BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Prinsip kemanusiaan merupakan asas terpenting dalam PB, yaitu dengan tujuan untuk mengurangi penderitaan manusia dari risiko bencana (Pemda Kabupaten Sleman, 2013). Kesadaran PRB telah berkembang secara global. Indonesia menjadi bagian dari kesepakatan dalam konferensi tingkat dunia di Kobe, Hyogo Framework for Action tahun 2005, terkait komitmen bersama antara pemerintah negara dan internasional, organisasi, masyarakat dan swasta, dan lain-lain dalam PRB (UNISDR, 2005). Indonesia sebagai negara berkembang merupakan negara yang rawan berbagai bencana alam karena terletak pada jalur gempa bumi dan gunung berapi. Gunung Merapi merupakan salah satu gunung berapi yang paling aktif di dunia sejak meletus pada 26 Oktober 2010. Dalam beberapa kasus bencana alam yang sama dapat memberi dampak yang berbeda bagi kelompok gender yang berbeda. Meskipun laki-laki dan perempuan mengalami kerentanan yang berbeda, akan tetapi dalam berbagai kasus bencana, perempuan terkena dampak risiko bencana yang lebih buruk dengan proporsi yang tidak seimbang dibandingkan dengan laki-laki (Resillience Development Initiative, 2011). 1
Perbedaan pengaruh tersebut dapat terlihat dari tingkat kerentanan, kapasitas, hambatan dan peluang antara laki-laki dan perempuan (UNISDR, 2005). Dampak risiko bencana bagi perempuan dapat berdimensi fisikal, ekonomi, atau psikologis dan trauma (World Health Organization). Pada banyak kasus, perempuan sulit menyelamatkan diri pada saat bencana terjadi, karena dihadapkan dengan tugas sebagai ibu yang harus memastikan keselamatan anggota keluarga mereka yaitu anak, lansia atau orang tua yang menjadi tanggungjawab seorang ibu. Sebaliknya laki-laki yang istrinya meninggal harus mengambil peran gender istrinya. Selain itu, kaum laki-laki yang menjadi korban jiwa dan luka-luka dalam peristiwa erupsi, pada umumnya disebabkan adanya keharusan peran gender laki-laki untuk menjaga ternak, kebun, tanah dan rumah meskipun dalam kondisi terjadi erupsi (Resillience Development Initiative,
2011).
Kondisi tersebut
secara tidak
langsung dapat
berimplikasi pada kaum perempuan (ibu, istri, anak, lansia atau difabel) karena harus menanggung beban gender yang semakin berat yaitu sebagai sumber kehidupan ekonomi keluarga dan pelindung keluarga yang berakibat posisi perempuan semakin rentan. Berdasarkan data administrasi yang berhasil diperoleh berdasarkan jenis kelamin, sebanyak 164 orang jumlah korban psikologis bencana pasca erupsi Merapi 2010, berasal dari Kecamatan Cangkringan (Universitas Gadjah Mada, 2011). 2
Berdasarkan data kolektif tersebut
menunjukkan bahwa sebanyak 40 orang perempuan korban erupsi Merapi mengalami gangguan stres, jumlah tersebut lebih banyak dari jumlah lakilaki yaitu sebanyak 11 orang. Perempuan di sekitar gunung Merapi yang semakin rentan pasca peristiwa erupsi Merapi 2010 tersebut akan terus menghadapi ancaman erupsi Merapi yang akan meletus secara berkala. Peristiwa erupsi Merapi tahun 2010 telah menjadi salah satu pelajaran penting bagi pemerintahan Indonesia, khususnya Pemda Provinsi DIY dan Pemda Kabupaten Sleman untuk memasukkan perspektif gender dalam setiap kebijakan PB. Sistem PB di Indonesia sebelumnya kurang melibatkan gender dan tidak menganalisis peran-peran gender yang timpang di masyarakat (Women's Communication and Information Centre, 2013). Pemda Kabupaten Sleman melalui pembentukkan BPBD Kabupaten Sleman, melakukan upaya integrasi gender dalam sistem kebencanaan, yaitu dalam dokumen Rencana Strategis (Renstra) tahun 2011 untuk periode 2011-2015: “Peningkatan Partisipasi Perempuan dalam Sistem PB” (Resillience Development Initiative, 2011). Namun dalam perwujudan upaya tersebut terdapat berbagai kendala sehingga sasaran PB tidak tercapai secara menyeluruh dan optimal. Sehingga penyempurnaan terhadap pemenuhan perspekif gender (Renstra) sangat penting dalam PRB, mengingat bencana erupsi Merapi merupakan sebuah siklus bencana alam yang terjadi dua sampai lima tahun-an, sehingga masih terdapat potensi risiko besar seperti peristiwa erupsi Merapi 2010. Desa Kepuharjo merupakan salah satu desa rawan 3
bencana yang memiliki tingkat kerentanan dan potensi bencana erupsi Merapi yang cukup tinggi, karena terletak di kawasan terdekat dengan kawasan bahaya bencana Merapi. Melalui studi independen ini, peneliti tertarik untuk mengkaji program kebijakan BPBD Kabupaten Sleman apa saja yang didalamnya terdapat perspektif gender, kemudian meneliti efektivitas kebijakan tersebut dengan mengambil sampel dari beberapa warga desa Kepuharjo, serta mengkaji apa dan mengapa muncul hambatan dan tantangan dalam implementasi kebijakan tersebut.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1) Apakah pelaksanaan PUG dalam kebijakan PB BPBD berjalan efektif dalam PRB? 2) Apa faktor hambatan dalam proses implementasi PUG dalam kebijakan dalam PRB?
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas pelaksanaan kebijakan kesiapsiagaan berbasis gender BPBD Kabupaten Sleman dalam upaya PRB erupsi Merapi. 4
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan yang berguna bagi pengembangan keilmuan studi ilmu hubungan internasional yang berfokus pada Global Humanitarian Diplomacy, dengan menggabungkan isu kemanusiaan yaitu tentang sistem PB; isu sosial yaitu isu gender sebagai bagian dari sebab dan akibat bencana yang terjadi pada masyarakat; serta isu politik meliputi praktek kebijakan pemerintah terkait isu-isu tersebut. Beberapa pihak berikut diharapkan dapat menerima manfaat dari hasil penelitian: 1.
Bagi Pemda Kabupaten Sleman dan BPBD Kabupaten Sleman dapat menjadi masukan dalam evaluasi dan perbaikkan kebijakan PB sebagai upaya mengurangi risiko bencana berbasis gender. Sehingga dapat dengan efektif dalam pelaksanaaan dan penganggaran yang berperspektif gender dalam kegiatan PRB.
2.
Bagi masyarakat, diharapkan dengan adanya perencanaan kebijakan
PB
berbasis
gender
yang
efektif
dapat
mengangkat kesadaran gender masyarakat, khususnya perempuan
untuk
ikut
berpartisipasi
untuk
dapat
mengurangi kerugian yang timbul di masyarakat akibat bencana, dalam hal ini bencana erupsi Merapi. 3.
Bagi penelitian berikutnya, diharapkan dapat menjadi referensi
dalam
5
penelitian
selanjutnya
mengenai
perencanaan PB berbasis gender sebagai bagian penting dalam PRB.
1.4.
Tinjauan Pustaka Sebuah dokumen yang di terbitkan United Nation Development Programe dan Caibean Risk Manajement Inisiative ((CRMI) yang berjudul Integrating Gender in Disaster manajement in Small Island Developing States: A Guide, yang berisi implementasi Hyogo Framework of Action hasil dari United Nation’s International Conference on Disaster Reduction tahun 2005 dengan prinsip “inclusion of gender perspective and cultural diversity”(Resillience Development Initiative, 2011). Prinsip tersebut mengemukakan bahwa perspektif gender harus diintegrasikan ke dalam seluruh kebijakan manajemen risiko bencana, rencana dan proses pengambilan keputusan, termasuk yang terkait dengan peringatan dini, manajemen informasi, dan pendidikan dan pelatihan. Posisi negara berkembang menurut UNDP, termasuk negara rawan bencana dan perlu mendapat perhatian khusus mengingat kerentanan dan tingkat risiko yang lebih tinggi, sehingga tidak mencakup kapasitas yang dimiliki untuk merespon dan memulihkan diri dari bencana. Negara Indonesia sebagai negara berkembang yang rawan bencana gunung berapi, banjir, gempa bumi, dan lain-lain, menjadi salah satu negara yang memerlukan perhatian khusus dalam pengelolaan bencana. Peneliti kemudian ingin lebih melihat pada pemerintah lokal dalam 6
mengintegrasikan perspektif gender ke dalam sistem PB melalui BPBD sebagai aktor lembaga pemerintah yang khusus menangani masalah bencana. BPBD Kabupaten Sleman mengintergrasikan perspektif gender sebagai perwujudan agenda PUG dalam strategi kebijakan Renstra 20112015. Artikel kedua berjudul ”What Women Do: Gendered Labor in te Red River Valley Flood”dipublikasikan dalam Enviromental Hazard 3 tahun 2001(Enarson, 2001), yang ditulis Dr. Elain Enarson seorang sosiolog bencana lulusan Universitas Brondon jurusan Penerapan Bencana dan Kondisi Darurat dan juga seorang fasilitator US Gender and Disaster Resillience Alliance . Dalam artikel tersebut berisi tentang penelitian Elain tentang peran perempuan dan posisi perempuan pasca bencana Banjir Di Lembah Laut Merah (Red River Valley Flood) di wilayah bagian Utara Amerika pada tahun 1997. Disebutkan bahwa perempuan secara psikis dan emosional sosial sebagai ibu rumah tangga memiliki dasar untuk berkontribusi mitigation, preparedness,reliefdan recovery pasca bencana. Perempuan dianggap sebagai aktor “backstage” untuk mengambil alih kesempatan dominasi dalam kondisi darurat. Dengan demikian perempuan memiliki peran yang disebut “second shift” yaitu selain di rumah tangga (tradisional), perempuan juga melakukan kegiatan nontradisional, baik sektor formal maupun informal. Peran perempuan juga
7
dapat meredam permasalahan rasis,kelas sosial dan ketidaksetaraan gender pada kasus bencana banjir. Pada tahun 1995 mejadi dekade perkembangan Natural Disaster Reduction yang difokuskan pada perempuan sebagai “keys to preventive” dengan meningkatkan kapasitas perempuan dalam kondisi darurat. Elain menganalisis dengan menggunakan berdasarkan Tipology of Women’s Disaser Work tentang perempuan baik secara tradisional atau kodrati (dalam pekerjaan rumah tangga), dalam organisasi pemerintahan, maupun komunitas. Elain menyadari bahwa masih kurangnya sumberdaya manusia perempuan dalam penanganan bencana disebabkan karena perempuan sebagai kaum yang rentan sehingga memunculkan dampak sosial. Dalam penelitian selanjutnya, peneliti berupaya melakukan pengembangan dengan meneliti sejauh mana peran perempuan dalam PRB dalam kasus bencana erupsi Merapi yang mungkin akan kembali terjadi. Sehingga baik laki-laki maupun perempuan mampu bekerjasama berpartisipasi dalam manajemen bencana, untuk mengurangi dampak atau risiko bencana melalui kebijakan BPBD Kabupaten Sleman tanpa terbatasi peran gender yang mengakar dalam masyarakat. Dalam dokumen selanjutnya disusun MDF: Rangkaian Makalah Kerja MDF-JRF: Hasil Pembelajaran dari Rekonstruksi Pascabencana di Indonesia. Lebih dari Sekedar Pengarusutamaan: Mendorong Kesetaraan Gender
dan
Pemberdayaan
Perempuan
Pascabencana (Multi Donor Fund-JRF, 2012). 8
melalui
Rekonstruksi
Tulisan ini memaparkan berbagai pelajaran dari upaya-upaya MDF dan JRF untuk memfasilitasi pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender selama proses rekonstruksi. Tulisan tersebut merekam berbagai contoh praktik terbaik dari MDF dan JRF, dan berdasarkan berbagai pengalaman tersebut, membuat sejumlah rekomendasi tentang jenis-jenis strategi dan langkah yang dibutuhkan untuk mengarusutamakan berbagai pendekatan yang peka gender dalam upaya-upaya rekonstruksi dan kesiapsiagaan mendatang di Indonesia dan negara-negara lainnya di seluruh dunia yang rawan bencana. Belajar dari pengalaman bencana besar erupsi Merapi tahun 2010, peneliti juga tertarik untuk mendukung upaya peka gender yang dilakukan MDF dan JRF tersebut dalam jenis strategi PB di Indonesia secara menyeluruh, dengan memfokuskan diri pada penelitian di tingkat Pemda sebagai aktor pelaksana terhadap masyarkat di salah satu daerah rawan bencana yaitu Desa Kepuharjo Cangkringan Sleman Yogyakarta. Dengan demikian Pemda melalui BPBD Kabupaten Sleman sebagai aktor penting pelaksanaan penanggulanagn bencana yang terbentuk pasca bencana terjadi, untuk dapat mengakomodasi masyarakat secara mandiri dalam PB tanpa mengabaikan kesetaraan hak dan kewajiban gender dalam menghadapi bencana erupsi gunung Merapi. Dalam sebuah artikel beriktnya berjudul Resilience Perempuan Dalam Bencana Alam Merapi: Studi di Kinahrejo Umbulharjo Cangkringan Sleman Yogyakarta, membahas mengenai pemaknaan 9
perempuan bagaimana mengupayakan resilience perempuan di daerah rawan bencana di Desa Kinahrejo Umbulharjo (Gafur, Waryono Abdul; Noorkamilah; Gazali, Hatim, 2012). Cangkringan Sleman. Seiring dengan adanya pemahaman masyarakat lokal mengenai persoalan dan penanganan bencana. Dalam artikel memaparkan pentingnya upaya resilience ketika bencana terulang kembali menjadi hal yang dianggap kurang diperhatikan. Namun selama ini pemerintah dan masyarakat hanya fokus pada proses evakuasi, recovery, dan rehabilitasi. Anak-anak dan perempuan adalah entitas yang cukup rentan terhadap bencana, yang telah tercantum dalam United Nation’s International Decade for Natural Disaster Reduction (IDNDR) tahun 1995, menempatkan perempuan dan anak-anak sebagai “key to prevention” dalam mengurangi dampak bencana. Dokumen tersebut juga membahas mengenai potensi perempuan dalam periode pada saat bencana terjadi, diantaranya bahwa perempuan sesungguhnya memiliki daya tahan diri untuk menyembuhkan diri dan menolong orang lain, serta memiliki sifat-sifat keperempuanan yang terbentuk yaitu tekun, sabar, rajin, melayani dan sebagainya. Sehingga mampu memberikan pelayanan baik di sektor keluarga maupun sektor publik. Dengan demikian, tulisan tersebut lebih membahas mengenai bagaimana pemaknaan perempuan Kinahrejo terhadap Merapi dan erupsinya dan bagaimana pemaknaan tersebut berimplikasi kepada resilience perempuan Kinahrejo terhadap erupsi Merapi? Resources 10
seperti apa yang perlu dikembangkan bagi perempuan Kinahrejo untuk resilience tersebut? Hal ini terutama, karena ternyata perempuan lebih banyak yang selamat dan bertahan, dibanding laki-laki. Untuk mengetahui bagaimana perempuan memberikan pemakanan terhadap Merapi dan erupsinya serta bagaimana mekanisme resiliensi mereka, tulisan ini menggunakan kerangka teori atau paradigma antropologi kognitif (Cognitive Anthropology) atau etnosains (ethnoscience). Persamaan pandangan terhadap kritik terhadap aksi PB yang dilakukan pemerintah yang dilakukan sebelumnya hanya berfokus pada evakuasi
recovey dan rehabilitasi, serta arti penting memandang
perempuan sebagai “key preventif” dalam kasus bencana menjadi persoalan yang menjadi perhatian peneliti seiring dengan perubahan paradigma penanganan bencana secara global. Namun artikel tersebut kurang mengelaborasi bagaimana peran pemerintah
dalam
mengakomodasi
proses
membangun
resiliensi
masyarakat khususnya perempuan dalam menghadapi ancaman dan bangkit dari bencana yang mungkin akan terjadi kembali. Peneliti tertiarik untuk mengeksplorasi keterkaitan perempuan dalam bencana dan aksi pemerintah melalui agenda PUG sebagai peluang untuk mendukung proses meningkatkan kemampuan perempuan dalam bencana. Dengan mengambil studi kasus yang sama yaitu pada kasus bencana erupsi Merapi 2010, namun pada aktor dan lokasi yang berbeda
11
yaitu aktor Pemda melalui BPBD Kabupaten Sleman terhadap masyarkat korban bencana di Desa Kepuharjo Cangkringan Sleman.
1.5.
Kerangka Konseptual a. Konsep Gender Konsep gender secara umum menekankan pada perbedaan antara lakilaki dan perempuan dalam peran, fungsi, hal, tanggungjawab dan perilaku yang terbentuk dari tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat. Menurut World Health Organization (WHO) mengemukakan defnisi gender : “Gender refers to the socially constructed roles, behaviours, activities, and attributes that a given society considers appropriate for men and women” (WHO, 2008). Bahwa Gender berarti merujuk pada peran, perilaku, kegiatan konstruksi sosial, dan atribut dalam suatu masyarakat tertentu yang dianggap tepat untuk laki-laki dan perempuan. Hal tersebut berkembang dengan kemunculan kesetaraan dan keadilan gender. Konsep kesetaraan gender didefinisikan sebagai suatu kondisi perempuan dan laki-laki menikmati status yang setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan (UNISDR, 2009). Sedangkan USAID menyebutkan bahwa kesetaraan gender dapat memberi kesempatan baik pada perempuan dan laki-laki untuk secara 12
setara atau sama atau sebanding menikmati hak-haknya sebagai manusia, secara sosial mempunyai kesempatan, sumberdaya, dan menikmati manfaat dari hasil pembangunan (WHO, 2012). Dengan demikian, untuk mencapai kesetaraan gender, diperlukan kondisi keadilan gender, yaitu merupakan kondisi adil bagi perempuan dan laki-laki melalui proses budaya dan kebijakan yang menghilangkan hambatan-hambatan berperan bagi perempuan dan laki-laki (UNISDR, 2009). Hal tersebut direalisasikan dalam upaya PUG dalam kebijakan pemerintahan. b. Konsep Pengarusutamaan Gender Menurut Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) mendefinisikan PUG sebagai strategi agar kebutuhan dan pengalaman perempuan dan laki-laki menjadi bagian tak terpisahkan dari mendesain, implementasi, monitoring, dan evaluasi kebijakan dan program dalam seluruh lingkup politik, ekonomi, dan sosial, sehingga perempuan dan laki-laki sama-sama mendapatkan keuntungan dan menghilangkan ketidakadilan (UN Women, 1995). Dengan demikian PUG merupakan sebuah proses untuk mewujudkan hubungan yang seimbang antara dan antar perempuan serta laki-laki. Terdapat lensa gender sebagai dasar agar PUG dapat diterapkan, dengan
13
tidak hanya menerima dan tidak hanya mempertanyakan peran dan relasi gender, akan tetapi juga meliputi beberapa hal berikut (Pincha, 2008)1: 1. Fokus pada kebutuhan gender strategis dan praktis perempuan dan laki-laki 2. Membuat masalah-masalah perempuan menjadi nampak dalam kebijakan-kebijakan,
program-program
dan
pelaksanaan
pembangunan dan bencana. 3. Mengarah pada kebutuhan untuk melakukan pemetaan gender sebelum menyusun strategi intervensi. Pemetaan gender mencakup tinjauan terhadap ruang dan keberhakan relatif perempuan dan laki-laki di institusi yang berbeda: keluarga, masyarakat, pasar dan negara. 4. Mengidentifikasi
hambatan-hambatan
(ancaman,
kelemahan,
kerentanan) dan batu loncatan (kekuatan,kesempatan, kapasitas, dll). 5. Mempertimbangkan
langkah-langkah
yang
menghilangkan
kerentanan 6. Melihat dengan jelas nuansa-nuansa konteks yang berdampak pada perempuan dan laki-laki secara berbeda karena nilai-nilai sosial budaya yang dilekatkan pada mereka. 1
Chaman adalah seorang mahasiwi doktoral di Departement Politik dan Administrasi Publik, Universitas Madras peneliti dan konsultan gender yang telah aktif terlibat dalam mengupayakan pemahaman yang lebih mendalam tentang isu-isu gender. Selain itu juga berperan sebagai anggota Steering Group of Gender and Disaster Network, yang kajian-kajiannya dipusatkan pada pengarusutamaan gender dalam pengelolaan banjir.
14
Dalam kasus bencana, isu gender telah diintegrasikan secara global melalui Hyogo Framework for Action 2005 yang lahir dari Konferensi Dunia mengenai PRB di Kobe, Hyogo, Jepang, bahwa isu gender harus dimasukkan ke dalam beberapa komponen dalam mengintervensi PUG dalam PRB baik di tingkat nasional maupun daerah suatu negara (UNISDR, 2005), yakni: 1. Penilaian atau Pemetaann Risiko (Risk Assesment) 2. Sistem Peringatan Dini 3. Manajemen Informasi, Pendidikan dan Pelatihan Dengan menggunakan satu lensa gender akan menjadi dasar untuk meninggalkan mitos dan prasangka ketika menyusun,menganalisis dan mengevaluasi sebuah program, aktivitas atau kebijakan (Pincha, 2008). Kemudian didukung
analisis keberadaan komponen yang dapat
digunakan untuk mengintervensi PUG dalam PB, sehingga dapat memaksimalkan upaya memonitor dan mengevaluasi PUG yang dilakukan BPBD Kabupaten Sleman melalui Renstra. c. Teori Efektivitas Menurut (1985:50)
Basil
Georgopolous
mengemukakan
bahwa
dan
Arnold
efektivitas
S.Tannembaum
ditinjau
dari
sudut
pencapaian, keberhasilan suatu organisasi harus mempertimbangkan bukan hanya sasaran organisasi tetapi mekanisme mempertahankan diri dalam mengejar sasaran, dengan kata lain penilaian efektivitas harus 15
berkaitan dengan masalah sasaran maupun tujuan (Georgopolous & Tannembaum). Selain itu juga, efektivitas juga merupakan suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) yang telah tercapai, semakin besar presentase target yang dicapai, semakin tinggi efektivitasnya. Beberapa pendekatan mengatur cara untuk mengukur efektivitas suatu organisasi, peneliti menggunakan salah satu pendekatan sasaran (goals approach) yang dikemukakan
Martini dan Lubis
(1987:55), yaitu fokus pada output kebijakan dengan mengukur keberhasilan organisasi untuk mencapai hasil yang sesuai rencana (Lubis & Martini, 1987). Dalam kasus ini untuk mengetahui efektivitas implementasi kebijakan BPBD Kabupaten Sleman di Desa Kepuharjo Kecamatan Sleman yang berdasar pada tujuan kebijakan dan sasaran indikator kinerja yang tercantum dalam dokumen Renstra 2011-2015, terkait peningkatan partisipasi perempuan dalam PB. d. Teori Budaya Patriarki Budaya patriarki merupakan suatu keadaan masyarakat sosial yang menempatkan kedudukan dan posisi laki-laki lebih tinggi daripada perempuan dalam segala aspek kehidupan sosial, budaya dan ekonomi (Pinem, 2009). Dalam studi kasus ini, peneliti meneliti kondisi masyarakat Desa Kepuharjo yang merupakan masyarakat asli Jawa. 16
Sistem masyarakat Jawa yang patrilineal, yaitu hubungan keluarga yang didasarkan pada garis ayah/laki-laki yang dibatasi nilai-nilai patriarkhi (Dube,
1994).
Budaya tersebut
mengkonstruksi peran
perempuan Jawa yang pasif dan tradisional (feminin) dibawah kedudukan laki-laki yang diposisikan lebih tinggi dan berkuasa (maskulin). Nilai-nilai seperti nilai sopan santun, penurut, memiliki kemampuan masak, merawat diri, dapat melahirkan anak (konco wingking) dan lain sebagainya. Hal tersebut berlangsung secara turun temurun, sehingga menjadi hal yang umum bagi perempuan dan membatasi perempuan dalam mengemukakan pendapat dalam keputusan. Budaya tersebut akan dibahas dalam pembahasan hambatan dan tantangan peran serta perempuan dalam upaya PRB. e. Kajian Risiko Bencana Selanjutnya untuk mencapai kesadaran gender dalam upaya PRB BPBD Kabupaten Sleman, peneliti melakukan kajian risiko bencana menggunakan variabel perspektif gender, untuk mengetahui tentang ancaman bencana; kerentanan; dan kapasitas masyarakat baik perempuan dan laki-laki untuk mengetahui disparitas yang terjadi. Hal tersebut dirumuskan dalam Rumusan Risiko Bencana (Hazard Vulnerability Capacity Assesment (HVCA) (Aid DFAT Goverment, 2010) : R = H x V/C Risiko Bencana (Risk of Disaster) dapat diartikan sebagai akibat dari kerugian dari terjadinya kerusakan (akibat bahaya gempa atau 17
bencana alam lainnya) pada suatu daerah, akibat kombinasi dari bencana, kerentanan wilayah dan masyarakat, dan kapasitas masyarkat pada suatu daerah. Risiko bencana dapat dikurangi jika kapasitas suatu daerah tinggi. Diperlukan observasi langsung untuk mengetahui tingkat kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. Selainn itu, kajian tersebut menjadi alat bantu analisis peneliti dalam menjelaskan tingkat risiko bencana dalam melakukan studi independen di kantor BPBD Kabupaten Sleman, dan di Desa Kepuharjo Kecamatan Sleman.
1.6.
Argumen Utama PUG dalam kebijakan PB BPBD hingga akhir tahun 2014, belum berjalan secara menyeluruh dan efektif. Hal tersebut disebabkan masih terdapat berbagai hambatan dalam meningkatkan kapasitas dan partisipasi perempuan yang selaras dengan Renstra 2011-2015. Hambatan dan tantangan bagi perwujudan PUG dalam kebijakan tersebut muncul dari pihak pemerintah maupun dari masyarakat. Hambatan di pemerintahan ialah adanya ketidaktersediaan data informasi terpilah berdasarkan jenis kelamin yang berkaitan dengan jumlah penduduk terlatih pada setiap dusun. Hal tersebut menghambat proses identifikasi kerentanan masyarakat berbasis gender. Peneliti berargumen bahwa hal tersebut karena para perumus kebijakan
18
menganggap bahwa PB terhadap laki-laki dan perempuan ialah sama (netral gender). Hal tersebut dapat disebabkan minimnya jumlah staf perempuan, sehingga mempengaruhi rendahnya kesadaran gender para perumus kebijakan di BPBD Kabupaten Sleman dalam menghasilkan kebijakan yang sensitif gender. Sementara itu hambatan dari masyarakat sekitar gunung Merapi, termasuk di Desa Kepuharjo, lebih kepada rendahnya kesadaran untuk berperan aktif dalam peningkatan kapasitas masyarakat. Rendahnya kesadaran para pembuat kebijakan dan masyarakat, masih disebabkan karena pengaruh nilai budaya patriarki masyarakat Jawa di sekitar gunung Merapi sehingga terbatas pada nilai budaya yang menghambat keikutsertaan dalam pembuatan dan implementasi program PRB dalam sistem PB.
1.7.
Metodologi Penelitian 1.7.1.
Fokus dan Lokasi Penelitian Penelitian difokuskan pada kebijakan Kabupaten Sleman dalam PB
berbasis gender yang tercantum dalam Renstra 2011-2015, khususnya pada peningkatan partisipasi perempuan dalam tahapan pra bencana dalam penaggulangan bencana BPBD Kabupaten Sleman pasca erupsi Merapi 2010 hingga akhir tahun 2014.
19
Lokasi penelitian ialah pada warga masyarakat di sekitar gunung Merapi di Desa Kepuharjo yang merupakan salah satu desa terparah dari dampak erupsi Merapi 2010. Wilayah tersebut menjadi sampel penelitian untuk mengetahui kerentanan, dan kapasitas masyarakat berbasis gender, pasca pemulihan bencana Merapi 2010. Aktivitas keilmuan peneliti untuk mengevaluasi secara berkala terhadap perspektif gender dalam kebijakan PB yang dilakukan BPBD Kabupaten Sleman, peneliti menggunakan kerangka penelitian lapangan (field research). Selanjutnya untuk menjelaskan hubungan kausalitas beberapa variabel dalam masalah penelitian, penelitian ini termasuk pada kategori explanatory research. Peneliti akan melakukan riset lapangan terkait implementasi program kerja yang dilakukan BPBD Kabupaten Sleman di masyarakat. Kemudian peneliti melanjutkan pada analisis untuk mengkolaborasikan strategi kebijakan, konsep, data dan fakta yang terjadi di lapangan berkaitan dengan kebijakan PRB BPBD Kabupaten Sleman), yang bertempat di Jalan Candi Gebang Beran Tridadi. 1.7.2. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh menggunakan teknik wawancara mendalam dengan sejumlah narasumber yang berkompeten dan dokumen terkait yaitu pihak BPBD Kabupaten Sleman, pihak dari kantor Kelurahan Desa Kepuharjo Kecamatan Cangkringan, serta beberapa perangkat desa dan masyarakat 20
Desa Kepuharjo. Data sekunder akan diperoleh melalui metode studi pustaka (library research) dari berbagai sumber seperti : buku, jurnal cetak, jurnal online, majalah, surat kabar. 1.7.3. Teknik Analisis Data Metode yang digunakan dalam menganalisis data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah metode analisis data kualitatif yang secara spesifik menggunakan tipe analisis komponensial, yaitu teknik yang digunakan dalam analisis kualitatif untuk menganalisis unsur-unsur yang memiliki hubungan kontras satu sama lain (Rachman, 2011). Arah analisis tersebut terbagi dalam tiga tahapan, yaitu pemaparan hasil observasi dan wawancara-wawancara, pemilihan hasil observasi dan wawancara, serta menemukan unsur-unsur kontras. Peneliti berupaya memperoleh data dari pihak-pihak terkait, baik berupa data fisik, maupun data hasil wawancara dengan pimpinan dan pegawai BPBD Kabupaten Sleman terkait penerapan kebijakan yang sejalan dengan strategi Renstra dalam peningkatan partisipasi perempuan masyarakat sekitar gunung Merapi. Kemudian data tersebut menjadi bahan untuk mengevaluasi dan memonitor penerapan Renstra melalui kebijakan BPBD Kabupaten Sleman di daerah rawan bencana erupsi Merapi, dengan studi kasus sampel di Desa Kepuharjo Cangkringan Sleman.
1.8.
Sistematika Penelitiaan 21
Pada bab pertama yaitu pendahuluan berisi tentang Latar Belakang, akan dijelaskan mengenai alasan penelitian dan problematika yang terjadi tentang PUG dalam sistem PB. Selanjutnya dirumuskan dalam Rumusan Masalah yang menjadi problematika penelitian. Dalam tinjauan pustaka, peneliti meninjau referensi yang memiliki kesamaan untuk menentukan posisi peneliti dalam pembuatan penelitian. Kemudian peneliti mencantumkan beberapa Kerangka Konseptual yaitu konsep gender, teori efektivitas kebijakan, riset Kajian Risiko Bencana mengenai keterkaitan antara risiko bencana, kerentanan, ancaman dan kapabilitas berbasis gender. Dalam argumen utama mengenai pembahasan hasil pengamatan sementara terkait implementasi integrasi gender dalam agenda PUG BPBD Kabupaten Sleman dalam upaya PRB, beserta argumen awal mengenai faktor penghambat implementasi tersebut. BPBD Kabupaten Sleman. Kemudian dalam Metode Penelitian, peneliti menggunakan metode kualitatif melalui studi literatur melalui obeservasi di lapangan dan wawancara untuk mengumpulkan data. Selanjutnya dalam sistematika penelitian berisi urutan konten penelitian. Pada bab kedua berisi tentang penjelasan secara umum mengenai PUG dalam sistem PB, yang dibagi menjadi dua sub pembahasan, sub-bab pertama penjelasan sekilas tentang peristiwa Merapi 2010 dan posisi dan peran perempuan pada saat bencana dan pasca bencana terjadi. Pada subbab ketiga, peneliti memaparkan perkembangan dan landasan hukum 22
sistem PB baik di tingkat global, nasional dan lokal daerah. Kemudian pada sub-bab terakhir dari bab ini, peneliti menekankan pada menjelaskan arti penting PUG dalam penangulangan bencana beserta landasan hukum. Selanjutnya pada bab ketiga menjelaskan tentang efektivitas Renstra dalam kebijakan BPBD Kabupaten Sleman di Desa Kepuharjo. Bab tersebut juga memaparkan profil BPBD Kabupaten Sleman, konten Renstra terkait upaya PUG, kemudian penjelasan implementasi kebijakan untuk menganalisis sejauh mana efektivitas strategi tersebut sejak dibentuk tahun 2011 hingga akhir tahun 2014 dengan menggunakan lensa gender dan komponen intervensi PUG. Selanjutnya dalam Bab keempat berisi tentang hambatan dari upaya PUG dalam PB. Yaitu menganalisis faktor hambatan pada efektivitas kebijakan BPBD dalam upaya PUG terhadap masyarakat, baik dari BPBD sebagai pembuat kebijakan maupun masyarakat sebagai sasaran kebijakan. Pada bab kelima terakhir peneliti dapat memberikan kesimpulan penelitian dan saran bagi efektivitas kebijakan PB berbasis gender.
23