BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda, memiliki kepentingan untuk menata kembali nasionalisme atau identitas kebangsaan. Hal ini dipupuk kemudian
ditularkan
kepada
generasi-generasi
penerus
untuk
semakin
menguatkan jati diri dan membebaskan diri dari kolonialisme yang terhitung lama membelenggu Indonesia, serta meluruskan goresan-goresan sejarah yang dianggap kurang sesuai. Salah satu cara yang ditempuh untuk mewujudkan hal tersebut ialah melalui pembangunan museum. Etalase mengenai sejarah bangsa diceritakan melalui koleksi-koleksi yang dirawat dan dikemas secara apik untuk disampaikan kepada penerus bangsa. Bahkan dengan tidak ragu-ragu, pembangunan museum masuk ke dalam program “Pelita” (Pelita I – Pelita VI). Budaya museum menjadi begitu penting di Indonesia dalam rangka meluruskan kembali identitas bangsa setelah sekian lama berpredikat koloni. Nasionalismepun didengungkan melalui museum. Komponen-komponen museum bekerja mengikuti alur cerita yang konon telah disesuaikan dari pusat pemerintahan pada masa orde baru, seperti susunan ruang, pemilihan koleksi, alur cerita hingga yang paling menarik ialah masterpiece museum. Koleksi di dalam museum tidak hanya sekedar pajangan yang dipertontonkan untuk dinikmati oleh pengunjung. Lebih dari itu, koleksi adalah elemen utama yang harus dimiliki museum dan merupakan “nyawa” yang disampaikan melalui cerita di balik koleksi itu sendiri. Sebagai suatu hasil budaya, museum bukanlah sesuatu yang bebas nilai, terlebih untuk museum yang didirikan oleh pemerintah. Pemilihan koleksi, tata pamer, pembagian ruang hingga
1
pemilihan tempat memiliki tujuan dan aspek politis tertentu (Sektiadi. 2011 : 186). Dalam hal ini sebuah objek di museum memiliki makna lebih dari wujud objek itu sendiri. Sebuah objek di museum tidaklah sesederhana yang terlihat. Ada makna dan maksud yang terkandung pada objek tersebut sesuai peruntukannya. Terlebih lagi ketika sebuah objek memiliki predikat masterpiece. Hal ini secara sederhana dapat dianalogikan dengan contoh warna merah. Kata “merah” merujuk pada warna primer di ujung level bawah spektrum yang kasat mata. Akan tetapi “merah” memiliki makna lain jika muncul pada lampu rambu lalu lintas, yang berarti “berhenti”. “Merah” akan memiliki makna berbeda ketika dipakai melingkari lengan seseorang dalam pawai politik, pemakainya dianggap sebagai individu yang mendukung ideologi politik “sayap kiri”. Demikian halnya ketika “merah” muncul sebagai warna bendera dalam lingkungan konstruksi yang bermakna “bahaya” (Danesi. 2004: 5-6). Dalam karya tulis ini, penulis menyoroti koleksi yang merupakan masterpiece di Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala. Koleksi masterpiece yang ditampilkan tidak semata-mata dipajang untuk dilihat oleh pengunjung, namun ada makna-makna yang diproduksi oleh Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala yang ingin disampaikan kepada pengunjung. Dari sudut pandang postkolonial, dalam kasus museum yang dikelola oleh negera, terutama museum tematik seperti halnya Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, museum menjadi tempat merawat bahkan memproduksi kembali cerita kepahlawanan, untuk tujuan legitimasi mereka dalam merebut kemerdekaan. Melalui objek yang ditampilkan, museum menjadi media yang mengkomunikasikan keinginan pemerintah akan hal tersebut. Termasuk penentuan masterpiece yang disematkan pada koleksi tertentu. Kondisi ini sesuai dengan pengertian dari kajian postkolonialisme yang tidak semata-mata memaknainya sebagai akhir kolonialisme atau berhentinya kolonialisme, namun
2
lebih kepada kehidupan masyarakat bekas jajahan yang masih dibayang-bayangi oleh kolonialisme itu sendiri (Ratna. 2008: 150). Praktek-praktek kolonialisme sendiri secara sadar ataupun tidak, diadopsi dalam museum, namun bukan dengan praktek kekerasan fisik melainkan menyerang ideologi. Museum TNI AU Dirgantara Mandala ialah salah satu museum besar di Jogjakarta dan merupakan museum dirgantara terbesar di Asia Tenggara yang lahir ketika program Pelita bergulir. Museum ini memiliki beraneka ragam koleksi, antara lain kumpulan foto, lencana, seragam, senjata, hingga koleksi pesawat. Banyak dintara koleksi tersebut yang memiliki potensi menjadi ikon Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, terutama di bagian koleksi pesawat. Berbagai koleksi yang terdapat di Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala menunjukkan nuansa kejayaan Angkatan Udara Republik Indonesia yang sangat kental. Hal tersebut menjadi identitas yang ingin ditunjukkan. Di tatanan nasional, museum dengan kewenangan yang mereka miliki, membentuk pandangan tentang identitas melalui penyajian koleksi. Museum nasional secara implisit menyajikan hal tersebut untuk membentuk identitas didalam keberagaman. (McLean.2005:1) Museum TNI AU Dirgantara Mandala memiliki konsep museum yang istimewa. Identitas kedirgantaraan ditampilkan dengan megah, melalui berbagai koleksi. Demikian juga halnya dengan masterpiece di museum tersebut. Sebuah potongan replika pesawat Dakota VT-CLA milik perusahaan penerbangan India dipajang di ruang alutsista dan disebut sebagai masterpiece museum TNI AU Dirgantara Mandala. Dari penelitian yang telah penulis lakukan, potongan pesawat tersebut bukanlah bagian pesawat Dakota VT CLA yang ditembak jatuh oleh Belanda pada tanggal 29 Juli 1947, melainkan replika saja. Potongan pesawat tersebut merupakan bagian pesawat jenis Dakota lain milik TNI AU yang sudah tidak layak terbang. Kondisi ini menjadi unik karena masterpiece Museum TNI AU Dirgantara Mandala adalah sebuah replika. Berbeda halnya dengan masterpiece
3
di museum-museum lain yang cenderung mengutamakan keaslian atau segi otentisitas objek.
Gambar 1.1: Replika pesawat Dakota VT CLA di Museum TNI AU Dirgantara Mandala (foto oleh Agra Bayu Rahadi. 2015)
Keberadaan potongan pesawat Dakota VT CLA di sudut ruang hanggar bersama dengan koleksi pesawat-pesawat lainnya menjadi pemandangan yang unik, karena merupakan satu-satunya koleksi museum yang berupa potongan bagian pesawat, tidak seperti koleksi lainnya yang masih utuh. Jika dilihat dari sejarahnya, pesawat Dakota VT CLA tersebut merupakan pesawat carteran milik perusahaan penerbangan India yang membawa sumbangan obat-obatan untuk Palang Merah Indonesia. Namun ketika akan mendarat di Pangkalan Udara Maguwo pada tanggal 29 Juli 1947, pesawat Dakota VT CLA tersebut ditembak jatuh oleh pesawat pemburu Kitty Hawk milik Belanda. Untuk mengenang kejadian tersebut dibangunlah monumen potongan pesawat tersebut di bekas Pangkalan Udara Maguwo atau yang saat ini lebih dikenal dengan monumen Ngoto. Monumen tersebut terletak di Desa Ngoto, Karangjati, Kelurahan Tamanan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Selain itu, nama Komodor Muda Adi Sucipto yang
4
turut serta menjadi korban dalam penembakan pesawat tersebut, diabadikan menjadi nama Bandara di Daerah Istimewa Yogyakarta(Subdisjarahdiswatpersau. 2004: 140-144). Berbagai koleksi dan simbol-simbol yang terkait dengan kedirgantaraan dipamerkan dengan tujuan dan sudut pandang museum. Seperti halnya pada masa Romawi Kuno, kalangan elit atau kelompok kaya berlomba memamerkan benda-benda antik, aneh, atau langka yang didapatkan dari daerah-daerah koloni. Objek yang dipamerkan merupakan sebuah simbol akan kekuasan atau pencapaiaan mereka dalam kepemilikan daerah koloni. Contoh lain dapat dilihat dari cara penyampaian kembali benda-benda yang berasal dari Indonesia oleh masyarakat Belanda di dalam sebuah pameran museum. Benda-benda yang dibawa dari Indonesia dikumpulkan dalam sebuah pameran dengan perspektif mereka. Benda-benda seperti senjata tradisional, arca, dan patung merupakan simbol kekuatan atau bahkan kepemimpinan bagi masyarakat Indonesia, namun dalam perspektif masyarakat Belanda, keris, arca dan patung di dalam ruang pameran tersebut merupakan simbol penaklukan terhadap sebuah koloni di masa lalu. Museum di Indonesia saat ini, meskipun dalam ruang kemerdekaan yang telah diraih sejak 69 tahun lalu, ternyata sadar ataupun tidak masih dibayangbayangi oleh kolonialisme. Kondisi tersebut tampak pada museum-museum negeri yang berusaha membangkitkan nasionalisme melalui koleksi-koleksi yang dipamerkan dengan narasi heroik tentang perjuangan Bangsa Indonesia. Museum menjadi sarana untuk menjelaskan tentang perlawanan-perlawanan terhadap penjajahan melalui berbagai koleksi, baik koleksi yang berasal dari Indonesia ataupun hasil rampasan ketika masa penjajahan dahulu. Bukan tanpa alasan dan bukan hal yang perlu ditutup-tutupi lagi bahwa kecenderungan museum negeri di Indonesia merupakan salah satu contoh reproduksi kolonialisme yang cenderung
5
mengelu-elukan suatu hal melalui koleksi yang dipertontonkan lengkap dengan narasi-narasi yang mengikutinya. B. Permasalahan Uraian pada sub bab terdahulu memberikan gambaran mengenai posisi museum TNI AU Dirgantara Mandala dalam fungsi dan tujuan yang diembannya. Museum negeri dalam penyajian koleksinya tidaklah lepas dari maksud dan tujuan. Dalam kasus Museum TNI AU Dirgantara Mandala, hal tersebut disisipkan ke dalam koleksi masterpiece nya. Oleh karena itu, pertanyaan mendasar yang perlu diurai adalah, apakah masyarakat dan bahkan museum TNI AU Dirgantara Mandala sendiri menyadari akan hal itu? Terkait dengan pemaparan di atas, penulis merumuskan beberapa permasalahan, antara lain : 1.
Bagaimana
Museum
Pusat
TNI
AU
Dirgantara
Mandala
menyampaikan maksud dan tujuan melalui replika Potongan Pesawat Dakota VT-CLA 2.
Bagaimanan cara dan alasan Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala menentukan serta memilih replika pesawat Dakota VT CLA sebagai masterpiece pada koleksinya?
C. Tujuan Berdasarkan pada perumusan masalah tersebut, penelitian tesis ini bertujuan untuk : 1.
Mengetahui kriteria pengelola museum TNI AU Dirgantara Mandala dalam menentukan koleksi museum sebagai masterpiece.
2.
Mengetahui latar belakang Museum TNI AU Dirgantara Mandala melakukan pemilihan masterpiece pada koleksinya.
6
3. Menjelaskan mengenai tujuan-tujuan pemilihan replika pesawat Dakota VT CLA sebagai masterpiece dari sudut pandang postkolonial. D. Manfaat Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat berupa : 1.
Memberikan informasi tentang perkembangan museum TNI AU Dirgantara Mandala sebagai sebuah museum negeri dalam menentukan masterpiece.
2.
Memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa masterpiece tidak hanya sebuah objek utama dalam museum, tetapi memiliki peranan sebagai penghantar pesan (hidden message). Khususnya di Museum TNI AU Dirgantara Mandala.
3.
Memberikan pandangan mengenai keberadaan aspek politis dalam pemilihan masterpiece di Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala
E. Tinjauan Pustaka Sejauh
pengamatan penulis,
belum
ada karya
tulis
mengenai
masterpiece di Museum TNI AU Dirgantara Mandala. Namun ada beberapa karya tulis yang memiliki kesamaan tema. Karya tulis pertama ialah penelitian berjudul Membangun Identitas Masyarakat Melalui Kota Kuna Makassar oleh Asmunandar (2008). Penelitian dilakukan untuk memperoleh gelar master pada program studi Arkeologi kelompok bidang ilmu Humaniora. Tujuan penelitian tersebut ialah untuk menghasilkan
sebuah
konsep
perlindungan
kota
kuna
Makassar
agar
karakteristiknya muncul, sehingga kota kuna Makassar dapat digunakan sebagai media membangun identitas masyarakat secara terus menerus (Asmunandar, 2008). Dalam penelitiannya Asmunandar memberikan gambaran perkembangan
7
kota Makassar yang begitu cepat dan berpotensi menghilangkan identitas budaya kota Makassar. Penelitian tersebut membuahkan data berupa sumber daya budaya bendawi (tengible) dan sumber daya budaya tak benda (intengible) yang harus diselamatkan dan dilindungi demi teguhnya identitas kota Makassar. Langkah analisis yang dilakukan ialah analisis nilai penting yang terdiri dari tiga bagian yaitu : 1. Nilai penting sejarah. 2. Nilai penting ilmu pengetahuan. 3. Nilai penting kebudayaan. Identifikasi nilai penting dilakukan untuk menjadi acuan dalam pembuatan konsep perlindungan sehingga dapat menjadi media untuk membangun identitas masyarakat kota Makassar pada khususnya dan masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya. Arthur C. Danto (1990) menyebutkan bahwa terjadi penetrasi kekuasaan politik dalam karya-karya seni. Karya seni dapat digunakan sebagai senjata ampuh untuk mencapai tujuan politik tertentu karena dalam karya seni mencakup nilainilai sosial yang diangkat dari lingkup masyarakat itu sendiri. Namun perlu diingat, sebuah karya masterpiece tidak bersifat kaku. Masterpiece bisa dilihat dari banyak sudut pandang. Karya seni yang baik atau merupakan masterpiece tidak selalu dihasilkan oleh seniman yang hebat atau memiliki nama besar. Masterpiece dapat muncul dari makna, muatan atau filosofi didalam karya itu sendiri dan dimaknai oleh orang yang menikmati karya tersebut. Misalkan saja, bagaimana sebuah karya seni yang megandung nilai sosial disebut masterpiece oleh seorang feminis militan namun tidak demikian halnya dengan seorang pengusaha. Hal tersebut tergantng oleh sudut pandang. (Danto.1990:109) Dalam tulisannya Arthur C. Danto (1990) juga membahas tentang degradasi penggunaan kata masterpiece dalam dunia kontemporer. Masterpiece
8
cenderung diasosikan dengan harga dan kemewahan, ada juga yang menggunakan istilah masterpiece untuk sekedar memuji makanan. Namun walaupun demikian, pada dasarnya arti penting dari istilah masterpiece masih tetap utuh. Arthur C. Danto (1990) menyebutkan masterpiece di museum merupakan objek yang memiliki makna mendalam. Masterpiece dapat mewakili aspek kehidupan sosial bahkan politik dan merupakan cerminan dari lingkungan kehidupan. Di dalam museum, masterpiece memerankan fungsinya sebagai ikon yang mewakili banyak aspek dalam kehidupan dan dapat ditemukan pada tiap individu. F. Kerangka Pikir Menurut G. Lewis (2004), seperti yang dikutip Kotler (2008), asal mula museum diketahui pada millenium ke-2 Sebelum Masehi. Museum pada masa Romawi Kuno merupakan tempat mengumpulkan dan memamerkan barangbarang yang didapat dari daerah koloni atau daerah jajahan. Seiring perkembangan waktu, wajah museum mulai berubah. Hal tersebut ditandai dengan lahirnya humanisme dan sekularisme di masyarakat (Akbar, 2010: 4). Pada masa Renaissance, museum sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan namun terbatas dalam lingkup kalangan elit dan penguasa kaya. Museum kala itu merupakan ruang memamerkan barang-barang langka, unik, aneh dan berharga bagi kaum bangsawan. Museum juga menjadi ajang yang bergengsi untuk menunjukkan tingkat peradaban yang telah diraih suatu masyarakat atau bangsa (Sumadio, 1996: 73). Pergerakan dunia modern pada abad ke-18 memiliki pengaruh besar terhadap kelahiran museum sebagai salah satu ruang alternatif pendidikan publik. Seperti yang dikutip oleh Sadzali (2014: 10), menurut Bennet (1995: 2-3) Cara pandang yang muncul akibat melemahnya pengaruh istana dan berkembangnya
9
kota dengan berlandaskan pemikiran modern, memicu perubahan museum dari ruang privat masyarakat kelas atas menjadi ruang publik. Di Indonesia sendiri museum dipelopori oleh George Edward Rumphius. Selama penelitiannya di Indonesia, George Edward Rumphius mengumpulkan benda-benda yang ditemukannya di sebuah tempat di Ambon yang dibangun pada tahun 1662, bernama De Amboinsch Raritenkaimer (Akbar, 2010: 6). Di Jakarta atau yang dulu bernama Batavia terdapat sebuah lembaga yang menjadi cikal bakal museum. Lahir pada tanggal 24 April 1778 dengan nama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Selogan lembaga tersebut adalah Ten Nutte van het Algemeen yang berarti “untuk kepentingan masyarakat umum”. Kegiatan lembaga tersebut meliputi penelitian, pelestarian dan penyajian, baik benda budaya Indonesia maupun benda-benda bukti sejarah. Museum tersebut resmi dibuka untuk umum pada tahun 1868 (Kurniawati. 2013: 21-22). Museum sebagai ruang publik memberi kesempatan pada masyarakat untuk mendapatkan kebutuhan pengetahuan dan merawat memori kolektif. Dengan demikian, masyarakat juga dapat mengembangkan pemikiran-pemikiran dan membentuk wacana publik (Habermas, 2012c: 52). Namun, seperti yang telah penulis sampaikan pada latar belakang permasalahan tesis ini, dengan mengutip Sektiadi (2011: 186), bahwa museum sebagai suatu hasil budaya, bukan berati suatu yang bebas nilai, terlebih untuk museum yang didirikan oleh pemerintah. Pemilihan koleksi, tata pamer, pembagian ruang hingga pemilihan tempat memiliki tujuan dan aspek politis tertentu (Sektiadi. 2011 : 186). Ditatanan nasional, museum dengan kewenangan yang mereka miliki, membentuk pandangan tentang identitas melalui penyajian koleksi. Museum nasional secara implisit menyajikan hal tersebut untuk membentuk identitas di dalam keberagaman. (McLean.2005:1). Banyak langkah untuk menjalankan “misi” museum untuk
10
mencapai
tujuan-tujuan
politis.
Membangun
cerita,
memilih
ikon
atau
memperbaharui memori kolektif masyarakat menjadi beberapa pilihan. Contoh kasus museum dalam tulisan ini ialah Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala. Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala adalah satusatunya museum kedirgantaraan di Indonesia. Nuansa kental kedirgantaraan dan kekuatan Angkatan Udara Republik Indonesia ditampilkan melalui koleksi senjata, serta pesawat-pesawat yang pernah menjadi momok menakutkan bagi negaranegara lain di masa lalu. Kejayaan tersebut tetap dipertahankan dengan puluhan koleksi pesawat baik besar maupun kecil yang digunakan berperang, serta memilih objek masterpiece berlatar belakang cerita heroik. Penulis memandang dengan kaca mata postkolonial untuk mengetahui lebih dalam keberadaan Museum Dirgantara Mandala terutama pada objek masterpiece-nya, yang terkait dengan tokoh penerbang Adisucipto. Nama beliau digunakan sebagai nama Bandara di Yogyakarta dan menjadi pilot pahlawan yang paling sering dibicarakan. Menurut Ratna, prefiks post- tidak semata-mata mengacu pada makna sesudah kolonial atau juga tidak berarti antikolonial. Sesuai dengan pendapat Keith Foulcher dan Tony Day postkolonial mengacu pada kehidupan masyarakat pascakolonial tetapi dalam pengertian lebih luas, seperti sistem pemerintahan hingga kehidupan sosial masyarakat pascakolonial tersebut. Sasaran postkolonialisme adalah masyarakat yang dibayang-bayangi oleh pengalaman kolonialisme (Ratna 2008: 150). Tanpa disadari museum-museum negeri di Indonesia masih diselimuti oleh nuansa kolonialisme di mana kekuatan-kekuatan yang dimunculkan melalui objek, simbol serta pengulangan cerita menjadi tekanan yang menusuk persepsi masyarakat. Namun, sekali lagi penulis tekankan, kolonialisme dalam hal ini bukanlah penyerangan terhadap fisik namun lebih pada ideologi. Museum TNI AU Dirgantara Mandala menggunakan cerita keberhasilan perjuangan Bangsa
11
Indonesia dalam melawan penjajah, sebagai alat legitimasi kekuatan TNI, melalui simbol-simbol atau objek-objek tertentu yang terkait dengan perjuangan TNI itu sendiri. Selain tradisi, unsur simbol berperan penting dalam pembentukan idnetitas nasional, karena didalam simbol inilah representasi kultural dari sebuah negarabangsa akan muncul dan kemudian hal tersebut disebut sebagai identitas nasional (Barker. 2008: 207). Dalam bukunya yang berjudul “Kolonialisme/Pascakolonialisme” Ania Loomba menyebutkan bahwa adalah lebih baik memikirkan pascakolonial bukan sebagai sesuatu yang datang setelah kolonialisme dan menandakan kematian kolonialisme ini, tetapi secara lebih longgar dianggap sebagai suatu perlawanan terhadap dominasi kolonialisme dan warisan-warisan kolonialisme (Loomba. 2003:15). Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian Batasan wilayah penelitian meliputi lingkungan Museum TNI AU Dirgantara Mandala. Terutama pada ruang pamer dan koleksi-koleksi yang terdapat di dalamnya, termasuk koleksi pesawat atau peralatan alutsista yang ditampilkan di luar ruangan. Khusus untuk koleksi alutsista di Museum TNI AU Dirgantara Mandala menjadi prioritas penelitian dalam thesis ini. Hal tersebut karena replika potongan pesawat Dakota VT CLA yang menjadi masterpiece tergolong ke dalam perangkat alutsista (alat utama sistem pertahanan). Selain itu koleksi berupa pesawat, peluru kendali, serta radar yang termasuk ke dalam koleksi alutsista merupakan objek yang paling digemari oleh pengunjung. Koleksikoleksi tersebut mendapat perhatian dan interaksi lebih banyak dibandingkan dengan koleksi yang berupa seragam atau koleksi foto. Hal ini karena pengalaman berhadapan dan dapat menyentuh langsung sebuah pesawat ataupun peralatan tempur jarang didapat di museum atau lokasi lain. Kondisi ini juga menjadi pertimbangan bagi penulis dalam melihat langkah Museum TNI AU Dirgantara Mandala menentukan koleksinya sebagai masterpiece.
12
Lingkup penelitian ialah pada mekanisme penentuan salah satu koleksi museum yaitu replika potongan pesawat Dakota VT-CLA sebagai koleksi utama atau masterpiece. Hal yang akan diteliti ialah bagaimana museum TNI AU Dirganatara Mandala memiliki masterpiece. Tentu saja hal ini terkait dengan visimisi dari Museum TNI AU Dirgantara Mandala serta melibatkan staf dan jajaran yang menggerakkan Museum TNI AU Dirgantara Mandala. Sudut pandang postkolonial berperan sebagai mata pisau yang membedah pandangan umum mengenai keberadaan masterpiece di Museum TNI AU Dirgantara Mandala adalah hanya sebagai koleksi utama yang melengkapi museum tersebut agar lebih memiliki daya tarik. Makna yang diproduksi melalui cerita heroik dibalik replika pesawat Dakota VT CLA diuraikan untuk membuka sudut pandang lebih luas mengenai makna dan tujuan objek masterpiece tersebut.
G. Metode Penelitian Metode penelitian tesis ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu pendekatan yang digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah (bukan dari eksperimen) (Sugiyono, 2013: 1). Pendekatan ini memiliki beberapa karakteristik (Afifuddin, 2009: 65-68 dan Sugiyono, 2013: 9-10) yaitu deskriptif, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, dan analisis data bersifat induktif.
1. Tahap Pengumpulan Data Ada beberapa cara dalam mengumpulkan data dalam sebuah penelitian. Pengumpulan data merupakan bagian di dalam penelitian yang membentuk pondasi untuk membangun karya tulis yang detail dan empiris. Adapun beberapa cara yang ditempuh untuk mendukung penelitian thesis ini, yaitu :
13
a.
Observasi Untuk mengumpulkan data secara langsung, penulis melakukan
observasi. Observasi dilakukan di wilayah Museum Dirgantara Mandala, terutama pada bagian koleksi alutsista, di mana masterpiece replika pesawat Dakota VTCLA di display. Hal-hal yang diamati antara lain, tata letak koleksi museum, interaksi pengunjung serta berbagai aktivitas di lingkungan Museum Dirgantara Mandala baik yang dilakukan oleh pengunjung maupun petugas museum. Selain itu, cara penyampaian pesan secara verbal maupun tertulis melalui media tertentu mengenai masterpiece oleh pihak museum, juga menjadi bagian penting yang diobservasi. Dengan langkah observasi diharapkan dapat melihat bagaimana situasi yang terjadi di lapangan secara langsung. Hal ini dapat memperjelas mengenai beberapa hal yang ingin dicermati terkait dengan penelitian tesis, antara lain : 1) Penataan koleksi di Museum TNI AU Dirgantara Mandala, khususnya penempatan koleksi replika pesawat Dakota VT-CLA serta korelasi dengan “story line” museum TNI AU Dirgantara Mandala secara keseluruhan. 2) Perlakuan pihak museum terhadap replika potongan pesawat Dakota VT-CLA, yang meliputi perawatan replika potongan pesawat Dakota VT-CLA dan penjelasan yang disampaikan mengenai koleksi masterpiece tersebut kepada pengunjung. 3) Interaksi pengunjung terhadap replika potongan pesawat Dakota VTCLA, serta interaksi dengan koleksi alutsista lain yang menjadi favorit pengunjung.
14
b.
Wawancara Untuk mendapatkan data lain, penulis melakukan metode wawancara.
Wawancara adalah metode pengambilan data dengan cara menanyakan sesuatu kepada seseorang yang menjadi informan atau responden, baik antara individu dengan individu maupun individu dengan kelompok (Ratna, 2010: 222 dan Afifuddin, 2009: 131 dan Sugiyono, 2013: 72). Wawancara bertujuan untuk mendapatkan data dari pihak-pihak yang bersentuhan langsung dengan objek yang diteliti dalam thesis ini. Opini atau pendapat-pendapat yang dilontarkan dalam wawancara diharapkan murni dari sudut pandang mereka mengenai museum TNI AU Dirgantara Mandala dan khususnya replika potongan pesawat Dakota VT CLA. Wawancara akan dilakukan terhadap
kepala Museum Dirgantara
Mandala, staf museum, kepala seksi museum, pengamat museum, serta masyarakat atau elemen yang memiliki kaitan dengan Museum TNI AU Dirgantara Mandala. Adapun hal yang menjadi topik dalam wawancara, ialah seputar sejarah museum TNI AU Dirgantara Mandala, cerita dibalik pesawat Dakota VT-CLA, cara pihak museum dalam memilih serta menyajikan koleksi masterpiece tersebut dan lain-lain. Wawancara dilakukan secara mendalam dengan topik Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala serta koleksi masterpiece replika potongan pesawat Dakota VT-CLA. Data melalui metode wawancara, diperoleh dari argumen serta perspektif nara sumber terhadap topik yang ditanyakan.
c.
Studi Pustaka Studi pustaka merupakan motode yang melengkapi kedua metode
sebelumnya. Teknik pengumpulan data ini dilakukan melalui studi kepustakaan dari buku-buku ilmiah, literatur, laporan penelitian, artikel ilmiah, makalah, tesis serta sumber-sumber tertulis lainnya. Selain itu, penulis juga menggali sumber-
15
sumber tertulis terkait dengan pengelolaan museum, serta tulisan yang memuat tentang teori-teori yang berkaitan dengan topik penelitian tesis. Studi pustaka diperoleh melalui tulisan-tulisan, baik dari media cetak maupun media online. Studi pustaka dapat berupa catatan anekdotal, surat, buku harian, dan dokumendokumen. Penulis menitikberatkan pada data tertulis yang membahas tentang masterpiece serta pembahasan mengenai teori postkolonial atau teori-teori yang relevan untuk penulis gunakan dalam penulisan karya tulis ini. Studi pustaka bermanfaat untuk : a) menggali teori-teori dasar dan konsep yang telah dikemukaan oleh ahli terdahulu; b) dapat melihat perkembangan penelitian dalam bidang yang akan diteliti; c) memperkaya orientasi mengenai topik bahasan dalam topik yang dipilih; d) memanfaatkan data sekunder; dan e)menghindari duplikasi penelitian. Selain itu, studi pustaka bermanfaat dalam cara-cara mengungkapkan bahan pikiran secara sistematis, kritis dan ekonomis (Singarimbun, 1989: 70-71)
2. Tahap Analisis Data Data yang dikumpulkan melalui beberapa metode, seperti penulis sebutkan sebelumnya, ditindak lanjuti dengan menganalisis data. Tahap analisis data bertujuan untuk mencerna data yang terkumpul untuk selanjutanya dapat dielaborasi untuk tujuan dari penelitian tesis ini. Terdapat tiga tahap dalam analisis data. Adapun tahap-tahap tersebut antara lain :
a.
Identifikasi Pada tahap ini dilakukan identifikasi mengenai berbagai koleksi yang
terdapat di Museum TNI AU Dirgantara Mandalala. Jumlah koleksi, Sejarah pada tiap koleksi serta nilai-nilai tertentu yang terdapat pada tiap koleksi dipelajari untuk mendapatkan data yang diinginkan. Pada koleksi masterpiece potongan pesawat Dakota VT CLA identifikasi dilakukan dari segi bentuk, fungsi dan makna.
16
Identifikasi makna ini dilakukan berdasarkan sudut pandang museum TNI AU Dirgantara Mandala serta sudut pandang pengunjung yang datang ke museum TNI AU Dirgantara Mandala dari hasil pengumpulan data dengan metode wawancara. Identifikasi bentuk dapat diamati secara langsung pada replika pesawat Dakota VT CLA dengan membandingkannya pada gambar atau foto pesawat jenis Dakota lainnya serta gambar atau foto potongan pesawat Dakota VT CLA yang asli. Kemudian ialah mengidentifikasi langkah serta kriteria Museum TNI AU Dirgantara Mandala memilih potongan pesawat Dakota VT-CLA tersebut menjadi masterpiece. Hal ini akan terkait dengan kebijakan pihak museum serta peletakan koleksi masterpiece itu sendiri.
b.
Penilaian Tahap ini menekankan pada penilaian kondisi koleksi, terutama pesawat
replika potongan pesawat Dakota VT CLA. Penilaian juga meliputi kondisi koleksi lain yang berada di Museum TNI AU Dirgantara Mandala terutama pada bagian koleksi alutsista. Alur museum dan keterkaitan dengan masterpiece tersebut juga diperhatikan. Dari penilaian tersebut dapat diketahui situasi dan kondisi koleksi masterpiece di Museum TNI AU Dirgantara Mandala. Kemudian kaca mata postkolonial akan lebih membuka sudut pandang mengenai pemilihan pesawat Dakota VT- CLA tersebut menjadi koleksi utama di antara objek-objek yang ada di museum TNI AU Dirgantara Mandala.
c.
Kesimpulan Tahap terakhir ialah menyimpulkan semua pemaparan dari analisis data
sebelumnya. Dengan mengelaborasi keseluruhan data serta mengkerucutkannya pada tujuan penelitian ini, penulis memberikan pemahaman dari sudut pandang postkolonial yang akan memperjelas sejauh mana Museum TNI AU Dirgantara
17
Manadala memberikan pemahaman sejarah dirgantara kepada masyarakat dan bagaimana masterpiece dalam fungsinya sebagai alat untuk membentuk persamaan pemikiran masyarakat tentang kekuatan dan perjuangan Indonesia, berlangsung di Museum TNI AU Dirgantara Mandala.
18