BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pengangguran merupakan masalah yang serius dan merefleksikan kurangnya pemanfaatan tenaga kerja di sebuah negara. Tingginya tingkat pengangguran tidak hanya menghambat seseorang dalam mencapai tingkat kepuasannya tetapi juga memberikan penderitaan ekonomi bagi orang tersebut. Pengangguran merupakan masalah utama yang dihadapi oleh setiap negara, baik negara maju maupun negaranegara dunia ketiga. Terdapat berbagai macam definisi dan konsep dari pengangguran. Dalam konsep yang sederhana pengangguran adalah mereka yang tidak memiliki pekerjaan atau mereka yang tergolong angkatan kerja1 tetapi sedang mencari pekerjaan (A. Kamran, dkk. 2013). Mengacu pada rekomendasi International Labour Organization (ILO) dalam buku “Surveys of Ecomenomically Active Population, Employment, Unemployment and Underemployment: An ILO Manual Concepts and Methods” (Hussmann, dkk. 1990 dalam Mudrajad. 2013), pengangguran adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan,
1
Angkatan kerja menurut Badan Pusat Statistik adalah penduduk usia kerja (15 tahun atau lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sedang tidak bekerja dan pengangguran.
atau mereka yang mempersiapkan usaha, atau mereka yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. Pengangguran merupakan salah satu penyakit makroekonomi yang diderita oleh hampir semua negara di dunia. Terdapat dua penyakit makroekonomi, pertama pengangguran dan kedua inflasi. Dalam rangka menciptakan pembangunan yang berkualitas, dua penyakit makroekonomi tersebut harus mampu disembuhkan. Indonesia pada tahun 2013 menduduki peringkat kedua tingkat penganguran tertinggi di negaranegara ASEAN (Grafik 1.1). Grafik 1.1 Tingkat Pengangguran di Negara ASEAN tahun 2013
Sumber: Worldbank (2014)
Berita Resmi Statistik yang dilansir oleh Badan Pusat Statisik (BPS) menyebutkan bahwa jumlah angkatan kerja di Indonesia pada bulan Februari 2014
mencapai 125,3 juta orang, bertambah sebanyak 5,3 juta orang dari sebelumnya pada bulan Agustus 2013 sebanyak 120,2 juta orang atau bertambah sebanyak 1,7 juta orang dibanding Februari 2013. Naiknya jumlah angkatan kerja di Indonesia merefleksikan perbaikan dengan bertambahnya presentase tingkat partisipasi angkatan kerja dari sebelumnya bulan Agustus 2013 66,8 persen menjadi 69,2 persen di bulan Februari 2014 dan penurunan presentase tingkat pengangguran terbuka2 pada Februari 2014 mencapai 5,70 persen, setelah sebelumnya 6,17 persen pada bulan Agustus 2013. Tabel 1.1 Penduduk Usia 15 Tahun Ke Atas Menurut Jenis Kegiatan Utama, 20122014 Jenis Kegiatan Utama
2012 Satuan
2013*)
2014**)
Februari
Agustus
Februari
Agustus
Februari
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
Juta orang
122,74
120,32
123,64
120,17
125,32
Bekerja
Juta orang
115,08
113,01
116,44
112,76
118,17
Penganggur
Juta orang
7,66
7,31
7,20
7,41
7,15
69,60
67,68
69,16
66,77
69,17
(1) 1. Angkatan Kerja
2. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja
%
3. Tingkat Pengangguran Terbuka
%
6,24
6,07
5,82
6,17
5,70
Juta orang
36,48
35,17
36,65
37,74
36,97
Juta orang
14,88
12,74
13,72
11,00
10,57
4. Pekerja tidak penuh Setengah Penganggur
2
Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) menurut Badan Pusat Statistik adalah presentase jumlah pengangguran terhadap jumlah angkatan kerja.
Paruh Waktu
Juta orang
21,60
22,43
22,93
26,74
26,40
*2012-2013 merupakan hasil backcasting dari penimbang Proyeksi Penduduk yang digunakan Februari 2014 ** Estimasi ketenagakerjaan Februari 2014 menggunakan penimbang Proyeksi Penduduk
Sumber: Badan Pusat Statistika (2014)
Penurunan tingkat presentase pengangguran terbuka menunjukan bahwa 5,70 persen dari angkatan kerja di Indonesia tidak mampu diserap oleh lapangan pekerjaan. Penyebab keterbatasan lapangan pekerjaan dalam menyerap tenaga kerja dikarenakan adanya ketidakcocokkan antara permintaan tenaga kerja dengan penawaran tenaga kerja (Ehrenbergh, 2009). Penyebab munculnya pengangguran selain karena faktor internal dari pasar tenaga kerja, juga dikarenakan adanya faktor eksternal, biasanya dikarenakan masuknya teknologi mutakhir ke dalam negeri, kompetisi yang sengit antar para pelamar, serta kebijakan pemerintah. Faktor-faktor eksternal inilah yang menghambat penyerapan angkatan kerja. Linbeck (1999) menyatakan bahwa pengangguran merupakan akibat dari kesalahan kelembagaan dalam instansi pemerintah maupun swasta yang berimbas pada pengaturan pasar, demografis, hukum dan regulasi. Pentingnya fitur kelembagaan dalam kaitannya dengan pengangguran berimplikasi pada permintaan dan penawaran tenaga kerja, pengaturan upah, hingga efektifitas pencarian dan pencocokan di pasar tenaga kerja. Faktor apapun yang menyebabkan angka pengangguran sulit di reduksi, mendesak pemerintah untuk fokus dalam menciptakan peluang lapangan pekerjaan dengan menggunakan faktor-faktor produksi yang tersedia (Maqbool, 2013). Angka
penduduk yang tinggi erat kaitannya dengan masalah yang mengkhawatirkan bagi negara
berkembang,
termasuk
Indonesia.
Beruntungnya,
Indonesia
mampu
mengendalikan dan menurunkan pertumbuhan populasi sebesar 1,29 persen di tahun 2011, turun 1,25 persen di tahun 2012, dan pada akhir 2013 berada di posisi 1,21 persen (Worldbank, 2013). Banyak ekonom percaya pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang sangat penting dalam menciptakan lapangan pekerjaan. Hal ini dikarenakan permintaan dari tenaga kerja merupakan turunan dari permintaan konsumen terhadap barang dan jasa yang diproduksi oleh satu unit tenaga kerja (Safrida, 1999 dalam Yaumidin, 2012). Sehingga hal ini menjelaskan hubungan positif antara pertumbuhan ekonomi dengan penyerapan tenaga kerja, atau hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan tingkat pengangguran di Indonesia. Grafik 1.2 menunjukan trend pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran di Indonesia yang cenderung pergerakannya sama. Pada tahun 2002-2006 pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran memiliki trend yang positif. Di tahun 2002, tingkat penganguran di Indonesia masih tinggi di posisi 9,10 persen dikarenakan proses pemulihan dari krisis 1998. Selanjutnya di tahun 2005, tingkat pengangguran naik 1,3 persen dari tahun sebelumnya, sebesar 11,20 persen. Naiknya angka pengangguran di Indonesia pada tahun 2005 disebabkan karena naiknya harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Namun pada tahun 2007-2013 pertumbuhan ekonomi cenderung berfluktuatif dan tingkat pengangguran semakin tereduksi. Grafik 1.2 menunjukkan bahwa naiknya
pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak secara langsung merefleksikan penuruan tingkat pengangguran di Indonesia. Grafik 1.2 Pertumbuhan Ekonomi dan Tingkat Pengangguran Indonesia 20022013
Sumber: Diolah dari BPS dan Worldbank (2014)
Pertumbuhan ekonomi di Indonesia setiap tahunnya ternyata tidak selalu memiliki hubungan negatif dengan tingkat pengangguran, seperti yang dikatakan teori Arthur Okun3. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor-faktor yang dapat mengurangi
3
Hukum Okun atau Okun’s Law adalah hubungan negatif antara pengangguran dengan Produk Domestik Bruto (PDB), yang diungkapkan oleh Arthur Okun. Hukum ini mengacu pada penurunan pengangguran yang dikaitkan dengan pertumbuhan tambahan PDB rill. (Mankiw, 2006)
tingkat pengangguran tidak hanya pertumbuhan ekonomi saja, tetapi banyak faktor lain yang mampu menjelaskannya. Banyak studi yang menunjukkan, Foreign Direct Investment atau Penanaman Modal Asing (PMA) saat ini tidak hanya didefinisikan sebagai transfer uang dalam arti sederhana, tetapi sebagai transfer dari campuran aset-aset keuangan dan benda tidak berwujud seperti teknologi, kemampuan manajerial, keterampilan pemasaran dan aset lainnya. Argumen tradisional mengatakan bahwa PMA yang masuk akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan kesempatan kerja. Kebanyakan studi (Hill dan Athukorala, 1998) menunjukkan bahwa dampak sosial dan distribusi PMA pada negara tuan rumah, umumnya telah menguntungkan negara-negara berkembang. Selain sumber daya produktif yang mereka bawa ke negara berkembang terlihat dampak positif dari penciptaan lapangan pekerjaan, baik di sektor yang menarik untuk ditanamkan PMA maupun industri dalam negeri yang turut mendukung (Rizvi dan Nishat, 2009). Di Indonesia, masuknya PMA biasanya dilakukan bukan oleh penduduk negara terkait, tetapi oleh perusahaan transnasional pada perusahaan-perusahaan yang berlokasi di negara-negara tuan rumah. PMA ini menunjukkan keterlibatan asing secara penuh maupun sebagian dari sistem manajemen perusahaan (Arsyad, 2010). Pada saat ini, Indonesia sedang aktif mencari investor asing dan mengharapkan berbagai manfaat yang nyata dari adanya investasi asing tersebut. Hal ini dibuktikan oleh target yang ditetapkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebesar 15 persen di tahun 2014, dan 13 persen di tahun 2015. Kepala BKPM, Mahendra Siregar, dalam pidatonya di
Asia-Pacific Economic Cooperation CEO Summit di Nusa Dua Bali, menerangkan bahwa saat ini Indonesia membutuhkan investasi langsung di sektor manufaktur . Tabel 1.2 menjelaskan terdapat trend kenaikan realisasi penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing di Indonesia dari tahun 2008-2013. Trend realisasi PMDN dan PMA cenderung meningkat dari tahun 2008-2013, walaupun realisasi PMA sempat turun negatif di tahun 2009 sebesar -27,3 persen (YoY) pasca krisis global 2008. Kenaikan nilai investasi PMA tiap tahunnya dikarenakan meningkatnya minat asing terhadap potensi ekonomi Indonesia, terutama akibat gaya konsumen kelas menangah keatas yang pertumbuhannya besar. Menurut berita yang dilansir oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di tahun 2013 Indonesia mencapai hasil rekor tertinggi baru di Asia Tenggara dalam realisasi penanaman modal. Hal ini didukung pertumbuhan realisasi PMDN sebesar 39,0 persen (YoY) dan PMA sebesar 16,5 persen (YoY). Total realisasi investasi yang diterima sebesar 33 juta USD atau sekitar Rp 398,6 triliun. Nilai investasi ini dianggap sebagai prestasi terbaik di tahun 2013, namun menurut Worldbank kemampuan Indonesia dalam menarik investasi asing dianggap masih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangganya. Hal ini dibuktikan pada tahun 2010-2011 tingkat investasi Indonesia hanya setara dengan 2 persen terhadap PDB-nya, sementara negara seperti Malaysia dan China mencapai 4 persen terhadap PDB-nya.
Tabel 1.2 Realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Indonesia 2008-2013 PMDN Tahun
PMA
Investasi Proyek
(Dalam
Pertumbuhan (YoY)
Investasi Proyek
Rp Miliar)
(Dalam
PMDN
PMA
US$ Juta)
2008
239
20.363,4
1.138
14.871,4
-
-
2009
248
37.799,8
1.221
10.815,2
85,6%
-27,3%
2010
875
60.626,3
3.076
16.214,8
60,4%
49,9%
2011
1.313
76.000,7
4.342
19.474,5
25,4%
20,1%
2012
1.210
92.182,0
4.579
24.564,7
21,3%
26,1%
2013
2.129
128.150,6
9.612
28.617,5
39,0%
16,5%
Sumber: Diolah dari BKPM dan BPS (2014)
Alasan lain naiknya realisasi PMDN dan PMA salah satunya karena adanya dukungan dari pemerintah Indonesia yang tertuang dalam UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Sejak Indonesia masuk dalam keanggotaan WTO (World Trade Organization) pada tahun 1995, diperlukan pembaharuan kepastian hukum tentang penanaman modal, sehingga UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan UU Nomor 5 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri diperbaharui karena tidak sesuai dengan kebutuhan percepatan perkembangan perekonomian dan pembangunan hukum, khususnya di bidang penanaman modal. Dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan menciptakan lapangan pekerjaan, pemerintah menerangkan di pasal 10 Ayat 1 sampai 4 UU Nomor 25 Tahun 2007 bahwa perusahaan yang melakukan penanaman modal harus mengutamakan
tenaga kerja Indonesia dan perusahaan asing harus melakukan pelatihan kerja dan alih teknologi dari tenaga kerja asing ke tenaga kerja Indonesia. Naiknya investasi PMA harus dibarengi dengan peningkatan dan pemerataan penanaman modal di seluruh provinsi Indonesia. Dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi yang merata, pemerintah perlu mengupayakan hal tersebut agar tidak terjadi ketimpangan pembangunan ekonomi. Pemerataan penanaman modal asing di Indonesia diharapkan mampu menciptakan lapangan kerja secara merata di seluruh provinsi di Indonesia. Akan tetapi, tabel 1.3 menunjukan bahwa realisasi investasi PMA pada tahun 2009 sekitar 86,6 persen masih terkonsentrasi di Pulau Jawa. Sedangkan berdasarkan lokasi, rata-rata realisiasi investasi terbesar selanjutnya di Sumatera (7,17 persen), Kalimantan (2,63 persen), Bali dan Nusa Tenggara (2,16 persen), Sulawesi (1,31 persen), Maluku (0,05 persen), dan terakhir Papua (0,02 persen). Walaupun konsentrasi PMA masih terfokus pada Pulau Jawa, di tahun 2011-2013 Kalimantan dan Papua menunjukkan kenaikan PMA yang tinggi, hal ini dikarenakan investor asing sadar akan potensi yang berada di wilayah Kalimantan maupun Papua. Kondisi kurang meratanya penanaman modal asing mengakibatkan kurang meratanya pertumbuhan ekonomi daerah, yang selanjutnya berimbas pada tingginya angka pengangguran di daerah.
Tabel 1.3 Pertumbuhan dan Kontribusi Realisasi Investasi PMA Triwullan II Tahun 2013 Berdasar Lokasi (USD Juta) Lokasi
Jawa
Bali & Nusa Tenggar a
Kalimanta n
Sulawes i
776,2
9,370,6
233,8
284,4
141,6
5,9
2,8
10.815, 2
2010
747,1
11.498, 8
233,8
284,4
141,6
5,9
2,8
10.815, 2
2011
2.076,3
12.324, 8
952,7
1.918,7
715,3
141,4
1.345,0
19.474, 2
2012
3.729,3
13.659, 9
1.126,6
3.208,7
1.507,1
98,8
1.234,5
24.564, 9
Q2-2012
837,6
3.430,6
171,6
891,2
208,4
18,7
681,0
6.239,0
S1-2012
1.793,7
6.660,1
703,4
1.387,7
653,4
48,7
719,3
11.966, 3
Q2-2013
657,8
4.787,0
109,9
805,9
189,6
83,1
539,2
7.172,5
S1-2013
1.742,0
8.566,4
334,8
1.144,2
909,5
146,9
1.376,9
14.220, 8
Pertumbuha n S1-2013 (YoY)
-2,9%
28,6%
-52,4%
-17,5%
39,2%
201,8 %
91,4%
18,8%
Pertumbuha n Q2-2013 (YoY)
-21,5%
39,5%
-36,0%
-9,6%
-9,0%
345,2 %
-20,8%
15,0%
Pertumbuha n Q2-2013 (QtQ)
-39,9%
26,7%
-51,1%
138,3%
-73,7%
30,4%
-35,6%
1,8%
9,2%
66,7%
1,5%
11,2%
2,6%
1,2%
7,5%
100,0%
Tahun
Sumater a
2009
Share
Maluku
Papu a
Total
Sumber: Bappenas dan BKPM (2014)
Jika dilihat berdasarkan provinsi pada grafik 1.3, rata-rata realisasi PMA di Indonesia cendurung tidak merata dan terjadi ketimpangan antara daerah yang memiliki
infrastruktur memadai dengan daerah yang belum memadai. Kecenderungan ini terlihat dari realisasi PMA yang dalam kurun waktu lima tahun terfokus di DKI Jakarta ($4692,6 juta), Jawa Barat ($3760,28 juta), Banten ($2312,88 juta), Jawa Timur ($1839,68 juta) dan Papua ($1041,16 juta). Untuk daerah yang belum memiliki infrastruktur yang cukup baik seperti Bengkulu, Maluku, Gorontalo Sulawesi Barat dan Nusa Tenggara Timur menduduki peringkat lima terbawah untuk realisasi penerimaan PMA yaitu sebesar $24,4 juta, $15,18 juta, $14,94 juta, $9,12 juta dan $6,38 juta. Grafik 1.3 Rata-rata Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) di 33 Provinsi Indonesia Tahun 2009-2013 dalam Juta USD Papua Barat Maluku Utara Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Gorontalo Kalimantan Timur
Provinsi
Kalimantan Tengah Nusa Tenggara Timur Bali DI Yogyakarta
Banten DKI Jakarta Bengkulu Sumatera Selatan Kepulauan Riau Sumatera Barat Aceh 0
Sumber: Diolah dari BPS (2014)
1000
2000
Juta USD
3000
4000
5000
Indonesia yang berpenduduk sekitar 240 juta jiwa dan merupakan negara keempat dengan jumlah penduduk tertinggi setelah China, India dan Amerika Serikat, harus menghadapi tantangan bahwa setengah dari penduduknya merupakan di bawah usia 30 tahun. Hal ini mengandung arti bahwa Indonesia memiliki permintaan tenaga kerja yang besar, dan akan terus tumbuh lebih besar di masa yang akan datang. Dengan dibukanya keran investasi diharapkan mampu membuka kesempatan kerja yang baru, mereduksi angka pengangguran dan menurunkan angka kemiskinan. Jika kita lihat dari jumlah pengangguran di 33 provinsi di Indonesia pada grafik 1.4 dari tahun 2009-2013, provinsi Banten menduduki rata-rata jumlah pengangguran tertinggi selama kurun waktu 5 tahun, yaitu sekitar 11,62 persen, disusul oleh DKI Jakarta (10,74 persen), Jawa Barat (9,94 persen), Kalimantan Timur (9,72 persen) dan Sulawesi Utara (8,76 persen). Padahal jika kita lihat dari realisasi PMA provinsi Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat menduduki peringkat tertinggi.
Hal lain yang
mempengaruhi tingginya angka pengangguran sering kali dikarenakan tingkat kepadatan penduduk, upah minimum regional (UMR), dan rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dengan
demikian,
untuk
mengetahui
upaya
memperlemah
penyakit
pengangguran di Indonesia diperlukan pengetahuan terkait faktor-faktor yang menjadi determinan pengangguran di Indonesia. Dengan menggunakan variabel realisasi PMA, PDRB per kapita, Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diharapkan dapat terlihat pengaruhnya terhadap tingkat pengangguran. Agar
faktor-faktor yang menjadi determinan pengangguran dapat mewakili Indonesia, penelitian ini dilakukan di 33 provinsi. Grafik 1.4 Jumlah Pengangguran di 33 Provinsi Indonesia tahun 2009-2013 (ribu orang)
Sumber: Diolah dari BPS (2014)
1.2 Rumusan Masalah Pengangguran merefleksikan kurangnya pemanfaatan tenaga kerja di sebuah negara. Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk ke-4 terbesar di dunia. Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025, penduduk yang besar berpotensi memiliki daya beli yang besar serta penduduk yang besar dengan kualitas SDM yang semakin baik merupakan potensi daya saing yang luar biasa. Disisi lain prestasi yang dicapai oleh pemerintah Indonesia dalam penerimaan realisasi PMA masih menjadi pertanyaan apakah investasi PMA mampu mereduksi angka pengangguran di 33 provinsi di Indonesia. Untuk itu dengan menggunakan data regional provinsi di Indonesia, penelitian ini berupaya menganalisis faktor-faktor determinan penurunan angka pengangguran selain dari penanaman modal asing. Upaya mengobati penyakit pengangguran dalam rangka meningkatkan pemanfaatan tenaga kerja di Indonesia menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini. Oleh karenanya rumusan masalah dalam penelitian kali ini dapat diungkapkan dalam pertanyaan penelitian. 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Apakah realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) berpengaruh terhadap tingkat penganguran di Indonesia?
2. Apakah Produk Domestik Bruto Regional (PDRB) per kapita berpengaruh terhadap tingkat pengangguran di Indonesia? 3. Apakah Upah Minimum Provinsi (UMP) berpengaruh terhadap tingkat pengangguran di Indonesia? 4. Apakah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) berpengaruh terhadap tingkat pengangguran di Indonesia? 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah diuraikan, tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap tingkat pengangguran di Indonesia; 2. Mengetahui pengaruh Produk Domestik Bruto Regional (PDRB) per kapita terhadap tingkat pengangguran di Indonesia; 3. Mengetahui pengaruh
Upah Minimum Provinsi (UMP) terhadap tingkat
pengangguran di Indonesia; 4. Mengetahui pengaruh Indeks Pembangunan Manusia (IPM) terhadap tingkat pengangguran di Indonesia. 1.5 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Sebagai sarana berpendapat secara ilmiah dalam
menanggapi fenomena
ekonomi di Indonesia khususnya di bidang ekonomi pembangunan yang terkait dengan masalah pengangguran; 2. Untuk menambah pengetahuan baru terkait masalah pengangguran dan sebagai tinjauan literatur untuk penelitian selanjutnya; 3. Memperkaya studi empiris yang terkait dengan masalah pengangguran, realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) dan indikator makreoekonomi regional; 4. Sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1). 1.6 Pembatasan Penelitian Penelitian ini difokuskan dari tahun 2009 hingga 2013. Alasan pemilihan rentang waktu tersebut dikarenakan ketersediaan serta aktualitas data. Penelitian ini meneliti 33 provinsi di Indonesia, dengan variabel tingkat pengangguran, realisasi penanaman modal asing, Produk Domestik Bruto Regional (PDRB), Upah Minimum Provinsi (UMP), serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Alasan dipilihnya lima variabel tersebut mengacu pada literatur-literatur sebelumnya yang dilakukan di berbagai negara dan di rentang waktu yang berbeda-beda. 1.7 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB 1 berisi pendahuluan yang mencakup uraian latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, pembatasan penelitian dan sistematika penulisan. BAB 2 membahas teori yang melandasi penelitian ini dan beberapa penelitian terdahulu mengenai faktor-faktor determinasi pengangguran serta pengaruh PMA terhadap pengangguran. BAB 3 berisi pembahasan mengenai pengaruh realisasi PMA terhadap pengangguran dan hasil temuan berdasarkan metode yang digunakan. BAB 4 merupakan bagian penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.