1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian ini bertolak dari realitas terjadinya degradasi nilai-nilai kebangsaan saat ini, yakni, semakin menurunnya nilai toleransi, moderasi, dan penghargaan akan adanya pluralitas, maka penting dilakukan sebuah upaya untuk memberikan pencerahan sosial kepada masyarakat pada umumnya dan peserta didik pada khususnya. Sebuah upaya untuk mengembalikan nilai-nilai luhur bangsa pada suatu derajat dan martabat yang sebenarnya. Diakui atau tidak tergerusnya nilai-nilai luhur itu semakin mendorong masyarakat bangsa Indonesia pada suatu arah yang semakin menjauhi cita-cita kebangsaan. Sebuah cita-cita yang ingin mengantarkan masyarakat bangsa pada suatu titik kemulyaan di hadapan bangsa sendiri dan bangsa lain. Sebuah bangsa yang berkeadaban di tengah fenomena multikulturalitas bangsa yang ada. Selain itu, tergerusnya nilai-nilai luhur bangsa tersebut akan mendorong terjadinya implikasi yang parah secara sosial (Taufiq,2008a:1). Hal itu ditandai misalnya, dengan munculnya berbagai macam sikap sosial yang ingin menang sendiri, main hakim sendiri, dan yang tidak kalah parahnya adalah semakin individualistiknya masyarakat Indonesia saat ini. Dalam konteks demikian, dapat diyakini bahwa tatanan sosial-kebangsaan Indonesia akan semakin tidak terarah dan terkendali. Padahal, kita sadari betul proses sosial-kebangsaan yang demikian, sama
2
halnya dengan mengantarkan bangsa Indonesia untuk menjadi semakin terpuruk. Terjadinya konflik atas nama agama dan konflik antaretnis telah menandai hal ini. Kasus Poso, konflik atas nama agama di Situbondo dan Tasikmalaya (1996), konflik antar etnis di Sambas (1997) dan Sampit (2001), bentrok antarwarga, dan antarsiswa yang sampai tahun 2010 ini masih saja sering terjadi. Kasus-kasus tersebut membutuhkan perhatian yang serius dari seluruh elemen bangsa untuk mencari solusi sosialnya. Suatu hal yang urgensial perlu dilakukan adalah memberikan solusi dan pencerahan atas derasnya isu-isu kebangsaan yang mendera masyarakat tersebut. Masalah-masalah kebangsaan tersebut membutuhkan daya analisis kontekstual dengan perkembangan sosial yang ada. Salah satu bentuk solusi dan pencerahan kebangsaan tersebut adalah melakukan sebuah proses pembelajaran sastra multikultural di masyarakat. Sebuah proses pembelajaran yang memfokuskan kajiannya pada karya sastra yang memiliki substansi multikulturalitas, yang meliputi dimensi agama, suku, ras, dan antargolongan (SARA). Peserta didik dalam konteks demikian diajak untuk membuka cakrawala baru bagi sebuah fakta kebangsaan yang ada, melalui khazanah sastra multikultural tersebut. Bersamaan dengan hal itu, proses transformasi nilai-nilai kebangsaan seperti nilai toleransi, moderasi, inklusivitas, solidaritas, dan kesediaan untuk berkerja sama dengan warga bangsa yang lain merupakan sesuatu yang diniscayakan (Taufiq, 2008b:265). Berpijak pada hal tersebut, peserta didik diharapkan dapat memahami adanya realitas perbedaan kultural (multikultural), yang dilihat dan ditempatkan sebagai
3
khazanah kebangsaan yang memperkuat proses integrasi nasional. Bukan sebaliknya, multikulturalitas
itu dibaca sebagai potensi untuk
melakukan disintegrasi
nasional.Oleh karena itu, multikulturalisme haruslah dibaca sebagai suatu strategi pendidikan yang memanfaatkan keragaman latar belakang kebudayaan peserta didik sebagai salah satu kekuatan untuk membentuk sikap multikultural (Liliweri, 2009:69). Dalam
konteks
tersebut,
guru
merupakan
faktor
penting
dalam
mengimplementasikan nilai-nilai multikultural itu di sekolah (Yaqin, 2005:61). Sekolah merupakan institusi yang harus ditempatkan sebagai wadah untuk semakin mendewasakan kehidupan mereka dalam konteks berbangsa dan berkemanusiaan secara multikultural. Hal tersebut, tidak terkecuali untuk sekolah SD RSBI yang akan mendorong dirinya untuk memasuki dunia global. Peserta didik di sekolah SD RSBI dan sekolah-sekolah RSBI pada umumnya, penting untuk mempertimbangkan transformasi dan internalisasi nilai-nilai kebangsaan itu, agar tidak tercerabut dari akar kultural dan nilai-nilai kebangsaan itu, di tengah gencar-gencarnya peserta didik didorong dan disiapkan memasuki dunia global. Materi (subtansi kajian) pembelajaran dalam hal ini menjadi begitu penting untuk diperhatikan secara sungguh-sungguh, termasuk di dalamnya materi pembelajaran sastra. Berpijak pada hal tersebut, pengembangan model pembelajaran sastra multikultural dipandang relevan dilakukan, untuk turut memberikan kontribusi positifnya terhadap bangsa yang multikultural ini. Hal ini sekaligus menepis pandangan bahwa dunia sastra jauh dari realitas sosial-kebangsaan. Sebagai bagian
4
institusi sosial-kebangsaan sastra dan dunia sastra pada umumnya memiliki tanggung jawab terhadap realitas sosial-kebangsaan yang melingkupinya.
1.2 Perumusan Masalah Selanjutnya penelitian ini dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut. 1)
Bagaimanakah pengembangan model pembelajaran sastra multikultural sebagai desain pembelajaran sastra berbasis kebangsaan?
2) Bagaimanakah penerapan model pembelajaran sastra multikultural tersebut pada SD dalam Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) ? 3) Bagaimanakan implikasi dari pembelajaran sastra multikultural di SD RSBI terhadap perkembangan positif peserta didik dalam konteks kehidupan berbangsa?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini selanjutnya dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Mendeskripsikan pengembangan model pembelajaran sastra multikultural sebagai desain pembelajaran sastra berbasis kebangsaan. 2) Mendeskripsikan penerapan model pembelajaran sastra multikultural tersebut pada SD dalam Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). 3) Mendeskripsikan implikasi dari pembelajaran sastra multikultural di SD RSBI terhadap perkembangan positif peserta didik dalam konteks kehidupan berbangsa.
5
1.3 Urgensi Penelitian Urgensi penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.3.1 Urgensi Umum Urgensi umum, yakni manfaat secara keseluruhan penelitian ini adalah mengembangkan model baru dalam pembelajaran sastra yang selama ini belum ditemukan model pembelajaran sastra berbasis kebangsaan. Maka, model pembelajaran sastra multikultural ini dapat menjadi model dalam pembelajaran sastra berbasis kebangsaan, yang saat ini dibutuhkan untuk ikut memberikan kontribusi dalam mengatasi krisis kebangsaan yang ada. 1.3.2 Urgensi Khusus Penelitian ini diarahkan untuk dapat memberikan manfaat bagi pengayaan kajian teks sastra multikultural, dikembangkannya prinsip-prinsip pembelajaran sastra multikultural. Penelitian ini diarahkan untuk mendeskripsikan suatu desain pembelajaran sastra multikultural, sehingga dengan hasil tersebut guru dan peserta didik dapat mempraktikkannya dalam proses pembelajaran.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Sebelumnya Penting
untuk
dikemukakan
bahwa
penelitian
pembelajaran
sastra
multikultural ini masih relatif baru. Meskipun demikian, dipandang perlu untuk diuraikan beberapa kajian sebelumnya yang berkaitan dengan kajian sastra multikultural. Pertama, Kajian yang dilakukan oleh Bhiku Parekh (2000), yang diberi judul “Rethingking Multikulturalism: Cultural Diversity and Political Theory”. Dalam kajiannnya, Parekh mengemukakan bahwa sebuah masyarakat multikultural seringkali menghadapi tuntutan-tuntutan yang saling berbenturan dan harus mencari jalan untuk merekonsiliasikan tuntutan-tuntutan tersebut dengan cara kolektif dapat diterima. Di satu pihak, ia harus menumbuhkan kebersamaan yang solid yang dapat membuta seluruh warga merasa senasib dan sepenanggungan, namun di pihak lain, ia juga harus dapat menaungi dan melindungi kemajemukan. Semakin besar kemajemukan yang terdapat dalam suatu masyarakat, semakin besar pula kebutuhan untuk mempertahankan kesatuan sembari selalu membina kemajemukan tersebut. Kedua, kajian yang dilakukan Mulyana (2002), yang diberi judul “Sikap Multikulturalisme Bangsa Indonesia”. Mulyana lebih banyak menyoroti suatu fenomena multikulturalisme yang dikembangkan oleh masyarakat Jawa, yang dalam bahasa dia diistilahkan dengan multikulturalisme kejawen. Multikulturalisme kejawen
7
merupakan sikap manusia Jawa yang berpandangan luas, bias ajur ajer ‘mampu beradaptasi dan menghormati lainnya’. Menurut Mulyana, inilah solusi mengahadapi krisis identitas dan bahaya cauvinisme sempit. Munculnya konflik etnis dibeberapa wilayah Indonesia sekarang ini, sebenarnya tidak lepas dari hilangnya kesadaran multikulturalisme dalam mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketiga, kajian yang dilakukan Indraswari (2003), yang diberi judul “Manajemen Moral dan Multikultural: Landasan Pengelolaan Bangsa Menuju Indonesia Baru”. Dalam tulisannya, Indraswari mengemukakan bahwa konsep multikulturalisme merupakan konsep yang sudah lama. Konsep tersebut disejajarkan dengan konsep “Bhineka Tunggal Ika”, yang menganggap bahwa kenekaragaman adalah sebuah potensi besar yang dapat digunakan untuk mengelola berbagai persoalan bangsa. Konsep ini seharusnya menjadi nafas bagi bangsa Indonesia. Keempat, kajian yang dilakukan Mannake Budiman (2003), yang diberi judul “ Masih Adakah Masa Depan bagi Multikulturalisme?”. Dalam kajiannya, Budiman mengemukakan bahwa
multikulturalisme –seperti halnya feminisme--jelas tidak
bisa terlalu sarat ideologi, yang amat dengan mudah menjadi utopia, melainkan harus mencari jalan keluar agar lebih menjadikan dirinya sebagai perangkat kritis dan menjadi serangkaian aksi yang mampu mempengaruhi perubahan daripada menginisiasi perubahan itu sendiri. Kelima, kajian yang dilakukan Surur (2003) yang diberi judul “Menebar Perempuan
Multikultural
Di
Tanah
Bugis”.
Sebuah
kajian
yang
ingin
mengungkapkan karakter perempuan yang berusaha untuk meluluhkan keangkuhan
8
wacana hegemonik yang selama ini kurang arif melihat realitas yang ada, yaitu sebuah pengalaman perempuan yang beragam warnanya. Pornografi dalam konteks ini pun selalu dikonstruksi pada perempuan yang dianggap “aduhai” oleh laki-laki. Inilah fakta terjadinya kesalahan konstruksi wacana dan anggapan tentang perempuan yang selalu diidentifikasi dengan konstruksi tunggal, tanpa mau melihat adanya multikulturalitas dalam tubuh-tubuh perempuan. Keenam, kajian yang dilakukan Budi Darma (2004) yang diberi judul ” Sastra Multikultural”. Budi Darma dalam kajiannya mengemukakan bahwa sastra multikultikultural terbentuk karena adanya proses migrasi manusia. Proses migrasi ini pada tahap berikutnya memunculkan interaksi multikultural antara manusia atau kelompok manusia yang satu dengan yang lain. Interaksi multikultural itulah pada ujungnya melahirkan berbagai problem multikulturalitas. Persoalan identitas kemanusiaan adalah salah satu dai sekian problem yang sering muncul. Ketujuh, kajian yang dilakukan oleh Dwicipta (2007) yang diberi judul “Sastra Multikultural”. Dalam kajiannya, Dwicipta mengemukakan bahwa sastra multicultural mempunyai proyeksi terhadap kontinuitas kehidupan berbangsa yang saat ini sedang terkoyak oleh berbagai macam konflik horizontal di seluruh penjuru negeri. Oleh karena itu, karya sastra dalam hal ini dapat berfungsi untuk mengukuhkan kebangsaan yang ada, sekaligus mengajak pembacanya untuk menggali apa yang telah menjadi warisan masa lalu. Ia menjadi ruh penggerak bagi pembacanya untuk berusaha mendefinisikan kembali apa yang selama ini mereka terima sebagai bagian hidup berbangsa dan bernegara.
9
Kedelapan, kajian yang dilakukan Akhmad Taufiq (2008) yang diberi judul ” Dinamika Sastra Multikultural: Revitalisasi Nilai dalam Dimensi Kebangsaan”. Taufiq dalam kajiannya mengemukakan bahwa sastra multikultural dalam perkembangan sastra Indonesia idealnya dapat mengonstruksi atau memberikan kontribusi terhadap integrasi kebangsaan. Dalam konteks demikian, sastra multikultural dalam konteks perkembangan sastra Indonesia tidak tercerabut dari konteks sosio-kulturalnya. Oleh karena itu, mengembangkan nilai-nilai yang dapat memperkokoh integrasi kabangsaan adalah suatu keniscayaan. Nilai-nilai itu antara lain; nilai toleransi, moderasi, inklusivitas, dan solidaritas. Faktanya, nilai-nilai tersebut akhir-akhir ini mengalami degradasi yang cukup serius. Kesembilan, kajian yang dilakukan Akhmad Taufiq (2009) yang diberi judul ”Revitalisasi Strategi Kebudayaan: Pertaruhan Paradigma Pendidikan dan Penguatan Politik Multikultural”. Dalam kajiannya, Taufiq mengemukakan bahwa Indonesia penting untuk merevitalisasi strategi kebudayaannya. Strategi kebudayaan dalam konteks keindonesiaan itu berpijak pada dua pilar utama. Pertama, adalah bidang pendidikan. Kedua, adalah bidang politik yang terkait dengan aspek kebijakan. Kedua bidang tersebut perlu dibangun dalam konteks dan paradigma multikultural bangsa Indonesia. Hal tersebut menjadi penting bahkan mutlak karena sebesar apapun pembangunan bangsa ini tanpa dilandasi kesadaran multikultural, pada akhirnya tidak berarti apa-apa. Selanjutnya, bertolak dari kajian sebelumnya tersebut, maka penelitian ini dapat dikemukakan sebegai penelitian yang belum pernah dilakukan oleh peneliti
10
yang lain. Oleh karena itu, penelitian ini merupakan penelitian yang layak untuk dilakukan.
2.2 Kajian Teoretik Salah satu hal penting dalam peningkatan pemahaman nilai kebangsaan adalah mengembangkan suatu sistem pembelajaran yang mendorong terjadinya integrasi sosial-kebangsaan di tingkat masyarakat. Hal tersebut mengingat bahwa tidak ada faktor apapun yang dapat menjamin keberlangsungan dan tegak utuhnya suatu bangsa, kecuali daya integrasi kebangsaan itu sendiri. Premis demikian ini, lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa runtuhnya negara bangsa bukan semata-mata factor terpuruknya ekonomi, terpuruknya ideologi, ataupun krisis politik; akan tetapi, yang memegang peranan penting adalah terjadinya krisis kebangsaan (Surata dan Taufiq, 2002:17). Negara yang ekonominya mantap seperti Kanada, tiba-tiba terjadi perpecahan dan kemudian berdirilah Queebec. Cina pernah mengalami krisis ideologi, tapi faktanya tidak membuat negara tersebut bubar. Hal tersebut memberikan arti bahwa negara bangsa itu dapat runtuh manakala pada suatau bangsa itu terjadi yang namanya krisis kebangsaan. Sebuah fakta atas terjadinya krisis ikatan kolektivitas politik sebagai suatu bangsa (Andesrson, 2002:8). Sebuah bangsa merupakan komunitas politik yang memiliki visi dan ikatan solidaritas politik yang sama. Dalam bahasa Cornelis Ley (2001:xiii), visi dan solidaritas yang sama itu dirumuskan sebagai good society dalam masyarakat yang idealisasikan.
11
Artinya, ketika bangsa sebagai komunitas politik dan pada faktanya terjadi degradasi visi dan ikatan nilai-nilai solidaritas, maka bangsa tersebut dapat dikategorikan sebagai bangsa yang mengalami krisis kebangsaan. Hal tersebut pada proses selanjutnya akan membahayakan integrasi kebangsaan, baik integrasi itu bersifat vertikat, yakni antara elit dan massa; maupun integrasi itu bersifat horisontal, yakni berkaitan dengan relasi sosial antarentitas kebangsaan tersebut (Coleman dan Rosberg dalam Sihbudi,2001:23). Dalam konteks tersebut, maka dipandang penting diciptakan sebuah upaya untuk menjaga kelangsungan bangsa, sekaligus menyelamatkan bangsa Indonesia dari proses terjadinya degradasi kebangsaan yang saat ini sudah terjadi. Beberapa kasus terjadinya konflik kebangsaan, misalnya kasus Situbondo, Tasikmalaya, Sambas, Maluku, Sampit, dan Poso, serta bentrok antarwarga dan antarsiswa (baca: tawuran antar siswa) merupakan bukti telah terjadinya degradasi nilai-nilai solidaritas kebangsaan. Oleh karena itu, perlu dibangun sebuah ssstem untuk meningkatkan pemahaman wawasan dan nilai kebangsaan (Gumelar,2003:17). Berangkat dari pemikiran tersebut, dapat dikemukakan bahwa pembelajaran sastra multikultural dipandang penting untuk dilakukan. Sebuah proses pembelajaran yang diarahkan untuk memperoleh dan mengembangkan nilai-nilai kebangsaan melalui kajian atas teks karya sastra. Nilai-nilai kebangsaan tersebut, misalnya nilai toleransi, moderasi, inklusivitas, dan solidaritas sosial. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Sarwadi (dalam Sayuti, 1994:83), yang mengemukakan bahwa pembelajaran sastra memiliki tiga fungsi utama, antara lain:
12
pertama, fungsi ideologis, yakni fungsi yang berkaitan dengan suatu upaya penguatan nilai-nilai ideologis bangsa; kedua, fungsi kultural, yakni fungsi transformasi nilai budaya yang telah diwariskan oleh leluhur-leluhur bangsa sebelumnya; ketiga, fungsi praktis, yakni berkaitan dengan manfaat praktis hiburan maupun pembelajaran. Berkaitan dengan pendapat Sarwadi tersebut, ketiga fungsi pembelajaran sastra itu sangat relevan jika dikorelasikan dengan pembelajaran sastra multikultural. Setidaknya, ketiga fungsi pembelajaran sastra tersebut dapat dikembangkan untuk menopang fondasi negara bangsa pada tataran nilai, baik itu yang berhubungan dengan fungsi ideologis, kultural dan praktis. Secara lebih khusus, sehubungan dengan sastra multikultural, Ratna (2005:399) mengemukakan bahwa masalah mendasar dalam kaitannya dengan usahausaha
untuk
menghidupkan
kembali
sastra
multikultural,
penting
untuk
membangkitkan kembali sastra warna lokal. Perspektif seperti ini menjadi sesuatu yang dapat diterima karena pada kenyataannya bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku, ras, agama, adat-iistiadat, pola-pola perilaku yang berbeda. Oleh karena itu, sastra warna lokal sebagai bagian dari sastra multikultural jelas memegang peranan penting dalam memperkenalkan khazanah kebudayaan, sebagai hakikat dari multikulturalitas (Ratna,2005:400). Dalam kaitannya dengan pembentukan integrasi bangsa masalah ini menjadi cukup mendesak untuk segera dapat dikembangkan dan ditemukan sebuah model pembelajaran sastra yang berbasis multikulturalitas.
13
Bukan sebaliknya, semakin menumbuhsuburkan karya sastra-karya sastra yang semakin mendorong terbentuknya sentimen agama, suku, ras, dan golongan, yang jelas tidak produktif bagi kebutuhan kebangsaan ke depan. Sastra multikultural menjadi kekuatan yang luar biasa dalam rangka melakukan elaborasi teoretik dan fungsional terhadap kebutuhan bangsa tersebut. Sebuah bangsa yang membutuhkan pemahaman bersama atas mulculnya kesadaran pluralitas. Sebuah bangsa yang membutuhkan wacana inklusif untuk mendorong terbentuknya nilai toleransi dan moderasi. Dalam konteks demikian, sastra multikultural bukanlah karya sastra yang bersifat abstrak dan utopia. Sebaliknya, mengembangkan sastra multikultural berarti mengembangkan fungsinya pada tataran praksis dan membumi. Dikatakan demikian, karena sastra multikultural ikut menjawab permasalahan-permasalahan nyata yang terjadi pada bangsa ini. Permasalahan semakin mengendornya nilai toleransi dan moderasi, semakin tumbuh suburnya eksklusivitas, dan berbagai macam konflik kebangsaan yang dipicu dari miskinnya pemahaman pluralitas (multikulturalitas) tersebut. Dwicipta (2007) misalnya mengemukakan bahwa sastra multikultural tidak dapat disangkal menjadi sesuatu yang mutlak dibutuhkan dalam perkembangan kebangsaan Indonesia ke depan. Teruatama hal itu berkaitan dengan pembangunan karakter bangsa (nation and Character building). Meskipun, harus diakui bila dilakukan identifikasi, sastra warna lokal (multikultural) tersebut masih relative sedikit jumlahnya.
14
Untuk mencapai hal itu, wacana multikulturalitas (multikulturalisme) harus meninggalkan pretense bahwa ia merupakan sebuah kategori analitis semata dan lebih memposisikan dirinya sebagai sebuah kategori yang dapat dianalisis dalam konteks social maupun historis (West:1993). Perspektif seperti ini penting dalam rangka mengembangkan wacana kritis terhadap multikulturalisme—termasuk sastra multikultural di dalamnya-- yang idealnya membedakan dengan fasisme maupun rasisme. Sastra multikultural sebagai bagian dari wacana multikulturalisme pada proses lebih lanjut akan mampu mengembangkan kapasitasnya sebagai media yang produktif dan konstruktif bagi pembangunan bangsa ke depan. Untuk itulah, multikulturalisme dan sastra multikultural sebagai bagiannya harus dijauhkan posisinya sebagai ideologi, karena akan mengalami nasib seperti ideology-ideologi yang lain (Budiman,2003:60). Multikulturalisme dan sastra multikultural haruslah ditempatkan sebagai medium atau jembatan bagi wacana keberagaman yang dapat menghormati keberagaman itu sendiri. Dalam konteks tersebut, pembelajaran sastra melalui pendekatan sastra multikultural dapat menemukan daya elan vital-nya. Inilah sebuah fakta pembelajaran sastra yang tidak tercerabut dari akar kulturalnya.
2.3 Model Pembelajaran Sastra Dapat dikemukakan lebih awal, bahwa model pembelajaran sastra, termasuk juga di dalamnya model pembelajaran sastra multikultural adalah menjadi bagian dari
15
model pembelajaran. Model pembelajaran, seperti yang dikemukakan Briggs (1978) adalah seperangkat prosedur
yang berurutan untuk melaksanakan proses
pembelajaran. Oleh karena itu, model pembelajaran dalam perkembangannya dapat dielaborasi untuk membentuk kurikulum, merancang bahan-bahan pembelajaran, dan membimbing pembelajaran di kelas. Sudrajat (2008) mengemukakan bahwa model pembelajaran pada prinsipnya adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh pengajar. Lebih lanjut, model pembelajaran memiliki ciri-ciri yang dapat menjadi pijakan dalam proses untuk mengembangkannya. Seperti yang dikemukakan Rusman (2007), ciri-ciri model pembelajaran adalah sebagai berikut: 1) berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar tertentu; 2) mempunyai misi dan tujuan tertentu; 3) dapat dijadikan pedoman perbaikan pembelajaran di kelas; 4) memiliki bagian-bagian yang mencakup urutan langkah-langkah pembelajaran, prinsip-prinsip reaksi, sistem sosial, an sistem pendukung; 5) memiliki dampak sebagai akibat penerapan model pembelajaran yang mencakup dampak pembelajaran dan dampak pengiring; 6) menjadi dasar pembuatan persiapan mengajara (desain instruksional) dengan pedoman model pembelajaran yang dipilihnya.
16
Sehubungan dengan konsep dan ciri-ciri model pembelajaran, konsepkonsep yang terdapat dalam teori sastra multikultural dapat dikembangkan dalam suatu model pembelajaran sastra. Sebuah pembelajaran sastra yang strategis untuk pengembangan wacana dan nilai kebangsaan. Hal tersebut mengingat bahwa model pembelajaran sastra yang ada selama ini masih banyak terfokus secara internal kajian sastra itu sendiri. Seperti yang dikemukan Ratna (2004) pembelajaran sastra masih banyak menerapkan modelmodel pembelajaran sastra yang berkutat dalam kajian sastra itu sendiri. Misalnya, model pembelajaran sastra dengan metode mimetik, objektif/ struktural, pragmatik, ekspresif, dan resepsi pembaca. Hal ini artinya kajian dan pembelajaran sastra belum dikorelasikan dan dikontekstualisasikan dengan kondisi dan wacana kebangsaan yang ada. Dengan demikian, pembelajaran sastra multikultural memiliki posisi dan fungsi strategis dalam mengkorelasikan dan mengkontekstualisasikan antara wacana yang berkembang dalam teksw sastra dengan kondisi dan problem kebangsaan yang ada. Oleh karena itu, sangat relavan bahwa pembelajaran sastra pada prosesnya memiliki fungsi ideologis dan sekaligus kultural (Moody, 1971:6). Fungsi tersebut jelas fungsional dan kontekstual terhadap suatu sistem pembelajaran sastra ditengah krisis kebangsaan yang terjadi. Fungsi ini sekaligus pada tingkat jangka panjang akan memberikan manfaat dalam pembentukan watak
17
(Rahmanto, 2001:24-25). Pembentukan watak itu termasuk juga di dalamnya adalah pembentukan watak kebangsaan (nation and character building). Hal itu merupakan manifestasi keterlibatan sastra dalam ikut menjawab persoalan kebangsaan yang ada, sehingga pembelajaran sastra tidak tercerabut dari lingkungan sosial kebangsaan yang melingkupinya (Jamaluddin, 2003:75). Paparan seperti ini penting karena bicara kebangsaan tidak semata-mata berada dalam ranah politik; akan tetapi juga berada dalam ranah sastra dan budaya. Artinya, tanggung jawab untuk mengatasi permasalahan kebangsaan mencakup seluruh bidang. Seperti yang dikemukakan Surata dan Taufiq (2002:17) bahwa runtuhnya negara bangsa bukan semata-mata faktor ekonomi dan politik, tapi lebih jauh dari itu adalah terjadinya krisis kebangsaan. Oleh karena itu perlu dibangun sebuah sistem—termasuk sistem pembelajaran sastra di dalamnya—untuk meningkatkan wacana dan nilai kebangsaan (Gumelar,2003:17). Dalam konteks tersebut, maka mengelaborasi pembelajran sastra sebagai sistem perlu mempertimbangkan kajian dan apresiasi yang mendalam. Salah satu pokok yang dapat dilakukan dalam penelitian pembelajaran sastra adalah mencari metode yang relevan dan kontekstual dengan tantangan sosial kebangsaan yang ada (Sayuti, 1994:112). Selain
itu,
dalam
kerangka
sistem
pembelajaran
perlu
untuk
mempertimbangkan kompetensi yang dicapainya, baik itu kognitif, afektif, dan psikomotor (Gulo,2002:31). Secara kognitif pembelajaran sastra multikultural
18
diharapkan mampu membangun wacana kebangsaan. Secara afektif, pembelajaran sastra multikultural mampu mengintenalisasi nilai-nilai kebangsaan dan secara psikomotor, munculnya kompetensi untuk mengelola pembelajaran sastra dengan metode yang kontekstual.
2.4 Pembelajaran Sastra Multikultural 2.4.1 Konsepsi Sastra Multikultural Seperti yang dikemukakan Budi Darma (2004) bahwa wacana multikultural itu muncul dan berkembang sejak dimulainya proses migrasi manusia ke daerah yang lain, yang kemudian mengakibatkan terjadinya interaksi sosial dan kultural antara warga pendatang dan warga pribumi. Interaksi inilah yang kemudian melahirkan hubungan multikultural antara dua atau lebih entitas masyarakat, yang memiliki kebiasaan dan identitas kultural yang berbeda. Berpijak pada pendapat Budi Darma tersebut maka sastra multikultural merupakan refleksi hubungan multikultural itu yang tertuang di dalam karya sastra. Karya sastra- karya sastra itulah yang disebut karya sastra multikultural. Bertolak dari pendapat tersebut, maka keberadaan sastra multikultural di Indonesia dimulai sejak masa-masa kolonisasi; karena pada masa-masa ini banyak dijumpai karya sastra yang mendeskripsikan hubungan multikultural dalam konteks masyarakat Indonesia. Di sisi lain, hakikat karya sastra multikultural seperti yang dikemukakan Ratna (2005:399-400) merupakan karya sastra-karya sastra yang menghidupkan
19
kembali sastra warna lokal, yang mencerminkan kebiasaan dalam hidup beragama, adat istiadat dalam suatu etnis tertentu, dan pola-pola perilaku serta kebiasaan yang lain. Indonesia, menurut Ratna (2005:399) merupakan kenyataan bangsa yang terdiri atas berbagai suku, ras, agama, adat-istiadat dan pola-pola perilaku serta kebiasaan yang beragam. Maka, karya sastra yang mencerminkan keberagaman tersebut pada hakikatnya adalah karya sastra multikultural. Berangkat dari pandangan di atas, analisis terhadap perkembangan karya sastra multikultural dapat diletakkan dua konstruksi pemikiran tersebut. Artinya, karya sastra multikultural dalam perkembangannya mencakup seluruh karya yang pernah terbit pada masa 1920-an, yang mengusung wacana atau isu-isu multikulturalitas sampai dengan perkembangannya saat ini. Proses kolonisasi misalnya, yang memberikan corak keberagaman tersendiri, menjadi sisi yang menarik untuk dikaji. Di sisi lain juga, pencermatan terhadap teks sastra pascakolonisasi tidak kalah pentingnya. Hal tersebut berkaitan dengan perkembangan wacana multikultural yang
terjadi
berikut
hubungan-hubungan
multikulturalitas
dalam
konteks
keindonesiaan yang saat ini terjadi.
2.4.2 Pembelajaran Sastra Multikultural dan Internalisasi Nilai-nilai Kebangsaan Pembelajaran sastra multikultural dengan demikian merupakan pembelajaran sastra yang diletakkan dalam kontruksi kebangsaan. Sebagai pembelajaran yang diletakkan dalam konstruksi kebangsaan, maka pembelajaran sastra idealnya dapat
20
meningkatkan pemahaman nilai-nilai kebangsaan yang terdapat dalam teks sastra multikultural. Pembelajaran sastra seperti ini merupakan fakta pembelajaran yang tidak tercerabut dari basis sosial-kebangsaannya. Karya sastra sebagai bagian institusi sosial, maka karya sastra itu harus terlibat dalam memberikan kontribusi sosial yang membentuknya. Wacana multikultural dalam konteks ini merupakan wacana yang berkembang secara dinamis dalam koonteks riil dalam dimensi sosial-kebangsaan. Oleh karena itu, teks sastra multikultural sangat adaptif dan dinamis dalam merefleksikan wacana itu dalam teks sastra. Sehubungan dengan hal tersebut, peningkatan pemahaman nilai-nilai kebangsaan haruslah dibaca dan diletakkan dalam kerangka usaha dan proses dalam praktik pembelajaran yang berjalan secara dinamis. Oleh karena itu dalam strategi pembelajarannya dapat dilakukan secara fleksibel dalam upaya mencapai peningkatan pemahaman nilai kebangsaan tersebut. Hal yang sangat memungkinkan dalam konteks strategi pembelajaran untuk peningkatan pemahaman nilai-nilai kebangsaan ialah menggunakan strategi induktif model Taba. Dalam strategi induktif model Taba, pembelajaran sastra multikultural dilakukan dengan cara pembelajaran melalui tiga tahapan: pertama, tahap pembentukan konsep; kedua, tahap penafsiran dan penjelasan data; dan ketiga, tahap penerapan prinsip (Jamaluddin,2003:87). Tahap pembentukan konsep dilakukan dengan cara subjek didik diarahkan untuk memiliki seperangkat konsep sastra multikultural dan kontribusinya terhadap
21
dimensi sosial-kebangsaan. Secara praksis, hal ini dapat dilakukan dengan cara, subjek didik merumuskan sendiri tentang konsep sastra multikultural berdasarkan referensi dan teks sastra yang ada. Jika hal tersebut dapat dilakukan dengan baik, proses pembelajaran selanjutnya ialah melakukan interpretasi teks sastra multikultural. Beberapa novel yang telah dikaji tersebut dapat menjadi alternatif materi teks yang dapat diinterpretasikan. Maka, kemudian subjek didik penting merefleksikan dimensi dan nilai yang terdapat dalam teks sastra itu dengan kondisi riil dalam kehidupan sosialkebangsaan. Dalam proses interpretasi tersebut, internalisasi nilai yang terkandung dalam teks sastra multikultural sudah dapat dilakukan. Proses internalisasi nilai, selanjutnya dapat diteruskan dengan tahap penerapan. Subjek didik sudah mulai mencoba menerapkan wacana multikultura dan nilai yang terkandung itu, khususnya dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran kemudian, akan dapat diamati: pertama, bagaimana interaksi multikultural yang berlangsung terkait dengan keanekaragaman yang ada baik dalam dimensi agama, etnisitas, ras, dan relasi antargender; kedua, pengamatan terhadap nilai kebangsaan yang sudah dinternalisasikan, misalnya; nilai toleransi, nilai moderasi, solidaritas, dan inklusivitas, serta kesediaan untuk bekerja sama dengan warga yang lain.
22
2.5 Pembelajaran Sastra di SD Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional Pada
dasarnya
RSBI
dimaksudkan
agar
mutu
pendidikan
dapat
dimaksimalkan dengan melakukan rintisan sekolah bertaraf internasional dengan menggunakan pengantar bahasa inggris meskipun tidak mengesampingkan bahasa indonesia sebagai bahasa nasional (Supa’at, 2010:1)). Sebagaimana diketahui secara umum bahwa seseorang dalam merintis arah kehidupan sangat ditentukan oleh kemampuan dan tingkat pendidikan yang dimiliki. Sampai saat ini untuk memasuki sekolah yang lebih tinggi dibutuhkan kemampuan lebih atau bahkan untuk memasuki dunia kerja nantinya diutamakan seseorang yang mempunyai berbagai keahlian dan kemampuan. Salah satu yang sampai saat ini yang sangat penting adalah kemampuan menggunakan bahasa Inggris. Menurut Suharno (2008) Ide dasar RSBI adalah dari semangat peningkatan kualitas pendidikan yang diusung oleh UU Sisdiknas. Dalam UU ini disebutkan bahwa di tingkat daerah kabupaten/kota, minimal ada satu sekolah di setiap jenjang yang dikembangkan menjadi RSBI. Lebih mendasar lagi, menurut Suharno (2008) RSBI sebenarnya dihadirkan sebagai jawaban dunia pendidikan atas perkembangan jaman yang pesat sekarang ini. Era global tentunya menuntut sumberdaya manusia yang juga memiliki kualifikasi global. Oleh karena itu perlu dimulai satu sistem pendidikan
yang
global.perbedaan
bisa
menjembatani
mendasar
RSBI
anak didik
dengan
sekolah
untuk lain
memasuki itu
pada
dunia konsep
pembelajarannya. Di RSBI, selain menuntaskan kurikulum nasional harus ditambah
23
dengan membuka kurikulum internasional. Biasanya, kurikulum itu dengan mengadopsi dan menerapkan kurikulum Cambridge. Hal yang perlu diamati lebih lanjut adalah pada tataran pembelajaran sastranya. Materi sastra yang sampai saat ini masih terintegrasi dengan materi bahasa (linguistik), idealnya mendapatkan perhatian yang cukup memadai. Bila tidak, materi sastra akan cenderung menempati posisi minor dan dipandang kurang penting, di sisi lain materi pelajaran di SD yang lebih berorientasi pada MIPA. Dengan kalimat yang sederhana, RSBI cenderung dimaknai dengan MIPA atau kemipaan. Padahal bila diamati lebih seksama, dengan diberlakukannya RSBI penting untuk melibatkan semua materi pelajaran. Kurikulum dalam konteks demikian harus mampu dielaborasi secara komprehensif, termasuk dalam hal ini adalah materi pembelajaran sastra di SD RSBI. Pembelajaran sastra multikultural di SD RSBI dalam konteks demikian diarahkan agar di siswa di sekolah tersebut memiliki paradigma multikultural dalam konteks global maupun nasional.
24
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dirancang dalam bentuk penelitian mikro etnografi. Yakni, metode penelitian yang diarahkan untuk mendeskripsikan fenomena komunitas dalam ruang sosial tertentu. Dalam konteks penelitian ini komunitas sosial yang dibidik adalah fenomena pembelajaran sastra multikultural yang terjadi di kelas. Metode ini dipandang relevan untuk menggambarkan fenomena praktik pembelajaran sastra multikultural di SD RSBI. Dalam kerangka tersebut, pendekatan multikultural dimaksudkan untuk dapat mendekati dan memotret subjek secara lebih memadai. Hal yang sama juga dimaksudkan untuk memotret proses transformasi dan internalisasi nilai moderasi, toleransi, inklusivitas dan solidaritas, serta kesediaan diri untuk bekerja sama dengan sesama warga bangsa dalam kleompok kultural yang berbeda.
3.2 Lokasi dan Subjek Penelitian Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Jember, yakni di SDN Jember Lor 03 yang telah menerapkan sistem RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional); sedangkan kelas yang dipilih yaitu kelas V. SDN Jember Lor 03 sebagai SD RSBI di Jember tersebut dipilih dengan alasan bahwa kabupaten Jember merupakan daerah
25
bagian timur pulau Jawa, yang apabila dilihat dari subjek didiknya sangat multikultural. Setidaknya, terdapat beberapa kelompok etnik yang dominan di dua kabupaten tersebut, antara lain; kelompok etnik Jawa, Madura, Using, Arab dan Tionghoa. Pembelajaran sastra multikultural dengan demikian menjadi menarik untuk dilakukan sebagai suatu model pembelajaran sastra untuk SD RSBI.
3.3 Jenis Data dan Teknik Pengumpulannya Data-data yang menjadi objek deskripsi penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui teks-teks yang langsung terdapat dalam prosa yang berkaitan dengan isu/wacana multikultural. Teks- teks sastra multikultural tersebut diangkat dan dikaji secara lebih mendalam dan kemudian dikembangkan menjadi materi dalam pembelajaran sastra multikultural. Di sisi lain, data primer itu diperoleh dari pengamatan secara langsung dalam proses pembelajaran sastra multikultural di SD RSBI yang terselenggara di Jember. Sedangkan data sekunder berupa data-data pendukung yang berkaitan dengan proses pembelajaran sastra multikultural yang dikaji, antara lain; tulisan/dokumen yang berkaitan dengan novel tersebut, komentar atau pendapat ahli sastra, guru sastra, dan catatan-catatan lain yang relevan. Data-data tersebut, selanjutnya dikumpulkan dan dibuat kategorisasi dan kodefikasi. Proses kategorisasi dan kodefikasi tersebut selanjutnya dimasukkan dalam tabel pemandu data (tabulasi).
26
3.4 Analisis dan Prosedur Penelitian Selanjutnya, setelah data terkumpul terdapat langkah-langkah atau prosedur analisis yang perlu dilakukan. Prosesdur analisis penelitian ini: (1) membaca secara seksama teks yang sudah terkumpul; (2) menyeleksi dan menandai data yang ada dengan kode tertentu, agar memudahkan analisis; (3) mengidentifikasi dan mengklarifikasi data sesuai dengan data yang dibutuhkan; (4) menganalisis dan mendeskripsikan teks sastra multikultural, dalam perspektif wacana dan nilai kebangsaan; (5) mendeskripsikan fenomena pembelajaran sastra multikultural yang diterapkan di SDN Jember Lor 03. 3.5 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data Untuk memeriksa keabsahan data, Moleong (1990) mengemukakan perlunya dilakukan triangulasi. Triangulasi tersebut dilakukan agar proses penelitian yang dilakukan mendapatkan derajat keterpercayaan yang tinggi, sehingga penelitian itu benar-benar dapat diakui kesahihannya. Dalam penelitian ini, proses triangulasi yang dilakukan mencakup triangulasi sumber data, teori dan pendapat para ahli sastra dan pembelajaran. Data yang telah terkumpul dan analisis yang telah dilakukan perlu di cek lagi kebenarannya sehingga data tersebut benar-benar dapat memenuhi derajat keterpercayaan tadi.
27
BAB IV FENOMENA PEMBELAJARAN SASTRA MULTIKULTURAL DI SDN RSBI JEMBER LOR 03
Pada bagian ini dideskripsikan tiga pembahasan yang mencakup: (1) gambaran umum tentang desain pembalajaran sastra multikultural di SDN RSBI Jember Lor 03; (2) praktik/penerapan pembelajaran sastra multikultural di SDN RSBI Jember Lor 03; (3) implikasi pembelajaran sastra multikultural di SDN RSBI Jember Lor 03.
4.1 Desain Pembalajaran Sastra Multikultural di SDN RSBI Jember Lor 03 Secara umum pembelajaran sastra di SD diintegrasikan pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Oleh karena itu, mata pelajaran bahasa Indonesia mencakup dua bagian; yakni pembelajaran dalam aspek kebahasaannya dan pembelajaran dalam aspek kesastraannya. Pembelajaran sastra multikultural dalam konteks itu tercakup dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada aspek kesastraannya. Hal itu pun tidak dapat ditemukan secara eksplisit dengan menyebut pembelajaran sastra multikultural. Pembelajaran sastra multikultural di SD baru dapat ditemukan secara substansial dalam materi pelajaran dan arah/ konstruksi besar kognitif pembelajaran. Yakni, suatu arah pembelajaran yang diorientasikan untuk membentuk kesadaran kebudayaan siswa terhadap lingkungan budayanya. Dalam konteks tersebut, materi
28
pembelajaran sastra sudah dikonstruksi untuk membentuk kesadaran kebudayaan antarbudaya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan Suharno (2008) RSBI sebenarnya dihadirkan sebagai jawaban dunia pendidikan atas perkembangan jaman yang pesat sekarang ini. Era global tentunya menuntut sumberdaya manusia yang juga memiliki kualifikasi global. Oleh karena itu perlu dimulai satu sistem pendidikan yang dapat menjembatani anak didik untuk memasuki dunia global. Sebagai sasaran antaranya ialah membangun kesiapan anak didik dalam kehidupan nasional yang multikultural. Kurikulum pembelajaran bahasa Indonesia sudah didesain sedemikian rupa untuk mengonstruksi materi yang dapat membangun kesadaran pemahaman lintas dan antarbudaya yang diarahkan untuk membekali anak didik/ siswa dalam konteks kehidupan nasional yang multikultural tersebut. Hal itu dapat dicermati dari Promes, silabus, SK, dan KD yang dijadikan pijakan dalam penyelenggaraan pembelajaran sastra. Secara khusus kurikulum bahasa Indonesia untuk SD RSBI memang tidak dibedakan dengan kurikulum SD non RSBI1; artinya ada kesamaan kurikulum yang digunakan. Kesamaan kurikulum yang digunakan itu menunjukkan bahwa desain pembelajaran sastra multikultural, secara substansial sudah dikonstruksi secara nasional. Hal ini menarik, setidaknya bahwa kesadaran kebijakan untuk menerapkan
1
Seperti yang dikemukakan Ibu Sri Agustin, guru kelas V SDN RSBI Jember Lor 03, bahwa dilihat dari sisi kurikulum tidak ada bedanya bahasa Indonesia untuk SD RSBI dengan non-RSBI (wawancara tanggal 14 April 2012).
29
pembelajaran sastra yang mendorong tumbuhnya pemahaman dan sikap toleransi lintas dan antarbudaya sudah dilakukan sedini mungkin. SD sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar dipandang strategis dalam upaya untuk membangun dan menginternalisasi pemahaman lintas dan antarbudaya tersebut. Materi sastra di SDN RSBI Jember Lor 03 untuk kelas V misalnya sudah diarahkan untuk memahamai materi prosa yang berupa cerita rakyat dari berbagai daerah. Antara lain ada yang dari Jawa, Kalimantan, Sumatera, Bali dan lain-lain. Cerita rakyat yang berasal dari berbagai daerah itu sadar atau tidak akan membangun kesadaran dalam diri siswa, bahwa fenomena kebudayaan yang lain selain kebudayaan dimana siswa itu tumbuh dan berkembang. Cerita rakyat seperti itu perlu dikembangkan terus-menerus untuk didorong tumbuhnya pemahaman lintas dan antarbudaya tadi. Siswa selain tertarik dengan dunia cerita—karena itu dunia anak— juga sekaligus dapat menimba pemahaman dan nilai toleransi lintas dan antarbudaya di dalamnya. Pada saat yang sama, dibutuhkan guru yang juga dapat mentranformasi materi yang dikehendaki oleh cerita rakyat itu. Tentunya, hal tersebut akan berjalan tidak searah dengan konstruksi besar pembelajaran, jika guru tidak memiliki pemahaman dan komitmen pembelajaran yang sama dengan arah positif pembelajaran sastra multikultural. Untuk menunjang hal tersebut, di SDN RSBI Jember Lor 03 diberlakukan kebijakan yang tidak menerapkan sistem guru kelas untuk kelas IV, V, dan VI. Hal itu dengan pertimbangan bahwa perberlakukan guru bidang studi dipandang lebih
30
relevan dan memadai untuk mencapai hasil kahir kompetensi pembelajaran.2 Dengan demikian, untuk guru bahasa Indonesia pun untuk kelas IV, V, dan VI disesuaikan dengan fokus bidang studi. Khususnya untuk kelas V guru yang bersangkutan dipandang memiliki spesifikasi kompetensi pembelajaran yang diharapkan; termasuk misalnya dalam upaya memahami secara substansial arah pembelajaran bahasa dan sastra.
4.2 Praktik Pembelajaran Sastra Multikultural di SDN RSBI Jember Lor 03 Praktik pembelajaran sastra multikultural di SDN RSBI Jember Lor 03 dilaksanakan dengan berpedoman pada silabus pembelajaran bahasa dan sastra yang disusun untuk tahun pelajaran 2010/2011. Dilihat dari sisi SKKD tidak dibedakan antara materi bahasa dan sastra. Pembelajaran sastra yang memiliki muatan sastra multikultural baru dapat ditemukan ketika materi pembelajaran itu masuk pada materi prosa khususnya cerita rakyat. Pada materi cerita rakyat itu muatan sastra multikultural dapat eksplorasi dan dielaborasi keberadaannya. Cerita rakyat itu, antara lain; Bawang Putih Bawang Merah (Jawa), Bulus Jembung (Jawa), Asal-usul Barito (Kalimantan), Asal-usul Danau Toba (Sumatera), dan Asal-usul Buleleng (Bali). Dalam praktik pembelajaran masing-masing cerita rakyat tersebut dibutuhkan dua kali tatap muka. Satu kali tatap muka sama dengan 2 JP; berarti JP yang dibutuhkan untuk satu cerita rakyat sekitar 4
2
Wawancara dengan Ibu Titik Rumini pada tanggal 04 April 2012.
31
JP.3 Kebutuhan terhadap satu cerita rakyat dengan 4 JP tersebut dengan catatan tetap mengakomodasi empat kompetensi pembelajaran keterampilan berbahasa, antara lain mendengar, berbicara, membaca, dan menulis.4 Dalam konteks pembelajaran sastra multikultural, fenomena pembelajaran sastra di SDN RSBI Jember Lor 03 ditemukan dua konstruksi: pertama, konstruksi pembelajaran sastra multikultural melalui cerita rakyat yang dibangun untuk menciptakan pemahaman antarbudaya melalui beberapa teks cerita rakyat yang berbeda; kedua, konstruksi pemahaman sastra multikultural yang dibangun untuk menciptakan pemahaman antarbudaya melalui dalam satu teks cerita rakyat tertentu.5 Yang pertama, dapat ditemukan dalam praktik pembelajaran sastra multikultural melalui cerita rakyat Bawang Putih Bawang Merah (Jawa), Bulus Jembung (Jawa), Asal-usul Barito (Kalimantan), dan Asal-usul Danau Toba (Sumatera). Yang kedua dapat ditemukan dalam praktik pembelajaran sastra multikultural melalui cerita rakyat dalam cerita Asal-usul Buleleng (Bali). Cerita rakyat Bawang Putih Bawang Merah (Jawa), Bulus Jembung (Jawa), Asal-usul Barito (Kalimantan), dan Asal-usul Danau Toba (Sumatera) merupakan bentuk cerita yang dalam bingkai besarnya ditujukan untuk membangun pemhaman khasanah kebudayaan nusantara yang begitu kaya. Dengan bangunan pemhaman demikian diharapkan dalam diri siswa tumbuh kebanggaan atas kekayaan khasanah 3
Wawancara dengan Ibu Sri Agustin pada tanggal 14 April 2012 Selanjutnya dapat dilihat silabus bahasa Indonesia kelas V SDN RSBI Jember Lor 03. 5 Perlu diketahui guru di SDN RSBI Jember Lor 03 lebih banyak fokus pada cerita rakyat, untuk prosa dari karya sastra modern, misalnya novel Laskar pelangi karya Andrea Hirata tidak disampaikan di kelas. Hal itu dilakukan dengan pengandaian siswa sudah mengetahui filmnya di rumah masingmasing. 4
32
kebudayaan itu; sekaligus, pada saat yang sama siswa mampu dan mau menerima sebagai realitas dalam lingkungan kebudayaan nasionalnya. Sedangkan dalam cerita rakyat Asal-usul Buleleng (Bali) merupakan bentuk cerita rakyat yang didalamnya sudah memuat tentang pola hubungan antaretnis yang berbeda. Dalam cerita Asal-usul Buleleng itu digambarkan ada kapal orang Bugis yang terdampar di laut Bali. Melihat adanya kapal orang Bugis yang terdampar tersebut muncul niat baik orang Bali untuk menolong awak kapal yang ada di dalamnya. Dalam praktik pembelajaran sastra multikultural, fenomena cerita rakyat demikian itu menunjukkan adanya suatu ruang sosial-budaya bagi dua kelompok etnik yang berbeda yang melakukan interaksi multikultural. Interaksi multikultural itu termanifestasi dalam bentuknya yang positif untuk terjadi suatu kondisi kerja sama di antara dua kelompok etnik budaya yang berbeda tersebut. Guru dalam konteks demikian secara teknis menyajikan cerita rakyat itu dengan apa adanya, kemudian dilanjutkan dengan apresiasi cerita sesuai isi yang dikandung oleh cerita rakyat tersebut. Kesadaran guru untuk mendorong terjadinya pembalajaran sastra multikultural sudah muncul, meskipun perlu didorong secara terus-menerus agar terjadi iklim pembelajaran yang lebih baik.
4.3 Implikasi Pembelajaran Sastra Multikultural di SDN RSBI Jember Lor 03 Implikasi pembelajaran sastra multikultural yang muncul di SDN RSBI Jember Lor 03, siswa sudah mampu menangkap cakupan cerita rakyat yang disajikan dalam praktik pembelajaran dengan baik. Hal itu ditunjukkan dengan: (1) siswa
33
relatif mampu menangkap keutuhan cerita rakyat secara lebih memadai. Cakupan cerita termasuk unsur-unsur intrinsik yang terkandung di dalamnya dapat dipaparkan secara baik; (2) siswa mampu menangkap pesan yang terdapat dalam kandungan cerita rakyat; baik secara implisit maupun eksplisit. Yang pertama menunjukkan bahwa siswa mampu mencapai suatu derajat kompetensi kognitif bagi muatan cerita rakyat yang ada. Hal itu menjadi penting ketika pembelajaran sastra, termasuk juga secara khusus pembelajaran sastra multikultural, harus dapat melampaui derajat kompetensi kognitif siswa. Kompetensi kognitif yang berupa pemahaman siswa atas unsur-unsur intrinsik yang dikandung dalam jalinan cerita yang utuh merupakan pintu masuk bagi siswa untuk melakukan apresiasi sastra yang lebih dalam. Apresiasi sastra yang lebih dalam, yakni mencakup aspek penghayatan siswa terhadap cerita yang disajikan. Dengan pengahayatan cerita yang lebih memadai, pembelajaran sastra akan terjadi secara lebih baik, karena tidak sekadar berhenti dalam tataran kognitif semata. Dalam konteks tersebut, siswa di SDN RSBI Jember Lor 03 perlu didorong secara terus-menerus untuk tumbuhnya penghayatan cerita secara lebih baik tadi. Memang dari sisi penguasaan cerita berikut jalinan cerita sudah terjadi secara lebih baik; bahkan, sudah menunjukkan di atas rata-rata anak siswa SD pada umumnya. Hal itu artinya juga dibutuhkan motivasi guru agar terjadi pembelajaran sastra yang
dapat
berjalan
dengan
upaya
dapat
membangkitkan
emosi
siswa.
Membangkitkan emosi siswa itu artinya bahwa dalam pembelajaran sastra
34
multikultural itu dalam melibatkan perasaan siswa. Hal ini sekaligus untuk membangun kecerdasan emosional yang dapat berjalan secara berimbang dengan kecerdasan kognitifnya. Yang kedua, siswa di SDN RSBI Jember Lor 03 sudah menunjukkan kemampuannya dalam menangkap pesan cerita yang disajikan dalam praktik pembelajaran. Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam cerita pun dapat diungkapkan secara baik. Nilai-nilai luhur tersebut misalnya nilai tolong-menolong, menepati janji, kerja sama dan nilai belas kasih pada sesama. Nilai-nilai tersebut merupakan nilai yang perlu dijaga dan dihidupkan secara terus-menerus.6 Bahkan, dalam paparan Anisa Yudiani nilai tolong-menolong itu harus dilakukan dengan cara tidak boleh membeda-bedakan latar belakang yang ditolong; apakah itu latar belakang agama dan etniknya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam diri siswa sudah muncul kesadaran multikultural terhadap adanya realitas kelompok budaya yang berbeda. Sikap yang muncul dalam diri siswa itu adalah tidak menolak keberadaan realitas kelompok budaya yang berbeda itu; sebaliknya, mereka menerima dan memberikan respon positif terhadap keberadaan realitas kelompok budaya yang berbeda tersebut. Implikasi pembelajaran sastra multikultural dengan demikian sebenarnya sudah mampu ditangkap substansi dan arahnya dalam praktik pembelajaran sastra di SD. Lebih lanjut, hal yang perlu ditindaklanjuti ialah manifestasi sikap siswa dalam kehidupan nyatanya, pasca internalisasi nilai-nilai luhur dalam praktik pembelajaran 6
Hasil wawancara dengan Novia Apriliana Sukmawati dan Anisa Yudiani, siswa kelas V SDN RSBI Jember Lor 03 pada tanggal 14 April 2012.
35
sastra tersebut. Dibutuhkan kerja keras guru dan sekolah untuk terus memberikan pengamatan secara lebih memadai terhadap kemajuan pembelajaran dilihat dari aspek nilai-nilai tersebut. Hal ini sekaligus semakin mengonstruksi secara lebih nyata pendidikan karakter melalui pembelajaran; termasuk dalam hal ini pembelajaran sastra yang dilakukan melalui cerita rakyat di dalam kelas. Guru dan sekolah tidak boleh memandang telah usai pembelajaran itu, manakala telah tercapai kompetensi kognitif siswa. Masih terdapat level berikutnya yang perlu dilakukan dan dideteksi secara terus-menerus; yakni, aspek afektif siswa. Konstruksi nilai-nilai luhur tersebut merupakan perwujudan aspek afektif yang dapat mendorong terjadinya perbaikan moralitas siswa secara lebih baik. Pembelajaran sastra multikultural yang dilaksanakan melalui cerita rakyat memiliki daya relevansi dalam konteks demikian.
36
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan Bertolak dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa: pertama, fenomena pembelajaran sastra multikultural secara implisit telah didesain secara nasional melalui sajian cerita rakyat yang telah dikonstruksi kesesuainnya dengan kurikulum, promes, SKKD yang berlaku; kedua, dengan demikian praktik pembelajaran sastra multikultural yang dilaksanakan melalui sajian cerita rakyat itu tinggal mengikuti pola pembelajaran yang ada. Terdapat dua pola yang ditemukan; yang (1) yakni melalui konstruksi cerita yang dibangun untuk menumbuh pemahaman lintas dan antarbudaya; yang (2) melalui sajian cerita rakyat yang di dalamnya telah tergambarkan adanya interaksi multikultural dua kelompok etnik yang berbeda; Ketiga, implikasi pembelajaran sastra multikultural dengan demikian diharapkan dapat terinternalisasinya nilai-nilai luhur yang terkandung dalam cerita rakyat, antara lain nilai tolong-menolong, tepat janji, kerja sama, dan belas kasih terhadap sesama. Nilai-nilai tersebut merupakan nilai yang relevan untuk dibina secara terus menerus sejalan dengan pendidikan karakter yang sedang berlangsung saat ini.
5.2 Saran Sebagai saran, hasil penelitian dapat ditindaklanjuti untuk terciptanya desain pembelajaran yang lebih baik, yang sudah mengakomodasi secara substansial materi
37
pembelajaran sastra multikultural; tanpa terjebak pada peristilahan pembelajaran sastra multikultural itu sendiri. Selain itu, guru disarankan untuk dapat melaksanakan pembelajaran sastra deengan kesadaran penuh untuk mengonstruksinya sebagai pembelajaran sastra multikultural. Dengan demikian, nilai-nilai luhur itu diharapkan dapat terwujud. Pada saat yang sama dibutuhkan pengamatan terhadap kemajuan afektif siswa dalam kehidupannya, sebagai perwujudan pendidikan karakter.
38
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Bennedict.2002. Imagined Communities. Yogyakarta: Insist dan Pustaka Pelajar. Briggs, Lesslie. 1978. Instructional design. New Jersey: Ed Tech.Publ Budiman, Manneke.2003. “Masih Adakah Masa Depan bagi Multikulturalisme?”. Srinthil Vol.4 tahun 2003. Darma, Budi.2004. ”Sastra Multikultural”. Makalah disampaikan dalam seminar Internasional sastrawan Nusantara di Surabaya, tanggal 27-30 September Dwicipta 2007. “Sastra Multikultural”. Jakarta: Kompas Edisi Minggu, 28 Januari 2007. Gall, M.D., Gall, J.P. dan Borg, W.R. 2003. Educational research. Boston: Pearson Educational, Inc. Gulo, W.2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Grasindo Gumelar, Agum.2003. Jalan Alternatif untuk Menyelamatkan Bangsa. Jakarta: LEMHANAS. Indraswari, Retno Palupi.2003. “Manajemen Moral dalam Multikultural: Landasan Pengelolaan Bangsa Menuju Indonesia Baru”.Naskah tidak diterbitkan. Jamaluddin.2003.Problematika Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Yogya:Adicipta Ley Cornelis dalam Sumartana Th.2001. Nasionalisme Etnisitas. Yogyakarta:LKIS Liliweri, Alo.2009. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur. Yogyakarta: LKIS Moleong J. Ley. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Bandung: Rosdakarya. Moody,H.L.B.1971. The Teaching Of Literature With Special Reference to Developing Countries. London: Longman. Mulyana.2002.”Sikap Multikulturalisme Bangsa Indonesia” Makalah Seminar tidak diterbitkan.
39
Parekh, Bhiku.2000. Rethingking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory. Cambridge: Harvard University Press. Rahmanto,B.2001.Metode Pengajaran Sastra. Yogya: Kanisius Ratna, Nyoman Kutha.2005. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogya: Pustaka Pelajar. ---------------------------.2004. Teori, Yogya:Pustaka Pelajar.
Metode,
dan
Teknik
Penelitian
Sastra.
Rusman.2007. ”Pendekatan dan Model Pembelajaran”. http://www.upi.edu// Sayuti,Suminto A.1994. Penelitian dan Pengajaran Sastra:Beberapa Catatan Ringkas. Yogyakarta:Pustaka Pelajar-FPBS IKIP Muhammadiyah Yogyakarta. Sihbudi, Riza,dkk.2001.Bara dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi Atas Konflik Lokal Di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau. Jakarta: Mizan-LIPI. Sudrajat, Akhmad. 2008. ”Pengertian, Pendekatan, Strategi, Metode, Teknik, dan Taktik, dan Model Pembelajaran. http://www.psb-psma.org/ Suharno, Tri. 2008.”Tantangan RSBI adalah Mengubah Budaya Belajar.” (http://www.koranpendidikan.com. (Unduh 29 maret 2010) Supa’at, Imam.2010. ”RSBI/SBI Dilema.” http://www. Mendiknas.depdiknas.go.id. (unduh 29 Maret 2010) Surata, Agus dan Taufiq, Tuhana A.2002. Runtuhnya Negara Bangsa.Yogyakarta: UPN’Veteran” Press. Surur, Miftahus.2003. “Menebar Perempuan Multikultural Di Tanah Bugis”. Srinthil Vol.3 tahun 2003. Taufiq, Akhmad. 2008a. Peningkatan Pemahaman Nilai-nilai Kebangsaan melalui Pembelajaran Sastra Multikultural. Jember: Lemlit UNEJ (DP2M Dikti) _____________. 2008b”Dinamika Sastra Multikultural: Revitalisasi Nilai dalam Dimensi Kebangsaan”. Jurnal Kultur edisi 2 tahun 2008
40
______________.2009.”Revitalisasi Strategi Kebudayaan: Antara Pertaruhan Paradigma Pendidikan dan Penguatan Politik Multikultural”. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional di Diknas Kab. Jember, tanggal 24 Januari 2009 Wellek, Rene & Warren, Austin. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta : Gramedia. West, Cornel.1993.”Prophetic Thought in Posmodern Times”. Dalam Beyond Eurocentrism and Multiculturalism, Vol. 1, Monroe: Common Courage Press Yaqin, M.Ainul.2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media
41
BIODATA KETUA PENELITI
Nama Lengkap NIP Tempat/Tanggal Lahir Jenis Kelamin Bidang Keahlian Kantor/Unit Kerja Alamat Rumah
Pendidikan: No Perguruan Tinggi 1 Universitas Jember 2 Universitas Negeri Surabaya
: Akhmad Taufiq,S.S., M.Pd. : 1974042005011001 : Lamongan, 19 April 1974 : Laki-laki : Pendidikan Kesastraan : PBSI FKIP Universitas Jember : Jl. Kaliurang, Griya Permata Kampus Blok D1, telp. 08123593169
Kota & Negara Jember Indonesia Surabaya Indonesia
Tahun Lulus
Gelar
Bidang Studi
1997 (S-1)
S.S.
2006 (S-2)
M.Pd.
Bahasa &Sastra Indonesia Pend. Bahasa dan Sastra
Pengalaman Mengajar: No Judul Mata Kuliah 1 Teori Sastra 2 Sejarah sastra 3 Prosa Fiksi dan Drama 4 Psikologi Sastra
Tahun 2003-Sekarang 2003-sekarang 2003-Sekarang 2003-Sekarang
Karya Ilmiah/Penelitian/Publikasi: No Judul 1. Analisis Struktural dalam Cerita Rakyat Jawa Timur, Penelitian Hibah Pasca-Dikti 2. Eksistensialisme dalam Novel Rahasia Hati Karya N. Soseki 3. Aspek Modernitas dalam Ludruk, Jurnal Rumah Kata Jember 4 Revitalisasi Kebijakan Tata Kota Jember melalui Pendekatan Pembangunan Berbasis Historis-Kultural, penelitian kerjasama dengan Bapekab Jember 5. Analisis Alih Kode dalam Kelas Sosial Masyarakat. Jurnal Lingua Franca, Pend. Bahasa dan Seni FKIP
Tahun 2004 2004 2006 2006
2006
42
Univ. Jember. 6. Perlawanan Rakyat terhadap Kekuasaan Lokal dalam Lakon Sogol: Interpretasi Teks dalam Tradisi sastra Multikultural, penelitian tesis. 7. Sastra Poskolonial: Resistensi Teks terhadap Praktik Kolonisasi. Jurnal IPS FKIP Univ. Jember (terakreditasi) 8. Peningkatan Pemahaman Nilai-nilai Kebangsaan Melalui Pembelajaran Sastra Multikultural, DP2M DIKTI 9 Dinamika Teks Sastra Multikultural: Revitalisasi Nilai dalam Dimensi Kebangsaan. Jurnal Kultur edisi 2 bulan September 10 Revitalisasi Strategi Kebudayaan: Antara Pertaruhan Paradigma Pendidikan dan Penguatan Politik Multikultural, Seminar Nasional Diknas Kab. Jember 11 Model Pembelajaran Sastra Poskolonial: Studi Dinamika Teks dan Metode Pembelajaran sastra Berbasis Kebangsaan, Hibah Bersaing, DP2M Dikti 12. Buku Kumpulan Puisi ”Kupeluk Kau di Ujung Ufuk”, ISBN 978-602-96829-1-5, Gress Publishing Yogyakarta
2006
2008
2008
2008
2009
2009
2010
13. Konstruksi Politik Tubuh dalam Teks Sastra 2010 Poskolonial. Jurnal Atavisme-Balai Bahasa Surabaya, edisi bulan Juni 2010 (terakreditasi nasional). 14. Buku Sastra Poskolonial: Teori, Analisis Teks, dan 2010 Pembelajaran, ISBN: 979-8176-93-6, diterbitkan oleh Jember University Press Jember, 16 April 2012
Akhmad Taufiq,S.S., M.Pd. NIP. 197404192005011001
43
BIODATA ANGGOTA PENELITI
Nama Lengkap NIP Tempat/Tanggal Lahir Jenis Kelamin Bidang Keahlian Kantor/Unit Kerja Alamat Rumah
Pendidikan: No Perguruan Tinggi 1 Universitas Jember 2 Universitas Gadjah Mada
: Anita Widjajanti,S.S., M.Hum. : 197104022005011002 : Jember, 2 April 1971 : Perempuan : Bahasa dan Sastra : PBSI FKIP Universitas Jember : Jl. Dr. Soebandi Gang Kenitu no. 46 Jember
Kota & Tahun Lulus Gelar Negara Jember 1994 (S1) S.S. Indonesia Yogyakarta 1998 (S2) M.Hum. Indonesia
Bidang Studi Bahasa&Sastra Indonesia Bahasa dan Sastra
Pengalaman Mengajar: No Judul Mata Kuliah
Tahun
1
Linguistik Umum
2002-Sekarang
2
Aliran-aliran Linguistik
2003-sekarang
3
Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Rendah
2003-Sekarang
4
Bahasa dan Sastra Indonesia di Kelas Tinggi
2003-Sekarang
44
Karya Ilmiah/Penelitian/Publikasi:
No Judul 1. Analisis Wacana Pragmatik Perumpamaan Tentang Orang Samaria yang Murah Hati dalam Hubungannya dengan Keutuhan Makna 2. Bahasa Jawa di Kabupaten Malang 3 Wacana Lawak dalam Ludruk (Sebuah Kajian Sosiopragmatik) 4. Menguak Metafora dalam Pembelajaran Sastra 5. Peningkatan Pemahaman Nilai-nilai Kebangsaan Melalui Pembelajaran Sastra Multikultural, DP2M DIKTI 6 Model Pembelajaran Sastra Poskolonial: Studi Dinamika Teks dan Metode Pembelajaran sastra Berbasis Kebangsaan, Hibah Bersaing, DP2M Dikti 7 Peningkatan Kemampuan Menulis Kalimat Baku. DIA BERMUTU DITNAGA DIKTI
Tahun 1994
1996 1998 2004 2008
2009
2010
Jember, 16 April 2012
Anita Widjajanti, S.S.,M.Hum NIP. 197104022005011002
45
ABSTRAK Judul Penelitian: Model Pembelajaran Sastra Multikultural: Studi terhadap Fenomena Pembelajaran Sastra Multikultural Berbasis Nilai-nilai Kebangsaan di SDN RSBI Jember Lor 03 Peneliti : Akhmad Taufiq,S.S, M.Pd. dan Anita Widjajanti,S.S., M.Hum. Penelitian ini dirancang dalam bentuk penelitian mikro etnografi. Yakni, metode penelitian yang diarahkan untuk mendeskripsikan fenomena komunitas dalam ruang sosial tertentu. Dalam konteks penelitian ini komunitas sosial yang dibidik adalah fenomena pembelajaran sastra multikultural yang terjadi di kelas. Metode ini dipandang relevan untuk menggambarkan fenomena praktik pembelajaran sastra multikultural di SD RSBI. Model pembelajaran sastra multikultural demikian ini dipandang penting, karena dimensi sastra dan pembelajarannya sebagai bagian institusi sosial, dunia sastra dan pembelajarannya ikut bertanggung jawab terhadap realitas sosial kebangsaan yang ada. Dalam konteks tersebut, pengembangan model pembelajaran sastra multikultural di SD RSBI menjadi relevan dilakukan untuk memberikan penguatan nilai-nilai kebangsaan (nation and Character building) di tengah upaya sekolah RSBI itu untuk memacu kualitas pembelajaran di tingkat global. Selanjutnya, berkaitan dengan prosedur penelitian terdapat tiga langkah: pertama, digunakan metode deskriptif untuk mendeskripsikan teks sastra multikultural yang berkembang yang relevan untuk tingkat sekolah dasar; kedua, melakukan pengamatan pembelajaran sastra multikultural; dan ketiga mendeskripsikan fenomena pembelajaran sastra multikultural. Pada tingkat jangka panjang, model pembelajaran sastra multikultural tersebut diharapkan mampu menjadi model pembelajaran sastra yang memiliki kontribusi positif untuk integrasi kebangsaan. Sekolah pada umumnya, guru, peserta didik, dan pemerintah, dapat memanfaatkan model pembelajaran sastra multikultural tersebut sebagai solusi atas terjadinya krisis kebangsaan saat ini.
46
LAPORAN HIBAH PENELITIAN PROGRAM DIA BERMUTU PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA TAHUN 2011
MODEL PEMBELAJARAN SASTRA MULTIKULTURAL: STUDI TERHADAP FENOMENA PEMBELAJARAN SASTRA MULTIKULTURAL BERBASIS NILAI-NILAI KEBANGSAAN DI SDN RSBI JEMBER LOR 03
Oleh: 1. Akhmad Taufiq, S.S., M.Pd. 2. Anita Widjajanti, S.S., M.Hum.
Program Dana Insentif Akreditasi Better Education Through Reformed management and Universal Teacher Up grading
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS JEMBER APRIL 2012
47
HALAMAN PENGESAHAN HIBAH PENELITIAN PROGRAM DIA-BERMUTU PROGRAM STUDI PABSI FKIP TAHUN 2012 1. Judul Penelitian
2. Ketua Peneliti a. Nama Lengkap
: Model Pembelajaran Sastra Multikultural: Studi terhadap Fenomena Pembelajaran Sastra Multikultural Berbasis Nilai-nilai Kebangsaan di SDN RSBI Jember Lor 03 : : Akhmad Taufiq,S.S., M.Pd.
b. NIP : 197404192005011001 c. Tempat/Tanggal Lahir : Lamongan, 19 April 1974 d. Jenis Kelamin : Laki-laki e. Disiplin Ilmu : Pendidikan Kesastraan f. Pangkat/Golongan : Lektor/ IIIb g. Fakultas/Jurusan : PBSI FKIP Universitas Jember h. Alamat : Jl. Kalimantan no. 37 Kampus Tegal Boto UNEJ i. Telpon/Faks/E-mail : 0331-334988 j. Alamat Rumah : Jl. Kaliurang, Griya Permata Kampus D 1 Jember h. Telephon : 081 235 931 69 E-mail:
[email protected] 3. Jumlah Anggota : 1 (satu) orang Nama Anggota I : Anita Widjajanti, S.S., M.Hum. 4. Lokasi Penelitian : SDN RSBI di Jember 5. Jangka Waktu : 4 bulan 6. Jumlah Biaya Yang diusulkan: Rp.7.500.000,00 Jember, 24 April 2012 Menyetujui, Kaprodi PBSI FKIP Univ. Jember,
Ketua Peneliti,
Drs. Arief Rijadi, M.Si., M.Pd. NIP.196701161994031002
Akhmad Taufiq, S.S., M.Pd. NIP.19740419200501 1 001
Mengetahui, Dekan FKIP Universitas Jember
Drs.H. Imam Muchtar,S.H., M.Hum NIP 195407121980031005