BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Yayasan sudah lama ada dan telah dikenal oleh manusia sejak awal sejarah. Para Pharaoh, lebih dari seribu tahun sebelum lahirnya Nabi Isa, telah memisahkan sebagian kekayaannya untuk tujuan keagamaan. Xenophon, mendirikan Yayasan dengan cara menyumbangkan tanah dan bangunan untuk kuil bagi pemujaan kepada Artemis, pemberian makanan dan minuman bagi yang membutuhkan, dan hewanhewan. Menjelang kematiannya pada tahun 347 sebelum masehi, Plato memberikan hasil pertanian dari tanah yang dimilikinya untuk disumbangkan selama-lamanya bagi Academia yang didirikannya. Ini mungkin merupakan Yayasan pendidikan yang pertama di dunia. 1 Begitu juga halnya dengan kehadiran Yayasan dalam kegiatan masyarakat Indonesia sudah berlangsung sejak sebelum kemerdekaan. 2 Pendirian Yayasan waktu itu hanya bersandarkan kepada kebiasaan (custom), doktrin dan yurisprudensi. 3 Karena tidak ada satupun peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus tentang Yayasan di Indonesia. Namun demikian, tidaklah berarti bahwa di Indonesia sama sekali tidak ada ketentuan yang mengatur tentang Yayasan.
1
Chatamarrasyid Ais, Tujuan Sosial Yayasan dan Kegiatan Usaha Bertujuan Laba. (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000), hal. 1. 2 Adib Bahari, Prosedur Pendirian Yayasan, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2010), hal. iii 3 Rita M.L. &J. Law Firm, Resiko Hukum Bagi Pembina, Pengawas & Pengurus Yayasan, (Jakarta: Forum Sahabat, 2009), hal. 57.
Universitas Sumatera Utara
Secara sporadis dalam beberapa pasal peraturan perundang-undangan disebut adanya Yayasan, seperti Pasal 365, Pasal 899, Pasal 900, Pasal 1680 KUH Perdata, Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 236 Rv, Pasal 2 ayat (7) Undang-Undang Kepailitan (Faillissements-verordening) yang telah mensejajarkan Yayasan sebagai badan hukum yang dapat dijatuhkan pailit asal saja sebagai debitur yang berada dalam keadaan berhenti membayar, 4 UU Darurat No. 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi (LN. 1955-27) di Pasal 15 mengatur tentang penghukuman terhadap badan hukum Yayasan, serta dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (LN.1960164 TLN. 2043), Pasal 21 ayat (2) dan Pasal 49 Jo. Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-Badan Hukum yang dapat memiliki hakhak atas tanah, mengakui Yayasan dapat memiliki hak atas tanah, bahkan sejak tanggal 25 Agustus 1961 telah dibentuk Yayasan Dana Landreform oleh Menteri Agraria sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961. 5 Selain itu, di dalam Peraturan Menteri Penerangan Republik Indonesia No. 01/Per/Menpen/1969 tentang Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Mengenai Perusahaan Pers dalam Pasal 28 disebutkan bahwa perusahaan yang bergerak di bidang penerbitan Pers harus berbentuk Badan Hukum. Menurut Permen tersebut yang dianggap sebagai Badan Hukum adalah Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, dan Yayasan. Istilah Yayasan di dalam beberapa ketentuan perpajakan juga disebutkan, begitu juga halnya di dalam berbagai peraturan perundang-undangan agraria, 4
Natzir Said, Hukum Perusahaan di Indonesia I (Perorangan), (Bandung:Alumni, 1987), hal.
5
Anwar Borahima, Kedudukan Yayasan di Indonesia, (Jakarta:Kecana Prenada Group, 2010),
20. hal. 58.
Universitas Sumatera Utara
dimungkinkan pula bagi Yayasan mempunyai hak atas tanah. Pada tahun 1993 di dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 227/KMK.017/1993, juga telah dikenal Yayasan Dana Pensiun. Dari semua ketentuan peraturan perundangundangan yang ada pada waktu itu, tidak satu pun yang memberikan rumusan mengenai definisi Yayasan, status hukum Yayasan, serta cara mendirikan Yayasan. Berbeda halnya dengan di Belanda, secara tegas dalam undang-undangnya menyebutkan bahwa Yayasan adalah badan hukum. 6 Dalam beberapa yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, juga telah dikenal Yayasan sebagai badan hukum, seperti: 1. Yayasan Sukapura dan Wakaf Sukapura adalah wakaf atau badan hukum. (Putusan Mahkamah Agung No. 152 K/Sip/1969 tanggal 26 Nopember 1969). 2. Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung: a. Bahwa Yayasan Dana Pensiun H.B.M. tersebut didirikan di Jakarta dengan nama “Stichting Pensiunfonds H.B.M. Indonesia” dan bertujuan menjamin keuangan pada anggotanya; b. Bahwa para anggotanya ialah pegawai-pegawai N.V. H.B.M.; c. Bahwa Yayasan tersebut mempunyai pengurus sendiri terlepas dari N.V. H.B.M. di mana ketua dan bendahara dipilih oleh Direksi N.V. H.B.M.; d. Bahwa pengurus Yayasan tersebut mewakili Yayasan di dalam dan di luar pengadilan; 6
Ibid, hal. 2-3.
Universitas Sumatera Utara
e. Bahwa Yayasan tersebut mempunyai harta sendiri, antara lain harta benda hibah dari N.V. H.B.M. (akte hibah); dan f. Bahwa dengan demikian Yayasan tersebut merupakan suatu badan hukum. (Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 Juni 1973 No.124 K/Sip/ 1973). 3. Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung: Perubahan Wakaf Al is Af menjadi Yayasan Al Is Af dapat saja karena dalam hal ini tujuan dan maksudnya tetap, ialah untuk membantu keluarga keturunan almarhum Almuhsin bin Abubakar Alatas. (Putusan Mahkamah Agung tanggal 08 Juli 1975 No. 476 K/Sip/1975). 4. Gugatan penggugat tidak dapat diterima karena dalam surat gugatan tergugat digugat secara pribadi, pada hal dalam dalil gugatannya disebutkan tergugat sebagai pengurus Yayasan yang menjual rumah-rumah milik Yayasan dan seharusnya tergugat digugat sebagai pengurus Yayasan. (Putusan Mahkamah Agung tanggal 20 April 1977 No. 601 K/Sip/1975). 7 Berdasarkan yurisprudensi tersebut tampak dengan jelas mengenai kedudukan Yayasan sebagai badan hukum harus memenuhi syarat-syarat tertentu dan kedudukan pengurus Yayasan dalam hukum acara perdata, 8 hanya saja tidak diketahui dengan pasti pada saat kapan Yayasan memperoleh status sebagai badan hukum. 9 Politik hukum Indonesia baru mengatur secara khusus mengenai Yayasan pada tanggal 06
7
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Alumni, 2005), hal. 91-92. H.P. Panggabean, Praktik Peradilan Menangani Kasus Aset Yayasan (Termasuk Aset Lembaga Keagamaan) dan Upaya Penanganan Sengketa Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002), hal. 11. 9 Anwar Borahima, Op. Cit, hal. 69. 8
Universitas Sumatera Utara
Agustus 2001 dengan lahirnya UU No.16 Tahun 2001 10 yang telah direvisi melalui UU No.28 Tahun 2004 11 tentang Perubahan Atas UU No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan 12 (selanjutnya disingkat UU Yayasan) yang kemudian diikuti dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan (selanjutnya disingkat PP No.63 Tahun 2008). 13 Salah satu faktor pendorong lahirnya UU Yayasan
karena desakan dari
International Monetary of Fund (IMF). Ketika diminta bantuannya untuk mengucurkan dana pinjaman untuk mengatasi krisis keuangan ditahun 1997-1998, IMF mengajukan sejumlah persyaratan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk mengambil langkah-langkah mereformasi berbagai sistem yang dinilai tidak transparan, tidak akuntabel, dan mengarah pada praktik-praktik korupsi pada era Orde Baru. Dalam pernyataannya yang tertuang di Letter of Intent-IMF, Pemerintah Indonesia secara eksplisit mengakui terdapat banyak anggaran negara yang masuk dalam kegiatan Yayasan. Salah satu rekomendasi IMF tersebut adalah mendesak dilahirkannya undang-undang yang mengatur Yayasan supaya dikelola secara transparan dan akuntabel. 14
10
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 112 Tahun 2001, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4132. 11 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4430. 12 Djuhad Mahja, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Yayasan, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Notaris, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Wakaf Akurat-Sesuai Dengan Aslinya, (Jakarta: Durat Bahagia, 2005). 13 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4894. 14 Ibrahim Assegaf dan Eryanto Nugroho, UU Yayasan: Legalisasi Bisnis Militer?, (Jakarta: Jentera II, 2003), hal. 18-33.
Universitas Sumatera Utara
UU No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan adalah undang-undang pertama mengatur
secara
eksplisit
tentang
Yayasan
sejak
Kemerdekaan
Indonesia
dideklarasikan. Padahal draf UU Yayasan sebetulnya telah mulai dirancang oleh Departemen Kehakiman sejak tahun 1976 dan sejak itu draf tersebut tidak ditindaklanjuti. Baru 25 (dua puluh lima) tahun kemudian setelah muncul desakan publik untuk meregulasi Yayasan terkait dengan sejumlah kasus korupsi berskala besar yang melibatkan Yayasan terungkap ke publik, UU No.16 Tahun 2001 disyahkan oleh Presiden Megawati Soekarno Putri dan kemudian diundangkan pada tanggal 06 Agustus 2001. 15 Defenisi Yayasan yang ditemukan dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan mendefenisikan Yayasan sebagai badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, kemanusian dan tidak mempunyai anggota. Meskipun Yayasan bukan profit oriented, namun menurut UU No. 16 Tahun 2001 tidak menutup peluang Yayasan bergerak di sektor bisnis. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 7 UU No.16 Tahun 2001 tentang Yayasan membolehkan Yayasan mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai maksud dan tujuan Yayasan dan membolehkan Yayasan melakukan penyertaan modal di berbagai perusahaan komersil sepanjang nilai penyertaannya tidak melebihi 25% dari seluruh nilai kekayaan Yayasan bersangkutan.
15
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan ini dinilai mengandung sejumlah hal positif dan negatif, diantaranya: 16 Hal-hal yang positif: 1. Memagari praktik yang berlangsung selama ini bahwa kekayaan Yayasan diposisikan sebagai kekayaan orang perorang pengurusnya. Pasal 3 UU No. 16 Tahun 2001 misalnya, melarang pembagian hasil kegiatan usaha Yayasan kepada Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan. Pasal 5 UU No. 28 Tahun 2004 mengharamkan pengalihan kekayaan kepada Pembina, Pengawas, Pengurus, dan karyawan Yayasan, termasuk kepada pihak lain yang mempunyai kepentingan kepada Yayasan. 2. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan dan aktivitas Yayasan dengan mewajibkan penyusunan laporan tahunan yang dapat diakses publik. Hal-hal yang negatif: 1. Berpotensi mematikan Yayasan karena melarang pemberian honor tetap terhadap Pembina, Pengawas, dan Pengurus Yayasan. Selama ini, puluhan ribu Yayasan memberikan gaji dan honor tetap bagi para pengurusnya yang bekerja penuh dan paruh waktu.
16
http://www.docstoc.com/docs/25724561/Tata-Kelola-Yayasan-Pemerintah-Ujian-Bagi-Refor masi-Birokrasi, diakses tanggal 12 Februari 2012.
Universitas Sumatera Utara
2. Ada sejumlah ketentuan yang sulit dipenuhi Yayasan berskala kecil, salah satunya adalah kewajiban audit tahunan terhadap laporan keuangan tahunan Yayasan oleh kantor akuntan publik yang membutuhkan biaya tidak sedikit. 3. UU Yayasan justru menyediakan
legitimasi
bagi
pemerintah
untuk
mempertahankan dan mendirikan Yayasan pemerintah yang telah terbukti menjadi lahan subur bagi banyak praktik-praktik korupsi di birokrasi. Padahal, secara normatif, hakikat keberadaan Yayasan sebetulnya lebih tepat berada didomain masyarakat madani atau non negara. 4. Pemerintah mendorong berbagai kegiatan filantropi khususnya di negaranegara maju dengan memberikan insentif pajak. Namun demikian, UU Yayasan tidak memfasilitasi faktor positif ini dengan tetap menempatkan Yayasan sebagai badan kena pajak. Hal ini akan menjadi disentif bagi penggalangan dana Yayasan untuk kepentingan filantropi. Oleh karena berbagai hal negatif tersebut di atas, begitu disyahkan UU No.16 Tahun 2001 tanggal 06 Agustus 2001 yang dinyatakan berlaku mulai 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan mendapat berbagai kritik dari berbagai kalangan. Kemudian UU No.16 Tahun 2001 ini diamandemen melalui UU No.28 Tahun 2004 yang berlaku efektif tanggal 06 Oktober 2005 dan hasil amandemen tersebut masih tetap mendapat kritik dari berbagai kalangan. Beberapa poin kelemahan UU No. 16 Tahun 2001, masih terus dipertahankan dalam UU No. 28 Tahun 2004. Kelemahan
Universitas Sumatera Utara
dalam hal pelaksanaan dan penegakan kedua UU Yayasan tersebut, diantaranya adalah: 17 1. UU No.28 Tahun 2004 memperpanjang batas waktu penyesuaian anggaran dasar seluruh Yayasan hingga tanggal 06 Oktober 2008, namun pada kenyataannya, masih cukup banyak Yayasan yang belum melakukannya, bahkan sejumlah Yayasan pemerintah pun belum memenuhinya. 2. Sejauh ini, belum ada penindakan yang diambil Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atas pelanggaran UU Yayasan terhadap Yayasan termasuk juga Yayasan pemerintah yang belum menyesuaikan anggaran dasarnya sesuai amanat UU Yayasan. Yayasan sebagai badan hukum di Indonesia tumbuh dan berkembang berdasarkan kebutuhan hukum masyarakat, sehingga tidak dapat dipastikan berapa jumlah Yayasan ada di tanah air sebelum UU No.16 Tahun 2001 diundangkan. Yayasan-Yayasan tersebut tidak ditumbuhkan oleh suatu aturan undang-undang atau diberikan legitimasi oleh suatu aturan hukum, oleh karena saat itu tidak terdapat undang-undang atau peraturan yang secara formal mengaturnya. Itulah sebabnya, badan hukum Yayasan sangat sukar diidentifikasikan secara yuridis waktu itu. Namun demikian status hukum Yayasan telah diakui sebagai badan hukum yang menyandang hak dan kewajibannya sendiri, yang dapat digugat dan menggugat di sidang pengadilan melalui pengurusnya. Yayasan pada saat itu dapat diklasifikasikan menjadi dua yakni 17
Aisyah Hamid Badlowi, “UU tentang Yayasan: Pelaksanaan dan Revisinya”, Makalah Disampaikan pada Round Table Discussion dengan topik UU Yayasan dan Permasalahannya yang diselenggara kan oleh Koalisi Ornop untuk Yayasan di Jakarta, 12 Mei 2003.
Universitas Sumatera Utara
Yayasan dengan tujuan idiil (vide Pasal 365 dan Pasal 365 a BW) dan Yayasan dengan tujuan bisnis komersil (vide Pasal 102 Undang-Undang Kepailitan). 18 Dengan berlakunya UU No. 16 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan UU No. 28 Tahun 2004, pada Pasal 1 ayat (1) UU No. 16 tahun 2001 dengan tegas ditentukan bahwa Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan dan kemanusian, serta tidak mempunyai anggota. Walaupun undangundang tersebut tidak secara tegas menentukan Yayasan adalah badan hukum non profit/nirlaba namun karena tujuannya yang bersifat sosial, keagamaan dan kemanusiaan itulah yang menjadikan Yayasan sebagai suatu badan hukum non profit/nirlaba. 19 Mengingat pendirian Yayasan mempunyai syarat formal, maka status badan hukum baru dapat diperoleh pada saat akta pendiriannya disyahkan oleh Menteri sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 11 ayat (1) UU No. 16 tahun 2001. Tujuan pemerintah mengundangkan peraturan perundang-undangan Yayasan dalam sistem hukum di Indonesia adalah untuk memberikan landasan hukum yang kuat terhadap eksistensi badan hukum Yayasan, dari pada selama ini hanya bersandarkan Wet op Stichtingen produk hukum Belanda yang tidak memiliki keberlakukan di Indonesia. Maksud lain yakni mencegah digunakannya Yayasan sebagai kedok mencari dana untuk kepentingan pribadi seperti terungkap pada praktik penggunaan badan hukum 18
M. Adnan Amal, “Yayasan Sebagai Badan Hukum Sebuah Fenomena,” Varia Peradilan, Majalah Hukum, Tahun IV No.45, Juni 1989, hal. 139-140. 19 Tiem Redaksi Nuansa Aulia, Himpunan Perundang-undangan RI Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2005), hal. ii.
Universitas Sumatera Utara
Yayasan pada era Orde Baru. Konsep pendirian Yayasan di negara-negara Barat amat berbeda dengan di Indonesia. Motif pendirian Yayasan di Barat yakni karena alasan filantropis yang berarti pendiri Yayasan adalah orang-orang yang sudah sangat kaya (dermawan). Sementara di Indonesia setelah berlakunya PP No. 63 Tahun 2008 dengan uang Rp.10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) atau bagi orang-orang yang berpenghasilan pas-pasan dapat mendirikan Yayasan bukan untuk tujuan filantropis murni, tetapi ada indikasi untuk menjadikan Yayasan sebagai usaha untuk memperoleh mata pencaharian. Sebelum berlakunya UU Yayasan, status Yayasan sebagai badan hukum masih lemah karena tunduk pada aturan-aturan yang bersumber pada kebiasaan (custom), doktrin, dan yurisprudensi. Pada waktu itu tidak ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur secara khusus mengenai Yayasan. Dengan berlakunya UU Yayasan, status badan hukum Yayasan diperoleh setelah ada akta pendirian Yayasan (vide Pasal 9 ayat 2 UU No. 16 Tahun 2001) dan disahkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (vide Pasal 11 ayat 1 UU No. 28 Tahun 2004). Pada prinsipnya, terkait status badan hukum, Yayasan yang telah didirikan sebelum berlakunya UU Yayasan telah menjadi badan hukum. Namun berdasarkan ketentuan peralihan (Pasal 71 ayat 1 UU No. 28 Tahun 2004/revisi UU No. 16 Tahun 2001), sejak berlakunya UU No. 28 Tahun 2004 yaitu pada tanggal 06 Oktober 2005 akan muncul dua pengakuan yang berbeda terhadap Yayasan. Ada Yayasan yang diakui sebagai badan hukum, sementara di sisi lain ada juga Yayasan yang tidak diakui sebagai badan hukum. Pengakuan tersebut menimbulkan konsekuensi yuridis bagi Yayasan yang telah ada
Universitas Sumatera Utara
sebelum berlakunya UU Yayasan. Yayasan sebelum berlakunya UU Yayasan tetap diakui sebagai badan hukum pada saat UU Yayasan berlaku, jikalau Yayasan bersangkutan telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia (BNRI) atau telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait sebagaimana dimaksud Pasal 71 UU No. 28 Tahun 2004. 20 Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa sejak berlakunya UU Yayasan pada tanggal 06 Agustus 2002 dan revisinya pada tanggal 06 Oktober 2005 dapat dibedakan antara: 1. Yayasan yang memenuhi ketentuan Pasal 71 ayat (1) butir a atau butir b UU Yayasan; dan 2. Yayasan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 71 ayat (1) butir a atau butir b UU Yayasan.
20
Pasal 71 UU No. 28 Tahun 2004, menegaskan: (1) Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, yayasan yang: a. Telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau b. Telah didafarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait; tetap diakui sebagai badan hukum dengan ketentuan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku, Yayasan tersebut wajib menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan Undang-Undang ini. (2) Yayasan yang telah didirikan dan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat memperoleh status badan hukum dengan cara menyesuaikan Anggaran Dasarnya dengan ketentuan undang-undang ini, dengan mengajukan permohonan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal undang-undang ini mulai berlaku. (3) Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib diberitahukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian. (4) Yayasan yang tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Universitas Sumatera Utara
Yayasan yang memenuhi ketentuan Pasal 71 ayat (1) butir a atau butir b UU Yayasan, tetap diakui sebagai badan hukum dengan syarat dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak mulai berlakunya UU No. 28 Tahun 2004 (paling lambat pada tanggal 06 Oktober 2008) maka Yayasan tersebut wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan Pasal 71 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2001 yang juga diatur dalam UU No. 28 Tahun 2004 dan selanjutnya wajib memberitahukan kepada Menteri paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian anggaran dasar ( vide Pasal 71 ayat 3). Sanksi yang diberikan jika Yayasan dalam waktu 3 (tiga) tahun tidak menyesuaikan anggaran dasarnya, maka Yayasan tersebut tidak dapat menggunakan kata “Yayasan“ di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan (vide Pasal 71 ayat 4 UU No. 28 Tahun 2004). Sementara itu, Yayasan yang telah didirikan dan tidak memenuhi ketentuan Pasal 71 ayat (1) dapat memperoleh status badan hukum dengan cara menyesuaikan anggaran dasarnya dan wajib mengajukan permohonan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun, terhitung sejak tanggal UU No. 28 Tahun 2004 mulai berlaku (tanggal 06 Oktober 2005), atau paling lambat pada tanggal 06 Oktober 2006. Bila dalam batas waktu tersebut pendiri Yayasan lalai menyesuaikan anggaran dasar Yayasan, Yayasan tersebut tidak diakui sebagai Yayasan dan permohonan pengesahannya ditolak oleh Menteri Hukum dan HAM. Sedangkan, status hukum yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 71 ayat (1) secara yuridis tidak diakui sebagai badan hukum, namun diberi batas waktu 1 (satu) tahun, terhitung sejak tanggal UU No. 28 Tahun 2004 mulai berlaku (tanggal 06 Oktober 2005) untuk mengajukan permohonan kepada Menteri guna mendapatkan pengakuan status badan hukumnya. Seandainya batas waktu 1 (satu) tahun terlampaui (setelah tanggal 06 Oktober 2006), status Yayasan yang bersangkutan bukan badan hukum lagi. Dengan kata lain, Yayasan bersangkutan gugur secara hukum. Sehingga, sulit
Universitas Sumatera Utara
bagi Yayasan tersebut untuk mendapatkan status badan hukum. Oleh karena itu, dianjurkan Yayasan tersebut dibubarkan melalui proses likuidasi. 21 Hal dimaksud berkaitan dengan ketentuan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan. 22 Sebelum dan sesudah berlakunya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008, harta kekayaan Yayasan ada yang bersumber dari kekayaan pribadi pendiri Yayasan yang telah dipisahkan baik dalam bentuk uang atau benda, sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat, wakaf, hibah, wasiat, dan pendapatan sah lainnya yang tidak bertentangan dengan hukum. Mengingat masih banyak Yayasan yang belum mendapat legal entity karena belum menyesuaikan diri dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Yayasan sampai dengan tenggang yang ditetapkan oleh ketentuan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 dengan batas akhir penyesuaiannya tanggal 06 Oktober 2008. Tentu hal tersebut akan membawa dampak secara hukum terhadap legalitas Yayasan, karena Yayasan itu berdasarkan sudut pandang UU No. 16 Tahun 2001 Jo. UU No. 28 Tahun 2004 Jo. PP No. 63 Tahun 2008 tentang Yayasan tidak menyandang status sebagai badan hukum lagi, sekalipun sebelumnya Yayasan dimaksud telah menyandang status sebagai badan hukum. Bilamana hal ini terjadi konsekuensi
21
Rita M.L. & J. Law Firm, Op. Cit, hal. 58-61. Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008, menegaskan: “Yayasan yang belum memberitahukan kepada Menteri sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) UndangUndang tidak dapat menggunakan kata “ Yayasan” di depan namanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang dan harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan Pasal 68 Undang-Undang Yayasan”. Penjelasan Pasal 39 PP No. 63 Tahun 2008 disebutkan Yang dimaksud dengan “ketentuan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-Undang” adalah pemberitahuannya 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaiannya, dengan batas akhir penyesuaiannya tanggal 06 Oktober 2008. 22
Universitas Sumatera Utara
hukumnya juga akan berdampak ke segala aspek yang ada dalam Yayasan itu, termasuk terhadap harta kekayaaan Yayasan tersebut. Berpijak dari uraian di atas ternyata setelah lahirnya UU Yayasan dan PP No.63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Yayasan di tengah-tengah masyarakat disinyalir masih banyak Yayasan yang telah berdiri sebelum lahirnya UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 sampai dengan tenggang waktu yang telah ditentukan yakni tanggal 06 Oktober 2008, dan saat ini tetap melakukan kegiatankegiatan usaha Yayasan dengan menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya. Polemik Yayasan penyelenggara pendidikan yang belum menyesuaikan diri terhadap UU Yayasan butuh solusi. Namun, belum ada kejelasan cara penyelesaiannya. Berikut ini kutipannya: Secara hukum, sekitar 90 persen dari 21.000 Yayasan pendidikan masuk kategori ilegal karena tidak menyesuaikan diri hingga tenggang tahun 2008. “Kami hanya pelaksana. Yang bisa dilakukan, Yayasan lama mengajukan untuk dibuat Yayasan. Artinya, harus ada hibah dari Yayasan lama ke Yayasan baru,” kata Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum, Aidir Amin Daud di Jakarta, Senin (28/3). Menurut Aidir, pemerintah tidak bisa memutihkan Yayasan pendidikan yang terlambat menyesuaikan diri selama aturan hukum soal Yayasan masih mengikat pemerintah. Namun, pemerintah juga tidak menindak tegas Yayasan pendidikan yang belum menyesuaikan diri. Pembubaran juga tidak direncanakan. Pembubaran baru bisa dilakukan dengan putusan pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.Thomas Suyatno, Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI), menyayangkan jika pemerintah tidak bisa membantu Yayasan pendidikan yang kesulitan menyesuaikan diri. “Banyak Yayasan pendidikan yang kecil. Untuk membentuk Yayasan baru tidak mudah. Nanti bagaimana dengan kekayaan nya, ada balik nama, konsekuensi pajak, dan lain-lain,” kata Thomas. Dari sisi sejarah, banyak Yayasan pendidikan tersebut menyelenggarakan sekolahsekolah sejak sebelum kemerdekaan, bahkan ketika pemerintah belum berperan kuat dalam pendidikan. Faktanya, keberadaan mereka secara hukum tidak mendapat perlindungan pemerintah. Undang Undang Yayasan yang baru
Universitas Sumatera Utara
mewajibkan Yayasan mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM. Adapun sebelumnya, cukup Akta Notaris. “Jika harus mengajukan pengujian pasal ke Mahkamah Konstitusi untuk menyelamatkan belasan ribu Yayasan pendidikan di negeri ini, kami siap melaksanakannya,” kata Thomas. Thomas menjelaskan, uji materi yang diajukan, terutama Pasal 71 UU No 28/2004 dan UU No 16/2001 tentang batas waktu penyesuaian perubahan Yayasan. Selain itu, juga meminta Mahkamah Konstitusi mengamandemen Pasal 3, 5, dan 7. Dukungan untuk menguji Undang Undang Yayasan ke Mahkamah Konstitusi juga datang dari Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS). Ketua Umum BMPS Fathoni Rodli mengatakan, Yayasan pendidikan menjadi korban euforia reformasi yang sebenarnya membidik Yayasan di bawah penguasa Orde Baru.” Kami sudah mencoba membahas masalah ini dengan orang di Kementerian Hukum dan HAM, tetapi tidak ada solusi baik yang diberikan. Fathoni, menganjurkan lebih baik maju ke Mahkamah Konstitusi saja. 23 Sejalan dengan uraian di atas, bertempat di ruang kerja Menteri Pendidikan Nasional, pada tanggal 14 Februari 2011, Wakil Ketua MPR RI, Ahmad Farhan Hamid mengadakan pertemuan dengan Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh. Wakil Ketua MPR menyampaikan bahwa: Pada hari Kamis tanggal 10 Februari 2011, Pimpinan MPR telah menerima kunjungan atau audiensi dari delegasi Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Pusat. Dalam pertemuan tersebut, BMPS Pusat menyampaikan permasalahan yang muncul terkait perguruan swasta, dan berharap kepada Pimpinan MPR dapat membantu memecahkan permasalahan tersebut. Ada 3 (tiga) permasalahan penting yang perlu mendapatkan perhatian, di antaranya adalah banyak Yayasan penyelenggara Perguruan Swasta yang belum menyesuaikan diri dengan UU No.16 tahun 2001 jo. UU No. 28 Tahun 2004. Mengenai hal dimaksud, Mendiknas menyatakan bahwa hal ini berkaitan dengan undang-undang bukan kebijakan Mendiknas. Persyaratan dari Yayasan itu sesuai dengan UU No. 16 tahun 2001 jo. UU No. 28 Tahun 2004 bukan domain Kemendiknas tetapi merupakan domain Kementerian Hukum dan HAM. Ahmad Farhan Hamid menyampaikan bahwa menurut BMPS, ada Yayasan sekolah-sekolah yang mungkin terbatas pendapatannya terutama yang di pelosok-pelosok, yang tidak mampu membayar biaya notaris. Diharapkan ada solusi pemecahan masalahnya atau dibebaskan biaya notaris dan menjadi tanggung jawab bersama. Menurut Mendiknas, jika digunakan cara dengan 23
http://www.kopertis12.or.id/2011/03/29/yayasan-butuh-solusi.html, diakses tanggal 01 Mei 2011. Lihat juga: Harian Kompas, Selasa tanggal 29 Maret 2011.
Universitas Sumatera Utara
menghilangkan badan hukum Yayasan (sebagai rumahnya) ini akan menjadi rawan karena tidak punya induk legalnya. Yang terjadi adalah menjadi milik perorangan dan tidak sesuai dengan UU Sisdiknas. Usul pemecahan masalah ini bisa melalui BMPS dengan menginformasikan berapa Yayasan yang kirakira berat (kurang mampu) dan belum mendapat legal entity. Dari informasi tersebut dapat diketahui jumlah sekolah yang belum mendapat legal entity per kabupaten/kota, sehingga dapat diberikan program, seperti urusan Sertifikat Prona yang dilakukan Badan Pertanahan Nasional. Intinya Yayasan-Yayasan ini harus ada dan sesuai sehingga apabila ada kesulitan bisa dibantu oleh Kemendiknas.Terakhir, Ahmad Farhan Hamid menyampaikan bahwa permasalahan Yayasan ini dapat dikomunikasikan dengan Kementerian Hukum dan HAM untuk mencari alternatif penyelesaian masalahnya. 24 Apabila berpijak kepada ketentuan Pasal 39 PP No.63 Tahun 2008 dan dikaitkan dengan laporan atau berita tersebut di atas, tentu akan membawa akibat hukum terhadap ribuan Yayasan yang bergerak di bidang sosial khususnya Yayasan penyelenggara pendidikan akan terancam bubar dan kekayaannya terancam dilikuidasi. Jika hal ini terjadi, diperkirakan akan terjadi situasi “chaos” karena ratusan ribu, bahkan jutaan Siswa dan Mahasiswa, Guru dan Dosen, serta karyawan non edukatif/ administratif berhenti beraktivitas karena dinilai illegal. 25 Berdasarkan paparan yang dikemukakan di atas, akibat hukum yang ditimbulkan setelah berlakunya UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 tentang tentang Pelaksanaan Undang-Undang Tentang Yayasan, dapat menimbulkan sistemik ke seluruh aspek kehidupan Yayasan yang saling berkaitan satu sama lainnya yang
24
http://www.mpr.go.id/pimpinan5/?p=66, diakses tanggal 27 Mei 2011. http://diksia.com/nasib-yayasan-swasta-mulai-mengkhawatirkan/, diakses tanggal 25 Mei 2011. Diungkapkan oleh Wakil Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPTSI), saat membuka Seminar Nasional di Hotel Sultan, Jakarta, Rabu tanggal 23 Maret 2011. Seminar Nasional yang bekerjasama dengan Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) ini bertema” Mengkritisi Peraturan Perundang-undangan Di Bidang Pendidikan Dan Hak Hidup Yayasan Yang Terancam Bubar. 25
Universitas Sumatera Utara
dapat menimbulkan dilema hukum, namun ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi hanya membahas permasalahan yang tersebut di bawah ini.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas yang telah menimbulkan dilema dalam tubuh Yayasan, maka dirumuskan beberapa permasalahan yang menjadi titik tolak pembahasan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana tanggung jawab dari para Pengurus Yayasan terhadap Yayasan yang sudah didirikan sebelum lahirnya UU No. 16 Tahun 2001 jika ditinjau dari UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008? 2. Bagaimana status hukum dari harta kekayaan Yayasan jika ditinjau dari UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008? 3. Bagaimana sikap Pemerintah terhadap keberadaan Yayasan yang belum menyesuaikan akta pendiriannya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008?
C. Tujuan Penelitian Mengacu pada judul dan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini dapat dikemukakan tujuan penelitian sebagai berikut: 1. Untuk menjelaskan dan menganalisis tanggung jawab dari para Pengurus Yayasan terhadap Yayasan yang sudah didirikan sebelum lahirnya UU No. 16 Tahun 2001 jika ditinjau dari UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008.
Universitas Sumatera Utara
2. Untuk menjelaskan dan menganalisis status hukum harta kekayaan Yayasan tersebut jika ditinjau berdasarkan UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008. 3. Untuk menjelaskan dan menganalisis sikap Pemerintah Republik Indonesia terhadap keberadaan Yayasan yang belum menyesuaikan akta pendiriannya terhadap UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat baik secara teoritis dan praktis. Adapun kedua kegunaan tersebut adalah : 1. Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah-masalah dalam tulisan ini akan memberikan pemahaman dan sikap kritis terhadap peraturan perundangundangan tentang Yayasan di Indonesia. Mengingat literatur yang membahas masalah yang berkenaan dengan tema tesis ini masih minim, maka pemaparan bahasan tesis ini juga didukung oleh pendapat para ahli hukum, notaris, pendiri serta organ Yayasan. Selanjutnya hasil penelitian ini secara teoritis diharapkan dapat memperkaya bahan kajian dan kepustakaan mengenai perkembangan pemikiran maupun pengaturan tentang fenomena sosial dan hukum dari Yayasan, khususnya untuk bidang ilmu hukum keperdataan dan kenotariatan bagi kalangan akademisi maupun untuk kalangan pemerhati masalah hukum tentang Yayasan. 2. Secara praktis, hasil penelitian diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi para pembaca, penegak hukum, akademisi, Pendiri, Pembina, Pengurus,
Universitas Sumatera Utara
Pengawas Yayasan serta pelaksana kegiatan Yayasan, masyarakat luas, maupun terhadap pemerintah dalam menyikapi fenomena sosial dalam pemberlakuan Peraturan Perundang-Undangan tentang Yayasan yang baru.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan data dan informasi serta penelusuran yang dilakukan di Perpustakaan Fakultas Hukum maupun Program Studi Magister Hukum Universitas Sumatera Utara, maka penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan Kekayaan Yayasan Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan”, belum pernah ada yang melakukan penelitian sebelumnya. Dengan demikian penelitian ini adalah benar keaslianya baik dari materi, permasalahan, tujuan penelitian dan kajiannya. Selain itu, penelitian ini dilakukan dengan menjunjung tinggi kode etik penulisan karya ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori Teori adalah menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta – fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan
Universitas Sumatera Utara
gejala yang diamati. 26 Kerangka teori merupakan teori yang dibuat untuk memberikan gambaran yang sistematis mengenai masalah yang diteliti. Teori ini masih bersifat sementara yang akan dibuktikan kebenarannya dengan cara meneliti dalam realitas.
27
Sejalan dengan hal tersebut, status hukum Yayasan sebagai badan hukum dapat diketahui dari berbagai teori mengenai badan hukum. Dalam kaitan Yayasan sebagai badan hukum dapat dikemukakan teori-teori sebagai berikut : a. Teori Fiksi Teori ini dipelopori oleh Carl Von Savigny serta diikuti oleh C.W. Opzomer, Diephuis, Land, A.N. Houwing, dan Langemeyer. Menurutnya, bahwa badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fiksi, yakni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subyek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia. Dengan kata lain, sebenarnya menurut hukum alam hanya manusia sajalah sebagai subjek hukum, sedangkan badan hukum hanyalah objek. Jadi orang bersikap seolah-olah ada subjek hukum yang lain, tetapi dengan wujud yang tidak riil, sehingga tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan.
Untuk
melakukan
perbuatan-perbuatan
tersebut,
maka
manusialah yang melakukannya sebagai wakilnya. 28
26
JJ. Wuisman, Penyunting M. Hisyam, Penelitian Ilmu Sosial, Jilid 1, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1996), hal. 203. 27 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 127. 28 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, (Bandung: Alumni, 2000), hal. 56.
Universitas Sumatera Utara
b. Teori Organ Sebagai reaksi atau lawan dari teori fiksi menimbulkan ajaran yang disebut teori realitas. Ajaran teori ini kemudian lebih dikenal dengan nama teori organ. Ajaran ini dipelopori oleh Otto Von Gierke di Jerman. Menurut ajaran ini, badan hukum itu merupakan suatu realitas sesungguhnya sama seperti kepribadian alam manusia di dalam pergaulan hukum. Badan hukum ini mempunyai kehendak atau kemauan sendiri yang dibentuk melalui perantaraan alat-alat perlengkapannya (organnya) seperti pengurus atau anggota. Kehendak atau kemauan dari badan hukum identik dengan kehendak atau kemauan dari pengurus atau anggota. Teori ini sekaligus menggambarkan tidak adanya perbedaan antara manusia dan badan hukum. Pengikut ajaran ini di Belanda yaitu L.C. Polano yang terkenal dengan ajaran leer der volledige realiteit (ajaran realitas sempurna). 29 c. Teori Kenyataan Yuridis (Juridische Realiteit) Dari teori organ muncullah suatu teori baru yang merupakan penyempitan dari teori organ yang disebut teori kenyataan yuridis. Ajaran ini dikemukakan oleh E.M. Meijers, Paul Scholten, dan sudah merupakan ajaran yang diterima umum (heersende leer). Menurut Meijers, badan hukum itu merupakan suatu realitas, konkret, riil, walaupun tidak dapat diraba, bukan khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Meijers menyebutkan teori tersebut, teori kenyataan sederhana (eenvoudige realiteit). Disebut sederhana karena menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan
29
Agus Budiarto, Seri Hukum Perusahaan: Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
hukum dengan manusia itu terbatas sampai pada bidang hukum saja. Jadi menurut teori kenyataan yuridis badan hukum adalah wujud yang riil, seperti halnya manusia. Teori yang dianut oleh Paul Scholten ini berasal dari teori organ yang dipersempit, artinya tidak begitu mutlak lagi, artinya sekedar diperlukan untuk hukum, sehingga tidak perlu lagi ditanyakan di mana kaki, tangan dan otaknya. Oleh karena itu menurut Paul Scholten, jika ada masalah yang timbul dalam badan hukum tidak perlu dipersulit, tetapi semuanya dikembalikan kepada perwakilannya. 30 d. Teori Kekayaan Kolektif (Leer van de Collectieve Eigendom) Teori ini dikemukakan oleh Rudolf von Jhering. Pembela teori ini adalah Marcel Planiol (Prancis) dan Mollenggraaf (Belanda), kemudian diikuti pula Star Busmann, Kranenburg, Paul Scholten, dan Apeldoorn. Menurut teori ini, hak dan kewajiban badan hukum itu pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama. Mereka bertanggung-jawab bersama-sama. Di samping hak milik pribadi, hak milik serta kekayaan itu merupakan harta kekayaan bersama. Dengan kata lain, bahwa orang-orang yang berhimpun itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang disebut badan hukum. Oleh sebab itu, badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis belaka. Pada hakikatnya badan hukum adalah sesuatu yang abstrak. 31
30 31
Chidir Ali, Op. cit, hal. 35. Anwar Borahima, Op. Cit, hal. 61-62.
Universitas Sumatera Utara
e. Teori Kekayaan Bertujuan (Doel vermogen) Teori ini dipelopori oleh oleh A. Brinz. Menurut teori ini hanya manusia yang dapat menjadi subjek hukum, karena itu badan hukum bukan subjek hukum dan hakhak yang diberikan kepada badan hukum pada hakikatnya hak-hak tanpa subjek hukum. Namun demikian, tidak dapat disangka adanya hak-hak atas kekayaan, sedangkan tidak ada manusia yang menjadi pendukung hak-hak itu, dengan kata lain, kekayaan badan hukum dipandang terlepas dari yang memegangnya. Jadi hak-hak dari suatu badan hukum, sebenarnya adalah hak-hak yang tidak ada yang mempunyainya, dan sebagai penggantinya adalah suatu harta kekayaan yang terikat oleh suatu tujuan atau kekayaan kepunyaan suatu tujuan. Di sini yang terpenting kekayaan tersebut diurus dengan tujuan tertentu tanpa peduli siapakah badan hukum itu apakah manusia atau bukan, apakah kekayaan itu merupakan hak-hak normal atau tidak. 32 f. Teori tentang Harta Kekayaan yang Dimiliki oleh Seseorang dalam Jabatannya (leer van Het Ambtelijk Vermogen) Pelopor teori ini adalah Holder dan Binder. Menurut ajaran ini, tidak mungkin mempunyai hak jika tidak dapat melakukan hak itu, dengan kata lain tanpa daya kehendak (wilsvermogen), tidak ada kedudukan sebagai subjek hukum. Ini merupakan konsekuensi terluas dari teori yang menitikberatkan pada daya berkehendak. Untuk badan hukum, yang berkehendak adalah para pengurus. Dalam kualitasnya sebagai pengurus mereka berhak, karena itu disebut ambtelijk vermogen. Konsekuensi ajaran ini ialah, bahwa orang yang belum dewasa, di mana wali melakukan segala perbuatan 32
Ibid, hal. 62.
Universitas Sumatera Utara
hukum, eigendom ada pada curatele eigenaarnya atau kuratornya. Teori ambtelijk vermogen ini mendekati teori kekayaan bertujuan (doel vermogen).
33
g. Teori Leon Duguit Duguit tidak mengakui hak yang oleh hukum diberikan kepada subjek hukum, tetapi hanya fungsi-fungsi sosial yang harus dilakukan oleh subjek hukum itu. Di samping itu, Duguit menegaskan pula bahwa hanya manusia dapat menjadi subjek hukum tanpa menjadi pendukung hak. Oleh karena itu Duguit hanya menerima manusia sebagai subjek hukum, maka baginya juga hanya manusia menjadi subjek hukum internasional. 34 Baik teori fiksi maupun teori kekayaan kolektif pada hakikatnya memandang bahwa sebenarnya badan hukum itu tidak ada atau sesuatu yang abstrak. Sebaliknya, teori organ memandang badan hukum adalah suatu realitas yang sebenarnya sama dengan manusia. Pandangan yang demikian ini sebenarnya terlalu jauh. Walaupun badan hukum dalam kenyataan yuridis sama dengan manusia dalam lapangan hukum kekayaan, seperti mempunyai hak kebendaan dan turut serta dalam pergaulan hukum sebagai pihak dalam suatu perjanjian, namun tidak semua perbuatan hukum yang dilakukan oleh manusia dapat pula dilakukan oleh badan hukum. Misalnya dalam lapangan hukum keluarga, badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan hukum. 35 Banyak orang berasumsi bahwa pemilik sebuah Yayasan adalah pendirinya. Hal itu didasarkan pada pemahaman bahwa orang yang mendirikan sebuah badan 33
Ibid, hal. 62-63. Ibid, hal. 63. 35 Ibid, hal. 63-64. 34
Universitas Sumatera Utara
usaha sudah pasti adalah pemilik badan usaha tersebut. Namun apakah pemahaman tersebut berlaku juga bagi Yayasan? UU Yayasan memberi pengecualian untuk itu. Dalam UU No. 16 Tahun 2001, secara implisit disebutkan bahwa pendiri Yayasan bukanlah pemilik Yayasan. Pendiri Yayasan telah memisahkan kekayaannya untuk menjadi milik Yayasan, sehingga pendiri tidak terikat dan tidak lagi memiliki hak atas kekayaan yang telah menjadi milik Yayasan itu. Lantas, kita mungkin bertanya kalau bukan pendirinya, siapakah pemilik Yayasan itu? Dalam UU Yayasan tidak disebutkan secara dengan jelas siapa pemilik Yayasan. Organ Yayasan juga bukanlah pemilik sebuah Yayasan. Hal ini secara implisit diungkapkan dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 5 UU No. 16 Tahun 2001 Jo. UU No. 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. 36
36
Pasal 3 ayat (2) UU Yayasan, menegaskan: Yayasan tidak boleh membagikan hasil kegiatan usaha kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas. Penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU No.16 Tahun 2001 menyebutkan, ketentuan dalam ayat ini sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan yang bersifat sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, sehingga seseorang yang menjadi anggota Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan harus bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah, atau honor tetap. Ketentuan Pasal 5 UU No. 16 Tahun 2001 berbunyi Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-Undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas, karyawan, atau pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap Yayasan. Ketentuan Pasal 5 UU No. 16 Tahun 2001 diubah dengan lahirnya UU No. 28 Tahun 2004, sehingga Pasal 5 dimaksud berbunyi sebagai berikut: (1) Kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang, maupun kekayaan lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung, baik dalam bentuk gaji, upah, maupun honorarium atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas. (2) Pengecualian atas ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditentukan dalam Anggaran Dasar Yayasan bahwa Pengurus menerima gaji, upah, atau honorarium, dalam hal Pengurus Yayasan: a. Bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina, dan Pengawas; dan b. Melaksanakan kepengurusan Yayasan secara langsung dan penuh. (3) Penentuan mengenai gaji, upah dan honorarium sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan oleh Pembina sesuai dengan kemampuan kekayaan Yayasan. Penjelasan Pasal 5 UU No. 28 Tahun 2004 menjelaskan bahwa ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa kekayaan Yayasan, termasuk hasil kegiatan usaha Yayasan, merupakan kekayaan Yayasan sepenuhnya untuk dipergunakan guna mencapai maksud dan tujuan Yayasan, sehingga seseorang yang menjadi anggota Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan bekerja secara sukarela tanpa menerima gaji, upah, atau honorarium. Ayat (2), huruf (a) Yang dimaksud dengan”terafiliasi”
Universitas Sumatera Utara
Dalam kedua pasal tersebut teranglah bahwa kekayaan dan hasil kegiatan usaha Yayasan tidak boleh dialihkan dan dibagikan kepada organ Yayasan. Akan tetapi, ketika dirujuk pada Pasal 68 UU No. 28 Tahun 2004 dapat dikatakan bahwa pemilik Yayasan adalah masyarakat. Dalam pasal tersebut, memang tidak dinyatakan secara langsung mengenai kepemilikan Yayasan. Namun, secara tidak langsung isi pasal tersebut mengatakan bahwa masyarakatlah pemilik Yayasan. Dalam pasal tersebut dikemukakan bahwa kekayaan hasil likuidasi diberikan kepada Yayasan yang mempunyai tujuan dan maksud yang sama. Itu artinya kekayaan tersebut haruslah dipakai untuk mewujudkan tujuan Yayasan. Tujuan Yayasan sendiri diarahkan untuk kepentingan masyarakat, sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakatlah pemilik Yayasan, hal mana juga dikuatkan oleh teori badan hukum mengenai kekayaan bertujuan. 37 Teori kekayaan bertujuan mengungkapkan tentang keterikatan kekayaan sebuah badan hukum dengan tujuan dan maksud tertentu dari badan hukum yang bersangkutan. Sehingga, dalam sebuah badan hukum dikenal istilah “kekayaan bertujuan”. Dilihat dari teori ini, kekayaan yang dipisahkan dari pemiliknya dan digunakan untuk pendirian sebuah Yayasan termasuk dalam kekayaan bertujuan. Kekayaan itu menjadi milik tujuannya. Karena tujuan Yayasan adalah masyarakat, Yayasan menjadi milik masyarakat sehingga kekayaannya harus digunakan untuk
adalah hubungan keluarga karena perkawinan atau keturunan sampai derajat ketiga, baik secara horizontal maupun vertikal. Huruf (b), yang dimaksud dengan “secara langsung dan penuh” adalah melaksanakan tugas kepengurusan sesuai dengan ketentuan hari dan jam kerja Yayasan bukan bekerja paruh waktu (part time), dan Ayat (3) Cukup jelas. 37 Rita M.L. & J. Law Firm, Op. Cit, hal. 46-68.
Universitas Sumatera Utara
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana diuraikan di atas, Teori Kekayaan Bertujuan yang dicetuskan oleh A. Brinz. Dasar teori ini adalah bahwa hanya manusialah subjek hukum. Meskipun manusia adalah subjek hukum, posisi sebagai subjek hukum tidak serta merta menjadikannya pemilik atas kekayaan suatu badan hukum dan hak-hak yang melekat padanya. Hal ini terkait dengan pendirian suatu badan hukum dengan kekayaan yang telah dipisahkan dari kekayaan pendirinya. Lantas bagaimana status kekayaan tersebut? Pada prinsipnya, kekayaan suatu badan hukum sudah terikat dengan tujuan dan maksud tertentu dari badan hukum yang bersangkutan. Dengan kata lain kekayaan tersebut adalah milik “tujuan dan maksud” dari sebuah badan hukum. Di sinilah nampak hubungan antara Teori Kekayaan Bertujuan dengan badan hukum Yayasan. Telah diketahui bahwa Yayasan memiliki tujuan yang idealistis, bersifat sosial dan kemanusiaan. Maka dari itu, kekayaan sebuah Yayasan adalah alat yang seharusnya hanya digunakan untuk mencapai tujuan dan maksud Yayasan itu sendiri. 38 Yayasan diakui sebagai badan hukum adalah suatu badan yang ada karena hukum dan memang diperlukan keberadaannya sehingga disebut legal entity dan menurut Pasal 11 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2004 menyebutkan bahwa Yayasan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) memperoleh pengesahan dari Menteri. Dalam ketentuan Pasal 5 UU No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dijabarkan secara konkrit bahwa kekayaan Yayasan baik berupa uang, barang maupun kekayaan 38
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
lain yang diperoleh Yayasan berdasarkan Undang-Undang ini, dilarang dialihkan atau dibagikan secara langsung atau tidak langsung kepada Pembina, Pengurus, Pengawas dan karyawan atau pihak lain yang mempunyai kepentingan dengan Yayasan. Pemisahan harta kekayaan Yayasan tersebut sebenarnya bertujuan untuk mencegah jangan sampai kekayaan awal Yayasan masih merupakan bagian dari harta pribadi atau harta bersama pendiri. Jika tidak demikian nantinya harta tersebut masih tetap sebagai kekayaan milik pendiri Yayasan. 39 Keadilan (justice) bersama-sama dengan kemanfaatan (utility) dan kepastian hukum (legal certainty) merupakan tujuan hukum. 40
Dan untuk mencapai tujuan
hukum dimaksud tidak terlepas dari sistem hukum. Menurut Lawrence M. Friedman yang mengkaji sistem hukum (legal system) menyatakan bahwa ada tiga komponen yang ikut menentukan berfungsinya suatu hukum, yaitu struktur hukum (structure), substansi hukum (substance), dan budaya hukum (legal culture). Dari ketiga komponen inilah menurut Friedman kita dapat melakukan analisis terhadap bekerjanya hukum sebagai suatu sistem. Dari uraian yang dikemukan Friedman ini nampak bahwa unsur structure dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai fungsinya dalam rangka bekerjanya sistem tersebut. Sedangkan komponen substance mencakup segala apa saja yang merupakan hasil dari sturcture, di dalamnya termasuk norma-norma hukum baik yang berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan, maupun doktrin-doktrin. Lebih jauh 39
Gatot Supramono, Hukum Yayasan di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008), hal. 37. Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicial prudence):Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group: 2009), hal. 223. 40
Universitas Sumatera Utara
Friedman mengatakan bahwa apabila sedikit direnungkan maka sistem hukum itu bukan hanya terdiri atas structure dan substance, masih diperlukan adanya unsur ketiga untuk bekerjanya suatu sistem hukum yaitu budaya hukum (legal culture). 41 Kebutuhan terhadap ketertiban itu syarat pokok bagi adanya suatu masyarakat yang teratur. Teori yang menyatakan bahwa hukum sebagai sarana pembangunan dapat diartikan, bahwa hukum sebagai penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Teori ini dikemukakan oleh Roscoe Pound, yakni “Law as A Tool as Social Engineering”. 42 Dimana hukum harus diusahakan bersifat antisipatif, sehingga tidak menghambat laju perkembangan efesiensi ekonomi, mewujudkan iklim Yayasan yang kondusif melalui pengaturan tentang Yayasan. Dalam pembahasan permasalahan tesis ini mengenai bagaimana tanggung jawab Pengurus Yayasan terhadap Yayasan yang sudah berdiri sebelum lahirnya UU No. 16 Tahun 2001, serta bagaimana status hukum harta kekayaan Yayasan tersebut jika ditinjau berdasarkan UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008, dan bagaimana sikap pemerintah terhadap Yayasan yang tidak mau tunduk kepada kemauan pemerintah, teori-teori yang telah diuraikan di atas akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini.
41
Abdul R. Saliman, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan:Teori dan Contoh Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hal. 4-5. 42 Roscoe Pound, Social Control Through Law: Jural Postulets, dikutip dari Buku Filsafat Hukum Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2001), hal. 280.
Universitas Sumatera Utara
2. Landasan Konsepsional Guna menghindarkan perbedaan pengertian tentang istilah-istilah yang dipakai dalam penulisan tesis ini, defenisi operasional dari istilah-istilah tersebut adalah sebagai berikut: a. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, pendidikan, keagamaan, dan kemanusian, yang tidak mempunyai anggota. 43 b. Akta pendirian adalah surat otentik mengenai keberadaan suatu badan hukum yang memuat Anggaran Dasar dan keterangan lain yang dianggap perlu tentang badan hukum tersebut. 44 c. Yayasan yang tidak didaftarkan adalah Yayasan yang tidak dimohonkan pengesahannya kepada Menteri Hukum dan Hak azasi Manusia dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. d. Perubahan adalah suatu proses suksesi suatu sistem dari keadaan lama yang tidak sesuai lagi pada tempatnya ke keadaan baru dengan tujuan untuk memperbaiki sistem tersebut agar sesuai dengan keadaan perkembangan zaman. 45 e. Benda adalah benda berwujud dan benda tidak berwujud yang dapat dinilai dengan uang. 46
43
Pasal 1 angka 1 UU Yayasan. Pasal 14 UU Yayasan. 45 Gatot Supramono, Op. Cit, hal. 10. 46 Pasal 14 huruf d UU Yayasan. 44
Universitas Sumatera Utara
f. Harta Kekayaan Yayasan adalah segala harta yang dapat dinilai berupa uang, barang maupun kekayaan lain dan memisahkan sebagian harta kekayaan pendirinya sebagai kekayaan awal. 47 g. Sumbangan atau bantuan yang tidak mengikat adalah sumbangan atau bantuan sukarela yang diterima Yayasan, baik dari Negara, masyarakat, maupun dari pihak ketiga lain yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. 48 h. Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. 49 Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. 50 i. Hibah adalah pemberian suatu benda semasa hidup seseorang, tanpa mengharapkan balasan. 51 Hibah berdasarkan Penjelasan Pasal 26 ayat (2) huruf
47
Lihat Pasal 5 dan Pasal 9 UU Yayasan. Penjelasan Pasal 26 ayat (2) huruf (a) UU Yayasan. 49 Pasal 1 angka 1 UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. 50 Pasal 215 ayat (1) Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. 51 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, Cet ke-1 (Jakarta: UI Press, 1988), hal. 24. 48
Universitas Sumatera Utara
(c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan adalah hibah dari orang atau dari badan hukum. j. Hibah Wasiat merupakan pemberian yang dituliskan atau diucapkan sebagai wasiat, sebagai kehendak terakhir si pemberi hibah wasiat yang berlaku setelah meninggalnya si pemberi wasiat (si meninggal). 52 Besarnya hibah wasiat yang diserahkan kepada Yayasan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan hukum waris. 53 k. Perolehan lain berdasarkan Penjelasan Pasal 26 ayat (2) huruf (e) UndangUndang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, misalnya adalah deviden, bunga tabungan bank, sewa gedung, atau perolehan dari hasil usaha Yayasan. l. Likuidasi adalah proses pembubaran perusahaan sebagai badan hukum yang meliputi pembayaran kewajiban kepada para kreditor dan pembagian harta yang tersisa kepada para pemegang saham (persero). 54
G. Metode Penelitian Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Sedangkan penelitian merupakan suatu kerja ilmiah yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara
52
Suhardiadi dan Ari Kusumastuti Maria, Hukum Yayasan Di Indonesia (Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan), Cet ke-2, (Jakarta: PT. Abadi, 2003), hal. 48. 53 Penjelasan Pasal 16 ayat (2) huruf d UU Yayasan. 54 Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hal. 250.
Universitas Sumatera Utara
sistematis, metodologis dan konsisten. 55 Metode Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode tertentu secara sistematika yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau beberapa gejala hukum dengan cara menganalisisnya. 56 1. Jenis dan Sifat Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dipandang dari sisi normatifnya (asas-asas, prinsip-prinsip, doktrin-doktrin, kaidah-kaidah)
yang terdapat di dalam perundang-undangan dan putusan
pengadilan. 57 Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan fakta-fakta menyangkut permasalahan dalam penelitian ini baik dalam kerangka sistematisasi maupun sinkronisasi berdasarkan aspek yuridis dengan tujuan menjawab permasalahan yang menjadi objek penelitian. 58 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier:
55
Soerjono Soekanto dan Sri Mumadji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 1. 56 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), hal. 6. 57 Johny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia Publishing, 2005), hal. 46. 58 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, cetakan ketiga, (Jakarta: Raja Granfindo Persada, 2001), hal. 116-117.
Universitas Sumatera Utara
a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Yayasan, di antaranya adalah UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008. b. Bahan hukum sekunder adalah bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer terdiri atas buku-buku teks; jurnal-jurnal ilmiah, majalah; Laporan Tengah Tahunan Maret 2012 dari sekolah-sekolah swasta yang berada di bawah naungan 41 (empat puluh satu) Yayasan terdaftar di Dinas Pendidikan Kota Medan, Kementerian Agama Kota Medan, Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara, dan Entry dari Dirjend AHU Kemenkumham; termasuk makalah-makalah, dan media internet. 59 c. Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia dan Inggris. 60 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka (library research), yaitu studi terhadap data sekunder. Selain itu dilakukan pengumpulan data lapangan (field research) sebagai data primer untuk mendukung dan memperkuat argumentasiargumentasi yang dibahas dalam penelitian ini melalui wawancara kepada nara sumber di antaranya berasal dari 41 (empat puluh satu) Yayasan sebagai sampel yang ditentukan (purposive sample) berlokasi di Wilayah Hukum Provinsi Sumatera Utara 59
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982),
60
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op. Cit, hal. 195-196.
hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
khususnya di Kota Medan yang didirikan sebelum berlakunya UU Yayasan. Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap Peraturan Perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, yang berkaitan dengan penelitian ini. Data lapangan digunakan untuk menunjang diperolehnya data yang aktual dan akurat, dilakukan perolehan data secara langsung dan wawancara kepada Pejabat di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kantor Kementerian Agama Kota Medan, dan Dinas Pendidikan Kota Medan. Data yang diperoleh melalui studi pustaka dan studi lapangan tersebut selanjutnya akan dipilah-pilah guna untuk menghubungkannya dengan pasal-pasal yang terdapat dalam UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 yang mengandung kaedah-kaedah dan norma-norma hukum sesuai dengan permasalahan yang diteliti hingga disistematisasikan untuk mendapatkan klasifikasi yang selaras dan seimbang terhadap permasalahan. 4. Analisis Data Analisis data atau pengolahan data dilakukan secara kualitatif yakni menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan terhadap teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam UU Yayasan dan PP No. 63 Tahun 2008 dan dihubungkan dengan fakta-fakta di lapangan. Data yang telah dianalisis secara kualitatif tersebut, kemudian dikemukakan secara deduktif (logika berpikir dari umum ke khusus) dengan menghubungkannya terhadap permasalahan yang diteliti dan disistematisasikan untuk mendapatkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan
Universitas Sumatera Utara
dalam bentuk uraian secara sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data sehingga permasalahan akan dapat dijawab.
Universitas Sumatera Utara