BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam berbagai kamus umum, linguistik didefinisikan sebagai „ilmu bahasa‟ atau „studi ilmiah mengenai bahasa‟. Linguistik mempunyai beberapa cabang yaitu, fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Saussure dalam buku Pengantar Linguistik Umum yang diterjemahkan oleh Hidayat (1988:43) mengatakan setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari dua komponen, yaitu komponen signifian (yang mengartikan) yang berwujud runtutan bunyi, dan komponen signifie (yang diartikan) yang berwujud pengertian atau konsep (yang dimiliki signifian). Makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Jika tanda linguistik tersebut disamakan identitasnya dengan kata atau leksem, berarti makna adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap kata atau leksem. Dalam KBBI, leksem diartikan sebagai satuan leksikal dasar yang abstrak yang mendasari pelbagai bentuk kata. Dalam sebuah bahasa tidak menutup kemungkinan adanya beberapa leksem yang mengacu pada satu obyek atau makna. Hal tersebut dikarenakan adanya relasi makna. Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan yang lain. Nida memberikan 4 batasan jenis relasi atau hubungan makna yaitu hiponim, sinonim, opposite (perbedaan) dan kontiguitas (kedekatan). Dalam penelitian ini relasi makna dititikberatkan pada kesinoniman leksem. Sinonim yaitu hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Namun dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan sama persis.
1
17
Ketidaksamaan itu terjadi karena faktor waktu, tempat atau wilayah, keformalan, sosial, bidang kegiatan, dan nuansa makna. Keunikan kemiripan makna leksem tersebut juga banyak ditemui dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa memiliki berbagai macam varian bahasa yang disebut dialek. Dialek-dialek tersebut tersebar sesuai dengan wilayah geografis para penuturnya. Ada tiga kelompok besar dialek bahasa Jawa, yaitu Jawa Kulonan, Jawa Tengahan dan Jawa Timuran. Menurut Wedhawati dalam bukunya Tata Bahasa Jawa Mutakhir dikatakan bahwa bahasa Jawa yang dianggap baku dan standar adalah bahasa Jawa Jogja-Solo (2006:14). Kedua bahasa Jawa ini mempunyai banyak kesamaan akan tetapi ada perbedaan pada kedua varian bahasa Jawa tersebut yang dimungkinkan karena letak geografis yang berbeda sehingga mempengaruhi perkembangan bahasa masing-masing wilayah. Pada penelitian ini penulis mengumpulkan dan menganalisa data leksem bermakna „rusak‟ dalam bahasa Jawa dialek Surakarta, yang selanjutnya akan disingkat dengan BJDS. Penelitian dilakukan di lingkup Eks Karesidenan Surakarta (meliputi daerah, Kartasura, Solo, Klaten, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Boyolali). Setelah didata maka diperoleh beberapa leksem berkonsep „rusak‟ dalam BJDS seperti borot „bocor‟ (kerusakan akibat lubang kecil pada sebuah benda yang biasanya digunakan untuk menyimpan air) dan bědhah „sobek‟ (pada kantong plastik). Leksem-leksem
tersebut
akan
dianalisis
maknanya
kemudian
dikelompokkan sesuai dengan kategorinya. Hubungan antara kemiripan makna pada leksem-leksem dalam sebuah kategori tersebut akan dianalisis secara
17
18
menyeluruh dan dikelompokkan ke dalam sub-submedan makna sesuai dengan kemiripan komponen maknanya, sehingga akan terlihat makna generik dan spesifik leksem-leksem tersebut. 1.2 Rumusan Masalah Sesuai dengan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan yaitu, apa saja bentuk leksem berkonsep „rusak‟ dalam bahasa Jawa dialek Surakarta dan bagaimanakah makna generik dan spesifik dari masing-masing leksem berkonsep „rusak‟ dalam bahasa Jawa dialek Surakarta? 1.3 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai medan makna dan analisis semantik leksem pada bahasa Jawa telah banyak dilakukan beberapa di antaranya adalah Perian Semantis Leksem-Leksem yang Berkonsep ‘Duduk’ dalam Bahasa Jawa (1995) oleh Nurlina. Penelitian ini menganalisa kumpulan leksem yang menyatakan aktivitas „duduk‟ dalam bahasa Jawa. Leksem-leksem tersebut diklasifikasikan menjadi sub-submedan yang lebih kecil dan diuraikan komponen makna yang sama serta pembedanya. Penelitian yang dijadikan acuan yang kedua adalah penelitian berjudul Medan Makna Rasa dalam Bahasa Jawa oleh Suwadji dan kawan-kawan. Penelitian ini diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, pada tahun 1995. Suwadji menyinggung masalah medan makna rasa dalam bahasa Jawa dengan penelitian bermacam-macam medan makna rasa di antaranya, rasa sakit, rasa marah, dan
18
19
rasa senang. Analisis data dilakukan langsung dengan mengartikan makna leksikal tiap data dan pembahasannya dijelaskan menggunakan analisis komponen makna. Penelitian lainnya adalah penelitian Nadiati mengenai Medan Makna Aktivitas Kaki dalam Bahasa Jawa. Penelitian ini menyinggung masalah medan makna aktivitas kaki melonjak, berdiri, berjalan, memanjat, dll. Analisis datanya dilakukan langsung dengan mengartikan makna leksikal tiap data. Selain penelitian-penelitian yang sudah diterbitkan, beberapa skripsi mengenai medan makna juga sudah banyak ditulis diantaranya, skripsi berjudul “Medan Makna Tidur dalam Bahasa Jawa” oleh Minarni. Dalam penelitian skripsi tersebut dipaparkan seperangkat leksem yang berkonsep „tidur‟ dalam bahasa Jawa yang diklasifikasikan menjadi beberapa submedan. Kemudian diperlihatkan unsur makna bersama yang dimiliki sekaligus pembedanya. Untuk penelitian yang berobyek medan makna leksem „rusak‟ dalam bahasa Jawa sejauh pengetahuan penulis belum pernah dilakukan, sehingga diharapkan penelitian ini dapat menambah wacana tentang medan makna. 1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat praktis dan teoretis. Manfaat praktis dari penelitian ini adalah tambahan pengetahuan mengenai leksem-leksem berkonsep rusak dalam bahasa Jawa. Adapun manfaat teoretisnya adalah menyumbangkan pilihan kata dalam pemberian arti sebuah leksem (dalam hal ini leksem berkonsep „rusak‟ dalam bahasa Jawa) untuk kepentingan penerjemahan.
19
20
1.5 Ruang Lingkup 1.5.1 Ruang Lingkup Data Bahasa Jawa merupakan salah satu bahasa yang memilik banyak variasi dialek. Diantara sekian banyak dialek dalam bahasa Jawa, pada penelitian ini hanya akan berpusat pada satu jenis dialek bahasa Jawa saja yaitu bahasa Jawa dialek Surakarta. Leksem „rusak‟ dalam KBBI bermakna „tidak utuh lagi‟, sehingga dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan leksem-leksem BJDS yang berkonsep „rusak‟. Penelitian ini menganalisis objek pada tataran leksem yang mempunyai makna „rusak‟ berbentuk monomorfemis dalam BJDS dengan menganalisis masing-masing komponen maknanya dan dikelompokkan pada sub-submedan makna sehingga terlihat persamaan serta pembeda maknanya. Ada tujuh kategori atau submedan makna kerusakan dalam penelitian ini yaitu kerusakan kategori berlubang, kategori lepas, kategori patah, kategori robek, kategori pecah, kategori roboh, dan kategori hancur. 1.5.2 Ruang Lingkup Pembahasan Ruang lingkup dalam penelitian ini mengacu pada semantik leksikal dan memperhatikan makna tiap leksem sebagai satuan mandiri (Pateda, 2001:74), dalam hal ini memperhatikan makna leksem „rusak‟ dalam bahasa Jawa. Untuk mengetahui komponen makna leksem tersebut, analisis dilakukan dengan mengacu pada makna leksikal tiap makna leksem terlebih dahulu.
20
21
1.6 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan pendekatan teori semantik. Ada beberapa tahapan analisis semantik dalam penelitian ini yaitu analisis medan makna dan analisis komponen makna. 1.6.1 Medan Makna Menurut Nida (1975:15) ranah makna itu terdiri dari seperangkat makna yang mempunyai komponen makna umum yang sama. Chaer (2012:315) mengatakan bahwa medan makna merupakan seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu. Dalam penelitian ini leksem-leksem yang masuk dalam medan makna berkonsep „rusak‟ dalam BJDS akan dikumpulkan dan dibagi ke dalam kelompok-kelompok atau submedan makna sesuai dengan kemiripan maknanya. Berdasarkan pengelompokan leksem sesuai dengan kemiripan makna dan kesamaan komponen maknanya, dihasilkan tujuh submedan makna, Subsubmedan makna ini merupakan spesifikasi bentuk atau jenis kerusakan. Ketujuh submedan tersebut adalah submedan atau kelompok kerusakan berlubang, submedan kerusakan lepas, submedan kerusakan patah, submedan kerusakan sobek, submedan kerusakan pecah, submedan kerusakan roboh, dan submedan kerusakan hancur. Setelah beberapa leksem yang dikumpulkan sesuai submedan maknanya disatukan maka masing-masing leksem akan dicari komponen maknanya dan akan terlihat makna generik dan spesifiknya.
21
22
1.6.2 Analisis Komponen Makna Pembicaraan semantik dalam penelitian ini akan mengkhususkan komponen makna dari leksem-leksem berkonsep „rusak‟ dalam BJDS. Komponen makna ini dapat dianalisis atau disebutkan satu persatu, berdasarkan pengertianpengertian yang dimilikinya (Kridalaksana, 2001:126). Sebagai contoh, sebuah leksem dapat berupa bentuk dasar misalnya borot „bocor‟,’suwek „sobek‟. Analisis komponen makna banyak dimanfaatkan oleh para linguis dalam menetapkan hubungan makna seperangkat leksem suatu medan. Metode ini dihubungkan dengan teori medan leksikal oleh adanya pembedaan antara komponen makna bersama dengan komponen makna diagnostik (Lyons, 1977:326). Komponen makna bersama adalah ciri yang tersebar dalam semua leksem yang menjadi dasar makna bersama terutama dalam suatu perangkat leksikal. Komponen diagnostik adalah komponen yang menimbulkan kontras antara leksem yang satu dengan yang lain dalam suatu medan leksikal (Leech, 1974:9697). Berikut ini adalah contoh analisisnya: leksem bolong, bocor, bowek, krowak, krowok, dan growong, selain memiliki makna rusak, ketujuh leksem ini mempunyai kesamaan makna yaitu mengandung makna „berlubang‟. Meskipun memiliki kesamaan makna rusak dengan kondisi berlubang, ketujuh leksem ini memiliki spesifikasi masing-masing yang menjadi ciri pembeda atau komponen diagnostik maknanya.
22
23
Leksem bolong dalam penelitian ini dikategorikan sebagai salah satu bentuk kerusakan dengan keadaan benda berlubang. Tidak semua yang berlubang itu rusak, akan tetapi sesuai dengan batasan pembahasan penelitian ini makna leksem bolong dibatasi pada kerusakan berlubang yang terjadi pada benda. Keadaan bolong yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah lubang yang berada pada sebuah benda yang menjadikan benda itu tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya atau membuat sebuah benda terlihat tidak sempurna akibat adanya lubang pada benda itu. Untuk lebih jelasnya berikut ini contoh penggunaannya dalam kalimat: (1) Asbake wis bolong, měksa isih diěnggo nyěcěg těgěsan. „Asbaknya sudah berlubang, masih tetap dipakai untuk mematikan puntung rokok.‟ (2) Dhik, yen nulis aja mětěg-mětěg měngko kěrtase bisa bolong. „Dik, kalau menulis jangan terlalu kuat menekannya nanti kertasnya berlubang.‟ (3) Donat kuwi sing marai menarik ya amarga bentuke bunděr lan bolong těngahe. „Donat itu yang membuat menarik adalah bentuknya yang bulat dan berlubang pada bagian tengahnya.‟ (4) Irungku sěwěngi buntět, nanging saiki wis bolong. „Hidungku semalam tersumbat, tetapi sekarang sudah berlubang (terbuka).‟ Dari keempat contoh di atas semua kalimatnya menggunakan leksem „lubang‟, namun contoh kalimat yang tepat untuk menggambarkan makna „lubang‟ yang sesuai dengan penelitian ini adalah contoh kalimat (1) dan (2). Hal ini dikarenakan contoh kalimat (1) dan (2) menggambarkan leksem bolong dengan makna „rusak berlubang‟, tidak seperti contoh (3) dan (4) yang
23
24
menggambarkan leksem bolong dengan makna „lubang, berbentuk lubang‟ dan „berlubang, lega‟. Dalam Baoesastra Djawa (Poerwadarminta,1939:58) leksem borot diberi makna „bocor (kanggo wadhah)’ atau „bocor (untuk wadah)‟. Borot merupakan sebuah bentuk kerusakan dengan kondisi benda berlubang kecil. Kerusakan ini biasanya terjadi pada benda-benda yang dijadikan wadhah atau tempat, misalnya ceret, panci, tembor, kantong plastik, dll. Berikut ini adalah contoh penggunaannya dalam kalimat: (7) Takisi awit mau kok ora kěbak-kěbak, jěbul mancine borot „Ku isi dari tadi kok tidak penuh-penuh, ternyata pancinya bocor.‟ (8) Aku mau tuku běras sěkilo, eh lha kok těkan ngomah mung kari tělung prapat. Ndang takiling-ilingi jěbul krěsěke borot. „Tadi saya membeli beras satu kilo, eh sampai rumah ternyata tinggal tiga perempat. Setelah saya lihat-lihat ternyata kantong plastiknya bocor. (9) Amarga tembore borot, banyu sing sakwadahke ning tembor dadi ketes sakdawane dalan. „Karena tembor yang bocor, air yang saya isikan ke tembor jadi menetes sepanjang jalan.‟
Leksem bocor
merupakan salah satu bentuk kerusakan dengan keadaan
benda berlubang kecil. Dalam Baoesastra Djawa (Poerwadarminta,1939:58) leksem ini diartikan trocoh „bocor pada atap‟. Leksem ini biasanya digunakan untuk menyebutkan kerusakan pada atap atau benda yang dijadikan tempat zat cair atau gas. Sebuah benda yang dikatakan bocor biasanya benda yang memuat zat gas dan cair. Misalnya, genting dikatakan bocor apabila air yang mengalir di atas genting tersebut menetes. Contoh lain sebuah ban dikatakan bocor yaitu pada
24
25
waktu angin di dalam ban tersebut keluar melalui lubang kecil. Berikut ini adalah contoh penggunaannya dalam kalimat: (5) Jěbul gěndhenge kamarku bocor, banyune udan mlěbu, yen udan lagi ketok yen bocor. „Ternyata genting kamarku bocor, air hujannya masuk, kalau hujan baru terlihat kalau bocor.‟ (6) Dhik, pitmu kae apa bane bocor? Yen iya lek ditambal, eman yen mung dianggurke ngono kuwi. „Dik, apa sepedamu itu bannya bocor? Kalau iya cepat ditambal, sayang kalau dibiarkan seperti itu‟ Growong adalah kerusakan dengan kondisi yang hampir mirip dengan bowek yaitu benda berlubang pada bagian tengah, tetapi benda yang mengalami kerusakan ini biasanya adalah bangunan. Misalnya tembok, jalan, fondasi rumah, dll. Berikut ini contoh penggunaanya dalam kalimat: (16) Ya běněr temboke kae ambruk, njěrone jěbul wis growong. „Pantas saja tembok itu roboh, bagian dalamnya ternyata berlubang. (17) Wingi ana kědadean aneh,ana bocah lagi mlaku ning trotoar ngarěp kělurahan kae ngěrti-ngěrti kějěblos. Jarene měrga pondasi trotoare growong, dadi yen dipidak bisa amblěs.Untunge ora apa-apa mung tatu tangan karo sikile. „Kemarin ada kejadian aneh, ada seorang anak yang sedang berjalan di trotoar depan kelurahan tiba-tiba terperosok. Katanya karena fondasi trotoarnya berlubang di bagian dalam jadi kalau diinjak bisa amblěs. Untung tidak apa-apa, hanya lecet dibagian tangan dan kaki.‟ Bowek adalah kerusakan dengan kondisi benda terlihat utuh di bagian kulit luar, tetapi berlubang di bagian dalam. Kondisi kerusakan ini biasanya dialami oleh buah-buahan. Bowek dapat disebabkan oleh ulat atau karena buah tersebut mulai membusuk. Berikut ini contoh penggunaannya dalam kalimat:
25
26
(10) Pělěme kae, kulite isih apik, njěrone jěbul bowek. „Mangga itu kulitnya masih bagus ternyata dalamnya berlubang.‟ (11) Yen maem apěl ki apike diparo dhisik, mbok měnawa ana ulěre utawa bowek njěrone. „Kalau makan apel sebaiknya dibelah dahulu, mungkin saja ada ulatnya atau berlubang di dalamnya. Krowok merupakan sebuah kerusakan berbentuk lubang yang terjadi pada gigi. Leksem ini khusus digunakan untuk menyebut lubang pada gigi. Krowak merupakan sebuah kerusakan dengan kondisi benda berlubang pada salah satu sisinya. Bentuk lubangnya lebar dan dalam (seperti menganga), bukan hanya pada permukaannya saja. Jenis benda yang mengalami kerusakan ini biasanya adalah buah dan bangunan. Kerusakan ini bisa juga digunakan untuk menyebutkan kerusakan pada gigi sama seperti leksem krowok, akan tetapi leksem krowak memiliki makna „lebih parah‟ dibanding
krowok. Berikut ini adalah contoh
penggunaannya dalam kalimat: (12) Untune Ari lara měrga krowok. „Gigi Ari sakit karena berlubang.‟ (12a) Untune Ari lara měrga krowak. „Gigi Ari sakit karena berlubang besar.‟ (13) Pak dhoktěr ngěndika yen untu krowok kuwi bisa ditambal. „Kata pak dokter bilang kalau gigi berlubang itu bisa ditambal.‟ (13a) Pak dhoktěr ngěndika yen untu krowak kuwi ora bisa ditambal. „Kata pak dokter bilang kalau gigi berlubang itu tidak bisa ditambal.‟ Setelah dijelaskan masing-masing makna dimiliki setiap leksem pada sebuah kelompok, akan ditarik kesimpulan perbedaan dan persamaan masing-
26
27
masing leksem dalam sebuah submedan makna. Sebagai contoh pada kasus kelompok submedan makna „rusak berlubang‟ di atas dapat disimpulkan bahwa, semua leksem yang terdapat dalam kelompok ini memiliki makna dasar yang sama yaitu „rusak‟ dan „berlubang‟. Setiap leksem memiliki ciri makna khusus yang dijadikan sebagai pembeda dengan leksem lain. Leksem bocor memiliki makna khusus „rusak berlubang kecil‟, leksem borot memiliki ciri khusus „rusak berlubang kecil pada wadhah‟. Kedua leksem ini bisa dikatakan mirip, akan tetapi leksem borot memiliki makna yang lebih khusus atau lebih spesifik daripada leksem bocor, yaitu digunakan hanya untuk wadhah. (7) Takisi awit mau kok ora kěbak-kěbak, jěbul mancine borot „Ku isi dari tadi kok tidak penuh-penuh, ternyata pancinya bocor.‟ (7a) Takisi awit mau kok ora kěbak-kěbak, jěbul mancine bocor „Ku isi dari tadi kok tidak penuh-penuh, ternyata pancinya bocor.‟ (8) Aku mau tuku běras sěkilo, eh lha kok těkan ngomah mung kari tělung prapat. Ndang takiling-ilingi jěbul krěsěke borot. „Tadi saya membeli beras satu kilo, eh sampai rumah ternyata tinggal tiga perempat. Setelah saya lihat-lihat ternyata kantong plastiknya bocor. (8a) Aku mau tuku běras sěkilo, eh lha kok těkan ngomah mung kari tělung prapat. Ndang takiling-ilingi jěbul krěsěke bocor. „Tadi saya membeli beras satu kilo, eh sampai rumah ternyata tinggal tiga perempat. Setelah saya lihat-lihat ternyata kantong plastiknya bocor.‟ Keempat kalimat di atas dapat saling berterima. Pada contoh (7) dan (7a), leksem borot dapat digantikan dengan leksem bocor, begitu pula untuk nomor (8) dan (8a).
27
28
(5) Jěbul gěndhenge kamarku bocor, banyune udan mlěbu, yen udan lagi ketok yen bocor. „Ternyata genting kamarku bocor, air hujannya masuk, kalau hujan baru terlihat kalau bocor.‟ (5a)*Jěbul gěndhenge kamarku borot, banyune udan mlěbu, yen udan lagi ketok yen borot. „Ternyata genting kamarku bocor, air hujannya masuk, kalau hujan baru terlihat kalau bocor.‟ (6) Dhik, pitmu kae apa bane bocor? Yen iya lek ditambal, eman yen mung dianggurke ngono kuwi. „Dik, apa sepedamu itu bannya bocor? Kalau iya cepat ditambal, sayang kalau dibiarkan seperti itu‟ (6a)*Dhik, pitmu kae apa bane borot? Yen iya lek ditambal, eman yen mung dianggurke ngono kuwi. „Dik, apa sepedamu itu bannya bocor? Kalau iya cepat ditambal, sayang kalau dibiarkan seperti itu‟
Dari contoh kalimat (5) dan (5a), serta (6) dan (6a) di atas dapat dilihat jika leksem borot tidak dapat digunakan untuk menggantikan leksem bocor. Dengan demikian terlihat bahwa leksem borot memiliki makna yang lebih khusus dari leksem bocor walaupun keduanya memiliki kemiripan makna. Dari beberapa contoh di atas membuktikan bahwa kedua leksem tersebut tidak dapat saling menggantikan. Tujuan terpenting analisis ini adalah untuk mengidentifikasi kategorikategori pengertian umum dan khusus leksem-leksem berkonsep „rusak‟ dalam bahasa Jawa yang mengekspresikan komponen fakta-fakta dari sebuah leksem. Jadi analisis komponen makna menginventarisasikan ciri-ciri makna yang dilambangkan oleh bentuk leksikal suatu leksem atau kelompok leksem sebagai referen.
28
29
1.7 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara, studi pustaka dan deskripsi analitik. Setelah data dari informan dan buku terkumpul maka dilanjutkan dengan mendeskripsikan obyek sesuai dengan data dan fakta. 1.7.1 Metode Pengumpulan Data Langkah awal yang dilakukan oleh penulis adalah mengumpulkan data dari kamus. Seluruh leksem berkonsep „rusak‟ dalam bahasa Jawa dikumpulkan dan selanjutnya dijadikan referensi sebagai daftar pertanyaan atau daftar pancingan dalam proses wawancara. Wawancara dilakukan di beberapa tempat di wilayah eks karesidenan Surakarta (meliputi: Kartasura, Solo, Klaten, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Boyolali). Pemilihan informan berdasarkan ketentuan berusia sekitar 35 sampai 60 tahun dan belum pernah tinggal di tempat lain di luar Surakarta karena ditakutkan informasinya tidak begitu akurat akibat percampuran bahasa Jawa dialek Surakarta dengan bahasa Jawa di daerah lain ataupun bahasa Indonesia. Setelah data dari lapangan terkumpul, maka masing-masing leksem tersebut dicocokkan dengan leksikon yang ada di dalam Baoesastra Djawa (Poerwadarminta,1939:58) dan Kamus Bahasa Jawa-Indonesia (Prawiroatmodjo, 1995). Leksem-leksem yang tidak disebutkan oleh informan maka dianggap bukanlah BJDS karena walaupun leksem tersebut ada di dalam kamus, tetapi leksem tersebut tidak dikenali oleh para penutur BJDS.
29
30
1.7.2 Metode Analisis Data Penelitian ini mengenai semantik leksikal maka cara menganalisisnya berpusat pada satuan lingual leksem. Makna yang dianalisis dibatasi pada leksem. Hasil dari penganalisisan tersebut adalah makna generik dan spesifik dari leksem. Analisis data dapat digambarkan sebagai berikut: bocor merupakan salah satu bentuk kerusakan dengan keadaan benda berlubang kecil. Dalam Baoesastra Djawa (Poerwadarminta,1939:58) leksem ini juga diartikan trocoh „bocor pada atap‟. Leksem ini biasanya digunakan untuk menyebutkan kerusakan pada atap atau benda yang dijadikan tempat zat cair atau gas. Sebuah benda yang dikatakan bocor harus dibuktikan dengan zat lain seperti gas dan cair. Misalnya, genting dikatakan bocor apabila ada air yang mengalir di atas genting tersebut kemudian air itu menetes. Contoh lain dapat dilihat pada sebuah ban yang dikatakan bocor pasti karena angin di dalam ban tersebut keluar melalui lubang. Jika tanpa pembuktian maka benda tersebut tidak dapat dikatakan bocor
tetapi bolong.
Untuk memudahkan penjelasan setiap leksem akan dimunculkan pada contohcontoh penggunaannya dalam kalimat. Setelah tahap-tahap tersebut dilalui penyajian secara formal digunakan dalam menyimpulkan pembahasan yaitu dengan diagram. 1.7.3 Metode Penyajian Data Data yang dikumpulkan kemudian disajikan dengan metode formal dan informal. Metode penyajian formal yaitu penyajian hasil analisis dalam bentuk diagram, sedangkan metode informal yaitu penyajian hasil analisis menggunakan kata-kata biasa agar dapat dipahami dengan mudah.
30
31
1.8 Sistematika Penyajian Penelitian ini disajikan dalam tiga bab yaitu: Bab I pendahuluan berisi: latar belakang masalah, rumusan masalah, tinjaun pustaka, manfaat penelitian, ruang lingkup, landasan teori, metode penelitian, sistematika penyajian. Bab II membahas analisis medan makna, submedan makna dan komponen makna. Bab III berisi penutup, yang memuat tentang kesimpulan dan saran.
31