BAB. I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Begitu petugas di kantor perijinan pusat Kupang mengetahui letak lokasi penelitian saya di Taman Nasional Komodo, Kabupaten Manggarai Barat (Labuhan Bajo), Nusa Tenggara Timur (NTT), mendadak ia mengaitkannya dengan pariwisata. Pemandangan yang indah, pantai yang eksotis, serta rumah bagi hewan komodo menjadi pokok kisahnya. Menurutnya kami beruntung, sebab dalam jenjang waktu penelitian bertepatan dengan puncak acara „Sail Komodo‟ yang diadakan pada 12 September 2013. Sebuah acara tahunan yang diselenggarakan sebagai “salah satu agenda pariwisata Indonesia yang bertujuan untuk menggalang keterpaduan dan sinergi program lintas kementerian/lembaga dalam rangka pelaksanaan pembangunan serta kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan”1. Cerita sail komodo terus saya dengar hingga di lokasi penelitian, Desa Pasir Panjang, Pulau Rinca, Labuhan Bajo. Kabar yang beredar, Sail komodo akan memacu tingkat ekonomi penduduk sekitar, sebab acara itu akan dihadiri banyak turis. Sebenarnya penduduk tak ambil pusing soal kabar tersebut, karena memang sumber ekonomi mereka bukan dari parwisata. Namun respon mereka berbeda, ketika tersiar kabar bahwa orang pulau (para penduduk yang bermukim di dalam kawasan) tidak boleh melintasi jalur menuju Labuan Bajo saat mendekati acara puncak Sail Komodo. Mereka menanggapinya dengan kecewa. Jalur tersebut adalah jalur distribusi jual-beli 1
http://www.sailkomodo.or.id/index.php?p=1&m=13044
ikan, sehingga bila harus menempuh jalan memutar, ongkos yang dikeluarkan tentu membengkak. Namun faktanya kabar itu hanya dasas-desus. 10 September 2013, dua hari sebelum puncak acara, saya ikut juragan Jauhari menjual delapan karung ikan kering di pasar Labuan Bajo dengan perahu motor miliknya. Sesampainya di teluk Labuhan Bajo, deretan kapal perang bersandar diantara kapal-kapal turis. Juragan Jauhari nampak biasa saja dengan keramaian ini. Justru ia was-was ketika melihat tumpukan puluhan karung ikan di pelataran pasar. Lokasi pasar yang tepat di sanding dermaga, membuatnya mampu memperhitungkan harga ikan bahkan sebelum perahunya bersandar sempurna. “Ah.. turun harga ikan!”, celetuknya. Bila stok ikan melimpah, harganya turun. Saat stok ikan kurang, harganya naik. Celakanya karena stok melimpah, uang penjulan delapan karung ikan dibayar menyicil, lantaran pengepul telah kehabisan uang untuk membayar puluhan karung ikan nelayan lain. Sementara Juragan Jauhari sibuk dengan urusan jual beli, saya naik ke darat menuju lapangan bola mendatangi pembukaan sail komodo. Acara itu dibuka oleh elit politik negri ini. Saat itu, Frans Lebu Raya, Gubernur NTT naik ke podium memberi sambutan. Dihadapan kerumunan orang, gubernur berkata, “Dulu orang bilang NTT adalah kepanjangan dari „Nasib Tak Tentu‟. Namun ada juga orang yang menghibur dengan berkata, NTT itu kepanjangan dari „Nanti Tuhan Tolong‟. Sekarang kita harus menepis semuanya karena NTT adalah „New Territory Tourism.” Pendengar tertawa, diteruskan gelegar tepuk tangan mereka. Setalah gubernur turun, Mentri Koordinator Bidang Ekonomi, Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Agung Laksono mendapat
giliran. Seolah meneruskan pidato Pak Gubernur, Menko Kesra berkata bahwa Labuan Bajo akan menjadi destinasi wisata dunia. Labuan Bajo menjadi pintu gerbang
wisata NTT lainnya: Larantuka, Alor, Kalimutu dan lainya. Kata Pak
Menko, pariwisata akan mendongkrak perekonomian rakyat NTT. Logika macam apa dibalik kebijakan yang dipandang akan meningkatkan daya ekonomi masyarakat ini? Nampaknya, para elit melandaskan logikanya dari asumsi yang sederhana: semakin banyak turis datang, semakin cepat pembangunan ekonomi. Logika ini terwakili dari ucapan Jusuf Kala saat ia menjadi duta Komodo: “…orang atau wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah, tentu membawa uang. Uang yang dibawa tersebut dibelanjakan di tempat di mana mereka berkunjung sehingga daerah yang dikunjungi mendapatkan banyak uang…” (Jakartapress.com). Logika itu serupa dengan yang tertera dalam “Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025” (MP3EI). MP3EI adalah agenda percepatan ekonomi yang dirancang oleh elit dengan cara membagi wilayah Indonesia dalam koridor-koridor ekonomi yang ditentukan berdasarkan potensi pada tiap-tiap daerah dan dikembangkan dari modal investor. NTT masuk dalam koridor Ekonomi yang bertema „Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional‟. Logikanya ketika modal investor meningkatkan kinerja industri pariwisata, bersamaan dengan itu ekonomi penduduk ikut meningkat. Status sebagai wilayah lindung, menguatkan wacana pariwisata sebagai pilihan paling tepat di taman nasional. Konsep wisata yang ditawarkan adalah ekowisata, yaitu “kunjungan ke kawasan alam untuk melihat dan menikmati
tumbuhan dan kehidupan satwa liar dengan dampak minimal pada lingkungan (TNK, 2000: 63). Ekowisata dianggap sebagai pemanfaatan “sumberdaya kawasan yang paling lestari” (ibid). Karena itulah sebisa mungkin konservasi menggiring masyarakat untuk terlibat dalam industri pariwisata. Dengan demikian masyarakat dapat keluar dari aktivitas ekonomi yang dianggap „tak lestari‟ dan masuk dalam aktivitas ekonomi „lestari‟. Sinkronisasi wilayah lindung dan pariwisata sebenarnya bukan hal baru. Sejak 30 tahun lalu, bersamaan dengan diresmikannya Taman Nasional Komodo pada tahun 1980 konsep ekowisata sudah dikembangkan. Pada tahun 1977 J.H Blower, A.PM Van der Zon, Yaya Mulayana, merumuskan rencana pengelolaan (Management plan) 1978-1983 di bawah naungan United Nations, dan diajukan kepada Direktorat Jenderal Kehutanan Republik Indonesia sebagai landasan ilmiah mendirikan Taman Nasional Komodo. Isinya tentang perlindungan komodo dan habitatnya dari ancaman kerusakan; mendorong kemajuan sosial-ekonomi masyarakat sekitar kawasan melalui pariwisata, dan bekerja sebagai “guards, guides, boatmen, labourers, hotel workers, and possibly the manufacture of handicrafts (Blower dkk, 1977: 37). Setelah 30 tahun lebih pariwisata masih menjadi unsur penting dalam pengelolaan kawasan lindung. Hal ini terlihat jelas dalam susunan Rencana Strategis (renstra) Balai TNK tahun 2010-2014, yang memegang visi “Menjadi Destinasi Wisata yang Mandiri Pada tahun 2015” (TNK, 2010). Melalui renstra itu diharapkan pertentangan antara masyarakat dan konservasi dapat teratasi; menunjang kepentingan ekonomi nasional yang dapat dilihat dari Pendapatan Domestik Bruto
(PDB); serta dapat meningkatkan devisa negara (Taman Nasional Komodo, 2010: 29). Artinya persoalan taman nasional bukan sekedar menjalankan pengelolaan dan mengatur kawasan. Kepentingan ekonomi, baik lokal dan nasional turut hadir di dalamnya. Tidak mengherankan ketika elit negara dalam pembukaan Sail Komodo menekankan pentingnya pembangunan pariwisata di Taman Nasional. Tesis ini akan membahas persoalan silang sengkarut konservasi, politik ekonomi dan dinamika sosial-ekonomi masyarakat lokal. Masyarakat lokal yang sebagian besar adalah nelayan, dirubah perlahan supaya terlibat dalam industri pariwisata. Sudah lewat puluhan tahun sejak rencana itu dicetuskan, belum terlihat hasilnya. Menurut alur logika yang diamini selama ini, pariwisata akan menyejahterkan masyarakat sekaligus akan mengubah mereka terlibat dalam ekonomi „lestari‟ (pariwisata). Namun kenyataannya hal itu tidak terjadi. Pada tesis ini saya akan mencoba menelusuri, kondisi sosial dan ekonomi seperti apa yang sebenarnya terjadi di Taman Nasional Komodo.
B. STUDI PUSTAKA Kajian tentang nelayan sering disandingkan dengan asumsi sumberdaya milik bersama. Lantas apa jadinya bila nelayan ternyata hidup di wilayah yang penuh aturan? Wilayah itu bernama Taman Nasional. Sebuah wilayah yang diciptakan, dengan aturan yang tegas untuk menjaga kelestarian lingkungan. Di sini letak studi saya, melihat dinamika sosial ekonomi nelayan di dalam taman nasional yang penuh aturan. Latar belakang ini saya jadikan titik tolak untuk menelusuri arus pustaka.
Tulisan ini tidak berangkat dari asumsi sumberdaya milik bersama. Dalam suatu wilayah tertentu, komunitas nelayan kadang dihadapkan dengan laut yang bukan „milik bersama‟. Wilayah konservasi yang mengemban tugas pengawetan lingkungan. Arus umum kajian nelayan, mengasumsikan bahwa nelayan memanfaatkan sumberdaya yang bersifat milik bersama (Common Property) (Lihat, Bailey, 1997; Fauzi dan Anna; 2005, Fauzi, 2005; Gordon, 1954; Rogoffs, 2009; Sawit, 1988; Semedi, 2003). Laut dipandang sebagai wilayah milik umum yang bebas diakses semua orang. Konsekuensi logisnya penelitian nelayan selalu membahas persoalan yang sama. Jerat kemiskinan, moderenisasi alat tangkap, kelebihan tangkap (over fishing), mobilisasi politik, dan agenda percepatan kesejahteraan nelayan adalah kajian mengenai masyarakat nelayan yang terus berulang (lihat, Lampe, 2010; Sawit, 1988; Semedi, 1998; 2005; Bailey, 1997; Kusnadi, 2003; 2007; Najib, 2013; Badaruddin dan Subhilhar, 2005; Satria, 2005; Siswanto, 2008; Hanif, 2001). Penelitian semacam itu sering kali terjebak pada analisis relasi stok sumberdaya dengan konteks sosial-ekonomi nelayan. Kesimpulan penelitian-penelitian itu selalu mengarah pada kerusakan lingkungan dan kemiskinan. Dan alpa untuk memeriksa bagaimana intervensi pasar dan negara terhadap nelayan itu sendiri. Kajian sumberdaya milik bersama menjadi penting setelah Garrett Hardin (1968) menulis artikel “Tragedy Of The Commons”. Dalam artikel tersebut Hardin melihat bahwa secara rasional setiap orang akan terus mengekstraksi sumberdaya milik bersama (Common Property), namun tidak ada kesadaran untuk memeliharanya
seperti merawat barang miliknya sendiri. Keadaan macam ini berubah tragedi ketika populasi manusia yang mengakses sumberdaya tersebut meningkat. Dalam artikel lainnya, Hardin mengatakan ada dua solusi atas masalah milik bersama, yaitu menciptakan privatisasi dan campur tangan negara untuk mengkontrol sumberdaya (1978; dalam Fanny et all, 1990). Teori Hardin ini menjadi luar bisa tenar dikalangan enviromentalis, pembuat kebijakan, ekonom, ilmu ekologi dan ilmu politik (Fenny et al, 1990: 2) sebagai respon terhadap ancaman kerusakan lingkungan untuk kemudian merancang manajemen kebijakan atasnya (Adhuri, 2013: 8). Pandangan Hardin menyimpan asumsi bahwa suatu komunitas tidak memiliki manajemen dalam mengolala sumberdaya mereka. McCay dan Acheson (1987) mengatakan ada tiga asumsi kunci dibalik „The Tragedy of The Common‟: “(1) Common Property means free and open accses; (2) maximizing self-interest is the logic driving resource use; and (3) no social norms function to regulate individual behaviours.” (dalam Adhuri, 2013: 9). Bukti antropologis menunjukan asumsi tersebut ternyata tidak sepenuhnya berlaku. Berbagai komunitas nelayan di penjuru dunia memiliki aturan-aturan dalam mengelola sumberdaya lautnya yang tidak semata-mata digerakan oleh kepentingan diri sendiri (Durrenberger and Palson, 1987: 508-509). Melalui argumen tersebut bukan berarti ada usaha menutup mata atas fakta tragedy of the common dalam dunia kelautan. Banyak kajian memperlihatkan terjadinya penipisan sumberdaya laut (lihat Bailey, 1997; Semedi, 2001; 2005). Persoalan disini adalah, gagasan Hardin sering kali dianggap berlaku umum di
penjuru dunia. Padahal secara kontekstual lokal setiap komunitas memiliki manajemen tentang sumberdayanya masing-masing (Sharma, 2001). Dengan demikian, sumberdaya laut tidak bisa dilihat semata-mata sebagai wilayah bebas akses. Menanggapi hal tersebut, Feeny at all (1990: 4) menyimpulkan sebenarnya ada empat konsep kepemilikan (property) sumber daya alam; akses terbuka (open access), milik pribadi (private property), milik komunal (communal property) dan milik negara (state property). Pertama adalah akses terbuka, artinya ada sumberdaya dalam wilayah tertentu yang tidak berpemilik dan tidak pula diatur oleh undangundang, sehingga wilayah tersebut bebas diakses setiap orang. Contohnya adalah sumberdaya perikanan di lepas pantai sebelum abad dua puluh atau atmosfir di muka bumi. Kedua rezim milik pribadi, yang bersifat eksklusif. Pengertian ini mengarah pada kepemilikan hak melarang (exclude) orang lain untuk menggunakan sumberdaya yang dimiliki, serta hak untuk mengatur penggunaan sumberdaya yang dikelola oleh individu atau korporasi. Ketiga adalah milik komunal, yaitu kepemilikan yang mengacu pada pengertian bahwa suatu sumberdaya merupakan milik suatu komunitas tertentu. Komunitas ini pada dasarnya melarang komunitas lain untuk mengakses sumberdaya di dalam wilayahnya (lihat Adhuri, 2013). Keempat adalah milik negara, pengertian ini mengarah pada kepemilikan dimana masyarakat (sebagai warga negara) memiliki akses dan hak pakai yang setara. Misalnya jalan raya atau taman publik. Rezim hak negara ini berbeda dengan rezim hak lainnya, secara umum negara
memiliki sifat kekuasaa koorsif untuk mengambil dan mengelola suatu wilayah. (Fenny at all, 1990: 4-5). Dari paparan di atas terlihat bahwa hak milik negara (state property) sesuai dengan tema tesis ini. Taman nasional, adalah wilayah lindung yang berbasis hukum. Di Indonesia, konservasi berada dibawah tameng Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Untuk menjalankan konservasi diperlukan suatu wilayah geografis, yang pengelolaannya diatur secara legal oleh undang-undang. Ketika suatu kawasan resmi menyandang „gelar‟ konservasi, wilayah tersebut mutlak menjadi state property. Pada wilayah ini tidak tepat bila hanya merujuk pada pemahaman „milik bersama‟ yang setiap orang bisa mengaksesnya kapan saja dan di mana saja. Nelayan di pulau Rinca menghadapi sumber daya yang bukan merupakan „milik bersama‟. Nelayan Rinca hidup di dalam kawasan Taman Nasional, yang penuh aturan konservasi.
C. MASALAH STUDI Muncul pertanyaan dari latar belakang dan studi pustaka di atas. Mengapa nelayan di taman Nasional Komodo tetap ada di tengah masifnya ekonomi baru dan tekan aturan proteksi lingkungan? Mereka hidup di wilayah lindung, di mana aktivitas nelayan bertolak belakang dengan aturan proteks lingkungan. Nelayan melakukan ekstrasi sumberdaya secara langsung, sedangkan konservasi berusaha menjaga lingkungan dari campur tangan manusia. Mengatasi ini, taman nasional memperkenalkan pariwisata sebagai ekonomi alternative mengganti aktivitas
ekonomi lama. Kenyataannya hingga sekarang hasilnya belum maksimal padahal rancangan tersebut sudah dimulai puluhan tahun lalu. Mereka tetap bekerja sebagai nelayan. Seorang nelayan berkata, “kalau tidak melaut kami harus kerja apa?” ucapan itu menyatakan seolah tidak ada pilihan lain selain nelayan. Menelusuri persoalan ini pertama saya akan melihat gagasan apa yang ada dibalik pembentukan Taman Nasional? Bagaimana bentuk perubahan sosial-ekonomi ketika taman nasional menetapkan aturannya terhadap Nelayan di Pulau Rinca? Lantas faktor apa yang menjadikan kerja nelayan tetap bertahan di taman nasional?
D. KERANGKA PEMIKIRAN State property merupakan „hak‟ atas wilayah yang dikukuhkan melalui teritorialisasi. Kata Peluso dan Lund, “Territorialization is a claim; not always a state claim but a collaborative claim” (2011: 673). Dapat juga dibilang, teritorialisasi adalah mekanisme pembatasan akses karena adanya klaim. Penciptaan teritorialisasi dilakukan melalui ambil-alih wilayah yang seringakali dibahas melalui konsepkonsep seperti, ongoing process of primitive accumulation (De Angelis, 2001; 2004), accumulation by dispossession
(Harvey, 2003), enclosure (Akram-Lodhi, 2007;
White et al, 2012 ), land grabbing (Daniel dan Mittal, 2009; Ojeda, 2012). Konsepkonsep tersebut memang menjelaskan perbedaan pola dan aktor yang bermain dalam ambil alih wilayah, namun inti penjelasan analisis tersebut merupakan kajian tentang mekanisme kontrol atas tanah (land control) (Peluso dan Lund, 2011). Kontrol
merupakan syarat penting dalam menegaskan kepemilikan atas suatu wilayah, sebab melalui kontrol regulasi dapat diciptakan. Bagaimanapun juga konservasi memerlukan ruang geografis. Untuk itu diperlukan mekanisme ambil alih wilayah, kemudian melakukan kontrol atas wilayah tersebut. Tepat pada titik ini, saya tidak melihat konservasi semata sebagai wilayah untuk menjaga kelestarian lingkungan, melainkan juga wilayah yang dapat memproduksi kapital (Smith, 2008; Harvey, 2003). Penekanan saya dalam tesis ini adalah diperlukan kontrol atas suatu wilayah geografis, sebagai basis terciptanya sirkulasi kapital baru. Di wilayah macam ini konteks sosial ekonomi nelayan di pulau Rinca mendapat ruang Menanggapi hubungan konservasi dan sirkulasi kapital, Igoe dan Brockington (2007) merumuskan apa yang disebut dengan konservasi neoliberal. Menurut mereka “neoliberal conservation […] as the commodification and control of nature through regulation and collaboration of state, non-governmental organizations which often work to exclude local populations or profoundly change the way rural people live their lives” (dalam Kelly, 2011:687). Terjadi komodifikasi lingkungan dan kontrol atasnya dipegang oleh pemilik kuasa yaitu negara dan NGO lingkungan. Bila ada kontrol atas komoditas, maka orang yang dapat mengaksesnya hanyalah mereka yang memiliki kemampuan untuk mendapatkannya dan disokong oleh jejaring kekuasaan (Ribot dan Peluso 2003). Dalam skema tersebut, komoditas adalah entitas penting. Dia adalah barang yang diciptakan dan dijual belikan dalam sistem pasar. Karena adanya komoditas, akumulasi kapital dimungkinkan.
Lantas apa yang menjadi komoditas dalam wilayah konservasi? Jawabannya adalah alam2 (nature) itu sendiri. Namun apakah alam itu adalah sebuah barang? Apakah dia adalah barang yang diproduksi untuk dijual? Dalam sirkulasi pasar, komoditas bukan sesuatu yang diciptakan. Dia menjadi komoditas lantaran ada transaksi jual beli. Dalam kalimat Nevins dan Peluso “nothing is intrinsically a commodity; production for sale on the market is made things commodities” (2008: 14). Lantas bagaimana dengan „nature‟3? Karl Polanyi (2001) pernah menjawabnya melalui konsep komoditas fiktif4. Menurutnya semua element yang menjadi bagian dalam sistem pasar (termasuk manusia, tanah dan uang) harus dijadikan komoditas. Fokus analisisnya bukan pada komoditi itu sendiri, melainkan dari sistem pasar yang memaksa sesuatu untuk dijadikan komoditas. Proses penciptaan komoditas dalam era neoliberal terus berlangsung. Selalu ada aktor yang menciptakan komoditas fiktif baru (Nevins dan Peluso, 2008), untuk dilepas pada sirkulasi kapital. Bila mengikuti pandangan Polanyi maka „nature‟ juga dapat dilihat sebagai komoditas fiktif ini. Dia bukan barang ciptaan manusia namun menjadi komoditas yang laku dijual. Lantas apa prasyarat supaya sesuatu menjadi 2
Alam disini saya maksudkan adalah suatu wilayah ekosistem yang memiliki keanekaragaman hanyati yang konpleks, dan ditetapkan oleh negara sebagai kawasan lindung. 3 Pada dasarnya ‘nature’ sebagai komoditas bukan hal yang baru. Nature disini mimiliki makna yang baru, bukan sebagai sumberdaya alam untuk eksploitasi, melainkan sebagai ekosistem yang harus dijaga keuutuhannya. Kemunculan dimulai ketika istilah ‘environment’ menjadi kategori penting dalam perdebetan ilmiah maupun kajian strategis. Nevins dan Peluso menjelaskan “The commoditization of nature has taken place since the commoditization of land and agriculture— processes that can be traced back at least to the Romans (Williams 1973). But “Nature” became a new category in the second half of the twentieth century (Soper 1995), its definition changing in part because of the rising importance of “the environment” as an important category of sciene, institutions, law and activism” (2008: 18) 4 Ada tiga komoditi fiktif menurut Polanyi: Manusia, tanah dan Uang.
komoditas? Menurut Nevins dan Peluso (2008) “commoditization involves the establishment or recognition of some kinds of property right[..]” (ibid). Komodifikasi membutuhkan „suatu jenis hak milik‟. Pola ini terlihat betul dalam penciptaan konservasi. Wilayah konservasi adalah „state property‟. Ketika suatu wilayah diklaim hak kepemilikannya, akan muncul peluang mendapatkan akses dan kontrol atas seluruh bagian dalam teritori yang dikuasai, termasuk pula manusia di dalamnya (Nevins dan Peluso, 2008: 18). Syarat menciptakan komoditas adalah penegasan atas hak milik. Hak tersebut didapat melalui mekanisme ambil alih lahan yang dilegalkan oleh kekuasaan. Ambil alih lahan biasanya dilakukan melalui kesepakatan, namun tidak sedikit melalui pemaksaan dan kesewenangan yang dilegalkan atas nama sebuah kepentingan. Itu semua diperlukan untuk mendapatkan kontrol atas suatu wilayah. Pada titik ini saya setuju pada konsepsi Alice B. Kelly (2011) yang melihat pembentukan konservasi sebagai aksi akumulasi primitif. Baginya analisis tentang ambil alih wilayah, perubahan sosial, perampasan hak dan kekerasan yang dipakai ilmuan sosial untuk melihat persoalan konservasi terumuskan dalam konsep akumulasi primitif. Kata Kelly: “… using primitive accumulation as an analytical tool to look at the creation of protected areas links these important groups of literature together to give a rich political-economic understanding of the explanatory, and often hegemonic, naratives which lead to the enclosure of the commons throught fortress conservation. […] concept of primitife accumulation helps us see the “whole story” as it engages with the narratives surrounding acts of enclosure (in sociocultural, physical an economic terms) as well as its social and economic effects both for those displaced and those accumulating. Understanding the
creation of protected areas as a form of primitive accumulation situates theses processes in the ongoing and unfinishes project of capitalism.” (Kelly, 2011: 695) Konsep tersebut saya pakai sebagai alat melihat bagaimana proses „ambilalih‟ terjadi, dan juga bagaimana dampaknya. Meski demikian saya tak sepakat bulat dengannya. Konsep tersebut seolah-olah tidak melihat ada proses negosiasi di tingkat lokal antara masyarakat dengan kekuatan yang memiliki kemampuan ambil alih wilayah. Dengan konsep ini, realitas sosial dilihat sebagai relasi satu arah yang bersifat memaksa, Padahal dalam realitas, negosiasi selalu ada. Akumulasi primitif adalah pemikiran Karl Marx tentang bagaimana mode produksi kapitalisme tercipta. Menurut Marx (1867/2004) akumulasi primitif adalah suatu titik awal dalam proses historis yang menciptakan mode produksi kapitalis. Pada proses ini terjadi perampasan dan pengingkaran hak-hak masyarakat atas tanah oleh penguasa (enclosure), yang kemudian menciptakan pemisahan (separation) masyarakat dari alat-alat produksi. Lantas orang yang diambil tanahnya menjadi kelas pekerja karena telah kehilangan (dipisahkan dengan) alat produksinya (Marx, 2004: 798). Dengan kata lain, proses ambil alih wilayah adalah prakondisi untuk menciptakan relasi produksi kapitalis. Definisi itu tidak dipakai mentah-mentah oleh Kelly (2011). Dalam artikelnya ia mendefinisakan ulang akumulasi primitif sebagai “1) [..] an ongoing process with varying time frames rather than a static moment in history, 2) primitive accumulation as not only a change in economic mechanisms, but as a change in social relations and practices and 3) primitive accumulation as a violent act.” (2011: 685). Dengan
demikian Kelly ingin memperlihatkan bahwa akumulasi primitif bukan sebagai proses sejarah yang terjadi pada sekali waktu5, kasus ini sebenarnya terjadi hingga sekarang dengan berbagai cara yang berbeda namun polanya serupa. Akumulasi primitif tidak hanya mengubah mekanisme ekonomi, tapi juga mengubah praktik dan relasi sosial. Selain itu akumulasi primitif merupakan aksi kekerasan karena mengambil paksa ruang hidup masyarakat tempatan. Fokus utamanya adalah, akumulasi primitif mengubah pola ekonomi, relasi, serta praktek sosial. Penjelasan polanya sama dengan definisi asli dari Marx, akumulasi primitif sebagai prakondisi terciptanya masyarakat kapitalisme. Dalam proses itu terjadi pemagaran (enclosure) atas suatu wilayah yang sebenarnya dimiliki oleh banyak orang, dengan cara-cara pemaksaan baik secara langsung maupun dalam diam. Mereka tak boleh lagi beraktifitas di kawasan tersebut, karena telah terjadi privatisasi. Lantaran
tidak bisa mengelola lahan, orang yang hidup di wilayah
tersebut harus menjual tenaga kerjanya untuk tetap dapat bertahan hidup dengan upah. Pada titik ini relasi kapitalisme terjadi; ketika orang-orang yang kehilangan lahan menjual tenaga kerjanya pada pemilik alat produksi. Tenaga kerja dituntut kerja untuk menghasilkan komoditi. Komoditi dijual; sebagian kecil hasilnya menjadi upah pekerja dan sebagian besar untuk pemilik alat produksi (si kapitalis). Bagaimana pola itu terjadi dalam industri pariwisata? Padahal komoditas yang dijual bukan barang produksi karya manusia. Komoditas dalam
5
Statemen tentang sifat keberulangan (ongoing process) akumulasi priitif ini bukan ide baru. lihat De Angelis, 2001; 2004; Harvey, 2003.
taman nasional memang bukan karya dari tenaga kerja, melainkan diciptakan melalui mekanisme kontrol yang menyediakan pasar untuk komoditi tersebut. Dengan demikian tenaga kerja dalam industri pariwisata adalah mereka yang menjual jasa supaya tatanan pasar pariwisata tetap ada. Hingga akhirnya, persis seperti kata Kelly, terjadi perubahan pola ekonomi, relasi serta praktek sosial. Lantas bagaimana penjelasan tentang privatisasi dalam konservasi? Bukankah konservasi adalah milik publik? (Kelly, 2011:687). Pada dasarnya taman nasional diciptakan untuk kepentingan publik, untuk melindungi orang banyak dari ancaman kerusakan lingkungan. Konservasi menjadi milik publik, dibawah kuasa negara (state property). Namun kembali lagi dengan pemikiran awal di atas: syarat untuk menciptakan komoditas dalam era neoliberal adalah dilibatkannya “some kinds of property right”. Property milik negara adalah jenis hak milik tersebut. Negara mengontrol dengan merancang regulasi atas wilayah konservasi. Berbarengan dengan kontrol dan regulasi ini, proses penciptaan komoditas terjadi. Regulasi yang dihadirkan oleh negara melalui konservasi mendukung atas penciptaan „nature‟ sebagai komoditas. Dengan adanya komoditas maka terciptalah sebuah pasar yang disokong oleh banyak aktor dibalik bayang-bayang kapitalime global: agen perjalanan, pemilik hotel, pengusaha, bahkan negara dengan berbagai macam kebijakan ekonominya. Pasar untuk komoditas ini adalah ekowisata. Ekowisata merupakan konsep tentang wisata yang dijalankan dengan semangat cinta lingkungan. Komoditas yang dijual dalam pasar ekowisata bersifat non-material, seperti penyediaan jasa, pemandangan, dan kepuasaan (Buscher dan
Fletcher, 2014). Menggambarkan kondisi ini Kelly mengutip West et al, bahwa “keanekaragaman hayati dan alam menjadi komoditas dan masyarakat yang tinggal di sana menjadi buruhnya” (Kelly, 2011: 688). Mode produksi lama mereka dibatasi agar tidak merusak wilayah konservasi. Kemudian pola produksi mereka berubah mengikuti pasar yang sedang berkembang di sekitar taman nasional. Dari sudut pandang konservasi, hal ini dilihat sebagai perubahan pola aktivitas ekonomi yang merusak menuju lestari. Kelly juga menekankan bahwa primitive accumulation as a violent act. Dalam konteks konservasi kasus ini adalah ambil paksa suatu wilayah atas nama pelestarian lingkungan. Masalahnya adalah, terdapat manusia yang terintegrasi dengan lingkungannya di wilayah diambil alih. Lantas dengan seperangkat alat hukum, wilayah tersebut ditetapkan sebagai wilayah konservasi lengkap dengan peraturan tegas. Alhasil masyarakat yang dahulu memanfaatkan lingkungan sekitar dibatasi geraknya dengan alasan agar tak merusak lingkungan. Gerak hidup manusia di wilayah konservasi semakin sempit. Pada titik ini kemudian tercipta apa yang dikatakan Marx “industrial reserve army” (Kelly, 2011: 686). Masyarakat yang menjadi cadangan tenaga kerja suatu industri. Saya tidak menelan konsep ini bulat-bulat. Kelly menganggap bahwa masyarakat dalam taman nasional akan menjadi cadangan tenaga kerja bagi industri pariwisata. Ternyata tidak demikian yang terjadi pada masyarakat di Taman Nasional Komodo. Mereka tetap menjadi nelayan, meski Taman Nasional Komodo telah resmi berdiri 30 tahun lebih lamanya (didirikan tahun 1980). Mengapa demikian? Jawaban
ini merupakan fokus dari penelitian ini. Menggunakan konsep akumulasi primitif, membantu saya untuk melihat bagaimana ambil-alih lahan terjadi, dan apa dampaknya. Proses ini, secara bersamaan mendorong terciptanya komoditas baru, yaitu alam. Namun tentu saja mereka tidak begitu saja menjadi cadangan tenaga kerja bagi industri pariwisata. Kekeliruan ini menurut saya karena para pemikir politik ekonomi dan ekologi, melandaskan pemikirannya pada relasi satu arah yang bersifat memaksa untuk melihat dinimika sosial, politik, dan ekonomi dalam wilayah konservasi (lihat Erb, 2001; Fletcher 2010; Kelly, 2011; Ojeda, 2012; Young, 1999). Mereka tidak melihat bahwa ada ruang negosiasi antara masyarakat lokal dengan aktor-aktor yang berperan di taman nasional. Ketika enclosure terjadi, masyarakat di dalam kawasan tidak begitu saja kehilangan haknya, sebab ruang negosiasi terus ada. Dengan menggunakan „negosiasi‟ dalam tulisan ini, saya tidak menyangkal bahwa nelayan mulai masuk dalam lingkaran pasar pariwisata. Artinya ada tarik menarik antara ekowisata dengan kerja nelayan. Mereka tetap mempertahankan kerja nelayan, tanpa menuntup kemungkinan melebur dalam industri pariwisata. Mayarakat di dalam Taman Nasional Komodo sangat kompleks. Tidak mungkin saya menyangkal bahwa telah terjadi proses ambil alih tanah untuk konservasi; proses komodifikasi „nature‟ sebagai syarat mutlak untuk memungkinkan pertukaran dalam pasar; ada pula proses pengaturan yang perlahan memisahkan manusia dengan alat produksinya. Secara konseptual, bila mengikuti skema itu, akan terjadi perubahan pola ekonomi ekstraksi langsung menjadi ekonomi jasa
(pariwisata). Tapi kenyataannya, sebagian besar masyarakat tetap menggantung hidupnya sebagai nelayan. Ada kejanggalan teoritis di sini. Taman Nasional Komodo menjadi arena kontestasi berbagai macam kepentingan. Konteks sosial-historis yang ada menambah sengkarut dalam ruang itu. Maka untuk menyelidiki dinamika sosial nelayan Rinca harus dengan cara membenturkan ekonomi-politik dengan konteks sosial-historis lokal nelayan Pulau Rinca. Melaui cara itu akan memberi dua kuntungan, pertama akan terlihat bagaimana proses perubahan sosial yang disesuaikan dengan konteks ekonomi-politik yang lebih luas. Kedua akan terlihat mengapa konsep yang ditawarkan Kelly dengan melihat konservasi sebagai akumulasi primitif tidak sepenuhnya tepat. Dengan cara itu terlihat bahwa hubungan-hubungan antara konteks lokal dan struktur ekonomipolitik
selalu
dinegosiasikan.
Masyarakat
membuat
keputusan
berdasarkan
pengalaman; pengalaman historis mereka atas lingkungan dan gagasan-gagasan yang ada dalam ruang taman nasional.
E. Metode Penelitian dan Analisis Pada bagian ini akan diceritakan bagaimana data lapangan didapat serta bagaimana menganalisisnya. Penelitian dilakukan pada Juni hingga Agustus 2013 di Pulua Rinca, Taman Nasional Komodo. Di pulau Rinca saya tinggal di Pos Taman Nasional bersama empat orang polhut yang bergantian jaga dalam selang 10 hari sekali. Pos itu berada tepat di tengah desa, sehingga memudahkan untuk mengenali
kondisi pemukiman. Observasi partisipasi dilakukan untuk mengumpulkan data. Saya menghabiskan waktu dengan mengikuti aktivitas nelayan, dari memancing, jaring atau cari teripang. Bertanya banyak hal kepada pengepul ikan, juragan kapal, hingga anak buah kapal. Bila tidak ada kegiatan, saya berjalan-jalan keliling desa, mampir ke rumah kenalan; ngobrol dengan nelayan yang kebetulan berpapasan di jalan; atau bercerita tentang apa saja di pos kepada polisi hutan atau warga. Setiap hari saya sempatkan mencatat apa yang dilihat dan dengar sebagai data lapangan. Namun demikian tidak jarang pula seharian penuh saya hanya berdiam di dalam pos, sebab kehabisan ide untuk menentukan harus berbuat apa. Saya mencoba masuk dan merasakan bagaimana hidup menjadi nelayan di tengah-tengah wilayah Taman Nasional Komodo. Saya berusaha membangun relasi kepada semua kalangan. Dari Polisi hutan yang bertugas di Pos Rinca hingga Masyarakat Mitra POLHUT (MMP). Dari pemuda hingga orang tua. Dari nelayan buruh, hingga juragan pemilik kapal. Dari masyarakat biasa hingga para pemegang kuasa pemerintahan desa dan para haji. Saya mencoba ikut dalam setiap proses „ritual‟ yang ada dalam masyarakat Rinca. Datang ke acara pernikahan, perpisahan anak yang akan kuliah, bahkan acara kematian. Kegiatan itu penting dilakukan agar melebur menjadi bagian dari masyarakat. Harapannya ketika hubungan peneliti dan tineliti telah cair, maka akses pertukaran informasi akan mengalir begitu saja. Pencarian data juga dilakukan di ruang publik; warung tempat berkumpul nelayan, di lapangan bola; di sumber air tempat mandi dan mencuci; di dermaga kapal tempat orang-orang berkumpul untuk sekedar mengobrol, atau sibuk dengan
telfon genggam mereka masing-masing. Lokasi macam itu adalah tempat pertukaran informasi dan wacana. Awalnya ada kesulitan mendapat informasi karena keterbatasan bahasa. Namun perlahan saya belajar bahasa Bajo. Meskipun pasif, namun saya sedikit mengerti tentang apa yang sedang dibicarakan. Oleh sebab itu untuk meyakinkan apa yang didengar, dibutuhkan klarifikasi dengan bertanya pada salah seorang warga yang sangat saya kenal. Wawancara mendalam dilakukan pada informan kunci yang mengerti seluk beluk mengenai kehidupan nelayan dan Taman Nasional. Wawancara juga dilakukan dengan orang tua berumur diatas 60 tahun, menanyakan kondisi Pulau Rinca tempo dulu. Pemilihan informan dilakukan dengan meminjam pengetahuan orang lokal, yang mengarahkan saya kepada beberapa orang tua yang dapat diajak bicara dan mengerti kondisi sosial masa lalu. Bagi saya cara ini efektif ketika berhadapan dengan kendala waktu yang singkat dan keterbatasan bahasa lokal. Saya mendatangi Balai Taman Nasional Komodo (BTNK) berburu informasi tambahan serta mengoreksi pandangan masyarakat terhadap taman nasional. Menanyakannya kepada salah seorang petinggi yang benar-benar saya kenal baik. Di BTNK wawancara juga dilakukan untuk mendapat informasi tambahan. Pihak taman nasional selalu terbuka, membiarkan mengakses data untuk penelitian. Dokumentasi yang rapi mempermudah mendapatkan data yang diperlukan, misalnya statistik jumlah pengunjung, serta pendapatan dari wisatawan yang datang. Data yang terkumpul kemudian diklasifikasi sesuai tema penelitian. Berlembar-lembar halaman data harian itu tidak seluruhnya terpakai. Dalam proses
menulis, muncul masalah saat menyesuaikan konsep dengan temuan apa yang ada di lapangan. Ada kejanggalan ketika membandingkan diskusi dalam tataran teoritis dan fakta di lapangan. Dalam beberapa literature dijelaskan soal masyarakat lokal yang terhempas karena pembangunan taman nasional dan pariwisata. Mereka tersingkir oleh kekuasaan atas nama lingkungan. Negara keras pada orang lokal namun jinak pada kapital di wilayah konservasi. Kenyataan di lapangan tak demikian, bahkan orang lokal bilang bahwa mereka hidup senang dengan taman nasional. Karena ada taman nasional, ikan di perairan komodo utuh. Tidak seperti di perairan lain, yang hancur karena penggunaan bom atau sianida. Selain itu, karena taman nasional mereka mendapat harapan ekonomi baru dari pariwisata Analisis dilakukan dengan cara mengaitkan data dalam bingkai dialektis. Konsekuensinya, konstruksi sejarah harus dilakukan. Saya melakukannya dengan menyusun ingatan-ingatan informan akan masa lalu6. Proses sejarah itu, menjadi jalan masuk untuk melihat relasi sosial; serta bagaimana relasi manusia dengan lingkungannya yang terus berubah. Dari sana terlihat terjadi negosiasi terus menerus dalam sejarah pembangunan konservasi. Negosiasi ini memberi peluang bagai masyarakat lokal agar bertahan di taman nasional. Pengalaman kesejarahan ini membentuk persepsi mereka akan kehidupan di taman nasional. Persepsi ini berguna untuk menjawab pertanyaan dalam tesis ini mengapa mereka tetap memilih menjadi
6
Kelemahan sejarah lisan adalah kaburnya akurasi waktu. Penentuan kapan sebuah kejadian berlangsung, ditandai dengan fenomena tertentu.
nelayan? Padahal mereka hidup dibawah tekanan industri wisata dan aturan ketat di wilayah protected area. Asumsinya, persepsi dibangun berdasarkan dialeketika relasi sosial, ekonomi, politik dan relasi manusia dengan lingkungannya. Relasi ini tidak hanya terjadi dalam lingkup pulau Rinca tapi juga secara global. Bagaimanapun juga konservasi bukan produk lokal, dia diterapkan secara paksa di suatu wilayah yang secara historis tidak mengenal konsep konservasi ala rezim ahli lingkungan. Lebih jauh lagi usaha proteksi lingkungan ini, didukung oleh kapital global yang masuk melalui „jalan tol‟ berwujud undang-undang negara. Saya membayangkan relasi global dan lokal ini, secara kultural akan mempengaruhi pandangan mereka terhadap alam tempat mereka bernaung. Relasi-relasi ini akan menciptakan persepsi. Dari persepsi inilah dapat dijelaskan bagaimana suatu komunitas menilai dirinya sehingga menuntunnya dalam sebuah keputusan. Dengan cara analisis macam ini saya akan menjawab pertanyaan penelitian yang telah diajukan.