1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia, dalam perkembangannya telah menghasilkan pembangunan yang pesat dalam kehidupan nasional, yang perlu dilanjutkan
dengan dukungan
pemerintah dan seluruh potensi masyarakat. Keberhasilan pembangunan yang dilakukan oleh segenap bangsa Indonesia tidak terlepas dari partisipasi semua pihak. Pelaksanaan pembangunan nasional sebagai proyek besar tentu memerlukan bukan saja partisipasi aktif seluruh bangsa, tetapi memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Beban biaya yang
ditimbulkan untuk melaksanakan pembangunan tidak hanya dibebankan kepada negara. Sumber-sumber pendapatan Negara dari sumber migas tentu semakin lama akan semakin habis. Mengandalkan bantuan atau hibah dari luar negeri akan menyebabkan beban ketergantungan perekonomian yang berdampak Negara luar dengan kekuatan ekonomi yang lebih kuat akan mendikte kehidupan kenegaraan bangsa Indonesia. Menyadari hal demikian salah satu sektor yang dominan sebagai sumber pendapatan Negara adalah sektor pajak. Dalam melaksanakan pemungutan pajak yang menjadi dasar Negara adalah ketentuan Pasal 23A Perubahan Ketiga Undang-Undang
2
Dasar 1945 Negara Republik Indonesia, yang berbunyi : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang-Undang”. Pengaturan di bidang perpajakan merupakan salah satu peraturan pelaksanaan dari norma yang ada dalam Pasal 23A UUD 1945 Negara Republik Indonesia. Tujuannya sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU Perpajakan) bertujuan untuk lebih memberikan keadilan, meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak, meningkatkan kepastian dan penegakan hukum, sera mengantisipasi kemajuan di bidang teknologi informasi dan perubahan ketentuan material di bidang perpajakan. Selain itu, perubahan tersebut juga
dimaksudkan
untuk
meningkatkan
profesionalisme
aparatur
perpajakan, meningkatkan keterbukaan administrasi perpajakan, dan meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak. Pajak sebagai sumber penerimaan Negara telah dipungut di Indonesia sejak awal kemerdekaan. Pemungutan terhadap pajak bersifat memaksa dan terutang oleh wajib pajak dengan tidak mendapat prestasi secara langsung. Hasil dari pungutan pajak dapat digunakan untuk
3
membiayai pengeluaran Negara dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.1 Penghasilan Negara salah satunya berasal dari pungutan pajak dan/atau dari hasil kekayaan alam yang ada dalam Negara (natural resouces). Pungutan pajak mengurangi penghasilan/kekayaan individu tetapi sebaliknya merupakan penghasilan dikembalikan kepada masyarakat, melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pengeluaran-pengeluaran pembangunan yang akhirnya kembali kepada masyarakat. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355) bahwa pendapatan negara adalah semua penerimaan negara yang berasal dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, serta penerimaan hibah dari dalam negeri dan luar negeri. Penerimaan negara yang paling potensial adalah dari penerimaan pajak. Pada umumnya negara mempunyai sumber-sumber penghasilan yang terdiri dari : 1) Bumi, air dan kekayaan alam; 2) Pajak, bea dan cukai; 3) Penerimaan negara bukan pajak; 4) Hasil perusahaan negara; 5) Sumber lain seperti pencetakan uang dan pinjaman.
1
Marihot P Siahaan P Siahaan, 2005, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PT. Raja Grafindo, Jakarta, hal. 7.
4
Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UndangUndang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak (WP) untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan Negara dan pembangun nasional. Wajib Pajak menurut Pasal 1 huruf a UU Perpajakan adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan Undang-Undang Perpajakan yang bersangkutan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu. Wajib Pajak dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu : a. Wajib Pajak Orang Pribadi Adalah mereka yang telah mempunyai penghasilan diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dimana batasan PTKP telah ditentukan oleh undang-undang pajak penghasilan. b. Wajib Pajak Badan Adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi Perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana
5
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. Setiap Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan, wajib membayar
pajak
yang terutang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak. Wajib pajak yang telah menyampaikan Surat pemberitahuan (SPT), maka Direktur Jenderal Pajak tidak akan menerbitkan ketetapan pajak, artinya semua surat pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak pada awalnya dianggap benar, sesuai dengan fungsi surat pemberitahuan sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang terutang. Apabila Wajib Pajak mengisi surat pemberitahuan dengan tidak benar, maka Wajib Pajak akan dikenakan sanksi sesuai dengan undang-undang perpajakan
atas
pajak
yang
kurang
dibayarnya.
Undang-undang
perpajakan memberikan kepercayaan kepada setiap Wajib Pajak untuk melakukan kegiatan perpajakannya sendiri mulai dari menghitung, membayar dan melaporkan ke kantor pelayanan pajak. Kepercayaan yang diberikan oleh pemerintah sesuai dengan sistem perpajakan yang dianut oleh Pemerintah Indonesia yakni sistem self assessment yang berarti sistem pemungutan yang memberi kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang.
6
Sistem
perpajakan
ini
bertujuan
untuk
meningkatkan
kesadaran
masyarakat untuk memenuhi kewajiban perpajakannya, karena dalam sistem ini
Negara memberikan kepercayaan kepada masyarakat untuk
memperhitungkan, menyetor, dan melaporkan pajaknya.2 Dengan adanya sistem self assessment tersebut, pemerintah mengharapkan kejujuran dan kesadaran dari setiap Wajib Pajak untuk melakukan kewajiban perpajakannya sesuai dengan Undang-Undang perpajakan yang berlaku. Dengan adanya pemberian kepercayaan yang tinggi kepada Wajib Pajak, maka ada penegakan hukum yang berfungsi sebagai pengawasan terhadap Wajib Pajak yang membayar pajak yang terutang. Jika dalam pelaporan dan pembayaran pajak, Wajib Pajak baik perorangan maupun korporasi tidak jujur, maka tentu saja hal ini akan mengakibatkan kerugian bagi keuangan negara, hal ini dikarenakan pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara. Kerugian Negara adalah kekurangan uang, surat berharga dan barang yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. Kerugian Negara dapat dihitung akibat perbutan melawan hukum baik karena kelalaian maupun kesengajaan, yang berasal dari pungutan Negara yang tidak dibayar atau tidak disetor kepada kas Negara oleh pelaku tindak pidana di bidang perpajakan. Permasalahan badan hukum sebagai subjek hukum pidana tidak lepas dari aspek hukum perdata. Dalam hukum perdata, orang 2
Abdul Rahman, 2010, Panduan Pelaksanaan Administrasi Perpajakan, Untuk Karyawan, Pelaku Bisnis dan Perusahaan, Cetakan I, Nuansa, Bandung, hal. 11.
7
perseorangan bukanlah satu-satunya subjek hukum. Hal ini disebabkan masih ada subjek hukum lain yang memiliki hak dan dapat melakukan perbuatan hukum sama seperti orang perseorangan. Pandangan seperti ini berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang hanya mengenal orang perseorangan sebagai subjek hukum. KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan produk hukum Belanda yang diberlakukan berdasarkan asas konkordansi di wilayah Hindia Belanda. Subjek tindak pidana yang dikenal dalam KUHP adalah orang perseorangan. Dengan kata lain hanya manusia yang dapat melakukan tindak pidana dan hanya manusia yang dapat dituntut serta dibebani pertanggungjawaban pidana. KUHP tidak mengenal badan hukum sebagai subjek hukum pidana. Hal ini didasarkan pada Pasal 59 KUHP, dimana apabila
badan
hukum
yang
melakukan
tindak
pidana,
maka
pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada pengurus badan hukum dalam hal pengurus badan hukum melakukan tindak pidana dalam rangka mewakili atau dilakukan atas nama badan hukum tersebut. Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang disebut sebagai keinginan-keinginan hukum dalam hal ini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat Undang-Undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum tersebut.3 Dengan demikian, apabila kita membicarakan mengenai penegakan hukum, maka pada hakekatnya
3
Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, hal. 24.
8
membicarakan mengenai penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang bersifat abstrak. Dengan kata lain, penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tersebut menjadi kenyataan. Proses mewujudkan ide-ide inilah yang merupakan hakikat dari penegakan hukum. Apabila sudah berbicara mengenai perwujudan ide-ide yang abstrak menjadi kenyataan, maka sebetulnya sudah memasuki bidang manajemen.4 Penegakan hukum pajak merupakan suatu hal yang mutlak harus dilakukan karena penegakan hukum pajak dapat diwujudkan tujuan hukum, berupa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Tanpa penegakan hukum pajak, hukum pajak hanya sekedar tulisan dalam bentuk norma hukum pajak yang tidak memiliki arti dan makna di kalangan Wajib Pajak, pejabat pajak, dan hakim pengadilan pajak. Sebagaimana dinyatakan oleh Mertokusumo, dalam penegakan hukum ada 3 (tiga) unsur yang harus diperhatikan, yaitu : 1. Unsur keadilan; 2. Unsur kemanfaatan; 3. Unsur kepastian hukum. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
4
Ibid, hal. 15
9
Penegakan hukum dalam pemungutan pajak meliputi : 1. Pemeriksaan ; Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan.5 2. Penyidikan; Penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana dibidang perpajakan yang terjadi, serta menemukan tersangkanya. Penyidikan pajak dilakukan oleh pejabat pegawai negeri di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.6 Penyidikan pajak dilakukan sebagai akibat tindak lanjut dari pemeriksaan
bukti
permulaan.
Penyidikan
merupakan
proses
kelanjutan dari hasil pemeriksaan yang mengindikasikan adanya bukti permulaan tindak pidana perpajakan. Tindak pidana di bidang perpajakan meliputi perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau
5
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
Pajak. 6
Thomas Sumarsan, 2009, Perpajakan Indonesia: Konsep, Aplikasi, dan Kasus Pembahasan Berdasarkan Undang-Undang Terbaru, Esiamedia, Bogor, hal. 119.
10
bahan hukum yang diwakili oleh orang tertentu (pengurus), memenuhi rumusan undang-undang, diancam dengan sanksi pidana, melawan hukum, dilakukan di bidang perpajakan, dan dapat menimbulkan kerugian bagi pendapatan negara. (Pasal 44 UU Perpajakan) 3. Penagihan. Penagihan pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan melaksanakan
Surat
Paksa,
mengusulkan
pencegahan,
penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual
barang yang telah disita. (Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa). Tujuan penagihan pajak adalah agar Wajib Pajak atau penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak. Agar tujuan penagihan pajak tersebut tercapai, maka diperlukan serangkaian tindakan yang dapat diambil oleh Jurusita Pajak mulai dari tindakan penerbitan Surat Teguran atau sejenisnya, kemudian menyampaikan surat paksa, penyampaian surat perintah melakukan penyitaan dan pelaksanaan penyitaan, penjualan barang hasil penyitaan, sampai dengan
tindakan
penyanderaan.
pencegahan
bepergian
ke
luar
negeri
dan
11
KUHP sebagai hukum positif yang berlaku di Indonesia hanya menentukan bahwa subyek hukum pidana adalah hanya orang pribadi (alami). Hal tersebut disebabkan bukan saja karena rumusan tindak pidana dalam KUHP dimulai dengan perkataan “barangsiapa....” melainkan juga karena bunyi Pasal 59 KUHP yang membatasi diri kepada pengurus atau komisaris-komisaris secara pribadi.7
Hal tersebut berkaitan dengan
pembentukan KUHP pada saat itu banyak di pengaruhi oleh pandangan bahwa : 1. Korporasi tidak mempunyai mens rea ( keinginan untuk berbuat jahat); 2. Korporasi bukan seorang pribadi meskipun korporasi dapat melakukan berbagai perbuatan hukum yang biasanya dilakukan oleh orang pribadi; 3. Korporasi tidak memiliki kesadaran dan tidak punya badan aktual (no soul to be damned and no body to be kicked); 4. Korporasi tidak bisa dimintai pertanggungjawaban karena jika ada kejahatan yang dilakukan oleh direksi suatu korporasi, hal tersebut sudah pasti merupakan perbuatan diluar anggaran dasar dari korporasi yang bersangkutan, sehingga dalam hal seperti itu maka yang bertanggung jawab adalah direksinya secara pribadi atau secara bersama-sama dengan direksi lain, tetapi bukan korporasi yang harus bertanggung jawab (dokrin ultra vires).8 Munir Fuady dalam Widyo Pramono menyatakan, mengenai jenis pidana
yang
dapat
dikenakan
terhadap
korporasi
yang
sering
dipertanyakan jika suatu korporasi yang disangka melakukan tindak pidana adalah apakah sanksinya
terhadap tindakan tersangka yang notabene
merupakan badan hukum tersebut. Sebuah korporasi tidak mungkin dijebloskan kedalam rumah penjara. Hukum konvensional yang dapat
7 Rofinus Hotmalana Hutauruk, 2013, Penanggulangan Kejahatan Korporasi Melalui Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 21 8 Ibid, hal. 21-22
12
diterapkan hanya hukuman denda. Umumnya hukuman denda ini tidak efektif karena : 1) Korporasi akan menjadikan pengeluaran dan untuk denda ini sebagai pos pengeluaran biasa yang merupakan cost of business dari korporasi tersebut. 2) Jika denda sudah terlalu dianggap terlalu membebankan, korporasi dapat mengajukan dirinya untuk dipailitkan.9 Kejahatan badan hukum (korporasi), umumnya dilakukan oleh suatu perusahaan atau bahan hukum yang bergerak dalam bidang bisnis dengan berbagai tindakan yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku. Korporasi adalah salah satu bentuk organisasi yang kegiatan utamanya adalah melakukan kegiatan binis. Korporasi pada awal perkembangannya, adalah organisasi atau badan usaha yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan bagi pemiliknya, dengan resiko keuangan yang terjadi juga ditanggung oleh pemilik korporasi tersebut. Korporasi yang bertujuan untuk mencari keuntungan haruslah berbentuk badan hukum, yaitu suatu organisasi usaha yang secara resmi didirikan untuk kepentingan bisnis dengan modal dan pengurus yang dapat dikonfirmasi kebenarannya. Kedudukan korporasi sebagai kekuatan ekonomi diluar negara membuat korporasi cenderung melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan kepentingan publik. Berdasarkan pengalaman dari beberapa negara maju dapat dikemukakan bahwa identifikasi kejahatan korporasi dapat mencakup 9
Widyo Pramono, 2012, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Hak Cipta, Bandung, Alumni, hal. 182-183.
13
tindak pidana pelanggaran undang-undang monopoli, penipuan melalui komputer, pembayaran pajak dan cukai, pelanggaran ketentuan harga, produksi barang yang membahayakan kesehatan, korupsi, penyuapan, pelanggaran administrasi, perburuhan, dan pencemaran lingkungan hidup. Fakta dilapangan sering terlihat banyak wajib pajak badan yang kekayaannya yang kena pajak, kongkalikong antara manajemen badan dengan petugas pajak dalam pembayaran pajak, yang tentu saja hal ini akan merugikan keuangan negara. Seperti misalnya di Bali yang cukup fenomenal adalah kasus Tiara Dewata yang “mengemplang” pajak. Dengan terdakwa Iskak Soegiarto Tegoeh alias Iskak (Wakil Komisaris Back Office) dalam Putusan PN Denpasar No. 1144/Pid.B/2008/PN.DPS, dan dijatuhi pidana hukuman penjara selama 2 (dua) tahun dan pidana denda sebagai wakil komisaris perusahaan Tiara Dewata Group sebesar Rp. 18.112.731.344,- (delapan belas milyar seratus dua belas juta tujuh ratus tiga puluh satu ribu tiga ratus empat puluh empat rupiah). Pada kasus pajak Tiara Dewata ini, menurut hukum positif terbukti melanggar Pasal 39 ayat (1) huruf g dan Pasal 43 ayat (1) UU Perpajakan . Pasal 39 ayat (1) huruf g UU Perpajakan berbunyi : “Tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara, di pidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang di bayar”. Pasal 43 ayat (1) UU Perpajakan menentukan : “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39, berlaku juga bagi wakil, kuasa, atau pegawai dari Wajib Pajak, yang menyuruh
14
melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang melakukan Tindak Pidana di bidang Perpajakan”. Ketentuan sanksi pidana korporasi diatur dalam Pasal 38, 39, dan 39 A UU Perpajakan. Pasal 38 UU Perpajakan terkait dengan kelalaian atau kealpaan yang terkait dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT), Pasal 39 UU Perpajakan fokus pada kesengajaan sebagai alasan pemidanaan yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban perpajakan, dan Pasal 39 A UU Perpajakan merupakan pengaturan delik pidana dibidang perpajakan terkait dengan penerbitan atau penggunaan faktur pajak, yang khusus untuk pajak PPn. Jika di bandingkan dengan kasus pajak yang terjadi di negara Singapura berdasarkan Putusan Pengadilan Pajak Negara Singapura dengan number Putusan: PUT.51800/PP/M.IIIA/13/2014. Terdapat selisih pajak perusahaan Detpak Holding, PTE Limited sebagai pajak pemotong terhadap transfer dana yang dilakukan terhadap anak perusahaan di setiap sub unit perusahaan yang berdiri di wilayah Singapura terdapat selisih 10% yang dapat digolongkan sebagai deviden terselubung yang mengakibatkan pemasukan pajak kepada negara berkurang sebesar Rp. 1.222.629.129 (satu milyar dua ratus dua puluh dua juta enam ratus duapuluh sembilan ribu seratus duapuluh sembilan rupiah). Sesuai dengan perundang-undangan Perpajakan di Negara Singapura maka kejadian ini telah terbukti melanggar PPh Pasal 26 ketentuan Pajak di Negara Singapura. Dengan pertimbangan hakim mengacu kepada beban
15
pembuktian yang diajukan ke Pengadilan Pajak Singapura maka diputuskan oleh pengadilan pajak Singapura. Dengan menetapkan pajak kurang bayar penghasilan Pasal 26 Ketentuan Perpajakan Negara Singapura masa pajak Januari sampai dengan Juni 2007 nomor: 00001/204/07/052/08 tanggal 5 September 2008, jumlah pajak penghasilan Pasal 26 masa pajak Januari sampai dengan Juni 2006 terutang menjadi sebagai berikut: DPP PPh Pasal 26
: Rp. 341.186.693
PPh Pasal 26 Terhutang
: Rp. 54.467.464
Kredit Pajak
: Rp. 40.697.549
PPh Pasal 26 Kurang Bayar : Rp. 13.769.915 Saksi Administrasi: Bunga Pasal 13 (2) UU Perpajakan : Rp. PPh Pasal 26 yang harus dibayar
2.478.585
: Rp. 16.248.500
Dari kasus tersebut terlihat bahwa penekanan sanksi bagi korporasi adalah pengenaan denda, karena pada intinya pajak ditarik adalah untuk meningkatkan pendapatan negara. Sehingga jika ada wajib pajak yang melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dikenakan sanksi denda dan administrasi bukan penekanan pada pidana badan. Berdasarkan penelitian ini penulis melihat adanya kekaburan norma. Dalam hal terjadinya kekaburan norma maka yang menjadi fokus permasalahan adalah terkait ketidakjelasan suatu norma dalam suatu peraturan perundang-undangan, sehingga mengakibatkan kesulitan dalam
16
mengimplementasikan
ketentuan
tersebut
diperlukan berbagai penafsiran hukum
dalam
masyarakat,
dan
(rechtinterpretatie) untuk
menjawab permasalahan yang ada. Penafsiran hukum
dalam
hal ini
bertujuan agar terpenuhinya kepastian hukum sebagai syarat penegakan hukum di masyarakat. Dalam contoh kasus Tiara Dewata tersebut, tetap dikenakan pidana badan terhadap terdakwa, padahal terdakwa hanya melakukan apa yang diperintahkan oleh atasan Tiara Dewata dan tidak dinikmati untuk kepentingan dirinya sendiri. Pidana denda yang seharusnya dikenakan untuk korporasi dalam kasus Tiara Dewata malah tidak dikenakan karena dianggap bisa merugikan dan menyebabkan terjadi kebangkrutan yang mengakibatkan adanya PHK secara besar-besaran. Dalam kasus Tiara Dewata ini sanksi seolah-olah hanya untuk terdakwa tetapi sanksi kepada korporasi tidak terlihat secara tegas. Kekaburan norma terkait adanya ketidak jelasan dalam suatu peraturan perundang-undangan, pada UU Perpajakan, khususnya mengenai pengaturan sanksi yang tegas terhadap korporasi sebagai wajib pajak, apabila korporasi melakukan suatu tindak pidana di bidang perpajakan. Studi tentang hukum pidana tidak semata-mata bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum pidana yang sekarang sedang berlaku sebagai hukum positif, apa yang sedang terjadi di masyarakat dengan berbagai aktifitasnya yang begitu kompleks, juga menjadi perhatian bidang hukum pidana termasuk fenomena atau perkembangan
17
kejahatan korporasi.
Korporasi yang merupakan suatu badan dapat
dituntut dan dipidana, ini berarti bahwa penuntutan dan pemidanaan tidak hanya dapat dijatuhkan kepada pengurus tetapi juga bisa kepada korporasinya. Namun demikian, fenomena yang ada di Indonesia, tidak pernah ada pemidanaan bagi pelaku korporasi langsung sebagai badan. Padahal untuk korporasi yang melakukan pelanggaran perpajakan sudah diatur dalam UU Perpajakan. Praktik yang selalu muncul adalah pemidanaan atau penuntutan bagi pengurus korporasi. Kurang tegasnya aturan hukum terutama mengenai sanksi pidana yang harus dikenakan kepada korporasi, sehingga hal ini menyebabkan tidak adanya efek jera terhadap korporasi, yang menyebabkan maraknya korporasi yang melakukan tindak pidana, salah satunya tindak pidana di bidang perpajakan. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas maka penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Perpajakan”.
1.2
Rumusan Masalah Dari apa yang diuraikan dalam latar belakang masalah tersebut diatas, maka dapat dikemukakan 2 (dua) permasalahan yang akan dibahas dalam kajian ini, yaitu : 1. Pengaturan tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh Korporasi sebagai Wajib Pajak.
18
2. Bagaimanakah pengaturan pertanggungjawaban pidana Wajib Pajak Korporasi di masa mendatang ?
1.3
Ruang Lingkup Masalah Dalam penelitian ini, agar pembahasannya tidak menyimpang jauh dari cakupan masalah, maka ruang lingkup dalam penelitian ini hanya dibatasi pada pengaturan tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh Korporasi sebagai Wajib Pajak yang melakukan tindak pidana perpajakan, dan pengaturan ancaman pidana terhadap Wajib Pajak Korporasi di Indonesia.
1.4
Tujuan Penelitian 1.4.1
Tujuan Umum Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan Ilmu Hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses). Dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandeg (final) dalam penggaliannya atas kebenaran di bidang objeknya masing-masing.10
Dalam hal
ini adalah tentang
tanggungjawab pidana terhadap pelaku wajib pajak Korporasi. 1.4.2
Tujuan Khusus 1) Untuk mengetahui dan menganalisis Pengaturan tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh Korporasi.
10
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, 2013, Denpasar, hal. 28.
19
2) Untuk
mencari
kejelasan
dengan
menganalisa
dan
mendiskripsikan pengaturan ancaman pidana terhadap Wajib Pajak Korporasi dimasa mendatang.
1.5
Manfaat Penelitian 1.5.1
Manfaat Teoritis Manfaat dari penelitian ini jika ditinjau dari manfaat teoritis adalah mampu mengkaji secara teori pengaturan tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh Korporasi dan formulasi pengaturan yang baik untuk ancaman pidana terhadap Wajib Pajak Korporasi.
1.5.2
Manfaat Praktis Dapat memberikan kontribusi bagi para Wajib Pajak untuk lebih taat dalam melaksanakan kewajibannya di bidang perpajakan.
1.6
Originalitas Penelitian Untuk menghindari adanya kesamaan penelitian, penulis telah melakukan penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum baik yang berupa skripsi, tesis, disertasi, maupun buku ilmiah melalui media cetak dan elektronik. Melalui penelusuran tersebut ada beberapa penelitian tesis yang juga menyangkut tentang perpajakan yang antara lain adalah : Pertama, penulis menemukan Tesis pada Program Magister Ilmu Universitas Diponegoro Semarang, tahun 2002, atas nama Suroyo, dengan
20
judul “Kebijakan Hukum Pidana dalam Menanggulangi Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan”. Dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah kebijakan penerapan hukum pidana selama ini dalam upaya
menanggulangi
berbagai
bentuk
kejahatan
di
bidang
perpajakan? 2. Bagaimana kebijakan formulasi hukum pidana dalam perundangundangan yang akan datang dalam upaya menanggulangi kejahatan dibidang perpajakan ? Penelitian ini pada dasarnya menekankan bahwa : Penerapan Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, mengenai delik korupsi, berpengaruh terhadap kebijakan aparat
pelaksana hukum dalam
menerapkan delik pajak dengan berdasarkan pada setiap kasus, apabila Negara benar-benar telah mengeluarkan keuangannya/kompensasi pajak, maka dapat diterapkan delik korupsi. Serta untuk kedepannya agar dibedakan delik kejahatan dan pelanggaran. Karena pembedaan kualifikasi delik ini akan berpengaruh, antara lain terhadap pemidanaan percobaan dan pembantuan, daluarsa hapusnya penuntutan, daluarsa gugurnya hak menjalankan hukuman. Kedua, penulis menemukan Tesis pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, tahun 2013, atas nama Evelyn, dengan judul “Upaya Hukum Wajib Pajak Badan terhadap Hasil Pemeriksaan Pajak”. Dengan rumusan masalah sebagai berikut :
21
1. Mengapa terhadap wajib pajak badan dilakukan pemeriksaan pajak ? 2. Bagaimana upaya hukum yang harus ditempuh oleh wajib pajak badan atas diterbitkannya surat ketetapan pajak tanpa surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP) ? 3. Bagaimana perlindungan hukum wajib pajak badan atas surat ketetapan pajak yang dihasilkan dari pemeriksaan pajak tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ? Penelitian ini pada dasarnya menekankan pada : Wajib pajak badan yang tidak patuh terhadap kewajibannya membayar pajak terutang yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, maka Dirjen pajak sesuai dengan amanat UU perpajakan berwenang melakukan pemeriksaan pajak, karena hal ini akan berdampak pada kerugian Negara. Terhadap SKP yang tidak benar wajib pajak badan dapat mengajukan upaya hukum sebagai bentuk perlindungan dalam mencari keadilan bagi wajib pajak badan. Ketiga, penulis menemukan Tesis pada Program Magister Ilmu Hukum Kosentrasi Ilmu Pemerintahan, Universitas Udayana Denpasar, Tahun 2014, atas nama I Komang Agus Budiyasa, dengan judul “Aspek Hukum Pemungutan Pajak Hotel Dengan Sistem Online Pada Pemerintah Kota Denpasar”. Dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan pemungutan pajak hotel dengan sistem online pada Pemerintah Kota Denpasar ?
22
2. Bagaimana kedudukan hukum Perjanjian Kerjasama Pemungutan Pajak Hotel dengan sistem online ? Penelitian ini pada dasarnya menekankan pada : dasar hukum pemungutan pajak hotel dengan sistem online, pengaturan pemungutan pajak dengan sistem online, pihak-pihak yang turut serta dalam perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online, hirarki perundangundangan tingkat daerah, kedudukan hukum perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online, akibat hukum perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online. Sedangkan penelitian ini berjudul Pertanggungjawaban Pidana Korporasi sebagai Wajib Pajak, dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Pengaturan tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh Korporasi sebagai Wajib Pajak. 2. Pengaturan ancaman pidana terhadap Wajib Pajak Korporasi di masa mendatang. Penelitian ini nantinya akan menekankan kepada pembahasan mengenai pengaturan tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh Korporasi dan formulasi yang baik untuk sanksi yang diberikan terhadap Wajib Pajak yang berbentuk korporasi. Maka terlihat bahwa tidak ada kesamaan fokus pembahasan dengan penelitian terdahulu.
23
1.7
Landasan Teoritis dan Kerangka Berfikir Istilah teori berasal dari bahasa Inggris, yaitu theory. Dalam bahasa Belanda disebut dengan theorie. Para ahli tidak mempunyai pandangan yang sama dalam memberikan pengertian atau hakekat teori. Ahli yang menjelaskan bahwa teori sama dengan fenomena dan ada juga yang menjelaskan banhwa teori merupakan proses atau produk dari aktivitas, serta ada juga yang menjelaskan bahwa teori merupakan suatu sistem. Berikut pandangan para ahli tentang pengertian teori : 1.
Fred N Kerlinger menjelaskan pengertian teori sebagai berikut : ”seperangkat konsep, batasan dan proposisi
yang menyajikan
pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubunganhubungan antar variabel, dengan tujuan untuk menjelaskan dan memprediksikan gejala itu.”11 Kerlinger menyimpulkan bahwa pada hakekatnya teori menjelaskan suatu fenomena. Penjelasan dilakukan dengan cara menunjuk secara rinci variabel-variabel tertentu yang terkait dengan variabel tertentu lainnya. Variabel adalah simbol/bilangan yang padanya dilekatkan bilangan atau nilai, seperti kelas sosial, jenis kelamin, aspirasi, dan lainnya. 2. Jonathan Turner menyebutkan tiga unsur dalam teori. Ketiga unsur tersebut meliputi : konsep, variabel dan pernyataan.
11
Salim, HS., 2010, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Rajawali Grafindo Persada, Jakarta, hal. 7-8.
24
Konsep adalah unsur-unsur abstrak yang mewakili kelas-kelas fenomena dalam suatu bidang studi sehingga menjadi penjabaran abstrak teori. Konsep yang bersifat abstrak itu harus dijabarkan melalui variabel. Dengan demikian, apabila konsep itu berhubungan dengan teori, variabel berhubungan dengan observasi dan pengukuran. Dalam pernyataan (statement), dikenal adanya proposisi dan hipotesis. Proposisi adalah kesimpulan yang ditarik tentang hubungan antar konsep, sedangkan hipotesis adalah harapan-harapan terinci tentang realitas empiris yang diperoleh dari proposisi. 3. Duane R Monette. Teori adalah serangkaian praposisi atau keterangan yang saling berhubungan dan tersusun dalam sistem deduksi, yang mengemukakan penjelasan atas suatu gejala. Sedikitnya terdapat tiga unsur dalam suatu teori. Pertama : penjelasan tentang hubungan antara berbagai unsur dalam suatu teori. Kedua : teori menganut sistem deduktif , yaitu sesuatu yang bertolak dari suatu yang umum dan abstrak menuju ke suatu yang khusus dan nyata (umum ke khusus). Ketiga : bahwa teori memberikan penjelasan atas gejala yang dikemukakannya.12
12 Sutan Remy Sjahdeini, 1993, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bakir Indonesia, Jakarta, hal. 8.
25
Istilah teori hukum berasal dari bahasa Inggris, yaitu theory of law. Dalam bahasa Belanda disebut dengan rechtstheorie. Teori hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan
yang saling berkaitan berkenaan dengan
sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum, dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting dipositifkan. Dalam definisi ini teori hukum terlihat sebagai suatu produk. Sebab, keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan itu adalah hasil kegiatan teoritik bidang hukum. Namun disisi lain teori hukum dapat pula dipandang sebagai sebagai suatu proses. Dalam hal ini perhatian diarahkan kepada kegiatan teoritik tentang hukum atau pada kegiatan penelitian teoritik bidang hukum itu sendiri dan bukan pada hasil kegiatan-kegiatan itu. Disini terlihat bahwa perkataan ”teori” memiliki banyak arti : teori dapat dipandang sebagai suatu proses atau aktivitas dan sebagai produk atau hasil tersebut, dan hasil itu terdiri atas suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan tentang suatu objek tertentu.13 Ada dua manfaat teori, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis teori adalah sebagai alat dalam menganalisis dan mengkaji penelitian-penelitian yang akan dikembangkan oleh para ahli. Sedangkan manfaat praktis teori adalah sebagai alat atau instrumen dalam mengkaji dan menganalisis sebuah fenomena-fenomena yang timbul dan berkembang dalam masyarakat, bangsa, dan negara.14
13 Mr. Drs.J.J Bruggink, 1999, Refleksi Tentang Hukum alihbahasa oleh Arief Sidharta, SH, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 160. 14 Salim HS Op-Cit, hal. 1.
26
Suatu aturan atau norma pada hakikatnya mempunyai dasar filosofis serta pijakan asas atau prinsip sebagai rohnya. Merupakan suatu kejanggalan apabila suatu norma tidak mempunyai dasar filosofis serta pijakan asas atau prinsip dalam konteks operasionalnya. 15 Terkait dengan pengertian ”asas” atau ”prinsip” yang dalam bahasa Belanda disebut ”beginsel” atau dalam bahasa Inggris ”principle” atau dalam bahasa Latin disebut”principium”(primus artinya pertama, dan capere artinya mengambil atau menangkap), secara leksikal berarti sesuatu yang menjadi dasar tumpuan berpikir atau bertindak atau kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir, bertindak dan sebagainya. Kedudukan asas hukum dalam semua sistem hukum yang didalamnya mengatur sistem norma hukum mempunyai peranan yang penting. Asas hukum merupakan landasan atau pondasi yang menopang kukuhnya suatu norma hukum. Menurut Van Eikema Homes menjelaskan bahwa asas hukum bukanlah norma hukum yang kongkret, tetapi sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku. Jadi asas hukum merupakan dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif, sehingga dalam pembentukan hukum praktis harus berorientasi pada asas-asas hukum.16 Posisi asas hukum
sebagai meta-norma hukum pada dasarnya
memberikan arah, tujuan serta penilaian fundamental bagi keberadaan suatu norma hukum. Banyak ahli yang menyatakan bahwa asas hukum merupakan 15 Agus Yudha Hernoko, 2010,” Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial”, Ed. 1, Cet. 1, Kencana, Jakarta, hal. 21. 16 Agus Yudha Hernoko, Ibid, hal. 22.
27
jantung atau hatinya norma hukum, salah satu ahli yang menyatakan adalah G.W Paton, hal ini didasari pemikiran : a. Pertama, asas hukum merupakan ”landasan” yang paling luas bagi lahirnya suatu norma hukum. Dengan demikian, setiap norma hukum itu pada akhirnya dapat dikembalikan pada asas hukum-asas hukum dimaksud; b. Kedua, asas hukum merupakan ”alasan” bagi lahirnya suatu norma hukum atau merupakan ”ratio legis” dari norma hukum. Asas hukum tidak akan pernah habis kekuatannya dengan melahirkan norma hukum, melainkan tetap ada dan akan terus melahirkan norma hukum-norma hukum baru.17 Asas hukum berfungsi sebagai pondasi yang memberikan arah, tujuan serta penilaian fundamental, mengandung nilai-nilai dan tuntutantuntutan etis.
Meskipun asas hukum bukan merupakan norma hukum,
namun tidak ada norma hukum yang dapat dipahami tanpa mengetahui asasasas hukum yang terdapat didalamnya. 18 Berbagai teori yang digunakan dalam penelitian ini diketengahkan teori dan asas-asas hukum serta pandangan para sarjana sebagai pisau analisis untuk menjawab permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut dibawah ini : 1)
Pertanggungjawaban Ketat Berdasarkan Undang-Undang (Strict Liability)
merupakan
salah
satu
bentuk
pembebanan
pertanggungjawaban kepada korporasi atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja pada korporasi tersebut. Dokrin
pertanggungjawaban
ketat
merupakan
suatu
pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada pelaku 17 18
Satjipto Rahardjo, 2000,”Ilmu Hukum”, Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 45. Ibid, hal. 47.
28
tindak pidana tertentu, tanpa perlu dibuktikan ada tidaknya unsur kesalahan (baik itu sengaja atau kelalaian). Kesalahan pelaku tidak dipermasalahkan dalam Strict Liability. Menurut dokrin Strict Liability, seseorang sudah dapat dipertanggungjawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Dokrin Strict Liability ini didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut : a. Adalah
sangat
essensial
untuk
menjamin
dipatuhinya
peraturan-peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial; b. Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran-pelanggaran
yang
berhubungan
dengan
kesejahteraan sosial itu; c. Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan. Relevansi dokrin Strict Liability dengan penelitian ini karena korporasi yang melakukan pelanggaran perpajakan akan sangat merugikan kesejahteraan sosial masyarakat. Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan untuk pembangunan di Indonesia. 2)
Konsep Pembenaran Pemungutan Pajak Falsafah pemungutan Pajak di Indonesia berdasar pada Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia. Dasar hukum sekaligus sebagai sumber hukum Pajak di Indonesia secara konstitusional di atur dalam
29
Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun Indonesia 1945 amandamen menentukan “Pajak dan penerimaan Negara yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara berdasarkan UndangUndang” Penjelasan Pasal 23 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebelum amandamen menjelaskan: “Betapa caranya rakyat sebagai bangsa akan hidup dan darimana didapatnya belanja buat hidup, harus ditetapkan oleh rakyat sendiri, karena itu juga cara hidupnya. Oleh karena penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menetapkan beban kepada rakyat seperti pajak, dan lainlain…harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. H. Rochmat Soemitro, menulis Konsep pembenaran pemungutan Pajak menurut Pancasila, mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong, gotong royong adalah usaha yang dilakukan secara bersama, tanpa diberi imbalan yang ditujukan untuk kepentingan umum atau kepentingan bersama,
seperti membuat jalan umum, menjaga
keamanan lingkungan, dan sebagainya. Pajak adalah salah satu bentuk gotong royong yang tidak perlu disyaratkan, melainkan sudah hidup dalam masyarakat Indonesia, yang hanya perlu dikembangkan lebih lanjut. Kekeluargaan yang juga merupakan sifat Pancasila mengandung, arti bahwa setiap anggota keluarga berdasarkan hakekat kekeluargaan mempunyai kewajiban untuk ikut membantu, mempertahankan, melangsungkan hidup keluarga, dan menjaga nama baik keluarga tanpa
30
mendapatkan suatu imbalan, melainkan hanya melakukan pengorbanan saja.19 Soeparman Soemahamidjaja menulis bahwa: “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”, perlu menghindari penggunaan istilah “paksaan” sehingga cukup mengatakan bahwa Pajak merupakan “iuran wajib” dan tidak perlu diberikan tambahan “yang dapat dipaksakan”, sementara mengenai kontra prestasi, justru untuk menyelenggarakan kontra prestasi itulah perlu dipungut pajak. Dalam hal ini pengeluaran-pengeluaran pemerintah bagi penyelenggaraan keamanan, kesejahteraan, kehakiman, pembangunan, dan hal-hal lainnya merupakan pemberian kontra prestasi bagi pembayar pajak selaku anggota masyarakat. 20 Pendapat para ahli hukum pajak tersebut menunjukkan bahwa Wajib Pajak sebagai Pembayar Pajak kepada negara tidak mendapatkan imbalan secara langsung karena uang yang dibayarkan adalah sebagai pendapatan/penerimaan negara untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, maka diperlukan pembaharuan dalam Undang-Undang Perpajakan yang berorientasi pada pendapatan sebesar-besarnya bagi penerimaan negara. Berdasarkan amanat konstitusi dan pendapat ahli tersebut maka Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara (Lembara Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286) menentukan “penerimaan Negara adalah uang yang masuk ke kas negara”, sehingga penerimaan negara yang diatur 19 Simon Nahak, 2013, Politik Hukum Pidana Dalam Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Perpajakan Di Indonesia, (Disertasi), Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya, Malang, hal. 159 20 Sri Pudyatmoko Y, 2005, Pengantar Hukum Pajak Edisi Revisi, Penerbit Andi, Jakarta, hlm. 2-3
31
dalam konstitusi dasar negara dan Undang-Undang Keuangan Negara merupakan bagian penerimaan untuk pendapatan negara. Pasal 1 ayat (1) UU Perpajakan menentukan:
“Pajak adalah
kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Berdasarkan asas negara hukum Pancasila tersebut, maka lazimnya suatu pemungutan pajak itu harus dilandasi dengan asas-asas yang merupakan ukuran untuk menentukan adil tidaknya suatu pemungutan pajak. W.J. de Langen seorang ahli Pajak kebangsaan Belanda menyebutkan 7 (tujuh) asas pokok perpajakan adalah sebagai berikut: 1. Asas Kesamaan, dalam arti bahwa seseorang dalam keadaan yang sama hendaknya dikenakan pajak yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi dalam pemungutan pajak. 2. Asas Daya Pikul, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa setiap Wajib Pajak hendaknya terkena beban pajak yang sama. Ini berarti bahwa orang yang pendapatannya tinggi dikenakan pajak yang tinggi, yang pendapatannya rendah dikenakan pajak yang rendah, dan pendapatannya di bawah basic need dibebaskan dari pajak. 3. Asas Keuntungan Istimewa, bahwa seseorang yang mendapatkan keuntungan istimewa hendaknya dikenakan pajak istimewa pula. 4. Asas Manfaat, mengatakan bahwa pengenaan pajak oleh pemerintah didasarkan atas alasan bahwa masyarakat menerima manfaat barangbarang dan jasa yang diserahkan oleh pemerintah. 5. Asas Kesejahteraan, yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa dengan adanya tugas pemerintah yang pada satu pihak memberikan atau menyediakan barang-barang dan jasa bagi masyarakat dan pada pihak lain menarik pungutan-pungutan untuk membiayai kegiatan pemerintah tersebut, akan tetapi sebagai keseluruhan adalah meningkatan kesejahteraan masyarakat.
32
6. Asas Keringanan Beban, asas ini menyatakan bahwa meskipun pengenaan pungutan merupakan beban masyarakat atau perorangan dan betapapun tingginya kesadaran berwarga negara, akan tetapi hendaknya diusahakan bahwa beban tersebut sekecil-kecilnya. 7. Asas Keseimbangan, asas ini menyatakan bahwa dalam melaksanakan berbagai asas tersebut yang mungkin saling bertentangan, akan tetapi hendaknya selalu diusahakan sebaik mungkin. Artinya tidak mengganggu perasaan hukum, perasaan keadilan dan kepastian hukum.21 Konsep pembenaran pemungutan pajak ini digunakan dalam penelitian ini adalah bermaksud untuk menjelaskan bahwa berdasarkan amanat Undang-Undang, negara mempunyai kewenangan mutlak untuk memungut pajak yang kepada warga negaranya baik sebagai subyek hukum perorangan maupun selaku sebuah korporasi, yang mana pajak tersebut nantinya akan digunakan untuk sebesar-besarnya meningkatkan kesejahteran rakyat Indonesia. Jika, sampai terjadi rakyat selaku subyek hukum melakukan tindak pidana perpajakan, maka negara mempunyai kewenangan untuk menjatuhkan saksi kepada warga negaranya yang melakukan tindak pidana tersebut. Relevansi antara penggunaan konsep pembenaran pemungutan pajak oleh negara dengan penelitian ini adalah untuk mengetahui bahwa negara mempunyai kewenangan untuk memungut pajak kepada setiap wajib pajak baik perseorangan maupun wajib pajak badan, dengan tujuan
sebesar-besarnya
untuk
pembiayaan
pembangunan
terwujudnya kemakmuran negara Republik Indonesia.
21
Simon Nahak, Op-Cit, hal. 151.
demi
33
3) Konsep Kepastian Hukum Kepastian memiliki arti “ketetapan” sedangkan jika kata kepastian itu digabungkan dengan kata hukum menjadi kepastian hukum, memiliki arti “perangkat hukum suatu Negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga Negara”.22 Peter Machmud Marzuki, menyatakan : “Bahwa kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan.”23 Dalam rangka menciptakan dan menjaga kepastian hukum, peran pemerintah dan pengadilan sangat penting. Pemerintah tidak boleh menerbitkan aturan pelaksanaan yang tidak diatur oleh undang-undang atau bertentangan dengan undang-undang. Apabila hal itu terjadi, pengadilan harus menyatakan bahwa peraturan demikian batal demi hukum, artinya dianggap tidak pernah ada sehingga akibat yang terjadi karena adanya peraturan itu harus dipulihkan seperti sedia kala.24 Konsep kepastian hukum digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini, karena dengan adanya kepastian hukum akan memberikan
22
Anton M Muliono, 2008, “Kamus Besar Bahasa Indonesia”, Balai Pustaka, Jakarta, hal.
1028 23 Peter Machmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada media Grup, Jakarta, hal. 158. 24 Peter Mahmud Marzuki, Ibid, Hal. 160
34
jaminan bahwa semua subyek hukum yang melakukan tidak pidana pasti akan dijatuhi sanksi yang sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. 4) Teori Pertanggungjawaban Pidana Menurut Roeslan Saleh yang mengikuti pendapat Moelijatno bahwa pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan, sedangkan unsur-unsur kesalahan adalah : 1)
Mampu bertanggung jawab
2)
Mempunyai kesengajaan atau kealpaan
3)
Tidak adanya alasan pemaaf
ada dua aliran yang selama ini dianut, yaitu : 1) Kaum indeterminis (penganut indeterminisme), yang pada dasarnya berpendapat, bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dan ini merupakan sebab dari segala keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan; apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan, sehingga tidak ada pemidanaan. 2) Kaum determinis (penganut determinisme) mengatakan, bahwa
manusia
tidak
mempunyai
kehendak
bebas.
Keputusan kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak (dalam arti nafsu-nafsu manusia dalam hubungan kekuatan satu sama lain) dan motif-motif, ialah perangsangperangsang datang dari dalam atau dari luar yang mengakibatkan watak tersebut. Seseorang tidak dapat dicela
35
atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab korporasi tidak punya kehendak bebas. Namun meskipun diakui bahwa tidak punya kehendak bebas, itu tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya.25 B.
Unsur-Unsur Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : 1.
Kemampuan bertanggung jawab
Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada:
Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan
yang baik dan yang buruk; sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum; (faktor akal)
Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut
keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. (faktor perasaan/kehendak) 2.
Kesengajaan (dolus) & Kealpaan (culpa)
a.
Kesengajaan (dolus)
Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja”, yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan. Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur25
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 33
36
unsur
delik
dalam
rumusan
undang-undang.
Menurut
teori
pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat. Dalam ilmu hukum pidana dibedakan tiga macam sengaja, yaitu: 1) Sengaja sebagai maksud (opzet als oogmerk), Dalam VOS, definisi
sengaja
sebagai
maksud
adalah
apabila pembuat
menghendaki akibat perbuatannya. Dengan kata lain, jika pembuat sebelumnya sudah mengetahui bahwa akibat perbuatannya tidak akan terjadi maka sudah tentu ia tidak akan pernah mengetahui perbuatannya; 2) Sengaja dilakukan dengan keinsyafan bahwa, agar tujuan dapat tercapai, sebelumnya harus dilakukan suatu perbuatan lain yang berupa pelanggaran juga; 3) Sengaja
dilakukan
dengan
keinsyafan
bahwa
ada
kemungkinan besar dapat ditimbulkan suatu pelanggaran lain disamping pelanggaran pertama.
37
b.
Kealpaan (culpa) Yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi korporasi tidak mengindahkan larangan itu. Alpa, lalai, teledor dalam melakukan perbuatan tersebut. Dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang. Selanjutnya, dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan kealpaan itu mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-penduga sebagaimana diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum. Kealpaan ditinjau dari sudut kesadaran korporasi pembuat maka kealpaan tersebut dapat dibedakan atas dua yaitu : 1) Kealpaan yang disadari (bewuste schuld) Kealpaan yang disadari terjadi
apabila
si
pembuat
dapat
membayangkan
atau
memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya. Meskipun korporasi telah berusaha untuk mengadakan pencegahan supaya tidak timbul akibat itu. 2) Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld) Kealpaan yang tidak disadari terjadi apabila si pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya, tetapi seharusnya dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat tersebut.
38
Adapula bentuk-bentuk kealpaan yang ditinjau dari sudut berat ringannya, yang terdiri dari, kealpaan berat (culpa lata) Kealpaan berat dalam bahasa Belanda disebut dengan merlijke schuld atau grove schuld, para ahli menyatakan bahwa kealpaan berta ini tersimpul dalam ”kejahatan karena kealpaan”, seperti dalam Pasal : 188, 359, 360 KUHP. Kealpaan ringan dalam Bahasa Belanda disebut sebagai lichte schuld, para ahli tidak menyatakan tidak dijumpai dalam jenis kejahatan oleh karena sifatnya yang ringan, melainkan dapat terlihat didalam hal pelanggaran Buku III KUHP. 3.
Alasan penghapus pidana Terdapat 2 (dua) alasan : 1.
Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang tersebut, dan
2.
Alasan tidak dapat diprtanggungjawabkannya seseorang yang terletak di luar orang tersebut.
Ilmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain terhadap alasan penghapus pidana sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat. Penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan 2(dua) jenis alasan penghapus pidana, yaitu :
1. Alasan
pembenar,
Alasan
pembenar
menghapuskan
sifat
melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah
39
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak bersifat melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan. 2. Alasan pemaaf atau alasan penghapus kesalahan, Alasan pemaaf menyangkut pribadi si pembuat, dalam arti bahwa orang tidak dapat dicela atau korporasi tidak bersalah atau tidak dapat dipertanggungjawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Di sini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si pembuat, sehingga tidak dipidana. Teori pertanggungjawaban pidana ini digunakan sebagai salah satu pisau analisis dalam penelitian ini karena korporasi dinilai mampu bertanggungjawab atas tindakan pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi baik karena disengaja ataupun kelalaian yang dilakukan oleh korporasi tersebut. Dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana perpajakan yang dilakukan oleh korporasi lebih besar pengaruhnya terhadap pendapatan Negara dari sektor pajak jika dibandingkan dengan yang dilakukan oleh wajib pajak perorangan, sehingga dipandang perlu korporasi bertanggungjawab terhadap tindak pidana yang dilakukan khususnya di bidang perpajakan. 5) Teori Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Restorative Justice merupakan reaksi terhadap teori retributive yang berorientasi pada pembalasan dan teori neo klasik yang berorientasi pada kesetaraan sanksi pidana dan sanksi tindakan. Dalam teori retributive, sanksi pidana bersumber pada ide “mengapa diadakan
40
pemidanaan”. Dalam hal ini pemidanaan lebih menekankan pada unsur pembalasan (pengimbalan) yang sesungguhnya bersifat reaktif terhadap sesuatu perbuatan. Sementara sanksi tindakan bersumber pada ide “untuk apa diadakan pemidanaan itu”. Jika dalam teori retributif sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seseorang lewat pengenaan penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera), maka sanksi pemidanaan terarah pada upaya memberi pertolongan agar dia berubah. Sanksi tindakan bertujuan lebih bersifat mendidik dan berorientasi pada perlindungan masyarakat.26 Restorative Justice adalah peradilan yang menekankan pada perbaikan atas kerugian yang disebabkan atau dikaitkan dengan tindak pidana. Restorative Justice dilakukan melalui proses kooperatif yang melibatkan semua pihak (stake holder). Berikut ini beberapa pengertian tentang Restorative Justice : 1. Muladi menyatakan keadilan restoratif merupakan pendekatan terhadap keadilan atas dasar falsafah dan nilai-nilai tanggungjawab, keterbukaan, kepercayaan, harapan dan penyembuhan dan berdampak terhadap pengambilan keputusan kebijakan sistem peradilan pidana dan praktisi hukum diseluruh dunia dan menjanjikan hal positif kedepan berupa sistem keadilan untuk mengatasi konflik akibat kejahatan dan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan serta keadilan restorative dapat terlaksana apabila fokus perhatian diarahkan pada kerugian akibat tindak pidana. 2. Tony Marshall menyatakan keadilan restorative adalah proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu pelanggaran tertentu datang bersama-sama untuk menyelesaikan secara kolektif bagaimana menghadapi akibat dari pelanggaran dan implikasinya untuk masa depan. 26 Taufik Makarao dkk, 2013, Pengkajian Hukum tentang Penerapan Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak pidana Yang Dilakukan Oleh Anak-anak”, Badan pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Jakarta, hal. xxvi
41
3. B.E Morisson menyatakan keadilan restorative merupakan bentuk penyelesaian konflik dan berusaha menjelaskan kepada para pelaku bahwa perilaku tersebut tidak dapat dibenarkan, kemudian pada saat yang sama juga sebagai langkah untuk mendukung dan menghormati individu.27 Penggunaan teori keadilan restorative dalam penelitian ini adalah sebagai dasar bentuk penyelesaian konflik atau sengketa perpajakan yang dilakukan oleh wajib pajak badan yang melakukan pelanggaran di bidang perpajakan. Seperti Kasus Tiara Dewata, yang mana Tiara Dewata harus membayar denda yang sedemikian besar sehingga jika itu dilakukan dikhawatirkan akan berakibat terjadinya PHK besar-besaran, maka dengan diterapkannya teori ini maka bisa dicarikan jalan penengah yang harus dilakukan oleh pihak Pihak Tiara Dewata dengan tetap membayar sanksi denda sebagai akibat telah lalai melakukan kewjiban di bidang perpajakan tanpa harus melakukan PHK kepada para karyawannya.
6) Doktrin Fiksi Salah satu doktrin tentang badan hukum adalah Doktrin Fiksi yang dipelopori oleh seorang sarjana Jerman, Frederich Carl von Savigny yang merupakan tokoh utama aliran/mahzab sejarah pada permulaan abad ke 19. Aliran ini dianut oleh beberapa Negara, antara lain di negeri Belanda dianut oleh Opzomer, Diephuis, Land dan Houwing serta Langemeyer.
27
Taufik Makarao dkk, Ibid, hal. xxix - xxx
42
Menurut von Savigny bahwa hanya manusia saja yang memiliki kehendak. Selanjutnya dikemukakan bahwa badan hukum adalah suatu abstraksi, bukan merupakan suatu kongkrit, jadi karena hanya suatu abstraksi, maka tidak mungkin menjadi suatu subjek dari suatu hubungan hukum, sebab hukum memberi hak-hak kepada yang bersangkutan suatu kekuasaan dan menimbulkan kehendak berkuasa (wilsmacht). Badan hukum semata-mata hanyalah buatan pemerintah atau Negara. Kecuali Negara, badan hukum itu suatu fiksi yakni sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya untuk menerangkan suatu hal. Dengan kata lain, sebenarnya menurut alam hanya manusia sebagai subyek hukum, tetapi orang menciptakan dalam bayangannya, Badan Hukum selaku subyek hukum diperhitungkan sama dengan manusia. Jadi, orang bersikap seolah-olah ada subjek hukum yang lain, tetapi dengan wujud yang tidak riil tidak dapat melakukan perbuatanpebuatan, sehingga yang melakukan ialah manusia sebagai wakilwakilnya.28 Secara etimologi, Badan Hukum merupakan terjemahan istilah hukum Belanda yaitu rechtpersoon, persona moralis (Latin), legal persons (Inggris).29 Hukum tidak hanya memikirkan manusia sebagai subjek dalam hukum, tetapi juga subjek bukan orang. Hukum lalu menciptakan badan
28 29
Chidir Ali, 1991, Badan Hukum, Alumni, Bandung, hal. 32 Ibid, hal. 14.
43
hukum (korporasi) yang memiliki hak dan kewajiban layaknya orang perseorangan. Badan Hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, tetap ada, diteruskan sedangkan pengurusnya, yang menjadi wakil kontinuitas itu, dapat bergantiganti.30 Menurut Subekti dalam Chidir Ali, menyatakan bahwa Badan Hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim.31 Korporasi sering pula disebut legal entites dengan maksud untuk menjelaskan bahwa badan tersebut memiliki identitas hukum yang memiliki kekayaan serta hak dan kewajiban yang terpisah dari anggota-anggotanya. Secara umum terminologi korporasi memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1) Merupakan subyek hukum yang memiliki kedudukan hukum khusus; 2) Memiliki jangka waktu hidup yang tidak terbatas; 3) Memperoleh kekuasaan dari Negara untuk melakukan kegitan bisnis tertentu; 4) Dimiliki oleh pemegang saham; 5) Tanggungjawab pemegang saham terhadap kerugian korporasi biasanya sebatas saham yang dimilikinya. KUHP selama ini tidak ada yang mengatur atau menentukan bahwa korporasi atau badan hukum merupakan subyek tindak pidana sehingga dapat dituntut dan dijatuhi sanksi pidana. Perbedaan antara manusia dan 30 31
Chidir Ali, Ibid, hal. 19 Chidir Ali, Ibid
44
badan hukum adalah, bahwa manusia dapat melakukan apa saja yang tidak dilarang oleh hukum, sedangkan badan hukum hanya dapat melakukan apa yang secara eksplisit atau implisit diizinkan oleh hukum atau anggaran dasarnya.32 Badan hukum dapat menjadi subyek hukum dalam hal-hal yang menyangkut : 1) Sumber keuangan Negara ( perpajakan, bea impor, dan ekspor barang dan lain sebagainya); 2) Pengaturan perekonomian (pengendalian harga, penggunaan pengaturan perusahaan, dan sebagainya); 3) Pengaturan keamanan (subversi, keadaan bahaya, dan lain sebagainya). Perkembangan di bidang perpajakan, membawa dampak pada keterlibatan langsung korporasi baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam
perbuatan-perbuatan
melanggar
hukum
yang
mengakibatkan kerugian bagi kepentingan orang banyak ataupun Negara berupa kerugian Negara. Dengan besarnya dampak negatif yang terjadi akibat pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi, maka dalam hukum pidana mulai dikenal istilah korporasi sebagai subjek hukum yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. 1.7.2 Kerangka Berfikir Badan Hukum atau Korporasi merupakan subjek hukum, yang tentu saja bila melakukan pelanggaran pidana akan dikenakan sanksi selayaknya 32
62.
M Hamdan, 2000, Tindak Pidana Pencemaran Lingkungan, Bandung Mandar Maju, hal.
45
subjek hukum manusia atau perorangan. Pengenaan sanksi pidana terhadap Wajib Pajak Badan diatur dalam UU Perpajakan. Namun baik dalam KUHP maupun UU Perpajakan belum ada sanksi yang secara tegas mengatur tentang sanksi apa yang akan dikenakan bila Wajib Pajak Badan melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Sehingga dalam ranah penelitian normative hal tersebut dikenal sebagai adanya kekaburan norma. Dengan adanya kekaburan norma maka akan menjadi ketidakjelasan suatu aturan dalam peraturan perundang-undangan sehingga mengakibatkan kesulitan dalam penerapan norma tersebut jika terjadi pelanggaran di masyarakat. Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan Negara yang digunakan untuk melakukan pembangunan, sehingga Negara diberikan kewenagan oleh undang-undang untuk memungut pajak yang tentunya di gunakan untuk melakukan pembangunan sehingga apa yang dicita-citakan Negara untuk mewujudkan masyarakat yang makmur bisa terwujud. Peraturan perundang-undangan perpajakan yang telah ada sekarang ini belum bisa memberi efek jera kepada wajib Pajak Badan yang melakukan tindak pidana perpajakan. Rumusan dan sanksi yang harus dikenakan kepada Wajib Pajak Badan yang melakukan pelanggaran di bidang perpajakan agar esensi hukum pajak untuk menambah pendapatan Negara tercapai dan efek jera tanpa pembalasan sebagai roh dari pemidanaan bisa tercapai, sehingga bisa memperkecil jumlah wajib pajak badan yang melakukan pelanggaran di bidang perpajakan.
46
Gambar Kerangka Berfikir Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Yang Melakukan Tindak Pidana Perpajakan Permasalahan 1 : Pengaturan Tindak Pidana Perpajakan yang dilakukan oleh Korporasi sebagai Wajib Pajak
Permasalahan 2 : Bagaimanakan pengaturan pertanggungjawaban Wajib Pajak Korporasi di masa mendatang ?
Metode penelitian Normatif : Terdapat kekaburan Norma Psl. 38 dan 39 A UU Perpajakan
Dokrin Fiksi Stict Liability Konsep Pembenaran Pemungutan Pajak
Konsep Kepastian Hukum Teori Pertanggungjawaban Pidana Teori Keadilan restoratif
Kesimpulan 1 : Pengaturan sanksi terhadap Korporasi belumlah memberikan efek jera kepada korporasi yang melakukan tindak pidana perpajakan sehingga sampai sekarang masih banyak korporasi yang melakukan tindak pidana perpajakan.
Kesimpulan 2 : Pembaruan pada UU Perpajakan, yang mana sanksi yang dikenakan kepada korporasi lebih ditekankan kepada pidana denda. Pajak adalah merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang digunakan untuk membangun bangsa Indonesia.
Saran : Agar korporasi lebih taat dalam melaksanakan kewajibannya untuk membayar pajak, serta Pemerintah melakukan langkah persuasif, dengan memberikan insentif atau kemudahan bagi Wajib Pajak Korporasi yang taat membayar pajak. Agar pihak legislatif menyempurnakan UU Perpajakan dengan lebih mengedepankan upaya pengembalian pendapatan kerugian penerimaan Negara
47
1.8
Metode Penelitian a) Jenis Pendekatan Metode penelitian hukum adalah sebagai cara kerja keilmuan yang salah satunya ditandai dengan menggunakan metode (Inggris : Method, Latin : Methodus, Yunani : Methodos, Meta berarti diatas, thodos berarti suatu jalan atau suatu cara). Van Peursen menterjemahkan pengertian metode secara harfiah, mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu.33 Sebelum menulis sebuah karya tulis ilmiah, hal pertama yang dapat dilaksanakan adalah memetakan dan memilih satu permasalah atau issu hukum yang berkembang di masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Sonja Larsen dan John Bourdeau “….. classify your problems into a category….so read all the categories before choosing one…34. Jenis penelitian dalam usulan penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif. Menurut Bambang Waluyo, penelitian normatif merupakan penelitian yang dilakukan atau hanya ditujukan pada peraturanperaturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.35 Sedangkan menurut Abdulkadir Muhammad menyatakan penelitian hukum normatif adalah :
Jhony Ibrahim, 2006, “Teori dan Methodologi Penelitian Hukum Normatif”, Bayu Publishing, Malang, hal. 26. 34 Sonja Larsen, 1997,”Legal Research”, New York, page.25 35 Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 13 33
48
” Penelitian yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang. Norma hukum yang berlaku itu berupa norma hukum positif tertulis bentukan lembaga perundang-undangan (Undang-Undang Dasar, kodifikasi, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan seterusnya), serta norma hukum tertulis bentukan lembaga peradilan (judge made law) serta norma hukum tertulis buatan pihak-pihak yang berkepentingan (kontrak, dokumen hukum, laporan hukum, catatan hukum, dan rancangan undangundang).”36 Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan konsep dan pendekatan kasus. b) Sumber Bahan Hukum Dalam menyusun penelitian ini, akan menggunakan bahan hukum yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), yaitu : 1. Bahan Hukum Primer Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum yang bersumber dari KUH Pidana dan juga berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi UndangUndang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 126 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3984) dan kasus Tiara Dewata. 36
Abdulkadir Muhammad, 2004,Hukum dan Penelitian Hukum,Citra Aditya Bhakti, Bandung, hal. 52.
49
2. Bahan Hukum Sekunder Sumber bahan hukum sekunder adalah sumber bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, seperti literatur, artikel, hasil-hasil penelitian, dan lain-lain yang dapat mendukung bahan hukum primer. c) Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara pencatatan dan dokumentasi bahan-bahan hukum primer yakni peraturan perundangundangan, bahan hukum sekunder seperti buku-buku, artikel-artikel. d) Teknik Analisis Analisis bahan hukum dengan menggunakan metode induktif (inductive reasoning) yakni dari khusus ke umum ”…..involves making a number of observations and then proceeding to formulate a principle which will be of general application.”37 Metode menjabarkan
deskriptif permasalahan,
yaitu
dengan
memberikan
menguraikan telaah,
atau
memberikan
pandangan, serta pemecahan terhadap masalah yang dikaji, yang kemudian ditarik suatu kesimpulan.
37
Thomas Ian McLeod, 1996,”Legal Method”, University of London, page 15.