BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penurunan produksi minyak bumi di Indonesia merupakan sebuah masalah besar yang terus dibicarakan akhir-akhir ini. Pada era 1970 hingga 1990an Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai produksi minyak bumi cukup besar. Puncak produksi minyak bumi terjadi pada tahun 1977 dengan jumlah produksi mencapai sekitar 1,60 juta barel per hari dan tahun 1995 dengan jumlah produksi 1,62 juta barel per hari. Setelah periode tersebut, lambat laun produksi minyak bumi mengalami penurunan secara alami hingga mencapai kisaran penurunan antara 5 hingga 15 % per tahun dari total produksi yang ada. Dalam kurun waktu lima tahun ke depan produksi minyak mentah dan kondesat dalam negeri diperkirakan hanya naik 5 persen dari target tahun ini sebanyak 960 ribu barel per hari. Diperkirakan hingga 2014, produksi minyak mentah dan kondesat hanya menembus level 1,01 juta barel per hari (Bpmigas, 2009). Penurunan produksi minyak bumi sangat bertolak belakang dengan permintaan minyak bumi sebagai kebutuhan energi yang semakin meningkat. Diperkirakan permintaan minyak dunia akan naik dari tingkat 84 juta barrel per hari saat ini menjadi 99 juta barrel per hari pada tahun 2015 dan 116 juta barrel per hari pada tahun 2030 (Bpmigas, 2010). Penurunan produksi minyak bumi di Indonesia disebabkan oleh umur sumur-sumur pengeboran yang sudah tua dengan water cut yang tinggi
1
(>90%) sehingga perlu diupayakan metode produksi yang meningkatkan produksi sumur-sumur lama. Sebagian besar cadangan minyak bumi Indonesia masih tersebar di bagian Indonesia bagian barat, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera sedangkan potensi wilayah Indonesia bagian timur belum banyak ditemukan cadangan baru, terutama di daerah terpencil dan laut dalam sehingga usaha menemukan lahan eksplorasi baru dapat dikatakan lambat bila dibandingkan dengan permintaan minyak bumi yang terus meningkat secara signifikan. Peningkatan
produksi
yang
dilakukan
diberbagai
lapangan,
menyebabkan penurunan tekanan reservoir yang pada akhirnya mengurangi produktivitas sumur. Untuk mempertahankan penurunan tekanan tersebut, maka dilakukan secondary recovery sehingga dapat pula meningkatkan perolehan minyak terhadap total oil yang terdapat di dalam reservoir. Salah satu upaya secondary recovery ialah dengan melakukan injeksi air (waterflood). Injeksi air terbukti dapat mempertahankan penurunan tekanan reservoir dan juga dapat mendorong minyak semaksimal mungkin dari total minyak di reservoir disebut juga original oil in place (OOIP). Beberapa usaha secondary recovery dapat meningkatkan pengambilan minyak dari reservoir sebagaimana tabel 1 dibawah ini.
2
Tabel 1. Usaha secondary recovery yang telah dilakukan
Usaha yang bisa dilakukan untuk meningkatkan produksi minyak bumi adalah dengan optimalisasi lapangan-lapangan yang ada yaitu melalui tertiary recovery, salah satunya yaitu EOR (Enhanced Oil Recovery). Metode ini merupakan cara pengambilan minyak bumi untuk ladang minyak yang sudah tidak dapat diambil, yaitu dengan cara menginjeksikan bahan-bahan yang tidak terdapat di dalam reservoir itu sendiri.Dengan EOR jumlah minyak yang berhasil diekstrak dari ladang minyak mencapai 30-60% dibandingkan 2040% dengan menggunakan primary dan secondary recovery (Lake, 1989) berupa air injeksi tanpa tambahan polimer. Salah satu metode EOR adalah dengan menambahkan polimer kedalam water injeksi sebagaimana Gambar 1.
3
Gambar 1. Strategi air injeksi dengan menambahkan polimer (Lindley, 2001) Penambahan polimer dalam air injeksi dimaksudkan untuk: 1. Memperbaiki sifat fluida pendesak, yaitu viskositasnya sehingga diharapkan dapat meningkatkan perolehan minyak yang lebih besar. 2. Mengurangi mobilitas ratio antara air dengan minyak sehingga dapat meningkatkan efisiensi penyapuan minyak didalam reservoir. Air injeksi dicampur dengan polimer agar visksoitas larutan injeksi dapat meningkat sehingga mengurangi mobilitas air formasi.Penyiapan air injeksi dilakukan di stasiun injeksi.Proses flow diagram sederhana dari penyiapan larutan injeksi dapat dilihat di Gambar 2.
4
Ke sumur injeksi
Gambar 2. Proses diagram alir dari penyiapan larutan Injeksi polimer Polimer dimasukkan ke wetting chamber dicampur dengan air formasi, dari wetting chamber larutan dipompa dengan pompa khusus dimasukkan ke maturation tank yang difungsikan secara seri. Di dalam wetting chamber dan maturation tank, polimer bercampur dengan air formasi menyebabkan viskositas larutan hasil campuran membesar. Larutan kemudian dipompa dan dicampur dengan air formasi yang tidak dicampur dengan polimer, dan akhirnya masuk ke dalam sistem injeksi. Karena berbagai faktor selama pengoperasian injeksi polimer, dijumpai adanya berbagai masalah. Berbagaipermasalahan yang terjadi saat operasional injeksi polimer di lapangan antara lain: 1. Viskositas antara maturation tank pertama dan kedua mengalami penurunan siginificant dari 2000 cP bisa menjadi sekitar 400 cP meskipun tidak ada penambahan air di maturation tank.Secara teori justru
5
maturation tank kedua seharusnya viskositasnya lebih besar atau sama dengan viskositas maturation tank pertama. 2. Konsentrasi polimer injeksi berbeda dengan saat test laboratorium.Untuk mencapai viskositas injeksi lebih dari 5 cP, diperlukan konsentrasi 2 kali lipat dibanding saat lab test di negara produsen polyacrylamide. 3. Penentuan waktu tinggal larutan polimer belum tepat. Jika waktu tinggalnya terlalu sedikit maka pencampuran akan kurang homogen, sedangkan apabila waktu tinggal terlalu lama, viskositas dikhawatirkan akan turun. 4. Hasil pengukuran sampling yang dilakukan di laboratorium diluar stasiun injeksi,menunjukkan penurunan dibanding pengukuran viskositas yang dilakukan di stasiun injeksi, walaupun dengan alat yang sama dan waktu pengukuran hanya selisih sekitar 4 jam. Beberapa permasalahan diatas mengakibatkan kebutuhan material polimer menjadi lebih banyak, karena kebutuhan konsentrasi polimer 2 kali lipat dibanding saat perhitungan kebutuhan awal. Penggunaan material polimer yang semakin banyak, maka akan semakin banyak biaya operasional yang dikeluarkan. Diinginkan penggunaan polimer yang seminimal mungkin, akan tetapi mencapai target viskositas injeksi.
6
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh konsentrasi polimer polyacrylamide dan kondisi operasi terhadap viskositas air injeksi sehingga dapat mengetahui sistem injeksi yang optimal sebagaimana diminta oleh subsurface engineer, untuk diinjeksikan kedalam sumur yaitu 5-12 cP.Pada penelitian ini akan dipelajaridegradasi polyacrylamide secara kimiawi serta pengaruh suhu dan salinitas yang menyebabkan penurunan viskositas air injeksi.
C. Tinjauan Pustaka EOR mempunyai tujuan utama adalah untuk meningkatkan overall recovery minyak bumi, yang didalamnya dapat ditinjau secara proses mikroskopik dan makroskopik pendesakan minyak keluar dari dalam reservoir. Mikroskopik mengacu kepada pendesakan atau mobilisasi dari minyak didalam pori-pori batuan Sedangkan makroskopik mengacu pada effisiensi penyapuan minyak oleh fluida pendesak baik secara mendatar ataupun vertical (Green & Willhite, 1998).Gambar 3 merupakan skematik dari penyapuan baik secara mikroskopik maupun makroskopik.
7
. Gambar 3. Skematik penyapuan minyak secara mikroskopik dan makrokopik (Lyons & Plisga, 2005) Didalam teknik EOR terdapat metode injeksi uap panas, ataupun gas terlarut menggunakan CO2, dan juga dengan chemical yang diharapkan dapat merecovery 10-35 % lebih banyak dibanding hanya secondary recovery dengan air injeksi. Dari beberapa kemungkinan chemical EOR (CEOR), injeksi dari polymer yang terlarut dalam air injeksi dengan bentuk larutan yang encer, merupakan teknik langsung dengan sejarah panjang dan hasil yang sudah terbukti. Injeksi dilakukan dalam rangka untuk memperbaiki efektivitas penyapuan didalam reservoir dan menyediakan sarana untuk mengontrol mobilitas air terhadap oil dengan cara menaikkan
viskositas air injeksi.
Injeksi dari larutan dengan viskositas yang besar dapat dijalankan sendirian ataupun dikombinasikan dengan chemical lain yang bisa menaikkan recovery
8
dari minyak didalam reservoir, chemical lain yang bisa digunakan biasanya adalah surfaktan. 1. Polymer injeksi Tujuan
dari
memasukkan
polymer
kedalam
waterflood
biasanyaadalah untuk merubah mobilitas ratio, terutama mobilitas dari air injeksi. Kenaikan produksi karena adanya waterflood dapat digambarkan dengan formula sederhana berikut: Q liquid total =Q water + Q oil ……………….…………… (1) Qliquid total bisa dinaikkan misal dengan menaikkan kecepatan pompa produksi. Dari Darcy Equation: Q water
Qoil
=
=
k water A P .................................................(2) w X
k oil A P ......................................................(3) oil X
(penelitian inta, gatot minyak bumi) Apabila viskositas air dinaikkan walau tidak secara paralel, maka rate waterdanwater cut produksi turun, sehingga Qoil dapat lebih banyak terproduksi. Mobilitas air dijaga agar tidak terlalu besar yang mengakibatkan
minyak
dapat
lebih
mudah
keluar
dibanding
sebelumnya.Rasio mobilitas rasio dapat menggambarkan effisiensi penyapuan minyak oleh air injeksi, dalam hal ini larutan polimer menyapu minyak yang tersisa di dalam batuan.
9
k water M=
w k oil
.........................................................(4)
oil Nilai rasio mobilitas memiliki makna sebagai berikut: -
M = 1, menunjukkan bahwa minyak dan air bergerak dengan laju yang relatif sama.
-
M < 1, menunjukkan bahwa air bergerak dengan laju yang lebih lambat daripada minyak sehingga efisiensi pendesakan lebih tinggi
-
M > 1, menunjukkan bahwa air bergerak lebih cepat dibandingkan dengan minyak dimana hal ini menyebabkan turunnya efek pendesakan minyak oleh air. Jika hanya dilakukan waterflood biasa maka akan banyak minyak
yang tertinggal karena adanyagaya kapilaritas dan minyak yang terlewatkan dari sapuan injeksi (bypassed)(Sorbie, 1991).Dengan rasio mobilitas air/minyak yang rendah, diharapkan bahwa efektivitas penyapuan tinggi dan minyak yang ter-bypass semakin kecil.Pada injeksi polimer, umumnya larutan polyacrylamide dengan air formasi pada konsentrasi beberapa ratus hingga ribuan ppm polimer diinjeksikan untuk mendorong minyak ke sumur-sumur produksi. Ukuran slug polimer bervariasi dengan kisaran 20% hingga 100% pore volume (PV) dari reservoir. Larutan dengan konsentrasi polimer tinggi diinjeksikan terlebih dahulu selama kurun waktu tertentu, kemudian diikuti oleh beberapa slugs konsentrasi rendah, danterakhir dengan injeksi air formasi. Larutan
10
polimer didesain agar pendesakan sesuai yang diinginkan sehingga proses penyapuan minyak di reservoir berlangsung homogen seperti ilustrasi pada Gambar 4 berikut.
Gambar 4.Ilustrasi perbandingan injeksi air tanpa polimer (a) dan injeksi air dengan polimer di reservoir (b). Pada injeksi air, jika pendesakan yang terjadi kurang baik, air cenderung menerobos ke sumur produksi meninggalkan banyak minyak yang tidak terdesak. Kecenderungan ini semakin kuat pada reservoir dengan heterogenitas geologi tinggi. Mekanisme utama yang berperan dalam peningkatan produksi minyak pada injeksi polimer adalah terjadinya peningkatan efsiensi penyapuan makroskopik larutan injeksi, yang terdapat polimer didalamnya, menjadi kurang dari mobilitas minyak yang didesak dari reservoir.
11
2. Jenis polimer yang digunakan untuk injeksi Jenis polimer yang umum digunakan untuk injeksi guna meningkatkan
perolehan
minyak
adalah
Xanthan
Gum
dan
Polyacrilamide. Keduanya merupakan polimer yang dapat larut dalam air. a. Xanthan Gum Xanthan Gum sering juga disebut polisakarida yang merupakan polimer alam yang larut dalam air. Xanthan Gum dihasilkan dari mikroorganisme Xanthomonas campestris, melalui proses fermentasi pada media karbohidrat yang mendapatkan supply protein dan energi gas nitrogen (N2). Xanthan gum dapat meningkatkan viskositas. Sifat ini adalah rheologi dari xanthan gum karena asosiasi rantai polimer. Adanya sedikit Sodium Chloride (NaCl) akan menurunkan viskositas larutan xanthan gum. Polisakarida xanthan gum dihasilkan dari polimerisasi molekul molekul sakarida.Polisakarida yang diproduksi dari proses fermentasi bakteri. Proses ini menghasilkan banyak kotoran padatan, sehingga harus dibersihkan sebelum menjadi bahan polimer injeksi. Polisakarida rentan terhadap serangan bakteri dalam reservoir sehingga kurang diminati.
12
Gambar 5. Strukture kimia dari Xanthan (Littmann, 1988) b. Polyacrylamide Polyacrylamide merupakan polimer sintetis yang bersifat non– ionik
yang
disintesis
polyacrylamide
dari
mempunyai
monomer berat
acrylamide.
molekul
2-20
Umumnya
106x
gr/mol
(Pancharoen,2009) dan dibuat berdasarkan mekanisme radikal bebas. Untuk menambah keefektifannya dalam peningkatan perolehan minyak,
sering
ionik.Polyacrylamide
kali dapat
diinginkan menjadi
sifat
polimer
polimer
ionik
yang dengan
penambahan gugus–gugus bermuatan.Hal ini dilakukan dengan mereaksikan
polyacrylamide
dengan
basa
kuat
(NaOH
dan
KOH).Reaksi ini dikenal dengan istilah hidrolisa.
13
Gambar 6. Strukture kimia daripolyacrylamide terhidrolisa Polyacrylamiderelatif tahan terhadap serangan bakteri yang ada dalam reservoir tapi memiliki kecenderungan menurunkan permeabilitas batuan. Polimer Polisakarida dan polyacrylamidedikenal rentan terhadap temperature tinggi sehingga terbuka peluang riset untuk mengatasi kelemahan ini. Untuk penelitian ini akan fokus kepada polyacrylamide. Pemilihan Polimer dari polyacrylamide tergantung dari kondisi reservoir yang ada. Sampai saat ini ada beberapa batasan untuk menggunakan metoda EOR jenis polimer injeksi, batasan yang ada antara lain sebagaimana disebutkan di tabel 2. Tabel 2. Batasan reservoir apabila menggunakan injeksi polimer Reservoir temperature Salinity Oil viscosity
<130 OC <250.000 ppm 2 cP-10.000 cP
c. KYPAM HPAM Kypam adalah nama produk komersial dari China, yang didesain untuk mempunyai toleransi tinggi terhadap salinitas pelarut.Ada beberapa produk yang berada di pasaran. RSP1 banyak digunakan untuk drilling fluid; RSP2 digunakan utamanya untuk EOR; dan RSP3 banyak digunakan untuk water shut off atau profile
14
controlterutama di fracture zone yang dikhawatirkan produksi air formasi terlalu besar. Produk komersial RSP2, yang dikenal sebagai KYPAM di EOR, diproduksi oleh Beijing Hengju (Luo et al., 2002).KYPAM dalam struktur kimianya mempunyai fraksi dari fungsional monomers dengan acrylamide untuk membentuk polimer kombinasi.Struktur dari fungsional monomer, aromatic hydrocarbon dengan ethylene (AHPE), dan structure KYPAM bisa dilihat di gambar 7.
Gambar 7 (A) Struktur kimia AHPE (B) Struktur kimia dari KYPAM (Sheng, 2010) Gugus alkil R1, R2, dan R3 bisa berupa atom hydrogen atau alkil C1-C12 alkyl.Gugus A didalam strukture merepresentasikan dari gugus fungsional ionic yang mempunyai toleransi tinggi terhadap Ca2+ dan Mg2+. R1, R2, dan R3 mempunyai efek utama terhadap elastisitas polimer, dengan banyaknya atom carbon bertambah maka toleransi terhadap salinitas akan semakin bertambah (Luo dan Cheng, 1993). Gambar mikroskop dari KYPAM, ditunjukkan di Gambar 8.
15
Gambar 8. Foto mikroskop dari KYPAM(Wang et al. 2006) 3. Rheology Larutan Polimer Polimer digunakan sebagai pengental yang membuat viskositas larutan injeksi besar, polimer didalam larutan membentuk jaringan antara polimer. Sifat larutan polimer polyacrylamide bersifat non Newtonian sebagaimana pembahasan dibawah. a. Viskositas Fluida Viskositas didefinisikan sebagai tahanan fluida untuk bergeser (Sorbie, 1991), ketika sebuah fluida ditempatkan diantara dua plat paralel bergerak kedalam arah yang sama dengan kecepatan yang berbeda, perbedaan kecepatan di arah vertikal ditemukan bernilai linier untuk kebanyakan jenis fluida newtonian. Gradien kecepatan ini kemudian dinamakan shear rate dan didefinisikan sebagai:
dv .............................................................(5) dr
Gaya persatuan luas atau shear stress yang menyebabkan dari pergerakan dari dua plat dituliskan dengan persamaan:
16
F ( force) .................................................(6) A(area)
Viskositas kemudian didefinisikan sebagai ratio dari shear stress terhadap shear rate, hubungan antara kedua parameter dituliskan sebagai berikut:
dv .................................................(7) dr
b. Viskositas sebagai Fungsi Suhu, Konsentrasi dan Jenis Zat Viskositas cairan adalah fungsi dari ukuran dan permukaan molekul, gaya tarik antar molekul dan struktur cairan. Tiap molekul dalam cairan dianggap dalam kedudukan setimbang maka sebelum suatu lapisan molekul dapat melewati lapisan molekul lainnya diperlukan suatu energi tertentu.Sesuai dengan rumusan distribusi Maxwell-Boltzmann, jumlah molekul yang memiliki energi yang diperlukan untuk mengalir dihubungkan dengan faktor eE/RT. Secara kuantitatif pengaruh suhu terhadap viskositas dinyatakan dengan persamaan 8.
Ae E / RT .................................................(8) Atau ln
E ln A.................................................(9) RT
Dengan A adalah tetapan yang sangat bergantung pada massa molekul relatif dan volume molar cairan dan E adalah energi ambang per mol yang diperlukan untuk proses awal aliran.
17
4. Pengaruh berat molekul kepada viskositas larutan Semakin tinggi konsentrasi polyacrylamide di dalam larutan maka akan semakin tinggi viskositas larutan.Dalam analisa intrinsic viskositas semakin besar berat molekul polyacrylamide maka akan semakin besar pula viskositas larutan. Penentuan berat molekul polimer dapat dilakukan dengan
menggunakan
persamaan
Mark-
Houwink-Sakurada
yang
menghubungkan viskositas intrinsik dengan berat molekul : [µ ] = Km. BMa…………………………………..(10) untuk poliakrilamid pada suhu 30oC dalam pelarut air dan rentang berat molekul 500000 - 6000000. Klein (1980), menyebutkan bahwa nilai Km = 7,19 .10-3dan a = 0,77 (Sorbie, 1991). Nilai [µ] larutan polimer merupakan
kemampuan
molekul
polimer
untuk
meningkatkan
viskositasnya.Hal ini tergantung pada bentuk dan ukuran polimer. Untuk molekul polimer linier seperti polyacrylamide, kenaikan viskositas akan diikuti dengan kenaikan berat molekul. 5. Operasional dari fasilitas di permukaan a. Monitoring proses polimer injeksi Efisiensi dari proses injeksi dapt dilakukan dengan cara pengecekan berskala di pipa injeksi ataupun adanya viskosimeter digital yang terpasang di line injeksi, untuk memastikan target viskositas dapat tercapai. Prosedur pengambilan sample dilakukan secara baik, untuk memastikan hasil pengukuran sesuai dengan realitas. Pengukuran viskositas yang tidak akurat dapat disebabkan
18
karena adanya pengaruh dari lingkungan, misal dengan kontaminasi oksigen lingkungan sekitar yang menyebabkan degradasi secara kimiawi. Limbah yang dihasilkan karena proses yang tidak sesuai dengan spesifikasi polimer injeksi dapat diolah dengan demulsifier, sehingga kembali cair dan dapat diinjeksikan kembali.Permasalahan yang sering terjadi juga adanya penggumpalan dari bubuk polimer disebabkan terkena uap air saat penyimpanan. b. Fasilitas produksi di stasiun pengumpul Di fasilitas produksi, dimana terdapat injeksi polimer emulsi antara minyak dan air akan terbentuk. Sehingga demulsifier perlu dilakukan test demulsifiers lagi sehingga yang bisa menangani emulsi yang terbentuk, service company yang memasok demulsifier akan melakukan seleksi dan pemilihan demulsifier yang tepat melalui bottle test. Polyacrylamide merupakan polimer larut dalam air, sehingga kehadiranya di phase minyak dapat dikesampingkan. Anionic polyacrylamide merupakan flocculant yang efektif dari mineral solid. Apabila di dalam air formasi yang terproduksi memiliki total suspended solid yang besar, floc-floc akan memisah dari fase air sehingga terbentuk padatan hasil gumpalan-gumpalan floc, hal ini perlu ditangani dengan melakukan pembersihan secara rutin yang sudah biasa dilakukan di alat-alat pemisahan minyak dan air. Minyak dalam jumlah sedikit dan sebagian kecil suspended solid masih akan tersisa dibagian air, peralatan untuk penanganan air
19
formasi biasanya di design dengan viskositas air formasi kurang dari 4 cP, polymer breakthrough di system produksi akan menaikkan viskositas air formasi terproduksi dan akan menurunkan efficiency dari peralatan pemisahan dari segi kualitas hasil. Sebagai contoh dengan visksositas air terproduksi sebesar 10 cP, waktu tinggal yang dibutuhkan untuk pemisahan di alat pemisah membutuhkan bisa mencapai tiga kali lipat lebih lama dari sebelumnya. Sehingga harus ada bantuan dari chemical treatment dari demulsifier ataupun adanya tambahan panas dari heater, sehingga mampu membantu penanganan air formasi.
D. Landasan Teori Polimer dalam larutan mempunyai karakteristik visksoitas tersendiri.Larutan polimer umumnya digolongkan sebagai fluida pseudoplastic pada semua kondisi. Material pseudoplastic adalah salah satu yang menunjukkan daya tahan yang rendah selama bertambahnya shear rate. Polyacrylamide adalah chemical yang dapat mengalami degradasi dan aglomerasi, saat proses pencampuran dengan fluida injeksi dan saat proses injeksi kedalam. Tipe degradasi yang muncul adalah: degradasi chemical akibat reaksi dengan oksigen. Sedangkan aglomerasi dari polyacrylamidebiasa disebabkan karena adanya Ca2+ dan Mg2+.
20
1. Larutan polyacrylamide dengan sifat non-newtonian fluid Penelitian yang dilakukan (Lake, 1989) menyebutkan adanya polimer yang mempunyai sifat tidak sebagai fluida newtonian biasa akan tetapi
mengikuti
kaedah
fluida
non
newtonian,
dan
polimer
polyacrylamide mengikuti kaidah non newtonian fluid. Larutan polimer adalah larutan non-Newtonian untuk semua range konsentrasi, yaitu kira-kira 50-2000 ppm. Polimer digolongkan sebagai fluida non-Newtonian karena kelakuan alirannya yang sangat kompleks. Fluida non-Newtonian tidak dapat dicirikan dengan viskositas karena perbandingan shear stressterhadap
shear rate tidak konstan. Secara
matematis, rumus tersebut dikenal sebagai Power Law (Lake, 1989) : µ= K ()n-1…………………………………..(11) Beberapa larutan polimer, mempunyai karakteristik viskositas berbeda-beda sebagaimana ditunjukkan di gambar 9.
Gambar 9. Karakteristik viskositas dari berbagai jenis fluida Dari gambar diatas, mengindikasikan bahwa dengan naiknya shear rate maka viskositas akan mengalami penurunan.
21
2. Degradasi Kimiawi Akibat Reaksi dengan H2S Degradasi kimiawi berhubungan dengan pembentukan dari radikal bebas (Grollman dan Schnabel, 1982; Wellington, 1983) .Reaksi reduksi maupun oksidasi biasanya berhubungan dengan pembentukan dari radikal bebas (Fenton, 1984).Kehadiran dari pengotor didalam air injeksi maupun oksigen ikut berperan dalam pembentukan radikal bebas. Sebagai contoh, besi (II) maupun hydrogen sulfide berkontak dengan oksigen berkontribusi kepada degradasi polyacrylamide.Hydrogen sulfide menyebabkan kondisi dalam larutan menjadi asam, diikuti dengan pembentukan H3O+ .Ion hydrogen dari H2S menjadi nucleophile untuk membentuk ikatan dengan C=O, diikuti dengan adisi air kedalam polyacrylamide. Langkah selanjutnya adalah hilangnya NH3 untuk membentuk asam acrylate, pada akhirnya polyacrylamide akan membentuk carboxylate anion dan ammonia yang lebih stabil (Caulfield et al., 2002) Pembentukan ikatan rantai –COO-akan mengganggu panjang rantai polymer menjadi lebih pendek, karena terganggunya gaya tolak menolak antara monomer-monomer polymer yang pada akhirnya mengurangi viskositas larutan.
22
(Caulfield et. al., 2002) Gambar10. Mekanisme degradasi chemical akibat reaksi H2S 3. Aglomerasi polyacrylamide akibat tingginya salinitas larutan Jika air formasi mengandung salinitas tinggi, terutama akibat kation divalent seperti kalsium dan magnesium dengan kadar yang tinggi, penurunan viskositas terjadi karena adanya jembatan ionik yang dapat menyebabkan pengendapan polimer (Moradi-Araghi dan Doe, 1987). HPAM molekul lebih sensitive terhadap ion divalent dibanding ion monovalent, Pengendapan terjadi karena adanya ikatan yang kuat antara ion divalent and carboxylate group (COO-) (Lipton, 1974; Sandvik and Maerker, 1977)
Pengaruh ion logam
Ca2+, Mg2+, Na+, K+, etc
Gambar 11. Mekanisme aglomerasi polyacrylamide karena adanya ion logam yang membentuk chelates
23
Ikatan koordinasi antara ion-ion logam seperti Ca2+, Mg2+, Na+, K+ yang berfungsi sebagai chelates, menyebabkan perubahan morfologi karboksil. Chelates yang diserap pada permukaan solid-liquid menyebabkan perubahan pembentukan inti kristal yang menyebabkan perubahan bentuk dari molekul polyacrylamide. Sebagai contoh pertumbuhan inti dari calcium carbonate. Kristal kalsium carbonate mempunyai 3 bentuk kristal dan berdasarkan kestabilanya calcite> aragonite> vaterite. Bentuk umum dari calcite adalah rombohedron atau hexaghonal risma, sedangkan bentuk dari aragonite sepeti jarum.Bentuk dari morfologi vaterite adalah globular.Berdasarkan hasil scaning mikroskop elektron (Guolin Jing, 2013), penambahan konsentrasi HPAM akan menyebabkan bentuk kristal kalsium akan semakin besar dan membentuk bentuk aragonite dan vaterite sebagaimana dapat dilihat dari gambar 12.
Gambar 12. (a) Kristal CaCO3 tanpa adanya HPAM (b) Kristal CaCO3 adanya 100 ppm HPAM (c) Kristal CaCO3 adanya 300 ppm HPAM
Dari gambar diatas, kita dapat mengetahui dengan adanya tambahan HPAM di larutan yang ada ion logam seperti Ca2+, Mg2+, Na+, K+ akan dapat menyebabkan
24
pengendapan polyacrylamide dalam contoh ini CaCO3 dalam bentuk morfologi aragonite maupun vaterite.
E. Hipotesis Berdasarkan uraian diatas, dapat diajukan hipotesis sebagai berikut: 1. Penambahan polimer akan secara signifikan menaikkan viskositas larutan injeksi. 2. Dalam proses injeksi polimer terdapat kemungkinan terjadinya penurunan viskositas yang disebabkan oleh degradasi polimer. 3. Kenaikan shear rateakan dapat menyebabkan penurunan viskositas pada larutan polyacrylamide. 4. Degradasi polimer yang mungkin terjadi adalah: kimiawi, sedangkan aglomerasi polimer juga dapat terbentuk pada polyacrylamide, degradasi dan aglomerasi dapat menyebabkan turunnya viskositas larutan. 5. Beberapa parameter operasi dapat mempengaruhi viskositas larutan injeksi, diantaranya kesadahan larutan dan suhu operasi.
25