BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberadaan novel Indonesia pada masa pemerintahan kolonial Belanda tidak dapat diabaikan begitu saja. Indonesia yang bernama Hindia Belanda pada masa penjajahan Belanda memiliki tradisi bersastra tulis berbahasa Belanda dan berbahasa Melayu. Novel-novel tersebut terbagi atas dua kategori, yakni yang ditulis oleh orang-orang asing, terutama Belanda dan Tionghoa, dan yang ditulis oleh penduduk asli Indonesia, terutama penduduk asli Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Novel yang terbit pada masa penjajahan tersebut memberi kontribusi yang signifikan dalam perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia. Perjuangan tersebut dilakukan dalam wacana poskolonialisme. Penggunaan bahasa Melayu dalam penulisan novel pada masa pemerintahan Hindia Belanda sejalan dengan pengakuan Kerajaan Belanda terhadap bahasa Melayu. Pengakuan tersebut direalisasikan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van der Capellen, melalui peraturan (Ind. Stb. No. 34 pada 25 Maret 1819) yang mengharuskan lulusan Sekolah Militer Semarang menjalankan tugas tanpa penerjemah. Menurut Simbolon (2006:112), “Sesudah itu, semua asisten residen, sekretarisnya, dan opziner atau penilik, harus sudah menguasai bahasa Melayu dan Jawa; kalau tidak, gaji mereka dikurangi sampai 25%.” Peraturan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tentang penguasaan bahasa Melayu para pegawainya itu berkelanjutan. Dari hasil penelitian Simbolon
1 Universitas Sumatera Utara
(2006:112-135) terbukti bahwa, pada 1825, peraturan ini menjadi persyaratan bagi calon pegawai yang diambil langsung dari Kerajaan Belanda. Mereka, terutama yang ingin mencapai pangkat asisten residen, harus memiliki sertifikat kemampuan dasar berbahasa Melayu, di samping kemampuan berbahasa Jawa dan bahasa daerah lain di Hindia Belanda. Bahkan, Gubernur Jenderal Dominique Jacques de Eerens (18361840) mengeluarkan Keputusan No. 30 dan dimuat dalam Ind. Stb. No. 23/1837 yang menetapkan kepemilikan ijazah bahasa Melayu dan salah satu bahasa daerah sebagai syarat naik pangkat bagi pegawai pemerintahan Hindia Belanda. Hal ini menjadikan bahasa Melayu sebagai lingua franca dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda. Keberterimaan berbahasa ini membuat relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah dalam studi orientalis semakin meluas dan berpemahaman, baik dalam pandangan Belanda maupun Indonesia. Relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah yang tereduksi dalam novel Hindia Belanda menjadi bagian integral dalam novel berbahasa Belanda yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Misalnya: (i) Novel Max Havelaar (MH) karya Multatuli (1839-1887) terbit pada 1860 dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama pada 1972; (ii) Novel Rubber karya M.H. SzékelyLulofs (1899-1958) terbit pada 1931 dan diterjemahkan dengan judul Berpacu Nasib di Kebun Karet (BNdKK) pada 1985; (iii) Novel Buiten het Gareel karya Suwarsih Djojopuspito (1912-1977) terbit pada 1940 dan diterjemahkannya dengan judul Manusia Bebas (MB) pada 1975; dan (iv) Novel Oeroeg (Oe) karya Hella S. Haasse (1918-2011) terbit pada 1948 dan diterjemahkan dengan judul yang sama pada 2009.
Universitas Sumatera Utara
Novel MH, BNdKK, dan Oe ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Belanda sedangkan novel MB ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Indonesia. Novel-novel tersebut mengisahkan benturan peradaban bangsa penjajah dan bangsa terjajah sebagai representasi Barat dan Timur dalam kolonialisasi Belanda di Indonesia. Novel MH karya Multatuli merupakan novel yang menggambarkan kolonialisme Belanda dari dua sisi, yakni sisi kebelandaan dan keindonesiaan. Pemunculan novel yang mengambil latar kekejaman elite birokrasi pemerintahan Hindia Belanda dan penderitaan rakyat Lebak ini telah mengejutkan politisi dan pejabat Kerajaan Belanda. Kekejaman dan penderitaan tersebut berlangsung dalam sebuah konspirasi kepemimpinan elite politik dan pejabat kolonial. Konspirasi elite politik dan pejabat kolonial ini melanggengkan praktik KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme) dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda. Konspirasi inilah yang dibongkar oleh Multatuli dan ditentang oleh elite birokrasi pemerintahan Hindia Belanda, mulai dari tingkat Demang sampai Gubernur Jenderal. Penentangan tersebut tidak semata-mata karena dugaan pembiaraan KKN yang menyengsarakan rakyat, melainkan juga gugatan terhadap model dan wujud kepemimpinan dalam sistem pemerintahan kolonialisme Belanda di Indonesia. Kesulitan Havelaar dalam novel MH mengungkap konspirasi elite politik dan pejabat kolonial ini membuat praktik KKN tumbuh dan berkembang dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda. Kesulitan tersebut tidak hanya berasal dari tindakan Havelaar yang tidak mengikuti kebiasaan pejabat tinggi dalam menghadapi KKN, melainkan juga berasal dari solidaritas pejabat yang melindungi pejabat lain karena
Universitas Sumatera Utara
pejabat itu melibatkan dirinya sendiri dalam KKN, baik secara langsung maupun tidak langsung. Konspirasi elite politik dan pejabat dalam praktik KKN seperti ini melampaui realitas fiksi karena terjadi dalam realitas historis sistem pemerintahan Indonesia. Bahkan, perang terhadap KKN menjadi agenda reformasi yang sulit direalisasikan secara murni dan konsekuen dengan keterlibatan pejabat tinggi selevel bupati, walikota, gubernur, dan menteri, yang berkoalisi dengan anggota DPR, hakim, jaksa, dan pengusaha dalam praktik korupsi. Kondisi ini mengingatkan bangsa Indonesia akan pentingnya mengkaji ulang relevansi novel MH dan novel sejenis dengan kehidupan Indonesia, terutama untuk menumbuhkembangkan semangat memberantas korupsi dalam sistem pemerintahan Indonesia. Secara historis, telah terbukti bahwa, penerbitan novel MH karya Multatuli memberi konstribusi penting dalam pemunculan politik etis di Hindia Belanda. Menurut Simbolon (2006:146), “... buku ini dengan sangat tajam dan keras menelanjangi jahatnya sistem Tanam Paksa, baik bagi pejabat Belanda yang jujur apalagi bagi Bumiputra.” Multatuli –yang dikenal sebagai EDD (Eduard Douwes Dekker)- sendiri adalah bangsa Belanda yang bermigrasi ke Hindia Belanda sebagai pejabat pemerintah dengan pangkat terakhir Asisten Residen Lebak. Status kepegawaian dan riwayat EDD yang selalu berpindah tempat tugas hingga akhirnya berhenti menjadi pejabat pemerintah –karena tidak suka dengan atasan yang menyimpang dari sumpah pejabatnya- menjadi bukti validitas dan representitifnya data yang digunakan Multatuli dalam menulis novelnya.
Universitas Sumatera Utara
Superioritas Barat sebagai bangsa penjajah yang tercitra dalam pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia tidak hanya menjadi sorotan Multatuli. Seorang istri elite birokrasi perkebunan Belanda, Székely-Lulofs mendeskripsikan dampak kolonialisasi Belanda di sektor perkebunan karet dalam novel BNdKK. Novel yang ditulis di Telok Dalam (Kabupaten Asahan, Indonesia) dan Budapest (Hongaria) sejak Desember 1929 sampai Juni 1931 ini mengejutkan masyarakat Belanda karena keberaniannya mengungkapkan kekejaman pejabat perkebunan dan penderitaan rakyat Hindia Belanda berdasarkan pengalaman hidup pengarang di Hindia Belanda. Székely-Lulofs itu sendiri adalah bangsa Belanda yang lahir di Surabaya dan mengikuti suaminya sebagai pejabat berpangkat tuan kebun (planter) Belanda di Sumatera Timur. Oleh karena itu, Székely-Lulofs memperoleh dua gelar yang bertentangan, yakni dianggap sebagai pengkhianat karena menceritakan kekejaman pejabat sementara suaminya termasuk pejabat itu sendiri, namun ia dijuluki “Multatuli Wanita” karena keberaniannya mengungkap kekejaman Belanda sebagaimana pernah dilakukan oleh Multatuli. Di samping novel MH dan BNdKK terdapat novel berjudul Oe karya Hella S. Haasse. Novel ini terpilih sebagai Buku Hadiah 2009: dibagi-bagikan, didiskusikan, dan dirayakan di Belanda. Di Indonesia, peluncuran buku ini merupakan bagian kampanye Kedutaan Besar Belanda untuk Indonesia dalam rangka The Nederland Read. Novel Oe mengungkapkan relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah yang termimikri dan terambivalensi dalam menemukan identitas kebangsaannya, baik sebagai bangsa Belanda maupun bangsa Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Di antara novel MH, BNdKK, dan Oe terdapat novel MB karya Suwarsih Djojopuspito. Suwarsih sebagai pengarang dan intelektual Hindia Belanda berasal dari masyarakat jajahan Belanda yang fasih berbahasa Belanda. Dia menuliskan novel dalam bahasa Belanda dan menerbitkan novel itu di Negeri Belanda, tempat tinggal bangsa yang menjajah bangsanya sendiri. Novel MB terbit di Negeri Belanda dengan judul Buiten het Gareel. Novel ini berisi peristiwa tahun 1930-an di masa pergerakan sedang hangat-hangatnya dan semangat kebangsaan mulai membangkitkan perlawanan bangsa Indonesia kepada Belanda. Perlawanan terhadap kolonialisme Belanda diperlihatkan pengarang novel ini dengan cara menghadirkan intelektual yang setara dengan intelektual Belanda untuk mendirikan sekolah partikelir nasional. Akibatnya, intelektual yang berusaha mencerdaskan kehidupan bangsanya harus berhadapan dengan politik kolonial yang menganggap sekolah partikelir sebagai “sekolah liar” sehingga rakyat menjadi takut menyekolahkan anaknya ke sekolah tersebut. Akan tetapi, pendiri dan guru-gurunya tidak takut meski harus ditangkap, hidup serba melarat, dan selalu diawasi oleh pejabat Hindia Belanda. Keberanian Multatuli (1839-1887), M.H. Székely-Lulofs (1899-1958), Suwarsih
Djojopuspito
(1912-1977),
dan
Hella
S.
Haasse
(1918-2011)
mengungkapkan penderitaan penduduk Hindia Belanda menjadikan karya sastra sebagai bagian dari protes sosial terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Akibatnya, karya sastra bisa dilarang beredar karena berpraduga isinya membahayakan ideologi. Bisa juga karya itu dilarang karena dianggap tidak sesuai dengan nilai moral dalam masyarakat atau mengungkapkan pandangan yang kontroversial mengenai suku,
Universitas Sumatera Utara
agama, ras, dan antargolongan. 1 Pemasungan kreativitas juga bisa terjadi pada sastrawan kritis yang dianggap tidak mau loyal atau menjadikan karyanya sebagai corong pemerintah atau partai pemerintah yang berkuasa, atau karena karyanya memuat kritikan yang keras terhadap kebijakan pemerintah. Sapardi Djoko Damono (dalam Satoto dan Zainuddin Fanani, 2000:iii-iv), mengklasifikasi pelarangan karya sastra Indonesia dalam empat pernyataan: (i) pelarangan dan pembatasan atas sastra dan sastrawan oleh pemerintah atau penguasa merupakan pengakuan bahwa sastra dan sastrawan memiliki fungsi yang jelas, penting, dan setidaknya ‘ditakuti’ karena mempunyai kemungkinan melanggar ideologi negara yang bisa mengganggu stabilitas pemerintahan dan kekuasan; (ii) suatu pengakuan bahwa sastra bisa mempunyai pengaruh yang luas terhadap cara berpikir dan bertindak masyarakat terhadap ideologi, politik, dan kekuasaan; (iii) kita harus berani mengakui kenyataan bahwa pelarangan dan pembatasan sastrawan dan sastra tidak jarang malah menyebabkan kita memusatkan perhatian terhadapnya; dan, (iv) kita harus bisa memahami sebaik-baiknya bahwa salah satu cara untuk mengetahui kedewasaan suatu masyarakat (termasuk penguasa, sastrawan, publik, dan penerbit) adalah dengan mengukur sejauh mana kebebasan dan keterbukaan terhadap gagasan, harapan, dan aspirasi manusia seperti tersirat dan tersurat dalam karya sastra. 1
Lihat, Sapardi Djoko Damono, Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), p. 49. Artikel dalam buku ini yang berjudul “Beberapa Masalah dalam Perkembangan Sastra Indonesia” menegaskan bahwa, “Setiap orang Indonesia, termasuk tentu saja sastrawannya, harus bertindak sangat hati-hati jika masuk ke dalam empat hal tersebut, yang sudah sejak lama diawetkan ke dalam suatu istilah resmi, yaitu SARA.” Artikel ini diterbitkan dalam bahasa Malaysia berjudul “Beberapa Masalah dalam Perkembangan Sastera Indonesia Modern.” Lihat juga, Damono (2000:17).
Universitas Sumatera Utara
Karya sastra yang dilarang beredar di Indonesia terjadi akibat karya sastra itu dianggap berisi ideologi yang berbeda dari pemerintah yang berkuasa, dicurigai dapat mengasut masyarakat, melecehkan salah satu agama yang ada di Indonesia sehingga akan menimbulkan keresahan masyarakat. Karya sastra yang baik menurut pandangan estetis belum tentu baik menurut penguasa. Pelarangan sastra di Indonesia tersebut ternyata memiliki sejarah yang panjang sehingga harus ditelusuri sampai masa pemerintahan Hindia Belanda. Menurut Muhammad (2001:12), pada bulan September 1919, harian Benih Merdeka yang terbit di Medan menerbitkan sebuah pantun berjudul “Nasibnya Hindia” karya penulis yang menggunakan nama samaran Van Aarde, sehingga membuat pemerintah Hindia Belanda merasa sangat terpukul. Pantun itu antara lain tertulis, “Hindia bukan tanah wakaf/Hindia bukan nasi bungkus/Hindia bukan rumah komedi.” Muhammad Yunus sebagai pemimpin redaksi ditangkap karena anggapan adanya pelanggaran kode etik pers Hindia Belanda. “Tetapi delik tersebut kandas di tengah jalan, karena kalimat-kalimat tersebut itu tidak melanggar hukum, tegasnya tidak dapat dihukum (net vervolgbaar).” Kebijakan politik etis yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia telah menyuburkan penerbitan novel, baik yang dilakukan oleh Balai Pustaka maupun penerbit independen. Novel tersebut menggambarkan benturan peradaban Barat dan Timur, baik dalam hegemoni politik maupun identitas kultural. Novel Sitti Nurbaya karya Marah Roesli, Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, dan Layar Terkembang karya S. Takdir Alisjahbana muncul sebagai dokumentasi sosial
Universitas Sumatera Utara
budaya yang menggambarkan dampak psikologis kolonialisme Belanda di Indonesia. Novel tersebut merupakan novel yang terbit dalam legitimasi pemerintah Hindia Belanda melalui penerbit Balai Pustaka. Novel yang lain memiliki sudut pandang yang berbeda dengan novel terbitan Balai Pustaka. Novel tersebut merupakan novel berbahasa Melayu rendah dan novel berbahasa Belanda yang tidak ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Belanda. Novel tersebut adalah Hikayat Siti Mariah karya Haji Mukti, Studen Hijo karya Marco Kartodikromo, Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang, dan Buiten het Gareel karya Suwarsih Djojopuspito. Novel tersebut menjadi objek poskolonialisme dalam sastra Indonesia masa pemerintahan Hindia Belanda. Novel tersebut terbit secara independen, sehingga memberi pencitraan yang lebih bebas dalam menggambarkan penderitaan bangsa Indonesia dalam penjajahan Belanda. Novel Hindia Belanda di atas mewakili struktur ruang dan waktu tersendiri, antara lain dapat dimasukkan pada kategori novel terjemahan dari bahasa Belanda (MH, BNdKK, MB, dan Oe), novel berbahasa Melayu rendah (Hikayat Siti Mariah, Studen Hijo, dan Lo Fen Koei) dan novel berbahasa Melayu tinggi (Sitti Nurbaya, Salah Asuhan, dan Layar Terkembang). Novel-novel tersebut mengungkapkan penyesuaian etika dan kategori ideal Eropa sebagai sesuatu yang universal serta model dan wujud kepemimpinan dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda. Pengungkapan peristiwa antara satu novel dengan novel yang lain memiliki ciri khas, sehingga benturan peradaban Barat dan Timur yang tereduksi dalam novel dapat mencerminkan local genius kepribadian bangsa Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Perilaku elite birokrasi pemerintahan yang mengakibatkan penderitaan rakyat dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda memberi ruang mimikri dan hibriditas. Mimikri yang terjadi dalam relasi bangsa pejajah dan bangsa terjajah memunculkan sikap ambivalensi kepribadian manusia Indonesia. Sikap ambivalen tersebut terjadi akibat penyesuaian etika dan kategori ideal yang tidak berterima. Demikian pula hibriditas, dalam prosesnya memunculkan sinkretisme akibat benturan peradaban Barat dan Timur. Hal ini diungkapkan oleh Multatuli, Székely-Lulofs, dan Hella S. Haasse dari sudut pandang bangsa Belanda dan diungkapkan oleh Suwarsih Djojopuspito dari sudut pandang bangsa Indonesia dalam novel-novelnya. Sudut pandang kebangsaan yang berbeda tersebut mendapat kesamaan dalam pengalaman langsung sastrawan dengan peristiwa kehidupan pada masa kolonialisme Belanda di Hindia Belanda. Proses dan akibat kolonialisme Belanda yang menjadi pengalaman estetis pengarang dideskripsikan pengarang dalam bentuk novel berlatar historis Hindia Belanda. Pendeskripsian realitas fiksi dan realitas historis tersebut dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif, sehingga ditemukan pola mimikri, ambivalensi, hibriditas, dan sinkretisme. Pola tersebut menempatkan relasi bangsa penjajah dan bangsa terjajah dalam proses pembentukan identitas kultural dan identitas kebangsaan, baik dalam kategori ideal Barat maupun Timur. Bahkan, pertemuan dua peradaban tersebut memunculkan hibriditas dan sinkretisme dalam kehidupan elite birokrasi pemerintahan, perkebunan, dan pendidikan di Hindia Belanda.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penjelasan di atas, wacana poskolonialisme seperti mimikri yang berkepanjangan dapat mengungkapkan ambivalensi kepribadian manusia Indonesia. Sebaliknya, pembentukan hibriditas struktural meunculkan hibriditas kultural yang dapat membongkar praktik sinkretisme dalam kehidupan bangsa Indonesia. Menghadapi proses mimikri dan hibriditas tersebut, bangsa Indonesia masa Hindia Belanda memunculkan kekuatan local genius yang mampu menghadapi penetrasi Barat yang mendapat dukungan politik kolonial Belanda. Oleh karena itu, pengungkapan realitas fiksi dan realitas historis dalam teks dan konteks poskolonial novel Hindia Belanda menjadi demikian penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Kondisi tersebut menjadi daya tarik penelitian ini, sehingga peneliti menjadikan keempat novel tersebut sebagai fokus penelitian poskolonialisme. Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat dijadikan model terapan teori poskolonial dan model hibriditas kultural yang layak direvitalisasi dalam kehidupan modern bangsa Indonesia.
1.2 Identifikasi Masalah Setelah melakukan observasi yang saksama terhadap bahan penelitian ini dapat diidentifikasi lima masalah. Kelima masalah yang diidentifikasi dalam novel Hindia Belanda tersebut adalah: (1) Ada masalah dalam struktur penceritaan novel Hindia Belanda. Novel-novel tersebut menggunakan struktur penceritaan yang bervariatif tetapi menceritakan hal yang relatif sama. Bagaimana mungkin dengan pola yang berbeda dapat
Universitas Sumatera Utara
mengungkapkan hal yang sama? Bahkan, keberpihakan penjajah terhadap rakyat jajahan atau rakyat jajahan terhadap penjajah menimbulkan pro dan kontra dalam kehidupan rakyat Hindia Belanda. Kondisi ini menimbulkan kesulitan bagi pengarang untuk memunculkan struktur penceritaan novel yang tepat pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. (2) Ada masalah dalam proses mimikri berwujud bentuk-bentuk peniruan atau penyesuaian etika. Masalahnya, proses mimikri harus berdasarkan etika ideal Eropa atau etika ideal Asia dalam karakteristik bangsa Belanda dan Indonesia. Bentuk peniruan atau penyesuaian etika yang menjadi sumber data penelitian menimbulkan pro dan kontra dalam realitas fiksi novel Hindia Belanda. (3) Ada masalah dalam proses mimikri sehingga memunculkan ambivalensi dalam kepribadian bangsa Indonesia sebagai bangsa yang dijajah dan kepribadian bangsa Belanda sebagai bangsa yang menjajah bangsa Indonesia dalam realitas fiksi novel Hindia Belanda. (4) Ada masalah dalam pemunculan model dan wujud sistem pemerintahan yang berterima bagi bangsa Belanda dan Indonesia. Pemunculan model dan wujud sistem pemerintahan yang berterima dalam menyelesaikan konflik horizontal dan vertikal dapat hadir sebagai mimikri tetapi dapat pula hadir sebagai hibriditas. Pengidentifikasian dan penganalisisan yang saksama terhadap isi novel Hindia Belanda dapat menetapkan model dan sistem pemerintahan yang berterima dalam penyelesaian konflik sebagai suatu mimikri atau hibriditas dan bukan mimikri sekaligus hibriditas.
Universitas Sumatera Utara
(5) Ada masalah dalam pemunculan hibriditas dari dua budaya –Indonesia dan Belanda- yang mengarah pada sinkretisme. Sinkretisme sebagai sebuah hibriditas memiliki arti kekuatan local genius manusia Indonesia dalam menghadapi budaya asing. Masalahnya, novel Hindia Belanda memberi ruang dan waktu pemunculan hibriditas dengan sinkretisme dan hibriditas tanpa sinkretisme sehingga harus diidentifikasi, dideskripsikan, dan dianalisis dengan cermat serta saksama pemunculan hibriditas dan sinkretisme, baik realitas fiksi maupun realitas historis.
1.3 Batasan Masalah Masalah penelitian ini dideskripsikan dan dianalisis sesuai dengan realitas fiksi dan realitas historis yang terdapat dalam novel Hindia Belanda. Novel tersebut adalah MH karya Multatuli, BNdKK karya M.H. Székely-Lulofs, MB karya Suwarsih Djojopuspito, dan Oe karya Hella S. Haasse. Keempat novel tersebut dijadikan sumber data pengungkapan realitas fiksi dan realitas historis. Realitas fiksi dalam keempat novel sumber data penelitian ini dideskripsikan berdasarkan bentuk dan substansi isi cerita dan wacana. Bentuk dan substansi isi cerita terdiri dari struktur alur, struktur ruang dan waktu, serta struktur fisik, ras, dan relasi gender, sedangkan bentuk dan subtansi isi wacana terdiri dari struktur transmisi narasi. Sebaliknya, realitas historis dideskripsikan dari peristiwa, tempat, waktu, dan pelaku dalam realitas fiksi yang relevan dengan realitas historisnya. Berdasarkan realitas fiksi dan realitas historis novel yang dijadikan sumber data penelitian ini diidentifikasi dan dianalisis mimikri dan hibriditas yang diperluas
Universitas Sumatera Utara
dampaknya sehingga diketahui ambivalensi dan sinkretismenya. Pemunculan ambivalensi sebagai dampak mimikri dan pemunculan sinkretisme sebagai faktor pengontrol hibriditas dianalisis dalam konteks realitas fiksi dan realitas historis yang melatarbelakangi tindakan, kejadian, karakter, serta latar kehidupan dalam novel Hindia Belanda.
1.4 Rumusan Masalah Penelitian ini dilaksanakan dengan didasarkan pada lima rumusan masalah berikut ini. (1) Bagaimanakah struktur penceritaan novel Hindia Belanda dalam mengungkapkan kehidupan bangsa penjajah dan bangsa terjajah di Hindia Belanda, baik berdasarkan realitas fiksi maupun realitas historis? (2) Bagaimanakah mimikri berwujud bentuk peniruan atau penyesuaian etika dan kategori ideal Eropa dalam realitas fiksi novel Hindia Belanda? (3) Bagaimanakah ambivalensi kepribadian bangsa penjajah (Belanda) dan bangsa terjajah (Indonesia) menghadapi proses penyesuaian etika dan kategori ideal dalam novel Hindia Belanda? (4) Bagaimanakah hibriditas model dan wujud kepemimpinan dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda, terutama model dan wujud kepemimpinan yang dominan untuk menyelesaikan konflik horizontal dan konflik vertikal dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda?
Universitas Sumatera Utara
(5) Bagaimanakah sinkretisme dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda menghadapi transformasi budaya Barat di Hindia Belanda?
1.5 Tujuan Penelitian Penelitian ini bermaksud untuk mengungkapkan kondisi bangsa Indonesia dalam benturan peradaban bangsa penjajah dan bangsa terjajah sebagai representasi Barat dan Timur. Untuk mengungkapkan kondisi tersebut maka peneliti menetapkan lima tujuan sebagai lima tahapan pencapaian maksud penelitian novel Hindia Belanda ini. Kelima tujuan penelitian tersebut adalah: (1) Menganalisis struktur penceritaan novel Hindia Belanda sebagai cara pengarang mengungkapkan kehidupan bangsa penjajah dan bangsa terjajah di Hindia Belanda, baik berdasarkan realitas fiksi maupun realitas historis. (2) Menganalisis mimikri berwujud bentuk peniruan atau penyesuaian etika dan kategori ideal Eropa dalam realitas fiksi novel Hindia Belanda. (3) Menganalisis ambivalensi kepribadian bangsa penjajah dan bangsa terjajah menghadapi proses penyesuaian etika dan kategori ideal dalam novel Hindia Belanda. (4) Menganalisis hibriditas model dan wujud kepemimpinan dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda, terutama model dan wujud kepemimpinan yang dominan untuk menyelesaikan konflik horizontal dan konflik vertikal dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda.
Universitas Sumatera Utara
(5) Menganalisis sinkretisme dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda menghadapi transformasi budaya Barat di Hindia Belanda.
1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1
Manfaat Teoretis Manfaat teoretis hasil penelitian poskolonial terhadap novel Hindia Belanda
meliputi tiga hal berikut ini. (1) Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah kajian poskolonialisme terhadap novel yang terbit pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Secara teoretik, kajian poskolonialisme ini mendeteksi realitas fiksi dan realitas historis dalam novel Hindia Belanda berdasarkan teori struktur naratif dan menganalisisnya dari sudut pandang teori poskolonial. (2) Hasil penelitian ini dapat menjadi model penerapan teori poskolonialisme untuk mengungkapkan dampak penjajahan Belanda di Indonesia. Apakah penjajahan tersebut memberi dampak mimikri yang membentuk ambivalensi kepribadian, bahkan, memunculkan hibriditas yang menentukan sinkretisme dapat diuji oleh posisi strategis local genius bangsa Indonesia dalam globalisasi budaya semesta. (3) Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian yang lain, baik penelitian ilmu sastra maupun penelitian ilmu-ilmu lain terhadap wacana poskolonialisme, terutama merekonstruksi dan merevitalisasi wacana mimikri dan hibriditas yang andal dalam kepribadian bangsa Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
1.6.2
Manfaat Praktis Manfaat praktis yang dapat diperoleh dari hasil penelitian ini dapat
diwujudkan pada dua aspek berikut ini. (1) Hasil penelitian ini memberikan model penelitian poskolonial terhadap wacana mimikri dan hibriditas dalam realitas fiksi dan realitas historis novel Hindia Belanda, terutama untuk memahami perilaku bangsa penjajah dan bangsa terjajah sebagaimana terjadi pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. (2) Hasil penelitian ini dapat dijadikan alat proyeksi dalam pembangunan sumber daya manusia Indonesia, sehingga pembangunan kebangsaan Indonesia dapat menghindarkan diri dari model penjajahan Belanda terhadap bangsa Indonesia yang kemungkinan dilakukan oleh bangsa Indonesia kepada bangsanya sendiri. (3) Hasil penelitian ini dapat dijadikan model persahabatan Indonesia-Belanda yang bermartabat, terutama untuk penguatan local genius yang telah diuji oleh proses mimikri, ambivalensi, hibriditas, dan sinkretisme.
1.7 Definisi Istilah Istilah-istilah penting dalam penelitian ini meliputi istilah yang digunakan para teoretikus poskolonial. Istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) Ambivalensi merupakan gejala psikososial yang memperlihatkan penampilan kontradiktif. Menurut Ratna (2008:440), ambivalensi adalah sikap mendua atau berlawanan pada waktu yang sama. Dengan kata lain, menurut Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa (2005:37), ambivalensi ini dapat terjadi karena adanya
Universitas Sumatera Utara
perasaan tidak sadar saling bertentangan terhadap situasi yang sama atau terhadap seseorang pada waktu yang sama. Wacana mimikri yang membentuk sikap ambivalensi dalam penelitian ini untuk menjelaskan keragaman pilihan dalam pembentukan identitas, baik identitas kepribadian maupun identitas kebangsaan bagi bangsa yang terjajah dan bangsa yang penjajah. (2) Bahasa Indonesia adalah bahasa yang digunakan dan dijadikan bahasa nasional oleh bangsa Indonesia sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Bahasa Indonesia dalam konteks penelitian ini memiliki kedudukan yang setara dengan bahasa nasional suatu bangsa, seperti bahasa Belanda, bahasa Inggris, atau bahasa Arab. Oleh karena itu, bahasa Melayu yang dijadikan kerangka dan atau diangkat sebagai bahasa Indonesia pada Kongres Pemuda Indonesia tetap ditempatkan setara dengan bahasa etnik/bahasa daerah. (3) Bahasa Melayu adalah bahasa yang digunakan oleh masyarakat bersuku Melayu yang dijadikan lingua franca di Nusantara, terutama sebelum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Bahasa ini memiliki kedudukan yang setara dengan bahasa suku atau bahasa etnik lainnya, seperti bahasa Jawa dan bahasa Batak. (4) Barat secara harfiah menunjuk pada arah, lawan timur. Secara geografis, dalam kajian ini istilah Barat merujuk pada negara-negara Eropa, termasuk Amerika. Menurut Ratna (2008:442), “Secara luas berarti kebudayaan dengan ciri-ciri hegemoni kekuasaan yang berkembang sejak zaman pencerahan.” (5) Elite adalah kelompok penentu, seperti elite politik yang mementingkan loyalitas, elite ekonomi yang mengutamakan harta benda, elite militer yang
Universitas Sumatera Utara
menjaga stabilitas keamanan, elite budaya yang mengedepankan keaslian, serta elite birokrasi yang memokuskan loyalitas dan keaslian. (6) Elite birokrasi adalah pejabat yang memimpin suatu institusi kenegaraan, baik di tingkat pusat maupun daerah. Menurut Ratna (2008:445), elite birokrasi di Indonesia –terutama Jawa- terbagi dua macam, yaitu elite birokrasi tradisional (bangsawan) dan elite birokrasi modern (priyayi). Elite birokrasi pemerintahan dalam penelitian novel Hindia Belanda ini disebut juga pangreh praja pribumi (Inlandsch Bestuur) yang berfungsi sebagai penghubung antara masyarakat dengan pemerintah kolonial Belanda, seperti Regen dan Demang. Sebaliknya, elite birokrasi perkebunan dalam penelitian ini adalah manajer, asisten, dan mereka yang menyandang penyebutan tuan-tuan kebun di perkebunan karet di Sumatera Timur dan perkebunan teh di Jawa Barat. (7) Hibriditas adalah istilah ilmu hewan dan tumbuh-tumbuhan yang bermakna turunan yang dihasilkan dari perkawinan antara dua jenis yang berlainan. Menurut Ratna (2008: 447), hibriditas dalam humaniora berarti hubungan dua kebudayaan dengan identitas berbeda. Dalam era poskolonial, budaya dan bahasa terjajah tidak dapat disajikan secara murni. (8) Local genius merupakan kemampuan (berbakat) luar biasa dalam berpikir dan mencipta yang berasal dari masyarakat suatu daerah dalam menghadapi budaya asing atau kebudayaan global. (9) Mimikri merupakan bentuk-bentuk peniruan, penyesuaian terhadap etika dan kategori ideal Eropa, seolah-olah sebagai sesuatu yang universal.
Universitas Sumatera Utara
(10) Novel Hindia Belanda novel yang berisi kejadian-kejadian di Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Novel ini ditulis oleh sastrawan berkebangsaan Belanda dan Indonesia yang memperoleh pendidikan Barat pada masa pemerintahan Hindia Belanda. (11) Realitas adalah kenyataan yang terjadi dalam kehidupan, baik realitas fiksi, realitas historismaupun penggabungan realitas fiksi dan realitas historis. (12) Realitas fiksi adalah kenyataan hidup yang terjadi dalam karya sastra, dalam hal ini novel, yang dapat diidentifikasi dari struktur penceritaannya, baik struktur plot, struktur ruang dan waktu, struktur fisik, ras, dan relasi gender, maupun struktur transmisi narasi. (13) Realitas historis adalah kenyataan hidup yang terjadi pada masa yang lampau sebagai hasil rekonstruksi sejarah. (14) Sinkretisme bermakna sutu paham yang mencampuradukkan unsur-unsur yang saling bertentangan. Hal itu terjadi karena masyarakat mengadopsi kepercayaan baru dan berusaha untuk tidak terjadi benturan dengan gagasan dan praktik budaya lama. (15) Timur adalah istilah yang secara harfiah menunjuk pada arah sebelah timur, lawan barat. Akan tetapi, dalam kajian ini istilah Timur merujuk pada masyarakat dan kebudayaan di kawasan Asia Tenggara, terutama yang terhegemoni kekuasaan yang berkembang sejak kolonialisme Barat.
Universitas Sumatera Utara