BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Pemerintah Kolonial Belanda pertama sekali memperkenalkan kelapa sawit
di Indonesia pada tahun 1848. Beberapa bijinya, yang didatangkan dari Mauritius dan Amsterdam, ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Pada saat bersamaan, tepatnya pertengahanabad ke-19 terjadi Revolusi Industri yang mengakibatkan lonjakan permintaan terhadap minyak nabati. Dari sini kemudian muncul ide untuk membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, yang saat ini dikenal jenis sawit “Deli Dura”. Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial di HindiaBelanda, dengan perintisnyabernama Adrien Hallet, seorang Belgia, yang belajar banyak tentang kelapa sawit di Afrika. Budi daya yang dilakukannya diikuti oleh K. Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Sejak saat itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkembang. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha (lima ribu seratus dua puluh tiga hektar). Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada tahun 1911-1912.
Universitas Sumatera Utara
Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran, Kuala Selangor menggunakan benih Dura Deli dari Rantau Panjang. Di Afrika Barat sendiri penanaman kelapa sawit besar-besaran baru dimulai tahun 1910. 1Indonesia sendiri mulai melakukan ekspor minyak kelapa sawit pada tahun 1919 sebanyak 576 ton (lima ratus tujuh puluh enam ton) ke negara-negara Eropa, kemudian mulai mengekspor minyak inti sawit sebanyak 850 ton (delapan ratus lima puluh ton). Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan kelapa sawit di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini dibuktikan dengan prestasi gemilang Indonesia yang mampu menggeser dominasi ekspor Negara Afrika yang pada waktu itu menjadi negara penyuplai minyak sawit terbesar pada pasar internasional. Hingga menjelang pendudukan Jepang, produksi merosot hingga tinggal 1/5 (satu per lima) dari angka tahun 1940. Usaha peningkatan pada masa Republik dilakukan dengan program Buruh Militer (BUMIL) yang tidak berhasil meningkatkan hasil, hingga pemasok utama kemudian diambil alih Malaya (yang saat ini dikenal dengan Malaysia). Memasuki pemerintahan Orde Baru, pembangunan diarahkan dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan sebagai sektor penghasil devisa. Pemerintah terus menggiring perkebunan kelapa sawit untuk melakukan pembukaan dan perluasan lahan baru untuk perkebunan. Pada tahun 1980 luas lahan perkebunan kelapa sawit mencapai 294 ha – 560 ha (dua ratus sembilan
1
Iyung Pahan, Panduan Lengkap Kelapa Sawit : Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir, Cetakan Kelima, (Jakarta : Swadaya, 2008), hal. 42.
Universitas Sumatera Utara
puluh empat hektar sampai dengan lima ratus enam puluh hektar) dengan produksi minyak sawit 721.172 ton (tujuh ratus dua puluh satu ribu seratus tujuh puluh dua ton). Sejak saat itu, perkebunan kelapa sawit di Indonesia berkembang pesat, terutama perkebunan rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan pemerintah pada tahun 1986 yang melaksanakan program Perkebunan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-Bun). Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif. Beberapa pohon kelapa sawit yang ditanam di Kebun Botani Bogor hingga sekarang masih terpelihara baik, dengan ketinggian mencapai sekitar 12 m (dua belas meter), dan merupakan kelapa sawit tertua di Asia Tenggara yang berasal dari Afrika. 2 Kelapa sawit merupakan salah satu andalan komoditi pertanian di Indonesia yang pertumbuhannya sangat cepat dan mempunyai peran strategis dalam perekonomian nasional. Salah satu hasil olahan kelapa sawit adalah minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO). 3 CPO dan produk-produk turunannya, sebagai komoditas paling menjanjikan pada pasar komoditi dunia, mampu menyumbang devisa Pemerintah Indonesia dengan nilai ekspor mencapai US$. 19,7 miliar (sembilan belas miliar tujuh ratus juta dollar Amerika Serikat) pada periode Januari – November 2011. 4 Dunia Internasional seakan-akan tidak lepas memandang pengaruh kelapa sawit pada sektor industri minyak dunia. Dengan kenyataan bahwa produksi minyak nabati di seluruh dunia yang mencapai 150.000.000 ton (seratus lima puluh 2
Ibid. Direktorat Jenderal Agro dan Kimia, Roadmap Industri Pengolahan CPO, (Jakarta : Departemen Perindustrian RI, 2009), hal. 3. 4 Harian Sinar Harapan, “Moh. Ridwan : RI Jangan Tinggalkan Pasar Komoditas”, diterbitkan Kamis, 05 Juli 2012. 3
Universitas Sumatera Utara
juta ton) pada tahun 2009, lebih dari 40.000.000 ton (empat puluh juta ton) dihasilkan oleh kelapa sawit, yang notabene hanya dapat dibudidayakan di daerah tropis Asia, Afrika dan Amerika Selatan. 5Hal ini menjadikan kelapa sawit sangat penting bahwa produksi dan penggunaan minyak sawit harus dilakukan secara berkelanjutan berdasarkan ekonomi kelayakan sosial dan lingkungan dengan tujuan untuk dapat melanjutkan pemasokan dunia atas minyak nabati yang sangat dibutuhkan tanpa merugikan pihak lain. 6 Dampak perkebunan kelapa sawit terhadap lingkungan hidup, antara lain : musnahnya kearifan lokal, hutan, lahan, tanah adat yang tidak dapat berfungsi penuh. Jelas saja hal ini berakibat buruk bagi keberlangsungan hidup. Tanah yang biasanya digunakan untuk berladang, berkebun, mencari sayur-mayur, dan buah-buahan di hutan, ditambah lagi hal tersebut dapat juga berdampak membawa masyarakat pada kemiskinan dan kepunahan/mati, serta membawa juga eksploitasi kerusakan kawasan hutan demi keuntungan korporasi belaka. Diketahui bahwa masyarakat setempat menggantungkan hidupnya terhadap hutan dan seisinya, apalagi masyarakat yang mempunyai ikatan emosional terhadap hutan dan hidup yang bersentuhan dengan alam. 7
5
Oilworld & Annual 2010, dalam Suherwin, “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Harga Crude Palm Oil (CPO) Dunia”, (Medan : Tesis, Sekolah Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, 2012), hal. 1. 6 Sesuai dengan Bagian Menimbang huruf b. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, menyatakan bahwa : “…pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan”. Oleh karena itu, pengembangan kelapa sawit dan produksi CPO harus berkelanjutan pula. 7 Harian Kompas, “Sumardjo : Akibat dari Perkebunan Kelapa Sawit”, diterbitkan Kamis, 05 Januari 2012.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, pada tanggal 31 Agustus 2004, 47 (empat puluh tujuh) organisasi telah menandatangani Statement of Intent (S.o.I) untuk membentuk suatu wadah dengan tujuan mempromosikan pertumbuhan dan penggunaan produk kelapa sawit berkelanjutan melalui standar global yang kredibel danmelibatkan stakeholder. Dilanjutkan dengan aksi yang dilakukan pada tanggal 08 April 2004, Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) secara resmi ditetapkan berdasarkan Pasal 60 dari Kode Sipil Swiss dengan struktur pemerintahan yang menjamin keterwakilan yang adil dari semua pemangku kepentingan rantai suplai keseluruhan pelaku industri kelapa sawit. Pusat dari asosiasi ini berada di Zurich, Swiss, Sekretariat berada di Kuala Lumpur dengan Kantor Penghubung RSPO di Jakarta. RSPO pada hakikatnya merupakan konkritisasi nilai-nilai yang selama ini sudah mengkristal dalam cara pandang masyarakat internasional terhadap lingkungan hidup dan lingkungan sosial perusahaan. Hal ini jelas terlihat dari prinsip-prinsip dan kriteria yang dikembangkan oleh program RSPO itu sendiri. 8 Seluruh prinsip RSPO menggambarkan elaborasi harmonis antara Good Corporate Governance (selanjutnya disebut GCG), Corporate Social Responsibility (CSR) dan pembangunan yang berwawasan lingkungan atau pembangunan berkelanjutan. Organisasi Non-Profit ini, menyatukan para pemangku kepentingan dari 7 (tujuh) sektor industri kelapa sawit sampai dengan produsen minyak kelapa sawit, pengolah minyak kelapa sawit atau pedagang, produsen barang konsumen, pengecer, bank dan investor, lingkungan atau LSM Konservasi Alam dan Sosial,
8
Website Resmi RSPO, “Factsheet Indonesia – Mei www.rspo.org/file/RSPO_factsheet_indo_May2012.pdf., diakses pada 08 Agustus 2012.
2012”,
Universitas Sumatera Utara
untuk mengembangkan dan menerapkan standar global untuk minyak sawit berkelanjutan. 9 Namun, dalam perkembangan dan praktek di lapangan, dikarenakan banyaknya aturan yang terdapat pada prinsip dan kriterianya, sehingga RSPO dianggap hanya mengutamakan konsumen semata, yaitu pasar Eropa, sementara kepentingan produsen tidak diperhatikan sama sekali. Perkembangan lainnya juga terlihat pada timbulnya pemikiran bahwa pengembangan kelapa sawit di Indonesia yang selalu berpedoman pada peraturan luar negeri yang terkadang tidak sesuai dengan kondisi di Indonesia. RSPO dianggap tidak memberikan perlindungan terhadap
harga
CPO
akibat
sensitifitas
pasar
Internasional
yang
lebih
memprioritaskan CPO yang bersertifikat RSPO. 10 Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, serta dengan mengingat bahwa kelapa sawit merupakan salah satu andalan komoditi pertanian di Indonesia yang memiliki peran strategis dalam perekonomian nasional, maka Pemerintah Indonesia menciptakan sendiri regulasi nasional pengembangan kelapa sawit yaitu Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT/140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan perkebunan berkelanjutan (sustainable) yang disesuaikan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku, secara garis besar dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
9
Website Resmi RSPO, “General Assembly RSPO ke-8 Berhasil Mencapai Kuorum”, http://www.rspo.org/news_details.php?nid=84&lang=5., diakses pada 08 Agustus 2012. 10 Website Resmi Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, “Achmad Mangga Barani : Indonesian Sustainable Palm Oil Segera Diberlakukan di 2010”, http://www.ditjenbun.deptan.go.id., diakses pada 08 Agustus 2012.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Peraturan Perundang-Undangan Terkait ISPO No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Peraturan Perundang-Undangan Terkait ISPO Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Undang-Undang No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas Peredaran Penggunaan Pestisida Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengelolaan Pembinaan dan Pengembangan Industri Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1995 tentang Pembenihan Tanaman Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, Hak Milik, Hak Pakai Atas Tanah Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan Keputusan Presiden No. 84/P tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II Peraturan Presiden No. 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara Peraturan Presiden No. 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara Peraturan Menteri Pertanian No. 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan Peraturan Menteri Pertanian No. 07/Permentan/OT.140/2/2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Budidaya Kelapa Sawit Peraturan Menteri Pertanian No. 61/Kpts/OT.140/10/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian
Sumber : Bagian Mengingat Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).
Berdasarkan peraturan di atas maka ISPO diwajibkan, begitu juga dengan implementasinya harus tunduk secara garis besar terhadap peraturan di atas. Upaya yang dilakukan Pemerintah adalah dengan disusunnya Sistem Minyak Kelapa Sawit
Universitas Sumatera Utara
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO). ISPO adalah suatu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pertanian yang bertujuan meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden RI untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan. 11 Dengan adanya pengaturan ISPO, diharapkan agar seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia mampu meningkatkan kepedulian atas pentingnya memproduksi kelapa sawit berkelanjutan yang dapat berpengaruh terhadap peningkatan daya saing minyak kelapa sawit Indonesia di pasar dunia. Pelaksanaan ISPO ini didasarkan kepada peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang sifatnya mandatory (kewajiban), sehingga secara hukum mengikat bagi pelaku usaha perkebunan di Indonesia. 12Seperti ulasan sebelumnya, sebelum Pemerintah Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai ISPO, pasar Internasional telah lebih dahulu menilik mengenai ketentuan memproduksi kelapa sawit berkelanjutan yang diramu dalam bentuk RSPO. 13Perbedaan RSPO dan ISPO ini terletak pada sifat pengaturannya, untuk ISPO bersifat mandatory (kewajiban) sedangkan RSPO bersifat voluntary (sukarela). Sifat mandatory ISPO diamanatkan oleh Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011
tentang
Pedoman
Perkebunan
Kelapa
Sawit
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO). Hal ini dapat 11
Latief Rachman, “Penerapan Standardisasi ISPO pada Perkebunan Kelapa Sawit”, disampaikan pada Workshop di Hotel Harris, Jakarta, Kamis, 16 Juli 2012. 12 Ibid. 13 Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, “Menimbang Relevansi Sertifikasi RSPO”, Jurnal Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Volume 31, Nomor 6, 2009, hal. 10.
Universitas Sumatera Utara
dilihat pada Pasal 3, yang menyatakan bahwa : “Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dalam waktu paling lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 harus sudah melaksanakan usaha sesuai dengan ketentuan Peraturan ini”. Kekuatan mengikat inilah yang menjadikan ISPO bersifat wajib (mandatory). Sanksi apabila Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit tidak melakukan implementasi ISPO adalah akan dikenakannya sanksi penurunan kelas kebun menjadi Kelas IV. 14Kelas IV adalah kelas kebun yang kurang dalam hal ini kurang dalam legalitas, kurang dalam manajemen kebun, kurang dalam pengolahan hasil, kurang bersosial, kurang memperhatikan ekonomi wilayah, kurang memperhatikan lingkungan, serta kurangnya pelaporannya. Apabila perusahaan perkebunan kelapa sawit mengalami penurunan kelas kebun menjadi Kelas IV, maka akan diberikan peringatan sebanyak 3 (tiga) kali dengan selang waktu 4 (empat) bulan. 15 Peringatan itu adalah untuk memperbaiki seluruh aspek yang disebutkan di atas. Selain itu juga, perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut tidak dapat mengekspor CPO-nya ke luar negeri. 16 Dalam pelaksanaannya ISPO berlandaskan pada Pasal 3 ayat (4) UUD 1945 Amandemen
ke-4,
yang
menyatakan
bahwa
:
“Perekonomian
nasional
diselenggarakan atas demokrasi ekonomi, dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, 14
Pasal 4 Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT/140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), menyatakan bahwa : “Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Kelas I, Kelas II, atau Kelas III sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 belum mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikasi ISPO, dikenakan saksi penurunan kelas kebun menjadi Kelas IV”. 15 Lampiran I Bagian II angka 2.1. Paragraf 2 dan 3. Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT/140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) 16 Harian Jambi Star, “Perusahaan Sawit Wajib Miliki Sertifikat ISPO”, diterbitkan Senin, 03 Desember 2012.
Universitas Sumatera Utara
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi nasional”. Prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan maksudnya adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. 17 Oleh karena itu, dibuatlah prinsip dan kriteria dari ISPO yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 2. Prinsip dan Kriteria ISPO Prinsip 1 : Sistem Perizinan dan Manajemen Kriteria 1.1. Perizinan dan Sertifikasi. Pengelola perkebunan harus memperoleh perizinan serta sertifikat tanah. Kriteria 1.2. Pembangunan Kebun untuk Masyarakat Sekitar. Perusahaan perkebunan yang memiliki IUP atau IUP-B wajib membangun kebun untuk masyarakat sekitar paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan. Kriteria 1.3. Lokasi Perkebunan. Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa penggunaan lahan perkebunan telah sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Provinsi (RUTWP) atau Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RUTWK) sesuai dengan perundangan yang berlaku atau kebijakan lain yang sesuai dengan ketetapan yang ditentukan oleh pemerintah; atau Kriteria 1.4. Tumpang Tindih dengan Usaha Pertambangan. Pengelola usaha perkebunan apabila di dalam areal perkebunannya terdapat Izin Usaha Pertambangan harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kriteria 1.5. Sengketa Lahan dan Kompensasi. Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa lahan perkebunan yang digunakan bebas dari status sengketa dengan masyarakat/petani di sekitarnya. Apabila terdapat sengketa maka harus diselesaikan secara musyawaran untuk mendapatkan kesepakatan sesuai dengan peraturan perundangan dan/atau ketentuan adat yang berlaku namun bila tidak terjadi kesepakatan maka penyelesaian sengketa lahan harus menempuh jalur hukum. Kriteria 1.6. Bantuan Badan Hukum. Perkebunan Kelapa Sawit yang dikelola harus mempunyai bentuk badan hukum yang jelas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kriteria 1.7. Manajemen Perkebunan. Perkebunan harus memiliki perencanaan jangka panjang untuk memproduksi minyak sawit lestari. 17
Pasal 1 angka 3, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Universitas Sumatera Utara
Kriteria 1.8. Kriteria 1.9.
Rencana dan realisasi pembangunan kebun dan pabrik. Pemberian informasi kepada instansi terkait sesuai ketentuan yang berlaku dan pemangku kepentingan lainnya terkecuali menyangkut hal yang patut dirahasiakan. Prinsip 2 : Penerapan Pedoman Teknis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit Kriteria 2.1. Penerapan pedoman teknis budidaya. Kriteria 2.1.1. Pembukaan lahan yang memenuhi kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Kriteria 2.1.2. Konservasi terhadap sumber dan kualitas air. Kriteria 2.1.3. Perbenihan. Pengelola perkebunan dalam menghasilkan benih unggul bermutu harus mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan baku teknis perbenihan. Kriteria 2.1.4. Penanaman pada lahan mineral. Pengelola perkebunan harus melakukan penanaman sesuai baku teknis. Kriteria 2.1.5. Penanaman pada Lahan Gambut. Penanaman kelapa sawit pada lahan gambut dapat dilakukan dengan memperhatikan karakteristik lahan gambut sehingga tidak menimbulkan kerusakan fungsi. Kriteria 2.1.6. Pemeliharaan Tanaman. Kriteria 2.1.7. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Pengelola perkebunan harus menerapkan sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sesuai Pedoman Teknis. Kriteria 2.1.8. Pemanenan. Pengelola perkebunan melakukan panen tepat waktu dan dengan tata cara yang benar. Kriteria 2.2. Penerapan pedoman teknis pengolahan hasil perkebunan. Kriteria 2.2.1. Pengangkutan Buah. Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa TBS yang dipanen harus segera diangkut ke tempat pengolahan untuk menghindari penurunan kualitas. Kriteria 2.2.2. Penerimaan TBS di Pabrik pengelola pabrik memastikan bahwa TBS yang diterima sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan. Kriteria 2.2.3. Pengolahan TBS. Pengolahan pabrik harus merencanakan dan melaksanakan pengolahan TBS melalui penerapan praktek pengelolaan/pengolahan terbaik (GHP/GMP). Kriteria 2.2.4. Pengelolaan Limbah. Pengelola pabrik memastikan bahwa limbah pabrik kelapa sawit dikelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kriteria 2.2.5. Pengelolaan Limbah B3. Limbah B3 merupakan limbah yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun yang karena sifat dan konsentrasinya dan atau jumlahnya dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup, oleh karena itu harus dilakukan upaya optimal agar kualitas lingkungan kembali. Kriteria 2.2.6. Gangguan dari Sumber yang tidak Bergerak. Gangguan sumber yang tidak bergerak berupa baku tingkat kebisingan, baku tingkat getaran, baku tingkat kebauan dan baku tingkat gangguan lainnya ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek keselamatan sarana fisik serta kelestarian bangunan. Kriteria 2.2.7. Pemanfaatan Limbah. Pengelola perkebunan/pabrik harus memanfaatkan limbah untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi dampak lingkungan. Prinsip 3 : Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Kriteria 3.1. Pabrik kewajiban pengelola kebun yang memiliki pabrik. Pengelola perkebunan yang memiliki pabrik harus melaksanakan kewajiban pengelolaan dan pemantauan lingkungan sesuai ketentuan yang berlaku. Kriteria 3.2. Kewajiban terkait analisa dampak lingkungan AMDAL, UKL, dan UPL. Pengelola perkebunan harus melaksanakan kewajibannya terkait AMDAL, UKL, dan UPL sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kriteria 3.3. Pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Pengelola perkebunan harus melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran.
Universitas Sumatera Utara
Kriteria 3.4.
Pelestarian bio-diversity. Pengelola perkebunan harus menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati pada areal yang dikelola sesuai dengan ijin usaha perkebunannya. Kriteria 3.5. Identifikasi dan perlindungan kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi. Pengelola perkebunan harus melakukan identifikasi kawasan yang mempunyai nilai konservasi tinggi yang merupakan kawasan yang mempunyai fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa dengan tidak membuka untuk usaha. Kriteria 3.6. Mitigasi Emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Pengelola usaha perkebunan harus mengidentifikasi sumber emisi GRK. Kriteria 3.7. Konservasi kawasan dengan potensi erosi tinggi. Pengelola perkebunan harus melakukan konservasi lahan dan menghindari erosi sesuai ketentuan yang berlaku. Prinsip 4 : Tanggung Jawab Terhadap Pekerja Kriteria 4.1. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Pengelola perkebunan wajib menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3). Kriteria 4.2. Kesejahteraan dan peningkatan kemampuan pekerja/buruh. Pengelola perkebunan harus memperhatikan kesejahteraan pekerja dan meningkatkan kemampuannya. Kriteria 4.3. Penggunaan pekerja anak dan diskriminasi pekerja (suku, ras, gender, dan agama). Pengelola perkebunan tidak boleh mempekerjakan anak di bawah umur dan melakukan diskriminasi. Kriteria 4.4. Pembentukan Serikat Pekerja. Pengelola perkebunan harus memfasilitasi terbentuknya Serikat Pekerja dalam rangka memperjuangkan hak-hak karyawan/buruh. Kriteria 4.5. Perusahaan mendorong dan memfasilitasi pembentukan koperasi pekerja. Prinsip 5 : Tanggung Jawab Sosial dan Komunitas Kriteria 5.1. Tanggung jawab sosial dan lingkungan kemasyarakatan. Pengelola perkebunan harus memiliki komitmen sosial kemasyarakatan dan pengembangan potensi kearifan lokal. Kriteria 5.2. Pemberdayaan masyarakat adat/penduduk asli. Pengelola perkebunan berperan dalam mensejahterakan masyarakat adat/penduduk asli. Prinsip 6 : Pemberdayaan Kegiatan Ekonomi Masyarakat Kriteria 6.1. Pengembangan usaha lokal. Pengelola perkebunan memprioritaskan untuk memberi peluang pembelian/pengadaan barang dan jasa kepada masyarakat di sekitar kebun. Prinsip 7 : Peningkatan Usaha Secara Berkelanjutan Pengelola perkebunan dan pabrik harus terus-menerus meningkatkan kinerja (sosial, ekonomi, dan lingkungan) dengan mengembangkan dan mengimplementasikan rencana aksi yang mendukung peningkatan produksi. Sumber : Lampiran Peraturan Menteri Pertanian 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).
Apabila dibandingkan prinsip dan kriteria ISPO dengan prinsip dan kriteria RSPO adalah sama tapi tidak serupa. Pada sertifikasi ISPO, keahlian dan kompetensi auditor menjadi ujung tombak perusahaan untuk melayani permintaan pengguna jasa. Pertimbangannya, Komite ISPO menetapkan 7 (tujuh) prinsip, 41 (empat puluh
Universitas Sumatera Utara
satu) kriteria, dan 128 (seratus dua puluh delapan) indikator sebagai syarat mendapatkan ISPO. 18 Sedangkan pada RSPO menetapkan 8 (delapan) prinsip, dan 39 (tiga puluh sembilan) kriteria, dan 236 (dua ratus tiga puluh enam) indikator sebagai syarat untuk mendapatkan RSPO. Selain karena isu lingkungan, distribusi CPO Indonesia yang didominasi oleh pasar Eropamenjadi faktor utama kedua sertifikasi ini diberlakukan di Indonesia. Perolehan sertifikasi tersebut dengan cara mengaplikasikan seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan ISPO maupun RSPO. Barulah setelah itu, dibuatkan indikator-indikatornya dan daftar cek list kebun yang akan diukur seberapa besar kepatuhan kebun tersebut dengan ketentuan terkait ISPO maupun RSPO. Setelah didapati besaran bentuk kepatuhan itu, barulah auditor/komite sertifikasi memeriksa kelengkapan dokumen-dokumen yang dipersyaratkan. 19 Kesadaran Pemerintah Indonesia akan pentingnya menciptakan produk kelapa sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan melalui kewajiban ISPO adalah karena pada tahun 2006, Indonesia adalah produsen kelapa sawit terbesar dunia. Sebelumnya posisi Indonesia hanya di peringkat kedua di bawah Malaysia. Industri kelapa sawit dan produk turunannya merupakan salah satu sumber pendapatan dan sumber lapangan pekerjaan terbesar di Indonesia. 20Minyak kelapa sawit menjadi sumber pendapatan dan sumber lapangan pekerjaan terbesar
18
Majalah Sawit Indonesia, “Utamakan Mutu dan Pengalaman”, Edisi Juli – Agustus 2012. Lampiran Peraturan Menteri Pertanian 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO). 20 Friedel Hütz-Adams, “Minyak Kelapa Sawit : Perkembangan dan Resiko dari Ledakan Pasar Minyak Kelapa Sawit”, (Stuttgart, Wuppertal : Brot fur die Welt & Evangelische Mission, 2011), hal. 1. 19
Universitas Sumatera Utara
dikarenakan minyak kelapa sawit yang ada di Indonesia diekspor ke negara-negara lain di dunia. Untuk negara pengekspor minyak kelapa sawit dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 3. Ekspor Minyak Kelapa Sawit (Dalam 1.000 ton) Dunia Indonesia Malaysia Benin Papua Nugini Thailand
1982-1984 4.536 435 2.981 Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data
1992-1994 10.113 1.815 6.291 Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data
2003-2004 21.610 7.856 11.602 Tidak ada data Tidak ada data Tidak ada data
2010-2011 37.440 18.000 16.100 480 426 312
Sumber : Friedel Hütz-Adams, “Minyak Kelapa Sawit : Perkembangan dan Resiko dari Ledakan Pasar Minyak Kelapa Sawit”, (Stuttgart, Wuppertal : Brot fur die Welt & Evangelische Mission, 2011), hal. 3.
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat peningkatan posisi Indonesia yang melonjak naik menjadi produsen ekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Pada musim panen 2009/2010 negara kepulauan yang mampu menghasilkan 21 (dua puluh satu) juta ton minyak kelapa sawit, yaitu hampir separuh dari produksi minyak kelapa sawit dunia yang berjumlah 45 (empat puluh lima) juta ton. Di samping minyak kelapa sawit yang dihasilkan dari perasan buah kelapa sawit, pada tahun panen 2009/2010 juga terhitung 5,3 (lima koma tiga) juta ton minyak biji sawit yaitu minyak dari perasan biji sawit yaitu minyak dari perasan biji sawit yang masuk ke pasar dunia. Indonesia mendominasi pasar ini dengan 2,3 (dua koma tiga) juta ton produksi, disusul Malaysia dengan angka 2,1 (dua koma satu) juta ton. Lebih dari 90% (sembilan puluh persen) ekspor dunia berasal dari Malaysia dan Indonesia. Patut diamati bahwa Indonesia mengalami pertumbuhan ekspor yang luar biasa antara tahun 2003 dan 2010 yaitu berlipat ganda menjadi 16,2 (enam belas koma
Universitas Sumatera Utara
dua) juta ton (musim panen 2009/2010) dan berdasarkan perkiraan akan terus meningkat. 21 Sebelum Pemerintah Indonesia memberikan perhatian khusus atas perolehan minyak kelapa sawit berkelanjutan, mata dunia Internasional telah terlebih dahulu terbuka. Muncul persepsi bahwa dikarenakan tingginya permintaan terhadap minyak sawit Indonesia ke pasar Eropa, dibuatlah hambatan (barrier to entry) yang terlihat legal oleh dunia Internasional dengan mewajibkan sertifikasi, baik CPO maupun kebun penghasil buah kelapa sawit asal Indonesia yang ingin minyak sawitnya dijual di pasar Eropa, wajib bersertifikasi RSPO. Dari kenyataan ini, muncul pertanyaan dan persepsi mengapa pasar Eropa mewajibkan sertifikasi RSPO atas CPO dan kebun kelapa sawit. Pertanyaan ini kemudian dijawab oleh kenyataan bahwa
terdapat aspek
penting yang menjadi perhatian khusus dunia internasional terhadap produk kelapa sawit, yaitu timbulnya kekhawatiran dunia Internasional bahwa tidak semua kelapa sawit selalu diproduksi secara lestari. Praktek di lapangan, kerap kali terjadi penggunaan api untuk melakukan pembukaan lahan dengan tujuan membangun perkebunan kelapa sawit dalam skala besar, ditambah lagi dengan semakin maraknya konflik sosial antara masyarakat adat dan petani di beberapa tempat karena praktek yang dianggap sebagai perbuatan yang tidak mengindahkan isu lingkungan. Sebagai contoh tidak mengindahkan isu lingkungan juga dapat dilihat pada saat
perkebunan
melakukan
replanting(penanaman
kembali)
kebun
sawit,
kebanyakan pengelola perusahaan membakar sisa-sisa batang-batang sawit yang 21
Ibid., hal. 2-3.
Universitas Sumatera Utara
sudah lewat umurnya dan tidak produktif lagi demi mengurangi production cost (biaya produksi). Pengelola perkebunan kelapa sawit tidak menyadari bahwa tindakan pembakaran liar ini akan meningkatkan emisi karbon yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan panas bumi (global warming). Contoh lainnya adalah, banyaknya perusahaan perkebunan kelapa sawit yang melakukan penanaman kelapa sawit pada areal gambut dan dapat melepas karbon yang berkontribusi meningkatkan emisi karbon dunia. Dengan melihat kenyataan inilah, maka pasar Eropa memberikan ketentuan bahwa
perusahaan perkebunan yang tidak
mengindahkan RSPO, maka terhadap CPO yang dihasilkan Pabrik Kelapa Sawit (selanjutnya disebut PKS) tersebut tidak laku dijual di pasar Eropa. 22Dunia Internasional, khususnya pasar Eropa mewajibkan produk CPO yang dijual bersertifikat RSPO dengan tujuan untuk konsentrasi terhadap pembangunan dan perolehan produk kelapa sawit berkelanjutan dengan mengindahkan isu lingkungan dan efisiensi. Dalam tataran regulasi nasional Indonesia, selanjutnya ISPO dijadikan sebagai standar pelestarian lingkungan pada industri kelapa sawit nasional harus diterapkan secara penuh dan konsisten juga serentak. Penerapan ISPO ini, sebagai upaya agar dapat meningkatkan posisi tawar CPO Indonesia di pasar Internasional. Alasan ISPO tidak dijadikan standar di pasar Eropa adalah karena negara-negara tujuan ekspor masih belum dapat mengakui ISPO sebagai standar internasional mengenai kelestarian lingkungan. Maka dari itulah, untuk mendapatkan pengakuan
22
Majalah Tempo, “Persyaratan RSPO Dinilai Tak Adil Bagi Indonesia”, diterbitkan Minggu, 14 November 2010.
Universitas Sumatera Utara
tersebut seharusnya ISPO diterapkan secara penuh, independen, konsisten serta tidak menyimpang. Meskipun banyak perusahaan di Eropa dan Amerika Serikat mengakui RSPO, tetapi eskpor CPO Indonesia tidak hanya ke Eropa dan Amerika Serikat. Ekspor CPO Indonesia ke dua zona ekonomi itu juga tidak banyak, jadi tidak akan berpengaruh. 23 Industri minyak kelapa sawit merupakan salah satu industri strategis, karena berhubungan dengan sektor pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Hasil industri minyak kelapa sawit bukan hanya minyak goreng saja, tetapi juga bisa digunakan sebagai bahan dasar industri lainnya seperti industri makanan, kosmetika dan industri sabun. Prospek perkembangan industri minyak kelapa sawit saat ini sangat pesat, dimana terjadi peningkatan jumlah produksi kelapa sawit seiring meningkatnya kebutuhan masyarakat. Dengan besarnya produksi yang mampu dihasilkan, tentunya hal ini berdampak positif bagi perekonomian Indonesia, baik dari segi kontribusinya terhadap pendapatan negara, maupun besarnya tenaga kerja yang terserap di sektor perkebunan kelapa sawit. Sektor ini juga mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitar perkebunan sawit, dimana persentasi penduduk miskin di areal ini jauh lebih rendah dari angka penduduk miskin nasional. Boleh dibilang, industri minyak kelapa sawit ini dapat diharapkan menjadi motor pertumbuhan ekonomi nasional. 24
23
Kantor Berita Antara, “Kelapa Sawit Indonesia Sudah Saatnya Terapkan ISPO”, diterbitkan Rabu, 12 Oktober 2011. 24 Direktorat Jenderal Industri Agro dan Kimia, Op.cit., hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, industri kelapa sawit sangat berhubungan dengan investasi. Sektor investasi industri kelapa sawit juga dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar. Hubungan industri kelapa sawit dengan investasi sudah pasti pada penanaman modal yang dilakukan oleh Pemerintah, swasta, maupun Asing. Ketiga pihak tersebut sudah pasti membuat suatu badan hukum untuk mengatur pengorganisasian industri kelapa sawit. Bentuk badan hukumnya dapat berupa Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara, Perseroan, ataupun Joint Ventures Agreement (JvA). Penganggaran untuk membangun sebuah badan hukum yang bergerak dalam bidang industri kelapa sawit sangat membutuhkan perizinan yang begitu kompleks, sehingga pengurusan perizinan ini sangat penting dilakukan. Kompleksitas ini belum lagi ditambah dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO). Akibat dari dikeluarkannya ketentuan tersebut ISPO dijadikan sebagai suatu keharusan yang diwajibkan oleh Pemerintah untuk diimplementasikan pelaksanaan usaha perkebunan kelapa sawit. Ketentuan atas kewajiban itu adalah dengan dimilikinya sertifikasi ISPO yang disebutkan dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), yang menyatakan bahwa : “Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dalam waktu paling lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 harus sudah melaksanakan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan ini”. Berbeda dengan RSPO yang bersifat
Universitas Sumatera Utara
voluntary atau sukarela, artinya perusahaan perkebunan dapat mengimplementasikan RSPO dan bisa juga tidak. Tujuan pengimplementasian RSPO maupun ISPO ini adalah agar CPO yang dihasilkan perusahaan perkebunan di Indonesia dapat dijual di pasar Eropa. Penjualan CPO ke pasar Eropa karena selama ini banyak kampanye negatif pasar dunia atas produk kelapa sawit Indonesia, bahwa produk kelapa sawit Indonesia tidak memperhatikan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan hidup. Namun, hal tersebut terbantahkan dengan diterbitkannya pengaturan ISPO sebagaimana dapat dilihat pada prinsip dan kriteria ISPO. 25 Walaupun perlindungan lingkungan adalah isu penting yang dihembuskan oleh pasar Eropa untuk menjual CPO di pasar dunia, tidak ada salahnya apabila sertifikasi RSPO maupun ISPO ini tetap diimplementasikan oleh setiap perusahaan perkebunan di Indonesia. Dengan begitu, isu lingkungan akan terbantahkan, serta lingkungan juga akan semakin terjaga. Apabila daya dukung dan daya tampung suatu lingkungan tempat perusahaan perkebunan itu berkurang maka perusahaan perkebunan tersebut wajib untuk mengembalikan daya dukung dan daya tampungnya. 26
25
Majalah Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan RI, “Kampanye Negatif Kelapa Sawit Indonesia, Potensi Kelapa Sawit Indonesia, Kiat-Kiat Menghadapi Kampanye Negatif Kelapa Sawit”, Edisi Juni 2011, hal. 8-9. Lihat juga : Ruslan Effendi, “Analisis Daya Dukung Kelembagaan Perkebunan Kelapa Sawit Untuk Meningkatkan Daya Saing dan Keberlanjutan Bisnis (Studi Kasus : PT. Mitra Inti Sejati Plantation di Propinsi Kalimantan Barat)”, (Bogor : Tesis, Manajemen Bisnis – Institut Pertanian Bogor, 2011), hal. 1. 26 Suhadi Sukendar, “Analisis Yuridis Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (Corporate Social Responsibility – CSR) Berdasarkan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas”, (Medan : Tesis, Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2012), hal. 14. Lihat juga : Angka 3 Bagian Umum Penjelasan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang menyatakan bahwa : “Undang-undang ini mwajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan
Universitas Sumatera Utara
Apabila melihat lagi sejarah gencarnya perhatian dunia Internasional terhadap isu lingkungan ini, adalah dimulai pada tahun 1992, Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio de Janeiro, Brazil yang menegaskan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainability development) sebagai hal yang wajib diperhatikan tidak hanya oleh negara tetapi terlebih oleh kalangan perusahaan yang kekuatan kapitalnya semakin menggurita. Salah satu hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi tersebut, antara lain : menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan berkelanjutan (sustainable development). 27 Oleh karena itu, dibuatlah standar minyak sawit berkelanjutan yang disebut Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO). Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) lahir dikarenakan Indonesia keluar dari anggota RSPO. Hal ini dipicu karena Indonesia tidak mau didikte oleh pasar Eropa karena tingginya permintaan CPO Indonesia di pasar Eropa. Permintaan ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini : Tabel 4. Nilai dan Volume Ekspor Indonesia ke Uni Eropa (2008 – 2011) No. 1 2
Uraian Volume (000 ton) Nilai (000 US$)
2008 4.364.793 2.736.154
2009 4.791.756 2.166.983
2010 4.069.146 2.614.262
2011 3.985.439 2.887.968
Sumber : Majalah Sawit Indonesia, “Ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa Bisa Jadi Terancam Turun”, diterbitkan Senin, 02 Juli 2012.
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program. Dengan perkataan lain, hasil KLHS harus dijadikan dasar bagi kebijakan, rencana dan/atau program pembangunan dalam suatu wilayah. Apabila hasil KLHS menyatakan bahwa daya dukung dan daya tampung sudah terlampaui, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan tersebut wajib diperbaiki sesuai dengan rekomendasi KLHS dan segala usaha dan/atau kegiatan yang telah terlampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup tidak diperbolehkan lagi”. 27 Website Resmi Kementerian Lingkungan Hidup, “Berikan Kesempatan Pada Bumi (Give Earth A Chance)”, http://www.menlh.go.id/berikan-kesempatan-pada-bumi-give-earth-achance/.,diakses pada 04 Desember 2012.
Universitas Sumatera Utara
Kebijakan pemerintah yang menetapkan ISPO sebagai kewajiban merupakan solusi dari praktek budidaya sawit berkelanjutan. Alan Oxley memaparkan ISPO sudah menjadi alternatif yang tepat disamping RSPO yang telah diikuti perusahaan kelapa sawit dunia dari hulu sampai ke hilir. Pada 2011, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat total volume ekspor CPO dapat mencapai 16,5 (enam belas koma lima) juta ton. Dari jumlah ini, pengiriman ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa turun menjadi 3,5 (tiga koma lima) juta ton pada tahun 2011 dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 3,7 (tiga koma tujuh) juta ton. 28 Dasar
hukum
ISPO
19/Permentan/OT.140/3/2011
adalah tentang
Peraturan Pedoman
Menteri Perkebunan
Pertanian Kelapa
No. Sawit
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), merupakan Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia yang menjadi dasar dalam mendorong usaha perkebunan kelapa sawit memenuhi kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan, melindungi dan mempromosikan usaha perkebunan kelapa sawit berkelanjutan sesuai dengan tuntutan pasar. 29 Dengan
adanya
Pasal
19/Permentan/OT.140/3/2011
3
tentang
Peraturan Pedoman
Menteri
Pertanian
Perkebunan
Kelapa
No. Sawit
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), yang menetapkan bahwa : “Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dalam waktu paling 28
Majalah Sawit Indonesia, “Ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa Bisa Jadi Terancam Turun”, diterbitkan Senin, 02 Juli 2012. 29 Alvi Syahrin, “Industri Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan : Aspek Hukum Lingkungan Hidup dalam Industri Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (Tinjauan terhadap Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO)”, http://alvisyahrin.blog.usu.ac.id/2011/10/05/40/#more-40., diakses pada 21 Juli 2012.
Universitas Sumatera Utara
lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 harus sudah melaksanakan usaha sesuai dengan ketentuan Peraturan ini”. Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa aparatur Menteri Pertanian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkebunan, paling lambat 31 Desember 2014 harus bisa mewujudkan pelaku usahaperkebunan dalam melakukan usaha perkebunan kelapa sawitnya menjadi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia yang sistem usaha perkebunan kelapa sawitnya layak dalam bidang ekonomi, sosial, dan ramah lingkungan didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini sebenarnya mengatur yang ditujukan kepada aparatur Menteri Pertanian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkebunan untuk lebih mendorong dan memfasilitasi pelaku usaha perkebunan
kelapa
sawit
untuk
membangun
perkebunan
kelapa
sawit
berkelanjutan. 30 Masalah yang muncul adalah ketika sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit sudah mengimplementasikan RSPO dengan biaya yang sangat besar. Apakah perusahaan tersebut harus mengimplementasikan ISPO?Belum lagi, mengenai prinsip dan kriteria ISPO yang dinilai sangat tidak bersahabat dengan investor. Perusahaan perkebunan dimaksud adalah PT. Rea Kaltim Plantation. Dipandang dari perspektif investasi, apabila PT. Rea Kaltim Plantation mengimplementasikan lagi ISPO maka akan memakan biaya yang tidak sedikit, dan akan menghambur-
30
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
hamburkan anggaran perusahaan untuk hal yang sudah dilakukan. PT. Rea Kaltim Plantation memperoleh sertifikasi RSPO pada 08 Juli 2011. 31 Relevansi ISPO dengan PT. Rea Kaltim adalah dikarenakan PT. Rea Kaltim sudah memiliki sertifikat RSPO namun belum memiliki sertifikat ISPO, oleh karena itu, perusahaan perkebunan swasta tersebut dapat dijadikan sebagai contoh dalam penelitian ini. Selanjutnya penelitian ini adalah berjudul “Analisis Hukum Terhadap Kewajiban Sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) Dalam Kaitannya Dengan Pertumbuhan Investasi Sektor Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia” dengan studi pada PT. Rea Kaltim Plantation di Jakarta.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana
kedudukan
Peraturan
Menteri
Pertanian
No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) yang mewajibkan sertifikasi ISPO bagi perusahaan perkebunan dalam hierarki peraturan perundang-undangan dan dampak yuridisnyaterhadap perusahaan perkebunan di Indonesia? 2. Mengapa penerapan prinsip dan kriteria ISPO dapat dianggap sebagai upaya untuk mendukung investasi di Indonesia?
31
Blog Resmi PT. Rea Kaltim Plantation, “RSPO Main Assessment”, http://reakaltim.blogspot.com/2012/05/rspo-main-assessment.html., diakses pada 21 Juli 2012.
Universitas Sumatera Utara
3. Bagaimana sertifikasi ISPO di PT. Rea Kaltim Plantation dalam rangka meningkatkan investasi di Indonesia?
C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian yang terdapat pada rumusan masalah di atas maka yang
menjadi tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dan menganalisis kedudukan Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) yang mewajibkan sertifikasi ISPO bagi perusahaan perkebunan dalam hierarki peraturan perundang-undangan dan dampak yuridisnya terhadap perusahaan perkebunan di Indonesia;
2. Untuk mengetahui dan menganalisis alasan penerapan prinsip dan kriteria ISPO dapat dianggap sebagai upaya untuk mendukung investasi di Indonesia;
3. Untuk mengetahui dan menganalisis sertifikasi ISPO di PT. Rea Kaltim Plantation dalam rangka meningkatkan investasi di Indonesia.
D.
Manfaat Penelitian Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun praktis, yaitu : 1. Manfaat Teoritis;
Universitas Sumatera Utara
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan kajian lebih lanjut bagi para akademisi maupun masyarakat umum serta diharapkan dapat memberikan manfaat guna menambah khasanah ilmu hukum secara umum dan hukum investasi secara khusus di Indonesia.
2. Manfaat Praktis. a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Pemerintah/Badan Legislatif dalam menentukan kebijakan maupun regulasi dalam upaya pengembangan hukum nasional ke arah pengaturan Pembangunan Perusahaan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO);
b. Sebagai informasi dan inspirasi bagi praktisi bisnis dan hukum (para stakeholders, serta Konsultan Hukum di Perusahaan-perusahaan perkebunan) untuk memahami pengaturan Pembangunan Perusahaan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO);
c. Sebagai bahan kajian bagi masyarakat yang dapat mengambil poinpoin atau modul-modul pembelajaran dari penelitian ini dan diharapkan
wacana
pembangunan
perkebunan
kelapa
sawit
berkelanjutan di Indonesia berkembang ke arah yang lebih baik.
Universitas Sumatera Utara
E.
Keaslian Penelitian Menurut data yang didapat dari pemeriksaan dan hasil-hasil judul penelitian
yang ada pada Perpustakaan Program Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian yang berjudul : “Analisis Hukum Terhadap Kewajiban Sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) Dalam Kaitannya Dengan Pertumbuhan Investasi Sektor Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia (Studi Pada PT. Rea Kaltim Plantation)” adalah belum pernah dilakukan sama sekali. Dengan demikian, penelitian ini dapat dikatakan asli dan dapat dipertanggung jawabkan keasliannya. Penulis bertanggung jawab apabila di kemudian hari dapat dibuktikan bahwa penelitian ini merupakan plagiat atau duplikasi dari penelitian yang sudah ada sebelumnya.
F.
Kerangka Teori dan Konsep 1.
Kerangka Teori
Lingkungan strategis dunia yang berkembang dengan sangat pesat sejak berakhirnya Perang Dunia II telah mendorong bangsa-bangsa di dunia bersaing dengan ketat dalam mengejar dan mempertahankan kemakmurannya. Berbagai strategi pembangunan diterapkan untuk dapat meningkatkan dan mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Bersamaan dengan itu, tidak dapat dipungkiri bahwa sumber daya alam baik di laut maupun di darat akan mengalami tekanan pemanfaatan yang berlebihan. Apabila pemanfaatan ini melampaui daya dukungnya,
Universitas Sumatera Utara
tentu akan menimbulkan masalah lingkungan baik di tingkat lokal, regional, nasional, maupun global. Keadaan ini telah menimbulkan kesadaran pada umat manusia tentang pentingnya kelestarian lingkungan bagi keberlanjutan kehidupan manusia. Semenjak dicanangkannya pernyataan tentang pentingnya kesadaran segenap pihak tentang berbagai isu lingkungan global, disusul terbitnya buku “Our Common Future oleh World Commission on Environment And Development”, istilah sustainable development (pembangunan berkelanjutan) menjadi sangat populer, yaitu 32 : “Sustainable development is development which meets the needs of the present without comromising the ability of future generation to meet their own needs.The word development in this definition implicates two important aspects of the concept : It is omnidisciplinary, It cannot be limited to a number of disciplines or areas, but it is applicable to the whole world and everyone and everything on it, now and in the future. Secondly, there is no set aim, but the continuation of development is the aim of the development. The definition is based on two concepts : a. The concept of needs, comprimising of the conditions for maintaining an acceptable life standard for all people, and b. The concept of limits, of the capacity of the environment to fulfill the needs of the present and the future, determined by the state of technology and social organisation”.
Hakekat pengertian tentang pembangunan berkelanjutan (ada pula yang menyebutkan dengan istilah bertahan kelanjutan) pada dasarnya adalah : pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masyarakat masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhanmereka, sebagai suatu proses perubahan dimana pemanfaatan sumberdaya, arah investasi, orientasi pembangunan, dan perubahan kelembagaan selalu dalam keseimbangan dan 32
Gro Harlem Brundtland, Our Common Future, (New York : Oxford University Press, 1987), hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
secara sinergis saling memperkuat potensi masa kini maupun masa mendatang untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi manusia. 33 Pengembangan kelapa sawit yang dilakukan di Indonesia dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan perkebunan berkelanjutan sesuai dengan berbagai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia yang terkait dengan pengembangan kelapa sawit. Sebagai Guidance untuk melaksanakan dan melakukan penilaian tentang pembangunan kelapa sawit di Indonesia disusun Sistem Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesia Sustainable Palm Oil–ISPO). Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) adalah suatu kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pertanian yang bertujuan meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia dan ikut berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan. Dengan adanya ketetapan ISPO, hal ini bertujuan untuk meningkatkan kepedulian pentingnya memproduksi kelapa sawit berkelanjutan serta meningkatkan tingkat daya saing minyak kelapa sawit Indonesia di pasar dunia. Karena ISPO didasarkan kepada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, maka ketentuan ini merupakan mandatory(kewajiban) yang harus dilaksanakan bagi pelaku usaha perkebunan di Indonesia. Mengenai konsep mandatory (kewajiban) ini adalah terkait dengan konsep kewajiban hukum adalah konsep tanggung jawab hukum (liability). Seseorang yang
33
Budihardjo dan Djoko Sujarto, Sustainable Development : Beberapa Catatan Tambahan , (Jakarta : Asosiasi SYLFF & Universitas Indonesia, 2006), hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
bertanggung jawab secara hukum atas perbuatan bertentangan/berlawanan hukum. Sanksi dikenakan deliquent adalah karena perbuatannya sendiri yang membuat orang tersebut bertanggung jawab. Subjek responsibility dan subjek kewajiban hukum adalah sama. Dalam teori tradisional, ada dua jenis tanggung jawab : pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan (based on fault) dan pertanggung jawaban mutlak (absolut responsibility). 34 Oleh karena itu, suatu badan hukum yang mengimplementasikan ISPO adalah bertanggung jawab secara hukum terhadap Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011
tentang
Pedoman
Perkebunan
Kelapa
Sawit
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO). Maka badan hukum itulah yang bertanggung jawab apabila terdapat kesalahan dalam penerapan ISPO apalagi tidak mengindahkan Pasal 3 ketentuan tersebut. Sanksinya adalah bahwa perusahaan perkebunan yang mengimplementasikan ISPO itu sendirilah yang akan terkena imbasnya. Salah satu akibat dari tidak mengimplementasikan ISPO adalah tidak dapat dijualnya CPO hasil perkebunan tersebut ke pasar Eropa. Dikarenakan tidak lakunya CPO perusahaan yang mengimplementasikan ISPO maka pendapatan perusahaan akan menurun pula. Tanggung jawab perusahaan perkebunan kelapa sawit adalah untuk mengimplementasikan RSPO adalah sama dengan kewajibannya dalam pemenuhan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di Indonesia.
34
Hans Kelsen dalam Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta : Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 61.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya untuk melihat Peraturan Menteri masuk ke hierarki peraturan perundang-undangan yang mana, maka digunakanlah teori hierarki peraturan perundang-undangan
yaitu
Stufenbau
Theory.
Stufenbau
adalah
mengenai
keberlakuan kaidah hukum. Keberadaan kaidah yang lebih rendah ditentukan oleh kaidah yang lebih tinggi dengan demikian kaidah konkrit berlaku berdasarkan kaidah abstrak, sedangkan kaidah abstrak berlaku berdasarkan kaidah dasar atau grundnorm. 35 Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky. Teori Nawiasky disebut dengan theorie von stufenbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut, antara lain 36 : 1. “Norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm); 2. Aturan dasar negara (staatsgrundgesetz); 3. Undang-undang formal (formell gesetz); dan 4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnung en autonome satzung)”.
Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya atau dengan lingkungannya. Istilah norma berasal dari bahasa Latin, atau kaidah dalam bahasa Arab, dan sering juga disebut pedoman, patokan, atau aturan dalam bahasa Indonesia. Suatu norma itu baru ada apabila terdapat lebih dari satu orang, karena norma itu pada dasarnya mengatur tata cara bertingkah laku seseorang terhadap orang lain, atau terhadap lingkungannya. Norma 35
Purnadi Purbacaraka dan M. Chidir Ali, Disiplin Hukum, Cetakan Keempat, (Bandung : Citya Aditya Bakti, 1990), hal. 58-71. 36 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1995), hal. 223.
Universitas Sumatera Utara
hukum itu dapat dibentuk secara tertulis ataupun tidak tertulis oleh lembaga-lembaga yang berwenang yang membentuknya, sedangkan norma moral, adat, agama, dan lainnya terjadi secara tidak tertulis, tumbuh dan berkembang dari kebiasaankebiasaan yang ada dalam masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa seluruh sistem hukum mempunyai suatu struktur piramidal, mulai dari yang abstrak (ideologi negara dan undang-undang dasar) sampai yang konkret (peraturan-peraturan yang berlaku). 37Teori stufenbau digunakan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui tata urutan Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman
Perkebunan
Kelapa
Sawit
Berkelanjutan
Indonesia
(Indonesian
Sustainable Palm Oil – ISPO) masuk ke dalam tingkatan peraturan yang mana. Dasar
pertimbangan
19/Permentan/OT.140/3/2011
keluarnya tentang
Peraturan Pedoman
Menteri
Perkebunan
Pertanian Kelapa
No. Sawit
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), yaitu : “a. Pembangunan ekonomi nasional sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, diselenggarakan berdasarkan prinsip keberlanjutan dan berwawasan lingkungan; b. Pengembangan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan sebagai bagian dari pembangunan ekonomi ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan penerimaan negara, meningkatkan devisa negara, menyediakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya saing, memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri, serta mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara lestari;
37
Stufenbau Theory dikembangkan oleh beberapa pemikir, antara lain : Merkl, Kelsen, Hart. Pada intinya teori ini dimaksudkan untuk menyusun suatu hierarki norma-norma, sehingga berlapislapis dan berjenjang-jenjang. Teori ini memang diterima juga di Indonesia, dokumen yang bersejarah tentang hal ini adalah Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang berjudul : Memorandum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan tata urutan (susunan) perundang-undangan Republik Indonesia. Sumber : Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogjakarta : Kanisius, 1995), hal. 44.
Universitas Sumatera Utara
c. Tindaklanjut Pasal 2, Pasal 25, Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan”.
Saat keluarnya Peraturan Menteri Pertanian No.19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), ketentuan yangmengatur tentang pembentukan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Jika diperhatikan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang mengatur mengenai : “Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut : “a. b. c. d. e. f. g.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; Peraturan Daerah Kabupaten/Kota”.
Maka Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman
Perkebunan
Kelapa
Sawit
Berkelanjutan
Indonesia
(Indonesian
Sustainable Palm Oil – ISPO) tidak termasuk ke dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Peraturan ini dapat menjadi jenis peraturan perundangundangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, jika (sepanjang) diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (sebagaimana
Universitas Sumatera Utara
ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan). Akan tetapi, jika disimak ketentuan perundang-undangan di bidang Perkebunan, baik yang berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden, tidak ada diperintahkan membuat Peraturan Menteri untuk mengatur tentang Perkebunan Berkelanjutan atau Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. 38 Oleh
karena
itu,
19/Permentan/OT.140/3/2011
Peraturan
tentang
Pedoman
Menteri
Pertanian
Perkebunan
Kelapa
No. Sawit
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) perlu diuji berdasarkan Stufenbau Theory yang menyatakan bahwa harus ada peraturan yang mengatur diatasnya yang lebih tinggi lagi, atau dengan kata lain harus ada perintah untuk membentuk suatu peraturan. Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman
Perkebunan
Kelapa
Sawit
Berkelanjutan
Indonesia
(Indonesian
Sustainable Palm Oil – ISPO) tidak termasuk ke dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan PerundangUndangan, maka Peraturan Menteri tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, namun mempunyai keberlakuan untuk di lingkungan aparatur Menteri Pertanian yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkebunan guna mewujudkan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Artinya, Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa 38
Alvi Syahrin, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) digunakan oleh aparatur Menteri Pertanian sebagai pedoman di lingkungan Kementerian Pertanian dalam menyelenggarakan tugasnya untuk mewujudkan kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Sehingga, agar muatan materi
yang
dimuat
19/Permentan/OT.140/3/2011
dalam tentang
Peraturan Pedoman
Menteri Perkebunan
Pertanian
No.
Kelapa
Sawit
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) dapat mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, hendaknya diatur ke jenis dan hierarki Peraturan Presiden. 39 Lalu
dengan
dikeluarkannya
Peraturan
Presiden
yang
nantinya
memerintahkan untuk mengeluarkan Peraturan Menteri tersebut sudah jelas hal ini untuk memenuhi Stufenbau Theory yang dipaparkan sebelumnya. Untuk teori selanjutnya yang dipakai adalah teori hukum dalam pembangunan ekonomi terkait dengan peningkatan investasi. Diharapkan dengan penerapan ISPO terhadap perusahaan-perusahaan perkebunan yang ada di Indonesia dapat meningkatkan pertumbuhan investasi di Indonesia. Pertumbuhan investasi meningkat dikarenakan Indonesia telah berkepastian hukum untuk menjawab isu lingkungan yang didengung-dengungkan. Teori hukum dalam pembangunan ekonomi pertama sekali dicetuskan oleh Williams Burg dalam bukunya mengenai hukum dalam pembangunan terdapat 5 (lima) unsur yang harus dikembangkan supaya tidak menghambat pertumbuhan ekonomi yaitu stabilitas (stability), prediksi (predictability), keadilan (fairness), 39
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
pendidikan (education), dan pengembangan khusus bagi para sarjana hukum (the special development abilities of the lawyer). 40 Burg’s menjelaskan bahwa unsur pertama dan kedua merupakan prasyarat agar sistem perekonomian dapat berfungsi dengan baik. Dalam hal ini, stabilitas berfungsi untuk mengakomodasi dan menghindari kepentingan-kepentingan yang saling bersaing (conflict of interest), sedangkan prediksi merupakan suatu kebutuhan untuk
bisa
memprediksi
ketentuan-ketentuan
yang
berhubungan
dengan
perekonomian suatu negara. 41 Stabilitas (stability), maksudnya adalah bahwa hukum itu harus stabil dan tidak cepat berubah. Prediksi (predictability), maksudnya adalah bahwa setiap ketentuan yang akan keluar berikutnya sudah bisa disikapi dengan baik oleh masyarakat. Keadilan (fairness), maksudnya adalah bahwa keadilan adalah tujuan dari hukum itu sendiri. Pendidikan (education), maksudnya adalah bahwa pendidikan hukum itu penting dalam menjalankan sebuah perusahaan. Lalu, pengembangan khusus bagi para sarjana hukum (the special development abilities of the lawyer), maksudnya adalah bahwa setiap bagian hukum perusahaan tersebut haruslah memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan yang lainnya. Stabilitas pada kewajiban sertifikasi ISPO dalam kaitannya dengan peningkatan investasi di Indonesia dapat diartikan bahwa Peraturan-Peraturan Menteri yang dikeluarkan oleh Aparatur Negara terkait agar tidak terus berubahubah seiring dengan perkembangan perekonomian di Indonesia. Sewaktu belum ada ISPO, RSPO digembor-gemborkan agar diterapkan pada semua perusahaan 40
Bismar Nasution, “Modul Perkuliahan : Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi”, (Medan : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2011), hal. 36. 41 Ibid., hal. 37-38.
Universitas Sumatera Utara
perkebunan, tetapi penerapan RSPO ini bukan sebagai kewajiban melainkan sebagai kesukarelaan setiap perusahaan perkebunan untuk mengimplementasinya secara sukarela terhadap RSPO sendiri. Prediksi hukum (predictability) diartikan bahwa setiap Peraturan Menteri yang dikeluarkan itu berlaku bagi masyarakat dan setiap perusahaan perkebunan. Keberlakuan itu harus bisa diperkirakan bagaimana keadaan perusahaan perkebunan setelah diaplikasikannya peraturan tersebut. Hukum itu harus dapat diprediksi terkait dengan kewajiban sertifikasi ISPO dalam kaitannya dengan peningkatan investasi di Indonesia. Suatu hal yang harus dapat diprediksi disini adalah mengenai berapa dana anggaran yang harus dikeluarkan untuk mengimplementasikan Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO). Kaitannya dengan PT. Rea Kaltim Plantation adalah bagaimana apabila PT. Rea Kaltim Plantation telah menerapkan sertifikasi RSPO. Apakah dapat disamakan dengan ISPO ataukah dapat menambah atau mengurangkan peraturan yang diberlakukan kepada PT. Rea Kaltim Plantation terkait perubahan antara RSPO dengan ISPO. Atau dengan kata lain, apakah PT. Rea Kaltim Plantation harus mengimplementasikan sertifikasi ISPO walaupun sudah ada sertifikasi RSPO. Pertanyaan-pertanyaan ini kiranya dapat dijawab dengan menggunakan teori hukum dalam pembangunan ekonomi tersebut. Setelah sertifikasi ISPO mempunyai stabilitas dan keterprediksian, maka selanjutnya adalah keadilan hukum (fairness). Mekanisme sertifikasi ISPO haruslah
Universitas Sumatera Utara
berkeadilan bagi perusahaan perkebunan – dalam hal ini PT. Rea Kaltim Plantation – dan bagi masyarakat sekitar yang merasakan langsung dampak dari penerapan sertifikasi ISPO dimaksud. Dampak langsung bagi masyarakat tersebut dapat dilihat pada konsep Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan yang wajib juga dianggarkan terkait dengan pemenuhan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi penerapan ISPO yaitu Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pendidikan hukum (education) adalah bahwa setiap badan hukum harus memiliki dasar hukum yang baik. Hukumitu berasal dari dalam diri badan hukum itu sendiri bukan dari intervensi dari luar. Jika setiap badan hukum yang berhubungan dengan sertifikasi ISPO memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) Bagian Hukum yang mempunyai pendidikan hukum yang tinggi maka akan tercipta suatu pemenuhan peraturan perundang-undangan baik peraturan perundang-undangan yang baru keluar maupun peraturan perundang-undangan lama yang belum dipenuhi oleh PT. Rea Kaltim Plantation. Pengembangan khusus bagi para sarjana hukum (the special development abilities of the lawyer), terkait dengan sertifikasi ISPO dalam peningkatan investasi di Indonesia adalah bahwa antara PT. Rea Kaltim Plantation dengan Pemerintah pastilah ada yang terhubung yaitu Bagian Hukum PT. Rea Kaltim Plantation dengan setiap instansi pemerintahan terkait sertifikasi ISPO. Para Staf maupun Karyawan pada Bagian Hukum di PT. Rea Kaltim Plantation harus memiliki integritas tinggi
Universitas Sumatera Utara
agar dapat menjalankan perusahaan dengan baik dan patuh terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan tercapainya hukum sebagaimana disebutkan di atas, maka akan tercapai tujuan hukum dalam pembangunan ekonomi yang tidak lain adalah kesejahteraan masyarakat. Kesejahteraan masyarakat yang merata akan menciptakan negara yang makmur (welfare state). 42 Apabila negara makmur maka akan mengangkat harkat dan martabat bangsa kepada negara lain. Dengan demikian, investasipun akan meningkat pula.
2.
Kerangka Konsep Dalam melakukan penelitian ini, perlu dijelaskan beberapa istilah di bawah
ini sebagai definisi operasional dari konsep-konsep yang dipergunakan untuk menghindari kesalahan dalam memaknai konsep-konsep, yaitu : 1. Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) adalah sistem usaha di bidang perkebunan kelapa sawit
42
Welfare State bertujuan pada perlindungan pemerintah terhadap rakyat dari berbagai kesulitan sebagai dampak tahap industrialisasi. Hal ini disebabkan oleh terjadinya pengorbanan rakyat dalam tahap insutrialisasi, dimana hukum sama sekali tidak berpihak kepada rakyat, dan “pembungkaman” hak-hak rakyat. Dalam tahap ini, tujuan pembangunan adalah terciptanya keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat. Implementasinya dalam pembangunan hukum adalah lahirnya produk-produk hukum yang lebih berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat serta perlindungan hak-hak kaum minoritas, seperti konsumen, buruh, dan kaum perempuan. Sumber : Wallace Mendelson, “Law and The Development of Nations”, The Journal of Politics : The University of Texas at Austin, Vol. 32, 1970, hal. 223.
Universitas Sumatera Utara
yang layak ekonomi, layak sosial, dan ramah lingkungan didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia; 43
2. Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) adalah proses pengelolaan kebun dan pabrik kelapa sawit untuk mencapai satu atau lebih tujuan yang ditetapkan guna produksi barang dan jasa secara terus-menerus dengan tidak mengurangi inheren dan produktivitas masa depannya, serta tanpa menimbulkan dampak yang tidak diinginkan terhadap lingkungan, biologi, fisik, dan sosial; 44
3. Pertumbuhan Investasi adalah kondisi yang mencerminkan sejumlah faktor yang berkaitan dengan lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan insentif bagi pemilik modal untuk melakukan usaha atau investasi secara produktif dan berkembang. Dengan demikian, pertumbuhan usaha atau pertumbuhan investasi yang kondusif adalah pertumbuhan yang mendorong investor melakukan investasi dengan biaya dan risiko serendah mungkin di satu sisi, dan dapat menghasilkan keuntungan jangka panjang setinggi mungkin di sisi lain; 45
43
Bagian I Pengertian Umum angka 6. Lampiran I Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO). 44 Website Resmi RSPO, “Dokumen Panduan : Prinsip dan Kriteria RSPO untuk Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan”, www.rspo.org., diakses pada 22 Juli 2012. 45 Stern dalam Shinta RI. Soekro, et.al., Sjamsul Arifin (ed.), Bangkitnya Perekonomian Asia Timur Satu Dekade Setelah Krisis, (Jakarta : Tim Biro Hubungan dan Studi Internasional – Bank Indonesia, 2008), hal. 172-173.
Universitas Sumatera Utara
4. Pembangunan Berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan; 46 5. Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan keseimbangan antar keduanya; 47
6. Daya Tampung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya; 48
7. Kewajiban Hukum adalah suatu kewajiban yang diberikan dari luar diri manusia (norma heteronom). Kewajiban hukum dan kewajiban moral dapat berpadu, dalam istilah Hegel, “Sittlicheit”. 49 Dalam tataran ini kewajibankewajiban hukum telah diterima sebagai kewajiban-kewajiban moral. Dalam pembahasan etika, Immanuel Kant menguraikan etika “imperatif kategoris” dimana tunduk kepada hukum merupakan suatu sikap yang tanpa pamrih, dan tidak perlu alasan apapun untuk tunduk kepada hukum. Untuk perbandingan 46
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. Pengelolaan Lingkungan Hidup. 47 Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. Pengelolaan Lingkungan Hidup. 48 Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. Pengelolaan Lingkungan Hidup. 49 Bryan Magee, The Story of Philosophy, Kanisius, 2008), hal. 158-160.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan diterjemahkan Marcus Widodo, (Yogyakarta :
Universitas Sumatera Utara
adapula yang dinamakan imperatif hipotetis, dimana kewajiban dilaksanakan karena suatu alasan tertentu atau mengharapkan reward tertentu. 50 Kaitannya dengan penelitian ini adalah bahwa kewajiban sertifikasi ISPO ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140//3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO); 51
8. Perkebunan adalah segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat; 52
9. Pelaku Usaha Perkebunan adalah pekebun dan perusahaan perkebunan yang mengelola usaha perkebunan; 53 Dalam penelitian ini Pelaku Usaha Perkebunan yang dijadikan sebagai subjek penelitian adalah PT. Rea Kaltim Plantation.
50
Immanuel Kant dalam Franz Magnis Suseno, Pijar-Pijar Filsafat, (Yogyakarta : Kanisius, 2005), hal. 267-268. 51 Pasal 3 Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140//3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) mewajibkan setiap perusahaan perkebunan untuk melakukan sertifikasi ISPO. 52 Bagian I Pengertian Umum angka 1. Lampiran I Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO). 53 Bagian I Pengertian Umum angka 3. Lampiran I Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).
Universitas Sumatera Utara
10. Lembaga Sertifikasi adalah lembaga independen yang diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) dan mendapatkan pengakuan dari Komisi ISPO; 54
11. Sertifikasi ISPO adalah suatu penetapan yang diberikan oleh Lembaga Sertifikasi
ISPO
(menurut
Peraturan
Menteri
Pertanian
No.
19/Permentan/OT.140//3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO), yaitu : PT. Mutuagung Lestari; PT. TUV Nord Indonesia; PT. Sucofindo; PT. SAI Global Indonesia; PT. TUV Rheinland Indonesia). Penetapan tersebut dalam bentuk diberikannya Sertifikat ISPO kepada perusahaan perkebunan yang memohon untuk itu; 55
G.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif. 56 Dengan
demikian objek penelitiannya adalah norma hukum yang berlaku dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah dalam sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang terkait secara langsung dengan ”Analisis Hukum Terhadap
54
Bagian I Pengertian Umum angka 13. Lampiran I Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO). 55 Website Resmi ISPO, “Penunjukan Lembaga Sertifikasi ISPO”, http://ispo-org.or.id/., diakses pada 22 Juli 2012. 56 Adapun tahap-tahap dalam analisis juridis normatif adalah : merumuskan azas-azas hukum dari data hukum positif tertulis; merumuskan pengertian-pengertian hukum; pembentukan standarstandar hukum; dan perumusan kaidah-kaidah hukum. Sumber : Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 166-167.
Universitas Sumatera Utara
Kewajiban Sertifikasi ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dalam Kaitannya Dengan PertumbuhanInvestasi di Indonesia”.
1.
Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan
menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dalam melakukan pengkajian sertifikasi ISPO terhadap peningkatan investasi di Indonesia. Pendekatan tersebut menggunakan teori hukum murni yang berupaya membatasi pengertian hukum pada bidang-bidang hukum saja, bukan karena hukum itu mengabaikan atau memungkiri pengertian-pengertian yang berkaitan, melainkan karena pendekatan seperti ini menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologi (sinkretisme metodologi) yang mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan batas-batas yang ditetapkan pada hukum itu oleh sifat pokok bahasannya. 57 Sifat
penelitian
adalah
penelitian
deskriptif yang
ditujukan untuk
menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala-gejala hukum terkait kewajiban sertifikasi ISPO dalam kaitannya dengan peningkatan investasi di Indonesia.
57
Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, Cetakan Ketiga, (Bandung : Nusamedia & Nuansa, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.
Sumber Bahan Hukum Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada penelitian kepustakaan
dan berdasarkan pada bahan hukum sekunder, maka sumber bahan hukum yang digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu : 1. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta Amandemen; b. Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan; c. Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; d. Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; e. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; f. Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).
2. Bahan hukum sekunder digunakan untuk membantu memahami berbagai konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik jurnal, buku-buku, makalah, serta karya ilmiah mengenai pasar modal dan pencucian uang, berita, dan ulasan media, juga sumber-sumber lain yang
Universitas Sumatera Utara
relevan dengan kewajiban sertifikasi ISPO dalam kaitannya dengan peningkatan investasi di Indonesia.
3. Bahan hukum tertier diperlukan dipergunakan untuk berbagai hal dalam hal penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum primer, khususnya kamus-kamus hukum dan ekonomi.
3.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Seluruh bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi
kepustakaan (library research) dengan alat pengumpulan berupa studi dokumen yang dipandang relevan, dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 58 Selanjutnya yang dilakukan, digunakanlah teknik studi lapangan (field research) dengan alat pengumpulan bahan hukum dengan cara melakukan wawancara untuk menunjang bahan hukum primer sebagai bahan hukum pendukung yang diperoleh dari PT. Rea Kaltim Plantation dengan pertimbangan bahwa perusahaan tersebut merupakan salah satu perusahaan besar yang keberadaannya berdampak baik positif maupun negatif terhadap masyarakat sekitar. Wawancara dilakukan dengan bagian Corporate Secretary dan Legal Department PT. Rea Kaltim Plantation.
58
Menurut Bambang Sunggono, studi kepustakaan dapat membantu peneliti dalam berbagai keperluan, misalnya : a) Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan yang diteliti; b) Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan; c) Sebagai sumber data sekunder; d) Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya; e) Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan; f) Memperkaya ide-ide baru; dan g) Mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasil penelitian tersebut, seperti yang dikemukakan Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 112-113.
Universitas Sumatera Utara
4.
Analisis Bahan Hukum Bahan hukum primer yang terinventarisasi terlebih dahulu disistematisasikan
sesuai dengan substansi yang diatur dengan mempertimbangkan relevansinya terhadap rumusan permasalahan dan tujuan penelitian. Kemudian dilakukan pengelompokan konsep hukum yang lebih umum, yaitu : kewajiban hukum, kepastian hukum, pertumbuhan investasi yang kondusif, dan lain-lain. 59 Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai titik tolak untuk melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak langsung akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah dalam kewajiban sertifikasi ISPO dalam peningkatan investasi di Indonesia. Teorisasi induktif adalah menggunakan data sebagai awal pijakan melakukan penelitian, bahkan dalam format induktif tidak mengenal teorisasi sama sekali artinya teori dan teorisasi bukan hal yang penting untuk dilakukan. Maka deduktif – induktif adalah penarikan kesimpulan didasarkan pada teori yang digunakan pada awal penelitian dan data-data yang didapat sebagai tunjangan pembuktian teori tersebut. 60 Penerapan deduktif – induktif adalah menggunakan teori yang disebutkan dalam sub bab kerangka teoritis di atas untuk memecahkan permasalahan mengenai
59
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Rosda, 2006), hal. 248, dalam Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Ed. 1, Cet. 3, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 144-145. 60 Ibid., hal. 26-29.
Universitas Sumatera Utara
kewajiban sertifikasi ISPO dalam kaitan dengan peningkatan investasi di Indonesia. Sertifikasi ISPO dengan pemenuhan kewajiban terhadap Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO).
Universitas Sumatera Utara