1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Hutan mangrove ditemukan tumbuh disepanjang pantai-pantai yang
terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat tidak memungkinkan terjadinya pengendapan sedimen yang diperlukan sebagai substrat bagi tumbuhnya mangrove ini (Snedaker, et al,1985; Nontji, 1987). Hutan mangrove memberikan kontribusi besar terhadap detritus organik yang sangat penting sebagai sumber makanan bagi biota yang hidup di perairan sekitarnya. Gastropoda pada hutan mangrove berperan penting dalam proses dekomposisi serasah dan mineralisasi materi organik terutama yang bersifat herbivor dan detrivor. Dengan kata lain Gastropoda berkedudukan sebagai dekomposer awal yang bekerja dengan cara mencacah-cacah daun-daun menjadi bagian-bagian kecil kemudian akan dilanjutkan oleh organisme yang lebih kecil yaitu mikroorganisme (Arief, 2003). Menurut Dharma (1988), Gastropoda umumnya hidup di laut tetapi ada sebagian yang hidup di darat. Gastropoda mempunyai peranan yang penting baik dari segi pendidikan, ekonomi maupun ekologi. Dari segi ilmu pengetahuan keanekaragaman biota laut merupakan laboratorium alami yang menarik untuk dipelajari dan dikaji secara mendalam. Sedangkan bila dipandang dari segi ekonomi Gastropoda mempunyai
nilai
jual,
seperti Cypraea,
Murex dan Trochus dimana cangkangnya digunakan untuk hiasan yang harganya
2
mahal. Selain itu beberapa Gastropoda juga dapat berperan sebagai sumber bahan makanan karena mengandung nutrien atau protein. Desa Penaga salah satu kawasan yang memiliki potensi besar, meskipun kawasan Desa Penaga masih belum banyak dimanfaatkan dengan potensi – potensinya yang ada, berdasarkan observasi awal yang telah saya lakukan dikawasan hutan mangrove Desa Penaga memiliki berbagai jenis organisme gastopoda yang berasosiasi pada hutan
mengrove yang dimamfaatkan oleh
masyarakat Desa Penaga dan sangat penting untuk diteliti. Berdasarkan informasi dari masyarakat setempat hutan mangrove di Desa Penaga memiliki banyak jenis fauna yang bisa dimanfaatkan salah satunya adalah jenis gastropoda. Atas dasar itu maka peneliti ingin melakukan penelitian tentang Struktur Komunitas Gastropoda Hutan Mangrove di Desa Penaga Kecamatan Teluk Bintan Kabupaten Bintan.
B.
Rumusan Masalah Ekosistem Mangrove di Desa Penaga mempunyai potensi yang sangat baik
untuk
dimanfaatkan
keanekaragaman
sumber
daya
hayati
laut
yang
beranekaragam menjadi faktor penentu kesuburan perairan Desa tersebut. Masyarakat memanfaatkan sumberdaya laut yang melimpah khususnya ekosistem mangrove yang merupakan ekosistem yang berasosiasi langsung dengan organisme yang hidup disekitar ekosistem mangrove, baik yang dijadikan habitat tempat hidup maupun tempat mencari makan. Salah satu organisme yang berasosiasi langsung dengan ekosistem Mangrove adalah Gastropoda, yang keberadaannya di pengaruhi oleh faktor lingkugan mangrove. Sehubungan dengan
3
hal tersebut dirumuskan beberapa permasalahan, yaitu Bagaimana struktur komunitas Gastropoda di hutan Mengrove Desa Penaga dan bagaimana kualitas perairan pada kawasan hutan Mengrove Desa Peanaga.
C.
Tujuan dan Manfaat
1.
Tujuan Penelitian 1. Untuk memgetahui struktur komunitas Gastropoda di hutan Mangrove Desa Penaga 2. Untuk mengetahui kondisi lingkungan parameter periran Gastropoda pada kawasan hutan Mangrove Desa Penaga
2.
Manfaat Penelitian 1. Dengan melakukan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai stuktur komunitas Gastropoda di hutan Mangrove Desa Penaga 2. dapat memberi data dan informasi tertulis, diharapkan bermanfaat sebagai bahan kajian untuk penelitian lebih lanjut.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Klasifikasi Gastropoda Menurut Suwignyo, et al (2005) sejak periode Cambrian sampai sekarang
terdapat 60.000 spesies hidup dan 15.000 spesies fosil. Lebih lanjut Suwignyo membagi klasifikasi gastropoda dalam beberapa subkelas, yaitu : a. Subkelas 1. Prosobranchia (Streptoneura) Massa visceral mengalami torsi 180o, tentakel sepasang, insang sebuah atau sepasang di anterior jantung, umumnya dioecious, biasanya mempunyai cangkang operkulum. Sub kelas ini dibagi lagi ke dalam tiga ordo yaitu : 1) Ordo Archeogastropoda, yaitu berjumlah satu atau dua buah, tersusun dalam dua baris filament, jantung beruang dua. Contoh ordo ini adalah trochus. 2) Ordo Mesogastropoda, yaitu satu buah tersusun dalam satu baris filamen, jantung beruang satu, mulut dilengkapi radula yang berjumlah tujuh buah dalam satu baris. Contoh ordo ini adalah Lambis, Turitella. 3) Ordo Neogastropoda, yaitu insang sebuah tersusun dalam satu baris filament, jantung beruang satu, mulut dilengkapi radula tiga buah dalam satu baris. Contoh ordo ini adalah Murek.
5
b. Subkelas 2. Opistobranchia Kelompok gastropoda ini memiliki dua insang terletak di posterior, cangkang umumnya tereduksi dan terletak di dalam mantel, jantung satu ruangan dan reproduksi berumah satu. Sub kelas ini dibagi dalam delapan ordo, yaitu : 1) Ordo Cephalaspidea, yaitu cangkang terletak eksternal, besar dan pipih, beberapa
jenis
mempunyai
cangkang
internal. Contoh
ordo
ini
adalah Bulla. 2) Ordo Anaspidea, yaitu cangkang tereduksi bila ada terletak internal, rongga mantel pada sisi kanan menyempit dan tertutup oleh parapodia yang lebar. Contoh ordo ini adalah Aplysia. 3) Ordo Thecosonata, yaitu cangkang berbentuk kerucut mantel lebar, dan merupakan hasil modifikasi dari kaki yang berfungsi sebagai alat renang bersifat planktonik. Contoh ordo ini adalah Cavolinia. 4) Ordo Gimnosonata, yaitu tanpa cangkang dan mantel, parapodia sempit, berukuran mikroskoptik dan bersifat planktonik. Contoh ordo ini adalah Clione. 5) Ordo Nataspide, yaitu cangkang terletak internal, eksternal atau cangkang, rongga mantel tidak ada. Contoh ordo ini adalah Umbraculum. 6) Ordo Acocchilideacea, yaitu tubuh kecil melipiti spikula, tanpa cangkang, insang ataupun gigi. Contoh ordo ini adalah Hedylopis.
6
7) Ordo Sacoglosa, yaitu insang dengan atau tanpa cangkang, radula mengalami modifikasi menjadi alat penusuk dan penghisap alga. Contoh ordo ini adalah Berthelinia. 8) Ordo Nudibranchia, yaitu cangkang tereduksi, tanpa insang sejati, bernafas dengan insang sekunder yang terdapat disekeliling anus, permukaan dorsal. Contoh ordo ini adalah Glossodaris. c. SubKelas 3. Pulmonata Sub kelas Pulmonata bernafas dengan paru-paru, cangkang berbentuk spiral, kepala dilengkapi dengan satu atau dua pasang tentakel, sepasang diantaranya mempunyaoi mata, rongga mantel terletak di anterior, organ reproduksi hermaprodit atau berumah dua. Sub kelas ini dibagi menjadi dua ordo, yaitu : 1) Ordo Stylomotophora, yaitu tentakel dua pasang, sepasang diantaranya mata di ujungnya, umumnya hidup terrestrial. Contoh ordo ini adalah Achatina fulica. 2) Ordo Basommataphora, yaitu tentakel berjumlah dua pasang, sepasang diantaranya mempunyai mata depannya, kebanyakan anggotanya hidup di air tawar. Contoh ordo ini adalah Physa.
B.
Anatomi Gastropoda Menurut (Suwignyo et al, 2005) bentuk cangkang Gastropoda pada
umumnya seperti kerucut dari tabung yang melingkar seperti konde (gelung, whorl). Puncak kerucut merupakan bagian yang tertua, disebut apex. Sumbu kerucut disebut columella. Gelung terbesar disebut body whorl dan gelung kecil-
7
kecil di atasnya disebut spira (ulir ). (Gambar 1 ). Diantara bibir dalam (inner lip) dan gelung terbesar (body whorl) terdapat umbilicus, yaitu ujung columella, yang berupa celah sempit lebar dan dalam (Gambar 1 C ). Apabila umbilicus tertutup, maka cangkang disebut imperforate.
Gambar 1. Cangkang gastropoda A, cangkang urosalpinx cinera memperlihatkan pola bagian – bagian utama; C, clappia dengan umbilicus terbuka. (Suwignyo. 2005) Aperture ialah bukaan cangkang, tempat tersembulnya kepala dan kaki. Bila aperture dihadapkan kepada kita dengan apex (puncak) keatas, dinamakan dekstral apabila aperture di sebelah kanan, dan disebut sinistral apabila aperture di sebelah kiri (Gambar 2 ). Kebanyakan spesies mempunyai cangkang dekstral, beberapa spesies mempunyai cangkang baik dekstral maupun sinistral. (Suwingnyo, 2005)
8
Gambar 2 , Lymnaea dengan cangkang dekstral; B, physa dengan cangkang sinistral. (Suwingnyo, 2005)
C.
Habitat dan Penyebaran Kelas gastropoda merupakan golongan yang paling berhasil menyesuaikan
diri untuk hidup diberbagai habitat seperti dasar laut, pelagis, perairan air tawar dan sebagian daratan. Secara alami gastropoda umumnya menyenangi hidup secara kelompok, membenamkan diri dalam Lumpur, dan menempel didaun lamun, namun ada juga yang hidup secara soliter tergantung kondisi bioekologis dari lingkungan hidup. (Suwignyo, 1989) Sebagian besar spesies gastropoda mendiami perairan laut dangkal. Penyebaran gastropoda Prosobranchia melimpah pada daerah pasang surut, daerah litoral sampai tebing paparan benua (Wilmoth dalam alfitriatussulus, 2003). Gastropoda merupakan kelas moluska yang berhasil menduduki berbagai habitat dengan bentuk tubuh dan cangkang sangat beraneka ragam, mulai dari littoral sampai ke laut yang sangat dalam. Distribusi gastropoda di perairan estuaria berasal dari dua karakteristik habitat yang berbeda, yaitu fauna yang asli dari laut atau truly marine dan dari air tawar atau truly fresh water. Ini dapat dilihat di sepanjang pantai yang tidak terlalu tinggi dari laut. (Alfitriatussulus,
9
2003), sedangkan Nontji dalam Prayitno (1993) menambahkan bahwa sampai saat ini di Indonesia tercatat sekitar 3400 jenis moluska, 75% diantaranya hidup di lautan dan air payau, diperkirakan sekitar 1500 jenis tergolong Gastropoda.
D.
Krakteristik Gastropoda Gastropoda berasal dari bahasa Yunani (Gaster = perut, Podos = kaki).
Artinya hewan Gastropoda atau hewan-hewan yang memiliki kaki perut (Sutikno, 1995). Menurut Oemarjati (1990), mengatakan bahwa hewan kelas gastropoda umumnya bercangkang tunggal, yang terpilin membentuk spiral, beberapa jenis di antaranya tidak mempunyai cangkang, kepala jelas, umumnya dengan dua pasang tentakel kaki lebar dan pipih, memiliki rongga mantel dan organ-organ internal, bagi yang bercangkang, antara kepala dan kaki terputus, insang berjumlah kurang lebih satu atau dua buah, bernafas dengan paru-paru, organ reproduksi jumlah satu atau dua fertilasi secara internal dan eksternal.
E.
Fisiologi gastropoda
1.
Pertumbuhan Gastropoda mempunyai badan yang tidak simetri dengan mantelnya
terletak di depan, cangkang berikut isi perutnya tergulung spiral ke arah belakang. Pertumbuhan dari gastropoda terjadi lebih cepat di waktu umurnya masih muda dibandingkan dengan siput yang sudah dewasa. Ada gastropoda yang tumbuh terus sepanjang hidupnya, tetapi ada pula pertumbuhannya terhenti setelah dewasa.
10
2.
Respirasi dan Peredaran darah Pada Gastropoda darat, pernafasan menggunakan sebuah paru-paru yang
disebut “Pulmonate”, pada Gastropoda yang hidup di air tempat pulmonate itu ditempati oleh insang, paru-paru merupakan anyaman pembuluh darah pada dinding luar. Udara masuk dan keluar melalui porus respiratorius. Darah yang berasal dari tubuh mengalami aerasi di dalam paru-paru dan kemudian dipompakan oleh jantung melalui arteri ke arah kepala, kaki dan viscera (alat-alat dalam) Sutikno (1995).
3.
Ekskresi Menggunakan Alat ekskresi berupa sebuah ginjal yang terletak dekat
jantung. Hasil ekskresi dikeluarkan ke dalam rongga mantel. Sistem peredaran darah adalah sistem peredaran darah terbuka. Jantung terdiri dari serambi dan bilik (ventrikel) yang terletak dalam rongga tubuh.sebuah ginjal, mengeluarkan zat-zat sisa dari rongga Pericardial yang mengelilingi jantung dan membuangnya ke dalam rongga mantel Sutikno (1995).
4.
Sistem Reproduksi Setiap individu Gastropoda mempunyai alat kelamin jantan dan betina
(Hermaprodit). Gastropoda melangsungkan peroses perkawinannya dengan cara sel telur setelah dibuahi oleh sperma akan terjadi zigot dan menjadi telur. Telur ini akan dikeluarkan dari saluran telur satu persatu dari saluran telur siput betina. Gastropoda yang hidup di laut mengamankan telur-telurnya dengan meletakkan di dalam selaput agar-agar. Bentuk selaput perlindungan ini bermacam-macam
11
banyak diantaranya yang berbentuk kapsul dan setiap kapsul dapat berisi satu sampai ratusan telur didalamnya. Ada induk yang menjaga tetlurnya tetapi ada pula yang meninggalkan telurnya (Dharma, 1988).
5.
Cara Makan dan Memakan Cara
makan
gastropoda
bermacam-macam
herbivore
(pemakan
tumbuhan), karnivor (pemakan daging), ciliary feeder (hewan pemakan plankton dan detritus) deposit feeder (hewan pemakan detritus dan mikroorganisme), parasit maupun scavenger (pemakan sisa). Pada kebanyakan gastropoda, radula merupakan alat untuk makan yang tingkat perkembangannya sudah tinggi, meskipun ada beberapa jenis yang tidak memilikinya. Jumlah gigi pada radula antara 16 sampai 750.000 buah, tergantung pada jenisnya. Gigi pada radula tersusun dalam barisan memanjang sedikit sampai banyak. Biasanya terdiri dari satu barisan tengah (median), diapit oleh beberapa baris gigi lateral dan beberapa baris gigi marginal. Bentuk dan susunan gigi radula relatif tetap sampai tingkat famili dan mempunyai arti penting dalam susunan sistematik (Suwignyo et al, 2005).
F.
Parameter Lingkugan Perairan
1.
Suhu Adapun beberapa pengaruh suhu lingkungan terhadap kehidupan
gastropoda: 1. Berdasarkan hasil penelitian Lima, G.M. dan Pechenik, J.A. (1985), kecepatan pertumbuhan larva gastropoda sejenis prosobranchia yaitu Crepidula plana pada
12
suhu pemeliharaan 25º - 29° C, lebih tinggi dari pada pada pemeliharaan 12º 29°C. 2. Berdasarkan hasil penelitian Wells et al. (2003), Terebralia palustris dan Telescopium telescopium mempunyai tingkah laku lebih aktif pada saat spring tide (pasang tinggi dan surut rendah) dari pada neap tide (pasang rendah dan surut tinggi). Hal tersebut dikarenakan pada saat neap tide, gastropoda tersebut cenderung untuk berlindung dari kekeringan dan bersembunyi di dalam lumpur atau di bawah perakaran mangrove. Tingkah laku tersebut merupakan salah satu pola adaptasi gastropoda terhadap adanya perubahan suhu (suhu tinggi) dan kondisi kering (Bay et al., 1986 in Wells et al., 2003).
2.
Salinitas Salinitas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keberadadn
gastropoda karena organisme laut dapat mentoleransi terhadap perubahan salinitas yang kecil dan lambat, tiap jenis gastropoda memerlukukan suatukombinasi faktor aboatik yang optimum agar jenis tersebut dapat hidup dan bekembang biak. Gastropoda dapat tumbuh dengan baik pada salinitas 25-40‰ (Hutabarat dan Evan 1985).
3.
pH pH digunakan untuk menyatakan hubungan keeratan dengan konsentrasi
ion hidrogen. pH juga merupakan indikasi asam atau basa suatu perairan. Hutabarat dan Evans (1985) menyatakan bahwa pH air normal adalah 7,2 – 8,1. pH air yang demikian masih layak untuk semua kebutuhan hidup. Gastropoda
13
umumnya memerlukan pH antara 6,5 – 8,5 untuk kelangsungan hidup dan reproduksi. Pengaruh nilai pH terhadap komunitas biologi perairan ditunjukkan dalam Tabel 1. Tabel 1. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan (Effendi, 2003) Nilai pH 6,0 – 6,5 5,5 – 6,0 5,0 – 5,5 4,5 – 5,0
4.
Pengaruh Umum Keanekaragaman benthos sedikit menurun Kelimpahan total, biomassa, dan produktifitas tidak mengalami perubahan Penurunan nilai keanekaragaman benthos semakin tampak Kelimpahan total, biomassa, dan produktivitas masih belum mengalami perubahan yang berarti Penurunan keanekaragaman dan komposi jenis benthos semakin besar Terjadi penurunan kelimpahan total dan biomassa benthos Penurunan keanekaragaman dan komposisi jenis benthos semakin besar Penurunan kelimpahan total dan biomassa benthos
Oksigen Terlarut (DO) Oksigen terlarut merupakan variabel kimia yang mempunyai peran penting
sekaligus menjadi faktor pembatas bagi kehidupan biota air (Nybakken, 1992). Secara ekologis, konsentrasi oksigen terlarut juga menurun dengan adanya penambahan bahan organik, karena bahan organik tersebut akan diuraikan oleh mikroorganisme yang mengkonsumsi oksigen yang tersedia. Pada tingkatan jenis, masing-masing biota mempunyai respon yang berbeda terhadap penurunan oksigen terlarut. Kekurangan oksigen dapat diatasi tumbuhan mangrove dengan beradaptasi melalui sistem perakaran yang khas.Kekurangan oksigen juga dipenuhi oleh adanya lubang-lubang dalam tanah yang dibuat oleh hewan. Konsentrasi oksigen terlarut untuk kehidupan Gastropoda berada pada kisaran 5 8mg/L (Odum, 1996).
14
5.
Substrat Kondisi substrat dan komposisi flora juga mempengaruhi susunan fauna
hutan mangrove, contohnya jenis Littorina scraba umumnya menyukai komunitas mangrove pada daerah perbatasan dengan laut terbuka dan substrat berpasir, sedangkan Telescopium telescopium lebih menyukai substrat berlumpur (Kartawinata et al, 1979 dalam Dewiyanti, 2004). Substrat dasar perairan dibedakan atas 6 jenis yaitu: substrat lumpur, substrat pasir, substrat liat, substrat kerikil, substrat batu, dan substrat liat berpasir ( Odum, 1996 ).
G.
Hubungan Antara Mangrove dengan Gastropoda Sebagian dari gastropoda hidup di daerah mangrove, memiliki adaptasi
spasial yakni dengan cara hidup di atas permukaan substrat yang berlumpur atau tergenang air, hidup menempel pada akar atau batang dan hidup membenamkan diri di dalam lumpur (Susiana, 2011). Kelas gastropoda yang dapat ditentukan pada permukaan tanah sebagai epifauna antara lain jenis-jenis Melampus sp, Cassidula aurisfelis, Nerita birmanica, Cerithidae obtuse, Cerithidae cingulata, Neritina violacea, Syncera breviculata, Terebralia sulcata dan Telescopuim telescopium yang menyukai permukaan berlumpur atau daerah dengan genangan air yang cukup luas (Rumalutur, 2004 dalam Susiana, 2011). Penggunaan
makrozoobenthos
sebagai
indikator
kualitas
perairan
dinyatakan dalam bentuk indeks biologi. Kemudian oleh para ahli biologi perairan, pengetahuan ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan
15
komposisi organisme perairan karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator kualitas perairan (Rosenberg, 1993 dalam Marpaung, 2013). Menurut Hogarth (2007) dalam Marpaung (2013) invertebrata yang hidup di ekosistem mangrove diwakili beberapa filum, termasuk Moluska, Arthropoda, Sipuncula, Nematoda, Nemertea, Platyhelminthes, dan Annelida. Golongan invertebrata merupakan komponen penting ekosistem mangrove, menyediakan berbagai sumber makanan bagi hewan lain yang lebih tinggi tingkat trofiknya (Chaudhuri dan Choudhury, 1994 dalam Syamsurisal, 2011). Fungsi ekologis invertebrata benthos dapat dilihat dari produksi berjuta larva invertebrata dalam bentuk meroplankton (hidup sebagai plankton hanya pada stadium larva), larva ini merupakan sumber makanan bagi populasi ikan. Disamping itu, invertebrata benthos juga menjaga keseimbangan ekosistem dengan membuat lubang pada substrat, sehingga air dan udara dapat masuk ke dalam substrat, karena itu dapat menambah oksigen dan unsur hara ke dalam substrat (Syamsurisal, 2011).
16
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Penaga berlansung selama tiga bulan yaitu
dilaksanakan dari bulan Januari sampai bulan Maret 2016.
Gambar 3. Peta lokasi penelitian Sumber CitraLandsat, Geogle Earth (2007)
17
B.
Alat dan Bahan Alat yang di gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 2. Alat No 1
Alat Buku dan Pena
2
Kuadrat 5x5 m²
3
Kamera digital
4 5
handrefraktometer Termometer
6
DO Meter
7
Kantong plastik
8
GPS
9 10
Tali rafia Sekop
Kegunaan Mencatat hasil pengamatan Plot pengambilan sampel Gastropoda Dokumentasi penelitian Mengukur salinitas Mengukur suhu
Satuan M Per Mil (‰) Derajat Celcius (˚C) Mg/l
Mengukur oksigen terlarut Untuk mengisi sampel gastropoda Menentukan koordinat Derajat (⁰), Menit lokasi (ˈ), Detik (ˈˈ) Untuk garis transek Untuk pengambilan sampel subtrat
Tabel 3. Bahan No 1
Bahan Aquades
2
fomalin
3
Buku identifikasi gastropoda
Satuan L
Kegunaan Kalibrasi Untuk mengawetkan sampe mengidentifikasi gastropoda yang dijumpai
18
C.
Teknik Pengambilan Sampel
1.
Prosedur Penelitian Penentuan lokasi penelitian berdasarkan purposive sampling (Fachrul, 2007).
pengamatan Gastropoda dibagi jadi 3 lokasi. Ketiga lokasi tersebut karena adanya hutan mangrove, berdasrkan survei lapangan Pada lokasi I didalam ekosistem mangrovenya
ditemukan gastropoda jenis famili Cerithidae, pada lokasi II ditemukan jenis gastropoda famili Fatamididae, pada Lokasi III ditemukan jenis gastropoda Hittoraria dan Tmerebralia. Sehingga ketiga lokasi merupakan kawasan yang sangat baik untuk dijdikan sebagai lokasi penelitian, karena daerah tersebut mempunyai Gastropoda yang beragam dan kondisi mangrove yang baik dengan substrat berlumpur yang kaya akan sumber organik dan zat hara yang berasal dari seresah daun mangrove yang dimanffatkan gastropoda yang ada disekitar mangrove sebagai sumber makanan dan substrat yang baik sebagai habitat tempat hidup.
2.
Penentuan Lokasi Sampling Penentuan lokasi penelitian berdasarkan dengan melakukan survei
lapangan dan pencitraan melalui Google Earth yang diduga mewakili dan menggambarkan pola zonasi mangrove di daerah penelitian yang akan dilaksanakan kemudian ditentukan
lokasi pengamatan yang terdiri dari tiga
lokasi. titik lokasi ditentukan dengan Global Positioning System (GPS). Deskriptif ketebalan Mangrove pada lokasi I kurang lebih 82-90 meter, pada stasiun II sekitar 60-80 meter sedangkan pada stasiun III sekitar 46-51 meter.
19
Pemasangan plot diletakkan pada line transek yang ditarik dari bibir pantai ke arah darat. Titik sampling ditentukan berdasarkan survei awal yang telah dilakukan,. Untuk lebih jelas dapat dilhat Peta titik sampling dilihat dibawah ini.
Gambar 4. Peta titik lokasi penelitan Sumber Landsat, Geogle Earth (2007)
3.
Metode Sampling Pengamatan Gastropoda Pengambilan sampel Gastropoda dilakukan tiga lokasi, plot pegamatan
5x5 m², dimana sudah dilakukan survei awal degan manggunakan plot 5x5 m², didapati sampel gastroda dan untuk menggambarkan semua jenis gastropoda yang hidup di area mangrove baik yang hidup di dasar subtrat, akar dan batang mangrove. Jarak antar plot 20 m dimana kondisi mangrove cenderung sama dan
20
jarak antar transek 100 m, supaya dapat mewakili tiap loksi penelitain dan untuk mengetahui sebaran jenisnya. Cara penentuan transek dapat dilihat pada gambar 5.
100 m
20 m
5x5 m
Gambar 5. Transek pengambilan sampel Sampel yang terdapat dalam setiap plot, diambil dan dimasukkan kedalam kantong plastik yang telah diberi label, kemudian dibawa ke darat untuk dihitung jumlah individunya dan dipilih berdasarkan ciri-ciri morfologinya setelah itu sampel diawetkan dengan menggunakan formalin 70%.
21
Pengambilan sampel gastropoda dilakukan pada saat air surut, gastropoda yang diambil adalah gastropoda yang ada diatas substrat dan yang menempel pada tumbuhan mangrove. gastropoda yang diambil berukuran
≥ 2 cm, untuk
mempermudah proses identifikasi. Pertama– tama yang diambil adalah gastropoda yang ada diatas subtrat dan yang menempel di pohon mangrove. Semua gastropoda yang diambil langsung dicatat jenisnya sedangkan gastropoda yang tidak dikenali sampelnya difoto dengan kamera digital, kemudian diidentifikasi. Identifikasi dilakukan di Laboratorium Fakultas Ilmu Kelautan Dan Perikanan, yang berpedoman pada Dharma, (1988), kemudian diferivikasi melaui situs www.marinespesies.org untuk keyakinan identifiaksi gastropoda.
D.
Pengukuran Kualitas Perairan Habitat Gastropoda Pengukuran parameter kualitas air dilakukan sebagai data pendukung
dalam penelitian, berikut adalah beberapa paerameter yang akan di cek pada saat pengambilan sampel.
1.
Substrat Pengambilan jenis sedimen dilakukan pada setiap Stasiun, yaitu dengan
menggunakan sendok semen yang ditancapkan ke dasar perairan dan sedimen yang diambil seberat 100gr dimasukkan keplastik yang telah diberi label. Kemudian, sampel sedimen yang telah diambil tersebut dijemur di bawah sinar matahari menggunakan alumunium foil sebagai alasnya. Penggolongan jenis sedimen menggunakan metode ayakan kering, yaitu dengan menimbang masingmasing ayakan lalu sedimen yang telah diambil seberat 100gr dikeringkan
22
menggunakan oven selama 24 jam dan disaring menggunakan ayakan bertingkat dengan ukuran mess masing-masing 2,36mm, 2,00mm, 1,18mm, 0,500mm, 0,250mm, 0,125mm dan 0,106 mm.
2.
Suhu Menurut ( Effendi, 2003), untuk pengukuran suhu, yang diukur dengan
menggunakan termometer (oC). Cara mengukurnya dengan mencelupkan termometer kedalam air selama 3-5 menit kemudian dibaca angka yang tertera pada termometer tersebut.
3.
Salinitas Dalam pengukuran tinggi atau rendahnya salinitas suatu perairan dapat
menggunakan alat yaitu refractometer, adapun prinsip kerja alat ini diterangkan sesuai dengan namanya adalah memanfaatkan refraksi cahaya. a. Cahaya polikromatis dari sinar lampu menyinari day light plate, kemudian sampel diteteskan di atas prisma. b. Sampel terkena cahaya polikromatis yang diteruskan ke prisma. c. Cahaya polikroatis diubah menjadi cahaya monokromatis, disini terjadi pemfokusan pada lensa dan diteruskan ke biomaterial skip sehingga tertera skala. d. Skala dibaca dengan menggunakan mata melalui eye piece.
23
4.
pH Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan Multi tester. Prosedur
pengukuran pH dengan multi tester adalah sebagai berikut: 1. Probe elektroda pH disiapkan dan dimasukkan kedalam socket pada alat dengan benar dan pada posisi yang tepat, Tombol “POWER” ditekan untuk menghidupkan alat, 2. Tombol “MODE” pada alat ditekan hingga layar alat menunjukkan tampilan “pH” dan masukkan indicator manual untuk Suhu, 3. Larutan “Buffer Solution” yang akan digunakan pada pH 4,00 disiapkan untuk mengakalibrasikan alat yang ditempatkan pada Botol kalibrasi. 4. Proses kalibrasi alat dilakukan sebelum melakukan pengukuran, dengan cara menekan tombol “REC” dan “HOLD” secara bersamaan hingga pada layar alat menunjukkan angka 4,00 5. Tombol “ENTER” ditekan untuk mengakhiri proses kalibrasi, lalu buka botol kalibrasi pada ujung alat, dan pengukuran pH dapat dilakukan, kemudian hasil yang ditunjukkan pada layar alat dicatat setelah angka yang ditunjukkan stabil (tidak berubah).
5.
Oksigen Terlarut Dalam pengukuran kadar oksigen terlarut suatu perairan dapat
menggunakan alat digital yaitu multitester, alat ini dilengkapi dengan probe pengukur oksigen terlarut untuk dapat mengetahui kadar oksigen terlarut di dalam suatu perairan. Adapun cara penggunaanya
yaitu dengan cara mencelupkan
probe tersebut kedalam perairan dan nilainya akan ditunjukkan pada layar
24
multitester. Sebelum penggunaan alat tersebut harus dikalibrasi untuk memastikan alat tersebut dalam keadaan normal atau tidak rusak. Cara kalibrasi alat tersebut yaitu : Cuci probe dengan menggunakan aquades Keringkan sisa cucian dengan menggunakan tisu
G.
Pengolahan Data Data yang telah diambil akan diolah sehinnga bisa memberikan informasi
dari hasil penelitian yang dilakukan, kemudian diolah menggunakan rumus dibawah ini.
1.
Kelimpahan Gastropoda Kelimpahan merupakan total jumlah individu yang ditemukan selama
pengamatan. Indeks kelimpahan memberikan gambaran suatu komposisi jenis dalam komunitas. Untuk mengetahui kelimpahan jenis dipergunakan rumus dibawah ini:
K1
= ∑ G1 / A
Keterangan : K1
: Kelimpahan gastropoda (ind/m2)
G1
: Jumlah gastropoda yang ditemukan dalam plot
A
: Luas area sampling (5 x 5 m)
25
2.
Kepadatan Relatif (RD) Kepadatan Relatif Jenis (RDi) adalah perbandingan antara jumlah individu
jenis i (ni) dan jumlah total individu seluruh jenis (Ʃn), dengan rumus. RDi = Dimana :
RDi = kepadatan Relatif ni = Jumlah total spesies jenis i Σn = Jumlah total spesies seluruh jenis
3.
Frekuensi Jenis (F) Frekuensi Jenis (Fi) adalah peluang ditemukannya jenis i dalam plot yang
diamati (bengen, 2000 dalam Marpaung, 2013). Fi = Dimana :
Fi = Frekuensi jenis i Pi = Jumlah plot yang ditemukan jenis i Σp = Jumlah plot yang diamati
4.
Frekuensi Relative (FR) Frekuensi Relatif Jenis (RFi) adalah perbandingan antara frekuensi jenis i
(Fi) dan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (ƩF) dengan rumus (Bengen, 2000 dalam Marpaung, 2013). RFi =
26
Dimana :
RFi = Frekuensi relatif jenis i Fi = Frekuensi jenis i ΣF = Jumlah frekuensi untuk seluruh jenis
5.
Indeks Nilai Penting Indeks nilai penting (INP) digunakan untuk menghitung dan menduga
secara keseluruhan dari peranan satu spesies di dalam suatu komunitas. Indeks nilai penting (INP) berkisar antara 0%-200%. INP memberikan gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis terhadap suatu daerah. Semakin tinggi nilai INP suatu spesies relatif terhadap spesies lainnya, maka semakin tinggi peranan spesies tersebut pada komunitasnya. Rumus yang digunakan dalam menghitung INP adalah : INP = RFi +RDi Keterangan:
6.
INP
= Indeks Nilai Penting
RFi
= Frekuensi relatif
RDi
= Kerapatan relatif
Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominasi (Shanon & Weaver dalam Romimohtarto & Juana ( 2005) Keanekaragaman menunjukkan keberagaman jenis dan merupakan ciri
khas struktur komunitas. Keanekaragaman ditentukan berdasarkan indeks kenekaragaman Shanon – Wiener dengan rumus :
27
H’ = -Σ ni log2 ni N N Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman Shanon ni = Jumlah individu suatu jenis N = Jumlah total individu seluruh jenis
Kisaran Indeks keanekaragaman Shanon dikategorikan atas nilai – nilai sebagai berikut: H’ > 3
= Keanekaragaman spesies pada suatu transek adalah tinggi
H’ 1 ≤ H’ ≤ 3
= Keanekaragaman spesies pada suatu transek adalah sedang
H’ < 1
= Keanekaragaman jenis rendah Untuk mengetahui seberapa besar kesamaan penyebaran jumlah individu
tiap jenis Gastropoda digunakan indeks keseragaman, yaitu dengan cara membandingkan indeks keanekaragaman denga nilai maksimumnya, dengan rumus :
Keterangan : E H’
= Indeks keseragaman = Indeks keanekaragaman
H’maks = Indeks keanekaragaman maksimum log 2 S (dimana S = jumlah je nis) Indeks keseragaman berkisar antara 0-1. Bila indeks keseragaman kurang dari 0,4 maka ekosistem tersebut berada dalam kondisi tertekan dan mempunyai keseragaman rendah. Jika indeks keseragaman antara 0,4 sampai 0,6 maka
28
ekosistem tersebut pada kondisi kurang stabil dan mempunyai keseragaman sedang. Jika indeks keseragaman lebih dari 0,6 maka ekosistem tersebut dalam kondisi stabil dan mempunyai keseragaman tinggi. . Indeks domonansi dihitung dengan rumus Dominance of Simpson.
Dimana : C = Indeks dominansi ni = Jumlah individu setiap jenis N = Jumlah total individu
Table 4. kategori penilaian indek dominansi Indeks Dominansi(C)
7.
Kategori
0,00 < C ≤ 0,50
Rendah
0,50 < C ≤ 0,75
Sedang
0,75 < C ≤ 1,00
Tinggi
Pola Sebaran Gastropoda Untuk mengetahui pola sebaran jenis suatu organisme pada habitat
menggunakan metode pola sebaran morisita (Brower and Zar, 1997 dalam Dewiyanti, 2004).
Hasil indeks Morisita yang diperoleh dikelompokkan sebagai berikut :
29
Id < 1 = Pola sebaran individu jenis bersifat seragam Id = 1 = pola sebaran individu bersifat acak Id > 1 = pola sebaran individu jenis bersifat mengelompok Dimna: Id
:Indeks Dispersi morisita
n
= Jumlah plot pengambilan contoh
N
= Jumlah individu dalam n plot
X
= Jumlah individu pada setiap plot
Dengan kiriteria sebagai berikut: Id < 1: Pola penyebaran individu bersifat seragam Id = 1: Pola penyebaran individu bersifat acak Untuk menguji kebenaran nilai indeks di atas, digunakan suatu uji statistik yaitu sebaran Khi-kuadrat dengan persamaan aplikatif:
Nilai Khi-kuadrat dari perhitungan diatas dibandingkan dengan nilai Khikuadrat tabel statistik dengan menggunakan selang kepercayaan 95% (a = 0.05). Kriteria pengujian adalah jika nilai X2 hitung lebih besar dari nilai X2 tabel, maka tolak Ho (Id= 1), yang berarti tidak ada perbedaan yang nyata dengan penyebaran mengelompok. Jika nilai X2 hitung lebih besar dari nilai X2 tabel, maka tolak Ho (Id= 1), yang berarti ada perbedaan nyata dengan penyebaran acak.
30
H.
Kualitas Perairan kualitas perairan diukur secara langsung dilapagan dengan tiga kali
pengulangan pada waktu pasang surut. Untuk lebih jelas dapat dilhat peta pengambilan data kualitas perairan dibawah ini.
Gambar 6. Peta titik pengukuran kualitas perairan Sumber Landsat, Geogle Earth (2007) Data dari hasil pengukuran parameter perairan diolah dengan cara setiap data yang diukur dirata-ratakan dengan hasil ulangan dan dijadikan kisaran nilai kualitas parameter perairan tersebut. Pengolahan Sampel sedimen dilakukan di lobolaturim ocneanografi FIKP UMRAH, dengan cara pengovenan sedimen selama 24 jam diayak menggunakan saringan tujuh tingkat kemudian dianalisis / dikelompokkan butiran sedimen tersebut dengan software Gradistat versi 8 dan dilakukan penggolongan jenis sedimen berdasarkan
ukuran
menurut skala
Wenwort seperti batu, pasir, lumpur dan lempung. Seperti yang tertera pada tabel di bawah ini.
31
Tabel 5. Analisis Ukuran Butiran Sedimen Wenworth (Wibisono, 2005) No Nama Partikel Ukuran (mm) Bongkah (Boulder) >256 1. Batu Krakal (Coble) 64 - 256 (Stone) Kerikil (Peble) 4 - 64 Butiran (Granule) 2–4 Pasir Sangat Kasar (V. Course Sand) 1–2 Pasir Kasar (Course Sand) 0,5 - 1 2. Pasir (Sand) Pasir Sedang (Medium Sand) 0,25 – 0,5 Pasir Halus (Fine Sand) 0,12 -0,25 Pasir Sangat Halus (V. Fine Sand) 0,06 – 0,12 Lumpur Kasar (Coarse Silt) 0,031 – 0,062 3. Lumpur Lumpur Sedang (Medium Silt) 0,015 – 0,031 (Silt) Lumpur Halus (Fine Silt) 0,007 – 0,015 Lumpur Sangat Halus (V. Fine Silt) 0,008 – 0,007 Lempung Kasar (Course Clay) 0,001 – 0,003 4. Lempung Lempung Sedang (Medium Clay) 0,0009 – 0,001 (Clay) Lempung Halus (Fine Clay) 0,0004 – 0,0009 Lempung Sangat Halus (V. Fine Clay) 0,0002 – 0,0004
I.
Analisis Data Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif komparatif agar
dapat membandingkan struktur komunitas gastropoda pada masing-masing lokasi. Data hasil olahan struktur komunitas gastropoda dibandingkan dengan kriteria pada indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, indeks dominansi, pola sebaran jenis gastropoda dan indeks nilai penting lalu dibahas.
Data hasil
pengolahan parameter perairan dibandingkan dengan standar baku mutu (KEPMEN LH no 51 tahun 2004 lampiran 3). Data hasil olahan pada butiran sedimen dibandingan dengan skala Wenwort untuk menentukan tipe substrat sedimen. Komponen lingkungan yang merupakan data hasil pengukuran parameter perairan yang didapat dibandingkan dengan data hasil indeks biota yang diolah dan disimpulkan hasil-hasil tersebut untuk menilai kualitas perairan serta nilai indeks yang didapat.
32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Jenis – jenis Gastropoda di Hutan Mangrove Desa Penaga Dari hasil pengamatan jenis gastropoda di hutan mangrove Desa Penaga di
peroleh sebanyak 9 spesies yang tersebar di setiap lokasi pengambilan sampel. Secara lengkap dapat dilihat pada gambar 7.
1. Spesies : Nerita Planospira
2. Spesies : Nerita Balteata
/......................................................................
3. Spesiies:Terebralia sulcata
4. Spesies:Ellobium aurisjudae
5. Spesies:Cicoreus capucinus
6. Spesieis:Cerithidea obtuse
33
7. Spesies: telescopium sp
8. Spesies: Caliostoma galea
9. Spesies:Cassidula aurisfelis Gambar 7: Spesies Gastropoda Sumber: Data Primer (2016) Hutan
mangrove
Cycloneritimorpha,
Desa
Penaga
Caenogastopoda,
dijumpai
Pulmonata,
5
ordo
diantaranya
Neogastropoda,
dan
Vetigastropoda. Dan dijumpai sebanyak 5 family diantaranya Neritidae, Potamididae, Ellobidae, Muricidae dan Caliostomatidae. Sedangkan dijumpai 8 genus diantaranya Nerita, Terebralia, Cerithidea, Telescopium, Ellobium, Cassidula, Cicoreus, dan Caliostoma.
Sedangkan untuk spesies dijumpai
sebanyak 9 spesies yakni Nerita Balteata, Nerita Planospira, Terebralia sulcata, Cerithidea obtuse, Telescopium telescopium, Ellobium aurisjudae, Cassidula aurisfelis, Cicoreus capucinus, dan Caliostoma galea. Pada Lokasi I dijumpai keseluruhan spesies yaitu sebanyak 9 spesies, pada lokasi II dijumpai 8 spesies diantaranya Nerita Balteata, Nerita Planospira, Cerithidea obtuse, Telescopium telescopium, Ellobium aurisjudae, Cassidula
34
aurisfelis, Cicoreus capucinus, dan Caliostoma galea. Dan pada lokasi III dijumpai hanya sebanyak 5 spesies yaitu Cerithidea obtuse, Ellobium aurisjudae, Cassidula aurisfelis, Cicoreus capucinus, dan Caliostoma galea. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6. Jenis – jenis Gastropoda di Hutan Mangrove Desa Penaga Ordo
Famili
Genus
Spesies
Nerita Balteata Cycloneritimorpha Neritidae Nerita Nerita Planospira Terebralia Terebralia sulcata Cerithidea Caenogastopoda Potamididae Cerithidea obtuse Telescopium Telescopium telescopium Ellobium Ellobium aurisjudae Pulmonata Ellobidae Cassidula Cassidula aurisfelis Cicoreus Neogastropoda Muricidae Cicoreus capucinus Caliostoma Vetigastropoda Caliostomatidae Caliostoma galea 5 5 8 9 Sumber : Data Primer (2016)
B.
Lokasi Lokasi Lokasi I II III √
√
-
√
√
-
√
-
-
√
√
√
√
√
-
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
9
8
5
Kelimpahan Gastropoda di Hutan Mangrove Desa Penaga Kelimpahan gastropoda merupakan jumlah gastropoda dalam satuan luas
area pengamatan. Kelimpahan gastropoda digambarkan kedalam satuan individu/m2. Hasil pengukuran kelimpahan dapat dilihat pada tabel 7
35
Tabel 7. Kelimpahan gastropoda Lokasi I jen is TS CO CC CG TT NP NB CA EA Ju m lah
Ju mla h 37 89 40 48 14 3 9 4 41 285
Lokasi II
Lokasi III
Keseluruhan
KI (Ind/m2)
KR (%)
Juml ah
KI (Ind/m2)
KR (%)
Juml ah
KI (Ind/m2)
KR (%)
Juml ah
KI (Ind/m2)
KR (%)
0,0673 0,1618 0,0727 0,0873 0,0255 0,0055 0,0164 0,0073 0,0745
12,9870 31,2390 14,0400 16,8480 4,9140 1,0530 3,1590 1,4040 14,3910
37 14 19 3 1 3 1 8
0,123 0,047 0,063 0,010 0,003 0,010 0,003 0,027
43,023 16,279 22,093 3,488 1,163 3,488 1,163 9,302
14 2 7
0,112 0,016 0,056
53,846 7,692 26,923
7,692 3,846
37 140 56 74 17 4 12 7 50
0,030 0,114 0,046 0,060 0,014 0,003 0,010 0,006 0,041
9,320 35,265 14,106 18,640 4,282 1,008 3,023 1,763 12,595
2 1
0,016 0,008
0,5182
100
86
0,2867
100
26
0,208
100
397
0,324
100
Sumber : Data Primer (2016)
1.
Kelmpahan Gastropoda Lokasi I Hasil pengukuran kelimpahan gastropoda pada lokasi I dapat dilhat pada
tabel 7 diatas dan gambar 7
Gambar 7. Kelimpahan Gastropoda Lokasi I Sumber : Data Primer (2016) kelimpahan jenis Nerita Balteata diketahui sebesar 0,016 individu/m2, kelimpahan jenis Nerita Planospira sebesar 0,005 individu/m2, kelimpahan jenis
36
Terebralia sulcata diketahui sebesar 0,067 individu/m2,
kelimpahan jenis
Cerithidea obtuse didapatkan sebesar 0,162 individu/m2, kelimpahan jenis Telescopium telescopium sebesar 0,025 individu/m2, kelimpahan jenis Ellobium aurisjudae sebesar 0,075 individu/m2, kelimpahan jenis Cassidula aurisfelis memiliki kelimpahan sebesar 0,007 individu/m2, kelimpahan jenis Cicoreus capucinus didapatkan sebesar 0,073 individu/m2, dan kelimpahan jenis Caliostoma galea sebesar 0,087 individu/m2. Dari kondisi diatas, diketahui bahwa kelimpahan gastropoda tertinggi terjadi pada lokasi I yaitu jenis Cerithidea obtuse.
2.
Kelimpahan Gastropoda Lokasi II Dari 8 jenis gastropoda yang dijumpai pada lokasi II, diketahui bahwa
kelimpahannya sangat berbeda satu dengan yang lainnya. Untuk lebih jelasnya, kelimpahan gastropoda di hutan mangrove Desa Penaga pada lokasi II dapat dilihat pada tabel 7 dan gambar 8 .
Gambar 8. Kelimpahan Gastropoda Lokasi II Sumber : Data Primer (2016)
37
Pada lokasi II diketahui bahwa kelimpahan jenis Nerita Balteata diketahui sebesar 0,010 individu/m2, kelimpahan jenis Nerita Planospira sebesar 0,003 individu/m2, kelimpahan jenis Cerithidea obtuse didapatkan sebesar 0,123 individu/m2,
kelimpahan
jenis
Telescopium
telescopium
sebesar
0,010
individu/m2, kelimpahan jenis Ellobium aurisjudae sebesar 0,027 individu/m2, kelimpahan jenis Cassidula aurisfelis memiliki kelimpahan sebesar 0,003 individu/m2, kelimpahan jenis Cicoreus capucinus didapatkan sebesar 0,047 individu/m2, dan kelimpahan jenis Caliostoma galea sebesar 0,063 individu/m2. Pada lokasi II ini di 1.
Kelimpahan Gastropoda Lokasi III ketahui bahwa kelimpahan gastropoda tertinggi terjadi pada jenis
Cerithidea obtuse. Data kelimpahan jenis Gastropoda di lokasi III dari ke 5 jenis yang dijumpai secara lengkap dapat dilihat pada tabel 7 diatas dan gambar 9.
Gambar 9. Kelimpahan Gastropoda Lokasi III Sumber : Data Primer (2016)
38
Dar tabel 7 diatas dan gambar 9, diketahui bahwa kelimpahan gastropoda pada jenis Cerithidea obtuse sebesar 0,112 individu/m2, jenis Ellobium aurisjudae memiliki kelimpahan sebesar 0,008 individu/m 2, kelimpahan Cassidula aurisfelis sebesar 0,016 individu/m2, jenis Cicoreus capucinus sebesar 0,016 individu/m2, dan pada jenis Caliostoma galea didapatkan kelimpahan sebesar 0,056 individu/m2. Pada lokasi III ini jenis yang paling banyak dijumpai yakni jenis Cerithidea obtuse.
4.
Kelimpahan Gastropoda Keseluruhan Setelah diolah dan digabungkan untuk semua lokasi pengambilan
sampling, maka diperoleh data mengenai kelimpahan gastropoda secara menyeluruh dari aemua titik pengamatan gastropoda di hutan mangrove Desa Penaga yang secara lebih rinci dadap dilihat pada tabel 7 dan gambar 10.
Gambar 10. Kelimpahan Gastropoda Keseluruhan Sumber : Data Primer (2016)
39
Dari data keseluruhn lokasi yang telah dianalisis, bahwa kelimpahan jenis Nerita Balteata diketahui sebesar 0,010 individu/m2, selanjutnya kelimpahan jenis Nerita Planospira sebesar 0,003 individu/m2, kelimpahan jenis Terebralia sulcata diketahui sebesar 0,030 individu/m2. Diketahui bahwa kelimpahan jenis Cerithidea obtuse didapatkan sebesar 0,114 individu/m2, kelimpahan jenis Telescopium telescopium sebesar 0,014 individu/m2, kelimpahan jenis Ellobium aurisjudae sebesar 0,041 individu/m2, kelimpahan jenis Cassidula aurisfelis memiliki kelimpahan sebesar 0,006 individu/m 2, kelimpahan jenis Cicoreus capucinus didapatkan sebesar 0,046 individu/m2, dan kelimpahan jenis Caliostoma galea sebesar 0,060 individu/m2. Dari kondisi diatas, diketahui bahwa kelimpahan gastropoda tertinggi dari keseluruhan lokasi yaitu jenis Cerithidea obtuse sebesar 0,114 individu/m2 . Secara keseluruhan jenis Cerithidea obtuse yang paling dominan dari jenis gastropoda yang dijumpai di hutan mangrove Desa Penaga. Diketahui bahwa dari hasil penelitian, jenis Cerithidea obtuse ini memiliki kelimpahan yang besar di ekosistem mangrove yang kaya akan bahan organik di substrat. Menurut Nurjanah (2013) bahwa gastropoda pada kelompok cerithidae sangat tergantung pada jenis substrat dan makanannya. Jenis substrat halus yang mengandung banyak bahan organik sesuai dengan sifat organisme makrozoobenthos termasuk cerithidae sebagai deposit feeder dan filter feeder. Dari hasil penelitian diketahui bahwa yang paling dominan adalah jenis ceritidae abtuse. Dari hasil pengukuran suhu rata-rata 26,3 oC, salinitas rata-rata sebesar 29,5
00
/0, drajat keasaman rata-ratasebesar 6,9, oksigen terlarut rata-rata
40
sebesar 6,6 mg/L dan sedimen jenis pasir. Dengan kondisi parameter perairan tersebut diduga sangat mendukung kehidupan jenis ceritimidae obtuse. Meskipun suhu dan salinitas dibawah baku mutu perairan yang ditentukan, namun jenis ceritimidae obtusa dapat hidup dan dominan, dengan demikian jenis ini memiliki adaptasi yang baik terhadap peruban kondisi periran. Sedangkan untuk spesies gastropoda yang lain kondisinya lebih rentan sehingga bila terjadi perubahan lingkungan akan lansung merespon dan populasinya terganggu. Menurut Syaffitri (2003) jenis gastropoda pada kelas Cerithidae merupakan jenis yang paling banyak dijumpai serta jenis yang memiliki penyebaran paling luas di ekosistem perairan dan memiliki adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan. Jenis ini adalah kelompok asli penghuni ekosisitem perairan laut dan memiliki kehidupan pada substrat pasir hingga lumpur serta memiliki kelimpahan yang cukup tinggi. Dari hasil hasil penelitian sebelumnya oleh penelitian lain oleh Zulheri (2014) di Pulau Dompak kelimpahan gastropoda pada ekosistem
mangrove
secara keseluruhan kelimpahan gastropoda mencapai 1,272 individu/m 2. Selanjutnya penelitian yang dilakukan Seli (2015) Secara keseluruhan, kepadatan jenis gastropoda pada ekosistem mangrove Sungai Kawal sebesar 0,428 ind/m2. Dari lokasi penelitian menunjukkan bahwa total kelimpahan sebesar 0,324 ind/m2. Melihat dari kondisi kelimpahan gastropoda tergolong rendah dibanding penelitian sebelumnya di pualau Dompak. Namun, pada perairan sungai kawal kelimpahan gastropoda sama dengan nilai kelimpahan dilokasi penenelitian. Kelimpahan gastropoda pada hutan mangrove desa penaga dan penelitian sebelumnya dapat dilihat pada tabel 8.
41
Tabel 8. Hasil kelimpahan gastropoda pada penelitian sebelumnya No
C.
Lokasi
Kelimpahan total
Sumber
1
Pulau Dompak
(Ind/m2) 1,272 individu/m2
2
Sungai Kawal
0,324 ind/m2
Seli (2015)
3
Desa Penaga
0,324 ind/m2
Data peneliti saat ini
Zulheri (2014)
Frekuensi Gastropoda di Hutan Mangrove Desa Penaga Frekuensi merupakan kelas kehadiran gastropoda pada setiap plot
pengamatan untuk memperoleh nilai peluang kehadiran gastropoda. Frekuensi gastropoda dapat dilihat pada tabel 9 Tabel 9..Frekuensi Gastropoda Lokasi I jen is
Lokasi II
JPT
FI
FR (%)
TS CO
10
0,4545
10,3095
22
1,0000
CC
Lokasi III
Keseluruhan
JPT
FI
FR (%)
JPT
FI
FR (%)
22,6809
11
1,000
33,333
5
0,227
50,0
JPT
FI
FR (%)
10
0,204
7,143
38
0,776
27,143
16
0,7273
16,4952
4
0,364
12,121
1
0,045
10,0
21
0,429
15,000
CG
16
0,7273
16,4952
8
0,727
24,242
2
0,091
20,0
27
0,551
19,286
TT
10
0,4545
10,3095
2
0,182
6,061
11
0,224
7,857
NP
2
0,0909
2,0619
1
0,091
3,030
3
0,061
2,143
NB
5
0,2273
5,1547
2
0,182
6,061
7
0,143
5,000
CA
3
0,1364
3,0928
1
0,091
3,030
1
0,045
10,0
5
0,102
3,571
EA
13
0,5909
13,4023
4
0,364
12,121
1
0,045
10,0
18
0,367
12,857
Jum lah
97
4,409
33
1,000
100
10
0,455
100
140
2,857
100
100
Sumber : Data Primer (2016) 1.
Frekuensi Gastropoda Lokasi I Frekuensi gatropoda pada lokasi I dapat dilihat pada tabel 9 diatas dan
gambar 11.
42
Gambar 11. Frekuensi Gastropoda Lokasi I Sumber : Data Primer (2016) Pada lokasi I Terebralia sulcata memiliki frekuensi sebesar 0.4545, jenis Cerithidea obtuse memiliki frekuensi sebesar 1.00, Cicoreus capucinus memiliki frekuensi sebesar 0.7273, Caliostoma galea memiliki frekuensi sebesar 0.7273, Telescopium telescopium memiliki frekuensi sebesar 0.4545, Nerita Planospira memiliki frekuensi sebesar 0.0909, Nerita Balteata memiliki frekuensi sebesar 0.2273, Cassidula aurisfelis memiliki frekuensi sebesar 0.1364, dan Ellobium aurisjudae memiliki frekuensi sebesar 0.5909. Dari data diatas, diketahui bahwa peluang kehadiran gastropoda pada lokasi I paling tinggi yaitu jenis Cerithidea obtuse, jenis ini ditemukan pada setiap plot pengamatan.
2.
Frekuensi Gastropoda Lokasi II Frekuensi kelas kehadiran gastropoda berbeda pada setiap titik
pengamatannya. Untuk frekuensi gastropoda pada lokasi II secara lengkap dapat dilihat pada tabel 9 diatas dan gambar 12.
43
Gambar 12. Frekuensi Gastropoda Lokasi II Sumber : Data Primer (2016) Pada lokasi II jenis Cerithidea obtuse memiliki frekuensi sebesar 1.00, Cicoreus capucinus memiliki frekuensi sebesar 0.364, Caliostoma galea memiliki frekuensi sebesar 0.727, Telescopium telescopium memiliki frekuensi sebesar 0.182, Nerita Planospira memiliki frekuensi sebesar 0.091, Nerita Balteata memiliki frekuensi sebesar 0.182, Cassidula aurisfelis memiliki frekuensi sebesar 0.091, dan Ellobium aurisjudae memiliki frekuensi sebesar 0.364. pada lokasi II juga paling tinggi frekuensinya adalah jenis Cerithidea obtuse dengan peluang dijumpai jenis ini pada setiap plot pengamatan.
3.
Frekuensi Gastropoda Lokasi III Frekuensi kelas kehadiran gastropoda berbeda pada setiap titik
pengamatannya. Untuk frekuensi gastropoda pada lokasi III secara lengkap dapat dilihat pada tabel 9 diatas dan gambar 13.
44
Gambar 13. Frekuensi Gastropoda Lokasi III Sumber : Data Primer (2016) Pada lokasi III jenis Cerithidea obtuse memiliki frekuensi sebesar 0.227, Cicoreus capucinus memiliki frekuensi sebesar 0.047, Caliostoma galea memiliki frekuensi sebesar 0.091, Cassidula aurisfelis memiliki frekuensi sebesar 0.045, dan Ellobium aurisjudae memiliki frekuensi sebesar 0.045. Dengan demikian frekuensi kehadiran jenis gastropoda pada lokasi III tertinggi jenis Cerithidea obtuse.
4.
Frekuensi Gastropoda Keseluruhan Frekuensi kelas kehadiran gastropoda juga dilihat dengan menggabungkan
pada semua titik pengamatan secara keseluruhan. Untuk frekuensi gastropoda keseluruhan secara lengkap dapat dilihat pada tabel 9 diatas dan gambar 14.
45
Gambar 14. Frekuensi Gastropoda Keseluruhan Sumber : Data Primer (2016)
Pada lokasi I Terebralia sulcata memiliki frekuensi sebesar 0.204, jenis Cerithidea obtuse memiliki frekuensi sebesar 0.776, Cicoreus capucinus memiliki frekuensi sebesar 0.429, Caliostoma galea memiliki frekuensi sebesar 0.551, Telescopium telescopium memiliki frekuensi sebesar 0.224, Nerita Planospira memiliki frekuensi sebesar 0.061, Nerita Balteata memiliki frekuensi sebesar 0.143, Cassidula aurisfelis memiliki frekuensi sebesar 0.102, dan Ellobium aurisjudae memiliki frekuensi sebesar 0.367. Namun secara keseluruhan frekuensi jenis gastropoda tertinggi adalah jenis Cerithidea obtuse.
D.
Indeks Nilai Penting Gastropoda di Hutan Mangrove Desa Penaga Indeks nilai penting menggambarkan jenis yang paling berperan dalam
suatu komunitas, dalam hal ini komunitas gastropoda di hutan mangrove Desa Desa Penaga. Dari hasil pengukuran indeks nilai penting gastropoda didapatkan hasil seperti pada tabel 10.
46
Tabel 10. Indeks nilai penting gastropoda Lokasi I jen is
Lokasi II KR (%)
FR (%)
Lokasi III KR (%)
FR (%)
INP
9,320
7,143
16,463
103,846
35,265
27,143
62,408
17,6923
14,106
15,000
29,106
46,9231
18,640
19,286
37,926
9,55
4,282
7,857
12,139
4,19
1,008
2,143
3,150
9,55
3,023
5,000
8,023
FR (%)
KR (%)
FR (%)
INP
TS CO
12,9870
10,3095
23,2965
31,2390
22,6809
53,9199
43,023
33,333
76,36
53,846
50,0
CC
14,0400
16,4952
30,5352
16,279
12,121
28,40
7,692
10,0
CG
16,8480
16,4952
33,3432
22,093
24,242
46,34
26,923
20,0
TT
4,9140
10,3095
15,2235
3,488
6,061
NP
1,0530
2,0619
3,1149
1,163
3,030
NB
3,1590
5,1547
8,3137
3,488
6,061
CA
1,4040
3,0928
4,4968
1,163
3,030
4,19
7,692
10,0
17,6923
1,763
3,571
5,335
EA
14,3910
13,4023
27,7934
9,302
12,121
21,42
3,846
10,0
13,8462
12,595
12,857
25,452
100
100
200
100
100
200
100
100
200
100
100
200
Jum lah
INP
KR (%)
Keseluruhan INP
Sumber : Data Primer (2016) 1.
Indeks Nilai Penting Gastropoda Lokasi I Hasil indeks nilai penting gastopoda pada lokasi I dapat dilhat pada tabel
10 diatas dan gambar 15.
Gambar 15. Indeks Nilai Penting Gastropoda Lokasi I Sumber : Data Primer (2016) Jenis Terebralia sulcata memiliki nilai INP sebesar 23,29%, jenis Cerithidea obtuse memiliki nilai INP sebesar 53,92%, Cicoreus capucinus memiliki nilai INP sebesar 30,54%, Caliostoma galea memiliki nilai INP sebesar
47
33,34%, Telescopium telescopium memiliki nilai INP sebesar 15,22%, Nerita Planospira memiliki nilai INP sebesar 3,11%, Nerita Balteata memiliki nilai INP sebesar 8,31%, jenis Cassidula aurisfelis memiliki nilai INP sebesar 4,49%, dan Ellobium aurisjudae memiliki nilai INP sebesar 27,79%. Dengan demikian, jenis yang paling memiliki pengaruh besar dalam komunitas gastropoda di hutan mangrove Desa Penaga adalah jenis Cerithidea obtuse.
2.
Indeks Nilai Penting Gastropoda Lokasi II Dari hasil pengukuran indeks nilai penting gastropoda pada lokasi II
didapatkan hasil seperti pada tabel 10 diatas dan gambar 16.
Gambar 16. Indeks Nilai Penting Gastropoda Lokasi II Sumber : Data Primer (2016) Pada lokasi II Jenis Cerithidea obtuse memiliki nilai INP sebesar 76,36%, Cicoreus capucinus memiliki nilai INP sebesar 28,40%, Caliostoma galea memiliki nilai INP sebesar 46,34%, Telescopium telescopium memiliki nilai INP sebesar 9,55%, Nerita Planospira memiliki nilai INP sebesar 4,19%, Nerita Balteata memiliki nilai INP sebesar 9,55%, jenis Cassidula aurisfelis memiliki
48
nilai INP sebesar 4,19%, dan Ellobium aurisjudae memiliki nilai INP sebesar 21,42%. Dengan demikian, jenis yang paling memiliki pengaruh besar dalam komunitas gastropoda di hutan mangrove Desa Penaga adalah jenis Cerithidea obtuse.
3.
Indeks Nilai Penting Gastropoda Lokasi III Dari hasil pengukuran indeks nilai penting gastropoda pada lokasi III
didapatkan hasil seperti pada tabel 10 diatas dan gambar 17.
Gambar 17. Indeks Nilai Penting Gastropoda Lokasi III Sumber : Data Primer (2016) Jenis Cerithidea obtuse memiliki nilai INP sebesar 103,85%, Cicoreus capucinus memiliki nilai INP sebesar 17,69%, Caliostoma galea memiliki nilai INP sebesar 46,92%, jenis Cassidula aurisfelis memiliki nilai INP sebesar 17,69%, dan Ellobium aurisjudae memiliki nilai INP sebesar 13,85%. Dengan demikian, jenis yang paling memiliki pengaruh besar dalam komunitas gastropoda di hutan mangrove Desa Penaga adalah jenis Cerithidea obtuse.
49
4.
Indeks Nilai Penting Gastropoda Keseluruhan Dari hasil pengukuran indeks nilai penting gastropoda pada keseluruhan
lokasi didapatkan hasil seperti pada tabel 10 diatas dan gambar 18.
Gambar 18. Indeks Nilai Penting Gastropoda Keseluruhan Sumber : Data Primer (2016) Jenis Terebralia sulcata memiliki nilai INP sebesar 16,46%, jenis Cerithidea obtuse memiliki nilai INP sebesar 62,408%, Cicoreus capucinus memiliki nilai INP sebesar 29,11%, Caliostoma galea memiliki nilai INP sebesar 37,93%, Telescopium telescopium memiliki nilai INP sebesar 12,14%, Nerita Planospira memiliki nilai INP sebesar 3,15%, Nerita Balteata memiliki nilai INP sebesar 8,02%, jenis Cassidula aurisfelis memiliki nilai INP sebesar 5,34%, dan Ellobium aurisjudae memiliki nilai INP sebesar 25,45%. Secara keseluruhan, indeks nilai penting menggambarkan prranan suatu spesies dalam suatu komunitas. Seperti yang diketahui dari hasil penelitian menununjukan bahwa jenis ceritidae obtuse memiliki nilai INP paling tinggi
50
dibandingkan dengan spesieis yang lainnya. Dengan demikian, jenis yang paling memiliki pengaruh besar dalam komunitas gastropoda di hutan mangrove Desa Penaga adalah jenis Cerithidea obtuse. Nilai penting merupakan hasil penjumlahan dari kerapatan relatif dan frekuensi relatif (Soegianto, 1994 dalam Sujarno.et,al,2013). Nilai penting dapat menggambarkan
besarnya
pengaruh
suatu
spesies
yang
berada
pada
komunitasnya, sehingga apabila spesies tersebut memiliki nilai penting yang tinggi maka dapat disebut sebagai spesies yang dominan dalam komunitas tersebut (Lamerburu 2012 dalam Sujarno.et,al,2013). Dengan demikian, jenis gastropoda Ceritidae obtusa merupakan spesies yang dominan dan memiliki peraanan penting dalam komunitas gastropoda di hutan mangrove Desa Penaga.
E.
Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi di Hutan Mangrove Desa Penaga Keanekaragaman menunjukkan keberagaman jenis dan merupakan ciri
khas struktur komunitas. Keanekaragaman
dan keseragaman ditentukan
berdasarkan indeks kenekaragaman Shanon – Wiener, sedangkan dominannsi dihitung dengan mengacu pada indeks Simpson. Indeks keanekaragaman, keseragaman, serta dominansi jenis gastropoda yang dijumpai secara lengkap dapat dilihat di tabel 11.
51
Tabel 11. Indeks keanekaragaman, keseragaman, serta dominansi Lokasi I
Lokasi II
Indeks
Keanekarga man (H)
Lokasi III
Indeks Nilai
Kondisi
2,67
Sedang
Keanekarga man (H)
Keseragaman (E)
0,84
Tinggi
Keseragam an (E)
Dominansi (C)
0,19
Rendah
Dominansi (C)
Keseluruhan
Indeks Nilai
Kondisi
2,24
Sedang
Keanekarga man (H)
0,75
Tinggi
Keseragam an (E)
0,27
Rendah
Dominansi (C)
Indeks Nilai
Kondisi
Nilai
Kondisi
1,74
Sedang
Keanekarga man (H)
2,59
Sedang
Tinggi
Keseragam an (E)
0,75
0,82
Tinggi
0,38
Rendah
Dominansi (C)
0,21
Rendah
Sumber : Data Primer (2016) 1.
Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Gastropoda Lokasi I Indeks keanekaragaman, keseragaman, serta dominansi jenis gastropoda
yang dijumpai di lokasi I secara lengkap dapat dilihat di tabel 11 diatas. Dari hasil perhitungan indeks keanekaragaman lokasi I terlihat bahwa nilai keanekaragaman sebesar 2,67 dengan kategori keanekaragaman “sedang”. Untuk indek keseragaman didapatkan nilai sebesar 0,84 dengan kategori “tinggi”, dan indeks dominansi didapatkan sebesar 0,19 dengan kategori dominansi yang “rendah“. Dari data itu, dapat disimpulkan bahwa kondisi biota gastropoda masih dalam keadaan cukup baik dengan jenis yang beranekaragam dan jumlah antar jenis cukup beragam, artinya tidak selisih jauh antara jumlah suatu jenis gastropoda dengan jenis lainnnya. Untuk dominansi dilihat indeksnya rendah sehingga dikatakan tidak ada jenis yang dominan lebih banyak pada lokasi I hutan mangrove Desa Penaga.
52
2.
Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Gastropoda Lokasi II
Indeks keanekaragaman, keseragaman, serta dominansi gatropoda pada lokasi II Desa Penaga diperoleh hasil seperti tertera pada tabel 11 diatas. Tabel 11 menunjukkan perbedaan nilai indeks ekologi dibanding pada lokasi I. Diketahui bahwa besaran nilai indeks keanekaragaman sebesar 2,24 dengan kategori indeks “sedang”. Artinya cukup beranekaragam jenis gastropoda di hutan mangrove Desa Penaga pada lokasi II meskipun jenis yang dijumpai tidak terlalu banyak (8 spesies). Kemudian indeks keseragaman didapatkan hasil sebesar 0,75 dengan kategori indeks tergolong “tinggi” mencirikan bahwa jenis gastropoda yang dijumpai sangat beragam dengan jumlah antar spesies yanga dijumpai relatif sama. Untuk indeks dominansi terlihat bahwa didapati nilai sebesar 0,27 dengan kategori “rendah” mencirikan bahwa tidak ada spesies yang menguasai dalam komunitas gastropoda mencirikan perairan masih tergolong baik.
3.
Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Gastropoda Lokasi III Indeks keanekaragaman, keseragaman, serta dominansi jenis gastropoda
yang dijumpai di lokasi III secara lengkap dapat dilihat di tabel 11. Pada lokasi III besaran nilai indeks keanekaragaman sebesar 2,24 dengan kategori indeks “sedang”. Artinya cukup beranekaragam jenis gastropoda di hutan mangrove Desa Penaga pada lokasi II meskipun jenis yang dijumpai tidak terlalu banyak (8 spesies). Kemudian indeks keseragaman didapatkan hasil sebesar 0,75 dengan kategori indeks tergolong “tinggi” mencirikan bahwa jenis gastropoda yang dijumpai sangat beragam dengan jumlah antar spesies yanga dijumpai relatif
53
sama. Untuk indeks dominansi terlihat bahwa didapati nilai sebesar 0,27 dengan kategori “rendah” mencirikan bahwa tidak ada spesies yang menguasai dalam komunitas gastropoda mencirikan perairan masih tergolong baik.
4.
Indeks Keanekaragaman, Keseragaman, dan Dominansi Gastropoda Keseluruhan Indeks keanekaragaman, keseragaman, serta dominansi jenis gastropoda
secara keseluruhan pada semua lokasi sampling dan diolah secara keseluruhan didapatkan data yang secara lengkap dapat dilihat di tabel 11. Secara keseluruhan seperti tabel 11 diatas, besaran nilai indeks keanekaragaman sebesar 2,24 dengan kategori indeks “sedang”. Artinya cukup beranekaragam jenis gastropoda di hutan mangrove Desa Penaga, sebagaimana diketahui jenis gastropoda yang dijumpai sebanyak 9 spesies. Kemudian indeks keseragaman didapatkan hasil sebesar 0,75 dengan kategori indeks tergolong “tinggi” mencirikan bahwa jenis gastropoda yang dijumpai sangat beragam dengan jumlah antar spesies yanga dijumpai relatif sama. Untuk indeks dominansi terlihat bahwa didapati nilai sebesar 0,27 dengan kategori “rendah” mencirikan bahwa tidak ada spesies yang menguasai dalam komunitas gastropoda mencirikan perairan masih tergolong baik.
F.
Pola Sebaran Gastropoda di Hutan Mangrove Desa Penaga
Dari perhitungan data pola sebaran gastropoda secara lengkap dapat dilihat pada tabel 12
54
Tabel 12. Pola sebaran gastropoda Lokasi I jen is
TS CO
CC
CG
TT
NP
NB
CA
X2
73,00
29,40
35,90
39,08
30,00
33,67
32,56
29,00
Nilai Kritis X2
32,671
Sebaran
X2
32,671
Mengelo mpok
32,29
32,671
Mengelo mpok
5,63
Acak
9,00
Mengelo mpok
11,00
Acak
17,00
Acak
11,00
Mengelo mpok
25,00
32,671
32,671
32,671
32,671
Sebaran
X2
Nilai Kritis X2
Keseluruhan Sebaran
X2
208,00
4,19
32,671
Lokasi III
Mengelo mpok Acak
32,671
EA 36,80
Lokasi II Nilai Kritis X2
Acak
0,29
Mengelo mpok
8,00
Acak
5,14
19,675
19,675
19,675
19,675
19,675
19,675
19,675
19,675
19,675
Acak
93,10
Mengelo mpok
115,50
Acak
102,14
Acak
78,12
Acak
69,50
Acak
77,83
Acak
8,00
Mengelo mpok
4,00
19,675
19,675
19,675
19,675
Acak
Acak
70,00
114,64
Sumber : Data Primer (2016)
1.
Pola Sebaran Gastropoda Lokasi I Pola sebaran jenis gastropoda sebanyak 9 spesies yang dijumpai pada
lokasi I terdiri dari pola sebaran acak dan mengelompok. Dari perhitungan data pola sebaran secara lengkap dapat dilihat pada tabel 11 diatas. Berdasasrkan tabel 11 diataserebralia sulcata memiliki pola sebaran jenis Mengelompok, jenis Cerithidea obtuse memiliki pola sebaran jenis Acak, jenis Cicoreus capucinus memiliki pola sebaran jenis Mengelompok, jenis Caliostoma galea memiliki pola sebaran jenis Mengelompok, jenis Telescopium telescopium memiliki pola sebaran jenis Acak, jenis Nerita Planospira memiliki pola sebaran jenis
Nilai Kritis X2
Sebaran
65,171
Mengelo mpok
65,171
Mengelo mpok
65,171
Mengelo mpok
65,171
Mengelo mpok
65,171
Mengelo mpok
65,171
Mengelo mpok
65,171
Mengelo mpok
65,171
Mengelo mpok
65,171
Mengelo mpok
55
Mengelompok, Nerita Balteata memiliki pola sebaran jenis Acak, Cassidula aurisfelis memiliki pola sebaran jenis Acak, dan Ellobium aurisjudae memiliki pola sebaran jenis Mengelompok.
2.
Pola Sebaran Gastropoda Lokasi II Pola sebaran jenis gastropoda di lokasi II terdiri dari pola sebaran acak dan
mengelompok. Dari perhitungan data pola sebaran sebanyak 8 spesies di lokasi II secara lengkap dapat dilihat pada tabel 12 diatas. jenis Cerithidea obtuse memiliki pola sebaran jenis Acak, jenis Cicoreus capucinus memiliki pola sebaran jenis Mengelompok, jenis Caliostoma galea memiliki pola sebaran jenis Acak, jenis Telescopium telescopium memiliki pola sebaran jenis Acak, jenis Nerita Planospira memiliki pola sebaran jenis Acak, Nerita Balteata memiliki pola sebaran jenis Acak, Cassidula aurisfelis memiliki pola sebaran jenis Acak, dan Ellobium aurisjudae memiliki pola sebaran jenis Mengelompok.
3.
Pola Sebaran Gastropoda Lokasi III Pada lokasi III terdiri dari pola sebaran acak dan mengelompok. Dari
perhitungan data pola sebaran sebanyak 5 spesies di lokasi III secara lengkap dapat dilihat pada tabel 12 diatas. Pada tabel pola sebaran gastropoda lokasi III, jenis Cerithidea obtuse memiliki pola sebaran jenis Acak,
jenis Cicoreus capucinus memiliki pola
sebaran jenis Mengelompok, jenis Caliostoma galea memiliki pola sebaran jenis
56
Acak, jenis Cassidula Aurisfelis memiliki pola sebaran jenis Acak, jenis Ellobium aurisjudae memiliki pola sebaran jenis Acak.
4.
Pola Sebaran Gastropoda Keseluruhan Pola sebaran jenis gastropoda secara keseluruhan pada hutan mangrove
Desa Penaga diperolah satu tipe pola sebaran yaitu mengelompok. Secara lengkap dapat dilihat pada tabel 12 diatas. Pada pola sebaran secara keseluruhan Jenis Terebralia sulcata memiliki pola sebaran jenis Mengelompok, jenis Cerithidea obtuse memiliki pola sebaran jenis Mengelompok, jenis Cicoreus capucinus memiliki pola persebaran Mengelompok, selanjutnya jenis Caliostoma galea memiliki pola sebaran Mengelompok, jenis Telescopium telescopium memiliki pola sebaran jenis Mengelompok,
jenis
Nerita
Mengelompok, Nerita Balteata
Planospira
memiliki
pola
sebaran
jenis
memiliki pola sebaran jenis Mengelompok,
Cassidula aurisfelis memiliki pola sebaran jenis Mengelompok, dan Ellobium aurisjudae memiliki pola sebaran jenis Mengelompok. Kondisi morfologi pantai akan mempengaruhi kerapatan dan jenis-jenis biota yang terdapat didalamnya, termasuk juga akan mempengaruhi distribusi dan komposisi jenis moluska yang hidup pada habitat tersebut (Riniatsih,2007). Kondisi lingkungan perairan sangat mempengaruhi pola sebaran jenis disuatu perairan. Penentuan sebaran jenis dengan menggunakan Indeks Sebaran Morisita dimaksudkan untuk mengetahui pola sebaran jenis yang didapat berupa seragam, mengelompok, atau acak. Jenis dengan pola sebaran seragam sangat jarang ditemukan di alam, namun mungkin masih dapat terjadi (Utami,2012).
57
B.
Kondisi Parameter Fisika Kimia di Hutan Mangrove Desa Penaga Paremeter perairan yang diukur adalah parameter yang dianggap paling
mempengaruhi kehidupan Gastropoda di hutan mangrove. Diantaranya parameter perairan yang dikur adalah; Suhu, Salinitas, Derajat keasaman, dan Oksigen terlarut. Hasil pengukuran kesemua parameter tersebut dapat dilihat pada tabel 27. Tabel 12 Kondisi Parameter Fisika Kimia di Hutan Mangrove Desa Penaga Lokasi I parameter
satuan
Rata -rata
Lokasi II
waktu
0
C
Suhu
Salinitas
Ph
DO
Substrat
0
/00.
-
mg/L
-
Ratrata
Lokasi III
waktu
Pasang 25 26 25 29 29,1 29,2 6,99 6,7
Surut 27 27 26 32,1 32,1 32,2 7 7,1
Surut 30 29,9 30 30,1 30,1 29 6,88 6,78
6,7
7,1
6,71
7,01
6,3
7,1
6
6,1
6,3
6,3
6,1
6,1
Pasir
30,6
6,9
6,9
Optimal
waktu
Pasang 25 25 24 28,7 29 28,8 6,7 6,71
26,0
Ratrata
6,1
6
5,9
6,1
Pasir
27,3
29,3
6,8
6,0
Pasang 25 24 25 27,9 27,8 27,9 6,89 6,89
Surut 27 27 26 30
6,86
7,2
6,8
6,5
6,8
6,5
6,9
6,7
29 29 7,1 6,8
27,5
28 – 30 (Wijayanti, 2007
28,6
30 - 34 (Wijayanti, 2007)
6,9
6 – 8,5 mg/L (Kepmen LH, 2004)
6,7
Pasir
> 5 mg/L (Kepmen LH, 2004)
lumpur dan pasir (Dewiyanti, 2004) dalam Nurjanah, 2013
Sumber : Data Primer (2016)
1.
Suhu Dari pengukuran suhu di hutan mangrove Desa Penaga berkisar antara
25,7 – 27,3 0C dengan rata rata pengukuran keseluruhan sebesar 26,3 0C. Sukarno (1988 dalam Marpaung, 2013), menyatakan bahwa suhu 25-36oC adalah kisaran yang dapat ditolerir oleh makrozoobenthos, khususnya di ekosistem mangrove. Namun jika dilihat setiap titik sampling sangat berbeda kondisi suhunya. Pada lokasi I kondisi suhu rata – rata yakni 26,0 0C, pada lokasi II yakni 27, 3 0C,
58
dan pada lokasi III yakni sebesar 25,7 0C. Dapat dilihat bahwa suhu tertinggi ada pada lokasi II. Mengacu pada baku mutu menurut Wijayanti (2007) bahwa kisaran suhu optimum untuk mendukung kehidupan gastropoda adalah kisaran 28 – 30 0C. Dengan demikian, kondisi suhu pada perairan hutan mangrove Desa Penaga lebih rendah dari baku mutu yang ditetapkan, namun masih cukup layak untuk mendukung kehidupan gastropoda. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil pengamatan yang menunjukkan bahwa masih ditemukannya 9 jenis gastropoda dengan tingkat keseragaman jenis cukup seragam. Rendahnya suhu diperairan hutan mangrove dikarenakan karena perairan sekitar hutan mangrove terlindungi oleh tutupan daun mangrove yang rimbun sehingga suhunya lebih rendah. Disamping itu dikeranakan oleh pada saat penelitian terjadi pada saat musim hujan dengan intensitas yang cukup tinggi menyebabkan sebaran suhu perairan lebih rendah.
2.
Salinitas Salinitas di perairan hutan mangrove Desa Penaga berada pada kisaran
28,6 – 30,6 00/0. Dengan rata – rata salinitas sebesar 29,5 00/0, dengan nilai salinitas pada lokasi I yakni 30,6
00
/0, pada lokasi II berada pada nilai 29,3
00
/0, dan pada
lokasi III berada pada nilai 28,6 00/0. Salinitas yang tertinggi terdapat pada lokasi I dan terendah pada lokasi III. Menurut pendapat Wijayanti (2007) bahwa kisaran nilai salinitas yang sesuai bagi kehidupan gastropoda berada pada kisaran 30 – 340/00. Dengan demikian, kondisi salinitas secara rata – rata keseluruhan pada perairan Desa
59
Penaga masih sesuai dengan ambang batas optimal yang dianjurkan, hal ini di dubuktikan dengan tidak adanya gastropoda yang mendominasi artinya semua jenis gastropoda masih dapat mentoleransi kondisi perairan, terutama kondisi salinitas. Salinitas adalah konsentrasi seluruh larutan garam yang diperoleh dalam air laut. Salinitas sangat berpengaruh terhadap tekanan osmotik didalam air, semakin tinggi salinitasnya maka akan semakin besar pula tekanan osmotiknya. Biota di perairan memerlukan banyak energi dari makanannya untuk menyesuaikan diri terhadap tekanan osmotik tersebut (Kordi, 2007).
3.
Derajat Keasaman Nilai derajat keasaman pada perairan hutan mangrove Desa Penaga
berkisar antara 6,8 – 7,0 dengan rata – rata derajat keasaman sebesar 6,9. Pada lokasi I derajat keasaman sebesar 6,8, pada lokasi II sebesar 6, yang cenderung mendekati basa terjadi pada lokasi I dan II. Jika mengacu pada ketetapan KEPMEN LH (2004) yang menentukan bahwa nilai derajat keasaman (pH) yang optimum bagi kehidupan biota perairan adalah pada kisaran 7 – 8,5. Jika kita lihat kondisi keasaman perairan sekitar hutan mangrove Desa Penaga keasaman cenderung dibawah kisaran optimum dengan kondisi perairan cenderung asam. Sesuai dengan kondisi di hutan mangrove yang menghasilkan serasah organik cukup tinggi sehingga terjadi penguraian bahan organik oleh bakteri sehingga terjadi peningkatan pH perairan, didukung lagi oleh masukan air hujan yang bersifat asam, sehingga menyebabkan rendahnya pH.
60
4.
Oksigen Terlarut Oksigen terlarut yang diukur di hutan magrove Desa Penaga didapatkan
hasil pada kisaran 6,0 mg/L hingga 6,9 mg/L, dengan rata – rata oksigen terlarut sebesar 6,6 mg/L. Pada lokasi I oksigen terlarut berada pada rata – rata 6,9 mg/L, pada lokasi II sebesar 6,0 mg/L, dan pada lokasi III sebesar 6,7 mg/L. Oksigen terlarut tertinggi berada pada lokasi I. Mengacu pada KEPMEN LH (2004) kandungan Oksigen terlarut (DO) yang sesuai untuk kehidupan organisme akuatik adalah sebesar
> 5 mg/L.
Dengan demikian kondisi Oksigen terlarut (DO) melebihi kisaran optimal yang ditentukan sehingga layak untuk kehidupan organisme akuatik salah satunya adalah gastropoda. Sedangkan menurut Effendi (2003) kandungan oksigen terlarut minimal 2 mg/L sudah cukup mendukung kehidupan organisme perairan secara normal. Namun menurut Kordi (2007), meskipun beberapa jenis organisme akuatik masih dapat hidup pada kondisi oksigen 2-3 mg/L, namun sebagian besar biota akuatik hidup baik pada kadar oksigen minimal 5 mg/L.
5.
Sedimen Dasar Dapat dilihat bahwa pada lokasi I, lokasi II, dan lokasi III terdiri dari jenis
sedimen pasir. Dewiyanti (2004) dalam Nurjanah (2013) menyebutkan bahwa kondisi substrat berpengaruh terhadap perkembangan komunitas moluska dimana substrat yang terdiri lumpur dan pasir dengan sedikit liat merupakan substrat yang disenangi oleh Gastropoda.
61
Menurut Nybakken (1982) umumnya gastropoda dan bivalvia hidup disubstrat untuk menentukan pola hidup, ketiadaan dan tipe organisme.Ukuran sangat berpengaruh dalam menentukan kemampuan gastropoda dan bivalvia menahan sirkulasi air. Bahan organik dan tekstur sedimen sangat menentukan keberadaan dari gastropoda dan bivalvia.Tekstur sedimen atau substrat dasar merupakan tempat untuk menempel dan merayap atau berjalan, sedangkan bahan organik merupakan sumber makanan
62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan 1. Dari hasil pengamatan jenis gastropoda di hutan mangrove Desa Penaga di peroleh sebanyak 5 ordo, 5 family, 8 genus, serta 9 spesies. Kelimpahan gastropoda tertinggi terjadi pada lokasi I, II, dan III yaitu jenis Cerithidea obtuse. diketahui bahwa kelimpahan gastropoda tertinggi dari keseluruhan lokasi yaitu jenis Cerithidea obtuse. Frekuensi Jenis gastropoda tertinggi terjadi pada lokasi I, II, dan III dan diketahui bahwa Frekuensi Jenis gastropoda tertinggi dari keseluruhan lokasi yaitu jenis Cerithidea obtuse. Jenis yang paling memiliki pengaruh besar dalam komunitas gastropoda di hutan mangrove Desa Penaga adalah jenis Cerithidea obtuse karena memiliki nilai INP paling tinggi. Indeks Keanekaragaman tergolong kedalam kondisi “sedang”, keseragaman kondisi yang “sedang” serta tidak ada dominan jenis gastropoda mencirikan komunitas gastropoda dalam keadaan stabil. Pola sebaran spesies gastropoda lebih dominan mengelompok. 2. Kondisi perairan pada perairan hutan mangrove Desa Penaga masih cukup layak untuk mendukung kehidupan gastropoda. Substrat dasar pada hutan mangrove Desa Penaga secara keseluruhan meliputi pasir.
63
B.
Saran Dari hasil penelitian dapat dilihat struktur komunitas gastropoda pada
ekosistem mangrove Desa Penaga secara keseluruhan. Cerithidea obtuse merupakan jenis kelimpahan yang paling tinggi dan yang paling dominan dijumpai, untuk itu Peneliti menyarankan agar penelitian yang lebih lanjut meneliti kajian mengenai kelimpahan jenis Cerithidea obtuse yang berasosiasi pada ekosistem mangrove Desa Penaga serta kajian mengenai struktur vegetasi hutan mangrove Desa Penaga. .
64
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. G.M. dan Pechenik, J.A. 1985. Kecepatan Pertumbuhan Larva Gastropoda-http://korn-n-el.blogspot.co.id/2010/11/suhu-lingkungandan-kehidupan.html. diakses pada tanggal 27 November 2015 pukul 11.30 wib Anonim. Well. 2003. Pola Adaptasi Gastopoda Terhadap Adanya Perubahan Suhu -http://korn-n-el.blogspot.co.id/2010/11/suhu-lingkungan-dan kehidupan.html. diakses pada pada tanggal 27 november 2015 pukul 11.35 wib Alfitritussulus. 2003. Sebaran Moluska (Bivalva dan Gastropoda) Di Muara Sungai Cimandiri, Teluk Pelabuhan Ratu Sukabumi Jawa Barat. Skripsi. Arief, A. M. P., 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Dendi. Z. 2014. Keanekaragaman Gastropoda Pada Ekosistem Mangrove Dan Lamun Pulau Dompak Kota Tanjungpinang. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang. Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia I. PT. Sarana Graha, Jakarta Ecology oleh T. Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Dewiyanti. 2004. Struktur Komunitas Moluska (gastropoda dan bivalvia) serta Asosiasinya pada Ekosistem Mangrove di Kawasan Pantai Elee-Lheue, Banda Aceh, NAD. Program Studi Ilmu Kelautan. FPIK – IPB. Bogor Skripsi. Effendi. H.2003.Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan.Kanisius: Yogyakarta. Fachrul, F .M. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. Hardjojo B dan Djokosetiyanto. 2005. Pengukuran dan Analisis Kualitas Air. Edisi Kesatu, Modul 1 - 6. Universitas Terbuka.Jakarta. Hutabarat, S. dan S. M. Evans. 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia Press. Jakarta Jilid I.Penebar Swadaya : Jakarta. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup (KepMen LH) No. 51 Tahun 2004.Baku Mutu Air Laut Untuk Biota.Jakarta.
65
Kordi, Ghufran. 2007.Teknik Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan. JakartaLingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta Lingkungan Perairan. Penerbit Kanisius : Jakarta Marpaung, A. A. F,. 2013. Keanekaragaman Makrozoobenthos di Ekosistem Mangrove Silvofishery dan Mangrove Alami Kawasan Ekowisata Pantai Boe Kecamatan Galesong Kabupaten Takelar. UNHAS, FIKP. Skripsi MEN-LH. 2004. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup/Tentang Baku Mutu Air Laut. KEPMEN-LH-No-51-tahun-2004. Jakarta. Nontji, A. 2005. Laut Nusantara.Ikrar Mandiri Abadi, hal 106-113 Nontji. A. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan : Jakarta Nontji. A.1987. Laut Nusantara. Penerit Djambatan : Jakarta Nurjanah.2013. Keanekaragaman Gastropoda Di Padang Lamun Perairan Kelurahan Senggarang Kota Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang. Nybaken,J.W.1982. Biologi Laut ; Suatu pendekatan Ekologi. PT. Gramedia, Jakarta. 459 hal Nybakken, J. W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia.Jakarta. Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Diterjemahkan dari Fundamental of Ecology oleh T. Samingan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Odum, E.P.1996. Dasar - Dasar Ekologi.Yogyakarta: UGM Presss Oemarjati. 1990. Estimasi populasi makrobentos. Gramedia pustaka utama.jakarta Program Sarjana IPB Bogor. Rinaiatsih, I. dan Widianingsih. 2007. Kelimpahan dan Pola Sebaran Kerang kerangan (Bivalve) di Ekosistem Padang Lamun, Perairan Jepara.Jurnal Ilmu Kelautan. Vol. 12 (1) : 53 – 58. Universitas Diponegoro; Semarang. Risawati, D. 2002. Struktur Komunitas Molusca (gastropoda dan bivalvia) serta Asosiasinya pada Ekosistem Mangrove Kawasan Muara Sungai Begawan Solo. Ujung Pangkah Gresik, Jawa Timur. Program Studi Ilmu Kelautan. FPIK – IPB. Bogor Skripsi.
66
Romimohtarto. K. Juwana. S. 2005. Biologi Laut Ilmu Pengetahuan Tentang Laut Penerbit Djambatan : Jakarta Seli. 2015. Community Structure Gastropod on Mangrove Ecosystems in the Kawal River Kabupaten Bintan. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang. Sujarno, dkk. 2013. Kajianan Struktur Komunitas Gastropoda.FMIPA. Universitas Negeri Malang Susiana, 2011. Diversitas dan Kerapatan Mangrove, Gastropoda dan Bivalvia di Estuari Perancak, Bali. Skripsi Sutikno 1995. Metode penelitian pendekatan proposal. Jakarta: bumi aksara Suwignyo sugiarti. Widigdo .B. Wardiatno .Y. Krisanti. M. 2005. Avertebrata Air Suwingnyo 1989. Avertebrata Air. Lembaga Sumberdaya Informasi, IPB. 127 hal Syaffitri. E. 2003. Struktur Komunitas Gastropoda (Mollusca) Di Hutan Mangrove Muara Sungai Donan Kawasan BKPH Rawa Timur, KPH Banyumas Cilacap, Jawa Tengah. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Syamsurisal. 2011. Studi Beberapa Indeks Komunitas Makrozoobenthos di Hutan Mangrove Kelurahan Coppo Kabupaten Barru. UNHAS, FIKP. Skripsi Utami. D. K.2012. Studi Bioekologi Habitat Siput Gonggong(Strombus Turturella) Di Desa Bakit, Teluk Klabat,Kabupaten Bangka Barat, Provinsi KepulauanBangka Belitung. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Wibisono.M.S. 2005.Pengantar Ilmu Kelautan.PT Gramedia Widiasarana.Jakarta. Wijayanti, M. H. 2007. Kajian Kualitas Perairan di Pantai Kota Bandar Lampung Berdasarkan komunitas Hewan Makrobenthos, (Tesis). Universitas Diponegoro, Semarang. Zulheri. 2014. Struktur Komunitas Gastropoda di Hutan Mangrove Pulau Dompak. Skripsi Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang.