BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Tuntutan hidup masyarakat modern yang materialistis dan hedonis akhirnya menjadikan segala sesuatu hanya dinilai secara materi dan bersifat fisik semata. Hal tersebut dapat dilhat dari pandangan sebagian besar masyarakat yang menganggap wanita memiliki kesempurnaan jika ia memiliki wajah yang cantik, berkulit halus dan mulus serta bersinar, dengan tubuh yang indah dan langsing. Anggapan ini berkembang sebagai akibat dari intrusi terus menerus melalui iklan, berita, film, sinetron, infotainment, artikel juga foto-foto dimedia yang selalu saja mengandung gap antara kesan dan kenyataan. Pada ummnya wanita yang tidak memiliki kesempurnaan tersebut merasa minder ketika melewati kios-kios koran yang memajang majalah-majalah seperti Cosmopolitan, Cosmogirl, Kartini, atau memandang kagum wajah-wajah artis Indonesia yang berwajah ayu ditelevisi. Melalui media tersebut dibentuklah pencitraan ‘manusia sempurna’ demi eksploitasi dan untuk menciptakan pemasaran komoditi-komoditi pelaku usaha. Wanita-wanita ini pun mengadopsi dan percaya terhadap citra ideal yang diciptakan. Setiap manusia khususnya wanita mendambakan kecantikan. Rupanya, tuntutan itu pun ditanggapi dengan munculnya industri kecantikan. Maksud dan tujuan dari bermunculannya industri kecantikan tersebut adalah untuk mewujudkan keinginan para wanita untuk tampil cantik dan menarik. Jasa perawatan tubuh atau kulit merupakan salah satu yang ditawarkan dalam industri kecantikan saat ini. Pasal 1 angka 5 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen mengartikan jasa sebagai setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan bagi konsumen. Pertumbuhan industri kecantikan di Yogyakarta saat ini sangat maju dan cepat. Hal ini ditandai dengan bermunculannya salon kecantikan atau klinik kecantikan sebagai salah satu sarana pelayanan
aplikasi kosmetika untuk masyarakat luas. Beberapa diantaranya, 1) Natasha Skin Care, yang menawarkan jasa perawatan kulit : Skin Care diantaranya dengan Skin Facial, kemudian jasa perawatan tubuh : Body Care, 2) Larissa, yang menawarkan jasa perawatan kulit wajah, dan 3) London Beauty Center (LBC), yang menawarkan jasa perawatan kulit : untuk jerawat, memutihkan wajah, kemudian jasa perawatan tubuh : body whitening. Selain itu, terdapat klinik kecantikan yang dibuka dan ditangani langsung oleh dokter spesialis kulit. Selain itu, penggunaan alat kesehatan yang ditunjang teknologi modern yang menggunakan mesin dengan teknologi laser yang canggih menjadi alternatif bagi konsumen dalam usaha untuk memperoleh kecantikan. Adapun pengertian alat kesehatan berdasarkan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan adalah instrument, apparatus, mesin, impian, yang tidak mengandung obat yang digunakan untuk mencegah, mendiagnosis, menyembuhkan dan meringankan penyakit, merawat orang sakit serta memulihkan kesehatan pada manusia dan atau membentuk struktur dan memperbaiki fungsi tubuh. Namun, proses perawatan tubuh tersebut dapat menimbulkan efek-efek tertentu terhadap tubuh, jika sinar laser digunakan secara berlebihan dan tidak sesuai dengan takaran yang aman untuk dipakai kemungkinan besar dapat terjadi kerusakan jaringan kulit sehingga membahayakan kesehatan konsumen. Perawatan kulit tidak luput dari kemungkinan terjadinya efek samping yang merugikan konsumen. Oleh karena itu, informasi mengenai efek samping suatu jasa perawatan tubuh dan kulit menjadi sangat penting bagi konsumen. Hal ini, selain untuk memberikan informasi kepada konsumen sekaligus dimaksudkan agar hak atas keamanan dan keselamatan dapat dipenuhi dengan baik, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 huruf a Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Kerugian yang dialami oleh pasien jasa perawatan kulit wajah lebih dikarenakan ketidaksesuaian dengan kenyataan yang ada. Bisa jadi konsumen tidak mendapatkan hasil seperti yang dijanjikan oleh pelaku usaha, bahkan sampai berakibat negatif bagi konsumen. Hal ini terjadi karena adanya permasalahan dengan pelayanan kecantikan.
Permasalahan tersebut terkadang muncul dikarenakan jasa perawatan kulit wajah yang ditawarkan belum memberikan informasi secara jelas mengenai efek samping dari jasa tersebut. Belum disertainya penjelasan secara rinci mengenai efek samping, mengindikasikan konsumen kurang mengetahui tentang informasi mengenai jasa kecantikan yang mereka gunakan secara jelas. Hak atas informasi sesuai dengan Pasal 4 huruf c UUPK bertujuan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang efek samping yang belum diperoleh konsumen. Berbicara mengenai hak-hak konsumen, di Indonesia sendiri, pengusaha dan pemerintah sering kali mengabaikan hak-hak kosumen baik dalam memberikan pelayanan masyarakat maupun dalam penjualan produk. Adanya kualitas produk yang rendah dan pengunaan zat tambahan yang dilarang disetiap produk-produk yang dihasilkan baik produk pangan maupun produk kosmetika atau tidak mengikuti dosis yang ditentukan menjadi persoalan yang cukup pelik dimasyarakat belakangan ini. Persoalan yang dihadapi konsumen Indonesia seperti juga yang dialami konsumen di negara-negara berkembang lainnya, tidak hanya sekedar bagaimana memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu, yaitu menyangkut pada penyadaran semua pihak baik itu pengusaha, pemerintah maupun kosumen sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus dapat menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan atau jasa yang berkualitas, informasi yang benar dan jelas, aman dimakan dan digunakan, mengikuti standar yang berlaku, dan dengan harga yang sesuai (reasonable).1 Sedangkan konsumen juga harus sadar akan hak-hak yang mereka punyai. Selain itu, sebagai seorang konsumen haruslah dapat melakukan sosial kontrol terhadap perbuatan atau perilaku pengusaha dan pemerintah.2 Tujuan penyelenggaraan, pengembangan, dan peraturan perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha di dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab.3 1
2 3
Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk Pertama, Ghalia Indonesia, Bogor, 2008, hlm 63. Ibid Ibid
Kewajiban pelaku usaha dalam memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan disebabkan karena informasi disamping merupakan hak konsumen, juga ketiadaan informasi atau informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi), yang akan sangat merugikan konsumen.4 Tim Kerja Penyusun Naskah Akademis Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen RI merumuskan pengertian produk yang cacat sebagai berikut :5 “Setiap produk yang tidak dapat memenuhi tujuan pembuatannya, baik karena kesengajaan atau kealpaan dalam proses maupun disebabkan hal-hal lain yang terjadi dalam peredarannya, atau tidak menyediakan syarat-syarat keamanan bagi manusia atau harta benda mereka dalam penggunaannya, sebagaimana diharapkan orang.“ Pengertian cacat produk dalam KUHPerdata diartikan sebagai cacat yang “sungguh-sungguh” bersifat sedemikian rupa yang menyebabkan barang itu “tidak dapat digunakan” dengan sempurna sesuai dengan keperluan yang semestinya dihayati oleh benda itu atau cacat itu mengakibatkan “berkurang manfaat” benda tersebut dari tujuan yang semestinya. Dari pengertian ini maka ada satu tanggung jawab bagi produsen untuk mengutamakan kualitas barang yang diproduksi daripada mengejar kuantitas atau jumlah barang yang diproduksi.6 Sementara itu, persoalan yang dihadapi konsumen bertambah banyak dimasa krisis ekonomi belakangan ini, beban konsumen bertambah berat dengan harga sembako yang tinggi walaupun kualitasnya masih dipertanyakan. Penipuan berat, penggantian tanggal kadaluwarsa, pemalsuan, produk-produk luar negeri yang ilegal beredar di pasaran. Semuanya itu menyengsarakan konsumen.7 Penerapan hak atas informasi yang dilakukan oleh klinik-klinik kecantikan saat sekarang ini sepertinya tidak sepenuhnya sesuai dengan yang telah diinformasikan. Seperti yang dialami oleh
4
5 6 7
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk. Kedua, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm 54-55. Adrian Sutedi, op.cit, hlm 62. Ibid AZ Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Ctk. Kedua, Edisi Revisi, Diadit Media, Jakarta, 2006, hlm 9.
seorang konsumen pemakai jasa kecantikan di Natasha Skin Care Yogyakarta. Dia mengatakan dalam blog sebuah website, bahwa dia telah memakai produk kosmetik dari Natasha Skin Care Yogyakarta selama kurang lebih dua tahun, tetapi belum menampakkan hasil yang memuaskan, hal yang terjadi justru sebaliknya kulitnya menjadi merah-merah yang tidak bisa hilang meskipun telah memakai kosmetiknya secara berulang-ulang. Selain itu, terjadi pengelupasan kulit yang menyebabkan kulit menjadi semakin tipis dan menjadi perih ketika akan diberi bedak.8 Hal yang sama juga dialami konsumen dari Natasha Skin Care Yogyakarta yang lain bahkan ada yang pernah merasakan kulit wajahnya menjadi kering dan bersisik. Sebenarnya sungguh ironi apabila kita lihat, harga yang fantastis tidaklah sebanding dengan hasil yang diperoleh. Penyampaian informasi bahwa penggunaan dari produk kosmetika di Natasha Skin Care Yogyakarta tidak akan mengalami ketergantungan apabila berhenti memakai adalah tidak sesuai dengan kenyataannya. Sebagian besar pengguna produk kosmetika di Natasha Skin Care Yogyakarta menyatakan bahwa mereka mengalami ketergantungan apabila berhenti melakukan perwatan dan tidak memakai kosemetik yang diberikan oleh pihak Natasha Skin Care Yogyakarta. Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas, melatarbelakangi penulis untuk mengadakan penelitian dan menuangkan hasil penelitian tersebut dalam bentuk karya tulis ilmiah skripsi dengan judul PENERAPAN HAK ATAS INFORMASI BAGI KONSUMEN TERHADAP PRODUKPRODUK KOSMETIKA DI NATASHA SKIN CARE YOGYAKARTA.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapatlah dirumuskan permasalahan sebagai berikut : a) Bagaimana penerapan hak atas informasi bagi konsumen terhadap produk-produk kosmetika di Natasha Skin Care Yogyakarta ? 8
Blue orchid, blogs www.webgaul.com artikel dalam www.google.com, November, 2006, 10.59.
b) Apakah akibat hukum dari pelaku usaha tidak menerapkan hak atas informasi bagi konsumen ?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang dapat diambil berdasarkan rumusan masalah di atas adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui penerapan hak atas informasi bagi konsumen terhadap produk-produk kosmetika di Natasha Skin Care Yogyakarta. 2. Untuk mengetahui akibat hukum bagi pelaku usaha yang tidak menerapkan hak atas informasi bagi konsumen.
d) Tinjauan Pustaka Berbicara mengenai perlindungan konsumen, tidak akan lepas dari dunia perdagangan dimana di dalamnya melibatkan dua pihak, yaitu konsumen dan pelaku usaha. Dimana masing-masing pihak tentunya memiliki hak dan kewajiban yang harus dapat dilaksanakan secara seimbang, sehingga perlindungan konsumen yang diinginkan dapat terwujud. Salah satu dari 9 (sembilan) hak konsumen yang disebutkan dalam Pasal 4 huruf c UUPK adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa. Penerapan hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur bagi konsumen merupakan salah satu upaya penerapan perlindungan hukum dari pelaku usaha terhadap konsumennya. Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika) atau consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu tergantung dari posisinya.9 Secara harafiah arti kata dari consumer itu adalah “(lawan dari produsen), setiap orang yang menggunakan barang.”10 Begitu pula Kamus Bahasa Inggris-Indonesia memberi arti kata consumer sebagai “pemakai atau konsumen.”11 9 10
11
AZ Nasution, Ibid, hlm 21. AS Hornby (Gen.Ed), Oxford Advance Learner’s Dictionary Of Current English, Oxford University Press, Oxford 1987, hlm 183, “(opp.to producer) person who uses goods” dikutip dalam AZ Nasution, Ibid. John M.Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1986, hlm 124.
Menurut AZ. Nasution, pengertian konsumen adalah setiap pengguna barang dan atau jasa untuk kepentingan sendiri, keluarga atau rumah tangga, dan tidak untuk memproduksi barang dan atau jasa lain atau memperdagangkannya kembali.12 Pasal 1 angka 2 UUPK memberi pengertian konsumen adalah orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, orang lain, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.13 Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum konsumen pada intinya lebih berperan dalam hubungan dan masalah konsumen yang kondisi dan pihaknya berimbang dalam kehidupan ekonomi, sosial, daya saing dan tingkat pendidikan, sedang hukum perlindungan konsumen lebih dibutuhkan apabila pihakpihak yang mengadakan hubungan hukum dalam masyarakat itu tidak seimbang.14 Kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang, dan seringkali konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesarbesarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Keadaan inilah yang kemudian menimbulkan konsumerisme, yaitu gerakan yang memperjuangkan ditegakkannya hak-hak yang dimiliki oleh konsumen. Pada tahun 1962 hak-hak konsumen telah dicetuskan oleh Presiden Amerika Serikat John F. Kennedy, yang disampaikan dalam Kongres Negara-Negara Bagian Amerika Serikat, dimana hak-hak konsumen itu meliputi :15 (1) (2) (3) (4)
Hak untuk memperoleh keamanan; Hak memilih; Hak mendapat informasi; Hak untuk didengar
Adapun hak-hak konsumen yang diatur dalam UUPK Pasal 4 adalah sebagai berikut : 1. 12 13 14 15
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan
AZ Nasution, Konsumen dan Hukum, Ctk. Pertama, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hlm 37. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, hlm 3. Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bina Cipta, Bandung, 1977, hlm 3. Adrian Sutedi, op.cit, hlm 49.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
atau jasa; Hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa; Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan atas barang dan atau jasa yang digunakan; Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, dan atau penggantian, apabila barang dan atau jasa yang diterima tidak sesuai atau tidak sebagaimana mestinya; Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Guidelines for Consumer Protection of 1985, yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan : “ Konsumen dimanapun mereka berada dari segala bangsa mempunyai hak-hak dasar tertentu terlepas dari kaya, miskin ataupun status sosialnya. “ Apa yang dimaksud dengan hakhak dasar dasar tersebut adalah hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar, dan jelas; hak untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan; hak untuk memilih, hak untuk didengar; hak untuk mendapatkan ganti rugi; hak untuk mendapatkan kebutuhan dasar manusia; hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih serta kewajiban untuk menjaga lingkungan itu; dan hak untuk mendapatkan pendidikan dasar. PBB menghimbau seluruh anggota untuk memberlakukan hak-hak tersebut di negaranya masing-masing.16 Masalah perlindungan konsumen dibahas dalam Kongres ke-7 PBB pada tahun 1985. Pada kongres tersebut diutarakan masalah-masalah mengenai : 1. Kesehatan dan kesejahteraan masyarakat 2. Pelanggaran terhadap ketentuan atau persyaratan barang dan jasa bagi para konsumen17 PBB mengeluarkan resolusi mengenai perlindungan konsumen, yaitu Resolusi PBB No. 39/248 tanggal 16 April 1985 tentang perlindungan konsumen. Resolusi ini mengenai perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya; promosi dan perlindungan kepentingan 16 17
AZ Nasution, loc.cit, hlm 7. Shofie Yusuf, Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Korporasi, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hlm 12.
sosial ekonomi konsumen; tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi, pendidikan konsumen; tersedianya upaya ganti rugi yang efektif; dan kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau oraganisasi lainnya yang relevan memberikan kesempatan pada orang tersebut untuk mengutarakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan mereka.18 UUPK Pasal 1 angka 3 menyebutkan pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Adapun kewajiban para pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), adapun kewajiban-kewajiban tersebut adalah : a. Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya b. Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan c. Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif d. Menjamin mutu barang dan atau jasa yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan atau mencoba barang dan atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan f. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan atau jasa yang diperdagangkan g. Memberi kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian19 UUPK menyebutkan bahwa, pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan usaha, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa. Hal tersebut menyiratkan bahwa itikad baik lebih ditekankan pada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa 18 19
Ibid Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, hlm 9.
kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang sampai dengan tahap purna penjualan. Sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan atau jasa. Hal ini tentu saja disebabkan karena kemungkinan terjadinya kerugian bagi konsumen dimulai sejak barang dirancang atau diproduksi oleh produsen (pelaku usaha), sedangkan bagi konsumen, kemungkinan untuk dapat merugikan produsen mulai pada saat melakukan transaksi dengan produsen.20 Hak dari konsumen adalah hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur dari para pelaku usaha. Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi yang disampaikan kepada konsumen dapat juga merupakan salah satu bentuk dari cacat produk. Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih produk yang diinginkan atau sesuai dengan kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. Informasi ini dapat memberikan dampak yang signifikan untuk meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiannya terhadap produk tertentu, sehingga akan memberikan keuntungan bagi perusahaan yang memenuhi kebutuhannya.21 Dengan demikian, pemenuhan hak ini akan menguntungkan baik bagi konsumen maupun produsen. Namun, tidak sedikit para pengusaha atau pelaku usaha yang memberikan informasinya secara tidak benar, tidak jujur, dan tidak benar. Bahkan para pengusaha atau pelaku usaha tersebut dengan sengaja menyembunyikan informasi yang seharusnya penting untuk diketahui oleh konsumen hanya karena kepentingan mendapatkan untung yang besar semata, tanpa memikirkan dampak negatif yang ditimbulkan dari perbuatannya tersebut. Terhadap perbuatan produsen atau pelaku usaha yang melakukan hal tersebut di atas atau melakukan promosi melalui iklan niaga yang menyesatkan, konsumen dapat mengajukan tuntutan ganti 20 21
Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, op.cit, hlm 54. James F. Engel, et al., Consumer Behavior, Fifth Edition, The Dryden Press, New York, tt, hlm 593 dikutip dalam Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Ibid, hlm 45.
rugi perdata berdasarkan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata), yang berbunyi : “tiaptiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” UUPK Pasal 19 menyatakan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab memberi ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan atau kerugian konsumen akibat mengonsumsi barang dan atau jasa yang dihasilakan atau diperdagangkan. Konsumen yang menderita kerugian akibat ulah ‘nakal’ dari pelaku usaha atau akibat dari iklan yang menyesatkan, dapat secara sukarela menyelesaikan sengketa baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan, dan adanya kemungkinan penyelesaian secara damai. Gugatan ke pengadilan secara konvensional atau dengan gugatan kelompok (class action). Gugatan di luar pengadilan dapat dilakukan melalui BPSK, khusus bagi konsumen perseorangan. Gugatan konsumen dapat dilakukan oleh korban atau ahli warisnya, sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen, pemerintah atau instansi terkait. Di samping cara gugatan tersebut, dapat pula dibentuk semacam pengadilan khusus seperti small claim court, yang tujuannya adalah menyelesaikan sengketa yang gugatannya dalam jumlah yang kecil secara cepat dan murah.22 UUPK Pasal 1 angka 11 menyatakan bahwa BPSK atau Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Badan ini dibentuk untuk menangani penyelesaian sengketa konsumen yang efisien, cepat, murah, dan profesional. Selain BPSK, terdapat juga lembaga non pemerintah yang dibentuk untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan hukum serta menunjukkan bahwa perlindungan konsumen menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Lembaga tersebut disebut dengan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). UUPK Pasal 1 angka 9 menyebutkan LPKSM adalah lembaga non pemerintah yang 22
Adrian Sutedi, op.cit, hlm 125.
terdaftar dan diakui pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen.
e) Metode Penelitian 1. Objek Penelitian Penerapan hak atas informasi bagi konsumen terhadap produk-produk kosmetika di Natasha Skin Care Yogyakarta. 2. Subjek Penelitian a. Pelaku Usaha dimana dalam hal ini adalah Salon Natasha Skin Care Yogyakarta b. Konsumen dimana dalam hal ini adalah konsumen atau pengguna produk dan atau jasa kosmetika di Natasha Skin Care Yogyakarta c. Kepala Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Yogyakarta d. Kepala Yayasan Perlindungan Konsumen Yogyakarta 3. Sumber Data a. Data Primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung dari subjek penelitian tentang penerapan hak atas informasi bagi konsumen terhadap produk-produk kosmetika di Natasha Skin Care Yogyakarta. b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh peneliti secara tidak langsung atau data yang diperoleh peneliti melalui kepustakaan, peraturan perundang-undangan, dan dokumen atau hasil penelitian tentang penerapan hak atas informasi bagi konsumen terhadap produk-produk kosmetika di Natasha Skin Care Yogyakarta. 4. Teknik Pengumpulan Data a. Studi Lapangan adalah suatu cara untuk memperoleh data dengan turun langsung ke
lapangan guna
memperoleh data secara langsung dari para narasumber yang berkaitan dengan penerapan hak atas informasi bagi konsumen terhadap produk-produk kosmetika di Natasha Skin Care Yogyakarta, adapun teknik yang peneliti lakukan adalah dengan mengadakan wawancara, yaitu mengadakan wawancara dengan mengajukan serangkaian pertanyaan secara langsung kepada subjek penelitian. b. Studi kepustakaan adalah suatu cara untuk memperoleh data melalui penelitian yang dilakukan dengan membaca buku-buku atau literatur-literatur, peraturan perundang-undangan, dan hasil penelitian yang mempunyai hubungan atau berkaitan dengan penerapan hak atas informasi bagi konsumen terhadap produk-produk kosmetika di Natasha Skin Care Yogyakarta. 5. Pendekatan yang Digunakan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan Yuridis Normatif, yaitu pendekatan dari sudut pandang ketentuan hukum atau perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan penerapan hak atas informasi bagi konsumen terhadap produk-produk kosmetika di Natasha Skin Care Yogyakarta. 6. Analisis Data a. Data yang diperoleh melalui penelitian pustaka berupa bahan pustaka akan dianalisis secara kualitatif dengan cara menjabarkan, menguraikan serta menyusun secara sistematis. Setelah itu ditarik kesimpulan berdasarkan alur pemikiran yang logis untuk menemukan jawaban permasalahan yang telah ada. b. Data yang diperoleh melalui penelitian lapangan disusun dan ditulis dalam bentuk deskripsi dan dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif, yakni dengan memberikan interpretasi terhadap data yang diperoleh secara rasional dan obyektif.