BAB II LATAR BELAKANG KEBIJAKAN PRIVATISASI PENDIDIKAN DI INDONESIA
2.1 Latar Belakang Lahirnya Ide Privatisasi Pada masa sesudah Perang Dunia ke-2, kebijakan pembangunan di negaranegara Eropa dan negara-negara bekas jajahan mengadopsi model kebijakan intervensi negara. Kebijakan ini mendapat dukungan teori big-pus yang dikembangkan Rosenstein-Rodan pada awal tahun 1940-an, yang menekankan perlunya intervensi pemerintah dalam melakukan investasi skala besar, sehingga dapat meraih keuntungan dari ekonomi eksternal 14. Adanya pandangan baru tersebut menyebabkan ditolaknya dogma lama yang menganggap bahwa kebijakan koordinasi ekonomi sentralistis tidak dapat berjalan. Intervensi negara mendapatkan tempat dalam kebijakan pembangunan yang dikukuhkan oleh keberhasilan program new deal dasawarsa 1930-an, yang berhasil mengatasi resesi ekonomi Amerika Serikat waktu itu. Akibatnya, pemerintahan pasca kolonial di sejumlah negara pun mulai melakukan berbagai intervensi pada sektor ekonomi dengan mengubah struktur ekonomi mereka. Terlebih lagi di negara-negara baru berkembang yang memasuki fase awal industrilisasi, peran dan intervensi negara menjadi dominan dalam mendukung proses manufaktur dan pembangunan infrastruktur dasar, seperti penyediaan air
14
Ha-Joon Chang, Globalisation Economic Development and the Role of the State, London: Zed Books, 2003.
Universitas Sumatera Utara
bersih, listrik, dan transportasi, yang dikelola dan dikembangkan oleh badanbadan usaha milik negara. 15 Hingga dasawarsa 1980-an, kebijakan ekonomi dan pembangunan di negara-negara berkembang mengadopsi model perencanaan terpusat dan kepemilikan badan usaha milik negara yang mendorong investasi dan akumulasi modal sebagai bagian dari pembangunan ekonomi. Walaupun demikian, kepercayaan terhadap intervensi negara dalam pembangunan ekonomi mulai menurun pada dasawarsa 1970-an sebagai akibat berbagai kejutan eksternal yang diderita ekonomi di negara-negara berkembang, antara lain melonjaknya harga minyak, menurunnya harga komoditas ekspor, sedangkan harga barang impor meningkat. Dampaknya adalah munculnya krisis utang luar negeri di sebagian besar negara berkembang serta terjadinya krisis pendapatan yang bermuara pada defisit anggaran. Karena negara mendominasi aktivitas ekonomi di negara-negara berkembang, perhatian pun kemudian tertuju pada kinerja berbagai sektor publik, khususnya badan usaha milik negara dalam upaya mengatasi kemerosotan ekonomi. Krisis juga mengakibatkan negara-negara tersebut menjadi sangat tergantung pada dukungan keuangan lembaga-lembaga donor dan kreditor internasional yang kemudian meningkat pengaruhnya dalam penyusunan kebijakan. Salah satu yang dipromosikan adalah privatisasi badan usaha milik negara. Di negara-negara berkembang dengan masalah inefisiensi badan usaha milik negara yang sangat merusak, mengingat beban mereka dalam sektor
15
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
ekonomi manufaktur dan infrastruktur, dukungan terhadap privatisasi sangat besar. 16 Secara keseluruhan, tujuan yang hendak dicapai oleh lembaga-lembaga keuangan internasional melalui privatisasi ada tiga macam, yaitu: 17 1. Tujuan ekonomi, yaitu meningkatkan efisiensi, produktivitas dan keuntungan perusahaan, meningkatkan kualitas produk dan pelayanan, dan menarik investasi swasta. 2. Tujuan fiskal, yaitu menghapus subsidi pemerintah pada badan usaha milik negara, memperoleh tambahan dana dari penjualan kepemilikan negara atas badan usaha; dan meningkatkan pendapatan pajak dari badan usaha swasta. 3. Tujuan sosial politik, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempromosikan kepemilikan badan usaha swasta oleh swasta nasional, meningkatkan kepemilikan property kelas menengah, meningkatkan pemanfaatan tenaga kerja, dan mengurangi korupsi serta penyalahgunaan di kantor-kantor publik. Namun demikian, pada kenyataannya, tidak seluruh tujuan tersebut dapat tercapai. Dalam hal efisiensi dan produktivitas badan usaha milik negara sebelum dan sesudah privatisasi, misalnya, menunjukkan hasil yang berbeda.
16
Kate Bayliss, Privatization Theory and Practice: a Critical Analysis of Policy Evolution in the Development Context, dalam Jomo KS dan Ben Fine (ed.), The New Development Economics: Afters the Washington Consensus, London: Zed Books, 2006. 17 Fabby Tumiwa dan Hamong Santoso, Op.Cit, hal.144.
Universitas Sumatera Utara
2.2 Kebijakan Privatisasi di Indonesia Kecendrungan liberalisasi ekonomi sebenarnya bisa dilihat sejak awal Orde Baru berdiri. Hal ini ditandai dengan kembali bergabungnya Indonesia menjadi anggota IMF (International Monetary Funds) dan Bank Dunia. Indonesia sendiri sebenarnya telah terdaftar menjadi anggota IMF (International Monetary Funds) dan Bank Dunia sejak tahun 1954. Untuk memperlihatkan dukungannya terhadap
kebijakan
Neoliberalisme,
Pemerintahan Orde
Baru
kemudian
mengeluarkan UU Penanaman Modal Asing Nomor I tahun 1967, yang disempurnakan dengan UU Nomor VI tahun 1968 dan UU Nomor XI tahun 1971. 18 Dominasi
modal asing dalam perekonomian jauh melampaui borjuis
domestik. Bahkan seluruh sektor industri strategis, yang di Indonesia tak berkembang luas, seperti industri logam, pertambangan, barang logam, industri kimia pun didominasi asing. Paham Neoliberalisme makin mengemuka sejak tahun 1980-an, setelah Indonesia banyak menderita kerugian akibat jatuhnya harga minyak dunia. IMF (Internasional Monetary Funds) dan Bank Dunia lewat kebijakan SAP (Structural Adjustment Programme) mendesak pemerintah Indonesia untuk melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi ekonomi, dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Perencanaan ekonomi sentralistik, proteksionisme, regulasi ekonomi yang berlebihan, dominasi pemerintah dalam berbagai sektor ekonomi, berkembangnya BUMN (Badan Usaha Milik Negara), subsidi terusmenerus, serta strategi industri subsitusi impor, menjadi sasaran kritik komunitas Neoliberal. Sebagai alternatif mereka menganjurkan kepada pemerintah untuk
18
Koran Pembebasan No.2/Tahun I/Juni-Juli, 2002.
Universitas Sumatera Utara
melakukan reformasi dalam bentuk deregulasi, liberalisasi ekonomi, dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Pemerintah mulai melakukan deregulasi dan liberalisasi sektor ekonomi, antara lain, keuangan, perbankan, dan industri, yang dilaksanakan sejak pertengahan tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an. Setelah 1991-1992, deregulasi dan liberalisasi mulai melambat dengan naiknya kelompok baru, yang dikenal dengan sebutan konglomerat dan melebarnya kesenjangan ekonomi antara kaum kaya dan kaum miskin, yang memunculkan kritik luas bahkan di kalangan komunitas Neoliberal. Walaupun deregulasi dan liberalisasi ekonomi dipandang cukup berhasil, privatisasi BUMN tidak terjadi. Sejumlah badan usaha milik negara yang masih menguasai sektor-sektor penting, antara lain, Perusahaan Listrik Negara (listrik), Pertamina (migas), Krakatau Steel (baja), dan bank-bank pemerintah. 19 Krisis yang melanda Indonesia pada tahun 1997 memberi kesempatan bagi lembaga-lembaga keuangan internasional untuk mendesak agenda deregulasi dan liberalisasi ekonomi yang sebelumnya kehilangan momentum. Saat krisis keuangan tambah memburuk ditandai dengan kejatuhan rupiah pada pertengahan tahun 1997, modal asing mendapatkan momentumnya di tengah borjuasi nasional yang sedang kolaps menghadapi krisis sehingga tak ada jalan lain, Presiden Soeharto meminta bantuan IMF(Internasional Monetary Funds) dan lembagalembaga keuangan internasional lainnya untuk memenuhi kebutuhan sumber pendanaan dari luar. Intervensi modal asing tak terbendung lagi, perangkap hutang dan ketergantungan seluruh sektor ekonomi modern telah membuahkan 19
Rizal Mallarangeng, Mendobrak Sentralisme: Ekonomi Indonesia, 1986-1992, Jakarta: KPG, 2002.
Universitas Sumatera Utara
hasilnya. Mereka menyodorkan sejumlah persyaratan, dan pemerintah Indonesia pun setuju menjalankan serangkaian program penyesuaian ekonomi makro yang diajukan Bank Dunia, IMF (Internasional Monetary Funds), dan Bank Pembangunan Asia. Misalnya, dalam surat kepada Direktur IMF (Internasional Monetary Funds) tanggal 31 Oktober 1997, yang sekaligus merupakan Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) dalam rangka mendapatkan pinjaman siaga dari IMF (Internasional Monetary Funds), pemerintah Indonesia bersedia melaksanakan sejumlah program kebijakan di bidang ekonomi dan keuangan selama tiga tahun. Satu diantaranya melakukan reformasi struktural, termasuk deregulasi dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara). 20 Pemerintah menyatakan akan mengambil sejumlah langkah yang mendukung kompetisi di tingkat domestik dengan cara mempercepat privatisasi dan memperbesar peran swasta dalam penyediaan infrastruktur. 21 Untuk melaksanakan privatisasi, pemerintah mulai mencabut aturan yang membatasi kepemilikan saham maksimal 49 persen oleh investor asing untuk perusahaan yang tercatat di bursa saham, serta membentuk komite privatisasi. Restrukturisasi dan privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) mulai mendapat bentuk nyata ketika rencana pemerintah yang lebih rinci mengenai langkah dan strategi privatisasi BUMN disampaikan kepada IMF (Internasional Monetary Funds) melalui Letter of Intent 10 April 1998.
20
Hisako Motoyama dan Nurina Widagdo, Power Sector Restructuring in Indonesia: A Premininary Study for Advocacy Purposes, Washingtong, DC: Friends of the Earth and Bank Information Center, 1999. 21 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Program privatisasi sendiri ternyata tidak berhasil memenuhi tenggat waktu sebagaimana telah disepakati Pemerintah Indonesia dan IMF (Internasional Monetary Funds). Pemerintah berdalih bahwa situasi pasar kurang mendukung jika dilakukan penjualan saham pemerintah di sejumlah BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Walaupun demikian, pada awal 1999, pemerintah menyatakan telah berhasil menjual saham-sahamnya di perusahaan semen dan pabrik pengolahan makanan senilai 200 juta dollar Amerika Serikat. Pada saat bersamaan, Bank Dunia menyetujui pinjaman untuk empat program penyesuaian struktural antara tahun 1998-1999, yaitu Policy Reform Support Loan (PRSL) sebesar 1 miliar dollar Amerika Serikat, Policy Reform Support Loan II (PRSL II) sebesar 500 juta dollar Amerika Serikat, Social Safety Net Adjusment Loan (SSNL) sebesar 600 juta dollar Amerika Serikat, dan Water Resources Sector Adjusment Loan (WATSAL) sebesar 300 juta dollar Amerika Serikat. Baik PRSL dan PRSL II maupun WATSAL merupakan pinjaman program yang bertujuan mendorong pelaksanaan deregulasi, liberalisasi, dan peningkatan peran serta pihak swasta di berbagai sektor ekonomi, keuangan, perbankan, dan infrastruktur, termasuk kelistrikan dan air bersih. Sementara untuk mendukung program privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara), pada Januari 1999 Bank Pembangunan Asia menyetujui pemberian bantuan teknis sebesar 2,47 juta dollar Amerika Serikat untuk menyusun rencana reformasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) dalam rangka peningkatan efisiensi dan privatisasi. 22
22
Sugeng Bahagijo (ed.), Globalisasi Menghempas Indonesia, Jakarta: LP3ES, hal. 156.
Universitas Sumatera Utara
Walaupun program privatisasi tidak berjalan sebagaimana direncanakan semula saat krisis terjadi, komitmen pemerintahan Megawati untuk privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) tetap tidak berkurang. Laporan kemajuan White Paper yang disusun Pemerintah Indonesia pada 2004 menyatakan bahwa sepuluh BUMN (Badan Usaha Milik Negara) telah diswastanisasi pada 20032004, dan sampai dengan Juni 2004 kegiatan itu telah memberikan pendapatan sebesar 3,25 triliun rupiah. Secara keseluruhan sepanjang tahun 1997-2004 pemerintah telah melakukan privatisasi terhadap 22 BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Kepemilikan saham pemerintah di sebagian BUMN (Badan Usaha Milik Negara) yang dijual tersebut masih dipertahankan rata-rata diatas 50 persen 23. Tabel 1 Privatisasi BUMN Indonesia (1997-2004) Tahun
BUMN
1997
PT Aneka Tambang
Bagian yang Dijual (%) 35
Hasil (miliar) Rp 603 miliar
Sisa Saham RI (%) 65
14
Rp 1.317 miliar
51
Tbk 1998
PT Semen Gresik Tbk
1999
PT Pelindo II
49
US$ 190 juta
1999
PT Pelindo III
51
US$ 157 juta
1999
PT Telkom Tbk
9,62
Rp3.188 miliar
2001
PT Kimia Farma
9,2
Rp 110 miliar
90,8
Tbk
23
2001
PT Indofarma
19,8
Rp 150 miliar
80,2
2001
PT Socfindo
30
US$ 45,4 juta
10
2001
PT Telkom Tbk
11,9
Rp 3.100 miliar
54
Kantor Menteri Perekonomian, Laporan Matriks Implementasi White Paper, Jakarta, Juni 2004.
Universitas Sumatera Utara
2002
PT Indosat Tbk
8,06
Rp 967 miliar
41,94
US$ 608,4 juta
15
2002
PT Telkom Tbk
3,1
Rp 1.100 miliar
51
2002
PT tambang
15
Rp 156 miliar
84
41,99
Rp 255 miliar
0
20
Rp 2.547 miliar
80
16,67
Rp 1.157 miliar
0
30
Rp 2.512 miliar
59,5
Rp 1.235 miliar
61
49
Rp 60,49 miliar
51
24,5
Rp 65 miliar
51
10
Rp 2.844 miliar
69,5
12,5
Rp 180 miliar
65
Batubara Bukit
1,26
Asam Tbk 2002
PT WNI
2003
PT Bank Mandiri Tbk
2003
PT Indocement Tbk
2003
PT BRI Tbk
15 2003
PT PGN Tbk
20 19
2004
PT Pembangunan Perumahan
2004
PT Adhi Karya
24,5 2004
PT Bank Mandiri Tbk
2004
PT Tambang Batubara Bukit Asam Tbk
Berbeda dengan sektor keuangan, perbankan, dan industri lain, privatisasi di sektor listrik dan air tidak dilakukan melalui penjualan saham BUMN atau BUMD. Privatisasi di sektor kelistrikan dan air bersih dijalankan secara bertahap dengan mengubah kebijakan-kebijakan sektoral dan aturan perundang-undangan
Universitas Sumatera Utara
melalui program reformasi structural yang mendapat dana pinjaman lembagalembaga keuangan internasional. Tujuan akhir dari program tersebut adalah memisahkan negara dengan penyedia jasa infrastruktur dan menciptakan kompetisi yang sehat di tingkat sektoral.
2.3 Privatisasi dan Jebakan Hutang Luar Negeri Penyebar luasan paham Neoliberalisme lewat kebijakan Lembaga keuangan internasional ke negara dunia ketiga adalah melalui strategi pemberian hutang, yaitu hutang yang diberikan secara terus menerus tanpa ada pengawasan yang ketat terhadap penggunaan dana hutang tersebut yang mengakibatkan pemerintahan nasional negara dunia ketiga menjadi kecanduan dan akhirnya tidak mempunyai kemampuan untuk menolak perubahan sistem ekonomi nasionalnya dengan mekanisme SAP (structural Adjustment Program). Dengan SAP (structural Adjustment Program) inilah pemilik modal besar di Internasional mampu merubah sistem ekonomi yang sudah ada menjadi sistem ekonomi yang sesuai dengan keinginan mereka dalam mengembangkan investasi dan keuntungan. Salah satu dari program SAP (structural Adjustment Program) adalah kebijakan privatisasi. Dalam
konteks
Indonesia,
masalah
hutang
luar
negeri
sangat
memperburuk kondisi perekonomian Indonesia. Selain memikul hutang luar negeri sebesar 150 milyar dollar Amerika Serikat di awal krisis (per Desember 1998), Indonesia juga memikul beban hutang dalam negeri sebesar 600 trilyun rupiah. Secara keseluruhan Indonesia menanggung beban hutang sebesar 2100 trilyun rupiah. Akibat volume hutang luar negeri sebesar itu, Indonesia praktis
Universitas Sumatera Utara
terpuruk menjadi negara pengutang terbesar nomor lima dunia, dengan volume hutang sebesar 232 milyar dollar Amerika Serikat. Urutan pertama adalah Brasil, dengan volume hutang luar negeri sebesar 232 milyar dollar Amerika Serikat. Sedangkan urutan kedua adalah Rusia, dengan volume hutang luar negeri 183 milyar Amerika Serikat. Urutan ketiga adalah mexico, dengan volume hutang luar negeri 159 milyar dollar Amerika Serikat. Urutan keempat adalah Cina, dengan volume hutang luar negeri 154 millyar dollar Amerika Serikat (1998)24 Berbicara mengenai konsepsi hutang, selama ini banyak yang tidak menyadari bahwa konsepsi hutang yang dianut oleh pemerintah Indonesia cendrung sangat didominasi oleh pandangan para ekonom Neoliberal. Sesuai dengan pandangan umum yang dianut oleh para pengikut Reagen dan Thatcher, pembuatan hutang pada dasarnya ditujukan untuk mencapai dua hal: 25 1. Untuk menutupi kesenjangan antara tingkat tabungan masyarakat dengan kebutuhan investasi (saving investment gap). 2. Khusus untuk luar negeri, untuk memanfaatkan suku bunga murah yang ditawarkan oleh sindikat negara-negara kreditur dan lembaga keuangan multilateral Menurut paham ekonomi Neoliberal, tuntutan pemotongan hutang dapat menyebabkan semakin merosotnya kepercayaan para investor kepada Indonesia. Dengan sikap seperti ini, para ekonom Neoliberalisme sesungguhnya sudah memiliki jawaban terhadap hampir semua persoalan ekonomi yang dihadapi Indonesia, bahkan jauh sebelum mereka melakukan riset dan analisis. Kuncinya
24
World Development Report 2000/2001 tahun 1998.
25
Internet, Susan George, A Short History of Neoliberalism: Twenty Years of Elites Economic and Emerging Opportunities For Struktural Change.
Universitas Sumatera Utara
sederhana, how to make a market friendly decision?. Jika dikaitkan dengan persoalan hutang luar negeri, menjadi mudah dimengerti jika para ekonom Neoliberal cendrung memaksakan cara pandang mereka yang cendrung melihat hutang semata-mata sebagai sebuah fenomena ekonomi. Persoalan penyelesaian hutang luar negeri, yang hingga saat ini mendekati angka 134,4 milyar dollar Amerika Serikat (2003), yang lebih dari setengahnya adalah hutang pemerintah, sangat membebani perekonomian Indonesia. Apalagi dari tahun ke tahun ketergantungan terhadap hutang luar negeri semakin meningkat. Dengan jumlah hutang sebesar itu, maka Indonesia saat ini berada dalam kondisi Fischer Paradox, yaitu kondisi dimana nilai pinjaman baru lebih kecil dibandingkan dengan nilai cicilan hutang, dan bunga yang harus dibayar untuk hutang-hutang lama lebih besar jumlahnya untuk tahun yang sama. Jadinya, hutang luar negeri semakin membebani APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Pemerintah Indonesia terus terang mengakui bahwa hutang luar negeri merupakan beban bagi pembangunan nasional. 26 Beban utang yang sangat besar itu
telah
mengurangi
fleksibelitas pemerintah pemerintah untuk
dapat
mengalokasikan dana, baik dalam menstimuli roda pembangunan melalui kebijakan fiskal maupun mengurangi jumlah penduduk miskin. Namun, di pihak lain, lembaga keuangan internasional tetap bersikukuh bahwa hutang Indonesia aman (technically sustainable). Klaim lembaga keuangan internasional tersebut bukannya tidak mendasar. IMF (International Monetary Funds) mencatat hutang luar negeri Indonesia terus berkurang dari 81 persen PDB (Produk Domestik Bruto) tahun 2001menjadi 53
26
Harian Kompas, 22 Oktober 2005.
Universitas Sumatera Utara
persen pada 2004. IMF (International Monetary Funds) hanya memberi catatan bahwa bila laju aliran penanaman modal asing langsung dan investasi dalam bentuk modal jangka pendek gagal diwujudkan, maka kecendrungan sangat baik ini bisa memburuk lagi. Dengan kata lain, IMF (International Monetary Funds) menyarankan Indonesia untuk terus menambah hutangnya untuk pertumbuhan perekonomian, dan untuk mengatasi masalah perekonomian dalam negeri pemerintah disarankan untuk mencabut atau mengurangi subsidi bahan bakar minyak. Dalam literature mainstream (neoliberal), pelumnas bagi pertumbuhan ekonomi adalah hutang dan akses terhadap pasar modal, sehingga kepercayaan investor harus tetap terjaga. Masalah hutang Indonesia yang baik-baik saja itu sebenarnya dapat dibantah dengan terus meningkatnya pembayaran hutang luar negeri, baik pokok pinjaman maupun bunganya. Dalam tataran teknis (dinilai melalui kemampuan membayar), utang Indonesia memang terlihat turun. Namun demikian, bila rupiah terdepresiasi maka rasio hutang akan naik lagi. Itu merupakan posisi sangat rentan, karena 70 persen dari pergerakan mata uang rupiah berhubungan dengan faktor eksternal, seperti harga minyak dan dinamika di pasar internasional yang sangat didominasi oleh mata uang asing, khususnya dollar.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2 Kewajiban Pembayaran Utang Indonesia (dalam US$ miliar) Pembayaran
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
Pokok Hutang
14,9
13,0
11,2
11,7
9,3
7,9
10,5
12,9
13,8
5,1
5,1
5,6
4,6
5,7
4,6
3,2
3,4
4,7
1,5
1,6
1,3
9,9
1,2
8,6
0,6
6,4
…
Jangka Panjang Bunga Hutang Jangka Panjang Bunga Hutang Jangka Pendek Sumber : ADB Key Indicators 2005
Selama tiga dasawarsa, Bank Dunia terus mengeluarkan pinjaman baru walaupun mengetahui bahwa sebagian dana dalam jumlah cukup besar dikorup. Rakyat Indonesia terus menanggung beban pembayaran kembali, ditambah bunga, padahal dana tersebut tidak pernah digunakan untuk tujuan pembangunan. Bahkan, lebih jauh lagi sebagai kreditur, lembaga-lembaga keuangan internasional sudah banyak mengeruk keuntungan dari pinjaman-pinjaman tersebut, baik dalam bentuk bunga hutang, pemakaian jasa konsultan proyek dan belanja proyek, tender proyek yang diberikan kepada perusahaan dari negara kreditur, dan konsesikonsesi ekonomi yang selalu menyertai pinjaman-pinjaman tersebut. Belum lagi keuntungan yang dikeruk dari hasil kolonialisme Barat terhadap negeri-negeri Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Privatisasi Sebagai Syarat Pencairan Utang IMF (International Monetary Funds) dan Bank Dunia merupakan lembaga keuangan internasional yang memformulasikan kebijakan ekonomi Indonesia yang ujung-ujungnya membuat kita terus-menerus tergantung kepada mereka. Ketergantungan ini mengakibatkan Indonesia menerima syarat-syarat pemberian pinjaman, dengan melaksanakan Program Neoliberalisme. Dorongan untuk melakukan privatisasi sektor publik atau badan usaha milik negara tidak dapat dilepaskan dari konteks historis lembaga keuangan internasional yang berupaya menerapkan resep-resep ekonomi dan pembangunan Neoliberal di Indonesia. Pada saat Indonesia dilanda krisis keuangan, Presiden Soeharto meminta bantuan IMF (International Monetary Funds) dan Bank Dunia untuk memenuhi sumber pendanaan dari luar. Merekapun menyodorkan sejumlah persyaratan, dan pemerintah Indonesia pun setuju untuk menjalankan berbagai persyaratan tersebut, yang diantaranya yaitu privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Alasan teoritis pemberlakuan privatisasi selalu didasarkan pada efisiensi dan efektivitas sektor swasta yang kompetitif yang dihadapkan pada birokrasi yang lamban dari model pengelolaan negara yang monopolistik. Padahal tidak selamanya penyerahan kepada sektor swasta menghasilkan penurunan harga, sebagai hasil kompetisi. Beberapa sektor swasta yang menggarap satu sektor komoditi tertentu tidaklah berprilaku sebagai competitor satu terhadap lainnya, melainkan justru membangun kartel atau oligopoly untuk menentukan harga sesuai dengan standar mereka.
Universitas Sumatera Utara
Proyeksi IMF (International Monetary Funds) yang dituangkan dalam Letter of Intent (LoI) dengan pemerintah Indonesia menyebutkan, dalam jangka 10 tahun, proses swastanisasi seluruh BUMN (Badan Usaha Milik Negara), kecuali sebagian kecil BUMN harus diselesaikan. Swastanisasi dianggap sebagai cara terbaik yang harus dilakukan pemerintah dalam menutupi defisit anggaran akibat krisis ekonomi. Memang, jika dengan melakukan swastanisasi, pemerintah akan mendapatkan kucuran dana, selain dari penjualan aset juga dari kucuran dana pinjaman dari lembaga keuangan untuk pembangunan dalam negeri. Tetapi disisi lain, tujuan utama resep privatisasi anjuran IMF (International Monetary Funds) dan lembaga keuangan lainnya yang sebenarnya hanyalah untuk memenuhi kepentingan modal internasional, memperluas modal dan pasar mereka, serta terjaminnya pembayaran hutang luar negeri Indonesia. Namun, ada beberapa hal pokok lainnya antara lain: 1. Modal internasional berkepentingan untuk meluaskan lahan bagi investasi modal mereka. Apalagi, konsumen produk komoditi dan jasa BUMN (Badan Usaha Milik Negara) tersebut adalah mayoritas rakyat, potensi pasar yang sangat diincar oleh investor swasta. 2. Dalam kondisi terdesak untuk mendapatkan kucuran dana, pemerintah Indonesia tak berdaya atas tekanan IMF (International Monetary Funds) untuk sesegera dan semurah mungkin menjual BUMN (Badan Usaha Milik Negara) serta perusahaan-perusahaan swasta yang sudah di tangan negara. Contohnya, kasus penjualan BCA, dalam waktu singkat PT Astra Internasional dan PT Bentoel berpindah milik ke tangan George Soros; PT semen Gresik ke CEMEX, PT Indocement ke Heildelberg, BCA ke
Universitas Sumatera Utara
Farralon dan lain-lain. Semua ini dapat terjadi karena yang paling siap untuk membeli BUMN (Badan Usaha Milik Negara) adalah modal internasional. 3. Modal hasil swastanisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara) digunakan untuk menjamin tersedianya anggaran pemerintah untuk membayar cicilan hutang luar negeri. Bisa kita lihat pengeluaran negara untuk cicilan hutang luar negeri dari tahun ke tahun makin membesar.
2.5 Latar Belakang Kebijakan Privatisasi Pendidikan di Indonesia Beberapa tahun pasca krisis moneter 1997 di Indonesia, privatisasi menjadi sebuah tren dalam pergulatan ekonomi Indonesia. Bagi para pendukung privatisasi, mereka memakai kesuksesan Margareth Teacher pada tahun 1979 yang mendorong perekonomian Inggris melalui kebijakan privatisasi. Sedangkan di kubu yang kontra terhadap pendekatan ini menganggap privatisasi hanyalah derivasi dari skenario besar ekonomi liberal yang kontra produktif bagi pengembangan ekonomi rakyat kecil. Mahalnya biaya jasa publik, seperti kesehatan dan pendidikan menjadi dampak langsung dari adanya konsep privatisasi. Ada sebuah keyakinan dalam perjalanan tren privatisasi yang dalam ruang idealita memang sebenarnya baik, yaitu mendorong pasar kompetitif yang berujung pada efisiensi ekonomi. Tetapi, Apa terjadi di Inggris tidak dapat disamakan dengan kondisi bangsa Indonesia. Ketika itu rakyat di Inggris sudah mencapai tingkat kemapanan yang cukup, sehingga daya beli mereka tinggi. Hal ini tentu saja mengurangi tanggung jawab sosial pemerintah dalam pengelolaan ekonomi.
Universitas Sumatera Utara
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, Privatisasi pendidikan merupakan bagian dari program pengurangan dan penghapusan subsidi pemerintah terhadap pelayanan publik di sektor pendidikan dan melepaskan harga dan biayanya kepada mekanisme pasar. Privatisasi pendidikan juga merupakan salah satu bentuk program privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ada 3 faktor pendorong mengapa pemerintah menerapkan kebijakan privatisasi pendidikan, antara lain: 1. Keterbatasan anggaran pendidikan dan rendahnya kualitas pendidikan Kebijakan privatisasi pendidikan dilatarbelakangi oleh krisis ekonomi yang dialami oleh negara Indonesia, yang di antaranya mengakibatkan negara kesulitan dalam memenuhi anggaran belanja negara di bidang pendidikan. Pemerintah merasa tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai pendidikan. Dalam hal ini privatisasi dianggap dapat meringankan beban pemerintah dalam membiayai pendidikan, sehingga anggaran yang sebelumnya dialokasikan untuk pendidikan bisa dialihkan pada sektor lainnya yang dirasa lebih mendesak. Akibat keterbatasan anggaran pemerintah yang dikarenakan krisis keuangan, menyebabkan alokasi dana yang rendah untuk pendidikan, di mana penganggaran selalu dialokasikan dibawah 10 persen dari APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Pendanaan pendidikan yang minim di Indonesia dianggap sebagai sumber utama rendahnya taraf pendidikan nasional. Beberapa permasalahan, seperti buruknya sarana dan prasarana sekolah, tingginya murid drop out, serta guru yang tidak berkualitas, disebabkan oleh sangat terbatasnya dana yang disediakan. Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah itu ditunjukkan data Balitbang 2003 bahwa dari 146.052 Sekolah Dasar di Indonesia ternyata
Universitas Sumatera Utara
hanya delapan sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari 20.918 Sekolah Menengah Pertama di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036 Sekolah Menengah Atas ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Diploma Program (DP). 27 Berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam. 28 Untuk kualitas guru dilihat dari kelayakan mengajar, dalam tahun 2002 hingga tahun 2003 di berbagai satuan pendidikan sebagai berikut: untuk Sekolah Dasar yang layak mengajar hanya 21,07 persen (negeri) dan 28,94persen (swasta), untuk Sekolah Menengah Pertama 54,12 persen (negeri) dan 60,99 persen (swasta), untuk Sekolah Menengah Atas 65,29 persen (negeri) dan 64,73 persen (swasta), serta untuk Sekolah Menengah Kejuruan yang layak mengajar 55,49 persen (negeri) dan 58,26 persen (swasta). 29 Kelayakan mengajar itu disini berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang (Badan Penelitian dan Pengembangan) Departemen pendidikan nasional pada tahun 1998 menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru Sekolah Dasar hanya 13,8 persen yang berpendidikan diploma D2-
27
Harian Republika, 13 Juli 2005 Harian Kompas, 5 September 2001 29 Ibid 28
Universitas Sumatera Utara
Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru Sekolah menengah pertama/MTs baru 38,8 persen yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah atas, dari 337.503 guru, baru 57,8 persen yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86 persen yang berpendidikan S2 ke atas (3,48 persen berpendidikan S3). Rendahnya anggaran untuk pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari tekanan utang dan kebijakan pembayaran utang. Sebanyak 25 persen komponen APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) habis untuk membayar utang. Meskipun Presiden telah membubarkan CGI pada 24 Januari 2007, namun setidaknya 3 kreditor besar (World Bank, ADB, dan Jepang) tetap dipertahankan. Selama ini, cicilannya hampir 50 triliun rupiah pertahun. Hal inilah yang mendasari pemikiran pemerintah menerapkan kebijakan privatisasi pendidikan di Indonesia. 30 Dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2005 hanya 5,82 persen yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25 persen belanja dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 31. Kemudian untuk tahun 2007, sektor pendidikan hanya mendapatkan alokasi 90,10 triliun rupiah atau 11.8 persen dari total nilai anggaran 763,6 triliun rupiah. Jumlah tersebut sangat minim dibandingkan pengeluaran untuk pinjaman luar negeri (hutang) yang pada kuartal ketiga tahun 2006 sudah mencapai sebesar 128,369 miliar dollar Amerika Serikat yang terdiri dari hutang luar negeri mencapai 77,347 miliar dollar Amerika
30 31
Harian Kompas, 10 Mei 2005 www.kau.or.id
Universitas Sumatera Utara
Serikat dan utang swasta 51,022 miliar dollar Amerika Serikat. Pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) 2006 mencapai 2,510 miliar dollar Amerika Serikat atau 30 persen dari total pengeluaran pemerintah 32. Kenyataan inilah yang membuat hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan berkualitas semakin jauh. Dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, privatisasi dianggap sebuah cara terbaik untuk memperbaiki pengelolaan dan kinerja lembaga-lembaga pendidikan, termasuk mengurangi beban negara. Kepemilikan negara/pemerintah mengakibatkan sektor pendidikan dikelola dengan buruk dan beroperasi tidak efisien, sehingga mengakibatkan defisit anggaran; pelayanan yang diberikan kurang memuaskan dan tidak berkualitas. 33 Para ekonom pendukung privatisasi pendidikan yakin bahwa sektor swasta dapat beroperasi lebih efisien dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan. Hal ini disebabkan
lembaga pendidikan yang dikelola oleh
negara/pemerintah tidak dapat menetapkan tujuan dengan jelas oleh karena begitu banyaknya sektor yang harus diperhatikan pemerintah. Oleh karena itu hanya dengan privatisasi dunia pendidikan dapat memperoleh anggaran dana yang memadai, sehingga pendidikan nasional akan maju dan mendunia, khususnya perguruan tinggi akan menuju world class university. Hal ini dikarenakan, dengan menyerahkan penyelenggara pendidikan kepada masyarakat (pihak swasta) maka pendidikan tidak sepenuhnya menjadi tanggungan negara tetapi mendapat dana tambahan dari masyarakat (swasta).
32 33
www.tempointeraktif.com, 8 Januari 2007 www.servicesforall.org/
Universitas Sumatera Utara
Selain itu, privatisasi pendidikan lewat BHP (Badan Hukum Pendidikan) akan menjadi kekuatan moral bagi pembangunan nasional.
2. Peranan lembaga internasional lewat kebijakan SAP (Structural Adjusment Programe). Ideologi Neoliberalisme kini telah dikemas dalam bahasa pasar yang menarik yaitu globalisasi. Untuk mewujudkan ide globalisasi diperlukan agenagen khususnya agar dapat diterima oleh negara-negara berkembang. Agen-agen itu berupa lembaga internasional. Mereka bertugas melakukan propaganda besarbesaran dan menjadi agen pemasaran globalisasi. Lembaga-lembaga ini dianggap dapat membantu negara-negara miskin maupun berkembang dalam mengatasi keterbatasan anggaran akibat krisis ekonomi dengan memberi pinjaman dan resep pemulihan ekonomi. Nama dari program paham Neoliberal yang terkenal dan dipraktekkan dimana-mana adalah SAP (Struktural Adjusment Program). Program penyesuaian strukural merupakan program utama dari Bank Dunia dan IMF (International Monetary Funds), termasuk WTO (World Trade Organization). Neoliberal adalah ideologinya, dan SAP (Struktural Adjusment Program) adalah praktek atau implementasinya. Sementara tujuannya adalah ekspansi sistem kapitalisme global. SAP (Struktural Adjusment Program) akan selalu menjalankan program mereka yang terumuskan dalam deregulasi, penghapusan subsidi dan privatisasi. Lembaga-lembaga internasional, seperti IMF (International Monetary Funds), Bank Dunia dan WTO (World Trade Organization) selalu menerapkan
Universitas Sumatera Utara
kebijakan SAP (Struktural Adjusment Program) ini terhadap negara-negara yang mengalami masalah dalam hal keuangan. Negara-negara harus melakukan tiga hal: liberalisasi, deregulasi, dan privatisasi. Ketiganya merupakan pilar utama dari konsep pemulihan ekonomi bagi negara-negara berkembang. Sesungguhnya, maksud dari SAP (Struktural Adjusment Program) adalah mengurangi peran pemerintah dalam sektor ekonomi sekaligus membatasi belanja pemerintah dalam rangka mencapai stabilitas neraca pembayaran melalui pemotongan pengeluaran, salah satu di antaranya subsidi, termasuk subsidi bagi badan-badan usaha milik negara. Karena itu, program privatisasi sektor publik menjadi salah satu komponen penting dalam penerapan SAP (Struktural Adjusment Program), baik di negara berkembang maupun di negara dalam masa transisi ekonomi. 34 Hal ini dikarenakan subsidi yang diberikan kepada sektor publik dianggap sebagai penyebab dari meningkatnya pengeluaran pemerintah yang mengakibatkan defisit anggaran. Karakter ketertundukan terhadap ideologi Neoliberalisme sudah sangat jelas tercermin dalam tindakan pemerintah Indonesia, karena Indonesia sendiri salah satu negara yang antusias menyambut liberalisasi perdagangan jasa pendidikan. Pendidikan dimasukkan dalam kerangka perdagangan jasa karena pendidikan telah terbukti sebagai sebuah industri yang sangat menguntungkan, dan siap dinegosiasikan (ripe to negotiate) sebagai sebuah komoditas dalam arus perdagangan internasional. Liberalisasi sektor pendidikan di dunia international difasilitasi oleh WTO (World Trade Organization) dalam General Agreement on trade in Services 34
SAPRIN, The Policy Roots of Economic Crisis and Poverty, the Report of Structural Adjusment Participatory Review International Network, London: Zed Books, 2004.
Universitas Sumatera Utara
(GATS) yang bertujuan untuk membuka akses pasar terhadap sektor jasa. Inisiatif banyak berawal dari negara-negara maju yang telah merasakan keuntungan begitu besar dari penyediaan jasa selama 20 tahun terakhir. Pendidikan dimasukkan dalam sektor jasa ini bersama 11 bidang jasa lain. Liberalisasi
memungkinkan
institusi
pendidikan
asing
maupun
tenaga
pengajarnya untuk mengelola jasa pendidikan di Indonesia dan menyediakannya bagi seluruh warga negara Indonesia. Begitu pula sebaliknya, institusi pendidikan di Indonesia pun diberikan fasilitas serupa atas basis most favored nation (MFN). Dalam pertemuan di Jenewa, Desember 2004, Indonesia telah melakukan initial request (permintaan pembukaan sektor-sektor jasa di negara lain) dan initial offer (penyerahan sektor-sektor di dalam negeri untuk dibuka atau diperdalam komitmennya bagi pemasok asing) kepada negara-negara anggota WTO (World Trade Organization) lainnya. Ada tiga negara yang menjadi eksportir jasa pendidikan yaitu Amerika Serikat, Inggris dan Australia. Negara-negara inilah yang akan paling diuntungkan dalam liberalisasi jasa pendidikan. Tidak mengherankan jika tiga negara tersebut saat ini sangat agresif menuntut sektor jasa pendidikan melalui WTO (World Trade Organization) dengan beberapa model perdagangan jasa pendidikan yang akan digunakan sesuai dengan kerangka GATS (General Agreement on trade in Services) adalah : 1. Cross border supply dimana perguruan tinggi asing menawarkan kuliahkuliah melalui internet dan on-line degree programme 2. Consumption abroard dimana mahasiswa Indonesia belajar di perguruan tinggi luar negeri
Universitas Sumatera Utara
3. Commercial presence di mana perguruan tinggi asing membentuk partner, subsidary atau twinning arrangement dengan perguruan tinggi lokal 4. Presence of natural persons di mana dosen dari perguruan tinggi asing mengajar di perguruan tinggi lokal. Komitmen
liberalisasi sektor
pendidikan dalam GATS
(General
Agreement on trade in Services) memang berfokus pada pendidikan tinggi (higher education) dan pendidikan untuk orang dewasa (adult education). Pendidikan tinggi Indonesia sendiri kini tidak lagi dikategorikan sebagai layanan publik, tetapi lebih pada sektor semi-profit. Akibatnya pendidikan tinggi Indonesia menjadi lebih kompatibel dengan sistem pasar bebas dan akan dapat terus dituntut pembukaan akses pasarnya dalam GATS (General Agreement on trade in Services). Pembukaan akses pasar di bidang jasa pendidikan di Indonesia kemudian akan mendapatkan legalitasnya jika Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan disahkan, karena dalam pasal 6 ayat 1 Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan menyebutkan bahwa lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat mendirikan Badan Hukum Pendidikan baru di Indonesia bekerjasama dengan Badan Hukum Pendidikan yang keseluruhan anggota Majelis Wali Amanatnya (MWA) berwarganegara Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
3. Kebutuhan untuk meningkatkan daya saing perguruan tinggi negeri sebagai akibat arus globalisasi yang menuntut adanya kompetisi, transparansi, dan aturan sesuai sistem pasar. Globalisasi jika dipandang sebagai sebuah proses westernisasi atau modernisasi (lebih dalam bentuk yang Americanised) dipahami sebagai sebuah dinamika, dimana struktur-struktur sosial modernitas (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme, birokratisme,) disebarkan ke seluruh penjuru dunia, yang dalam prosesnya cenderung merusak budaya setempat yang telah mapan serta merampas hak self-determination rakyat setempat. 35 Globalisasi menuntut adanya kompetisi, transparansi, dan aturan sesuai sistem pasar sehingga peningkatkan kualitas pendidikan sangat diperlukan sekali, agar dapat membekali peserta didik dengan pengetahuan dan ketrampilan untuk menghadapi era pasar bebas. Pendidikan kemungkinan adalah vaksin terbaik dan satu-satunya untuk melawan dampak terburuk yang diakibatkan oleh globalisasi. Karena itu, perlu restrukturisasi pendidikan, yaitu akuntabel terhadap publik, efisiensinya tinggi, kualitas dan relevansi output, manajemen internal yang transparan dan sesuai standar mutu, serta responsif dan adaptif terhadap perubahan. Globalisasi akan menimbulkan persaingan yang tajam. Maka untuk meningkatkan daya saing nasional dibutuhkan perguruan tinggi yang dapat membangun masyarakat madani yang demokratis dan mampu bersaing secara
35
Scholte, J. A, Globalization: A critical Introduction, London: Palgrave, 2000, hal. 15-17.
Universitas Sumatera Utara
global. Untuk itu perguruan tinggi harus memperoleh kemandirian, otonomi dan tanggung jawab yang lebih besar. Penekannya ada pada adanya proses globalisasi. Akhirnya dari ketiga faktor diatas kemudian pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri sebagai Bahan Hukum yang kemudian disusul diterbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 155 tahun 2000 tentang Penetapan Institut Teknologi Bandung menjadi Bahan Hukum Milik Negara. Pertimbangan pertama yang ditinjau dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 secara singkat adalah adanya globalisasi yang menimbulkan persaingan yang tajam.
2.6 Legitimasi Privatisasi Pendidikan di Indonesia Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian
melahirkan RUU
BHP
(Rancangan
Undang
Badan
Hukum
Pendidikan). Penerapan kebijakan privatisasi pendidikan mendapat legalitasnya melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang kemudian memunculkan Rancangan UndangUndang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Penguatan kebijakan privatisasi pendidikan itu dapat dilihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, dengan beberapa pasal pendukung, antara lain: a. Pasal 9 menyebutkan bahwa masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Universitas Sumatera Utara
b. Dalam. Pasal 12 ayat 2 (b) memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang berlaku. c. Pasal 24, yang menyebutkan bahwa: 1. Dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, pada perguruan tinggi berlaku kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik serta otonomi keilmuan. 2. Perguruan tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat. d. Pasal 46 ayat 1, menyebutkan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. e. Pasal 50 ayat (1), yang menyebutkan bahwa: Perguruan tinggi menentukan kebijakan
dan
memiliki
otonomi
dalam
mengelola
pendidikan
dilembaganya. f. Pasal 53 tentang Badan Hukum Pendidikan bahwa: 1. Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh
Pemerintah
atau
masyarakat
berbentuk
badan
hukum
pendidikan. 2. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi memberikan pelayanan pendidikan kepada peserta didik.
Universitas Sumatera Utara
3. Badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. f. Pasal 54 tentang peran masyarakat dalam pendidikan, menyebutkan: 1. Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan
organisasi
kemasyarakatan
dalam
penyelenggaraan
dan
pengendalian mutu pelayanan pendidikan 2. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Berdasarkan pasal-pasal yang terdapat pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tersebut kemudian memunculkan RUU BHP (Rancangan Undang Badan Hukum Pendidikan). Kemunculan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) didasari oleh Pasal 53 Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional,
yang
pada
ayat
1
menyebutkan
bahwa
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Kemudian pada ayat 4 disebutkan bahwa ketentuan tentang badan hukum pendidikan diatur dengan undang-undang tersendiri. Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan melegalkan pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam pendanaan pendidikan. Tidak hanya di perguruan tinggi, tapi juga di sekolah, termasuk pada tingkat pendidikan dasar; sekolah dasar, dan sekolah menengah pertama. Dari 35 pasal, tidak ada satu pun yang mengatur kewajiban pemerintah dalam penyediaan dana pendidikan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Rancangan Undang-Undang tersebut secara nyata pemerintah ingin berbagi dalam penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang isinya, antara lain, meminta partisipasi masyarakat atas tanggung jawab negara dalam bidang pendidikan. Ini berkaitan dengan pemenuhan atas pembiayaan pendidikan. Jika Rancangan Undang-Undang
Badan
Hukum
Pendidikan
disahkan,
setiap
SD-SLTA
negeri/swasta dan perguruan tinggi negeri akan menjadi BHP (Badan Hukum Pendidikan). Konsep Badan Hukum Pendidikan sebetulnya berangkat dari paradigma bahwa dalam situasi negara belum mampu membiayai pendidikan secara utuh, sehingga peran serta masyarakat sangat dibutuhkan. Namun, istilah peran serta masyarakat itu cenderung disalah artikan dengan cara menggali dana dari masyarakat, terutama uang kuliah mahasiswa, di samping dari kerja sama riset dengan dunia usaha. Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan adalah upaya pengalihan tanggung jawab negara terhadap pendidikan dengan meminta masyarakat memikul pembiayaan pendidikan. Jika Rancangan Undang-Undang ini diterapkan akan makin sedikit masyarakat tidak mampu yang bisa mengakses pendidikan tinggi. Konsekuensinya, kampus hanya bisa diakses oleh mahasiswa kaya, sementara yang miskin kian tersisih. Kampus yang sudah telanjur besar dengan mudah membuat jejaring dengan dunia usaha sehingga kian maju. Sebaliknya, kampus yang terbelakang sulit dilirik oleh dunia usaha sehingga tetap tertinggal di tengah ketatnya persaingan pasar. Padahal, dalam prinsip Rancangan Badan Hukum Pendidikan dengan jelas mengatakan bahwa Non diskriminasi,
Universitas Sumatera Utara
yaitu memberikan pelayanan pendidikan kepada calon peserta didik dan peserta didik secara berkeadilan, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonomi. Pelegalan kebijakan privatisasi dapat dilihat dari beberapa pasal Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan sebagai berikut: 1.
Pasal 1 Ayat (1) RUU BHP yang berbunyi: Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom.
2.
Pasal 22 ayat 3, yaitu pada bagian pendanaan dan kekayaan, hanya disebutkan bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah memberikan sumber daya dalam bentuk hibah kepada badan hukum pendidikan sesuai dengan penugasan yang diberikan. Pada ayat 4 disebutkan bahwa hibah dan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 digunakan sepenuhnya untuk pendidikan dan dipertanggungjawabkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan
berlakunya
Rancangan
Undang-Undang
Badan
Hukum
Pendidikan, terkesan pemerintah ingin mereposisi perannya yang sudah baku di UUD 1945 Pasal 31 dengan melepas tanggung jawab atas penanganan pendidikan dasar yang gratis dan bermutu. Dengan sejumlah legalitasnya, ke depan akan tampak di hadapan mata sejumlah model privatisasi pendidikan, baik yang nyata maupun terselubung. Bentuk nyata yang sudah terjadi ialah adanya cost sharing, di mana pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama masyarakat, seperti dibentuknya komite sekolah.
Universitas Sumatera Utara
Terlihat bahwa tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan nasional saat ini akan dialihkan dari negara kepada masyarakat dengan mekanisme BHP (Badan Hukum Pendidikan). Mekanisme tersebut dapat dilihat dengan adanya Manajemen Basis Sekolah (MBS) dan Otonomi Perguruan Tinggi. Seperti halnya perusahaan, sekolah dan perguruan tinggi dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan 1. Manajemen Basis Sekolah (MBS) Berdasarkan Pasal 51 ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tetang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Manajemen Basis Sekolah (MBS) dipandang sebagai strategi untuk meningkatkan pendidikan dengan mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan penting dari pusat dan dearah ke tingkat sekolah. Manajemen Basis Sekolah (MBS) pada dasarnya merupakan sistem manajemen di mana sekolah merupakan unit pengambilan keputusan penting tentang penyelenggaraan pendidikan secara mandiri. Manajemen Basis Sekolah (MBS) memberikan kesempatan pengendalian lebih besar bagi kepala sekolah, guru, murid, dan orang tua atas proses pendidikan di sekolah mereka. Dalam pendekatan ini, tanggung jawab pengambilan keputusan tertentu mengenai anggaran, kepegawaian, dan kurikulum ditempatkan di tingkat sekolah dan bukan di tingkat daerah, apalagi pusat. Melalui keterlibatan guru, orang tua, dan anggota masyarakat lainnya dalam keputusan-keputusan penting itu,
Universitas Sumatera Utara
Manajemen Basis Sekolah (MBS) dipandang dapat menciptakan lingkungan belajar yang efektif bagi para murid. Dengan demikian, pada dasarnya Manajemen Basis Sekolah (MBS) adalah upaya memandirikan sekolah dengan memberdayakannya. Para pendukung Manajemen Basis Sekolah (MBS) berpendapat bahwa prestasi belajar murid lebih mungkin meningkat jika manajemen pendidikan dipusatkan di sekolah ketimbang pada tingkat daerah. Para kepala sekolah cenderung lebih peka dan sangat mengetahui kebutuhan murid dan sekolahnya ketimbang para birokrat di tingkat pusat atau daerah. Lebih lanjut dinyatakan bahwa reformasi pendidikan yang bagus sekalipun tidak akan berhasil jika para guru yang harus menerapkannya tidak berperan serta merencanakan-nya. Dalam rangka penerapan Manajemen Basis Sekolah (MBS) di Indonesia, kantor dinas pendidikan kemungkinan besar akan terus berwenang merekrut pegawai potensial, menyeleksi pelamar pekerjaan, dan memelihara informasi tentang pelamar yang cakap bagi keperluan pengadaan pegawai di sekolah. Kantor dinas pendidikan juga sedikit banyaknya masih menetapkan tujuan dan sasaran kurikulum serta hasil yang diharapkan berdasarkan standar nasional yang ditetapkan pemerintah pusat, sedangkan sekolah menentukan sendiri cara mencapai tujuan itu. Sebagian daerah boleh jadi akan memberi kewenangan bagi sekolah untuk memilih sendiri bahan pelajaran (buku misalnya), sementara sebagian yang lain mungkin akan masih menetapkan sendiri buku pelajaran yang akan dipakai dan yang akan digunakan seragam di semua sekolah.
Universitas Sumatera Utara
2. Otonomi Pendidikan Tinggi Otonomi kampus dilatar belakangi oleh krisis ekonomi
yang dialami
Indonesia yang kemudian mengakibatkan negara kesulitan dalam memenuhi anggaran belanja negara di bidang pendidikan. Hal ini mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Di lain pihak, globalisasi menuntut adanya kompetisi, transparansi, dan aturan sesuai sistem pasar. Karena itu, perlu restrukturisasi pendidikan, yaitu akuntabel terhadap publik, efisiensinya tinggi, kualitas dan relevansi output, manajemen internal yang transparan dan sesuai standar mutu, serta responsif dan adaptif terhadap perubahan. Sejalan dengan konsep tersebut, maka pendidikan tidak sepenuhnya menjadi tanggungan negara tetapi dari dana masyarakat, sehingga mereka memiliki hak untuk mengawasi kinerja universitas. Selanjutnya, dikenal lima pilar paradigma baru dalam pengelolaan pendidikan tinggi, yaitu mutu, otonomi, akuntabilitas, akreditasi, dan evaluasi. Otonomi kampus, di antaranya dengan kebebasan finansial juga dimaksudkan untuk menciptakan independensi kampus. Sehingga universitas sebagai moral force dapat menjalankan perannya untuk mendukung pembangunan nasional. Untuk mengimplementasikan paradigma baru tersebut, pemerintah harus mendorong otonomi kampus. Otonomi kampus dilegalkan melalui UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, pasal 24 ayat (2), bahwa Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Tahap awal dari proses otonomi kampus itu adalah perubahan struktur organisasi dan demokratisasi kampus. Pada struktur yang baru itu, universitas tidak lagi bertanggung jawab secara langsung kepada Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) tetapi pada Majelis Wali Amanat (MWA), sebagai stakeholders dari universitas yang terdiri dari unsur pemerintah, senat akademik, dosen, mahasiswa, dan masyarakat. Perubahan format perguruan tinggi menjadi Badan Hukum Pendidikan memungkinkan otonomi seluas-luasnya, sebab dengan Badan Hukum Pendidikan ini perguruan tinggi memiliki otonomi yang luas. Dengan demikian, rektor lebih kreatif dan tak lagi terkungkung oleh struktur dan mekanisme birokrasi. Otonomi ini menjadi prasyarat bagi kreativitas dan inovasi untuk menuju world class university. Untuk mencapai universitas bertaraf dunia, perguruan tinggi memang harus berbenah dalam tata kelola dan tata pamong, yakni dengan menerapkan format Badan Hukum Pendidikan. Otonomi kampus, di antaranya dengan kebebasan finansial juga dimaksudkan untuk menciptakan independensi kampus. Sehingga universitas sebagai moral force dapat menjalankan perannya untuk mendukung pembangunan nasional. Untuk mengimplementasikan paradigma baru tersebutlah maka pemerintah mendorong otonomi kampus. Tahap awal dari proses otonomi kampus
itu
adalah
perubahan
struktur
organisasi
dan
demokratisasi
kampus. Pada struktur yang baru itu, universitas tidak lagi bertanggung jawab secara langsung kepada Mendiknas (Menteri Pendidikan Nasional) tetapi pada Majelis Wali Amanat (MWA), sebagai stakeholders dari universitas yang terdiri dari unsur pemerintah, senat akademik, dosen, mahasiswa, dan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Konsekuensi perguruan tinggi badan hukum mengharuskan Pengelolaan perguruan tinggi Secara Bisnis (Profesional) yang menyebabkan: 1. Pemerintah tidak boleh mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk mendanai Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT BHMN) 2. Peningkatan partisispasi masyarakat melalui kenaikan uang kuliah dengan mekanisme subsidi silang 3. Kegiatan Usaha Perguruan Tinggi dengan mendirikan Unit Usaha, yaitu Auxiliary Enterprises (Berhubungan dengan Tridharma) dan Commercial Ventures, misalnya: asrama, toko, kantin, dan lain-lain. 4. Seluruh dosen dan karyawan Pegawai Negeri Sipil berubah status menjadi pegawai Perguruan Tinggi bersangkutan. Selain mekanisme Manajemen Basis Sekolah dan Otonomi Perguruan tinggi, pengadaan guru kontrak juga merupakan salah satu bentuk implementasi kebijakan privatisasi pendidikan. Sistem kontrak ini makin banyak terjadi, antara lain untuk tenaga guru di daerah-daerah terpencil, dengan tingkat penggajian minim dan bahkan pembayaran gaji yang tertunda-tunda. Ke depan, tenaga pengajar layaknya pekerja pabrik yang bisa diputus kerja bila kontraknya selesai, sementara pemerintah tidak mau menanggung biaya diluar itu.36
36
Harian Kompas, 9 April 2005
Universitas Sumatera Utara
3. Sistem Guru Kontrak Sistem guru kontrak saat ini telah diterapkan di Indonesia. Sistem ini dianggap lebih efektif dibandingkan pengangkatan sebagai pegawai tetap. Melalui kontrak, pemantauan terhadap kinerja guru menjadi lebih terpantau. Jika mereka sudah tidak mampu melaksanakan kewajiban sebagai pengajar, bisa dilakukan pemutusan kontrak. Memang dalam tataran konsep keefektifan dalam proses belajar-mengajar dapat terjadi, tetapi dalam pelaksanaannya ada beberapa permasalahan yang dijumpai dalam penerapan sistem guru kontrak, antara lain: 1. Gaji yang diterima para guru kontrak tergolong sangat kecil. Apa yang mereka terima perbulan tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dengan kontrak semacam itu, guru tentunya menjadi tidak termotivasi. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS (Pegawai Negeri Sipil) per bulan sebesar 1,5 juta rupiah. Guru bantu 460 ribu rupiah, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata 10 ribu rupiah per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. 37Padahal Pasal 40 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan jelas mengatakan Pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai serta penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja.
37
Harian Republika, 13 Juli 2005
Universitas Sumatera Utara
2. Selain tidak termotivasi, kontrak tersebut akan membuat guru memilih profesi lain. Kalau itu terjadi, pasti membuat dunia pendidikan semakin kekurangan tenaga pendidik. Jika banyak guru yang beralih profesi, bagaimana mungkin mutu pendidikan bisa menjadi semakin baik. Persoalan yang tidak kalah penting adalah kualitas guru kontrak dalam aktivitas belajar-mengajar. Pertanyaan menarik yang dapat diambil yaitu apakah guru kontrak sudah memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Universitas Sumatera Utara