BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Diakui dan dihormatinya satuan-satuan pemerintahan daerah yang
bersifat khusus atau istimewa di Indonesia merupakan perwujudan penghargaan atas kebhinekaan dan sejarah nusantara. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah salah satu daerah yang berhak menerimanya. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Yogyakarta dihormati dan dirancang untuk mampu menggerakkan fungsi-fungsi dan nilai-nilai keistimewaan lebih dibanding masa-masa sebelum hadirnya Undang-Undang ini sejak meleburnya Kasultanan Ngayogyakarta Ngadiningrat ke dalam naungan Negara Kesatuan Repubik Indonesia. Elaborasi keunikan atau unsur pembeda tersebut tidak hanya “asal beda” tetapi unsur-unsur tersebut dalam pelaksanaannya harus dapat mewujudkan (Perdais No.1 Tahun 2013 Pasal 3 Ayat 1):
Pemerintahan yang demokratis;
Kesejahteraan dan ketentraman masyarakat;
Tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin ke-Bhinneka Tunggal Ika-an dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Pemerintahan yang baik;
1
Melembagakan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa.
Selain itu UU
No.13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah
Istimewa Yogyakarta (UU Nomor 13 Tahun 2012) telah menetapkan lima urusan yang menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu:
Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang gubernur dan wakil gubernur
Kelembagaan Pemerintah Daerah DIY;
Kebudayaan;
Pertanahan; dan
Tata Ruang.
Oleh karenanya elaborasi keunikan tersebut melahirkan konsekuensi perlu dirubahnya bentuk kelembagaan dan tata kelola pemerintah DIY, dengan berlandas mandat yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 sebagai perwujudan, pendayagunaan, pengembangan, serta penguatan nilainilai, norma, adat istiadat, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY, sebagaimana tercermin dalam Perda DIY Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tata Nilai Budaya Yogyakarta. Dalam proses penataan bentuk kelembagaan dan tata kelola kelembagaan Pemerintah DIY sebagai konsekuensi yuridis diberlakukannya
2
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 perlu memperhatikan, setidaknya, 4 (empat) aspek, yaitu:
Aspek bentuk dan tata kelola kelembagaan pemerintahan asli;
Aspek bentuk dan tata kelola pemerintahan berdasarkan regulasi nasional;
Aspek bentuk dan tata kelola pemerintahan yang ideal; dan
Aspek perbandingan dengan bentuk dan tata kelola pemerintahan daerah lainnya yang bersifat khusus atau istimewa.
Oleh karenanya, bentuk kelembagaan baru Pemerintah DIY harus mematuhi dan menerapkan tiga aspek yang pertama demi mewujudkan tujuan kelembagaan Pemerintah DIY yang lebih efektif, efisien, responsif, akuntabel, transparan, dan partisipatif, dengan tetap menghormati kearifan lokal dan dapat memberikan perlindungan terhadap kelompok marginal. Namun untuk memenuhi aspek bentuk dan tata kelola pemerintahan berdasarkkan regulasi nasional, bentuk kelembagaan dan tata kelola pemerintah DIY tersebut tetap harus berpedoman pada kerangka hukum nasional yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (PP Nomor 41 Tahun 2007), Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah (Permendagri Nomor 57 Tahun 2007) sebagaimana diubah dengan Permendagri Nomor 56 Tahun 2010.
3
Kelembagaan Pemerintah DIY yang berlaku saat ini memang perlu dirubah dan disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012. Salah satu keistimewaan itu adalah kelembagaan Pemerintah DIY sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012. Meskipun demikian, bentuk dan tata kelola kelembagaan Pemerintah DIY tetap harus berpedoman pada ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku secara nasional. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 38 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 yang menentukan bahwa sebuah Perdais tetap harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Artinya, kelembagaan dan tata kelolanya akan sama dengan bentuk dan tata kelola pemerintah daerah lainnya. Sehingga, tidak ada keistimewaan dalam bentuk dan tata kelola Pemerintah DIY walaupun Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 telah menentukan bahwa salah satu kewenangan istimewa yang ditetapkan bagi DIY adalah bentuk kelembagaan pemerintah daerahnya. Namun itu bukan satu-satunya interpretasi yang dapat digunakan untuk memberikan dasar bentuk dan tata kelola Pemerintah DIY berdasarkan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012. Interpretasi lainnya didasarkan pada ketentuan Pasal 49 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012. Ketentuan pasal ini menentukan bahwa semua ketentuan dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah berlaku bagi Pemerintahan Daerah DIY sepanjang tidak diatur secara khusus dalam undang-undang ini. Konsekuensinya, karena kelembagaan Pemerintah DIY diatur secara khusus dalam Undang-undang
4
Nomor 13 Tahun 2012 maka pengaturan mengenai kelembagaan Pemerintah DIY pun dikecualikan dari ketentuan yang diatur dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Termasuk, seluruh peraturan pelaksanaannya yang terkait dengan kelembagaan pemerintah daerah. Oleh karenanya, secara normatif, kelembagaan Pemerintah DIY dapat saja tidak disesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, PP Nomor 38 Tahun 2007, PP Nomor 41 Tahun 2007, dan Permendagri Nomor 57 Tahun 2007. Namun, kelembagaan itu tetap harus mematuhi prinsip-prinsip kelembagaan yang baik, efektif dan efisien. Dilematisasi inilah yang kemudian muncul dipermukaan sebagai sebuah persoalan landasan apa yang menjadi dasar pembentukan kelembagaan dan tata kelola pemerintah DIY yang baru. Pasalnya pembaharuan kelembagaan daerah dan tata kelola pemerintah DIY juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pewujudan, pendayagunaan, serta pengembangan dan penguatan nilai-nilai, norma, adat istiadat, dan tradisi luhur yang mengakar dalam masyarakat DIY. Sedangkan PP 41 tahun 2007, Pemendagri 56 tahun 2007 merupakan peraturan nasional yang berfungsi mengatur bentuk dan teknis penataan organisasi perangkat daerah yang hanya memperhatikan efisiensi dan efektifitas sebuah organisasi perangkat daerah tanpa mengukur landasan-landasan filosofis dan historis yang seharusnya dimiliki kelembagaan DIY kedepannya. Salah satu asas yang dijadikan dasar pemberian keistimewaan pada DIY adalah asas pengakuan atas hak asal-usul. Asas ini menunjukkan bahwa
5
keistimewaan DIY didasarkan pada keinginan tulus dan pilihan dari Kasultanan dan Kadipaten untuk bergabung dan meleburkan diri ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, meskipun pada saat itu, Kasultanan dan Kadipaten telah memenuhi unsur-unsur negara. Oleh karenanya, dalam penataan kelembagaan yang akan dilakukan juga tetap harus mengakomodasi dan mengadopsi pola kelembagaan yang selama ini telah diterapkan oleh Kasultanan dan Kadipaten atau yang dalam aspek kesitimewaan disebutkan sebagai aspek bentuk dan tata kelola kelembagaan pemerintahan asli. Sayangnya dalam proses penataan ulang kelembagaan istimewa DIY yang dilakukan oleh Biro Organisasi Sekretariat Daerah DIY saat ini lebih menekankan pada kompleksitas tata kelembagaan ditubuh DIY ketimbang penataan ulang kelembagaan yang mengampu urusan-urusan keistimewaan, hal ini terlihat dari hasil evaluasi yang dilaksanakan Biro Organisasi Sekretariat Daerah DIY yang menyimpukan bahwa perlu dilakukan beberapa penyesuaian terhadap biro, dinas, dan lembaga teknis daerah yang disebabkan oleh tumpang tindih (overlapping) kewenangan dalam biro dan dinas atau lembaga teknis daerah di DIY. Dengan kata lain agenda penyesuaian dan penataan ulang kelembagaan DIY seakan-akan hanya dijadikan momentum semata dalam memperbaiki bentuk organisasi yang dirujuk dari PP 41 tahun 2007 dan Pemendagri 56 tahun 2007. Hal kedua adalah isu atas keinginan Sultan HB X untuk tetap menjadi raja dan memastikan ases-aset pertanahan Sultan Ground dan Paku Alam Ground (SG-PAG). Hal ini tercermin dari polemik penetapan yang terjadi saat
6
presiden SBY menyatakan bahwa seluruh kepala daerah harus dipilih secara demokratis, dan disaat yang bersamaan Sultan HB X menolaknya. Di dalam urusan pertanahan dan aset juga terlihat kenginan sultan untuk mengambil atau mengklaim kembali tanah-tanah SG-PAG yang tercermin dari beberapa kasus pertanahan seperti pertambangan pasir besi di Kab. Kulon Progo. Melalui UU Nomor 13 Tahun 2012 kedua keinginan sultan tersebut terpenuhi, dan untuk memastikan itu, dalam struktur kelembagaan dan kewenangan tata kelola pun Sultan harus dapat memastikan statusnya sebagai raja dan pengelola tunggal aset-aset tanah dengan ketentuan-ketentuan pasal yang nantinya akan diusulkan. Kondisi ini kemudian menimbulkan kecurigaan terjadinya praktekpraktek politik negatif yang dijalankan oleh aktor-aktor pemegang kuasa dan kewenangan dalam melakukan penataan ulang kelembagaan DIY pasca lahirnya UU 13 tahun 2012 tentang keistimewaan DIY ini. Belum lagi adanya intervensi-intervensi dari Pemerintah Pusat melalui Menteri Dalam Negeri yang memiliki wewenang penuh dalam memfasilitasi kelembagaan dan ketata organisasian di Indonesia yang mau tidak mau harus diikuti, serta peran Sultan dan Adipati selaku pemimpin Kraton yang dalam keistimewaannya memiliki hak-hak veto dalam merumuskan dan mengajukan rancangan perundangan keistimewaan, khususnya dalam urusan-urusan keistimewaan tata ruang dan pertanahan. Karena pada dasarnya Organisasi merupakan wahana atau gelanggang politik tempat bernegosiasi kepentingan para anggotanya (Bolman & Deal, 1991) artinya organisasi merupakan sebuah medan dimana
7
kewenangan dan kekuasaan dipengaruhi oleh kekuatan politik antar mereka yang memiliki kepentingan. Oleh karena itu tulisan ini berupaya untuk mengindentifikasi berbagai dinamika proses penataan kembali kelembagaan daerah DIY pasca lahirnya UU 13 tahun 2012 tentang keistimewaan DIY dan peran aktor-aktor berkepentingan didalamnya. Dimana dalam prosesnya terlibat hubungan vertikal antara pemerintah pusat yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri, Kraton sebagai sebuah institusi independen yang memiliki kewenangan khusus dalam mengajukan usul peraturan perundangan istimewa, dan Biro Organisasi Perangkat Daerah DIY yang memiliki peran utama dalam mendesain ulang bentuk dan tata kelola kelembagaan khususnya urusan-urusan keistimewaan. Tulisan ini mencoba mencermati dan menganalisis peran ketiga aktor dalam sebuah agenda Organization Development yang oleh W.Burke & D.Brandford (2005) dijelaskan sebagai sebuah proses perubahan terstruktur yang bertujuan meningkatkan efektifitas keseluruhan lembaga atau organisasi melalui perubahan dan adaptasi elemen-elemen kunci dalam dimensi keorganisasian yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi output bentuk kelembagaan dan tentu substansi keistimewaan yang coba dilekatkan dalam kelembagaan urusan-urusan keistimewaan. Dengan berlandaskan teori tersebut penulis mencoba menjelaskan dan mendeskripsikan berbagai pola hubungan peran antar aktor dalam proses penataan ulang dan penyesuaian kelembagaan terhadap ketentuan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY serta
8
mengindentifikasi pengaruhnya terhadap aplikasi filsafah dan value keistimewaan dalam proses perumusan tata organisasi kelembagaan DIY. 1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana dinamika proses penataan kembali bentuk kelembagaan DIY pasca UU nomor 13 tahun 2012 tentang keistimewaan daerah istimewa
yogyakarta
dan
pengaruhnya
terhadap
status
dan
kelembagaan urusan keistimewaan (Urusan Kebudayaan, Pertanahan, dan Tata Ruang) Daerah DIY? 1.3
Tujuan Penelitian
Untuk mengindentifikasi dan menjelaskan proses penataan kembali bentuk kelembagaan istimewa DIY dalam merespon UU 13 tahun 2012 tentang keistimewaan DIY dan pengaruh outputnya terhadap substansi keistimewaan Daerah DIY.
Untuk mengetahui pola relasi antar aktor yang berperan dalam agenda penataan kembali kelembagaan istimewa DIY dan pengaruhnya terhadap desain kelembagaan dan substansi keistimewaan DIY.
1.4
Manfaat Penelitian
Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan o Memberikan
pemahaman
dan
konsepsi
Organization
Development dan peran aktor berbeda dalam proses penataan
9
kembali bentuk kelembagaan istimewa DIY dalam merespon UU 13 tahun 2012 tentang keistimewaan DIY.
Bagi Pemerintah o Sebagai
landasan
teoritis
dan
akademis
dalam
mengindentifikasi bentuk Organization Development yang ideal organisasi dalam tubuh pemerintah sebagai landasan pelaksanaan wewenang dan kebijakan dimasa yang akan datang.
Bagi Masyarakat o Membangun awareness dan pemahaman masyarakat akan isu perubahan struktur kelembagaan dan kaidah keistimewaan di tubuh pemerintahan daerah istimewa Yogyakarta yang dilandasi oleh UU No 13 Tahun 2012 dan dinamika politik birokrasi dalam proses perubahannya.
10