1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Bahasa dan sastra adalah cermin kebudayaan dan sebagai rekaman budaya
yang telah mengalami perkembangan selama lebih dari bertahun-tahun. Peran penting bahasa dan sastra dalam hubungannya dengan kebudayaan adalah lewat bahasa dan sastra kita dapat mempelajari budaya masa lampau dengan berbagai konsepsi yang dimilikinya (Agastia, 1994: 58). Kehidupan manusia dengan kehidupan sastra merupakan dunia yang tak terpisahkan. Kesusastraan mempunyai arti penting dalam kehidupan masyarakat, seperti yang dikatakan oleh Teeuw (1984: 15) bahwa manusia, di samping sebagai homo sapiens, homo faber, homo laquens, ia juga homo fabulans, makhluk bercerita atau makhluk bersastra. Suatu cipta sastra mengungkapkan tentang masalah-masalah manusia dan kemanusiaan, tentang makna hidup dan kehidupan. Di samping itu cipta sastra juga melukiskan penderitaan-penderitaan manusia, perjuangan, kasih sayang dan kebencian, nafsu, serta segala yang dialami manusia (Ensten, 1987: 8). Senada dengan hal tersebut Luxemburg (1986: 12) menyatakan bahwa barang siapa yang ingin mengetahui nilai-nilai apa yang hidup di tengah-tengah lingkungan kebudayaan, hendaknya mempelajari dengan seksama sastra yang dihasilkan oleh lingkungan masyarakat tersebut. Pendapat di atas sejalan dengan penulis bahwa sastra hendaknya dipelajari sebagai sarana pembelajaran dalam kehidupan.
2
Menurut Baroroh (dalam Bagus, dkk., 1988: 2), sastra lama yang merupakan rekaman kebudayaan dari kurun zaman yang cukup lama mengandung berbagai ragam lukisan kebudayaan buah pikiran, ajaran budi pekerti, nasehat, hiburan, pantangan, dan lain sebagainya termasuk kehidupan agama mereka waktu itu. Sejalan dengan hal tersebut, Robson (1978: 5) menyatakan bahwa naskah-naskah itu (karya sastra lama) merupakan perbendaharaan pikiran dan cita-cita para nenek moyang kita. Dengan mempelajari naskah itu kita bisa mendekati dan menghayati pikiran dan cita-cita yang dulu menjadi pedoman kehidupan mereka. Kesusastraan lama juga mempunyai arti penting dalam kehidupan masyarakat Bali. Sastra Bali klasik mengandung hubungan batin serta latar belakang budaya Bali yang terpadu hingga melahirkan nilai-nilai etika, moral, religius, dan filosofis Hindu yang bulat dalam sistem budaya masyarakat Bali. Sistem nilai budaya Bali merupakan salah satu unsur yang mempunyai eksistensi fungsional karena di dalamnya mengendap nilai-nilai dan norma-norma dan aturan-aturan sebagai aspek ideal. Nilai-nilai budaya itu merupakan manifestasi tindakan-tindakan berpola sebagai aspek material dan merupakan dimensi-dimensi sosial budaya perwujudan pola-pola kelakuan manusia (Bagus, dkk., 1988: 3). Kemudian, salah satu ciri sastra klasik lisan ini adalah tanpa pengarang (anonim). Nama menjadi tidak penting, identitas diri sepenuhnya bersembunyi dan menjadi milik masyarakat. Sastra lama hadir sebagai milik bersama, sebagai wakil masyarakat (representation collecives). Setelah selesai diciptakan, sebuah karya
3
sastra langsung menjadi milik bersama, dinyanyikan, dipentaskan, dibacakan, dan dinikmati bersama-sama dalam bentuk performing art (Bagus, dkk.,1988: 18). Satua (dongeng) merupakan salah satu contoh sastra Bali klasik yang merupakan warisan budaya yang telah ada sejak zaman dahulu. Menurut Agastia (1994: 48), satua adalah karya sastra lisan tetapi kemudian ditulis, kadang-kadang diolah disesuaikan dengan kaidah bahasa tulisan. Ditambahkan oleh Lawa (tt: 1) bahwa pengaruh satua dalam membentuk karakter sangat besar. Masa anak-anak seharusnya diisi dengan hal-hal imajinatif karena anak-anak mulai belajar mengenal “kota yang ada di luar dirinya” melalui bayangan-bayangan “kota khayalan”. Berawal dari cerita semacam itu, anak-anak bisa meresapi makna masyarakat dan juga interaksi sosial yang terjadi. Ketika mereka menginjakkan kaki dan menebar pandangan mereka untuk pertama kali di luar rumah, mereka sudah mendapatkan gambaran tentang interaksi di masyarakat. Pada era global ini, nilai-nilai budaya semakin bergeser serta ditandai dengan ditinggalkannya tradisi masatua di kalangan generasi muda. Tradisi masatua biasanya menjadi pilihan kedua setelah menonton hiburan di televisi. Antara proses masatua dan media televisi sangat besar perbedaannya dalam menumbuhkembangkan pola interaksi anak. Dalam kegiatan masatua, orang tua melibatkan aspek emosi di dalamnya. Kegiatan masatua dapat memberikan suatu hubungan emosi yang lebih akrab antara orang tua dengan anak-anak karena komunikasi akan berlangsung dua arah. Si anak dapat bertanya tentang hal-hal dalam cerita yang tidak ia ketahui kepada orang tua, sementara orang tua dapat memberikan pesan moral dan cinta kasih sesuai dengan tingkat pemahaman anak.
4
Tradisi masatua di kalangan anak-anak Bali pada era global ini telah memudar. Mereka sejak kecil telah diperkenalkan dengan film kartun, komedi, dan kemungkinan tayangan sadis di televisi. Televisi sebagai dampak globalisasi dapat juga meracuni mental anak jika tidak disertai peran orang tua. Tidak ada pertukaran emosi antara anak dan TV sehingga ketika si anak datang ke dunia sebenarnya, ia bisa saja akan kurang mampu beradaptasi secara emosi karena ia telah terbiasa hidup di dunianya sendiri. Bisa saja, ia tidak dapat menerima pendapat orang lain yang berbeda dengannya. Lain halnya dalam masatua, si anak diberikan kebebasan untuk menebak cerita selanjutnya dan berargumen sendiri. Di sini anak belajar mengungkapkan sesuatu dan juga belajar menanggapi pembicaraan orang lain (Lawa, tt: 2). Kehidupan sastra lama (satua) umumnya lebih banyak bersifat lisan. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan masih dijumpai kegiatan masatua yang diceritakan oleh orang tua kepada anaknya. Hal ini karena berbagai peristiwa alam, kehidupan antah berantah, dewa, jin, dan peri berfungsi dalam kehidupan pedesaan (Bagus, dkk 1988: 18). Kemudian jika dibagi ke dalam generasi muda dan generasi tua, kegiatan masatua nampaknya masih digemari oleh generasi tua pecinta dunia sastra, lain halnya dengan generasi muda yang lebih tertarik dengan hiburan yang berbau modern seperti video game, televisi, internet, dan sebagainya. Berhubungan dengan penelitian ini, sastra klasik yang dipakai objek penelitian adalah Satua I Tuung Kuning. Satua I Tuung Kuning merupakan salah satu karya sastra Bali klasik yang dahulu disampaikan secara lisan dalam tradisi
5
masatua. Secara umum, isinya menggambarkan tentang pandangan, ide, dan pemikiran orang Bali zaman dahulu. Menurut Agastia (1994: 58), dalam kesusastraan Bali tertuang nilai-nilai budaya yang luhur yang senantiasa perlu digali dan diakarkan kembali kepada masyarakat. Nilai-nilai tersebut dalam banyak hal bersifat universal dan tahan zaman karena ia mengandung nilai-nilai kebenaran yang abadi. Nilai-nilai seperti itu sudah seharusnya ditransmisikan dan ditransformasikan dalam usaha membangun budaya. Dalam kajian tentang budaya secara umum, mengkaji satua berarti mengkaji unsur nilai budaya adiluhung yang ada di dalamnya. Namun tidak demikian halnya dengan kajian budaya (cultural studies). Satua I Tuung Kuning diperkenalkan kembali dalam kajian ini dengan tujuan dan harapan untuk dapat mengetahui bentuk, media, dan keberadaan, faktor, serta maknanya dalam kehidupan masyarakat Bali. Satua I Tuung Kuning merupakan suatu teks yang berperan sebagai tanda dan sebagai narasi. Sejalan dengan pendapat Barker (2004: 33), teks sebagai tanda dieksplorasi maknanya melalui semiotika, yaitu bagaimana makna yang terbangun oleh teks diperoleh melalui penataan tanda dan penggunaan kode-kode budaya. Sedangkan teks disebut sebagai narasi karena teks mengisahkan cerita. Narasi merupakan bentuk terstruktur di mana kisah membuat penjelasan tentang bagaimana dunia ini. Seperti yang telah dikemukakan di atas, satua merupakan kesusastraan Bali yang mengandung nilai-nilai kebenaran di dalamnya, namun jika satua ini dilupakan begitu saja atau hilang ditelan zaman maka cerita yang tertuang di dalamnya akan menjadi pemikiran kokoh tanpa dapat dikritis isinya. I Tuung
6
Kuning sebagai tokoh utama dalam cerita ini merupakan seorang anak perempuan yang diperlakukan tidak adil oleh ayahnya yang menginginkan kelahiran anak laki-laki dalam keluarga. Ketertarikan terhadap satua ini karena cerita di dalamnya menjadi ikon dalam kehidupan masyarakat Bali, di mana kelahiran anak laki-laki sebagian besar lebih diharapkan dalam sebuah keluarga dibandingkan dengan kelahiran anak perempuan. Dengan demikian, berhubungan dengan penelitian ini, Satua I Tuung Kuning akan dikaji dalam konteks kehidupan masyarakat Bali pada era global, di mana kajian ini akan melihat bagaimana bentuk, media, dan keberadaan satua ini pada media elektronik yang meliputi internet, radio, dan televisi. Di mana seperti yang diketahui bahwa media elektronik sangat ampuh dalam memberikan informasi serta memberikan pengaruh kepada masyarakat pada era global ini. Seperti yang telah diungkapkan di atas, I Tuung Kuning menjadi cerminan dari kehidupan masyarakat Bali yang sesungguhnya, namun sebagai karya sastra klasik dengan dinamika kekinian masyarakat Bali, karya sastra klasik tersebut nampak semakin tersisih serta mengalami penurunan minat dari masyarakat perkotaan pada era global ini. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah agar generasi muda tetap mencintai sastra dan budayanya seperti mengadakan lomba masatua, dan sebagainya tetapi sepertinya usaha ini perlu ditingkatkan lagi. Dampak globalisasi yang semakin cepat seringkali menjadi hambatan dan kambing hitam atas kurangnya minat generasi muda untuk menekuni karya sastra klasik tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Piliang (2006: 279), proses globalisasi ini akan menimbulkan krisis identitas yang
7
ditandai dengan hilangnya atau tidak dapat dipertahankannya nilai-nilai yang melekat dalam kehidupan sehari-hari karena telah direnggut oleh nilai-nilai lain yang berasal dari luar. Dalam beberapa dekade, mungkin harapan akan tetap hidupnya budaya adi luhung yang diwarisi akhirnya menjadi mitos. Budaya lokal yang mengandalkan diri pada nilai-nilai tradisi (yang relatif lamban untuk berubah, orisinil, abadi, dan langgeng) akan tergilas oleh globalisasi jika tidak segera dimaknai oleh pendukungnya. Jika dikaitkan dengan kajian budaya, teks satua I Tuung Kuning merupakan sebuah praktik budaya dan pemaknaan, bahwa teks berhubungan dengan konteks melalui pemaknaan budaya masyarakat Bali. Pertama, satua I Tuung Kuning merupakan pengukuhan ideologi patriarkhi. Dalam konteks budaya Bali, berlaku ideologi patriarkhi dengan sistem kekerabatan patrilineal yang dianut oleh masyarakat Bali khususnya, memberikan corak terdepan terhadap peranan laki-laki (suami) dalam kehidupan keluarga. Sistem kekerabatan patrilineal menempatkan kedudukan suami lebih tinggi daripada istri. Kedudukan yang lebih tinggi diikuti dengan kekuasaan yang lebih tinggi pula (Sudarta, 2006: 66). Hal inilah yang perlu didekonstruksi agar tercipta kesetaraan gender. Kedua, cerita ini menceritakan tentang perjudian yang secara eksplisit ada hubungannya dengan keadaan masyarakat Bali saat ini. Perjudian
merupakan salah satu
perbuatan yang tidak patut ditiru. Dalam karya sastra, pesan dapat diberikan dengan menunjukkan perilaku positif atau negatif, yang dalam hal ini perilaku negatif yaitu perjudian merupakan perbuatan yang tidak patut ditiru karena mengakibatkan dampak yang negatif pula.
8
Dengan asumsi di atas, cerita ini layak untuk diperkenalkan kembali kepada masyarakat Bali khususnya yang berada di daerah perkotaan agar merasa bangga menjadi pemilik budayanya sendiri, mencintai, dan mampu memaknainya, memilah-milah nilai yang patut dan tidak patut ditiru. Begitu pula penulis sebagai peneliti kajian budaya wajib mengkritisi isinya sehingga hasil penelitian ini dapat berguna bagi kehidupan masyarakat.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi masalah
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk, media, dan keberadaan Satua I Tuung Kuning? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi bentuk, media, dan keberadaan Satua I Tuung Kuning? 3. Makna apa yang terkandung dalam Satua I Tuung Kuning?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan Umum Secara
umum
penelitian
ini
bertujuan
untuk
mengkaji
dan
memperkenalkan kembali karya sastra prosa Bali tradisional yaitu Satua I Tuung Kuning kepada masyarakat sekaligus menggali dan mengkritik nilai sosial dan budaya yang ada di dalamnya untuk menambah wawasan dan menciptakan kesadaran kritis masyarakat demi terciptanya kualitas hidup yang lebih baik.
9
1.3.2
Tujuan Khusus Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga permasalahan
pokok yang dikemukakan di atas, yaitu: (1) Untuk mengkaji bentuk, media, dan keberadaan Satua I Tuung Kuning. (2) Untuk mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk, media, dan keberadaan Satua I Tuung Kuning. (3) Untuk mengkaji makna yang terkandung dalam Satua I Tuung Kuning.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoretis
1.
Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pengembangan penelitian ilmu kajian budaya dan sebagai referensi dalam penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan sastra Bali tradisional.
2.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kritis yang berkaitan dengan Satua I Tuung Kuning dalam era global. Hal ini juga merupakan usaha penggalian, pelestarian, dan pengembangan warisan budaya Nusantara. Kritik di dalamnya diharapkan mampu menambah wawasan dan pemahaman masyarakat Bali khususnya tentang pemaknaan cerita Bali tradisional dalam segala bidang kehidupan.
10
1.4.2 1.
Manfaat Praktis Manfaat praktis dari penelitian ini adalah diharapkan dapat memberikan rangsangan
kepada
masyarakat
khususnya
generasi
muda
untuk
mengapresiasi sastra Bali tradisional yang sudah mulai ditinggalkan peminatnya. Dengan memahami
Satua I Tuung Kuning diharapkan
masyarakat Bali dapat menerapkan nilai-nilai yang bermanfaat dan meninggalkan nilai-nilai yang tidak sesuai sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan. 2.
Penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan bagi pembuat kebijakan yang berkaitan dengan studi sastra budaya Bali untuk semakin menggiatkan usaha dalam mengkonservasi naskah serta tradisi lisan tradisional agar tidak ditinggalkan masyarakat.