BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pariwisata dalam perkembangannya telah menjadi salah satu industri
terbesar di dunia, dan merupakan andalan utama bagi banyak negara dalam menghasilkan devisa, menciptakan lapangan kerja, maupun sebagai pengentas kemiskinan. Pariwisata dengan berbagai aspek positifnya dipandang sebagai passport to development, new kind of sugar, tool for regional development, invisible export, non-polluting industry, dan banyak lainnya (Pitana, 2002). Negara-negara dan teritori seperti Thailand, Singapore, Filipina, Fiji, Maladewa, Hawaii, Tonga, Galapagos, Barbados, Kepulauan Karibia, dan sebagainya, sangat tergantung pada devisa yang didapatkan dari kedatangan wisatawan. Data menunjukkan bahwa jumlah wisatawan internasional meningkat dari sekitar 25 juta orang pada tahun 1950, menjadi 476 juta pada tahun 1992, dan mencapai angka 698,2 juta orang pada tahun 2000. Pada tahun 1995 sendiri, pariwisata menyumbangkan 10,9 % pendapatan dunia, yang kemudian melonjak menjadi 3,3 triliun AS di tahun 2001, yang merupakan hampir 11 % dari total pendapatan dunia. Dari segi penyerapan tenaga kerja, WTO menggambarkan bahwa 1 dari 8 pekerja di dunia ini menggantungkan hidupnya, langsung maupun tidak langsung, dari pariwisata. 211 juta kesempatan kerja pada tahun 2001 diciptakan oleh pariwisata. (UNEP, 2002). Menurut diskusi teoritis tentang peranan pariwisata dalam pembangunan oleh berbagai ahli, pariwisata merupakan
1
2
mesin penggerak penciptaan tenaga kerja pada abad ke 21, menggantikan pertanian pada abad ke 19 dan industri manufaktur pada abad ke 20. Indonesia sebagai sebuah negara yang memiliki ribuan gugusan pulau dan kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas sampai Rote, memiliki begitu banyak kekayaan alam, budaya, sejarah, bahasa, dan adat istiadat yang berpotensi sangat besar untuk dikembangkan sebagai daya tarik wisata yang tentunya dapat meningkatkan perekonomian negara, memberikan kesempatan-kesempatan kerja, mengenalkan ragam kekayaan Indonesia tersebut ke seluruh dunia, dan meningkatkan sense of belonging masyarakat Indonesia terhadap negaranya sendiri (Sondakh, 2010). Banyak sekali daerah di Indonesia yang telah menjadi daerah tujuan wisata (DTW) yang namanya sudah tidak asing lagi bagi wisatawan baik domestik maupun mancanegara, semisal Bali dan Yogyakarta. Bahkan, daerah-daerah yang dulunya bukan merupakan primadona pariwisata di Indonesia pun mulai menunjukkan geliatnya, terutama di Kawasan Timur Indonesia, seperti Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Papua. Salah satu propinsi di Kawasan Timur Indonesia yang berpeluang besar untuk mengembangkan sisi pariwisatanya adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), yang mulai banyak dikenal karena merupakan rumah bagi hewan purba langka komodo, di pulau Komodo, dan alat musik tradisional Sasando yang belakangan mulai mendunia. Dengan kondisi geografisnya yang terdiri dari pulau-pulau yang memiliki suku, pakaian adat, budaya, tarian, bahasa yang berbeda-beda, membuat NTT menjadi salah satu propinsi yang paling beragam. Klasifikasi daya tarik
3
wisatanyapun tak kalah beragamnya. Didominasi oleh wisata pantai dan bahari, kemudian wisata spiritual di Larantuka, Flores dan budayanya yang unik menciptakan daya tarik tersendiri bagi wisatawan (Sondakh, 2010). Di antara sekian banyak pulau-pulau di Propinsi NTT, Pulau Rote termasuk salah satu pulau yang memiliki banyak potensi di bidang pariwisata yang berpeluang untuk dikembangkan. Pulau Rote termasuk dalam Kabupaten Rote Ndao yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Kupang, pada tanggal 2 Juli 2002. Kabupaten Rote Ndao dengan 2 pulau besarnya yaitu Pulau Rote dan Ndao dikelilingi 109 pulau kecil dan hanya 7 di antaranya yang berpenghuni yakni Pulau Rote dan Pulau Ndao itu sendiri, kemudian
Pulau Nuse, Pulau
Landu, Pulau Nusa Manuk, dan Pulau Usu I serta Pulau Usu II. Pulau Rote sendiri terdiri dari 10 Kecamatan, 7 Kelurahan, dan 82 Desa, dengan Ba’a sebagai Ibukota Kabupaten (Gagas Ulung, 2011; Bappeda kabupaten Rote Ndao, 2012). Meskipun termasuk dalam tapal batas bagian selatan Indonesia, tidak membuat Pulau Rote menjadi tidak dikenal, justru letak geografisnya yang unik membuat Pulau Rote mendapatkan keistimewaan untuk memiliki begitu banyak pantai berpasir putih yang menawan dengan kekayaan budayanya yang tak kalah beragam dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Meskipun masih minim sarana dan prasarana pariwisata, tidak menyurutkan niat para penggila selancar untuk menyambangi pulau terselatan di Indonesia tersebut. Pulau Rote sudah sejak dulu terkenal sebagai surga para peselancar dari dalam dan luar negeri, yaitu di Pantai Bo’a dan Nemberala (Gagas Ulung, 2011). Dengan melimpahnya pantai yang dimiliki Pulau Rote, motivasi kebanyakan wisatawan yang datang ke Pulau Rote
4
menjadi jelas yaitu untuk menikmati keindahan wisata pantai dan baharinya. Ditambah dengan semakin masuknya modernisasi ke Pulau Rote membuat budaya dan adat istiadat Rote sedikit demi sedikit mulai terpinggirkan. Banyak ritual dan upacara adat yang mulai ditiadakan karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Pangarsa (2006), mengatakan bahwa pengaruh politik orde baru diakhir tahun 1960-an juga turut andil di dalamnya, selain tentunya ajaran agama Kristen yang dianut sebagian besar masyarakat di Pulau Rote. Salah satu contohnya adalah dalam pembangunan rumah tradisional pada jaman dahulu selalu dimulai dan diakhiri dengan ritual kepada dewa-dewa (songgo) untuk meminta petunjuk dari roh leluhur, yang sudah tentu bertentangan dengan ajaran agama Kristen. Hal ini membuat pengenalan generasi muda Pulau Rote akan budaya dan adat istiadatnya menjadi sangat minim. Salah satu contohnya adalah tradisi pukul kaki, di Desa Tesabela, Kecamatan Pantai Baru, Pulau Rote. Tak banyak yang mengetahui akan keberadaan tradisi ini, di mana bagian betis akan dililit dengan kain tenun Rote kemudian akan dirotani atau dipukul sambil disoraki oleh para penontonnya. Bisa dipastikan sebagian besar orang bahkan orang Rote sendiri tidak mengenal tradisi ini jika tidak ditayangkan oleh acara Jejak Petualang Trans 7 yang berkesempatan untuk meliput budaya Pulau Rote pada bulan April tahun 2011 lalu (Sula, 2012). Tidak hanya tradisi, ritual dan upacara adat, namun juga bahasa daerah Rote yang terdiri dari banyak sekali variasi dialek menjadi jarang dipergunakan. Diketahui bahwa kepulauan Rote, termasuk di dalamnya Pulau Ndao dan pulau-
5
pulau kecil di sekitarnya terbagi dalam 18 nusak (suku). Di dalam lingkungan nusak
terdapat kelompok-kelompok kecil kumpulan beberapa keluarga yang
memiliki hubungan kekerabatan (leo) (Disbudpar Kab. Rote Ndao, 2006). Dari kedepalan belas nusak tersebut terdapat delapan belas dialek (Pangarsa, 2006). Hampir semua penduduk Pulau Rote di masa sekarang ini lebih memilih untuk menggunakan Bahasa Indonesia dan mengurangi pemakaian bahasa daerah. Dari sekian banyak kebudayaan di Pulau Rote yang sudah mulai meluntur, salah satu upacara adat yang masih bertahan dan diselenggarakan hingga saat ini adalah upacara adat Hus. Upacara adat Hus adalah sebuah pesta rakyat yang merupakan pawai kuda yang dalam jumlahnya bisa mencapai puluhan hingga ratusan ekor. Ada 2 jenis Hus yaitu Hus umum yang diselenggarakan untuk tujuan yang beragam dan di dalamnya tidak mengandung unsur ritual, dan yang kedua yaitu Hus ritual di antaranya yaitu Hus tutus, Hus untuk merayakan panen, dan Hus meminta hujan. Ada beberapa wilayah di Pulau Rote yang mengadakan ritual Hus yang dinamai sesuai wilayahnya misalnya Hus Oehandi, Hus Oebole, Hus Oebou, Hus Ndeo, Hus Nggenioen, dan Hus Fopo. Hus umum diadakan sepanjang tahun sesuai dengan kepentinganya. Hus tutus diadakan di awal tahun, sedangkan Hus merayakan panen diadakan setelah panen, dan Hus meminta hujan diadakan pada setiap akhir musim penghujan, antara bulan April hingga Oktober. Dalam salah satu proses Hus ritual, para tetua meminta hujan kepada para dewa dengan ritual (songgo), yang disebut ritual kalapa (kelapa). Dalam Hus ritual ini pula, para pria mengenakan topi khusus yang khas dan memberikan
6
persembahan kepada arwah leluhur, para wanita menarikan tarian kebalai diiringi alat musik tradisional Rote (gong dan tambur). Hus mengandung nilai filosofis yang tinggi di mana masyarakat Rote melakukan perayaan memberi penghormatan kepada Tuhan dan para leluhur atas hujan dan hasil panenan yang sudah mereka dapat dengan beberapa prosesi, diantaranya adalah uji ketangkasan berkuda, adanya kegotongroyongan, dan sebagai ajang bersosialisasi masyarakat (Disbudpar Kab. Rote Ndao, 2006). Beberapa undang-undang yang menitikberatkan pada pengembangan pariwisata budaya yaitu dalam Kode Etik Kepariwisataan Dunia pasal 4 menyatakan
bahwa
“kepariwisataan
sebagai
pemakai
warisan
budaya
kemanusiaan serta sebagai penyumbang pengembangan warisan budaya itu sendiri.”; pasal 4 ayat 1: “sumber daya kepariwisataan yang berupa warisan kemanusiaan seluruh umat manusia, maka masyarakat yang berasa di wilayah itu memiliki hak dan kewajiban khusus terhadap warisan kemanusiaan itu”; pasal 4 ayat 2: “kebijakan pembangunan kepariwisataan dan kegiatan kepariwisataan itu harus dilaksanakan dengan memperhatikan keindahan, nilai arkeologi, dan warisan budaya, yang seharusnya dilindungi dan diteruskan kepada generasi mendatang.” Demikian juga dalam undang-undang no. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) bab VII, undang-undang RI no. 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan, undang-undang RI no. 10 tahun 2009 pasal 4f, pasal 32 UUD 45 ayat 1, Peraturan Pemerintah RI no. 50 tahun 2011 tentang Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025,
7
dijelaskan tentang pengembangan kepariwisataan dan juga pemanfaatan budaya sebagai salah satu atraksi wisata. Penjelasan pasal-pasal di atas selaras dengan salah satu target sosial budaya dalam usaha pencapaian Destination Management Organization (DMO) yaitu adanya pemanfaatan nilai-nilai budaya untuk berbagai kegiatan pariwisata (Pedoman Pembentukan dan Pengembangan DMO, 2010). Hal ini sesuai dengan salah satu misi Kabupaten Rote Ndao untuk Mengembangkan pariwisata dan budaya lokalnya. Diperkuat lagi dengan misi-misi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Rote Ndao di mana bidang kebudayaan menjadi salah satu hal yang wajib diberi perhatian. Lebih spesifik lagi, dikemukakan dalam misi Disbudpar bahwa upacara adat Hus merupakan salah satu budaya yang mendapat perhatian untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai atraksi wisata budaya asli yang masih tetap bertahan sampai saat ini. Merujuk kepada pasal 32 UUD 45 dijabarkan bahwa “negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya” (ayat 1). Hal ini juga berarti negara mendukung penuh dan memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk pemanfaatan suatu bagian kebudayaan dalam bidang kepariwisataan. Tentunya, dengan pemahaman yang benar tentang unsur-unsur kebudayaan tersebut dan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya sehingga kebudayaan tersebut tidak menjadi komoditas semata tetapi juga dapat dimaknai sebagai salah satu usaha untuk memupuk rasa
8
cinta tanah air dan memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa dengan adanya pengenalan yang baik terhadap budaya negeri yang kita miliki (Yoeti, 2006). Meskipun masih diadakan sampai saat ini, upacara adat Hus sebagaimana sebagian besar peninggalan budaya di Pulau Rote tidak begitu populer di kalangan masyarakat Pulau Rote sendiri, terutama generasi muda. Padahal, upacara adat Hus sudah dicanangkan sebagai salah satu atraksi wisata oleh Disbudpar Kabupaten Rote Ndao. Bahkan dalam booklet pariwisata dan situs resmi kabupaten Rote Ndaopun upacara adat Hus sudah dimunculkan, namun tidak ada informasi yang akurat dan up to date. Ditambah dengan tidak adanya kalendar event pariwisata di Pulau Rote, mengakibatkan berkurangnya referensi wisata selain wisata pantai dan bahari yang diketahui oleh para wisatawan. Tidak dinyana bahwa masih banyak proses yang harus lalui untuk menjadikan Pulau Rote sebagai salah satu destinasi wisata yang handal. Namun patut dihargai perhatian Disbudpar dalam program-program kerjanya untuk menjadikan pariwisata sebagai sektor andalan penghasil PAD yang di antara lainnya yaitu untuk melakukan revitalisasi budaya. Salah satu upaya yang tengah dilakukan oleh pemerintah melalui Disbudpar yaitu dengan menggelar festival Sasando Gong tingkat Kabupaten Rote Ndao di panggung kesenian Ba’a, yang dicanangkan untuk diadakan secara rutin setiap tahunnya. Peserta yang ikut berpartisipasi adalah dari 10 Kecamatan di seluruh Pulau Rote. Melalui festival Sasando Gong ini, bupati Rote Ndao dalam sambutannya mengharapkan bahwa generasi muda yang ada di pulau Rote ikut terlibat secara aktif dalam menyelamatkan budaya Rote dari ambang kepunahan. Ditambahkan juga oleh
9
beliau bahwa semoga dengan diadakannya festival tersebut dapat memberi dampak yang baik guna melestarikan dan mengembangkan sisi pariwisata Rote Ndao (http://news.roteonline.com). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian terhadap potensi pengembangan upacara adat Hus sebagai salah satu atraksi wisata budaya penting dilakukan untuk dapat memperkenalkan atraksi budaya di Pulau Rote selain potensi wisata pantai dan baharinya, yang kemudian diharapkan dapat menjadi salah satu usaha untuk mempertahankan dan menggiatkan lagi kebudayaan asli Pulau Rote serta dapat menggalakkan sadar wisata bagi masyarakat Rote, khususnya generasi muda. Diharapkan juga bahwa hasil penelitian ini dapat menghasilkan suatu rekomendasi kepada pemerintah Kabupaten Rote Ndao dalam upaya peningkatan diversifikasi produk wisata di Pulau Rote. Sejatinya, semua warisan budaya mengandung nilai-nilai filosofis, etika, dan moral yang semestinya dipahami oleh generasi pewaris budaya untuk dipelihara, dibina, dibangun, dan bila dipandang perlu, dikembangkan untuk kepentingan hidup manusia secara menyeluruh (Indrawati, 2010; Kode Etik Kepariwisataan Dunia pasal 4). 1.2
Rumusan Masalah Upacara adat Hus sebagai salah satu warisan budaya lokal di Pulau Rote
yang juga tentunya merupakan bagian dari warisan budaya nasional perlu mendapat perhatian lebih lanjut agar keberlangsungannya dapat tetap terjaga. Dilatarbelakangi oleh keinginan peneliti untuk memperkenalkan kebudayaan di Pulau Rote, khususnya upacara adat Hus sebagai warisan budaya yang bisa
10
dikembangkan sebagai salah satu atraksi wisata budaya, dengan tujuan untuk memperkaya diversifikasi tujuan wisata di Pulau Rote, maka dapat ditarik beberapa pokok permasalahan untuk penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Apa itu upacara adat Hus dan bagaimana prosesinya? 2. Apa saja potensi yang dimiliki upacara adat Hus untuk dapat dikembangkan sebagai atraksi wisata budaya? 3. Bagaimanakah strategi untuk mengembangkan upacara adat Hus sebagai atraksi wisata budaya? 1.3
Keaslian Penelitian Belum ada literatur maupun penelitian-penelitian yang lebih rinci dan
valid tentang upacara adat Hus ini baik itu jurnal, review, ataupun buku. Informasi yang dapat dikumpulkan tentang upacara adat Hus masih sangat minim, itupun hanya dicantumkan secara umum di beberapa blog yang sedikit mereview dan bersifat
advertorial
di
website
resmi
Kabupaten
Rote
Ndao
www.rotendaokab.go.id, dan booklet pariwisata Kabupaten Rote Ndao, namun dalam subbab ini peneliti akan menguraikan beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini utamanya yang berkaitan dengan pengembangan potensi pariwisata dan pariwisata budaya. Tabel 1.1 Penelitian Terdahulu No 1.
Peneliti Gampung, H.
Tahun 2013
2.
Rero, L. S.
2011
Judul/penelitian Kajian Potensi Wisata Minat Khusus di Kampung Wae Rebo Kabupaten Manggarai NTT. (Tesis)
Hasil dan Kesimpulan Bentuk kegiatan wisata yang bisa dilakukan yaitu kegiatan budaya dengan beberapa objek seperti rumah adat Mbaru Niang sebagai atraksi utama, tarian Caci, hasil kerajinan yang beragam, tracking, bird watching, menikmati landscape hutan, dan mengunjungi pulau Mules sebagai tujuan alternatifnya. Strategi Pengembangan - Kekuatan kota Larantuka meliputi keindahan alam, Daya Tarik Wisata keanekaragaman flora dan fauna, terletak di di Spiritual di Kota ibukota kabupaten, kedekatan daya tarik dengan Larantuka Kabupaten pelabuhan, kualitas jalan yang baik menuju daya Flores Timur Provinsi tarik, posisi objek wisata yang sangat strategis, Nusa Tenggara Timur. kualitas pelayanan dan aturan (code of conduct).
11
(Tesis)
3.
Riung, B. H.
2010
Kajian Upacara Traditional Adat Mane’e Sebagai Atraksi Wisata Budaya di Desa Kakorotan Kab. Kepulauan Talaud. (Tesis)
4.
Rohani, E. D.
2013
5.
Wattimury, M.
2009
Optimalisasi Potensi Museum Karst Dalam Rangka Meningkatkan Pengembangan Wisata Pendidikan di Kawasan Karst Pracimantoro. (Tesis) Pengembangan Potensi Ritual Buka Sasi dan Panen Ikan Lompa Sebagai Atraksi Wisata Budaya (Desa Haruku, Kabupaten Maluku Tengah. (Tesis)
1.4
- Strategi alternative yang relevan yaitu strategi pengembangan produk, promosi, strategi pengembangan berkelanjutan, dan SDM. Konsep pengembangan pariwisata yang tepat untuk diterapkan dalam mengembangkan Mane’e yaitu pembangunan pariwisata berbasis masyarakat (community based tourism) yang mengedepankan daya dukung (carrying capacity) dengan membenahi akses dan infrastuktur atraksi, pengembangan pasar, SDM bidang pariwisata, manajemen atraksi Mane’e dan aktor-aktor yang berperan dalam menata atraksi di antaranya Disbudpar Kabupaten Kepulauan Talaud, Dinas Perhubungan Laut, dukungan kelembagaan, serta partisipasi masyarakat. Museum merupakan sarana pendidikan luar sekolah yang dapat dimanfaatkan dengan baik untuk kegiatan pendidikan maupun pariwisata sesuai dengan peran dan fungsi museum sebagai wahana untuk memberikan gambaran dan mendidik pengunjung khususnya pelajar mengenai perkembangan alam dan budaya kawasan karst sebagai tema museum tersebut. Peranan dan dukungan yang lebih besar dari pemerintah desa, masyarakat, lembaga kewang yang mengatur ritual sasi lompa, Disbudpar, hingga akademisi.
Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, adapan tujuan penelitian yang
diharapkan dapat dicapai adalah: 1.4.1
Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengenalkan salah satu
warisan budaya Kabupaten Rote Ndao yaitu upacara adat Hus terutama kepada masyarakat Rote khususnya generasi muda penerusnya, sebagai salah satu referensi atraksi wisata selain pantai dan bahari yang sejak dahulu lebih dominan di mata wisatawan baik nusantara maupun mancanegara, dan juga sebagai bahan rekomendasi untuk pengembangan pariwisata yang lebih bertanggungjawab kepada masyarakat dan alam dengan juga memperhatikan kesejahteraan dan keterlibatan masyarakat pemilik warisan budaya tersebut.
12
1.4.2
Tujuan Khusus
1. Mengetahui
secara
rinci
tentang
upacara
adat
Hus
dan
prosesi
penyelenggaraannya. 2. Mengidentifikasi potensi dan daya tarik upacara adat Hus sebagai atraksi wisata budaya. 3. Merumuskan strategi untuk mengembangkan upacara adat Hus sebagai atraksi wisata budaya. 1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1
Manfaat Teoritis
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang apa saja unsur-unsur dalam upacara adat Hus dan bagaimana prosesinya. 2. Memberikan pengetahuan tentang potensi upacara adat Hus yang dapat dijadikan sebagai daya tarik wisata. 3. Penelitian ini diharapkan dapat menerapkan teori-teori kepariwisataan yang telah ada untuk meningkatkan wawasan dalam bidang pariwisata serta sebagai bahan
kajian
untuk
penelitian
selanjutnya
yang
berkaitan
dengan
pengembangan wisata budaya maupun upacara adat Hus. 1.5.2
Manfaat Praktis
1. Bagi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Rote Ndao, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan masukan dalam menentukan kebijakan untuk mengembangkan pariwisata di Kabupaten Rote Ndao, khususnya pulau Rote.
13
2. Bagi pihak swasta yang berniat untuk menjadi investor di Pulau Rote agar menjadi bahan referensi diversifikasi tujuan wisata selain wisata pantai dan bahari. 3. Bagi masyarakat Pulau Rote, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai sarana untuk mengenal lebih lagi tentang kepariwisataan di Pulau Rote, khususnya pengenalan akan budaya Rote. 4. Bagi wisatawan, hasil penelitian ini diharapkan mampu dijadikan bahan referensi dalam memutuskan untuk melakukan perjalanan wisata ke pulau Rote, untuk tidak hanya menikmati wisata pantai dan baharinya saja tetapi juga menaruh minat pada wisata budayanya.