BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Pasca reformasi tahun 1998, landasan hukum pemilihan umum (pemilu)
berupa
Undang-Undang
mengalami
perubahan
besar
meskipun
terjadi
kesinambungan dibandingkan dengan peraturan serupa di masa Orde Baru. Sejak pemilihan umum tahun 1999, pertama pasca reformasi tahun 1998, salah satu perubahan besar yang terjadi adalah format politik multipartai mulai berlaku dan berkesinambungan secara berturut-turut hingga pemilihan umum tahun 2014. Dalam pemilihan umum tahun 1999 yang berlandaskan pada Tap MPR No. XIV/MPR/1998 Tentang Pemilihan Umum, Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum, dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik, Pemilu Anggota Legislatif tahun 1999 diikuti oleh 48 partai politik (Parpol). 1 Pemilihan umum tahun 2004 diikuti oleh 24 partai politik, pemilihan umum tahun 2009 diikuti oleh 44 partai politik, dan pemilihan umum tahun 2014 diikuti oleh 10 partai poltik. 2 Format multipartai yang berkesinambungan pasca reformasi pun diakomodasi dalam setiap perubahan Undang-Undang Pemilihan Umum setelah pemilihan umum tahun 1999 sebagaimana tercantum dalam landasan hukum 1
“Direktori Penyelenggaraan Pemilu” dalam situs internet Kepustakaan Presiden, Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (perpusnas.go.id), diakses pada Oktober 2015. 2 Ibid.
2
pemilihan umum tahun 2004 (Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta Undang-Undang RI Nomor 22 Tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), pemilihan umum tahun 2009 (Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), serta pemilihan umum tahun 2014 (Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 Tentang Majelis Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Tentang Partai Politik; Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 No. 101, tambahan lembaran Negara Republik Indonesia No. 5246); Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 No. 117, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5316). Perubahan atau regenerasi Undang-Undang Pemilihan Umum pasca reformasi tahun 1998 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganut prinsip negara hukum 3, tentu berlandaskan pada aturan dasar sebagai fondasi untuk menerapkan supremasi konstitusi dalam setiap peri kehidupan 3
Dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi,” Indonesia adalah negara hukum”.
3
berbangsa dan bernegara. Supremasi konstitusi ini selain sebagai bentuk konsistensi dan konsekuensi dari konsep negara hukum, juga merupakan wujud pelaksanaan demokrasi. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 Ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Disebutkan juga, dalam sila ke-4 Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”. 4 Dalam hal ini, perwakilan rakyat dipilih dalam pemilihan umum untuk duduk di kursi badan legislatif Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota, kabupaten dan provinsi. Pemilihan anggota legislatif diatur dalam Pasal 19 ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945, yang berbunyi : “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui Pemilihan Umum”.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga
diatur bab tentang Pemilihan Umum, yaitu Pasal 22 E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6). Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 menyebutkan Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Disebutkan juga dalam Pasal selanjutnya, bahwa; “Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”. 5 Kata “Adil” pada akhir kalimat Pasal tersebut mempunyai makna agar pelaksanaan 4 5
Sila ke-4 Pancasila (Ideologi bangsa dan negara Indonesia). Pasal 2 Undang-Undang Pemilu No.8 Tahun 2102 Tentang Pemilihan Umum.
4
Pemilu dari awal hingga akhir dapat menetapkan para wakil rakyat yang sesuai dengan metode yang adil agar kiranya kandidat wakil rakyat tersebut juga dapat bersikap adil dalam mengemban amanah tugas jabatan sebagai wakil rakyat. Tujuan perubahan Undang-Undang Pemilu dari waktu ke waktu senantiasa terkait
dengan usaha menegakkan asas adil tadi. Perubahan Undang-Undang
Pemilu pada prinsipnya bertujuan memperbaiki sistem pemilihan sebelumnya menjadi lebih baik, demi mendorong demokrasi yang lebih matang, tertib hukum, berkeadilan, serta terkonsolidasinya potensi bangsa demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. 6 Meski begitu, belum tentu perubahan itu mencapai tujuannya, atau setidaknya muncul masalah baru menyusul kemudian. Masalah yang acpkali ditemukan dari perubahan Undang-Undang Pemilu Legislatif adalah masalah keterwakilan (representasi) pemilih dalam perolehan kursi Dewan Perwakilan Rakyat yang ditentukan melalui penghitungan suara. Isunya merentang mulai dari representasi perempuan di lembaga legislatif, pembatasan keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat, syarat ambang batas untuk kepesertaan partai politik dalam Pemilu (Electoral Threshold, ET) dan ambang batas suara untuk memperoleh kursi Dewan Perwakilan Rakyat bagi partai politik (Parliamentary Threshold), penambahan kursi Dewan Perwakilan Rakyat dan alokasi kursi di tiap daerah pemilihan, penentuan penghitungan sisa suara (stembus accord), serta sistem Pemilu secara keseluruhan. 7
6
TA. Wibowo dan Sebastian Salang, Panduan Menjadi Calon Anggota DPR/DPD/DPRD Menghadapi Pemilu, Niaga Swadaya, Jakarta, 2008, hlm. 1. 7 Lihat terutama Legowo dan Salang, Ibid., hlm. 3-8. Masalah representasi perempuan antara lain dapat dilihat dalam Representasi Perempuan dalam Regulasi Partai Politik dan Pemilu: Naskah Rekomendasi Kebijakan, Pusat Kajian Politik, Departemen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia (Puskapol DIP FISIP UI), Depok, 2010. Untuk
5
Secara umum sistem Pemilu pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu sistem perwakilan distrik atau mayoritas (single member constituencies) dan sistem perwakilan berimbang (proportional representation). 8 Sistem Pemilu tahun 2014 memang sama dengan sistem Pemilu tahun 2009 yaitu menggunakan sistem proposional terbuka, namun berbeda dalam metode perhitungan penentuan kursi legislatif alokasi kursi per daerah pemilihan. Metode penghitungan suara untuk dikonversi menjadi kursi pada Pemilu tahun 2014 adalah menggunakan metode kuota dengan sisa suara dibagi habis di daerah pemilihan. Daerah pemilihan dalam Pemilu Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia pada tahun
2014
adalah
provinsi
atau
gabungan
kabupaten/kota dalam satu provinsi, dengan total 77 daerah pemilihan (Dapil) yang tersebar dalam 34 provinsi di Indonesia. Penentuan jumlah daerah pemilihan dalam setiap provinsi disesuaikan dengan jumlah kepadatan penduduk di suatu daerah tertentu tersebut. Alokasi kursi di setiap dapil berkisar antara 3-10 kursi. Alokasi kursi tersebut merupakan distribusi terhadap 100% (seratus persen) jumlah kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada daerah pemilihan masing-masing sesuai periode sebelumnya tahun 2009-2014. Penentuan kursi legislatif pada Pemilu tahun 2009 berbeda dengan perolehan kursi legislatif tahun 2014, hal ini disebabkan oleh berlakunya ketentuan Parliamentary Threshold. Pada Pemilu Legislatif tahun 2009, partai
masalah lainnya lihat perkara-perkara uji materi terhadap Undang-Undang Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden di Mahkamah Konstitusi. 8 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara jilid 2, Sekretariat Jenderal Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hlm. 181.
6
politik yang mendapatkan kursi legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat adalah partai politik yang berhasil menembus Parliamentary Threshold 2,5 persen, 9 yakni perolehan suara sah partai politik tersebut mencapai minimal 2,5 persen dari total suara sah pemilih secara nasional. Sedangkan pada Pemilu Legislatif tahun 2014, persentase Parliamentary Threshold
naik menjadi 3,5 persen. Maka
perolehan suara sah dari partai politik tersebut mencapai minimal 3,5 persen dari total suara sah pemilih secara nasional. Terkait persentase ini, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan Parliamentary Threshold sebesar 3,5 persen konstitusional sebagaimana hal yang sama Mahkamah Konstitusi (MK) juga memutus konstitusional untuk 2,5 persen pada Pemilu sebelumnya. Nilai atau angka Parliamentary Threshold tersebut menurut Mahkamah Konstitusi (MK) adalah kebijakan hukum terbuka dari legislator (opened legal policy). Cara menghitung perolehan kursi setiap partai politik untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, berbeda tata caranya dengan aturan penghitungan kursi bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota. Ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk menghitung perolehan kursi partai politik dan penetapan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia terpilih. Tahapan pertama adalah memenuhi syarat pertama yaitu mencapai angka ambang batas parlemen atau Parliamentary Threshold tersebut dituangkan jelas dalam Pasal 208 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum,
9
Pasal 202 Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
7
berikut bunyi pasal nya: 10 ”Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% (tiga koma lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota. Partai politik yang tidak mencapai 3,5 persen Parliamentary Threshold , otomatis gagal memperoleh kursi Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota. di setiap daerah pemilihan. Dasar hukumnya disebutkan dalam Pasal 209 11, berbunyi sebagai berikut: “Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208, tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di setiap daerah pemilihan. Bagi para Calon Legislatif (Caleg) dari partai politik yang tidak mencapai ambang batas Parliamentary Threshold tersebut, tidak akan menjadi anggota legislatif di tingkat manapun. Suara sah partai politik yang tidak mencapai ambang batas Parliamentary Threshold tersebut akan terbuang percuma. Aturan Parliamentary Threshold 3,5 persen hanya digunakan untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan tidak berlaku untuk pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 mengatur syarat memenuhi Parliamentary Threshold bagi pemilu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tetapi
10
Lihat Pasal 208 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 11 Lihat Pasal 209 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
8
berdasar putusan Mahkamah Konstitusi (MK), Parliamentary Threshold hanya berlaku bagi pemilu Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan Parliamentary Threshold bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dinyatakan inkonstitusional dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat pada tanggal 29 Agustus tahun 2012 lalu. Menentukan persentase perolehan suara partai politik yang memenuhi Parliamentary Threshold
tata caranya dengan membagi perolehan suara sah
setiap parpol secara nasional dengan total keseluruhan perolehan suara sah parpol secara nasional kemudian dikalikan 100 persen. Hanya partai politik yang memenuhi Parliamentary Threshold
3,5 persen atau lebih suaranya dihitung
untuk mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Suara yang terpakai adalah selisih antara jumlah suara sah seluruh partai politik dikurangi suara sah partai politik yang tidak lolos atau tidak mencapai ambang batas Parliamentary Threshold . Selisih suara inilah yang dipergunakan sebagai pedoman ditetapkannya jumlah Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) sesuai daerah pemilihan masing-masing (Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten atau kota). BPP adalah jumlah suara sah suatu daerah pemilihan dibagi dengan jumlah alokasi kursi di daerah pemilihan tersebut, setelah ditentukan partai politik yang suaranya hangus dan partai politik yang memenuhi Parliamentary Threshold, tahap berikutnya yaitu menentukan jumlah suara sah untuk penghitungan kursi, sebelum menentukan angka BPP DPR, langkah awal untuk menghitung jumlah suara sah untuk penghitungan kursi dengan cara, yaitu: total perolehan suara sah
9
partai politik di setiap daerah pemilihan dikurangi perolehan suara sah partai politik yang tidak memenuhi Parliamentary Threshold 3,5 persen. 12 Suara partai politik yang tidak lolos Parliamentary Threshold
tidak dihitung. Cara
menentukan BPP adalah jumlah suara sah tersebut (total suara sah seluruh partai politik dikurangi seluruh suara parpol yang tidak lolos PT) dibagi jumlah kursi di daerah pemilihan tersebut. 13 Komisi Pemilihan Umum (KPU) kemudian melakukan penghitungan perolehan kursi partai politik di setiap daerah pemilihan tersebut. Penghitungan perolehan kursi partai politik di setiap daerah pemilihan menurut Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu : 1.
Tahap Pertama: Penghitungan tahap pertama dilakukan dengan cara membagi
jumlah suara sah setiap partai politik (yang lolos 3,5 persen) dengan angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Ada kemungkinan partai politik mendapatkan beberapa kursi (satu kursi atau lebih) atau tidak mendapatkan kursi pada tahap pertama ini. Ada tiga ketentuan penghitungan kursi pada tahap pertama, yaitu: a) Jika suara sah suatu partai politik sama jumlahnya atau lebih besar dibandingkan dengan BPP, partai politik tersebut memperoleh kursi.
12
Lihat Pasal 209 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 13 Lihat Pasal 209 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
10
b) Jika dalam penghitungan tahap pertama masih terdapat sisa suara, maka sisa suara tersebut akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua. 14 c) Jika suara sah suatu partai politik tidak mencapai BPP, maka parpol tersebut tidak memperoleh kursi pada penghitungan tahap pertama, 15 tetapi ada kemungkinan mendapat kursi pada tahap kedua karena jumlah suara sahnya masih dihitung dengan dianggap “sisa suara” yang digunakan dalam penghitungan kursi tahap kedua. 2.
Tahap Kedua: Penghitungan tahap kedua dilakukan jika masih terdapat sisa kursi
dalam penghitungan tahap pertama diatas. Jika pada tahap pertama kursi sudah habis karena beberapa partai memenuhi angka BPP, maka tidak ada penghitungan tahap kedua. 16 Penghitungan tahap kedua dilakukan dengan cara membagikan sisa kursi yang belum terbagi satu per satu sampai habis kepada partai politik berdasarkan sisa suara terbanyak. Yang dimaksud masih terdapat “sisa suara” pada penghitungan tahap pertama jika :
14
Lihat Pasal 212 poin (a) Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 15 Lihat Pasal 212 poin (b) Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 16 Lihat Pasal 212 poin (c) Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
11
a) Partai politik yang mendapatkan sejumlah kursi pada tahap pertama kemungkinan ada “sisa suara” (jika jumlah suara sah partai politik melebihi angka BPP). b) Partai politik yang tidak mencapai angka BPP (otomatis tidak dapat kursi di tahap pertama) pada penghitungan tahap pertama, jumlah suara sah parpol tersebut dianggap “sisa suara” yang akan diperhitungkan peringkatnya terhadap parpol lain. Pada tahap kedua ini dimungkinkan sebuah parpol memiliki suara sah atau sisa suara sama. Dalam hal ini terjadi maka parpol yang memiliki sisa suara yang lebih banyak persebarannya di daerah pemilihan yang bersangkutan yang berhak atas sisa kursi terakhir. 17 Komisi Pemilihan Umum dalam Peraturan KPU menjelaskan, partai politik dinyatakan memiliki sebaran sisa suara yang lebih banyak apabila sisa suara tersebut tersebar pada jumlah wilayah yang lebih banyak pada satu tingkat di bawahnya. Jadi, pada penghitungan tahap kedua ini sisa kursi dibagi habis kepada partai politik yang sudah mendapatkan kursi pada penghitungan tahap pertama dan/atau parpol yang belum mendapatkan kursi pada penghitungan tahap pertama.
17
Lihat Pasal 213 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
12
Di bawah ini merupakan tabel ilustrasi perhitungan penentuan metode kuota dengan sisa suara dibagi habis di daerah pemilihan sesuai Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum : Tabel I. 1. Simulasi Pembagian Kursi di Daerah Pemilihan No
Partai Politik
Jumlah Suara diperoleh
Bilangan Pembagi Pemilih (BPP)
Tahap 1
Tahap 2 (sisa suara)
Jumlah Kursi
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7
R I N A D W T
200.000 150.000 100.000 65.000 60.000 15.000 10.000
100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000 100.000
100.000 100.000 100.000 -
100.000 50.000 65.000 60.000 15.000 10.000
2 1 1 1 1 -
Ketererangan tabel di atas adalah sebagai berikut; Ada 7 (tujuh) Partai Politik yaitu Partai Politik “R”, Partai Politik “I”, Partai Politik “N”, Partai Politik “A”, Partai Politik “D”, Partai politik “W”, Partai politik “T” dalam suatu daerah pemilihan “XXX”. Ke-tujuh Partai Politik tersebut akan memperebutkan enam alokasi kursi DPR. Masing-masing Partai Politik mendapatkan perolehan suara seperti yang disebutkan dalam tabel di atas. Jumlah suara sah di daerah pemilihan tersebut adalah gabungan jumlah suara sah seluruh partai politik dalam daerah pemilihan “XXX” tersebut, maka jumlah suara sah nya adalah 200.000 ditambah (+) 150.000 ditambah (+) 100.000 ditambah (+) 65.000 ditambah (+) 60.000 ditambah (+) 15.000 ditambah (+) 10.000 adalah sama dengan (=) 600.000 (Enam Ratus Ribu). BPP di daerah pemilihan “XXX” adalah jumlah suara sah dibagi alokasi kursi. Maka BPP di Dapil XXX = 600.000 dibagi (:) 6 = 100.000. Dengan menggunakan metode kuota dengan sisa suara dibagi habis di daerah pemilihan,
13
maka tahap pertama Parpol yang mendapatkan kursi adalah Partai Politik “R”, Partai Politik “I”, Partai Politik “N”. Ditahap ke dua yang mendapatkan kursi adalah Partai Politik “A” dan Partai Politik “D”. Jadi Total kursi yang didapatkan masing-masing Partai politk adalah Partai Politk “R” memperoleh 2 (dua) kursi, Partai Politk “I” memperoleh 1 (satu) kursi, Partai Politik “N” memperoleh 1 (satu) kursi, Partai Politk “A” memperoleh 1 (satu) kursi, Partai Politk “D” memperoleh 1 (satu) kursi. Dari tabel dan penjelasan di atas, Partai politik “A” dan Partai politik “D” tidak mencapai BPP (Bilangan Pembagi Pemilih) di daerah pemilihan “XXX” yaitu 100.000 suara, namun karena menggunakan metode kuota dengan sisa suara dibagi habis di daerah pemilihan maka di tahap ke-dua Partai Politik “A” dan Partai Politik “D” memperoleh masing-masing 1 (satu) kursi. Selanjutnya kita lihat partai politik “I” dari tabel dan penjelasan di atas jumlah suara sah yang diperoleh adalah 150.000 suara, ditahap pertama partai politik “I” mendapat satu kursi, namun di tahap ke-dua tidak mendapatkan kursi, karena ditahap ke-dua dengan menggunakan metode kuota dengan sisa suara dibagi habis di daerah pemilihan sisa suara partai politik “I” sejumlah 50.000 kalah dengan partai politik “A” sejumlah 65.000 suara dan partai politik “D” sejumlah 60.000 suara. Contoh yang nyata di daerah pemilihan Papua, yang memiliki 10 alokasi kursi, terdapat 2 caleg yang perolehan suara nya termasuk ke dalam 10 terbesar suara terbanyak di daerah pemilihan Papua, seperti contoh nya; 1) Caleg bernama Ehud Eduard Kondologit dari partai PDIP memiliki perolehan suara 108.761, perolehan suara tersebut merupakan peringkat terbanyak ke-7 di daerah pemilihan
14
Papua namun karena partai PDIP hanya mendapat 2 kursi, sedangkan perolehan suara Ehud Eduard Kondologit merupakan suara terbanyak ke-3 di parai PDIP tersebut, akhirnya dia tidak terpilih menjadi anggota DPR RI, 2) Caleg bernama Muhammad Rifai Darus dari partai DEMOKRAT memiliki perolehan suara 147.673, perolehan suara tersebut merupakan peringkat terbanyak ke-3 di daerah pemilihan Papua namun karena partai DEMOKRAT juga hanya mendapat 2 kursi, sedangkan perolehan suara Muhammad Rifai Darus merupakan suara terbanyak ke-3 di parai DEMOKRAT tersebut, akhirnya dia tidak terpilih menjadi anggota DPR RI, dikarenakan metode perhitungan perolehan kursi DPR berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012. Hal tersebut hanya merupakan beberapa contoh saja, dan masih banyak juga ditemukan di daerah pemilihan yang lain, bahwa calon legislatif yang termasuk perolehan suara terbanyak berdasarkan urutan perolehan suara seluruh calon legislatif di daerah pemilihan masing-masing sesuai alokasi kursi masing-masing daerah pemilihan tersebut, belum tentu terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Latar belakang yang ada tersebut, memungkinan keterwakilan pemilih dalam Pemilu Legislatif belum sempurna karena banyak suara pemilih yang tak terwakili dengan Undang-Undang Pemilihan Umum yang berlaku pada 2014. Oleh sebab itu, penerapan metode perhitungan perolehan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada Pemilihan Umum Legislatif 2014 menjadi relevan untuk menjadi masalah penelitian dikaitkan dengan prinsip-prinsip keadilan hukum.
15
B.
Perumusan Masalah Apakah metode perhitungan penentuan kursi Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) alokasi kursi per daerah pemilihan berdasarkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 pada Pemilihan Umum Legislatif tahun 2014 memenuhi keadilan hukum?
C.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui apakah penerapan
metode perhitungan penentuan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
pada Pemilu Legislatif 2014 ini sudah sesuai atau tidak dengan
keadilan hukum.
D.
Manfaat Penelitian Setelah dilihat bahwa tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
metode perhitungan penentuan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang berkeadilan hukum, maka tentu harapan yang penulis dapat adalah manfaat dari penelitian ini agar dapat dijadikan referensi dalam penerapan metode perhitungan penentuan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada Pemilu Legislatif berikutnya yaitu tahun 2019. Jika metode yang digunakan pada Pemilu Legislatif tahun 2014 sudah sesuai dengan rasa keadilan hukum, tentu sebaiknya dipertahankan, namun jika metode perhitungan penentuan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Rakyat Indonesia pada Pemilu Legislatif belum sesuai dengan
16
rasa keadilan hukum, tentu harus menjadi pertimbangan ke depannya dalam menetapkan metode yang adil dan bermanfaat.
E.
Keaslian Penelitian Judul
penelitian
tesis
yang
penulis
teliti
yaitu
“METODE
PERHITUNGAN PENENTUAN KURSI DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ALOKASI KURSI PER DAERAH PEMILIHAN PADA PEMILIHAN UMUM LEGISLATIF TAHUN 2014 DENGAN SISTEM PROPORSIONAL TERBUKA BERDASARKAN SUARA TERBANYAK DALAM PERSPEKTIF KEADILAN HUKUM”, setelah penulis cek di perpustakaan fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada tidak ada yang sama persis dengan judul penelitian sebelumnya. Di perpustakaan Universitas Indonesia pun, penulis tidak menemukan judul penelitian tesis yang sama persis dengan judul tesis yang diteliti penulis, yaitu secara spesifik terkait metode perhitungan perolehan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia pada Pemilihan Umum Legislatif tahun 2014.