!
1!
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada musim kampanye kepresidenan, Presiden Joko Widodo memberikan pencerahan dalam masa depan penegakan HAM di Indonesia. Nawa Cita1 sebagai visi dan misi yang digenggam teguh oleh pemerintahan Jokowi secara implisit mengatakan akan menuntaskan seluruh kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau. Kasus – kasus yang selama ini dianggaap tabu untuk diselesaikan melalui instrumen hukum yang ada di Indonesia. Penyelesaian terhadap kasus-kasus tersebut sengaja dibiarkan menggantung atau memang sengaja untuk tidak diproses secara hukum. Tercatat masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang belum tuntas diselesaikan oleh pemerintah sejak reformasi pemerintahan hingga zaman pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Padahal dalam setiap kampanye kepresiden maupun dalam pemerintahan rezim, isu Hak Asasi Manusia terutama penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat selalu dikumandangkan dan setiap calon selalu memberikan janji bahwa kasus-kasus tersebut akan diselesaikan dengan proses yang adil untuk menghormati para korban. Dalam janji kampanyenya Presiden Jokowi secara jelas dan gamblang memberikan pernyataan bahwa akan menyelesaikan Pelanggaran Berat HAM masa lalu di Indonesia dengan sistem bermartabat dan berkeadilan baik bagi para !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 1
Nawa Cita adalah visi dan misi Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dengan sembilan agenda prioritas dalam jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkerpibadian dalam kebudayaan, lihat visi misi, dan program aksi JokowiJusuf Kalla 2014, hlm : 6.
!
2!
pelaku maupun bagi para korban. Cita-cita Presiden tersebut tertuang dalam Nawacitanya pada visi dan misi ke empat yaitu dengan melakukan reformasi sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya. Penjelasan terhadap visi-misi tersebut diantaranya adalah pemerintahan Jokowi akan menjunjung tinggi penghormatan terhadap HAM dan akan melakukan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.2 Bersamaan dengan hal tersebut salah satu kunci Presiden Jokowi untuk menyelesaikan Pelanggaran HAM berat dimasa lalu adalah menggunakan metode Transitional justice melalui mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Transitional Justice merupakan
sebuah
konsep
mengenai
penyelesaian
pelanggaran HAM berat yang terjadi pada saat adanya transisi rezim sebuah negara. Biasanya transisi rezim tersebut melibatkan pergantian dari rezim pemerintahan yang otoriter menjadi rezim yang lebih demokratis. Dalam setiap transisi sebuah rezim seperti itulah, pelanggaran HAM berat pasti akan terjadi secara disengaja, sistematis, dan masif. Penggunaan transitional justice dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat juga agar memuluskan langkah transisi suatu rezim ke rezim yang lain tanpa membahayakan transformasi politik yang sedang berjalan.3 Dalam hukum internasionalpun keberadaan transitional justice tidak dapat terpisahkan dari kewajiban negara yang harus memberikan perlindungan terhadap keberadaan hak asasi manusia. Hal tersebut memperlihatkan bahwa hukum !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 2
Ibid. hlm. 8-9 Lihat short introduction focus on transitional justice, International Center for Transitional Justice., hlm. 1. 3
!
3!
internasional tentang HAM mebebankan 2 (dua kewajiban) utama pada negara baik secara tertulis (conventional) maupun secara kebiasaan internasional (customary international law) : the duty to abstain from infringing upon human rights, yaitu terdiri dari sejumlah kewajiban spesifik berkenaan dengan kewajiban negara untuk tidak melakukan pelanggaran HAM, baik melalui tindakan atau pendiaman yang tersirat menjamin pemenuhan secara aktif hak-hak tersebut dan the duty to guarantee respect of these rights, yaitu kewajiban-kewajiban negara untuk mencegah pelanggaran, menyelidikinya ketika terjadi, memproses dan menghukum pelaku serta melakukan reparasi atas kerusakan/kerugian yang timbul.4 Dari penjelasan tersebut maka sudah jelas bahwa ketika negara melakukan suatu pelanggaran HAM maka negara itu pula harus memiliki mekanisme hukum untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM tersebut dan juga sekaligus negara tersebut harus memberikan hak-hak keadilan bagi para korban baik itu terkait reparasi maupun terkait kompensasi serta hak atas kebenaran tentang suatu kejadian. Nilai-nilai tersebut semata adalah merupakan sebuah konsep fundamental dari transitional justice, dimana sudah dijelaskan oleh penulis sebelumnya bahwa proses ini merupakan suatu jalur alternatif keadilan bagi para korban untuk menuntut adanya kejelasan serta adanya keadilan bagi para pelaku pelanggar HAM, serta secara sekaligus dengan sedemikian rupa tidak membahayakan proses !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 4
Lihat Legal Brief Amicus Curiae presented by the International Commission of Jurists before The Inter-American Court of Human Rights in the Case of Efrain Bamaca Velasquez v Guatemala, the Review-ICJ, No. 62-63, 2001, hlm. 151; lihat juga Legal Brief on the Incompatibility of Chilean Decree Law No. 2191 of 1978, ibid, hlm. 161-162.
!
4!
transformasi politik di dalamnya. Konsep transitional justice memang belum dituangkan secara nyata dalam ketentuan-ketentuan yuridis yang diakui sebagai sumber hukum dalam hukum internasional, namun dalam setiap konvensi-konvensi internasional tentang HAM ataupun resolusi-resolusi yang dikeluarkan oleh PBB terdapat nilai-nilai transitional justice di dalamnya, selain itu transitional justice juga didukung oleh hukum kebiasaan internasional terkait HAM. Hal tersebut berdasarkan bahwa transitional justice merupakan sebuah cara bagaimana penegakan HAM dalam suatu negara dapat dilakukan, mengingat bahwa transitional justice juga merupakan bagian dari upaya perlindungan terhadap HAM. Sehingga sumber hukum HAM internasional juga berlaku dalam proses-proses transitional justice. Nilai-nilai yang diakomodasi oleh transitional justice juga dalam konsep perlindungan HAM menuntut dilaksanakannya kewajiban-kewajiban negara yang harus diimplementasikan terhadap perlindungan HAM.5 Lebih lanjut transitional justice juga di dalamnya terkandung aspek-aspek perlindungan yang harus dijamin oleh negara terutama bagi hak-hak korban seperti diantaranya untuk !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 5
Dalam putusan Pengadilan HAM Antar-Amerika (The Inter-American Court of Human Rights) terhadap kasus Velasquez Rodriguez v Honduras (29 Juli 1988) paragraf 166 dan 174 menyatakan :“States must prevent, investigate and punish any violation of the rights recognized by the Convention and, where appropriate, reparation of the damages produced by the violation of human rights…[and] The State is under legal obligation to prevent, by reasonable measures, violations of human rights, and to investigate seriously with all means at its disposal violations which have been committed within the scope of its jurisdiction, in order to identify those responsible, impose appropriate sanctions upon them and ensure the victim an adequate reparation” selain itu kewajiban negara untuk melakukan perlindungan terhadap HAM juga tercantum dalam Daan Bronkhorst, 1995, Truth and Reconciliation: Obstacles and Opportunities for Human Rights, Amsterdam, Amnesty International Dutch Section., hlm. 151, yang menyatakan bahwa : “Just as no government can be excused from observing non-derogable international rights, so no government can be excused from taking progressive steps to help redress situations of past human rights violation. This means that the international community must accept a share of responsibility. The promotion of reconciliation should be a general aspiration, and a criterion in the dealings of other governments and international bodies with the government concerned”.
!
5!
melindungi hak atas keadilan, menjamin hak atas kebenaran,melakukan hak atas reparasi bagi para korban,dan hak atas jaminan ketidak berulangan.6 Dalam setiap kewajiban serta hak-hak tersebut telah dijamin secara lengkap dalam satu instrumen sumber hukum internasional atau lebih yang berkaitan dengan hak asasi manusia di tingkat internasional. Bahkan, beberapa ketentuan tersebut tidak jarang saling terikat antara satu ketentuan hukum dengan ketentuan sumber hukum yang lain yang diacu sebagai sumber hukum internasional menurut Mahkamah Internasional. Metode ini sudah lazim digunakan oleh negara-negara yang pada masanya mengalami transisi pemerintahan dari otoriter ke demokratis yang pasti menyebabkan pelanggaran HAM berat terjadi. Penggunaan transitional justice di beberapa negara seperti Afrika Selatan, Argentina, dll memiliki kesamaan yaitu negara-negara tersebut membentuk komisi kebenaran. Penggunaan komisi kebenaran bukanlah tanpa alasan, hal ini disebabkan pada pelanggaran HAM berat sesungguhnya dalam setiap kasusnya pasti membutuhkan pencarian terhadap korban serta pengakuan dari korban dan juga melihat bagaimana peluang agar terjadinya proses perdamaian, rekonsiliasi dan demokrasi yang berjalan dengan !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 6
Hak-hak tersebut secara terpisah maupun satu sama lain saling terkait dalam beberapa Pasal yang ditemukan dalam beberapa Konvensi Internasional oleh penulis, yang diantaranya : The Universal Declaration of Human Rights (Article 8), the International Convention on the Eliminating of All Forms of Racial Discrimination, ), the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman, or Degrading Treatment or Punishment (Article 14), the Convention on the Rights of the Child (Article 39), International Covenant on Civil and Political Rights (Article 2), the Hague Convention respecting the Laws and Customs of War on Land of 18 October 1907 (Convention IV) (Article 3), the Additional Protocol to the Geneva Convention, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I) (Article 91), the Rome Statute of the International Criminal Court (Article 68 dan Article 75), the American Convention on Human Rights (Article 1,1), the Inter American Convention on the Forced Disappearance of Persons (Article 1), the Inter-American Convention for the Prevention and Punishment of Torture (Article 1).
!
6!
adil.7 Pencarian-pencarian tersebut dilakukan dengan harapan agar menemukan kebenaran tentang terjadinya suatu peristiwa dan juga menemukan siapa pelaku di dalamnya, meskipun pada prosesnya komisi tidak akan dapat melakukan proses penyidikan serta penuntutan namun yang perlu digaris bawahi adalah komisi dapat memberikan rekomendasi. Tingkat keberhasilan komisi kebenaran dalam membuka tabir pelanggaran HAM berat yang terjadi di tiap-tiap negara yang membentuknya pun efektif. Salah satu contoh nyata adalah komisi kebenaran di Afrika Selatan. Hasil akhir dari komisi kebenaran di Afrika Selatan adalah sebuah laporan yang menuliskan data-data korban, siapa para pelaku, dan yang terpenting adalah dalang dibalik terjadinya pelanggaran HAM berat. 8 Laporan yang dituliskan oleh komisi kebenaran berfungsi sebagai upaya mengingat agar kejadian serupa tidak terulang kembali dan menciptakan islah serta rekonsiliasi dalam tingkat korban serta pelaku. Di Indonesia sendiri konsep transitional justice melalui komisi kebenaran sebenarnya sudah pernah diterapkan dengan pembentukan lembaga Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Komisi ini pernah dibentuk pada tahun 2004 melalui diberlakukannya undang-undang nomor 27 tahun 2004 tentang KKR. Pembentukan KKR didasarkan kepada amanat dari Undang-Undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada Pasal 47 yang menyatakan bahwa pelanggaran HAM berat masa lalu proses penyelesaian kasusnya tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pada !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 7
Short introduction focus on transitional justice, Op.Cit., hlm. 1. Titon Slamet Kurnia, 2005, Reparasi (reparation) terhadap Korban Pelanggaran HAM di Indonesia,PT Citra Aditya Bakti, Surabaya, hlm. 161-164. 8
!
7!
saat itu KKR dianggap sebagai alat pendukung bagi Pengadilan HAM untuk mengumpulkan informasi serta melakukan investigasi dalam setiap kejadian yang terjadi dalam pelanggaran HAM di masa lalu termasuk menemukan pelaku. Dalam perkembangannya, lembaga-lembaga serta para praktisi dan aktivis HAM di Indonesia menganggap undang-undang tersebut dianggap secara muatan belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan. Ini dikarenakan dalam UU No. 27 Tahun 2004 tersebut terdapat 3 ketentuan yang kontroversial yaitu mengenai amnesti, pemberian kompensasi yang digantungkan pada amnesti, dan sifat substitusi mekanisme KKR atas pengadilan. 9 Hal tersebut membuat sejumlah pihak baik dari elemen masyarakat sipil, para korban pelanggaran HAM berat di masa lalu dan juga LSM-LSM HAM mengajukan permohonan pengujian atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 kepada Mahkamah Konstitusi, terhadap Pasal 27, Pasal 44, dan Pasal 1 angka 9. Namun tak dinyana-nyana, nasib terhadap UU No. 27 tahun 2004 tersebut hanya seumur jagung. Hal ini setelah MK memutus bahwa UU tersebut sudah tidak berlaku lagi, melalui putusan perkara nomor
006/PUU-IV/2006.
Di
dalam
putusannya,
MK
memang
hanya
mengabulkan gugatan terhadap Pasal 27, namun menurut pertimbangan hukumnya (ratio decidendi) MK menyatakan bahwa Pasal 27 adalah Pasal yang memuat tentang seluruh operasionalisasi UU KKR10atau dengan kata lain Pasal !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 9
ELSAM (Lembaga Studi & Advokasi Masyar akat),2014, Policy Brief : Mendorong Pembentukan Kembali UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, ELSAM, Jurnal, hlm. 4. 10 Dalam putusan sidang MK No. 006/PUU-IV/2006 pada bagian pendapat mahkamah dijelaskan oleh MK bahwa keberadaan Pasal 27 dan Pasal yang terkait dengan Pasal 27 UU KKR itu merupakan Pasal-Pasal yang sangat menentukan bekerja atau tidaknya keseluruhan ketentuan dalam UU KKR sehingga dengan menyatakan tidak mengikatnya secara hukum Pasal 27 UU KKR, maka implikasi hukumnya akan mengakibatkan seluruh Pasal berkaitan dengan amnesti tidak mempunyai kekuatan hukum tetap, lihat putusan MK No. 006/PUU-IV/2006, hlm. 125.
!
8!
27 merupakan Pasal jantung dari apa yang menjadi tujuan dari UU KKR, sehingga perlu dibatalkan secara keseluruhan. Meskipun UU KKR telah dibatalkan oleh MK melalui putusannya tersebut namun, dalam perkembangannya dalam putusan tersebut MK juga menyatakan bahwa penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu tetap bisa diwujudkan dengan upaya rekonsiliasi dengan mewujudkannya dalam bentuk kebijakan hukum yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal. 11 Secara sederhana MK memberikan suatu perintah konstitusional untuk kembali memberntuk KKR yang tidak berseberangan dengan UUD 1945. Pada masa pemerintahan yang baru ini KKR kembali didengungkan setelah sekian lama disuarakan oleh pemerintahan terdahulu namun tidak pernah terlaksana, padahal amanat pembentukan KKR sudah dititahkan dalah UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.12 Perbedaannya, pengusulan KKR dari pemerintah terdahulu dengan pemerintahan Jokowi adalah pembahasan mengenai RUU KKR telah masuk ke dalam RUU Prioritas untuk Prolegnas tahun 2015, sesuatu yang tidak pernah tercapai di pemerintahan sebelumnya. Pembentukan KKR yang didengungkan oleh pemerintahan Jokowi pun masih mengusung misi yang sama yaitu untuk menuntaskan kasus pelanggaran
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 11
Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006 pada halaman 131 menyatakan bahwa dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempuanyi kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum (undang-undang) yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara umum. 12 Lihat Undang-Undang No. 26 Tahun 2000, Pasal 47 ayat 1 dan ayat 2.
!
9!
HAM berat dimasa lalu dengan berkeadilan.13 Namun yang patut dipertanyakan kembali adalah mampu tidaknya RUU KKR memberikan dukungan terhadap pengadilan HAM ataukah hanya akan bernasib sama dengan pendahulunya yang layu sebelum mekar. Sehingga dari pertimbangan tersebut diperlukan adanya sebuah landasan fundamental dalam pembentukan Undang-Undang ini dengan berlandaskan pada konsep dasar transitional justice dan juga melihat seberapa jauh dalam hukum internasional keberadaan transitional justice dengan metode komisi kebenaran tersebut dapat diimplementasikan terutama di Indonesia. Pengambilan tema penulisan hukum ini adalah untuk melihat bagaimana konsep transiitonal justice dapat diterapkan di Indonesia melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang telah dicetuskan oleh Pemerintahan Jokowi dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dan juga memberikan pandangan secara hukum internasional mengenai hakekat dari transitional justice itu sendiri dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM berat khususnya di Indonesia.
!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! 13
Media KOMPAS, Jokowi :Pemerintah Berkomitmen Selesaikan Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu,dalamhttp://nasional.kompas.com/read/2014/12/09/12292801/Jokowi.Pemerintah.Berkomitm en.Selesaikan.Kasus.Pelanggaran.HAM.Masa.Lalu , diakses pada 4 Maret 2015 pukul 21.00
!
10!
B.
RUMUSAN MASALAH Berdasarkan
latar
belakang
tersebut,
penulis
mengambil
pokok
permasalahan yang dikaji, yaitu: 1.
Bagaimana konsep transitional justice melalui komisi kebenaran baik secara teori dan praktiknya dapat diimplementasikan di Indonesia ?
2.
Apakah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan dibentuk di Indonesia merupakan bentuk pertanggung jawaban negara dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia serta sesuai dengan konsep transitional justice ?
C.
TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian yang ingin dicapai oleh penulis dibagi menjadi dua
yaitu tujuan objektif dan tujuan subjektif. 1. Tujuan Objektif a.
Untuk mengetahui dasar-dasar dari konsep transitional justice melalui komisi kebenaran serta melihat bagaimana konsep tersebut diimplementasikan di Indonesia secara fundamental baik secara yuridis maupun institusional.
b. Untuk mengetahui, menganalisis, dan menemukan solusi penegakan hukum terhadap Pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia melalui pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi baik secara norma yuridis maupun pembentukan institusinya yang berlandaskan transitional justice dan melihat sejauh mana nantinya dapat membantu pengadilan HAM
!
11!
dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu di Indonesia. 2. Tujuan Subjektif Penulisan hukum ini dilakukan untuk memperoleh data dan informasi dalam rangka penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. D.
KEASLIAN PENELITIAN Penulis telah melakukan penelusuran terhadap berbagai referensi dan hasil
penelitian baik dalam media cetak maupun media elektronik, guna melihat keaslian penelitian ini. Berdasarkan hasil penelusuran tersebut sepanjang sepengetahuan dari penulis belum ditemukan penelitian yang serupa dengan apa yang diusulkan melalui penulis dalam penelitian hukum ini. Namun daripada itu penulis menemukan ada penulisan hukum yang mengandung beberapa unsur dalam penelitian ini tetapi memiliki perbedaan dalam materi serta fokus kerangka berpikirnya. Karya tersebut adalah Cut Nadia Maracilu., S.H., Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai Amanah Memorandu of Understanding (MoU) Helsinki dalam Konteks Penegakan Hukum terhadap Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Aceh , Penulisan Hukum, Universitas Gadjah Mada, yang mana pada penulisan hukum tersebut lebih menekankan kepada pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi secara khusus di Aceh dan pada penelitian tersebut ruang lingkupnya difokuskan kepada MoU Helsinki. Sedangkan fokus dari penelitian ini adalah
!
12!
melihat implementasi dari sistem transitional justice melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, hal ini berkenaan dengan akan dibentuknya KKR yang baru. Sehingga disini peneliti ingin melihat dari aspek fundamental dari KKR dari perspektif transitional justice itu sendiri di Indonesia agar dikemudian hari tidak dibatalkan seperti dulu yang pernah dilakukan. Sehingga penelitian yang diusulkan penulis ini sepanjang telah ditelusuri penulis dalam di perpustakaan Fakultas Hukum Gadjah Mada belum ada yang meneliti hal ini, dan sepanjang sepengetahuan penulis di dalamnya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. E.
MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat Akademis Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi akademisi, pemerintah, maupun peneliti lain mengenai konsep transitional justice melalui komisi kebenaran yang telah dilakukan oleh beberapa negara serta memberikan pembangunan serta dinamika tersendiri dalam pembangunan ilmu hukum dan juga perkembangan hukum hak asasi manusia di Indonesia pada khususnya. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan rekomendasi dan bahan rujukan kepada Pemerintah Indonesia dalam pembuatan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang baru agar dalam tatanan yuridis nantinya tidak terjadi lagi pembatalan terhadap UU
!
13!
KKR seperti yang dulu sudah pernah terjadi. Selain itu berpijak kepada pembentukan lembaga dan Undang-Undang ini, diharapkan dengan segera untuk mampu menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu demi memenuhi hak-hak korban.