1 BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sebagai salah satu aktivitas sosial ekonomi dominan yang disebut sebagai industri terbesar di dunia, pariwisata terbukti dan teruji menjadi penghasil devisa utama di berbagai negara seperti Thailand, Singapura, Filipina, Fiji, Maladewa, Hawaii, Barbados, dan Kepulauan Karibia. Tidaklah berlebihan jika pada akhirnya pariwisata dikatakan sebagai passport to development.1 Sejalan dengan itu Indonesia dengan begitu banyaknya sumber daya pariwisata seperti budaya dan keindahan alam juga menjadikan pariwisata merupakan salah satu penyumbang devisa bagi negara Indonesia. Berdasarkan pada Badan Pusat Statistik, pada tahun 2013 total pendapatan yang diperoleh dari sektor pariwisata mencapai 10,05 miliar dollar AS, disamping itu tercatat jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke pulau Bali pada bulan Pebruari 2014 mencapai 275.795 orang.2 Hal ini berarti sektor pariwisata merupakan komoditas terbesar ketiga sebagai penyumbang pendapatan negara. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang nomor 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan, yang dimaksud dengan wisata adalah “kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu dengan tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau
1 IGN Parikesit Widiatedja, 2011, Kebijakan Liberalisasi Pariwisata: Kontruksi, Konsep, Ragam Masalah dan Alternatif Solusi, Udayana University Press, Denpasar, h. 90. 2 Parwata; 2014, “Dilema Pariwisata Bali 2014”, Majalah Bali PostEdisi April-Mei 2014, h. 38.
1
2 mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara”. Terdapat berbagai tujuan wisata yang telah menjadi ikon pariwisata Indonesia di mata dunia internasional. Bali merupakan salah satu daerah tujuan wisata yang menjadi favorit wisatawan dari mancanegara. Bali dengan keunikan budaya dan keindahan alamnya serta keramahan warganya menjadikan pulau ini sangat dikenal sebagai tempat tujuan wisata. Tingginya angka kunjungan wisata ke Bali menyebabkan Bali menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar dari sektor pariwisata, mengalahkan berbagai daerah tujuan wisata lain di Indonesia. Mengkaji mengenai pariwisata maka tidak akan terlepas dari bisnis pariwisata itu sendiri, adapun bisnis pariwisata merupakan aspek kegiatan kepariwisataan yang berorientasi pada penyediaan jasa pariwisata. Bisnis pariwisata meliputi seluruh kegiatan penyediaan jasa (services) yang dibutuhkan wisatawan. Kegiatan ini meliputi jasa perjalanan (travel) dan transportasi (transportation), penginapan (accommodation), jasa boga (restaurant), rekreasi (recreation), dan jasa-jasa lain yang terkait, seperti jasa informasi, telekomunikasi, penyediaan tempat dan fasilitas untuk kegiatan tertentu, penukaran uang (money changer), dan jasa hiburan (entertainment).3 Dengan kata lain sektor pariwisata menjadi lokomotif penggerak perekonomian di Bali karena sebagian besar masyarakat di Bali kehidupannya berkecimpung dalam sektor bisnis pariwisata baik secara langsung maupun tidak langsung.
3
I.B. Wyasa Putra, dkk, 2003, Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung,h.18.
3 Disamping itu, begitu terkenalnya Bali dengan pariwisatanya menjadi alasan begitu banyaknya penanam modal baik asing maupun domestik untuk turut serta menyelenggarakan usaha pariwisata di Bali sehingga dewasa ini dapat kita jumpai banyaknya bisnis atau usaha yang lahir dalam sektor ini. Namun pertumbuhan bisnis atau usaha pariwisata di Bali yang pesat tidak dibarengi dengan pemenuhan standar-standar keamanan bagi wisatawan dan bahkan bagi kelestarian lingkungan sekitar dimanahal ini merupakan salah satu faktor penting dalam keberlanjutan pariwisata Bali. Mampu memberikan jaminan keamanan dan keselamatan bagi wisatawan merupakan kewajiban bagi para pelaku usaha pariwisata yang menjalankan kegiatan usaha dibidang pariwisata, dan menjadi hak bagi wisatawan untuk memperoleh jaminan keamanan dan keselamatan dalam berwisata. Sejalan dengan hal tersebut Micheal J. Perry menyatakan bahwa “we should live in accordance with the fact that every human being has inherent dignity”.4 Hak asasi manusia dalam hal memperoleh jaminan keselamatan merupakan hak asasi manusia yang wajib mendapatkan perhatian serta berkedudukan setara bagi semua orang tanpa terkecuali. Hak tersebut harus pula diposisikan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat termasuk bagi wisatawan baik asing maupun domestik, sehingga nantinya tidak adanya kesenjangan antara satu dengan yang lainnya.5 Sejalan dengan hal tersebut, semua orang dilahirkan bebas dan merdeka serta memiliki hak-hak tertentu yang bersifat alamiah, inherent, dan tidak dapat
4 Micheal J. Perry, 2007, Toward a Theory of Human Rights, Cambridge University Press, New York, h. 5. 5 Pan Mohamad Faiz, 2009,Teori Keadilan John Rawls, Jurnal Konstitusi: Vol. 6. NO. 1, Jakarta, h. 140.
4 dikurangi, salah satunya adalah hak untuk mendapatkan kebahagiaan hidup dan keselamatan.6 Sebagai contoh tidak dipenuhinya standar keamanan dalam menjalankan bisnis atau usaha pariwisata ini adalah seringnya kita jumpai wisatawan yang menjadi korban baik luka maupun nyawa yang hilang dalam mengikuti kegiatan luar ruangan seperti arung jeram (rafting), menyelam (diving), dan sebagainya. Terkait hal tersebut, secara tidak langsung dapat berdampak pada citra bisnis atau usaha pariwisata di Bali. Jadi pada prinsipnya, usaha pariwisata wajib memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia bagi wisatawan khususnya dalam hal ini adalah hak asasi untuk memperoleh keamanan. Perihal sertifikasi usaha di bidang pariwisata telah diatur oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, selanjutnya disebut UU Kepariwisataan yang termuat dalam ketentuan Pasal 54 dan Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 2012 tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata, selanjutnya disebut PP 52/2012 Pasal 24 yang menyatakan bahwa setiap pengusaha pariwisata wajib memiliki sertifikat usaha pariwisata. Dalam kenyataan di lapangan, banyak dijumpai bisnis atau usaha pariwisata di Bali yang tidak atau belum memiliki standar atau sertifikasi dalam menjalankan kegiatan usahanya. Hal tersebut diakibatkan karena belum adanya regulasi daerah (Perda) yang khusus mengatur tentang sertifikasi usaha pariwisata, sehingga
6
Feri Amsari, 2009, Satjipto Rahardjo Dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif, Jurnal Konstitusi: Vol. 6. NO. 2, Jakarta, h. 170.
5 penegakan hukumnya tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Berpijak dari latar belakang tersebut, maka peneliti merasa perlu untuk mengkaji lebih lanjut mengenai “Pengaturan Sertifikasi Usaha Pariwisata Dalam Meningkatkan Pariwisata Bali”. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, adapun yang menjadi rumusan masalah adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaturan tentang sertifikasi usaha pariwisata di Bali? 2. Apa akibat hukum terhadap usaha pariwisata yang belum memiliki dan menerapkan sertifikasi usaha terhadap pariwisata Bali? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Untuk memperoleh uraian yang lebih jelas, terarah dan sistematis, maka perlu diadakan pembatasan terhadap ruang lingkup masalah. Hal ini untuk menghindari adanya pembahasan yang menyimpang dari permasalahan yang dikemukakan. Permasalahan yang terkait dengan judul di atas akan diteliti mengenai faktor-faktor hukum untuk mengetahui pengaturan sertifikasi usaha pariwisata dalam meningkatkan pariwisata Bali. 1.4 Orisinalitas Penelitian Munculnya kewajiban adanya sertifikasi usaha di bidang pariwisata dapat menimbulkan beberapa konsekuensi hukum bagi usaha pariwisata yang belum mengantongi atau memiliki sertifikasi. Hal ini menyebabkan berbagai kalangan tertarik untuk mengangkat topik ini menjadi objek penelitian.
6 Pertama, penulis menemukan penelitian untuk Tesis di Universitas Andalas, atas nama Rika Aryati berjudul “Pengaturan dan Pelaksanaan Standarisasi dan Sertifikasi Usaha Jasa Pariwisata di Kota Bukit Tinggi” dengan rumusan masalah: 1. Bagaimanakah bentuk pengaturan pelaksanaan standarisasi dan sertifikasi usaha jasa pariwisata? 2. Bagaimanakah pelaksanaan dari standarisasi dan sertifikasi usaha jasa pariwisata di kota Bukit Tinggi? Penelitian ini pada dasarnya menekankan pada pelaksanaan standarisasi dan sertifikasi usaha jasa pariwisata di kota Bukit Tinggi dimana di dalam kenyataannya masih banyak ditemui usaha-usaha jasa pariwisata yang belum memiliki standarisasi dan sertifikasi yang dimaksud. Bahkan tidak sedikit pula usaha jasa pariwisata yang ada, sama sekali tidak mengetahui adanya peraturan yang mengatur perihal standarisasi dan sertifikasi ini dalam menjalankan kegiatan usaha mereka. Kedua, penulis menemukan penelitian di Universitas Diponegoro atas nama Timang
Setyorini
berjudul
“Kebijakan
Pemerintah
Dalam
Rangka
Meningkatkan Pariwisata Di Kabupaten Semarang”, jenis penelitian hukum empiris dengan rumusan masalah: 1. Bagaimana pengaturan kepariwisataan di kabupaten Semarang? 2. Bagaimana upaya pemerintah dalam meningkatkan pariwisata di kabupaten Semarang? Penelitian ini pada dasarnya untuk mengkaji berbagai bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten Semarang sebagai upaya meningkatkan
7 pariwisata di kabupaten Semarang, salah satunya dalam hal peningkatan pendapatan dari sektor Periwisata. Dibandingkan dengan penelitian yang penulis lakukan, terlihat perbedaanperbedaan yang spesifik. Penekanan pada penelitian ini terletak pada adanya kekosongan norma pada pengaturan sertifikasi usaha pariwisata dalam hal ini belum adanya Perda Bali yang mengatur secara khusus mengenai sertifikasi usaha pariwisata Bali, sehingga belum adanya kepastian hukum terhadap usaha pariwisata yang masih beroperasi walaupun belum memiliki sertifikasi usaha pariwisata. Di dalam meningkatkan pariwisata Bali mutlak dibutuhkan regulasi yang tegas dan konkrit. Dengan tujuan pemenuhan terhadap hak asasi manusia untuk berwisata dengan memberikan rasa aman dan nyaman bagi wisatawan di Bali. 1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum Dalam dunia keilmuan dikenal adanya paradigma ilmu sebagai proses. Hal ini tentunya menjadi landasan bahwa pengkajian terhadap berbagai produk hukum khususnya terhadap aturan hukum yang memberikan dasar pengaturan bagi sertifikasi usaha pariwisata harus dilakukan mengingat pentingnya jaminan perlindungan hukum terhadap hak asasi manusia khususnya dalam memperoleh keselamatan dan keamanan berwisata. Oleh karena itu, maka penelitian ini secara umum bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum, terutama terkait upaya meningkatkan kualitas pariwisata di Bali. Di samping itu penulisan hukum yang representatif dan akurat merupakan faktor strategis bagi berperannya hukum dalam
8 masyarakat
yang
mendambakan
ketertiban,
keadilan,
kedamaian,
dan
kesejahteraan.7 1.5.2 Tujuan Khusus Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pengaturan tentang sertifikasi usaha pariwisata. 2. Untuk mengetahui akibat hukum terhadap belum adanya pengaturan tentang sertifikasi usaha pariwisata bagi pariwisata Bali. 1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis Secara teoritis hasil penelitian ini dapat digunakan untuk perluasan wawasan keilmuan, khususnya dalam penggunaan teori dan asas-asas hukum terhadap permasalahan normatif yang ditimbulkan sebagai akibat terjadinya kekosongan norma hukum (leemten van normen). 1.6.2 Manfaat Praktis a. Bagi pemerintah, diharapkan dapat memberikan kontribusi sebagai perumus dan pelaksana kebijakan agar melakukan pembentukkan kebijakan atau regulasi daerah berupa Peraturan Daerah Bali tentang sertifikasi usaha pariwisata. b. Bagi kalangan akademisi, diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan tambahan pengetahuan dan memberikan kontruksi berpikir yang metodis
7
Zainuddin Ali, 2010, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h. 166.
9 atas permasalahan normatif yang ditimbulkan akibat adanya kekosongan norma hukum. c. Bagi masyarakat dan wisatawan, diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan pemahaman terhadap hak asasi manusia dalam berwisata khususnya hak untuk memperoleh keselamatan dan keamanan berwisata. 1.7 Landasan Teoritis Aturan hukum yang memberikan landasan terhadap sertifikasi usaha pariwisata saat ini adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan (selanjutnya disingkat UU Kepariwisataan) khususnya dalam ketentuan Pasal 54 perihal sertifikasi usaha pariwisata. 2. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2012 Tentang Sertifikasi Kompetensi dan Sertifikasi Usaha di Bidang Pariwisata (selanjutnya disingkat PP No. 52/2012) dalam ketentuan Pasal 17 dan Pasal 24 bahwa sertifikasi bersifat wajib bagi semua pengusaha yang bergerak pada bisnis atau usaha pariwisata. 3. Peraturan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Usaha Pariwisata (selanjutnya disingkat Permen 1/2014). Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945, dinyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”, pernyataan ini secara implisit memberi isyarat bahwa hukum di dalam negara
10 Indonesia berkedudukan sangat mendasar dan tertinggi (supreme).8 Maka sudah tentu setiap perbuatan baik yang dilakukan oleh penguasa maupun rakyat Indonesia haruslah berlandaskan atas koridor hukum.9 Sejalan dengan hal tersebut, F.J. Stahl tentang negara hukum ditandai oleh empat unsur pokok yaitu: a. Adanya jaminan atas hak-hak asasi manusia. b. Adanya pembagian kekuasaan. c. Pemerintahan haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum (wetmatig van bestuur). dan d. Adanya peradilan administrasi negara ( PTUN) yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad).10 Terkait hal tersebut negara memiliki tugas untuk menjaga keamanan dalam arti kata seluas-luasnya, yaitu keamanan sosial (social security) dan menyelenggarakan kesejahteraan umum, berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang benar dan adil sehingga hak-hak asasi warga negaranya benar-benar terjamin dan terlindungi. Dengan kata lain, hak asasi bagi wisatawan untuk memperoleh jaminan keselamatan dalam berwisata harus diatur dalam suatu ketentuan hukum. Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji pula mengenai jenjang hirarki suatu peraturan perundang-undangan yang menjadikan dasar bahwa perlu adanya Peraturan Daerah yang mengatur tentang sertifikasi usaha pariwisata. Mengkaji
8
Imam Syaukani, 2007, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 83. Ahmad Kamil, 2008, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, Kencana, Jakarta, h. 19. 10 Dasril Radjab, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, h. 77. 9
11 mengenai jenjang hirarki norma hukum, peneliti menggunakan Stufenbau Teori dari Hans Kelsen yang juga telah disempurnakan oleh Hans Nawiansky dengan membuat tata susunan norma hukum negara (die stufenordung der rechrtsnormen) dalam empat tingkatan, yaitu: 1. Grundnorm (Norma Dasar Negara) 2. Staatsgrundgezets (Aturan Dasar/Pokok Negara) 3. Formell Gezets (Undang-Undang Formal) 4. Verordnung & Autonome Satzung (Aturan Pelaksana & Aturan Otonomi). Mengenai hak asasi manusia dalam bidang kepariwisataan, maka peneliti menggunakan beberapa pengaturan global di bidang kepariwisataan yang berkaitan langsung dengan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam memperoleh jaminan keamanan dan keselamatan dalam berwisata, adapun pengaturan global kepariwisataan tersebut antara lain: 1. Universal Declaration of Human Rights 1948, yang selanjutnya dikenal dengan istilah Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), dimana memberikan pula pengaturan mengenai berwisata adalah bagian dari hak asasi manusia dan harus mendapatkan perlindungan sebagaimana hak asasi manusia pada umumnya; 2. United Nation Global Code of Ethics on Tourism, dimana menjadi dasar bagi
para
pemangku
kepentingan
di
bidang
pariwisata
untuk
menyelenggarakan pariwisata sesuai dengan kode etik pariwisata internasional, salah satunya memberikan jaminan keselamatan dan
12 keamanan dalam berwisata serta melakukan pencegahan akan terjadinya kecelakaan dalam berwisata. Dalam kaitan terjadinya suatu kekosongan norma hukum akibat belum adanya peraturan yang mengatur mengenai masalah hukum tertentu, maka diperlukan adanya penemuan hukum (rechtsvinding), dimana penemuan hukum merupakan suatu kegiatan yang terjadi dalam praktek hukum, namun tidak dapat dipisahkan dari teori hukum yang ada. Secara sederhana penemuan hukum dapat dikatakan sebagai menemukan hukumnya karena hukumnya tidak lengkap atau tidak jelas. Lebih lanjut dapat juga dikatakan bahwa penemuan hukum adalah proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu.11 Tujuan utama dari penemuan hukum adalah untuk memberikan rasa keadilan dan jaminan kepastian hukum bagi kepentingan proses hukum yang berkeadilan dan penerapan ketentuan hukum yang adil.12 Di sisi lain, ketika terjadi kekosongan norma hukum, dan untuk mengisi kekosongan hukum tersebut, dapat juga dilakukan dengan metode argumentasi dan metode kontruksi hukum.13Hal ini nantinya akan dijadikan kajian bagi peneliti untuk mengkaji mengenai perlu adanya suatu kebijakan atau regulasi daerah dalam hal ini berupa Peraturan Daerah Provinsi Bali terkait sertifikasi usaha pariwisata di Bali. 1.8 Metode Penelitian
11
Sudikno Mertokusumo, 2007, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, h.
37. 12 H.F. Abraham Amos, 2007, Legal Opinion: Aktualisasi Teoritis dan Empirisme, Rajawali Pers, Jakarta, h. 23. 13 Asep Dedi Suwasta, 2012, Tafsir Hukum Positif Indonesia, Alia Publishing, Bandung, h. 53.
13 1.8.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif, dimana penelitian ini juga sering disebut penelitian hukum doktrinal. Pada jenis penelitian ini, penelitian hukum diserasikan dengan disiplin hukum yang merupakan suatu sistem ajaran tentang hukum sebagai norma dan kenyataan.14 Penelitian hukum normatif ini dianggap sesuai dengan permasalahan yang diteliti terkait dengan Pengaturan Terhadap Sertifikasi Usaha Pariwisata Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Pariwisata Bali. 1.8.2 Jenis Pendekatan Merupakan proses pemecahan masalah melalui tahap-tahap yang telah ditentukan, sehingga mencapai tujuan penelitian.15 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa jenis pendekatan diantaranya: 1. Pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach). Dalam hal ini peneliti melakukan analisis terhadap peraturan-peraturan yang terkait dengan kebijakan tentang sertifikasi usaha pariwisata; 2. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (Analitical and Conceptual Approach). Dalam hal ini peneliti melakukan analisis terhadap konsepkonsep hukum yang berhubungan dan menjadi dasar adanya kebijakan tentang sertifikasi usaha pariwisata, serta hak asasi manusia untuk memperoleh jaminan keselamatan dan keamanan dalam perspektif kepariwisataan.
14 Soerjono Soekanto, 2013, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 20. 15 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 112.
14 1.8.3 Bahan Hukum Di dalam mengkaji isu hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya, diperlukan sumber-sumber penelitian. Begitu pula penelitian ini, bahan hukum yang digunakan meliputi: 1.
Bahan Hukum Primer Mengingat Indonesia merupakan negara jajahan Belanda, sebagaimana
negara-negara Eropa Kontinental lainnya, Indonesia merupakan penganut civil law system sehingga bahan hukum primer adalah perundang-undangan.
Undang-
Undang Dasar merupakan otoritas tertinggi dari perundang-undangan di Indonesia karena semua peraturan dibawahnya baik isi maupun jiwanya tidak boleh bertentangan dengan UUD tersebut. Bahan hukum primer yang selanjutnya adalah undang-undang yang merupakan kesepakatan antara pemerintah dan rakyat sehingga mempunyai kekuatan mengikat untuk penyelenggaraan kehidupan bernegara. Sejalan dengan undang-undang, untuk tingkat daerah adalah Peraturan Daerah yang juga mempunyai daya otoritas yang tinggi untuk tingkat daerahnya karena dibuat oleh pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Bahan primer yang otoritasnya dibawah peraturan daerah adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau Peraturan suatu Badan atau Lembaga Negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sedangkan untuk tingkat daerah, Keputusan Kepala Daerah mempunyai otoritas yang lebih rendah dibandingkan Perda.
15 2.
Bahan Hukum Sekunder Merupakan bahan hukum yang bersumber dari buku-buku dan artikel-artikel
hukum yang mempunyai relevansi dengan masalah yang diteliti.16 Bahan hukum Sekunder terdiri atas: a) Buku-buku Hukum (text book); b) Jurnal-jurnal hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam media massa; c) Kamus
dan
ensiklopedia
hukum
(beberapa
penulis
hukum
menggolongkan kamus dan ensiklopedia hukum ke dalam bahan hukum tertier; dan Internet dengan menyebut nama situsnya. 1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum yang dikenal yaitu studi kepustakaan. Dalam studi kepustakaan, dilakukan pencatatan terhadap bahan-bahan yang ada dalam literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan dan pembahasan dalam penelitian ini dan membuat catatan-catatan baik berupa kutipan langsung maupun tidak langsung, kemudian disusun dengan masalah yang ada. Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan snowball method (metode bola salju).17 Adapun yang dimaksud dengan metode bola salju adalah metode menggelinding secara terus menerus yang mengacu kepada peraturan perundangundangan, dan buku-buku hukum dalam daftar pustaka yang berkaitan dengan sertifikasi usaha pariwisata.
16
Peter Mahmud Marzuki, 2010, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, h. 155. Djam’an Satori, 2010, Metodelogi Penelitian Kualitatif, Alfabeta, Bandung, h. 18.
17
16 1.8.5 Teknik Analisis Bahan Hukum Di dalam menganalisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul digunakan berbagai teknik analisis seperti deskripsi, interpretasi, konstruksi, evaluasi, argumentasi atau sistematisasi. Teknik yang dipergunakan dalam menganalisis bahan hukum dalam penelitian ini adalah teknik deskripsi dan teknik sistematisasi. Teknik deskripsi adalah teknik dasar analisis yang berisikan uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non-hukum. Teknik sistematisasi adalah berupa upaya mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.