BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada masa penjajahan Belanda hingga menjelang akhir tahun 1989, Pengadilan Agama di Indonesia eksis tanpa Undang-Undang tersendiri dan terkesan hanya sebagai lembaga hukum pelengkap yang bertugas menceraikan dan merujukkan saja. Setiap kasus waris yang timbul di masyarakat, hanya diberikan "Fatwa Waris"1 bukan penetapan apalagi putusan dari Pengadilan Agama yang berwenang.2 Oleh karena itu pada tanggal 29 Desember 1989 disahkan dan diundangkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang tersebut merupakan rangkaian dari Undang-Undang yang mengatur kedudukan dan kekuasaan peradilan di negara RI. Selain itu, Undang-Undang tersebut melengkapi Undang-Undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 19853 jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara No. 5 Tahun 1986 19864 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004.5 1
Fatwa waris ialah surat keterangan yang menyatakan bagian-bagian dari ahli waris berdasarkan hukum Islam. Norik Indrajit. Surat Keterangan Waris (online), (http://pewarisan.com. index.php?option=com_content&tas-view&did=40&itemd=1, diakses 6 mei 2009). 2 Muhammad Muslih. Hukum Acara Peradilan Agama (online), (http://pkpabhi.files.wordpress .com/2008/08/hkm-acara-peradilan-agama-m-muslihpdf, diakses 1 Mei 2009). 3 Isi UU No. 2 tahun 1986: tentang Susunan Pengadilan, Struktur, Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Umum (online), (http://www.google.co.id /search?g=isi+UU+No.2+tahun+1986 8btngtelusuri 8 hl=id 8 sa=2, diakses 1 Mei 2009). 4 Isi UU No. 2 tahun 1986: tentang Susunan Pengadilan, Struktur, Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Umum (online), (http://www.google.co.id /search?g=isi+UU+No.2+tahun+1986 8btngtelusuri 8 hl=id 8 sa=2, diakses 1 Mei 2009). 5 Isi UU No. 5 tahun 1986 tentang Tugas Pokok, Kedudukan, dan Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara, lihat UU No. 5 Tahun 1986, tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
1
2
Memang agak terlambat lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tersebut dibandingkan dengan landasan lain bagi Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan lainnya. Namun demikian dengan lahirnya UndangUndang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kedudukan dan kekuasaan Peradilan Agama setara dengan lembaga peradilan lainnya. Yang patut disayangkan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tersebut mengandung beberapa kelemahan. Di antaranya terdapat hak opsi dalam penyelesaian perkara waris bagi orang-orang yang beragama Islam di Pengadilan Agama atau di Pengadilan Negeri. Pengadilan Agama tidak berwenang menangani sengketa hak milik dan sebagainya. Dengan adanya desakan dari praktisi hukum maupun masyarakat yang beragama Islam, maka lahirlah Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yang merevisi dan melengkapi Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama di Indonesia.6 Pengadilan Agama merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989.7 Dengan demikian keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam. Setelah Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 diperbaharui dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 pada tanggal 20 Maret 2006, maka
6
Muslih, Hukum Acara …, 3. lsi pasal 2 UU No. 7 tahun 1989 adalah "Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini". Lihat Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. 7
3
rumusan tersebut juga ikut berubah. Hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang Pengadilan Agama bertambah, dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat dalam Pasa1 2 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 adalah: "Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu8 sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini”. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka kewenangan Peradilan Agama bertambah yang semula hanya berwenang mengadili perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shadaqah, kemudian ditambah dengan kewenangan memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam di bidang perkara sengketa ekonomi syariah.9 Masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam menjadi salah satu faktor pendorong berkembangnya hukum Islam di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan mu'āmalah. Lembaga-lembaga ekonomi syari'ah tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan syari'ah, asuransi syari'ah, 8
Dalam definisi Pengadilan Agama tersebut kata "perdata" dihapus, hal ini dimaksudkan untuk: A. memberi dasar hukum kepada Pengadilan Agama dalam menyelesaikan pelanggaran atas Undang-Undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya. B. untuk memperkuat landasan hukum Mahkamah Syari'ah dalam melaksanakan kewenangan di bidang jinayah berdasarkan Qonun. Lihat, Muslih, Hukum Acara Peradilan Agama. 9 Dalam pasal 49 ayat 1 UU No. 3 Tahun 2006 tersebut dalam penjelasannya disebutkan, yang dimaksud dengan ekonomi syari'ah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsipprinsip syari'ah yang meliputi: bank syariah, lembaga keuangan mikro syari'ah, asuransi syari'ah, reasuransi syari'ah, reksadana syari'ah, obligasi syari'ah, dan surat berharga jangka menengah syari'ah, sekuritas syari'ah, pembeayaan syari'ah, pegadaian syari'ah, dana pensiun lembaga keuangan syari'ah dan bisnis syari'ah. Lihat Dadan Muttaqien, Human Assesment Peradilan Agama Pasca UU No. 3 Tahun 2006 (online), (http://journal.uli.ac. id/idex.php/JHI/article/view file/202/191, hal. 25, diakses 3 Mei 2009).
4
pasar modal syari'ah, dan pegadaian syari'ah. Perkembangan ini tentunya juga berdampak pada perkembangan sengketa atau konflik dalam pelaksanaannya, selama ini apabila terjadi konflik dalam bidang ekonomi syari'ah harus melalui Peradilan Umum.10 Menyadari hal ini, maka dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 atas perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 maka ruang lingkup peradilan agama diperluas yang semula hanya tiga bidang saja yang terdiri dari: a. Perkawinan b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam c. Wakaf dan shadaqah Dan apabila kita lihat pada Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 ternyata kewenangan Pengadilan Agama diperluas menjadi sembilan bidang yang terdiri dari: Perkawinan, Kewarisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Shadaqah, Infaq dan Ekonomi syari’ah.11 Dari observasi awal yang penulis lakukan di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun ternyata adanya pencabutan hak opsi dan kewenangan-kewenangan baru di Pengadilan Agama dalam UndangUndang No. 3 Tahun 2006 menimbulkan banyak persepsi yang berbeda di kalangan hakim Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. Hakim Pengadilan Agama berpendapat hak opsi tidak seharusny a diberikan karena membuka kesempatan bagi umat Islam untuk menomorduakan hukum
10
Ibid. Kelik Pramudya, Perubahan Kewenangan Pengadilan Agama Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 (online) (http://click-gtg.blogspot. Com/2008/06/perubahan-kewenanganpengadilan-agama.htmm diakses 1 Mei 2009), 1. 11
5
Islam dan ketika hak opsi dihapus memang perkara waris orang Islam diselesaikan di Pengadilan Agama, selain itu dihapusnya hak opsi juga berarti memperkokoh eksistensi Pengadilan Agama.12 Kemudian hakim Pengadilan Negeri berpendapat, pemberian hak opsi waris lebih menjamin rasa keadilan bagi para pihak yang berperkara dan dengan adanya kewenangankewenangan baru di Pengadilan Agama akan mengurangi volume perkara yang masuk di Pengadilan Negeri.13 Untuk kewenangan baru di bidang ekonomi syari’ah hakim Pengadilan Negeri berpendapat bahwa penyelesaian perkara itu diselesaikan oleh Pengadilan Negeri karena hukum yang digunakan ialah hukum BW (KUH Perdata).14 Sedangkan hakim Pengadilan Agama berpendapat memang seharusnya perkara ekonomi syari’ah itu diselesaikan oleh Pengadilan Agama, karena itu merupakan perkara dalam ruang lingkup hukum Islam, tapi sayangnya sampai saat ini belum ada hukum tersendiri yang mengatur perkara tersebut.15 Dari fenomena di atas, penulis tertarik untuk meneliti bagaimana pengaruh pencabutan hak opsi setelah adanya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 terhadap penerimaan perkara dan bagaimana respon hakim Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri terhadap adanya pencabutan hak opsi dan kewenangan baru di Pengadilan Agama.
12
Lihat transkrip wawancara nomor: 01/1-W/F-1/19-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkrip wawancara nomor: 02/2-W/F-1/7-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 14 Ibid 15 Lihat transkrip wawancara nomor: 01/1-W/F-1/19-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 13
6
B. PENEGASAN ISTILAH 1. Hak Opsi: "Hak" disini adalah kekuasaan yang oleh hukum diberikan kepada seseorang (badan hukum) karena perhubungan hukumnya dengan seseorang (badan hukum) lain.16 Hak opsi disini yaitu hak untuk memilih sistem hukum waris yang dikehendaki para pihak berperkara sebagai acuan hukum yang akan diterapkan dalam penyelesaian suatu perkara. Kalau yang dipilih hukum Islam Peradilan Agama yang berwenang tapi kalau hukum adat atau hukum Eropa, yang dipilih maka menjadi kewenangan Peradilan Negeri atau Peradilan Umum.17 2. Kewenangan Baru: Kewenangan baru disini ialah kewenangan absolut Peradilan Agama. 3. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006: Undang-Undang ini merupakan Undang-Undang tentang Peradilan Agama yang merupakan revisi dari Undang-Undang No. 7 tahun 1989.
16
Hak dapat di bagi menjadi dua yaitu hak mutlak (absolut) dan hak relatif (nisbi) hak mutlak (absolut) adalah setiap kekuasaan mutlak yang oleh kukum diberikan kepada subjek hukum untuk berbuat sesuatu atau untuk bertindak buat kepentingannya. Hak mutlak ini di bagi menjadi 3 golongan yaitu hak asasi manusia, hak publik, absolut, dan sebagian dari privat yang terdiri dari hak pribadi manusia, hak keluarga dan hak-hak mengenai harta kekayaan. Sedangkan hak relatif (nisbi) adalah setiap kekuasaan yang oleh hukum di berikan kepada subyek hukum untuk memberi sesuatu. Hak relatif ini dibagi juga menjadi 3 golongan yaitu hak publik, relatif hak keluarga relatif, dan hak kekayaan relatif . Lihat, asisten Ahli pada jurusan syariah STAIN Ponorogo, Ilmu Hukum (Ponorogo; Lembaga penerbitan dan pengembangan ilmiah STAIN Ponorogo, 2005), 46-47. 17 M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Jakarta: Sinar Grafika, 2003), 160-161.
7 4. Peradilan Agama: Peradilan18 Agama ialah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.19 5. Peradilan umum: Ialah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.20
C. Fokus Penelitian Berangkat dari uraian di atas, penelitian ini difokuskan pada: 1. Penerimaan perkara sebelum dan pasca Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun. 2. Respon hakim terhadap adanya pencabutan hak opsi dan perubahan serta penambahan kewenangan baik di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri.
18
Kata Peradilan “berasal dari kata” adil dengan awalan “per” dengan imbuhan “an” yang berarti sesuatu yang ada hubungannya dengan masalah urusan tentang adil, kata peradilan sebagai terjemahan dari “qadha” yang berarti memutuskan, melaksanakan, menyelesaikan, tentang adil. Lihat Depdikbud, kamus Besar Bahasa Indonesia cet. III (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 7. Lihat juga dalam Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir (kamus Arab Indonesia) Cet. III (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 1130. 19 Lihat pasal 2 Undang-Undang nomor 3 Tahun 2006. 20 Lihat UU No. 8 Tahun 2004 tentang peradilan umum, merupakan perubahan atas UU No. 2 Tahun 1986 tentang peradilan umum.
8
D. Rumusan Masalah Berdasarkan fokus penelitian di atas, maka masalah penetitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana jumlah penerimaan perkara sebelum dan pasca UndangUndang No. 3 Tahun 2006 yang diberlakukan baik di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun? 2. Bagaimana respon hakim terhadap adanya pencabutan hak opsi dan perubahan kewenangan baik di Pengadilan Agama maupun di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun?
E. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menjelaskan jumlah penerimaan perkara baik di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri serta adanya pencabutan hak opsi yang sebelumnya diatur oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dan direvisi oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, yang didalamnya ada penambahan kewenangan baru, dalam hal ini mampukah Pengadilan Agama menjalankan eksistensinya sebagai lembaga hukum, secara spesifik deskripsi ini mencakup: 1. Penerimaan perkara sebelum dan pasca adanya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri. 2. Respon hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri terhadap adanya pencabutan hak opsi dan kewenangan baru dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006.
9
F. Manfaat Penelitian Secara teoritis, dari penelitian ini ditemukan pola penerimaan perkara pasca Undang-Undang No 3 Tahun 2006 baik di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri, serta adanya kewenangan baru di lingkungan Pengadilan Agama, sehingga eksistensi dan perkembangan pengadilan 'tidak hanya sebagai institusi hukum, melainkan juga sebagai institusi sosial yang mana bukanlah sebuah institusi yang berdiri sendiri dan bekerja secara otonom. Tetapi senantiasa berada dalam proses pertukaran (interaksi) dengan lingkungannya. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi mahasiswa syari'ah untuk menambah wawasan mengenai kewenangan baru di Pengadilan Agama pasca Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yang di dalamnya terdapat pencabutan hak opsi bagi perkara waris dan kewenangan-kewenangan baru di dalamnya, dan juga bagi dosen syariah atau tenaga pendidik dengan melihat kewenangan baru di Pengadilan Agama pasca Undang-Undang No 3 Tahun 2006 dalam menentukan pola baru dalam pembelajaran, khususnya di Jurusan Ahwalussyahshiyah dalam menciptakan mahasiswa-mahasiswa yang terdidik dan mempunyai skill yang cukup untuk terjun di lapangan.
G. Telaah Pustaka Sejauh pengetahuan penulis, telah banyak buku-buku, artikel-artikel, dan tulisan-tulisan yang membahas tentang pencabutan hak opsi pada perkara waris dan kewenangan baru di ruang lingkup Peradilan Agama, diantaranya
10
M. Yahya Harahap dalam bukunya “Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama” dijelaskan bahwa terkait dengan pembagian warisan, ada istilah yang disebut dengan istilah hak opsi. Adapun yang dimaksud dengan hak opsi dalam perkara warisan ialah hak memilih hukum warisan apa yang dipergunakan dalam menyelesaikan pembagian warisan.
Hak opsi dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dijumpai dalam bagian penjelasan umum angka 2 alenia 6 yang berbunyi: “Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak yang berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan”.21 Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 hak opsi bagi perkara waris dinyatakan dihapus.22 Kelik
Pramudya
dalam
artikelnya
yang
berjudul
“Perubahan
Kewenangan Pengadilan Agama menurut Undang-Undang No. 3 tahun 2006, menjelaskan bahwa hapusnya hak opsi memberi efek positif bagi kepastian hukum antara pihak yang bersengketa, dimana memberi kejelasan tentang kewenangan badan peradilan mana yang akan memeriksa dan memutus perkara tentang sengketa hak milik atau hak keperdataan lainnya.23 Di dalam artikelnya yang berjudul “Persepsi hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri pasca amandemen Undang-Undang No. 7 tahun 1989”, Dewi Siti Muzaidah menjelaskan bahwa adanya pencabutan hak opsi tersebut menimbulkan persepsi yang berbeda di kalangan hakim baik di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, hakim Pengadilan Agama berpendapat hak opsi tak seharusnya diberikan karena membuka kesempatan bagi umat Islam 21
Harahap, Kedudukan …., 160. Lihat Penjelasan umum UU No. 3 tahun 2006. 23 Pramudya, Perubahan …, 1. 22
11
untuk menomorduakan hukum waris Islam, ketika hak opsi dihapus, memang seharusnya perkara waris orang Islam diselesaikan di Pengadilan Agama, selain itu dihapusnya hak opsi juga berarti memperkokoh eksistensi Pengadilan Agama. Kemudian Hakim Pengadilan Negeri berpendapat, pemberian hak opsi waris lebih menjamin rasa keadilan, ketika hak opsi dihapus akan mempermudah kinerja hakim dan mengurangi volume perkara yang masuk di Pengadilan Negeri.24 Abdul Ghofur Anshori dalam bukunya “Peradilan Agama Pasca UU No. 3 Tahun 2006: sejarah, kedudukan, dan kewenangan, di dalam buku ini dibahas secara komprehensif mengenai Peradilan Agama di Indonesia yang dimulai dengan sejarah Peradilan Agama pasca kolonial hingga Peradilan Agama pasca Undang-Undang No. 3 tahun 2006 yang poin intinya adalah berupa kewenangan Peradilan Agama dalam menerima, memeriksa, dan memutus sengketa di bidang ekonomi, syariah, dan pembahasan mengenai Peradilan Syariah di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.25 Dalam artikelnya yang berjudul ”Paradigma Baru Peradilan Agama”, Ahsan Dawi Mansur menjelaskan bahwa kewenangan peradilan agama yang semakin luas harus diimbangi dengan peningkatan sumber daya manusia (SDM) aparatur pengadilan, sarana dan prasarana yang memadai, serta ketentuan hukum yang aplikatif. Dengan demikian paradigma baru peradilan
24
Dewi Siti Muzaidah, Persepsi Hakim PA dan PN pasca Amandemen UU No. 7 Tahun 1989, (online), (http://digilib.sunan-ampel.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&jd=jtptiair-gdl-512007-dewisitimu, diakses 10 Juni 2009). 25 Abdul Ghofur Anshori, Peradilan Agama Pasca UU No. 3 Tahun 2006: Sejarah, Kedudukan dan Kewenangan (Yogyakarta: UII Press, 2007).
12
agama benar-benar dapat menjawab tuntutan dan problem hukum yang berkembang di masyarakat.26 Dari buku-buku, artikel-artikel, dan penelitian-penelitian di atas belum ada yang membahas secara spesifik penerimaan perkara pasca UndangUndang No. 3 Tahun 2006, oleh karena itu penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh dampak adanya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 terhadap penerimaan perkara baik di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun.
H. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam penelitian ini digunakan metodologi penelitian yang menggunakan
pendekatan
kualitatif,27
yaitu
prosedur
penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat dialami.28 Ciri khas penelitian kualitatif tidak dapat dipisahkan dari pengamatan berperan serta, sebab peranan penelitilah yang menentukan keseluruhan skenarionya.29 Untuk itu, dalam penelitian ini, peneliti bertindak sebagai instrumen kunci, 26
Ahsan Dawi Mansur, Paradigma Baru Peradilan Agama (online), (http://www.pawonosari.net/asset/paradigma-baru-pa.pdf., diakses 20 Mei 2009). 27 Penelitian ini bermaksud untuk mengungkapkan gejala holistik-kontekstual melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrument kunci. Basuki, “Pengantar Metodologi Penelitian”, 2. Naskan tidak diterbitkan, Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2005). 28 Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), 3. 29 Pengamatan berperan serta adalah sebagai penelitian yang bercirikan interaksi sosial yang memakan waktu cukup lama antara peneliti dengan subyek dalam lingkungan subyek, dan selama tu data dalam bentuk catatan lapangan dikumpulkan secara sistematis dan catatan tersebut berlaku tanpa gangguan. Ibid., 17.
13
partisipan penuh sekaligus pengumpul data, sedangkan instrumen yang lain sebagai penunjang. 2. Lokasi Penelitian Penulis mengadakan penelitian ini di Pengadilan Agama Kabupaten Madiun yang beralamat di Jalan Raya Tiron km 6 Nglames, Madiun dan Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun yang beralamat di jalan Soekarno Hatta No. 15 Demangan Madiun. 3. Sumber Data Yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian ini adalah subyek dari mana data tersebut dapat diperoleh.30 Sedangkan dalam penelitian ini penulis sengaja menggunakan sumber data primer yakni semua yang diperoleh dari penelitian lapangan dan beberapa teks yang berkaitan dengan pencabutan hak opsi pada perkara waris dalam UndangUndang No. 3 tahun 2006 dan kewenangan baru di Pengadilan Agama. Sedangkan sumber data sekunder penulis ambil dari buku-buku atau tulisan-tulisan lainnya yang secara langsung maupun tidak berhubungan dengan obyek penelitian. 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk
mengumpulkan
data
dalam
penelitian
ini,
penulis
menggunakan metode sebagai berikut: a. Metode interview, yaitu wawancara yang dilakukan kepada subyek penelitian berdasarkan pada tujuan penelitian. 30
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Penelitian Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 107.
14
b. Metode dokumentasi, yaitu mencari data dengan cara mengumpulkan dan mengamati data-data yang berupa laporan tahunan tentang masuknya perkara baik di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri dan catatan-catatan yang valid yang berhubungan dengan obyek penelitian. 5. Teknik Pengolahan Data Dalam pembahasan permasalahan skripsi ini penulis menggunakan metode pengolahan data sebagai berikut: a. Editing
: pemeriksaan kembali semua data yang diperoleh terutama dari segi perlengkapannya, keselarasan satu dengan yang lainnya.
b. Organizing
: penyusunan data secara sistematika dalam bentuk paparan sebagaimana yang telah direncanakan sesuai dengan rumusan masalah.
c. Penemuan hasil : penganalisaan pengorganisasian
lanjutan data
terhadap sehingga
hasil diperoleh
kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah. 6. Teknik Analisa Data Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif mengikuti konsep yang diberikan Miles & Huberman. Miles & Huberman mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara
15
terus menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas dan datanya sampai jenuh. Aktifitas dalam analisis data terdiri dari: a. Collection
: Pengumpulan data.
b. Reduksi
: membuang
data
yang
tidak
penting
dan
memgambil data yang penting. c. Display
: memasukkan hasil reduksi ke dalam pola-pola.
d. Conclusion
: penarikan kesimpulan yang mana dalam penelitian ini kesimpulan awal masih bersifat sementara dan akan berubah bila ditemukan data-data baru dan bukti-bukti kuat di lapangan.
Kemudian model interaktif dalam analisis data ditunjukkan pada gambar berikut:31 Data collection
Data reduction
Data display
Conclussions: Drawing/verifying
7. Tahap-tahap dan Jadwal Penelitian Dalam penelitian ini ada 3 (tiga) tahapan penelitian, dan ditambah dengan tahap terakhir dari penelitian yaitu tahap penulisan laporan hasil penelitian. Tahap-tahap penelitian tersebut adalah sebagai berikut dibawah ini: 31
Mattew B. Miles & A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, Terj. Tjetjep Kohendi Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992), 20.
16
a. Tahap Pra Lapangan, yang meliputi: menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan, menjajagi dan menilai keadaan lapangan, memilih dan memanfaatkan informan, menyiapkan perlengkapan penelitian dan yang menyangkut persoalan etika penelitian. b. Tahap Pekerjaan Lapangan, yang meliputi: memahami latar penelitian dan persiapan diri, memasuki lapangan dan berperan serta sambil mengumpulkan data. c. Tahap Analisis Data, yang meliputi: analisis data selama pengumpulan data dan setelah pengumpulan data. d. Tahap Penulisan Hasil Laporan Penelitian
I. Sistematika Pembahasan Agar penulis memperoleh bentuk tulisan yang ilmiah sistematis dan kronologis, maka penulis memaparkan beberapa bab yang secara sistematis terurai sebagai berikut: Bab I
: Di dalam skripsi ini diawali dengan bab pendahuluan secara implisit merupakan pola awal untuk kesinambungan bagi bab-bab selanjutnya. Karena dari bab ini dapat diketahui kemana arah pembahasan dan pembatasan permasalahan yang ada. Dengan demikian terlebih dahulu penyusun memaparkan beberapa uraian yang meliputi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
17
penelitian, telaah pustaka, metode penelitian, tahap-tahap penelitian,
dan
jadwal
penelitian
serta
sistematika
pembahasan. Bab II
: Berisi tentang dinamika hukum dalam sejarah Perjalanan Peradilan
Agama.
Sesudah
itu
dipaparkan
tentang
munculnya sistem Peradilan Agama di masa awal Islam masuk di Nusantara sampai pada kolonialisme pada sub bab pertama. Dan pembahasan dibagi dalam beberapa periode yang telah dipetakan: masa awal pelembagaan hukum Islam, masa kolonialisme atau VOC, masa kolonialisme Belanda, masa
kolonialisme
perkembangan
Jepang.
Peradilan
Pada
Agama
sub pada
bab
kedua
masa
awal
kemerdekaan. Pada sub bab ketiga pasca Orde Lama sampai diundangkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Pada sub bab keempat menerangkan tentang hak opsi dalam sengketa waris dalam Undang-Undang No. 7 tahun 1989 butir 2 alenia 6, kemudian yang terakhir sub bab kelima menerangkan tentang adanya pencabutan hak opsi dalam sengketa waris dan penambahan kewenangan baru di Pengadilan Agama. Bab III
: Berisi tentang penerimaan perkara di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Kabupaten Madiun serta kewenangan baru pasca Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, dan respon
18
hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun akan adanya pencabutan hak opsi waris dan kewenangan baru di Pengadilan Agama. Bab IV : Berisi tentang analisa terhadap prosedur penerimaan perkara di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun sebelum dan pasca Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 pada sub bab pertama, kemudian dalam sub bab kedua dipaparkan analisa terhadap respon hakim Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri terkait pencabutan hak opsi dan kewenangan baru dalam Undang-Undang tersebut. Bab V
: Bagian akhir dari penyusunan skripsi ini berisi tentang kesimpulan dan saran-saran.
19
BAB II DINAMIKA SEJARAH PERJALANAN PERADILAN AGAMA
DAN
PERADILAN NEGERI
A.
Pengadilan Agama 1. Sejarah Peradilan Agama a.
Peradilan Agama Masa Pemerintahan Kolonial Belanda Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda terdapat beberapa lingkungan Peradilan yang mempunyai susunan, wilayah, dan kekuasaan yang berbeda-beda sebagai berikut:32 1) Peradilan Pemerintah (Governements Rechtspraak), tersebar di seluruh wilayah Hindia Belanda yang terdiri dari Peradilan untuk golongan Eropa disebut Landrechter (peradilan tingkat pertama), Raad van Justitie (peradilan tingkat kasasi). Untuk golongan Indonesia dilakukan oleh Landraad dan Landgerecht (Pengadilan Kabupaten dan Pengadilan Negeri). 2) Peradilan Swapraja. Peradilan Swapraja terdapat di seluruh daerah Swapraja dan berlaku bagi warga Swapraja. 3) Peradilan Adat. Peradilan ini berlaku untuk daerah diluar Jawa dan Madura. 4) Peradilan Agama. Peradilan Agama ada yang diatur langsung oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan ada yang didirikan di daerah Swapraja oleh Kepala Swapraja atau Kepala Adat. 5) Peradilan Desa. Peradilan Desa memutuskan perkara-perkara yang menyangkut perselisihan masyarakat desa, hakim bersifat mendamaikan. Pemerintah Hindia Belanda secara tegas mengakui bahwa Undang-Undang 19 Islam (hukum Islam) berlaku bagi orang Indonesia yang beragama Islam. Pengakuan ini tertuang dalam peraturan perundang-undangan tertulis pada pasal 78. Reglement op de belied der Regeerings van Nederlandsch Indie disingkat dengan Regeerings
32
Cik Hasan Basri, Peadilan Agama di Indonesia (Jakarta: Rajawali, 2000), 116.
20
Reglement (RR) Staatsblad Tahun 1854 Nomor 129 dan Staatsblad Tahun 1855 Nomor 2. Peraturan ini secara tegas mengakui bahwa telah diberlakukan UndangUndang Agama (Godsdientige Wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia.33 Pasal 78 RR berbunyi: “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia asli atau dengan orang yang dipersamakan dengan mereka maka mereka tunduk kepada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut Undang-Undang Agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka”. Pemerintah Belanda secara tegas telah membentuk Peradilan Agama berdasarkan Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 tentang Pembentukan Peradilan Agama di Jawa dan Madura. Kekuasaan dan wewenang Peradilan Agama terbatas pada masalah-masalah muamalah yang bersifat pribadi. Masalah-masalah ibadah seperti puasa, salat, zakat tidak merupakan masalah yang dibawa ke Peradilan Agama. Hukum mu’āmalah terbatas pada masalah nikah, cerai, rujuk, dan lainlain.34 Pengakuan hukum Islam yang berlaku bagi orang Indonesia pada waktu itu menurut penulis Belanda Van de Berg mengemukakan sebuah teori yang disebut Teori Receptio Complexu yang artinya bagi orang Islam berlaku hukum Islam walaupun terdapat penyimpangan-penyimpangan. Teori Receptio in Complexu yang dikemukakan Van de Berg mendapat kritikan tajam oleh Snouck Horgronje karena Teori Receptio in Complexu bertentangan dengan kepentingan-kepentingan pemerintah Hindia Belanda dan akhirnya mengemukakan Teori Receptio yang menurut teori ini hukum yang berlaku di Indonesia adalah Hukum Adat asli. Hukum Islam telah berpengaruh dalam
33 M. Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama (Jakarta: Ind.Hill.Co, 1991), 65. 34 Taufiq Hamami, Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama Dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia (Bandung: Alumni, 2003), 20.
21
Hukum Adat. Hukum Islam baru mempunyai kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh Hukum Adat.35 Teori Receptio bertujuan untuk mengurangi peranan hukum Islam dengan mengedepankan Hukum Adat atau bahkan mengganti hukum Islam dengan Hukum Adat. Selain itu bertujuan untuk memperkuat Pemerintah Kolonial dan adanya kepentingan Pemerintah Kolonial dalam penyebaran agama Kristen di wilayah Hindia Belanda. Karena pengaruh Teori Receptio pasal 78 RR Staatsblad Tahun 1885 Nomor 2 mengalami beberapa kali perubahan dengan Staatsblad Tahun 1904 Nomor 304 dan Staatsblad 1907 Nomor 204, kemudian diubah lagi menjadi Staatsblad Tahun 1919 Nomor 286 dan 621. Perubahan-perubahan itu semakin mengurangi peranan hukum Islam diberlakukan bagi penduduk Hindia Belanda.36 Pada Tahun 1925 Regeeerings Reglement (RR) yang merupakan UndangUndang dasar bagi Hindia Belanda diubah menjadi Wet op de Staats Inrichting van Nederlands Indie (Indische Staatsregeling). Berdasarkan Staatsblad Tahun 1925 Nomor 416 pasal 78 RR (1919) tidak mengalami perubahan isi. Karena teksnya membingungkan maka dengan Staatsblad 1925 Nomor 447 pasal 131 IS keseluruhan teks diubah. Hukum Islam sama sekali tidak mempunyai kedudukan yang mandiri setelah pasal 78 RR diubah dengan Staatsblad Tahun 1929 Nomor 221 pasal 134 ayat (2) IS yang bunyinya: “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila keadaan tersebut telah diterima oleh Hukum Adat mereka dan sejauh tidak ditentukan lain oleh ordonansi”.37 Adanya perubahan bunyi pasal 134 ayat (2) IS maka terjadi pengurangan wewenang kekuasaan Peradilan Agama di Jawa dan Madura. Jika dalam Staatsblad Tahun 1882 Nomor 182 tentang Pembentukan Pengadilan Agama di Jawa dan 35
Ramulyo, Beberapa Masalah ..., 67. Ibid. 37 Ibid., 70. 36
22
Madura kekuasaan Pengadilan Agama lebih luas sedangkan dengan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 tentang Kewenangan Peradilan Agama Jawa dan Madura, dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 610 tentang Pembentukan Pengadilan Tingkat Banding (Hot Voor Islamietische Zaken) atau mahkamah Islam Tinggi kekuasaan Peradilan Agama semakin berkurang.38 Kekuasaan dan kewenangan Peradilan Agama Jawa dan Madura meliputi: 1) Perselisihan hukum antara suami istri yang beragama Islam. 2) Perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk, perceraian antara orang-orang Islam yang harus diputus oleh hakim agama. 3) Menyatakan perceraian. 4) Menyatakan bahwa syarat-syarat taklik talak sudah berlaku. 5) Perkara mahar atau mas kawin. 6) Perkara nafkah wajib suami kepada istri. Di luar Jawa dan Madura Peradilan Agama dibentuk Pemerintah Kolonial Belanda berdasarkan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan 639 tentang Pengaturan dan Pembentukan Kerapatan Qadî Besar. Kewenangan dan kekuasaan mengadili Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura meliputi juga perkara warisan. Hal ini menunjukkan bahwa kewenangan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura lebih luas daripada kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan Madura.39 b.
Peradilan Agama Masa Pendudukan Jepang Penaklukan Jepang atas wilayah Indonesia hanya memakan waktu kurang dari dua bulan. Jawa jatuh satu minggu pada 8 Maret 1942. Dalam arti sebenarnya, Pemerintah Belanda dengan semua bentuk kehebatan solidaritasnya, secara praktis, dan efisien, hancur dalam sekecap mata.40 Peristiwa ini menandai titik balik yang sangat kentara dalam sejarah Indonesia. Penaklukan Jepang atas kepulauan
38
Hamami, Kedudukan dan Eksistensi …, 21. Ramulyo, Beberapa Masalah, 109-111. 40 Antony Reid, The Indonesian National Revolution 1945-1950 (Connecticut: Green, Wood Press, 1974), 10. 39
23
nusantara ini dan atas Asia Tenggara secara umum, merupakan pukulan telak bagi harga diri Barat.41 Dalam aspek perkembangan hukum, masa penjajahan Jepang (1942-1945) tidak terjadi perubahan yang mendasar tentang posisi pengadilan agama. Karena berdasarkan peraturan yang dikeluarkan Pemerintah Bala Tentara Jepang melalui dekritnya No. 1 Tahun 1942 menyatakan, semua badan pemerintah beserta wewenangnya, semua undang-undang, tata hukum dan semua peraturan dari pemerintahan yang lama dianggap masih tetap berlaku dalam waktu yang tidak ditentukan selama tidak bertentangan dengan peraturan Pemerintah Bala Tentara Jepang. Kemudian dekrit No. 14 Tahun 1942 tanggal 29 April menetapkan bahwa susunan peradilan sipil di Jawa dan Madura masih tetap berlaku sebagaimana sebelumnya, hanya saja nama-namanya disesuaikan dengan nama dan sebutan dalam bahasa Jepang, untuk nama kedudukan para pejabat dan nama kantor, sementara fungsi dan wewenangnya sama dengan masa kolonial Belanda.42 Penggantian nama terjadi, misalnya Pengadilan Distrik diganti dengan Gun Hooin, Pengadilan Kabupaten diganti dengan Ken Hooin, Rad van justitie (pengadilan negeri) diganti dengan Tihoo Hooin, sementara Pengadilan Agama diganti dengan nama Sooryo Hooin. Pada saat yang sama pengadilan Residensi dan Raad van Justitie bagi golongan Eropa, keduanya sebagai pengadilan tingkat pertama dihapus, sehingga seluruh perkara banding yang telah diajukan kepadanya sebelum dekrit Nomor 14 Tahun 1942 ini dianggap tidak pernah diajukan. Disamping itu, sejak waktu ini didirikan Pengadilan Militer yang harus mengadili orang-orang dalam golongan tertentu.
41
Ratna Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia (Jakarta: INIS, 1998), 50. 42 Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 1983), 87.
24
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 1942 tanggal 26 September 1942 mencabut dekrit Nomor 14 Tahun 1942, dan menetapkan tetap berlakunya semua pengadilan yang sudah ada dengan tambahan berdirinya kembali Kootoo Hooin dan Saikoo Hooin dengan tugas wewenangnya pada waktu sebelumnya, yaitu masa pemerintah Belanda. Yang dimaksud dengan Kootoo Hooin adalah pengadilan biasa untuk perkara perdata dan pidana bagi golongan Eropa termasuk Tiong Hoa. Sedang yang dimaksud dengan Saikoo Hooin adalah Pengadilan Tertinggi yang mengadili perkara pidana bagi pejabat tinggi yang juga merupakan pengadilan banding baik untuk perkara perdata maupun pidana. Pada masa pendudukan Jepang, meski belum sempat diterapkan, kedudukan peradilan agama pernah terancam yaitu tatkala pada akhir Januari 1945 pemerintah balatentara
Jepang
(Guiseikanbu)
mengajukan
pertanyaan
kepada
Dewan
Pertimbangan Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka maksud Jepang akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, yaitu bagaimana sikap Dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan agama dalam negara Indonesia merdeka kelak. Pada 14 April 1945 Dewan memberi jawaban sebagai berikut: “Dalam negara baru yang memisahkan urusan negara dengan urusan agama tidak perlu mengadakan pengadilan agama sebagai pengadilan istimewa, untuk mengadili urusan seseorang yang bersangkut paut dengan agamanya cukup segala perkara diserahkan kepada pengadilan biasa yang dapat minta pertimbangan seorang ahli agama.43 Masa pendudukan Jepang ini ahli-ahli hukum Indonesia memikirkan untuk menghapus pengadilan agama. Pemikiran ini muncul dari Soepomo, penasihat Departemen Kehadikan ketika itu dan ahli hukum adat. Ia setuju agar hukum Islam tidak berlaku dan ingin menegakkan hukum adat. Dalam hal ini ia setuju dengan pendapat kalangan ahli hukum Belanda. Tetapi usul Soepomo dalam suatu laporan tentang pengadilan agama itu diabaikan oleh Jepang saja, karena khawatir akan
43
Zuffran Sabrie, Peradilan Agama di Indonesia,: Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya (Jakarta: DEPAG RI, 1999), 19.
25 menimbulkan protes dari umat Islam.44 Kebijakan Pemerintah Bala Tentara Jepang untuk tidak mengganggu gugat persoalan agama, sebab tindakan itu dapat merusak ketenteraman konsentrasi Jepang. Oleh sebab itu Jepang memilih untuk tidak ikut campur soal urusan agama umat. c.
Peradilan Agama Pasca Kemerdekaan Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945, atas usul Menteri Agama yang disetujui Menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa Pengadilan Agama diserahkan dari kekuasaan Kementerian Kehakiman kepada Kementerian Agama dengan ketetapan pemerintah nomor 5/SD tanggal 25 Maret 1946. Sebelum merdeka, pegawai Pengadilan Agama dan hakim tidak mendapat gaji tetap dan honorarium dari pemerintah, maka setelah merdeka anggaran belanja pengadilan agama disediakan oleh pemerintah. Meski Ketua Pengadilan Agama mendapat gaji pada masa kolonial Belanda, tetapi ketika itu gaji itu diberikan bukan atas nama sebagai pegawai pengadilan agama, tetapi menerima gaji sebagai Islamitisch Adviseur pada Landraad. Peraturan sementara yang mengatur peradilan agama tercantum dalam Verodening 8 Nopember 1946 dari Chief Commanding Officer Alied Militery Administration Civil Affairs Branch. Melalui Verodening ditetapkan adanya pengadilan penghulu (Penghoeloe gerecht) yang terdiri seorang ahli hukum Islam sebagai ketua yang dibantu oleh dua orang anggota dan seorang panitera, sedangkan wewenangnya sama dengan Priesterraad sebelumnya. Sejalan dengan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, dasar dan wewenang kekuasaan peradilan agama masih tetap berlaku sebagaimana sebelum Proklamasi, baik di Jawa dan Madura, di Kalimantan Selatan maupun di daerah-daerah lain. Selama revolusi fisik pada umumnya tidak ada perubahan tentang dasar peraturan peradilan agama secara prinsipal, selain usaha-usaha pelestarian peradilan agama itu sendiri. Selama revolusi fisik yang patut dicermati adalah:
44
Noer, Administrasi Islam, 87.
26
Pertama, keluarnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk menggantikan ordonansi NTR dahulu. Karena berdasarkan pertimbangan bahwa peraturan nikah, talak dan rujuk seperti yang diatur di dalam Huwelijksordonantie S. 1929 No. 348 jo. s. 1931 No. 467, vorszenlandsche huelijksordonantie Buitengewesten 8. 1932 No. 482 tidak sesuai lagi dengan keadaan sedangkan pembuatan peraturan baru mengenai hal tersebut tidak mungkin dilaksanakan dalam waktu singkat, maka sambil menunggu peraturan baru untuk memenuhi keperluan yang sangat mendesak, pada tanggal 21 Nopember 1946 disahkan dan diundangkanlah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Undang-Undang ini hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Dengan keluarnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, maka segera diambil tindakan dengan jalan memisahkan urusan Pendaftaran Nikah, Talak dan Rujuk dari Pengadilan Agama. Penghulu Kepala yang tadinya merangkap Ketua Pengadilan Agama tidak lagi mencampuri urusan pengadilan dan oleh sebab itu terbentuklah penghulu kabupaten yang diserahi urusan kepenghuluan disamping Penghulu Hakim yang dikhususkan menangani pengadilan agama saja dengan mendapat gaji dan tingkat serta kedudukan sebagai penghulu kepala. Seluruh biaya tata usaha pengadilan menjadi tanggungjawab negara, sedangkan pegawai-pegawainya panitera dibayar dengan gaji tetap dan ongkos perkara harus disetorkan ke Kas Negara.45
Kedua, keluarnya penetapan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1947 tentang penetapan formasi pengadilan agama terpisah dari penghulu Kabupaten, dengan kata lain pemisahan tugas antara Penghulu Kabupaten sebagai Kepala Pegawai Pencatat Nikah dan urusan kepenghuluan lainnya dengan penghulu hakim sebagai ketua pengadilan agama, juga sebagai Qadî hakim shyar’î. 45
Sabrie, Peradilan Agama di Indonesia, 20-21.
27
Ketiga, keluarnya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 yang tidak pernah dinyatakan berlaku, isinya antara lain dihapuskannya susunan pengadilan agama yang telah ada selama ini, tetapi materi hukum yang menjadi wewenangnya ditampung dan dimasukkan di pengadilan negeri yang secara istimewa diputus oleh dua orang hakim ahli agama disamping hakim yang beragama Islam sebagai ketua. Kewenangan Pengadilan Agama dimasukkan dalam Pengadilan Umum secara istimewa yang diatur dalam pasal 35 ayat (2), pasal 75 dan pasal 33. UndangUndang ini merupakan aturan yang penting tentang peradilan dalam masa pemerintahan Republik Indonesia Yogyakarta. Undang-Undang ini bermaksud mengatur mengenai peradilan dan sekaligus mencabut serta menyempurnakan isi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1947 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksanaan yang mulai berlaku pada tanggal 3 Maret 1947. Sehubungan dengan lingkungan Peradilan, Undang-Undang ini menetapkan tiga lingkungan Peradilan yaitu; (1) Peradilan Umum, (2) Peradilan Tata Usaha Negara dan (3) Peradilan Ketentaraan. Dari ketentuan di atas ternyata tidak ada lingkungan tersendiri dari Peradilan Agama. Lalu bagaimana dengan Peradilan Agama yang pada waktu itu telah ada? Tidak ada ketentuan yang tegas menghapuskan Peradilan Agama. Dalam Pasal 35 ayat (2) dinyatakan bahwa perkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum agamanya, harus diperiksa oleh Pengadilan Negeri, yang terdiri dari seorang Hakim yang beragama Islam, sebagai Ketua dan dua orang Hakim ahli agama Islam sebagai anggota yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman. Pasal 53 dan Pasal 75 menentukan bahwa dalam Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, ada satu bagian yang memeriksa dan memutus perkara-perkara yang sebelumnya diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri dalam peradilan tingkat pertama, Pengadilan Tinggi dalam peradilan tingkat banding dan Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi.
28
Perbedaan antara bagian Islam dari Pengadilan ini dan bagian lain ialah bahwa bagian Islam, juga dalam peradilan tingkat (Pengadilan Negeri) memutus dengan 3 (tiga) Hakim dan dalam semua tingkatan peradilan dengan seorang Hakim Ahli Agama Islam sebagai anggota yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan Menteri Kehakiman. Undang-Undang ini ditetapkan oleh Wakil Presiden pada tanggal 8 Juli 1948. Menurut ketentuan Pasal 72, berlakunya Undang-Undang akan ditetapkan oleh Menteri Kehakiman. Terhadap policy Undang-Undang ini timbul reaksi dari berbagai pihak. Dari ulama Sumatera seperti Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Selatan menolak kehadiran Undang-Undang tersebut dan mengusulkan agar Mahkamah Syari’ah yang sudah ada tetap berjalan dan itu yang diatur oleh Menteri Agama dan Menteri Kehakiman. Dengan banyaknya reaksi tersebut, dan karena Undang-Undang tersebut tidak sesuai dengan kesadaran masyarakat, Undang-Undang tersebut tidak pernah dinyatakan berlaku.46 Keempat, keputusan Recomba Jawa Barat No. Rec. Wj 229/72 tanggal 2 April 1948 dan peraturan yang tercantum dalam Javaassche Courant 1946 No. 32 dan 39 Tahun 1948 nomor 25, dan 1949 No. 29 dan 65 menentukan bahwa di daerah-daerah yang dikuasai tentara sekutu dan Belanda, instansi yang dinamakan Priesterraad diubah menjadi penghulu Gerecht. Mungkin berdasarkan peraturan Darurat Markas Besar Komando Jawa No. 46/MBKD/49 tentang pengadilan pemerintah militer, atas kebijaksanaan komandan sub teritorial comando dibentuk pengadilan agama darurat di beberapa tempat. Disamping itu juga dibentuk Majelis Ulama yang bertindak sebagai pengadilan Bandingan mengimbangi Mahkamah Islam Tinggi yang ketika itu sudah pindah di Surakarta. Itulah sebabnya di Jawa dan Madura terdapat 80 pengadilan agama dan satu cabang Bawean yang tergabung
46
Ibid., 21-22.
29
dengan mahkamah Islam tinggi sebelum agresi militer I Tahun 1947, setelah perjanjian Renville jumlah pengadilan agama itu 41 buah pengadilan.47 Sedangkan yang terjadi di luar Jawa dan Madura pada saat itu dapat dilihat dari indikasi berikut. Pertama, dibeberapa daerah Sumatera sebagai hasil revolusi kemerdekaan, semenjak 1 Agustus 1946 terbentuk Mahkamah Syari’iyah di daerah Aceh, Tapanuli, Sumatera Tengah, Jambi, Palembang dan Lampung, yang semua itu oleh pemerintah pusat darurat di Pematang Siantar diakui sah dengan surat kawatnya 13 Januari 1947. Kedua, di daerah-daerah lain seperti Kalimantan barat dan Kalimantan Timur yang masing-masing dengan Mahkamah Balai Agamanya dan Majelis Agama Islamnya, di Sulawesi, di Nusa Tenggara dan di Maluku semuanya dengan Hakim syara’nya baik yang berasal dari Godsdientige Rechters maupun dari Mohammedaansche Godsdientige Beambte, dasar pelestarian peradilan agamanya berdasarkan peraturan swapraja dan peraturan adat meskipun atas kuasa sempat termasuk Kerapatan Qadlî di Kalimantan Selatan.48 Dengan penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949 oleh Belanda kepada Indonesia kemudian terbentuk Negara Kesatuan RI pada
17 Agustus 1950.
maka berdasarkan pasal 192 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat dan pasal 142 Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia, keduanya tentang peraturan peralihan, selanjutnya atas dasar ketentuan Peraturan Pemulihan, yakni Undang-Undang No. 8 Tahun 1950, semua peraturan darurat itu dihapuskan yang pada akhirnya tetap berlaku Stbl. 1882 No. 152 jo. Stbl 1937 No. 116 dan 610 untuk Jawa dan Madura, dan Stbl. 1937 No. 638 dan 639 untuk Kalimantan Selatan.49 Peradilan agama di luar kedua daerah di atas, dengan keluarnya UndangUndang Darurat No. 1 Tahun 1951, persoalannya dapat diatasi. Undang-Undang ini menyebutkan tentang tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan
47 Zaini Ahmad Noeh, Sebuah Perspektif,: Sejarah Lembaga Islam di Indonesia (Bandung: Al-Ma’arif, 1980), 33-36. 48 Ibid., 38-39. 49 Ibid., 36.
30
susunan, kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil. Diantara isi pokok-pokok Undang-Undang tersebut adalah; pertama, semua bentuk peradilan zaman prefederal serta penuntut padanya dihapus dan diganti dengan Pengadilan Negeri dan Kejaksanaan Pengadilan Tinggi. Kedua, semua bentuk Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat secara berangsur-angsur dihapus dan kekuasaannya diserahkan kepada Pengadilan Negeri. Ketiga, Peradilan Agama yang merupakan bagian tersendiri dari peradilan Swapraja dan peradilan adat tidak turut dihapus dan kelanjutannya diatur dengan peraturan pemerintah. Peradilan Agama sebagai pelaksanaan Undang-Undang Darurat adalah badan-badan Peradilan Agama yang ada dalam lingkungan Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat, jika Peradilan Agama itu menurut hukum yang hidup tersendiri dari kedua pengadilan tersebut tidak turut dihapus, melainkan oleh pemerintah daerah diserahkan pengurusannya
kepada
Departemen Agama,
selanjutnya
diatur
berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP). Untuk mengimbangi situasi politik pemerintahan, Tahun 1957 diajukan usul pembentukan Mahkamah Syari’ah di daerah Aceh yang ternyata mendapat restu pemerintah dengan keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 29 Tahun 1957 tanggal 6 Juni 1957. Kemudian agar dapat diselesaikan peradilan agama di luar Jawa dan madura seluruhnya, pemerintah dalam sidang kabinetnya 26 Agustus 1957 menyetujui dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 1957 tentang Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah yang berlaku di luar Jawa dan Madura selain daerah Kalimantan Selatan.50 Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 1957, maka di Indonesia ada tiga macam peraturan tentang susunan dan kekuasaan peradilan agama, yaitu: 1) Stbl./ 1882 No. 152 jo. Stbl. 1937 No. 116 dan 610 untuk Jawa dan Madura. 2) Stbl. 1937 No. 638 dan 639 untuk daerah Kalimantan Selatan.
50
Ibid., 40.
31
3) Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 1957 (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 99 untuk daerah-daerah selain Jawa dan Madura dan Kalimantan Selatan.51 Perkembangan selanjutnya setelah Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 1957 dapat dilihat dari beberapa kebijakan yang muncul kemudian, sebagai peraturan yang memberikan yurisdiksi yang lebih besar kepada pengadilan di luar Jawa dan Madura, yaitu; 1) Penetapan Menteri Agama No. 8 Tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah di Sumatera yaitu: a)
Di daerah Aceh, dengan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah propinsinya di Kutaraja (Banda Aceh);
b) Di daerah Sumatera Utara, dengan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah propinsinya di Medan; c)
Di daerah Sumatera Barat, Jambi dan Riau, dengan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah propinsinya di Padang;
d) Di daerah Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung, dengan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah propinsinya di Palembang. 2) Penetapan Menteri Agama No. 4 Tahun 1958 tentang pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah di daerah Kalimantan (minus daerah Kerapatan Qadlî). Dengan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah propinsinya di Banjarmasin. 3) Penetapan Menteri No. 5 Tahun 1958, tentang pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah di daerah Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Jaya, dengan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah propinsinya di Ujungpandang (sekarang Makasar).52
51 Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), 75-76. 52 M. Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), 31-32.
32
Pada Tahun 1970, pemerintah lebih mempertegas keberadaan Pengadilan Agama dengan dikeluarkannya UU No. 14 Tahun 1970 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 disebutkan; ada empat lingkungan peradilan di Indonesia, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Seluruh pengadilan tersebut disejajarkan posisinya secara hukum dan berinduk kepada Mahkamah Agung. Dengan adanya Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 ini, maka kekuatan Peradilan Agama sama dengan pengadilan-pengadilan lainnya yang ada di wilayah yurisdiksi Indonesia. Pada Tahun 1977 Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang memperkuat bagi kedudukan Pengadilan Agama, yaitu dengan diberikannya hak bagi Pengadilan Agama untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Dalam kenyataannya, Pengadilan Agama masih memerlukan pengakuan dan pengesahan dari Pengadilan Negeri, bahkan Pengadilan Negeri dapat meninjau keputusan Pengadilan Agama tersebut. Sekalipun pada Tahun 1974 dikeluarkan Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang juga mengatur
yurisdiksi Pengadilan Agama, seluruh keputusan Pengadilan Agama tetap harus mendapatkan atau meminta pengukuhan eksekusi (executoir verklaaring) dari Pengadilan Negeri. Hal ini dapat dinyatakan bahwa keputusan Pengadilan Agama berada di bawah Pengadilan Negeri. Pada sisi lain, Tahun 1980 lahir pula keputusan Menteri Agama No. 6 Tahun 1980 tanggal 28 Januari 1980 tentang penyeragaman nama lembaga menjadi sebutan Pengadilan Agama. Dengan demikian, Kerapatan Qadlî di Kalimantan, Mahkamah Syari’ah di luar Jawa dan Madura, disebut dengan nama Pengadilan agama. Kerapatan Qadlî Besar di Kalimantan Selatan dan Mahkamah Syari’ah propinsi di luar Jawa dan Madura sebagai pengadilan banding, disebut Pengadilan Tinggi Agama. Selain nama dan letaknya yang seragam, disetiap Kabupaten tempat adanya Pengadilan Tinggi Agama. Bersama-sama dengan keempat lingkungan peradilan,
33
Peradilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama berpuncak pada Mahkamah Agung, yang mengawasi penyelenggaraan peradilan di tanah air ini.53 Pada sisi untuk memperbaiki kekurangan pengadilan agama untuk menegakkan hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal, 8 Desember 1988 Presiden
Republik
Indonesia
menyampaikan
Rancangan
Undang-Undang
Pengadilan Agama (RUUPA) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk dibicarakan dan disetujui menjadi Undang-Undang menggantikan semua peraturan yang tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan UUPK No. 14 Tahun 1970. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, 14 Desember 1989 Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agama (RUUPA) disetujui menjadi Undang-Undang, yang mengatur secara khusus Pengadilan Agama di Indonesia, kemudian dikenal dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Dengan UndangUndang ini semakin mantap kedudukan Pengadilan Agama sebagai satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dalam rangka menegakkan hukum Islam bagi pencari keadilan yang beragama Islam, mengenai perkawinan kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sedekah yang telah menjadi hukum positif. Ini berarti Pengadilan Agama sebagai peradilan negara telah sama dan sederajat kedudukannya dengan semua Peradilan Umum, Militer, Tata Usaha Negara di Indonesia, dengan alat perlengkapan yang sama pula. Nama, susunan, kekuasaan dan hukum acaranya telah seragam untuk seluruh Indonesia.54 d.
Peradilan Agama Masa Orde Baru Pada masa Orde Baru terdapat perubahan dalam penataan kekuasaan kehakiman di Indonesia. Pada Tahun 1970 telah disahkan dan diundangkan UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan pasal 10 ayat (1) Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di Indonesia
53
Mohammad Daud Ali & Habibah Daud, Lembaga-lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 1995), 114. 54 Ibid., 120.
34
disamping peradilan lainnya. Peradilan Agama mempunyai kedudukan yang sejajar dan sama dengan peradilan lainnya. Kedudukan Peradilan Agama semakin kokoh dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ruang lingkup kewenangan Peradilan Agama semakin bertambah luas.55 Selain Peradilan Agama mempunyai kewenangan yang semakin luas. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 telah menempatkan Peradilan Agama berada di bawah bayang-bayang Peradilan Umum sebagaimana diatur dalam pasal 63 ayat (2) yang berbunyi: “Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum”.56 Peradilan Agama bukan lagi merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman yang berdiri sendiri karena putusan Pengadilan Agama harus mendapat pengukuhan dari Peradilan Umum dan Peradilan Agama tidak dapat melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau eksekusi sendiri karena tidak ada perangkat juru sita, eksekusi menjadi kewenangan Peradilan Umum.57 Sampai dengan Tahun 1977 belum ada hukum acara yang mengatur Peradilan Agama secara tersendiri sebagaimana dikendaki Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 maka perkara-perkara Peradilan Agama yang sampai pada upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1977 dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor MA/Pem/0921/1977. Peraturan ini menghapus Mahkamah Islam Tinggi dan Kerapatan Qadi Besar maupun Pengadilan Agama atau Mahkamah Syari’ah Propinsi yang berfungsi
55
Bisri, Peradilan Agama…, 124. Ramulyo, Beberapa Masalah …, 120. 57 Harahap, Kedudukan, Kewenangan, 33. 56
35
sebagai Pengadilan Tingkat Banding dan sekaligus Pengadilan Tertinggi dalam lingkungan Peradilan Agama.58 Karena belum adanya keseragaman nama pada Peradilan Agama, pada Tahun 1980 Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 1980 yang dengan Keputusan ini Pengadilan Tingkat Pertama bernama Pengadilan Agama dan Pengadilan Tingkat Banding bernama Pengadilan Tinggi Agama.59 Pada Tahun 1989 baru dapat terwujud apa yang menjadi kehendak UndangUndang Nomor 1 Tahun 1970 mengenai peraturan yang tersendiri yang mengatur tentang Peradilan Agama dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.60 Undang-Undang ini mengembalikan kedudukan Peradilan Agama kepada kedudukan semula sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dan sejajar dengan peradilan yang lain. Peradilan agama sudah tidak lagi tergantung pada Peradilan Umum, Peradilan Agama sudah dapat melaksanakan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau eksekusi dan telah mempunyai juru sita. Undang-Undang ini merupakan keseragaman hukum di bidang Peradilan Agama yang sebelumnya diatur dalam peraturan-peraturan yang beraneka ragam. Peradilan Agama telah mempunyai hukum acara tersendiri dalam pemeriksaan perkara di pengadilan selain berlaku pula hukum acara pada Peradilan Umum.61 2. Hak Opsi Dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 angka 2 alenia 6 Yang dimaksud dengan hak “opsi” dalam perkara warisan ialah hak memilih hukum warisan apa yang dipergunakan dalam menyelesaikan pembagian warisan. Hak opsi dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 dijumpai dalam bagian Penjelasan Umum angka 2 alinea keenam, yang berbunyi:
58
Hamami, Kedudukan dan Eksistensi, 28. Ibid. 60 Bisri, Peradilan Agama …, 125. 61 Harahap, Kedudukan Kewenangan, 28-32. 59
36
“Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak yang berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan”.62 Ketentuan hak opsi ini didahului oleh kalimat alinea kelima yang menegaskan bahwa yang dimaksud dengan bidang hukum kewarisan yang menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Agama mengadili perkaranya bagi mereka yang beragama Islam meliputi aspek hukum penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan bilamana pewarisan tersebut dilakukan berdasarkan hukum Islam. Penjelasan inilah yang ditimpali alinea keenam dengan ketentuan hak opsi para ahli waris memilih hukum waris yang mereka sukai. Jadi sesudah Penjelasan Umum angka 2 alinea kelima memberi penegasan tentang berlakunya hukum waris Islam bagi mereka yang beragama Islam dan kewenangan mengadili perkaranya menurut Pasal 49 jatuh menjadi kompetensi absolut lingkungan Peradilan Agama maka penegasan ketentuan itu “dianulir” atau barangkali dimentahkan kembali oleh Penjelasan Umum angka 2 alinea keenam, dengan cara memberi hak “opsi” atau “hak pilih” bagi para pihak yang berperkara. Ini berarti pihak yang berperkara diberi keleluasaan oleh Undang-Undang, apakah dalam pelaksanaan pembagian harta peninggalan dilakukan berdasarkan hukum Islam. Penjelasan ini memberi hak untuk memilih hukum warisan mana yang akan mereka pilih dalam penyelesaian pembagian harta warisan. Hal ini berkaitan erat dengan sistem tata hukum yang berlaku di Indonesia. Kita mengenal tiga sistem tata hukum yang berlaku. Sistem tata hukum Eropa yang juga mengatur hukum warisan yang terdapat dalam Buku Kedua KUH Perdata bab XII, XIII, XIV. XV, XVI, XVII, dan Bab XVIII, mulai dari pasal 830 sampai pasal 1130. Kedua sistem tata hukum Adat yang juga berisi aturan tentang hukum warusan Adat. Tata hukum Islam Adat disamping bersifat tradisional dan standar, sudah banyak berubah baik oleh karena pengaruh pertumbuhan dan perkembangan nilai. Perkembangan dan perubahannya terutama melalui jalur putusan-putusan
62
peradilan
yang
melahirkan
yurisprudensi
yang
Lihat UU No. 7 Tahun 1989 dalam penjelasan umum angka 2 alinea keenam.
mengandung
37
penerobosan terhadap nilai hukum warisan tradisional ke arah yang lebih berdimensi perikemanusiaan dan kesederajatan hak mewaris antara anak laki-laki dengan anak perempuan dan antara janda dengan duda, sehingga lahir hukum Adat “Warisan Baru” yang dikembangkan sesudah perang dunia kedua. Ketiga ialah sistem tata hukum yang diperlukan kepada golongan rakyat yang beragama Islam. Menurut ketentuan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 sistem tata hukum warisan yang
diperlakukan kepada golongan rakyat yang beragama Islam, termasuk hukum warisan Islam. Jika hak opsi yang ditentukan dalam Penjelasan Umum dihubungkan dengan sistem tata hukum dimaksud, berarti Undang-Undang memberi kebebasan bagi masyarakat pencari keadilan untuk menentukan pilihan hukum kepada salah satu sistem tata hukum dimaksud. Mereka boleh menjatuhkan pilihan kepada Hukum Waris Eropa, Warisan, Adat, atau Warisan Hukum Islam. Dengan demikian sepanjang mengenai bidang hukum warisan, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 menganut asas “hak opsi”.63 Kita tidak tahu persis apa sebab hak opsi diperbolehkan dalam bidang hukum warisan saja. Kenapa hak ini tidak meliputi bidang perkawinan? Kalau dari sudut pendekatan rasio, pada hakikatnya tidak ada perbedaan antara bidang hukum warisan dengan bidang hukum perkawinan. Kedua-duanya, sama-sama berada dalam bidang hukum perdata. Pada umumnya setiap bidang hukum perdata ditinjau dari segi doktrin adalah bersifat “mengatur” atau reglen, tidak bersifat “memaksa” atau dwingend. Karena itu bisa disingkirkan melalui “persetujuan” antara pihak yang bersengketa. Barangkali hak opsi hanya diperbolehkan sepanjang mengenai hukum warisan, terletak pada motivasi tersembunyi. Ada suara-suara yang melontarkan bahwa hukum warisan Islam mengandung cacat diskriminasi terutama dari aspek jumlah porsi antara anak laki-laki dengan anak perempuan. Menurut fikih standar serta bertitik tolak dari ketentuan Surat An-Nisâ ayat 11, secara tafsil dan sarih telah ditentukan batas jumlah besarnya bagian anak lelaki dengan anak perempuan yakni 1:2. Pada umumnya jumhūr Ulama menetapkan rumusan ayat ini dikualifikasi bersifat qath’î. Perbandingan pembagian 63
Harahap, Kedudukan, Kewenangan, 160.
38
tersebut tidak dapat diubah dan digeser. Dalam Kompilasi Hukum Islam, cenderung mempertahankan ketentuan dimaksud. Pendapat yang mencoba untuk menerobos ketentuan tersebut masih belum mendapat sambutan. Saya sendiri pernah mengemukakan suatu konstruksi hipotesis yang bertujuan untuk menganalisis lebih dalam rumusan Surat An-Nisa ayat 11.64 Asumsi yang saya kemukakan, ayat tersebut tidak mutlak bersifat qath’î. Rumusan ayat dimaksud masih bisa dibedah dengan jalan memisah “kaidah normatif” dengan unsur hudūd. Kaidah normatif yang terdapat didalamnya: Anak lelaki dan anak perempuan sama-sama mempunyai hak dan kedudukan untuk mewarisi harta warisan orang tua mereka. Inilah normatif hukum abadi dan universal yang tercantum dalam ayat tersebut. Sebagai ketentuan yang bersifat normatif, abadi, dan universal, siapa pun dan kapan pun tidak boleh mengubahnya. Tidak boleh menetapkan peraturan hukum yang menghilangkan hak dan kedudukan anak perempuan untuk mewarisi harta peninggalan orang tuanya. Ketentuan dan aturan hukum yang demikian melanggar nilai keabadian dan keuniversalan syariat Islam sebagai hukum transedental yang datang dan bersumber dari kehendak Allah. Akan tetapi mengenai jumlah besarnya bagian antara anak lelaki dengan anak perempuan yang ditentukan dalam ayat tersebut, bukan ketentuan yang bernilai normatif, tapi bernilai hudūd atau hād. Hād antara anak lelaki dengan anak perempuan berapa? Menurut konstruksi yang saya tafsirkan, hād atau batas bagian anak perempuan, setengah bagian anak lelaki. Sebaliknya, ayat itu tidak menentukan hād maksimal. Oleh karena itu, hak minimal dapat digeser ke arah jumlah yang sama ekuivalennya dengan bagian anak lelaki. Jadi, dapat dibuat ketentuan yang menetapkan batas bagian anak perempuan sama sebanding dengan bagian anak lelaki.65 Terlepas dari pendapat yang dikemukakan di sekitar permasalahan konstruksi penafsiran Surat An-Nisâ ayat 11, saya menduga, latar belakang pemberian hak opsi dalam bidang hukum warisan bertitik tolak dari pandangan diskriminasi jumlah bagian anak lelaki dengan anak perempuan. Perbedaan jumlah bagian tersebut dianggap tidak
64 65
................., Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), 124. Harahap, Kedudukan, Kewenangan, 161.
39
adil dan kurang manusiawi. Cuma pembuat undang-undang tidak mau berterus terang, tapi lari bersembunyi ke arah pemberian hak opsi. Dengan demikian pemberian hak opsi dalam Undang-Undang dapat dianggap sebagai pelarian dari kekurang beranian menetapkan suatu ketentuan yang memberi bagian yang sama besarnya antara anak lelaki dengan anak perempuan. Seperti yang sudah dikatakan, bidang warisan termasuk jejaran hukum perdata atau hukum privat (privat law). Pada umumnya, hukum perdata bersifat “mengatur” atau aanvullrenrencht, dan jarang yang bersifat “memaksa” atau dwingend recht. Para pihak dapat menyingkirkan aturan perdata melalui “persetujuan”. Akan tetapi bagaimana hak opsi ditinjau dari segi pendekatan agama Islam? Ditinjau dari segi pandangan agama Islam, pemberian hak opsi tersebut, kurang dapat dibenarkan, karena seolah-olah membuka pintu bagi penganut agama Islam untuk membelakangkan hukum warisan Islam, dan lebih mengutamakan nilai-nilai hukum asing. Hal itu disebabkan hak opsi membuka kebebasan dan keleluasaan untuk memilih hukum warisan diluar hukum waris Islam. Semula ketentuan Pasal 49 ayat (1) serta Penjelasan Umum angka 2 alinea kelima sudah berketetapan untuk menerapkan hukum waris Islam kepada mereka yang beragama Islam. Tetapi kemudian Penjelasan Umum angka 2 alinea berikutnya mengandung tersembunyi seolah-olah hukum warisan yang diatur dalam tata hukum Eropa atau Adat, jauh lebih sempurna dan lebih adil. Sikap yang demikian ditinjau dari sudut pendekatan Islam kurang dapat dibenarkan, bahkan merugikan upaya pemantapan penerapan hukum warisan Islam kepada pemeluknya.66 Rumusan yang masih tepat ditinjau dari segi pendekatan Islam, jangan sampai membuka peluang secara nyata dan terang-terangan menganjurkan penggunaan hukum warisan lain. Seyogyanya rumusan Penjelasan Umum dimaksud berbunyi: “ .....para pihak yang berperkara dapat mempertimbangkan untuk mengadakan persetujuan pembagian yang menyimpang dari ketentuan pembagian yang ditetapkan dalam hukum warisan Islam.”
66
Ibid., 162.
40
Kalimat “untuk memilih hukum apa” digantikan dengan kalimat “mengadakan persetujuan”. Oleh karena itu, agar keseluruhan batang tubuh Undang-Undang No. 7 Tahun 1969 benar-benar merupakan suatu rangkaian jalinan yang konsisten dan sistematik, serta sekaligus menghilangkan kontradiksi antara ketentuan Pasal 49 ayat (1) jo. Penjelasan Umum angka 2 aliena kelima pada satu pihak dengan Penjelasan Umum angka 2 alinea keenam pada pihak lain, sebaiknya bunyi Penjelasan Umum aliena keenam harus dibaca: para pihak yang berperkara dapat mempertimbangkan untuk mengadakan “persetujuan” pembagian yang menyimpang dari ketentuan pembagian yang ditetapkan dalam hukum warisan Islam. Rumusan kalimat yang demikian masih benarbenar dalam jalur yang dibenarkan hukum Islam maupun asas doktrin umum hukum perdata, yang membolehkan para pihak menyimpang dari ketentuan undnag-undang melalui “persetujuan”. Akan tetapi jika rumusan Penjelasan Umum angka 2 alinea keenam tetap dipertahankan secara murni dan konsekuen maka hal itu merupakan salah satu catat kontradiksi dari sudut pandangan integralistik, sehingga kesimpulan yang dapat ditarik akan berbunyi: Hak opsi tidak bertentangan dari sudut asas umum doktrin hukum perdata, tapi kurang dapat dibenarkan dari sudut pandangan Islam. Namun demikian satu hal yang akan memperkecil kontradiksi tersebut pada dasarnya ditentukan oleh kualitas kesadaran dan keadilan hukum warisan Islam, tentu mereka tidak akan lari menjatuhkan pilihan mengambil tata hukum warisan lain.67 3. Pencabutan Hak Opsi dan Penambahan Kewenangan Di Pengadilan Agama Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Eksistensi peradilan agama telah menjadikan Umat Islam Indonesia terlayani dalam penyelesaian masalah perkawinan, kewarisan,
67
Ibid.
41
wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Peradilan agama hendak menegakkan substansi nilainilai hukum yang mewarnai kehidupan umat Islam.68 Perubahan signifikan di bidang ketatanegaraan dalam sistem peradilan adalah penyatu-atapan semua lembaga peradilan (one roof system) di bawah Mahkamah Agung RI. Reformasi sistem peradilan tersebut diawali dengan dimasukkannya Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dalam amandemen ketiga Undang-Undang Dasar 1945 dan dilanjutkan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2005 tentang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Konsekuensi dari penyatu-atapan lembaga peradilan adalah pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial Peradilan Agama dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung. Pengalihan tersebut sebagai bagian dari perwujudan reformasi hukum untuk menciptakan kelembagaan negara yang lebih kondusif bagi tercapainya tatanan yang lebih demokratis dan transparan.69 Meski telah beralih ke Mahkamah Agung, hubungan antara Pengadilan Agama dengan Departemen Agama akan terus berlangsung melalui peran Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang untuk memberikan penetapan (itsbat) kesaksian melihat bulan (rukyat al-hilāl) dalam penentuan awal bulan pada Tahun hijriyah (terutama awal bulan bulan Ramadhān, Syawāl dan Dzulhijjāh). Pelaksanaan rukyat hilal dilakukan oleh Departemen Agama dan lembaga-lembaga atau ormas-ormas (organisasi masyarakat) Islam, sedangkan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilāl (bulan baru) menjelang awal bulan hijriyah dilakukan oleh Pengadilan Agama. Berkaitan dengan hisāb rukyat Pengadilan Agama juga dapat memberikan keterangan atau nasehat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan
68 69
Mansur, Paradigma Baru ....., 3. Ibid.
42
penentuan waktu shalat. Di sisi lain, baik Pengadilan Agama maupun Departemen Agama juga mempunyai kesamaan fungsi dalam pembinaan keluarga sakinah. Untuk merespon dinamika dan kebutuhan masyarakat, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama memberikan perluasan kewenangan sebagaimana terdapat dalam Pasal 49. Pengadilan Agama bertugas dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah. Dalam bidang perkawinan Pengadilan Agama mempunyai kewenangan absolut dalam mengadili dan menyelesaikan masalah penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam. Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 kewenangan Pengadilan Agama dalam pengangkatan anak yang merupakan bagian dari bidang perkawinan sering dipertanyakan banyak pihak meskipun telah lama dipraktekkan. Kini perkara pengangkatan anak di peradilan agama telah mendapat landasan hukum yang kuat dan jelas. Pada awal pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 wacana yang berkembang dalam antara lain pemberian kewenangan sengketa bank syariah kepada Pengadilan Agama seiring tumbuhnya bank-bank syariah di Indonesia. Dalam perkembangannya tidak hanya mencakup bank syariah, namun meliputi ekonomi syariah yang kemudian dijelaskan dalam Undang-Undang ini. Jika diperinci kewenangan Pengadilan Agama dalam ekonomi syariah mencakup: bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, dan bisnis syariah.70 Rumusan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 menyebutkan Pengadilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu, berbeda dengan kewenangan sebelumnya yang terbatas pada perkara perdata tertentu. Ketentuan ini menunjukkan bahwa 70
Ibid.
43
Pengadilan Agama berwenang menangani perkara pidana, terutama berkaitan dengan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perkawinan dan peraturan di bawahnya. Ketentuan pidana yang dimaksud seperti ancaman pidana terhadap pelaku pernikahan yang tidak dilakukan dihadapan pegawai pencatat nikah, namun pelaksanaannya tidak berjalan efektif. Pelanggaran perkawinan sangat jarang yang diproses, kalaupun ada biasanya diproses dengan ketentuan Pasal 279 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sehingga diperlukan payung hukum dan institusi yang diharapkan dapat menegakkan aturan mengenai pelanggaran perkawinan yaitu Pengadilan Agama. Perubahan signifikan lainnya dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah mengenai subjek hukum yang diperluas menjadi tidak hanya orang Islam dalam pengertian teologis, akan tetapi termasuk orang atau badan hukum yang menundukkan diri secara sukarela kepada hukum Islam. Pilihan hukum dalam perkara waris (alinea 2 Penjelasan umum Nomor 7 Tahun 1989) dihilangkan. Dengan demikian perkara kewarisan bagi orang Islam mutlak menjadi kewenangan absolut Pengadilan Agama. Kewenangan Peradilan Agama yang semakin luas harus diimbangi dengan peningkatan sumber daya manusia (SDM) aparatur pengadilan, sarana dan prasarana yang memadai, serta ketentuan hukum yang aplikatif. Dengan demikian paradigma baru peradilan agama benar-benar dapat menjawab tuntutan dan problem hukum yang berkembang di masyarakat.71
B.
Pengadilan Negeri 1. Sejarah Pengadilan Negeri Di Indonesia a.
Masa sebelum Pemerintahan Hindia-Belanda Pada masa sebelum pemerintahan Hindia-Belanda di Indonesia, tata hukum di Indonesia mendapatkan pengaruh dari hukum agama yaitu Hindu dan Islam serta hukum adat. Pengaruh agama Hindu tersebut dapat dilihat pada sistem peradilannya
71
Ahsan, Paradigma Baru, 4.
44 dimana dibedakan antara perkara Pradata dan perkara Padu.72 Perkara Pradata adalah perkara yang menjadi urusan peradilan raja yang diadili oleh raja sendiri yaitu perkara yang membahayakan mahkota, keamanan dan ketertiban negara, hukum Pradata ini bersumber dari hukum Hindu dimana Raja adalah pusat kekuasaan73, sedangkan perkara Padu adalah perkara mengenai kepentingan rakyat perseorangan, perkara ini diadili oleh pejabat negara yang disebut jaksa.74 b.
Masa Pemerintahan Hindia-Belanda Pada Tahun 1602 Belanda mendirikan suatu perserikatan dagang untuk Timur-jauh yang dinamakan VOC (De Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dengan tujuannya untuk berniaga, maka melalui VOC tersebut Belanda masuk ke Indonesia. Jan Pieterszoon pada tanggal 30 Mei 1619 berhasil membuat Sultan Banten menyerahkan daerahnya kepada kompeni. Pada tanggal 26 Maret 1620 dibuat resolusi yang mengangkat seorang Baljuw sebagai opsir justisi dan kepala kepolisian lalu pada tanggal 24 Juni 1620 dibentuk suatu majelis pengadilan di bawah pimpinan Baljuw yang dinamakan College van Schepennen disebut schepenbank untuk mengadili segala penduduk kota bangsa apapun kecuali pegawai dan serdadu Kompeni yang akan diadili oleh Ordinaris luyden van den gerechte in het Casteel yang pada 1626 diubah menjadi Ordinaris Raad van Justisie binnen het casteel Batavia, disebut sebagai Raad van Justisie. Sejak Tahun 1684 VOC banyak mengalami kemunduran ditambah dengan adanya pergeseran politik Eropa yang mengakibatkan berubahnya situasi politik di Belanda, hal tersebut mengakibatkan dihentikannya VOC dan pada Tahun 1806 Belanda menjadi kerajaan di bawah Raja Lodewijk Napoleon yang kemudian mengangkat Mr. Herman Willem Daendels sebagai Gubernur Jenderal yang menetapkan charter untuk daerah jajahan di Asia dimana dalam Pasal 86 charter
72 Tresna, Peradilan Di Indonesia Dari Abad Ke Abad, Vol. 3 (Jakarta: Pradnya Paramita, 1978), 16. 73 Ibid. 74 Ibid.
45
tersebut berisi bahwa susunan pengadilan untuk bangsa Bumiputera akan tetap berdasarkan hukum serta adat mereka.
1) Masa pemerintahan Inggris Setelah kekuasaan Hindia-Belanda pada 1811 dipatahkan oleh Inggris, maka Sir Thomass Stamford Raffles diangkat menjadi Letnan Jenderal untuk Pulau Jawa dan wilayah di bawahnya (Palembang, Banjarmasin, Makasar, Madura dan kepulauan Sunda kecil). Ia mengeluarkan maklumat tanggal 27 Januari 1812 yang berisi bahwa susunan pengadilan untuk bangsa Eropa berlaku juga untuk bangsa Indonesia yang tinggal di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman kota-kota (Batavia, Semarang dan Surabaya) dan sekitarnya jadi pada jaman Rafles ini ada perbedaan antara susunan pengadilan untuk bangsa Indonesia yang tinggal di kota-kota dan di pedalaman atau desadesa. 2) Masa kembalinya pemerintahan Hinda-Belanda Berakhirnya peperangan di Eropa mengakibatkan daerah jajahan Belanda yang dikuasai Inggris akan dikembalikan kepada Belanda (Conventie London 1814). Pada masa ini pemerintah Hindia-Belanda berusaha untuk mengadakan peraturan-peraturan di lapangan peradilan sampai pada akhirnya pada 1 Mei 1848 ditetapkan Reglement tentang susunan pengadilan dan kebijaksanaan kehakiman 1848 (R.O), dalam R.O ada perbedaan keberlakuan pengadilan antara bangsa Indonesia dengan golongan bangsa Eropa dimana dalam Pasal 1 RO disebutkan ada 6 macam pengadilan: a)
Districtsgerecht Mengadili perkara perdata dengan orang Indonesia asli sebagai tergugat dengan nilai harga di bawah f20.
b) Regenschapgerecht
46
Mengadili perkara perdata untuk orang Indonesia asli dengan harga f.20f.50
dan
sebagai
pengadilan
banding
untuk
keputusan-keputusan
districhsgerecht. c)
Landraad Merupakan pengadilan sehari-hari biasa untuk orang Indonesia asli dan dengan pengecualian perkara-perkara perdata dari orang-orang Tionghoa, orang-orang yang dipersamakan hukumnya dengan bangsa Indonesia, juga di dalam perkara-perkara dimana mereka ditarik perkara oleh orang-orang Eropa atau Tionghoa selain itu landraad juga berfungsi sebagai pengadilan banding untuk perkara yang diputuskan oleh regenschapgerecht sepanjang dimungkinkan banding.
d) Rechtbank van omgang diubah pada 1901 menjadi residentiegerecht dan pada 1914 menjadi landgerecht. Mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir dengan tidak membedakan bangsa apapun yang menjadi terdakwa. e)
Raad van justisie Terdapat di Jakarta, Semarang dan Surabaya untuk semua bangsa sesuai dengan ketentuan.
f)
Hooggerechtshaf Merupakan pengadilan tingkat tertinggi dan berada di Jakarta untuk mengawasi jalannya peradilan di seluruh Indonesia.
c.
Masa pemerintahan Jepang Masa pemerintahan Jepang di Indonesia dimulai pada 8 Maret 1942 dengan menyerahnya Jenderal Ter Poorten75, untuk sementara Jepang mengeluarkan Undang-Undang Balatentara Jepang tanggal
8 Maret No. 1 yang menyatakan
bahwa segala Undang-Undang dan peraturan dari pemerintah Hindia-Belanda dulu
75
Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan PerUndang-Undangannya Di Indonesia Sejak 1942, Vol. 2 (Yogyakarta: Liberty, 1983), 10.
47
terus berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan Balatentara Jepang. Untuk proses peradilan Jepang menetapkan Undang-Undang 1942 No. 14 tentang Peraturan Pengadilan Pemerintah Balatentara Dai-Nippon, dimana dengan Undang-Undang ini didirikan pengadilan-pengadilan yang sebenarnya merupakan lanjutan dari pengadilan-pengadilan yang sudah ada: 1) Gun Hoon Pengadilan Kawedanan, merupakan lanjutan dari districtsgerecht. 2) Ken Hooin Pengadilan Kabupaten, merupakan lanjutan dari regenschapsgerecht. 3) Keizai Hooin Pengadilan Kepolisian, merupakan lanjutan dari Landgerecht. 4) Tihoo Hooin Pengadilan Negeri, merupakan lanjutan dari Lanraad. 5) Kooto Hooin Pengadilan Tinggi, merupakan lanjutan dari Raad van Justisie. 6) Saikoo Hooin Mahkamah Agung, merupakan lanjutan dari Hooggerechtshof. Masa pemerintahan Jepang ini menghapuskan dualisme di dalam peradilan dengan Osamu Seirei 1944 No. 2 ditetapkan bahwa Tihoo Hooin merupakan pengadilan buat segala golongan penduduk, dengan menggunakan hukum acara HIR. d.
Masa Kemerdekaan Republik Indonesia 1) 1945-1949 Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Hal ini berarti bahwa semua ketentuan badan pengadilan yang berlaku akan tetap berlaku sepanjang belum diadakan perubahan.
48
Dengan adanya Pemerintahan Pendudukan Belanda di sebagian wilayah Indonesia, maka Belanda mengeluarkan peraturan tentang kekuasaan kehakiman yaitu Verordening No. 11 Tahun 1945 yang menetapkan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilakukan oleh Landgerecht dan Appelraad dengan menggunakan HIR sebagai hukum acaranya. Pada masa ini juga dikeluarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 1948 tentang Peradilan Nasional yang ternyata belum pernah dilaksanakan.76 2) 1949-1950 Pasal 192 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) menetapkan bahwa Landgerecht diubah menjadi Pengadilan Negeri dan Appelraad diubah menjadi Pengadilan Tinggi. 3) 1950-1959 Adanya Undang-Undang Darurat No. 1 Tahun 1951 yang mengadakan unifikasi susunan, kekuasaan, dan acara segala Pengadilan Negeri dan segala Pengadilan Tinggi di Indonesia dan juga menghapuskan beberapa pengadilan termasuk Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat. 4) 1959 sampai sekarang terbitnya Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Pada masa ini terdapat adanya beberapa peradilan khusus di lingkungan Pengadilan Negeri yaitu adanya Peradilan Ekonomi (Undang-Undang Darurat No. 7 Tahun 1955), Peradilan Landreform (Undang-Undang No. 21 Tahun 1964). Kemudian pada Tahun 1970 ditetapkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang dalam Pasal 10 menetapkan bahwa ada 4 lingkungan peradilan yaitu: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara.77 2. Hak Opsi Waris Di Pengadilan Negeri
76
Ibid., 44. Disriani Latifah, Sejarah Terbentuknya Pengadilan Negeri Di Indonesia,(online), (http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/2009/09/30/sejarah_terbentuk......, diakses 27 Oktober 2009) 77
49
Masalah warisan seringkali menimbulkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Masalah ini seringkali muncul karena adanya salah satu ahli waris yang merasa tidak puas dengan pembagian warisan yang diterimanya. Hal ini timbul dari sifat serakah manusia yang berkeinginan untuk selalu mendapatkan yang lebih dari apa yang telah diperolehnya. Untuk mendapatkan harta warisan sesuai dengan jumlah yang diinginkannya, para ahli waris menempuh segala cara yang dapat dilakukan guna mencapai tujuannya, baik melalui jalan hukum maupun dengan jalan melawan hukum. Jika perolehan harta warisan dilakukan dengan jalan melawan hukum, sudah tentu ada sanksi hukum yang menanti para pihak yang melakukan perbuatan itu. Akan tetapi jika perolehan harta warisan dilakukan dengan jalan sesuai dengan hukum, maka tidak akan ada sanksi hukum yang diberikan, masalah yang timbul adalah apakah jalan hukum yang ditempuh tersebut memenuhi prinsip keadilan bagi semua pihak yang berperkara, terutama di dalam masalah warisan, seringkali putusan yang adil bagi salah satu pihak belum tentu dianggap adil oleh pihak yang lain Hak opsi diperbolehkan dalam masalah pembagian warisan, sebab ada dua sistem yang dapat dilihat oleh para pihak dalam menentukan pembagian warisan, yaitu hukum Islam dan hukum Adat. Dua sistem hukum itu mempunyai perbedaan yang prinsip, oleh karena itu ada dua lembaga yang berwenang untuk memutus apabila terjadi sengketa waris. Untuk hukum Islam yang berwenang adalah Pengadilan Agama, sedang untuk hukum Adat dan hukum Barat yang berwenang adalah Pengadilan Negeri. Ketentuan pembagian warisan dari dua sistem hukum tersebut seringkali mempunyai perbedaan, maka terjadi pilihan hukum yang bisa digunakan sebagai dasar penyelesaian masalah pembagian warisan. Masalah hak opsi itu bisa menjadi masalah baru dalam pembagian harta warisan, sebab para pihak cenderung memilih hukum sesuai dengan kepentingannya sendiri, yaitu hukum yang bisa memberikan peluang untuk mendapatkan pembagian warisan yang lebih menguntungkan dirinya. Jika para pihak berpendapat dengan sadar, nilai-nilai hukum Eropa lebih adil, itulah yang akan diterapkan
50
dalam menyelesaikan pembagian warisan, jika hukum waris Islam yang dipandang lebih adil, Undang-Undang tidak melarang, sepenuhnya terserah kepada mereka untuk menentukan pilihan. Hakim tidak berwenang untuk memaksakan pilihan hukum tertentu. Pemaksaan dari pihak hakim adalah tindakan yang melampaui batas kewenangan dan dianggap bertentangan dengan “ketertiban umum” dan Undang-Undang, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan serta meminta agar pembagian dinyatakan batal dan tidak mengikat. Persoalan pilihan (hak opsi) itu timbul dalam kaitan dengan adanya peluang bagi masyarakat pencari keadilan yang ingin menyelesaikan perkara warisan. Peluang ini sebagaimana dijelaskan dengan penjelasan umum dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006, bisa menimbulkan dua akibat yaitu berupa pada waktu yang sama para pihak dapat mengajukan gugatan atau bisa juga para pihak sepakat untuk memilih satu sistem hukum untuk menyelesaikan masalah warisannya. Dalam pilihan hukum ini, tidak akan menjadi masalah jika semua pihak sepakat untuk memilih salah satu hukum yang akan dijadikan dasar dalam memecahkan masalah kewarisan, dan mereka juga mau menerima dengan sadar konsekuensi yang timbul dari pilihan hukum yang mereka lakukan, tetapi akan menjadi masalah bila masing-masing pihak memilih hukum yang berbeda-beda.78 3. Pencabutan Hak Opsi Waris dan Kewenangan Baru Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 di Pengadilan Negeri Adanya pencabutan hak opsi waris dan kewenangan baru di dalam UndangUndang No. 3 Tahun 2006 memberikan nuansa yang baru di Pengadilan Agama, karena disini kewenangan Pengadilan Agama diperluas. Hal ini tidak berpengaruh terhadap keberadaan Pengadilan Negeri sebab kewenangan-kewenangan di Pengadilan Negeri sendiri juga sangat luas karena meliputi perkara pidana maupun perdata dan Pengadilan
78
http://www.skripsi_tesis.com/07/02/hak_opsi_dlm.penyelesaian_perkara_waris. (online), (diakses 20 Oktober 2009).
51
Negeri itu sendiri juga masih menyelesaikan perkara waris bagi orang-orang non muslim yang memiliki hukum BW ataupun hukum Adat untuk penyelesaiannya. Jadi, adanya pencabutan hak opsi ini dikhususkan bagi orang Islam, di dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 juga ada kebolehan bagi orang non muslim yang mau tunduk terhadap hukum Islam untuk mendaftarkan perkaranya di Pengadilan Agama. Memang adanya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 memperluas kewenangan di Pengadilan Agama. Apalagi adanya Mahkamah Syari’ah di Aceh yang mana disana hukum pidana Islam telah diberlakukan. Adanya Undang-Undang ini mungkin akan membantu mengurangi beban hakim Pengadilan Negeri dalam penyelesaian perkara, apalagi sekarang antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri sudah berada dalam satu atap yaitu Mahkamah Agung, diharapkan dengan adanya penambahan dan pengurangan kewenangan baik di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri dapat menumbuhkan kerjasama yang baik diantara dua lembaga tersebut.
52
BAB III PENERIMAAN PERKARA DI PENGADILAN AGAMA DAN PENGADILAN NEGERI KABUPATEN MADIUN SEBELUM DAN PASCA UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 2006 DAN RESPON HAKIM TERHADAP ADANYA PENCABUTAN HAK OPSI DAN KEWENANGAN BARU
B. Pengadilan Agama Kabupaten Madiun 1. Sejarah Berdirinya Pengadilan Agama Kabupaten Madiun Pengadilan Agama Kabupaten Madiun berada di wilayah Kabupaten Madiun, terletak di Jalan Raya Tiron Km. 6 Nglames, Madiun, dengan nomor telepon 0351463301. Gedung Pengadilan Agama Kabupaten Madiun berdiri di atas tanah seluas 1.539 m2 dengan gedung permanen ukuran 250 m2 dengan status hak milik nomor 187/PELITA.IV/II/87 yang dibangun secara permanent mulai proyek tahun 1986/1987 dan diresmikan penggunaannya pada hari Kamis Kliwon tanggal 3 Jumadil Awal 1408 Hijriyah yang bertepatan dengan tanggal 24 Desember 1987 Masehi oleh Bupati Kepala Daerah Tk. II Madiun, Bapak Drs. Bambang Koesbandono. Kemudian mulai tahun 1995/1996 diperluas dengan proyek tahun 1995/1996 dengan luas 100 m2 di atas tanah milik negara (Departemen Agama seluas 1539 m2). Pengadilan Agama Kabupaten Madiun yang letak geografisnya sebelah utara Kota Madiun, dapat dikatakan juga ekspansi Lembaga Pelayanan Hukum Kota, yang mana pada awalnya mempunyai induk di Pengadilan Agama Kotamadya Madiun. Ekspansi ini dilatar belakangi oleh meningkatnya perkara perdata yang masuk pada Pengadilan Agama Kotamadya Madiun, hal ini sebagai upaya memudahkan penyelesaian perkara, selain itu pemisahan ini juga dimaksudkan agar ada identifikasi jelas tentang kelas atau tipe serta 65 pemisahan administratif Kodya dengan Kabupaten.79
79
http://pakabmadiun.net/content/section/6/22, diakses 20 Juli 2009.
53
Pengadilan Agama Kabupaten Madiun dalam kurun waktu 17 tahun telah mengalami pergantian kepemimpinan 6 periode. Pada tahun pertama, Pengadilan Agama Kabupaten Madiun dipimpin oleh Drs. Abdul Malik (1987-1990) yang pada saat itu hanya memiliki seorang hakim tetap, tiada lain adalah sang ketua sendiri. Sementara dalam menjalankan proses persidangan dibantu oleh tiga orang hakim honorer, mereka adalah
KH. Khudlori, dan KH. Haromain, dan Ibu Shafurah. Pada tahun 1990
Pengadilan Agama Kabupaten Madiun mendapat dua hakim tetap, yaitu Bapak Miswan, SH, dan Bapak Drs. Misbahul Munir. Pada periode kedua tongkat kepemimpinan di bawah kendali
Bapak Drs.
Muhtar, R.M., SH (1990-1996). Pada periode ini, pola Bindalmin sudah dapat dijalankan dengan baik. Selanjutnya pada periode ketiga, Pengadilan Agama Kabupaten Madiun dipimpin oleh
Drs. H. Ali Ridlo, SH (1996-2001), setelah itu
kepemimpinan diambil oleh Bapak Drs. Ghufran Sulaiman (2001-2004). Dan pada periode kelima, pucuk kepemimpinan Pengadilan Agama Kabupaten Madiun diduduki oleh Dra. Hj. Umi Kulsum, SH., MH (2004-2008). Pada bulan September 2008 pucuk kepemimpinan Pengadilan Agama Kabupaten Madiun diduduki Drs. H. Salman Asyakiri, SH., MH. 2. Visi dan Misi Pengadilan Agama Kabupaten Madiun80 a.
Visi Pengadilan Agama Kabupaten Madiun mengacu pada visi Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai puncak kekuasaan kehakiman di Negara Indonesia, yaitu: “Mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif, efisien, serta mendapatkan kepercayaan publik, professional dan memberi palayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan biaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik”.
b.
80
Ibid.
Misi
54
Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan Undang-undang dan peraturan, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat: 1) Mewujudkan Peradilan yang mandiri dan independen, bebas dari campur tangan pihak lain; 2) Memperbaiki akses pelayanan dibidang Peradilan kepada masyarakat; 3) Memperbaiki kualitas input internal pada proses Peradilan; 4) Mewujudkan institusi Peradilan yang efektif, efisien, bermartabat dan dihormati; 5) Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan. 3. Penerimaan Perkara Sebelum dan Pasca Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 di Pengadilan Agama Kabupaten Madiun Penerimaan perkara di Pengadilan Agama Kabupaten Madiun dari tahun 20042008 relatif stabil, untuk jumlah perkara waris yang masuk jumlahnya sedikit, dalam tiap tahunnya hanya ada 1 (satu) perkara bahkan tidak ada sama sekali perkra waris yang masuk. Sementara untuk perkara ekonomi syari’ah belum ada yang masuk81, jadi pasca Undang-Undang
No. 3 Tahun 2006 sebagai perubahan atas Undang-Undang No. 7
Tahun 1989, belum memberikan dampak yang berarti, hal ini terlihat pada tabel perkara tahunan yang masuk ke Pengadilan Agama Kabupaten Madiun yang terdapat dalam lampiran skripsi ini, dari situ dapat dilihat untuk perkara waris yang masuk dalam kurun waktu dari tahun 2004-2008, di tiap tahunnya ada yang masuk 1 perkara waris dan bahkan sama sekali tidak ada perkara waris yang masuk. Hal ini terjadi karena masyarakat Kabupaten Madiun lebih memilih menyelesaikan perkara waris dengan menggunakan sistem kekeluargaan, kemudian untuk perkara ekonomi syari’ah, itu juga belum ada yang masuk di Pengadilan Agama Kabupaten Madiun, karena perkara ini masih jarang terjadi disini dan kebanyakan perkara yang masuk di Pengadilan Agama
81
Lihat transkrip wawancara nomor: 05/5-W/F-1/13-X/2009 dalam lampiran skripsi ini.
55
Kabupaten Madiun dan rata-rata Pengadilan Agama lain ialah perkara perkawinan yang meliputi cerai talak dan cerai gugat. 4. Respon
Hakim
Pengadilan
Agama
Kabupaten
Madiun
Tentang
Adanya
Penghapusan Hak Opsi dan Kewenangan Baru Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Kewenangan Pengadilan Agama terhadap perkara waris orang Islam menjadi kewenangan mutlak ketika pada tanggal 20 Maret 2006 disahkan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 sebagai Amandemen dari Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama yang didalamnya terdapat kewenangan baru dibidang ekonomi syari’ah. Dalam amandemen tersebut hak opsi secara tegas dinyatakan dihapus, penghapusan hak opsi ini menimbulkan respon yang berbeda dikalangan hakim Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun. Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Madiun berpendapat hak opsi tidak seharusnya diberikan karena membuka kesempatan bagi umat Islam untuk menomor duakan Hukum Waris Islam, ketika hak opsi dihapus, hakim Pengadilan Agama Kabupaten Madiun menyatakan memang sudah seharusnya perkara waris orang Islam diselesaikan di Pengadilan Agama, selain itu dihapusnya hak opsi waris juga berarti memperkokoh eksistensi Pengadilan Agama.82 Dengan berlakunya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka peradilan agama mendapat kewenangan baru untuk menangani sengketa ekonomi syari’ah. Mengenai perkara baru yang dihadapi secara umum hakim peradilan agama telah siap karena untuk menghadapi angka-angka hakim peradilan agama sudah terbiasa dalam menghitung perjalanan bulan atau hilal (astronomi) yang harus memakai angka bilangan logaritma.83 Begitu pula dalam menghadapi sengketa waris hakim peradilan agama telah akrab dengan angka pembilang, pembagi dan prosentase, apalagi sekarang ini dalam Undang-Undang
82 83
Lihat transkrip wawancara nomor: 01/1-W/F-1/19-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkrip wawancara nomor: 08/8-W/F-1/01-XII/2009 dalam lampiran skripsi ini.
56
No. 3 Tahun 2006 hak opsi telah dihapus. Hakim Pengadilan Agama mengakui, memang sampai saat ini belum ada hukum materiil yang menjadi rujukan para hakim, belum tersedianya yurisprudensi ekonomi syari’ah baik dalil maupun insidensial untuk menjadi wawasan para hakim, namun hakim dituntut untuk memahami segala perkara yang menjadi kompetensinya.84 Lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UndangUndang No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, semakin memantapkan eksistensi peradilan agama dalam hal fungsi, kedudukan dan kewenangannya di Indonesia, karena peradilan yang baik dan independen dalam melaksanakan tugas dan fungsinya apabila memenuhi tiga persyaratan yaitu tertib administrasi teknis yudisial, penerapan hukum acara dalam proses penanganan perkara yang baik dan benar serta putusan yang telah dijatuhkan oleh pengadilan melalui proses persidangan majelis dapat dilaksanakan (eksekusi).85
B.
Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun 1. Sejarah Berdirinya Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun berada di wilayah Kabupaten Madiun, terletak di jalan Soekarno Hatta no. 15 Demangan Madiun dengan nomor telepon 0351462758 dan 0351-463202. Gedung Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun berdiri di atas tanah seluas
3.000 m2 dengan ukuran panjang 60 m2 dan lebar 50 m2. Pengadilan
Negeri Kabupaten Madiun dibangun pada tahun 1981 berdasarkan DIP tanggal 12 Maret 1980 Nomor 77/XIII/1980 dan diresmikan pada tanggal 11 November 1983. Kemudian pembangunan baru dalam lingkungan gedung induk Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun yang dibangun dengan DIP tahun anggaran 1994/1995 Nomor: 031/XIII/1994 tanggal
28 Maret 1994 yang dibangun di atas tanah seluas 256 m2 dengan ukuran
panjang 16 m2 dan lebar 8 m2.
84 85
Ibid. Ibid.
57
Diluar gedung Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun kelas II tidak ada tempat sidang tetap karena daerah wilayah hukum Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun dapat dicapai dengan mudah sehingga tidak perlu mengadakan sidang-sidang reguler diluar gedung tetapi secara insidentil jika diperlukan dapat diadakan persidangan diluar gedung Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun (untuk sidang perkara Lalu Lintas Rool). Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun dalam kurun waktu 25 tahun telah mengalami pergantian kepemimpinan sebanyak 9 periode. Pada tahun pertama Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun dipimpin oleh Bapak Suparman (1983-1987), kemudian pada periode kedua dipimpin oleh Bapak Hieronimus Godang (1987-1991), pada periode ketiga dipimpin oleh Bapak H. Suparno (1991-1995), periode keempat dipimpin oleh Bapak Sunaimin Roby (1995-1998), periode kelima dipimpin oleh Bapak Mabruq Nur, (1998-2001), selanjutnya pada periode keenam Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun dipimpin oleh Bapak Sabungan Parhusip (2001-2005), setelah itu pada periode ketujuh kepemimpinan dipegang oleh Bapak I Gede Damendra (20052007), dan pada periode kedelapan pucuk kepemimpinan Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun diduduki oleh Bapak Margono (2007-2008), pada tahun 2008 pucuk kepemimpinan Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun dipegang oleh Bapak H. Bambang Sasmito.86 2. Visi dan Misi Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun a.
Visi Mewujudkan supremasi hukum melalui kekuasaan kehakiman yang mandiri, efektif, efisien, serta mendapat kepercayaan publik, profesional dalam memberi pelayanan hukum yang berkualitas, etis, terjangkau dan biaya rendah bagi masyarakat serta mampu menjawab panggilan pelayanan publik.
b.
Misi 1) Mewujudkan rasa keadilan sesuai dengan undang-undang dan peraturan serta keadilan masyarakat.
86
Laporan Situasi Hukum Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun.
58
2) Mewujudkan peradilan yang mandiri dan independent dari campur tangan pihak lain. 3) Memperbaiki akses pelayanan dibidang peradilan kepada masyarakat. 4) Memperbaiki kualitas input internal pada proses peradilan. 5) Mewujudkan institusi peradilan yang efektif, efisien, bermartabat dan dihormati. 6) Melaksanakan kekuasaan kehakiman yang mandiri, tidak memihak dan transparan.87 3. Penerimaan Perkara di Pengadilan Negeri Sebelum dan Pasca Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun, adanya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang baru belum memberikan dampak yang signifikan terhadap penerimaan perkara di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun, memang perkara perdata yang masuk lebih sedikit dibanding perkara pidana, pasca Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 yaitu tahun 2007 masih ada perkara waris yang masuk disini, hal ini dikarenakan Pengadilan Negeri tidak boleh menolak semua perkara yang masuk yang menjadi kewenangannya apalagi Pengadilan Negeri sendiri juga berwenang dalam masalah perdata.88 Tapi untuk ekonomi syari’ah belum ada, hal ini terlihat pada tabel perkara masuk berikut ini: a.
87 88
Perkara gugatan tahun 2005 1) 01/PDT.G/2005/PN.KB.MN
: Gugatan Waris
2) 02/PDT.G/2005/PN.KB.MN
: Gugatan Jual Beli
3) 03/PDT.G/2005/PN.KB.MN
: Gugatan Hutang Piutang
4) 04/PDT.G/2005/PN.KB.MN
: Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
5) 05/PDT.G/2005/PN.KB.MN
: Gugatan Cerai
6) 06/PDT.G/2005/PN.KB.MN
: Gugatan Cerai
7) 07/PDT.G/2005/PN.KB.MN
: Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
Ibid. Lihat transkrip wawancara nomor: 06/6-W/F-1/12-X/2009 dalam lampiran skripsi ini.
59
b.
c.
8) 08/PDT.G/2005/PN.KB.MN
: Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
9) 09/PDT.G/2005/PN.KB.MN
: Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
10) 10/PDT.G/2005/PN.KB.MN
: Gugatan Cerai
11) 11/PDT.G/2005/PN.KB.MN
: Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
12) 12/PDT.G/2005/PN.KB.MN
: Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
13) 13/PDT.G/2005/PN.KB.MN
: Gugatan Cerai
14) 14/PDT.G/2005/PN.KB.MN
: Gugatan Waris
Perkara gugatan tahun 2006 1) 01/PDT.G/2006/PN.KB.MN
: Gugatan Cerai
2) 02/PDT.G/2006/PN.KB.MN
: Gugatan Hutang Piutang
3) 03/PDT.G/2006/PN.KB.MN
: Gugatan Cerai
4) 04/PDT.G/2006/PN.KB.MN
: Perbuatan Melawan Hukum
5) 05/PDT.G/2006/PN.KB.MN
: Perbuatan Melawan Hukum
6) 06/PDT.G/2006/PN.KB.MN
: Perbuatan Melawan Hukum
7) 07/PDT.G/2006/PN.KB.MN
: Perbuatan Melawan Hukum
8) 08/PDT.G/2006/PN.KB.MN
: Perbuatan Melawan Hukum
9) 09/PDT.G/2006/PN.KB.MN
: Perbuatan Melawan Hukum
Perkara gugatan tahun 2007 1) 01/PDT.G/2007/PN.KB.MN
: Gugatan Cerai
2) 02/PDT.G/2007/PN.KB.MN
: Gugatan Ganti Rugi
3) 03/PDT.G/2007/PN.KB.MN
: Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
4) 04/PDT.G/2007/PN.KB.MN
: Gugatan Ganti Rugi
5) 05/PDT.G/2007/PN.KB.MN
: Gugatan Cerai
6) 06/PDT.G/2007/PN.KB.MN
: Gugatan Waris
7) 07/PDT.G/2007/PN.KB.MN
: Gugatan Ganti Rugi
8) 08/PDT.G/2007/PN.KB.MN
: Gugatan Cerai
9) 09/PDT.G/2007/PN.KB.MN
: Gugatan Wanprestasi
10) 10/PDT.G/2007/PN.KB.MN
: Gugatan Cerai
60
11) 11/PDT.G/2007/PN.KB.MN d.
: Gugatan Perbuatan Melawan Hukum89
Perkara gugatan tahun 200890
NO 1 2 3 4 5 6 7
NO 1 2 3 4 5
NO 1 2 3 4 5 6 7 NO 1 2 3
PERKARA PIDANA Sisa Tahun 2007 Masuk dalam Tahun 2008 Putus Terdakwa / Jasa Menerima Terdakwa / Jaksa Minta Banding Terdakwa / Jaksa Minta Kasasi Terdakwa Minta Grasi
PERKARA PIDANA Sisa Tahun 2007 Masuk dalam Tahun 2008 Putus Kasasi Grasi PERKARA PERDATA GUGATAN Sisa Tahun 2007 Masuk dalam Tahun 2008 Putus Para pihak menerima Para pihak minta Banding Para pihak minta Kasasi Dilaksanakan Eksekusi PERKARA PERDATA PERMOHONAN Sisa Tahun 2007 Masuk dalam Tahun 2008 Putus
JUMLAH Keterangan Biasa Singkat 51 444 438
0 4 4
430 8 7 0
0 0 0 0
JUMLAH Keterangan Biasa Singkat 0 78 78 0 0
0 1320 1320 0 0
JUMLAH
Keterangan
3 11 6 2 4 5 0 JUMLAH
Keterangan
0 14 14
4. Respon Hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun Tentang Pencabutan Hak Opsi dan Kewenangan Baru Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 89 90
Laporan Tahunan Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun Tahun 2005-2007. Laporan Tahunan Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun Tahun 2008.
61
Lahirnya Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama membawa konsekwensi baru, Pengadilan Agama yang sebelumnya hanya memberikan fatwa seputar waris dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, kembali memiliki wewenang untuk menyelesaikan perkara waris orang Islam, tetapi pengembalian kewenangan waris ke Pengadilan Agama tidak sepenuh hati, karena umat Islam masih diberikan hak opsi yaitu hak untuk memilih hukum apa yang akan digunakan, jika menghendaki hukum Islam, maka diselesaikan di Pengadilan Agama dan sebaliknya jika memilih huku Adat atau hukum Barat maka diselesaikan di Pengadilan Negeri.91 Setelah lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Amandemen dari UndangUndang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang didalamnya ada penghapusan hak opsi dan kewenangan baru dibidang ekonomi syari’ah, hal ini menimbulkan respon yang berbeda dikalangan hakim Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun, Bapak Teguh Sri Rahardjo, beliau mengatakan bahwa pemberian hak opsi waris lebih menjamin rasa keadilan, karena kalau kita melihat hukum waris di Indonesia itu yang berlaku ada 3, yaitu hukum Adat Warisan Baru, hukum Barat (BW), dan hukum Waris Islam. Jadi diantara para ahli waris lebih baik memilih hukum mana yang dipakai yang menurut mereka dianggap paling adil dalam menyelesaikan perkara waris.92 Kemudian menurut Ibu Mira Sendangsari, beliau mengatakan memang seharusnya perkara waris orang Islam sudah seharusnya ditangani oleh Pengadilan Agama, selain itu pengurangan kewenangan di Pengadilan Negeri terhadap perkara waris orang Islam berarti mengurangi volume perkara yang masuk ke Pengadilan Negeri yang secara otomatis mengurangi beban pekerjaan hakim Pengadilan Negeri.93 Untuk penanganan masalah ekonomi syari’ah hakim Pengadilan Negeri meragukan hakim Pengadilan Agama dalam penyelesaian masalah ini, apalagi dalam perkara ini hukum BW masih dipergunakan, apalagi sampai saat ini belum ada hukum materiil yang menjadi rujukan para hakim, tapi setelah lahirnya Undang-Undang No. 3 91
Lihat transkrip wawancara nomor: 02/2-W/F-1/7-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. Ibid. 93 Lihat transkrip wawancara nomor: 03/3-W/F-1/13-X/2009 dalam lampiran skripsi ini. 92
62
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama diikuti pula dengan lahirnya Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang Surat berharga Syari’ah Negara dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah, tapi sejauh itu pula belum ada hukum yang pasti yang dipakai rujukan.94
BAB IV 94
Ibid.
63
ANALISA PENERIMAAN PERKARA BAIK DI PENGADILAN AGAMA MAUPUN PENGADILAN NEGERI KABUPATEN MADIUN SEBELUM DAN PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 2006 DAN RESPON HAKIM TERKAIT PENCABUTAN HAK OPSI DAN KEWENANGAN BARU
A. Pengadilan Agama Kabupaten Madiun 1. Analisa Terhadap Penerimaan Perkara di Pengadilan Agama Kabupaten Madiun Sebelum dan Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Apabila ditinjau dari jumlah perkara yang masuk di Pengadilan Agama Kabupaten Madiun dari tahun 2004-2008, belum ada perubahan ataupun peningkatan yang signifikan pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006,
seharusnya
adanya
undang-undang
ini
dapat
meningkatkan jumlah perkara yang masuk di Pengadilan Agama, yang didalamnya terdapat pencabutan hak opsi, kewenangan di bidang ekonomi syari’ah dan kewenangan-kewenangan lain diwilayah hukumnya. Sejauh ini perkara yang mendominasi ialah perkara dibidang perkawinan yang meliputi cerai talak dan cerai gugat95, seperti dijelaskan pada bab terdahulu data-data perkara yang masuk di Pengadilan Agama Kabupaten Madiun u ntuk perkara waris adalah sebagai berikut: 79
a. Tahun 2004 95
: 1 perkara waris
Lihat Transkrip Wawancara nomor: 05/5-W/F-1/13-X/2009 dalam lampiran skripsi ini.
64
b. Tahun 2005
: tidak ada perkara waris masuk
c. Tahun 2006
: 1 perkara waris
d. Tahun 2007
: 1 perkara waris (penetapan ahli waris)
e. Tahun 2008
: tidak ada perkara waris masuk96
Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970
Tentang
Ketentuan-ketentuan
Pokok
Kekuasaan
Kehakiman yang masih tetap berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa lingkungan Peradilan Agama adalah salah satu diantara lingkungan “Peradilan khusus” sama halnya seperti Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, yakni melaksanakan fungsi kewenangan mengadili perkara “tertentu” dan terhadap rakyat “tertentu”. Penjelasan lebih lanjut mengenai kata “Perkara tertentu” dan “Rakyat tertentu” dapat dilihat dalam Pasal 2 dan 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dinyatakan, bahwa: “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undang-undang ini”. 96
Laporan Tahunan Pengadilan Agama Kabupaten Madiun Tahun 2004-2008.
65
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 di atas berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang mencantumkan kata “perdata” sehingga sebelum adanya perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 ini, maka bunyi Pasal 2 itu adalah: “Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan Kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam Undang-Undang ini”.
Dengan demikian jelas, bahwa perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama tersebut membawa perubahan kewenangan Peradilan Agama, yang semula hanya berkewenangan menyelesaikan perkara perdata, tetapi dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Peradilan Agama telah diberi kewenangan baru untuk mengadili perkara non perdata. Perubahan ini dipandang sebagai upaya pemberian landasan yuridis bagi Peradilan Agama untuk memiliki peradilan khusus yang disebut dengan nama Mahkamah Syariah untuk Tingkat Pertama dan Mahkamah Syariah Propinsi untuk Tingkat Banding sebagaimana diatur dalam Pasal 3A dan penjelasannya jo. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain dari itu,
66
perubahan ini juga dianggap sebagai upaya sinkronisasi terhadap peraturan sebelumnya yang telah lebih dahulu diundangkan, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Walau sebenarnya tidak lazim mendahulukan peraturan organik dari peraturan pokoknya, karena tidak jarang idealisme hukum organik sudah tertinggal bila dibandingkan dengan interval waktu dan interaksi sosial yang mengitari pemberlakuan peraturan pokok tersebut. Dengan adanya penjelasan ini, maka Peradilan Agama tidak lagi hanya berkewenangan menyelesaikan perkara perdata, tetapi juga perkara pidana yang berkaitan dengan pelanggaran yang terdapat dalam Pasal 45 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor
1
Tahun
1974
Tentang
Perkawinan dan sanksi jinayāh terhadap pelanggaran qanūn di Naggroe Aceh Darussalam. Hal yang sangat menarik dan membuat UndangUndang hasil Amandemen ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama adalah, adanya kebolehan non muslim menundukkan diri secara sukarela kepada hukum Islam97. Ketentuan seperti ini dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 49 UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menyatakan, bahwa: 97
Lihat Transkrip Wawancara nomor: 02/2-W/F-1/7-V/2009 dalam lampiran skripsi ini.
67
“Yang dimaksud dengan antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai halhal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan pasal ini”.
Dengan demikian, maka penjelasan Pasal 49 ini memberikan peluang Peradilan Agama menyelesaikan sengketa non muslim sepanjang yang disengketakan termasuk kewenangan absolut Peradilan Agama.
2. Analisa Terhadap Respon Hakim Pengadilan Agama Terkait Pencabutan Hak Opsi dan Kewenangan Baru Dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 Berkenaan dengan pilihan hukum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun1989, oleh penjelasan umum alinea kedua Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dinyatakan bahwa: “..... kalimat yang terdapat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menyatakan “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian waris dinyatakan dicabut”.
Dengan demikian, sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ini, maka setiap perkara waris yang
68
pewarisnya beragama Islam, peradilan yang menyelesaikan perkara tirkah pewaris tersebut adalah Peradilan Agama. Ini berarti bahwa ahli waris yang ditinggalkan pewaris tidak mempunyai hak untuk memilih peradilan mana yang dapat menyelesaikan sengketa waris dan mal waris diantara sesama ahli waris. Titik penentu peradilan mana yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa waris mereka adalah dilihat agama pewaris, kalau pewaris beragama Islam, maka peradilan yang menyelesaikan sengketa waris maka waris diantara sesama ahli waris adalah Peradilan Agama. Yang menarik dicermati adalah, solusi sengketa hak milik yang ditawarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, yaitu dengan mempertahankan bunyi Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama98, selanjutnya dijadikan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang berbunyi: “Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”.
Sedangkan solusinya dijadikan ayat (2) yang berbunyi:
98
Lihat Transkrip Wawancara nomor: 04/4-W/F-1/20-X/2009 dalam lampiran skripsi ini.
69
“Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49”.
Sepintas pencantuman Pasal 50 ayat (2) tersebut dianggap sebagai solusi, tetapi kalau dicermati lebih mendalam dengan memperhatikan idealisme dan realisme hukum di Indonesia saat ini, maka solusi yang diberikan tidak lain dari kehendak menyisakan masalah lama dengan modus baru. Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dinyatakan, bahwa: “Dalam hal terjadinya sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”.
Sengketa hak milik yang dimaksud dalam Pasal 50 di atas adalah berdasarkan kepemilikan yang didasarkan kepada selain ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Apabila terjadi sengketa milik yang didasarkan kepada ketentuan Pasal 49 tersebut, maka Peradilan Agama tetap berwenang menyelesaikannya99. 99
Ibid.
70
Ketentuan mengenai sengketa hak milik yang diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, sebagaimana tersebut di atas. Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 50 ayat (2) di atas dapat dirumuskan bahwa, perkara-perkara yang didalamnya terdapat sengketa hak milik, maka khusus mengenai objek sengketa hak milik yang subjeknya adalah orang yang beragama Islam diputus oleh Pengadilan Agama, tetapi apabila subjeknya tidak beragama Islam atau tidak dapat ditentukan agamanya, maka berlaku ketentuan yang terdapat dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama atau Pasal 50 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, yaitu harus terlebih dahulu diputus oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Perlu digaris bawahi kata “subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam”. Ini menunjukkan, bahwa realitas hukum yang dijemputnya masih jauh tertinggal bila dibanding dengan realitas hukum dan realitas sosial masyarakat saat ini yang tidak hanya menempatkan orang sebagai subjek hukum, tetapi juga badan hukum.
71
Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya kewenangan baru di Pengadilan Agama dan dan pancabutan hak opsi di dalamnya menimbulkan respon yang berbeda di kalangan hakim Pengadilan Agama, tapi mereka rata-rata setuju dengan adanya pencabutan hak opsi dan kewenangan tersebut, tapi untuk masalah sengketa hak milik yang mana dalam Pasal 50 yang dulu dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 hanya ada 1 ayat saja sekarang menjadi 2 ayat yaitu ayat 1 dan 2 itu dianggap sebagai solusi, tapi kalau diteliti secara mendalam dengan memperhatikan realisme dan idealisme hukum yang ada di Indonesia, maka hal tersebut hanyalah menyisakan kehendak lama dengan modus baru.
B. Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun 1. Analisa Terhadap Penerimaan Perkara di Pengadilan Negeri Sebelum dan Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Apabila ditinjau dari jumlah perkara yang masuk di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun dari tahun 2004-2008, jumlah perkara yang masuk relatif stabil dan paling banyak didominasi oleh perkara pidana
72
dibanding perdata, jadi pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tidak ada pengaruh yang sangat signifikan terhadap penerimaan perkara, secara garis besar adalah sebagai berikut: a. Tahun 2005
: 14 perkara perdata gugatan
b. Tahun 2006
:
c. Tahun 2007
: 14 perkara perdata permohonan
9 perkara perdata gugatan
11 perkara perdata gugatan d. Tahun 2008
: 14 perkara perdata permohonan 11 perkara perdata gugatan100
Memang di Pengadilan Negeri tidak dijelaskan secara rinci macam-macam perkara yang masuk, tapi cuma dibagi kedalam 2 jenis perkara yaitu pidana dan perdata tapi jenis perkara perdata yang masuk kebanyakan juga perkara waris, perceraian antara orang beda agama, dan perdata lain. Masyarakat yang memilih mendaftarkan perkaranya ke Pengadilan Negeri, mereka mengharapkan bagian dengan porsi yang sama diantara masing-masing ahli waris dengan menggunakan hukum Eropa atau hukum Adat Warisan Baru101. Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwasannya antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun untuk masuknya perkara waris dalam waktu sebelum dan sesudah
100
PN Kab. Madiun, Situasi Daerah Hukum Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun, Tahun 2004-2008. 101 Lihat Transkrip Wawancara nomor: 06/6-W/F-1/12-X/2009 dalam lampiran skripsi ini.
73
adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dalam tiap tahunnya memang relatif sedikit dan hampir tidak ada perkara waris yang masuk, kalau di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun itu sendiri lebih didominasi perkara pidana daripada perkara perdata, dan untuk perkara ekonomi syari’ah juga belum pernah masuk sebelum adanya UndangUndang ini.
2. Analisa Terhadap Respon Hakim Pengadilan Negeri Terkait Pencabutan Hak Opsi dan Kewenangan Baru Dalam UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 Kemudian kalau untuk masalah respon hakim Pengadilan Negeri itu sendiri untuk pencabutan hak opsi sepertinya kurang efisien, karena kalau kita melihat hukum waris itu sendiri yang berlaku di Indonesia ada 3, yaitu Hukum Waris Islam, Hukum Waris BW dan Hukum Adat Warisan Baru, apabila kalau kita melihat ke hukum Adat, kalau dihilangkan dari masyarakat kita itu sangatlah sulit sekali, apabila kita lihat di pulau Sumatera, disana hukum Adat sangat kuat sekali terutama dalam hal waris dan perkawinan, tapi pasca Undang-Undang ini pun tidak berpengaruh sama sekali terhadap volume perkara di Pengadilan Negeri sini, dan itu saya rasa kembali kepada masyarakat kita akan pentingnya kesadaran hukum dan menentukan pilihan hukum.
74
Hakim Pengadilan Negeri sendiri tentang adanya pencabutan hak opsi waris dan kewenangan baru dbidang ekonomi syari’ah itu ada yang pro dan kontra, sebagian lagi mereka tidak setuju dengan adanya penghapusan hak opsi waris karena dengan adanya hak opsi itu lebih menjamin rasa keadilan karena didalamnya ada pilihan hukum yaitu hukum Barat (BW), hukum Islam, dan Hukum Adat Warisan Baru. Dan sebagian lagi ada yang pro dengan hal ini karena mereka itu berpendapat memang perkara orang Islam itu seharusnya diselesaikan di Pengadilan Agama102. Kemudian perkara ekonomi syari’ah itu sendiri kalau diselesaikan di Pengadilan Agama sepertinya kurang efisien kalau diselesaikan disana, dikarenakan belum adanya hukum yang pasti dalam penyelesaian masalah ini dan hukum BW juga masih digunakan disini. Dari keterangan di atas dapat diketahui adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama memang memberikan varian yang baru di Pengadilan Agama, tetapi hal ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan hakim Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun.
102
Lihat Transkrip Wawancara nomor: 07/7-W/F-1/13-X/2009 dalam lampiran skripsi ini.
75
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Untuk jumlah penerimaan perkara di Pengadilan Agama Kabupaten Madiun sebelum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jumlahnya rata-rata hanya ada 1 perkara bahkan tidak ada sama sekali dalam tiap tahun, hal itu juga terjadi pasca Undang-Undang tersebut. Perkara waris yang masuk, hanya ada satu dalam tiap tahunnya bahkan tidak ada sama sekali, dan untuk perkara ekonomi syari’ah belum ada yang masuk. Kemudian di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun masih ada perkara waris yang masuk pasca Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 dan jumlahnya hanya ada 1 perkara, hal ini dikarenakan masyarakat Madiun lebih memilih cara kekeluargaan dalam penyelesaian ini. Untuk perkara ekonomi syari’ah juga belum ada yang masuk, hal ini dikarenakan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 belum berlaku secara efektif. 2. Untuk respon hakim di Pengadilan Agama, mereka rata-rata setuju dengan adanya penghapusan hak opsi, karena mereka berpendapat bahwa adanya pencabutan hak opsi itu akan menjunjung tinggi azas personalitas ke-Islaman, dan pencabutan hak opsi itu sendiri tidak akan membuat orang Islam menomorduakan hukum Islam. Kemudian untuk hakim Pengadilan Negeri mereka ada yang pro dan kontra tentang adanya pencabutan hak opsi dan kewenangan baru di Pengadilan Agama, karena mereka berpendapat hak opsi itu akan menjamin rasa keadilan bagi para pihak yang berperkara, kemudian mereka yang setuju mengatakan, bahwa perkara orang Islam itu memang diselesaikan di Pengadilan Agama.
B. Saran-Saran 1. Pemerintah harus mensosialisasikan adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yang di dalamnya terdapat penghapusan hak opsi, kewenangan
92
76
baru di bidang ekonomi syariah secara terus-menerus dalam rangka meningkatkan pemahaman dan pelaksanaan serta penerapan baik di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri. 2. Hendaknya Majelis hakim Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri mempunyai keberanian untuk lebih mengutamakan keadilan daripada bunyi pasal dalam ketentuan perundang-undangan dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.
77
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad Daud & Habibah Dayd. Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1995. Anshori, Abdul Ghafur. Peradilan Agama Pasca UU No. 3 Tahun 2006: Sejarah Kedudukan, dan Kewenangan. Yogyakarta: UII Press, 2007. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Penelitian Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Basri, Cik Hasan. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Rajawali, 2000. Basuki. Pengantar Metodologi Penelitian. Naskah tidak diterbitkan. Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia cet. 3. Jakarta: Balai Pustaka. 1996. Halim, Abdul. Peradilan Agama Dalam Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Grafindo Persada, 2000.
PT. Raja
Hamami, Taufiq. Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama Dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia. Bandung: Alumni, 2003. Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Sinar Grafika. 2003. Latif, M. Djamil. Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang, 1983. Lukito, Ratna. Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta: INIS, 1998. Mahfiana, Layyin. Ilmu Hukum. Ponorogo: Lembaga Penerbitan dan Pengembangan Ilmiah STAIN Ponorogo, 2005. Mattew B. Miles & A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, Terj. Tjetjep Kohendi Rohidi (Jakarta: UI Press, 1992), 20. Mertokusumo, Sudikno. Sejarah Peradilan dan Perundang-Undangannya di Indonesia Sejak 1942. Vol. 2. Yogyakarta: Liberty, 1983 Munawir, Ahmad, Warson. Al-Munawir (Kamus Arab Indonesia) Cet. 3. Surabaya: Pustaka Progresif, 1997. Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000. Noeh, Zaini Ahmad. Sebuah Perspektif: Sejarah Lembaga Islam di Indonesia. Bandung: AlMa’arif, 1980. Noer, Deliar. Administrasi Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1983. Ramulyo, M. Idris. Beberapa Masalah Tentang Hukum Acara Perdata Peradilan Agama. Jakarta: Ind.Hill.co, 1991. Reid, Antony. The Indonesian National Revolution 1945-1950. Connecticut: Green Wood Press, 1974.
78
Sabrie, Zuffran. Peradilan Agama di Indonesia: Sejarah Perkembangan Lembaga dan Proses Pembentukan Undang-Undangnya. Jakarta: DEPAG RI, 1999. Sugiyono. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2005. Tresna. Peradilan di Indonesia Dari Abad Ke Abad Vol. 3. Jakarta: Pradnya Paramita, 1978. Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum. Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Laporan Penerimaan Perkara di Pengadilan Agama Kabupaten Madiun Tahun 2004-2008. Laporan Penerimaan Perkara di Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun Tahun 2004-2008. Laporan Situasi Daerah Pengadilan Negeri Kabupaten Madiun.
ARTIKEL: Dawi, Mansur, Ahsan, Paradigma Baru Peradilan Agama, (online). wonosari.net/asset/paradigma-baru-pa.pdf, diakses 20 Mei 2009.
http://www.pa-
Indrajit, Norik, Surat Keterangan Waris, http://pewarisan.com.index.php?option=com.content&task=view&did=40&item diakses 6 mei 2009.
(online), d=1,
Kelik Pramudya, Perubahan Kewenangan Pengadilan Agama Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 (online) (http://click-gtg.blogspot. com/2008/06/perubahan-kewenanganpengadilan-agama.htm, diakses 1 Mei 2009. Latifah, Disriani. Sejarah Terbentuknya Pengadilan Negeri 1983, online, (http://staff.blog.ui.ac.id/disriani.latifah/2009/09/30/sejarah_terbentuk, diakses 27 Oktober 2009. Muslih, Muhammad Hukum Acara Peradilan Agama (online) (http://pkpabhi.files.wordpress.com/2008/08/hkm-acara-peradilan-agama-m-muslihpdf, diakses 1 Mei 2009). Muttaqien, Dadan, “Human Assesment Peradilan Agama Pasca UU No. 3 Tahun 2006”,(online) http://journal.uii.ac.id/idex.php/JHI/article/viewfile/202/191, diakses 3 Mei 2009.
79
Siti, Muzaidah, Dewi, Persepsi Hakim PA dan PN pasca Amandemen UU No. 7 Tahun 1989, http://digilib.sunan(online),
ampel.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&jd=jtptiair-gdl-51-2007dewisitimu, diakses 10 Juni 2009. http://www.skripsi_tesis.com/07/02_hak_opsi_dlm_penyelesaian_waris, diakses 20 Oktober 2009.
http://pa_kab_madiun.net/content/section/6/22, (online), diakses 20 Juli 2009.
(online),