi. Bahkan interaksi ketiga pusat masyarakat yang berlainan latar belakang sosiokultural tersebut mampu menumbuhkan satu warna lain yaitu pasar Bandar Jaya yang menjadi salah satu pusat kegiatan ekonomi di Lampung.7 H.J Heeren, yang meneliti tentang keberadaan beberapa masyarakat
transmigran
di
Lampung
pada
tahun
1970
menyebutkan, kemakmuran orang Bali di Lampung sudah sejak tahun 1970-an terlihat lebih menonjol jika dibandingkan dengan sesama pendatang dari daerah lain atau dengan penduduk asli Lampung
(suku
Lampung).
Keberhasilan
tersebut
terutama
terlihat dari keberadaan lumbung padi hasil panen persawahan.8 Berdasarkan dari beberapa laporan tersebut, perlu dilakukan penelitian yang dapat menjelaskan mengenai bagaimana usaha
“Lampung yang Tumbuh dalam Keberagaman” Kompas Edisi 10 Mei 2002, hlm. 26. 7
Heeren, Transmigrasi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1979), hlm. 51. 8
5
yang dilakukan oleh orang Bali untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sejak awal kedatangan di Lampung. Terakhir, tulisan ini dilatarbelakangi oleh kondisi demografi Lampung Tengah yang menjadi tempat awal perkembangan orang Bali di Lampung. Kabupaten Lampung Tengah merupakan wilayah yang
digunakan
oleh
pemerintah
Kolonial
Belanda
untuk
kebijakan kolonisasi dari Pulau Jawa sejak tahun 1935.9 Program yang
terus
dilanjutkan
oleh
Pemerintah
Indonesia
dengan
menjadikan Lampung Tengah sebagai daerah tujuan transmigrasi membuat
wilayah
ini
memiliki
komposisi
latar
belakang
masyarakat yang beragam. Kedatangan orang Bali pada 1956 pada akhirnya semakin menambah keragaman yang ada. Untuk melihat proses perkembangan orang Bali di daerah baru dengan corak masyarakat yang beragam tersebut maka perlu dilakukan kajian yang mendalam untuk mengetahui adaptasi yang dilakukan oleh orang Bali di Lampung.
Arsip Direktorat Jendral Transmigrasi tahun 1975, Catatan Realisasi Penempatan Transmigrasi dari Kolonisasi 1905 sampai Pelita I. Program Kolonisasi yang dimulai pada tahun 1905 oleh Pemerintah Kolonial Belanda pertama kali dengan memindahkan orang-orang dari pulau Jawa ke Gedong Tataan, Lampung Selatan. Pada tahun 1932, tujuan penempatan kolonisasi di geser ke utara di daerah Sukadana dan Metro, Lampung Tengah yang memiliki kontur tanah yang lebih datar. 9
6
B.
Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan, kajian ini
berangkat
dari
pokok
permasalahan
tentang
terbentuknya
komunitas orang Bali yang signifikan dan adaptif di Lampung. Sebagai suatu kelompok masyarakat baru, banyak tantangan yang dihadapi orang Bali di Lampung, terutama dalam membangun kehidupan ekonomi baru dan mengembangkan kebudayaan dari tanah asal. Berangkat dari pokok permasalahan di atas, maka diajukan pertanyaan-pertanyaan
sebagai
berikut:
(1)
Mengapa
dan
bagaimana terdapat komunitas Bali di Lampung? (2) Berasal dari latar belakang seperti apakah mereka? (3) Bagaimana mereka membangun usaha di lahan yang baru? (4) Apa yang dilakukan untuk mengembangkan perekonomian mereka (5) Apakah tradisi dan
adat
budaya
Bali
juga
berkembang
di
Lampung?
(6)
Bagaimana mereka mengembangkan tradisi dan adat budaya Bali di Lampung? (7) Apakah muncul budaya Bali baru di Lampung? (8) Bagaimanakah bentuk budaya baru tersebut? Batasan temporal pada penelitian ini yaitu antara tahun 1956 – 1997. Batasan awal tersebut diambil karena pada tahun 1956 adalah pertama kalinya orang Bali tiba ke Lampung. Sedangkan batasan akhir tahun 1997 diambil berdasarkan peristiwa peringatan Hari Raya Nyepi Nasional dimana orang Bali
7
di Lampung menjadi tuan rumahnya. Perayaan Nyepi Nasional di Lampung
merupakan
perayaan
yang
untuk
pertama
kali
diselenggarakan di luar Pulau Bali dan Jawa, serta dianggap sebagai bentuk apresiasi terhadap keberhasilan orang Bali karena mampu beradaptasi dengan kehidupan yang baru. Alasan
dipilihnya
orang
Bali
sebagai
kajian
utama
dibandingkan masyarakat pendatang lain di Lampung adalah karena orang Bali merupakan gelombang terakhir yang datang ke Lampung. Perbedaan latar belakang budaya dan historis yang cukup berbeda dari masyarakat lain di Lampung menjadi dasar dipilihnya orang Bali. Selain itu, jumlah orang Bali yang datang ke Lampung berdasarkan catatan dari tahun 1953 hingga 1976 dengan jumlah 28.067 jiwa adalah yang terbesar dibandingkan dengan yang menuju ke daerah lain.10 C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan
batasan
temporal
dan
spasial
di
atas,
penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perkembangan orang Bali di Lampung yang akan dimulai dari: (1) penjelasan terhadap alasan kedatangan orang Bali ke Lampung, (2) menganalisis periode adaptasi awal orang Bali dan bentuk usaha yang dibangun
A.A Bagus Wirawan, “Sejarah Sosial Migran-Transmigran Bali di Sumbawa, 1952-1997”, Yogyakarta, Jantra (Jurnal Sosial dan Sejarah) Vol. III No 6 Desember 2008 10
8
untuk
memenuhi
menjelaskan
kebutuhan
usaha
yang
hidup
(ekonomi),
dilakukan
orang
(3)
Bali
serta untuk
menghidupkan kembali tradisi-tradisi atau budaya dari tanah asal di tempat baru. Banyaknya
pendatang
di
Lampung
yang
berasal
dari
berbagai daerah membuat Lampung sering disebut sebagai “miniatur
Indonesia”
karena
komposisi
latar
belakang
masyarakatnya yang cukup beragam. Dengan meneliti orang Bali yang berada di Lampung, penelitian ini setidaknya mempunyai dua manfaat yaitu manfaat teoritis dan praktis. Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah dapat memperkaya model kajian sejarah tentang orang Bali di luar Pulau Bali, terutama tentang tantangan yang dihadapi dan proses adaptasi di tempat baru. Sedangkan manfaat
praktis
dari
penelitian
ini
yaitu
dengan
melihat
perkembangan orang Bali di Lampung, diharapkan dapat berguna sebagai referensi aktual untuk menentukan kebijakan strategis dalam bidang ekonomi maupun budaya oleh pihak berwenang. D.
Tinjauan Penelitian Terdahulu Penelitian terhadap orang Bali di luar Pulau Bali sudah
dilakukan oleh beberapa peneliti meski belum bisa dikatakan banyak. Dari beberapa yang telah membahas kehidupan orang Bali di luar Pulau Bali yang menjadi referensi pertama adalah A.A
9
Bagus Wirawan yang meneliti tentang orang Bali di Sumbawa dengan
judul
Sumbawa,
“Sejarah
1952-1997”.
Sosial Pada
Migran-Transmigran bagian
awal,
Bagus
Bali
di
Wirawan
menjelaskan faktor pendorong orang Bali meninggalkan tempat kelahirannya, yaitu karena didorong oleh konflik intern di Bali pasca revolusi nasional. Arus migrasi keluar Bali semakin besar karena faktor ekonomi yang kian memburuk dan terjadinya bencana Gunung Agung. Namun migrasi orang Bali di Pulau Sumbawa tidak benar-benar terpisah dengan Bali asalnya. Sifat migrasi orang Bali ke Sumbawa hanyalah mobilitas geografis dan hanya sementara. Jika mereka telah sukses, mereka berniat akan kembali lagi ke tanah asal. Hal ini terbukti dengan tidak terpisahnya mereka dari banjar dan adat asal mereka. Walau begitu, orang Bali mampu menjadi pionir untuk membangun daerah Sumbawa.11 Kesimpulan dari Wirawan ini didapat karena letak Pulau Bali dan Pulau Sumbawa yang tidak jauh. Faktor kedekatan
dengan
tempat
asal
ini
menarik
untuk
dilihat
perbandingannya dengan orang Bali di Lampung yang berjarak cukup jauh dari tanah asal. Karya yang lebih lawas yaitu dari Disertasi Gloria Davis yang meneliti orang Bali di Parigi, Sulawesi Tengah. Karya Davis A.A Bagus Wirawan, “Sejarah Sosial Migran … ”, Jantra (Jurnal Sosial dan Sejarah) Vol. III No 6 Desember 2008. 11
10
menjadi rujukan bagi para peneliti yang meneliti orang Bali di luar Pulau Bali, khususnya di Sulawesi. Walaupun disertasinya ditujukan
pada
jurusan
Antropologi,
namun
karya
Davis
ditampilkan secara kronologis.12 Ia meneliti orang Bali di Parigi, Sulawesi Tengah, yang merupakan orang-orang pengasingan dari Bali karena terlibat konflik adat dan menentang pemerintahan kolonial Belanda. Sebelumnya, mereka diasingkan di Pulau Banda (Maluku), namun karena mengalami kesulitan dalam bertahan hidup, mereka memohon pengampunan untuk dipindahkan ke tempat yang lebih baik. Akhirnya orang Bali di pindahkan ke Sulawesi Tengah pada tahun 1906 dimana pemerintah kolonial sedang membuka daerah tersebut.13 Menurut Davis, orang Bali berhasil menghadirkan kosmos Bali -kebudayaan Bali- ke daerah barunya meskipun harus melalui waktu dan proses yang panjang agar sebisa mungkin kosmos Bali tersebut benar-benar sama dengan yang ada di daerah asalnya. Walau sesungguhnya tidak bisa benar-benar sama karena perbedaan struktur lingkungan sosial.
Gloria Davis, “Parigi: A Social History at Balinese Movement to Central Sulawesi 1907-1974”, Disertasi Doktor Stanford University: Department of Anthropology, 1976. Hlm 110. 12
13
Ibid. hlm 114.
11
Peneliti lain yang juga meneliti orang Bali di luar Pulau Bali adalah seorang ilmuwan dari perancis bernama Muriel Charras yang melihat kehidupan orang Bali di Sulawesi.14 Bisa dikatakan, penelitian Charras merupakan penelusuran lebih dalam dari apa yang telah dikerjakan oleh Gloria Davis. Jika Gloria Davis melihat orang Bali di Sulawesi secara prosesual dengan menjabarkan kronologis kedatangan sampai proses adaptasi, maka Charras melanjutkannya dengan melihat secara lebih dalam mengenai kehidupan sosial dan budaya, bahkan kondisi psikologis orang Bali. Temuan menarik Charras yaitu orang Bali di Sulawesi mampu menghadirkan ke-bali-an mereka, walaupun berada jauh dari tanah asalnya. Hal ini sangat terlihat melalui keberadaan tempat-tempat yang dikeramatkan di Sulawesi. Dewata lama di Bali dihadirkan sebagai dewata baru yang sama namun dengan beberapa modifikasi. Sehingga, penelitian tentang orang Bali di Lampung ini selain mencoba melihat keberadaan orang Bali di wilayah yang berbeda, juga mencoba mengembangkan dua model hasil penelitian dari Gloria Davis dan Muriel Carras. Penelitian tentang orang Bali di Lampung terbilang masih sedikit. Salah satu contohnya adalah referensi berikut yang
Muriel Charras “Dari Hutan Angker Hingga Tumbuhan Dewata: Transmigrasi di Indonesia, Transmigrasi Bali di Sulawesi” (Yogyakarta: UGM Press, 1997). 14
12
merupakan hasil penelitian Yulianto tentang identitas ke-bali-an di sebuah Desa Bali di Lampung dengan judul “Membali di Lampung: Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan”. Penelitian ini dilakukan oleh Yulianto pada tahun 2011.15 Fokus kajian yang dilakukan oleh Yulianto ini adalah sejarah salah satu sub-etnis Bali di Lampung dalam membangun identitas, yaitu Bali Nusa Penida. Hasil penelitian yang dilakukan Yulianto menyebutkan bahwa
pembentukan
identitas
masyarakat
Balinuraga
tidak
terlepas dari Bali asal sebagai Bali pusat. Sehingga situasi ini menimbulkan semacam hubungan mutualisme antara Bali pusat dan Bali satelit yang sama-sama saling membutuhkan dalam membangun jaringan sosial, politik dan ekonomi. Namun, selain belum menyentuh aspek kehidupan sosial dan seberapa jauh interaksi orang Bali di Balinuraga dengan masyarakat lain di Lampung. Penelitian ini juga hanya sebatas membahas identitas subetnis Bali Nusa Penida, dan terbatas pada wilayah desa Balinuraga di Lampung Selatan, sehingga belum bisa memberi gambaran orang Bali di Lampung dengan lebih luas. Penelitian Yulianto belum bisa dikatakan menggambarkan kehidupan orang Bali di Lampung karena orang Bali di Lampung Yulianto, “Mem-bali di Lampung: Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan”, Tesis (Salatiga: Program Pascasarjana Studi Pembangunan UKSW, 2011). 15
13
Selatan, terutama di kecamatan Sidomulya dan Way Panji baru menempati daerah tersebut pasca bencana gunung Agung tahun 1963. Padahal orang Bali sudah berada di Lampung sejak tahun 1956. Referensi berikutnya adalah karya H.J Heeren dari hasil penelitian yang dilakukan sejak 1950 hingga 1965 dengan judul “Transmigrasi di Indonesia” yang dalam salah satu sub-babnya membahas orang Bali di awal kedatangan di Lampung tahun 1960-an.16 Heeren membahas mengenai munculnya berbagai permasalahan baru yang dihadapi oleh orang Bali ketika mereka baru pertama kali tiba di Lampung. Penyebabnya adalah adanya perbedaan keyakinan yang langsung berimplikasi pada hubungan sosial dengan masyarakat lain. Berbagai pertanyaan mengenai apakah mereka boleh memelihara babi, bagaimana membangun tempat peribadatan, serta berbagai masalah lain, muncul ketika orang Bali dihadapkan pada kenyataan baru di fase awal. Heeren juga mengutip sedikit dari Louse Berhthe17 yang meneliti orang Bali korban bencana Gunung Agung tahun 1963,
H. J Heeren, Transmigrasi di Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1979), hlm. 50. Lihat pada sub-bab “perbedaanperbedaan keyanikan”. 16
Louis Berthe: Report on Transmigration to Sumatera of Balinese Victims of the Gunung Agung Eruption (Jakarta: Stensil, Aus. 1963). 17
14
yang
di-ungsi-kan
ke
Lampung
oleh
pemerintah.
Berthe
mengamati orang Bali sebulan setelah kedatangan di Lampung dan menyimpulkan munculnya rasa kekecewaan ketika melihat kondisi di Lampung. Namun perlahan perasaan itu menghilang ketika mereka telah mendapat tanah dan beberapa subsidi sembako dari pemerintah yang menjadi modal dalam membangun kembali struktur kehidupan mereka di Lampung. Selain beberapa referensi yang berhubungan langsung dengan
ruang
lingkup,
ada
beberapa
referensi
yang
tidak
berhubungan langsung namun relevan. Buku yang ditulis oleh Riwanto Tirtosudarmo berjudul Mencari Indonesia 2: Batas-batas Rekayasa Sosial18, dalam satu bab membahas kondisi sosial masyarakat Lampung pada tahun 1956 yang mulai bereaksi terhadap jumlah pendatang yang semakin besar. Situasi ini bertepatan dengan kedatangan orang Bali pertama kali di Lampung, sehingga dapat berguna bagi penelitian ini untuk mengetahui kondisi sosial di Lampung pada awal-awal kedatangan orang Bali. Referensi berikutnya adalah dari Kampto Utomo yang meneliti tentang para pendatang spontan Jawa di sekitar aliran Wai
(Sungai)
Sekampung
(Sekarang
berada
di
Kabupaten
Riwanto Tirtosudarmo, Mencari Indonesia 2: Batas-batas Rekayasa Sosial (Jakarta: Lipi Press, 2010). 18
15
Pringsewu, Lampung) pada tahun 1950-an. Ia memberi gambaran tentang
kedatangan
para
pendatang
spontan,
yang
tanpa
disponsori pemerintah, dengan modal nekad datang ke Lampung dan mengatasi rintangan-rintangan yang dihadapi selama periode adaptasi. Beberapa hal yang menarik bagi suatu masyarakat pendatang, yang umumnya datang secara spontan di Lampung adalah munculnya pola kepemimpinan di dalam masyarakat serta terbentuknya tersebut
struktur-struktur
dapat
menjadi
model
di
dalamnya.
untuk
Penggambaran
menjelaskan
bentuk
perkembangan struktur kepemimpinan orang Bali yang datang ke Lampung.19 Pola kepemimpinan menjadi aktor penting dalam setiap babakan sejarah. Berkaitan dengan hal tersebut, referensi terakhir yang dikaji yaitu disertasi Achyar Asmu'ie dengan judul “Integrasi politik di Kalimantan Barat: Studi Kasus Kabupaten Ketapang”.20 Asmu’ie dalam penelitiannya mengidentifikasi dan menjelaskan faktor-faktor yang menjadikan Kabupaten Ketapang luput dari pertikaian etnis karena peran aktif pemimpin informal seperti tokoh-tokoh
etnis,
ketua
adat,
pemuka
masyarakat
serta
Kampto Utomo, Masyarakat Transmigran Spontan di Daerah Wai Sekampung (Lampung), (Yogyakarta: UGM Press, 1975) 19
Achyar Asmu’ie. “Integrasi Politik di Kalimantan Barat: Studi Kasus Kabupaten Ketapang” Disertasi Universitas Indonesia. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 2006. (tidak diterbitkan). 20
16
pemimpin agama dalam pembinaan integrasi. Temuan hasil penelitiannya yaitu walaupun komposisi penduduk relatif sama dengan daerah-daerah lain yang rawan konflik etnis, namun di Kabupaten
Ketapang
tidak
pernah
terjadi
konflik
etnis.
Menurutnya, kondisi sosial dan karakter budaya masyarakat sangat berpengaruh terhadap hubungan sosial antar etnis yang terjadi di Kabupaten Ketapang. Penelitian dari Achyar Asmu'ie ini dapat menjadi sebuah gambaran masyarakat yang terdiri dari berbagai latar belakang seperti yang terjadi di Lampung dimana orang Bali berada di dalamnya. Penelitian Achyar Asmu'ie dapat menjadi model untuk menggambarkan bagaimana langkah atau strategi orang Bali sehingga dapat menghindari potensi bentrokan sosial maupun bentrokan budaya yang dapat terjadi kapan saja. Dari beberapa kajian mengenai orang Bali di luar Pulau Bali seperti yang disebutkan di atas, belum ada yang menempatkan kajian orang Bali, terutama di Lampung yang secara kronologis menggambarkan tentang proses kedatangan, kehidupan awal dan pembentukan budaya di tempat baru. Sehingga, kekurangan penelitian-penelitian terdahulu terlengkapi dengan penelitian ini.
17
E.
Kerangka Konseptual Tesis ini memusatkan perhatian pada sejarah keberhasilan
orang Bali di Lampung yang merupakan hasil dari kemampuan beradaptasi
terhadap
kehidupan
baru.
Adaptasi
merupakan
konsep yang diderivikasi dari pemikiran ekologi budaya. Menurut Steward yang dikutip oleh Poerwanto, ekologi budaya adalah ilmu yang mempelajari bagaimana manusia sebagai makhluk hidup menyesuaikan
dirinya
dengan
lingkungan
geografi
tertentu.
Termasuk dalam konsep kunci ekologi budaya adalah adaptasi, sistem dan lingkungan.21 Sejalan dengan itu, adaptasi menurut Usman Pelly ialah cara-cara yang dipergunakan pendatang untuk mengatasi rintangan-rintangan yang mereka hadapi dan untuk memperoleh suatu keseimbangan yang positif dari kondisi-kondisi latar belakang lingkungan tujuan.22 Adaptasi bisa juga diartikan sebagai penyesuaian terhadap lingkungan. Berdasarkan penjelasan dari Gerungan, penyesuaian
Heri Purwanto, Kebudayaan dan Lingkungan dalam Persepektif Antropologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 68. 21
Usman Pelly, Urbanisasi dan Adaptasi: Peranan Misi Budaya Minangkabau dan Mandailing, (Jakarta: Pustaka LP3ES, 1994), hlm. 5. Asumsi dasar adaptasi berkembang dari pemahaman yang bersifat evolusionari yang senantiasa melihat manusia selalu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya, baik secara biologis/genetik maupun secara budaya. 22
18
dapat berarti mengubah diri sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keadaan pribadi.23 Berkaitan dengan sifat adaptasi, menurut Hardestry seperti dikutip oleh Anom Kumbara, adaptasi merupakan proses dinamik karena baik manusia maupun lingkungan tidak ada yang bersifat konstan atau tetap. Daya tahan populasi tidak bersifat pasif
terhadap
individu
lingkungan,
maupun
populasi
melainkan untuk
memberi bekerja
ruang secara
bagi aktif
memodifikasi perilaku mereka dalam rangka memelihara kondisi tertentu,
menanggulangi
resiko
pada
kondisi
baru
dan
mengimprovisasi kondisi yang ada.24 Pada beberapa kajian mengenai adaptasi penduduk di tempat baru, ada yang mengonseptualisasikan proses penyesuaian melalui perspektif developmental. Seperti yang dikutip oleh Hernani Agosthino Soares dari Lysgaard, bahwa proses adaptasi penduduk dapat digambarkan melalui model kurva-U yang secara berurutan meliputi (1) fase awal ”bulan madu” dimana pendatang melihat suatu yang baru dengan penuh gairah, (2) lalu mengalami ”kemerosotan” atau fase yang membuat tertekan (fase transisi)
23
Gerungan, Psikologi Sosial, (Bandung: Eresco, 1991), hlm.
55. Ngurah Anom Kumbara, dkk. Dinamika Migrasi di Kota Denpasar: Perspektif Adaptasi Budaya dan Multikulturalisme, (Denpasar Bappeda Kota Denpasar, 2013), hlm. 7. 24
19
akibat adanya perbedaan suasana antara tempat asal dan tempat baru, (3) kemudian fase dimana mereka mulai menguasai diri serta mulai menerima budaya baru (fase mendapatkan informasi tentang budaya baru), (4) hingga tahap final yaitu fase dimana mereka menemukan suatu bentuk identitas baru (new identity) hasil pencocokan (adjusment) antara budaya yang dibawa dengan budaya di tempat baru.25 Dari penjabaran di atas, mula-mula dapat dipahami bahwa kajian tentang sejarah orang Bali di Lampung berkaitan dengan cara-cara yang digunakan untuk mengatasi rintangan-rintangan yang hadapi, dan untuk memperoleh suatu keseimbangan yang positif antara latar belakang orang Bali dengan lingkungan baru. Proses adaptasi akan melalui beberapa tahapan, dari masa “bulan madu” dimana segalanya terlihat baru dan menggairahkan, periode transisi, mendapatkan informasi tentang budaya baru, hingga pembentukan budaya baru. Kegagalan pada tiap tahapnya akan
mengakibatkan
proses
adaptasi
terhenti
atau
gagal.
Sedangkan pembentukan budaya baru yang dimaksud dalam penelitian ini bukan berarti muncul budaya baru yang berbeda dari sebelumnya, namun merupakan sebuah bentuk adjusment
Hernani Agosthino Soares, “Adaptasi Budaya Para Ekspatriat di Timor Leste”, Tesis (Salatiga: Magister Manajemen UKSW, 2011), hlm 12. 25
20
(pencocokan) antara budaya dari tanah asal dengan budaya di tempat baru. F.
Metode Penelitian Penelitian ini dimulai dengan pengumpulan sumber yang
memuat informasi berkaitan dengan orang Bali di Lampung. Sumber yang digunakan dalam penelitian ini antara lain yaitu Surat Keputusan Presiden tentang pengiriman transmigrasi, fotofoto sezaman, koran atau media massa, dan data statistik penduduk Lampung. Sumber-sumber tersebut diperoleh di Arsip Nasional
Republik
Indonesia
Jakarta
(ANRI),
Pusat
Studi
kependudukan UGM, Pusat Studi Pedesaan UGM, Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung, Arsip Mangkunegara, Kantor Kementrian Agama Lampung, Perpustakaan Daerah Lampung, Kantor Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Lampung, Kantor Kepala Kampung Rama Dewa, serta perpustakaan lainnya. Masyarakat
Bali
yang
berada
di
Lampung
tidak
meninggalkan banyak dokumen mengenai riwayat hidup mereka, kecuali beberapa foto tahun 1970-an hingga 1990-an, tugu peringatan kedatangan pertama kali di Lampung, serta Pura Peringatan Transmigrasi pertama yang sampai saat ini telah mengalami beberapa kali renovasi. Oleh karena itu, untuk menggali informasi lebih dalam dari orang Bali diperlukan
21
wawancara yang mendalam dan terbuka guna mendapatkan keterangan lebih rinci mengenai kedatangan dan perkembangan mereka di Lampung. Pretense atau “aku yang paling penting dalam peristiwa itu” menjadi titik tekan penulis untuk menghindari hal tersebut.
Oleh
pembanding
karena
dengan
itu
yang
penulis sezaman
melakukan atau
wawancara
seperiode
dengan
narasumber lainnya.26 Adapun informan yang diwawancarai meliputi beberapa orang dari rombongan pertama ke Lampung, baik itu yang melalui program pemerintah ataupun biaya sendiri. Perangkat desa, sesepuh atau ketua adat di perkampungan pertama orang Bali di Lampung yaitu Kampung Rama Dewa dan Rama Gunawan, orangorang Bali generasi kedua dan ketiga di Lampung yang bekerja sebagai Guru PNS, pegawai pemerintahan, serta Ketua dan pengurus Parisada Hindu Dharma di Lampung. Untuk melengkapi sumber primer, diperlukan sumber sekunder yang berupa buku atau hasil penelitian yang relevan seperti yang telah diungkapkan di tinjauan pustaka, di antaranya oleh Yulianto tentang “Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga Lampung Selatan”, I Ketut Siregig tentang “Nilai Keadilan Hukum Adat Bali”, Muriel Charras tentang “Dari Hutan Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Konteporer (Suatu Pengalaman)”, (Jakarta: Inti Iday press, 1984) hlm. 19. 26
22
Angker hingga Tumbuhan Dewata: Transmigrasi di Indonesia, Orang Bali di Sulawesi”, serta Nengah Bawa Atmaja mengenai “Genealogi Keruntuhan Majapahit, Islamisasi, Toleransi, dan Pemertahanan Agama Hindu di Bali. Tahap selanjutnya yaitu melakukan kritik sumber, baik secara ekstern maupun intern. Kritik ekstern dilakukan untuk menentukan keaslian sumber (arsip, koran, majalah, maupun foto) dengan jalan melihat pada jenis kertas, model tulisan, bahasa, cap resmi, dan angka tahun yang tertera pada setiap dokumen yang ditemukan. Setelah itu dilakukan kritik intern yang menyangkut isi dokumen apakah sesuai dengan yang dibutuhkan atau tidak, dan untuk mendapatkan kredibilitas sumber. Sumber dokumen yang dikeluarkan pemerintah seperti Surat Keputusan Pengiriman Transmigran, Surat Keputusan Tempat
yang
ditetapkan
sebagai
tujuan
transmigrsi,
Surat
permohonan Bantuan Guru Agama Hindu bagi para Transmigran Bali, Surat Pemberian Bantuan kepada Transmigran umumnya dapat dipercaya. Beberapa surat yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang merupakan data yang relevan bagi legalitas dan rasionalitas birokrasi. Namun dari data-data yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah (BPS) atau organisasi kemasyarakatan (PHDI) terkadang tidak mempunyai arsip yang lengkap. Seperti PHDI ataupun Kemenag Provinsi Lampung yang tidak mempunyai
23
data jumlah dan persebaran masyarakat Bali di Lampung sehingga mengharuskan peneliti mencari dan meramu sumber pembanding lain. Pada tahap selanjutnya, penulis melakukan proses verifikasi bahan dokumen atau yang sering disebut dengan kolasi,27 yaitu membandingkan antara beberapa dokumen mengenai fakta yang dicari,
sehingga
akan
terlihat
adanya
kesesuaian
maupun
kontradiksi antar fakta. Dalam kondisi ketika terdapat fakta-fakta yang kontradiktif, maka penulis melakukan seleksi atas derajat keterpercayaan sumber, dengan memilih sumber primer yang dapat dijadikan sumber data yang representatif. Dengan demikian, diperoleh
fakta
sejarah
yang
dapat
dipertanggungjawabkan
orisinalitasnya. Setelah kritik atas sumber dokumen dikerjakan, langkah ketiga ialah interpretasi. Pada tahap ini, penulis mencari dan menyusun suatu hubungan kausalitas sesuai dengan urutan terjadinya peristiwa dari setiap fakta yang diperoleh. Fakta ini lalu dirangkaikan dalam kesatuan logis yang menghasilkan cerita sejarah. Langkah keempat, yaitu historiografi. Sebagai tahap akhir dari riset ini akan memperhatikan aspek kronologis, sementara penyajiannya berdasarkan tema dari objek riset. Sartono Kartodirdjo, “Metode Penggunaan Bahan Dokumenter” dalam Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1977), hlm. 83. 27
24
G.
Sistematika Penulisan Kajian ini akan disajikan secara sistematis dan diakronis
melalui pembagian bab untuk mengungkapkan perkembangan orang Bali di Lampung. Pembahasan tesis ini di awali dengan pemaparan mengenai kedatangan orang Bali Lampung seperti yang di uraikan pada bab dua. Bab dua menjelaskan tentang penyebab orang Bali meninggalkan tanah kelahirannya menuju Lampung. Sebagai bahan pelengkap, dalam bab ini juga dijelaskan kondisi sosial demografis di Lampung di awal-awal kedatangan orang Bali. Bab tiga menguraikan kehidupan ekonomi orang Bali di fase awal kedatangan di Lampung serta perkembangannya. Bab ini pada intinya membahas tentang perjuangan orang Bali untuk bertahan di lingkungan baru. Pada bab ini juga dijabarkan mengenai perkembangan usaha sebagai bagian dari proses yang dilalui oleh orang Bali. Bab empat menguraikan tentang usaha yang dilakukan oleh orang Bali di Lampung untuk menghadirkan tradisi maupun adat budaya Bali di tempat baru. Bab ini juga menjelaskan pengaruh adaptasi ekonomi terhadap proses pelaksanaan budaya. Sebagai penutup bab empat, dibahas juga mengenai bentuk-bentuk budaya hasil proses adjusment (pencocokan) antara budaya yang dibawa dari tanah asal dengan budaya di tempat baru.
25
Bab lima berisi kesimpulan yang memuat berbagai temuan penting dalam hasil dari kajian yang telah dikerjakan guna menjawab pokok permasalahan di bab satu.