BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada2014 lalu, untuk kedua kalinya saya terlibat dalam program Sekolah Remaja yang diselenggarakan oleh Yayasan Kampung Halaman,yaitu program Kampung Halaman untuk mengajak remaja ‘berkawan dengan sekitar’. Berkawan dengan sekitar berarti mengamati (pembagian ruang dan wilayah), mencari tahu (peta relasi sosial dan kalender musim) dan menganalisis (potensi, latar belakang, sebab-akibat) melalui pendokumentasian kreatif potensi sekitar secara partisipatif. Para peserta Sekolah Remaja belajar mengenal lingkungannya dengan menggunakan pemetaan GIS, kamera, dan survei rumah tangga dengan indikator kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan. Remaja belajar menganalisis data yang ditemukan
dengan
MS
Excel-QGIS
dan
mempresentasikannya
kepada
masyarakat. Proses Sekolah Remaja telah berhasil memetakan kondisi ruang dan wilayah kampung yang tertuang dalam peta GIS. Selain itu, remaja juga belajar mengenali potensi lingkungan sekitar serta kondisi kehidupan warga di kampung remaja tersebut tinggal. Program Sekolah Remaja ini diselenggarakan dua tahun sekali dengan lokasi yang berbeda. Sore itu saya bersama enam orang remaja Surapandan berjalan menyusuri jalan tengah Dusun Surapandan, Cirebon. Angin bertiup pelan menemani perjalanan kami. Berisik gesekan ranting pohon jati menambah syahdu suasana seusai terik hari ini. Satu kilometer sudah kami lewati, sampai juga ke area bekas
1
galian pasir. Hamparan luas jurang tak berpohon dengan tebing berlubang selebar badan truk ada di depan mata. Mata harus lebih cermat memilih jalan, jangan sampai salah injak, tebing cadas terlalu mudah pecah. Keenam remaja tanpa ragu melompat-lompat memilih pijakan yang tepat, tidak terlihat raut wajah takut jatuh atau longsor. Di tengah area galian tepat di bawah pohon talok kami menyempatkan duduk dan berbagi cerita. Bulan lalu ada anak SD meninggal tertimbun pasir, saat dia mengambil peluru bekas latihan TNI. Peluru dicabut dari dinding pasir, tebing runtuh seketika, cerita Munawir. Heri bercerita, “memang bekerja sebagai penggali pasir berbahaya, nyawa taruhanya. Tapi mau bagaimana lagi, tidak ada mata pencaharian lain di kampung ini. Mau bertani, air susah, hanya bisa saat musim hujan.” Heri punya mimpi tidak ingin bekerja sebagai buruh pasir, dia ingin membuka bengkel motor, sesuai dengan apa yang dipelajari di SMK. Lanjut saya bertanya, apakah laku membuka bengkel di kampung. “Hampir setiap rumah punya motor, disini ada 500 lebih keluarga, sedangkan bengkel motor cuma ada satu. Tentu itu peluang bagiku, tidak perlu cari pelanggan, mereka akan datang,” jawab Heri. Saya lanjut bertanya, kamu yakin Her? “Iya, ini seperti awal aku jualan pulsa, aku tidak perlu mencari pelanggan, karena mereka yang mencariku. Teman-temanku punya handphone, tentu butuh pulsa. Kalau mereka kehabisan pulsa tinggal sms, lalu kukirim, dan esok hari tinggal minta uang,” jawab Heri. Di bawah pohon talok itu pula, keenam remaja bercerita tentang kegiatan keremajaannya bersama Sanggar Rakyat. Mereka pernah membuat maket kampung harapan versi mereka. Maket tersebut berisi tentang tata ruang
2
pemukiman, pertanian, dan fasilitas publik. 1 Dalam prosesnya diawali dengan mengelilingi setiap jalan yang ada dikampung sambil mencatat apa saja yang mereka lihat. Catatan tersebut kemudian didiskusikan bersama kelompok remaja lainnya. Hasil diskusi kemudian diimajinasikan dan dituangkan dalam bentuk karya berupa maket perencanaan tata ruang Dusun Surapandan. Maket tersebut mereka pamerkan dalam pameran kampung yang mereka selenggarakan pada 2012 silam. Saya bertanya, sudah dua tahun lewat tapi apakah ada perubahan seperti yang kalian harapkan di kampung kalian? “Tidak ada bang. Pengurus desa datang ke pameran maket, dan ikut diskusi di rangkaian acara pameran. Sampai sekarang tidak ada pelaksanaan dari hasil diskusi. Dahulu mereka bilang akan mencoba memasukan hasil diskusi ke dalam program desa,”jawab Ine.Seperti yang terjadi di beberapa lokasi yang saya temui di lokasi Sekolah Remaja dua tahun silam, setelah kegiatan perencanaan yang diusulkan oleh remaja selalu menjadi angin lalu. Tidak ada pelaksanaan lanjutan dari apa yang sudah dilakukan. Saya melihat gagasan dari remaja hanyalah angin lalu yang butuh sanjungan tetapi tidak butuh kelanjutan,bahkan ketika saya kembali dari Cirebon dan menghadiri diskusi di Jagongan Media Rakyat yang diselenggarakan di Jogja Nasional Museum. Dalam forum tersebut saya menceritakan tentang berbagai potensi anak muda yang ada di Surapandan. Cerita bagaimana Heri dan temantemannya
melakukan
pemetaan
potensi
tempat
tinggalnya,
kemudian
1 Maket bentuk tiruan dari suatu objek yang telah diubah menjadi kecil dengan skala tertentu. Dalam bahasa Indonesia, maket disebut juga dengan istilah “miniatur” (http://ismiartikelbangunan.blogspot.com)
3
mempresentasikan kepada warga akan peluang yang dapat dilakukan. Ada satu pernyataan dari seorang penanggap, yang tetap tidak percaya bahwa remaja tidak dapat melakukan pengamatan, kemudian melakukan analisis dan merancang suatu program untuk pembangunan kampungnya. Pekerjaan tersebut dirasa terlalu berat bagi remaja. Sepenggal cerita itu adalah awal dimana saya mulai penasaran dengan ruang gerak remaja di Dusun Surapandan. Setiap kali saja pergi ke beberapa wilayah di Indonesia, kebanyakan dari mereka bercita-cita merantau untuk bekerja. Akan tetapi, di Surapandan berbeda. Heri memberi cerita baru bagi saya.Dia bersekolah, tetapi bermimpi dapat bekerja di kampungnya. Dia ingin memaksimalkan potensi yang dia punya untuk bekerja di kampungnya. Ironis memang, kalau kita melihat Perda kota Cirebon, Argasunya adalah kawasan pusat pertanian kota. Akantetapi, kini sudah menjadi area galian untuk pembangunan wilayah kota. Sudah dari tahun 80-an wilayah ini habis digali. Dari generasi ke generasi, warga Argasunya, khususnya Surapandan, bekerja sebagai buruh galian pasir. Terbayang dalam pikiran saya bagaimana 5—10 tahun kedepan, ketika area galian sudah habis, dan orang yang tinggal di sekitarnya masih bergantung pada area galian sebagai sumber pendapatan. Tentu akan ada pengangguran besar-besaran di kampung ini. Ditambah lagi, dengan kabar Bonus Demografi pada 2020-2030. 2 Akan banyak remaja seperti Heri yang lahir dan
2
Data diambil dari Wasisto Raharjo Jati dalam Bonus Demografi Sebagai Mesin Pertumbuhan ekonomi: Jendela Peluang atau Jendela Bencana di Indonesia.
4
tumbuh di Indonesia, yang jika tidak dimanfaatkan dan dipersiapkan akan menjadi bencana bagi penerimanya. Setelah sedikit banyak belajar di Antropologi Budaya dan intensitas berkegiatan bersama komunitas remaja desa,muncul niatan saya untuk melihat lebih dalam tentang kegiatan remaja dalam mengembangkan kapasitas diri guna berkontribusi dalam pembangunan desa. Remaja yang menjadi target penelitian adalah remaja di bawah lingkup program Sekolah Remaja Kampung Halaman, khususnya di Dusun Surapandan, Cirebon, guna melihat dan menulis kajian ilmiah Antropologi.
B. Studi Pustaka Studi tentang remaja memang cukup banyak berkembang dalam studistudi psikologi, biasanya lebih membahas tentang masalah-masalah remaja seperti konsemuerisme
remaja.Kalaupun
membahas
tentang
proses
remaja
mengembangkan diri, isinya lebih banyak tentang metode mendampingi remaja. Buku-buku metode menangani remaja juga kebanyakan membahas tentang konseling remaja berisiko atau kesehatan reproduksi remaja. Akan tetapi, yang membahas tentang pengorganisasian remaja untuk melihat potensi diri dan lingkungannya, kemudian mewujudkan hasil temuan dan pendapat remaja dalam sebuah aksi, masih kurang. 3
3
Pengorganisasian adalah proses ketika suatu masayarakat berusaha menentukan kebutuhankebutuhan atau tujuan-tujuannya, mengatur atau menyusun, mengembangkan kepercayaan dan hasrat untuk memenuhinya, menentukan sumber-sumber (dari dalam ataupun dari luar masyarakat), mengambil tindakan yang diperlukan sehubungan dengan pemenuhan, dan dalam pelaksanaan keseluruhannya, memperluas dan mengembangkan sikap-sikap dan prakti-praktik kooperatif dan kolaboratif di dalam masyarakat (Murray G. Ross)
5
Studi tentang pengorganisasian masyarakat juga lebih berkecimpung di wilayah mereka yang sudah berkeluarga, seperti keluarga petani, nelayan, dan buruh. Persiapan dan pelaksanaan pendampingan para petani misalnya, tidak ada pelibatan dari remaja. Akan tetapi, sebelum masuk ke ranah mereka yang marjinal, para peneliti atau organizer juga cenderung mendahulukan golongan elit. “Elit” digunakan untuk menyebut kelompok penduduk desa yang dianggap mampu dan berpengaruh. Biasanya terdiri atas petani progresif, tokoh masyarakat, kepala desa, pedagang, pemuka agama, maupun guru. Mereka adalah sumber informasi yang dianggap fasih dan dapat menjamu organizer atau peneliti. Mereka yang mengemukakan kepentingan dan keinginan masyarakat desa sampai akhirnya terumuskan dalam urutan prioritas pembangunan masyarakat desa yang bersangkutan. Merekalah yang mendapatkan sebagian besar perhatian, nasihat, dan pelayanan dari Penyuluh Pertanian Lapangan (Chambers, 1974:58; Leonard, 1977, Bab 9). Pemberdayaan masyarakat untuk remaja adalah pendidikan. Pendidikan merupakan alat pemerataan kesempatan dan kualitas guna mengembangakan potensi diri individu dan kelompok masyarakat sehingga mampu melakukan transformasi sosial. Akan tetapi, dalam praktiknya, pendidikan tidaklah membuat remaja-remaja mampu mengenali apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Jadi, ketika mereka selesai sekolah dan kembali hidup di desa, ada status yang diberikan
kepadanya
dengan
dilandasi
kedudukan
sebagai
penyandang
pengetahuan modern. Guru sekolah, petugas kesehatan, penyuluh pertanian, dan para pejabat desa lainnya “memalingkan mukanya” ke atas, ke pusat kekuasaan
6
dan sumber pengajaran. Seperti pada umumnya, orang-orang lulusan sekolah mempunyai kebutuhan memupuk kepercayaan bahwa pengetahuan dan kecakapan yang mereka peroleh lebih unggul dari mereka yang tidak sekolah (Chambers, 1983). Kajian lain juga mengatakan bahwa anak muda dengan keliaran dan keluwesannya mampu masuk atau membentuk kelompok sendiri seperti yang terjadi di Kauman, Yogyakarta. Remaja membentuk gengster. Ketika anggota mereka semakin banyak dan wilayah jangkauan semakin meluas, kemudian dimanfaatkan oleh partai politik dalam mencari massa. Kauman merupakan kampung santri di tengah kota Yogyakarta mampu melahirkan geng anak muda, yang pada 1999—2002 mempunyai massa lebih dari seribu anak muda. 4 (Odit Budiawan, 2008)
C. Rumusan Masalah Pasca runtuhnya rezim Orde Baru Mei 1998 yang diikuti dengan periode reformasi, Indonesia memasuki fase transisi dari negara yang bersistem otoriter menuju sistem demokrasi. Dalam fase transisi ini,masyarakat mulai membentuk berbagai pola dan pilihan kedalam beberapa hal seperti pilihan ekonomi, plilihan politik, hingga pada pilihan pengekspresian diri.Salah satu bagian dari masyarakat yang ikut mengambil bagian mengisi masa transisi tersebut adalah remaja. RemajaSurapandan membentuk kelompok-kelompok kecil dan melakukan kegiatan bersama, di luar jam sekolah. Berawal dari kelompok tersebut remaja
4
Odit budiawan dalam skripsinya yang berjudul Bandit di Kampung Santri menjelaskan bahwa anak muda di Kauman berkontribusi cukup besar dalam perkembangan geng di Jogja.
7
Surapandan mengembangkan kapasitas diri untukmengasah kemampuan individu dan organisasi.Tentu ada strategi yang dilalui oleh remaja dalam aktivitas tersebut, seperti yang saya paparkan dalam subbab sebelumnya. Ada ketertarikan bagi saya untuk mengkaji lebih dalam aktivitas remaja Surapandan dalam berkegiatan bersama.Oleh karena itu, dalam studi ini ada pertanyaan yang menarik untuk dikaji, yaitu mengaparemaja Surapandan perlu mengembangkan kapasitas dirinya di luar pendidikan sekolah? Kedua, hendak memberikan gambaran, bagaimana proses remaja Surapandan mengembangkan kapasitas dirinya tersebut?
D. Kerangka Pemikiran 1. Pendefinisian Remaja Sering kali orang mendefinisikan remaja secara sederhana, yakni periode transisi antara anak-anak menuju dewasa, atau masa belasan tahun. Dari segi sikap, mereka cenderung memperlihatkan tingkah laku seperti susah diatur, mudah
terangsang
perasaannya,
dan
sebagainya.
Pada
kenyataannya,
mendefinisakan remaja tidak semudah itu.Ada beberapa definisi yang saya temukan dalam beberapa buku. Konsep remaja berasal dari ilmu-ilmu sosial seperti Antropologi, Psikologi, Sosiologi, dan Pedagogi. Konsep remaja merupanakan konsep yang relatif baru, yang muncul kira-kira setelah era industrialisasi merata di negara Eropa, Amerika Serikat, dan Negara-negara maju lainya. Dapat dikatakan bahwa
8
konsep remaja baru menjadi perhatian ilmu sosial dalam 100 tahun terakhir (Sarlito Wiwaran Sarwono). Ditinjau secara hukum, konsep remaja juga tidak dikenal. Dalam undangundang di Indonesia juga tidak dituliskan adanya kategori sosial remaja, tetapi anak-anak dan dewasa. Hukum Perdata misalnya, memberikan batas usia 21 tahun (atau kurang, asalkan sudah menikah) untuk menyatakan kedewasaan seseorang (Pasal 330 KUHPerdata). Bagi mereka yang masih dibawah usia tersebut, harus menggunakan wali untuk melaksanakan hukum Perdata. Anak muda adalah sebuah kategori tunggal, dengan karakteristikkarakteristik psikologis dan kebutuhan sosial tertentu yang dimiliki oleh suatu kelompok usia. Anak muda sebagai posisi sosial tersendiri yang berada diantara ketergantungan masa kanak-kanak dan tanggung jawab masa dewasa seperti pendidikan dan perkerjaan. Lebih tepatnya adalah transisi dari ‘ketergantungan’ masa kanak-kanak menuju ‘otonomi’ masa dewasa (Barker, 2005:423). Anak muda, pemuda, dan remaja.Ketiga konsep tersebut sangat dekat sehingga cukup sulit membedakannya. Akan tetapi, antara ketiganya dapat dibedakan hanya penggunaan konsep-konsep ini pada rentang waktu tertentu, dimana remaja, pemuda dan anak muda bisa dibedakan. Seperti pada 1940-an, ketika itu anak muda di Indonesia lazim disebut dengan “pemuda” yang sering terdengar mempunyai kekuatan revolusioner. Dalam perkembangannya, ‘pemuda’ ini identik dengan gerakan politis yang di dalamnya tidak hanya dihuni oleh rentang usia tertentu (Anderson, 1988:13—22). Setelah pemerintah Orde Baru ‘menguat’ pada akhir 80-an dan awal 90-an, istilah ‘remaja’ mulai populer.
9
Remaja ini bukan anak, murid, mahasiswa, ataupun pemuda yang maknanya lebih revolusioner itu, melainkan mereka yang berhamburan di jalan-jalan dan membaca segala sesuatu tentang mereka di artikel-artikel, surat kabar yang melaporkan konser musik rock, bioskop, disko, sepak bola, dan tawuran. Pandangan stereotip kontemporer tentang remaja ini menggambarkan mereka sebagai kumpulan orang yang belum matang, cenderung bergerombol, kadang kala mengenakan seragam sekolah, tidak disiplin, gampang naik darah, liar, dan yang terutama apolitis. Mereka didefinisikan secara mendua dalam keluarga dan masyarakat (Shiraishi, 2001:237—252). Beragamnya pendefinisian konsep remaja di atas cukup membingungkan, karena bagi saya konsep remaja memang tidak dapat didefinisikan secara gamblang. Saya memahami konsep remaja berdasarkan umur dan peran sosial di masyarakat, yakni apolitis. Remaja menjadi apolitis karena mereka tidak dapat menjalankan kegiatan politik di masyarakat. Dari segi umur, remaja adalah mereka yang berusia 12—17 tahun, dengan catatan remaja usia tersebut belum menikah. Jika dilihat dari segi peran, maka remaja masuk dalam kategori kelompok rentan dimasyarakat. 5
2. Remaja dan Komunitas Remaja hidup di masyarakat, berkegiatan bersama dengan remaja lain yang mempunyai kesamaan minat. Dalam praktiknya kemudian remaja ini 5 Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban.Remaja tidak diakui secara hukum sehingga mereka adalah salah satu kelompok yang mudah ditindas.
10
membentuk kelompok-kelompok pertemanan. Dalam skripsi ini akan dibahas tentang kegiatan kelompok tersebut, maka saya merasa perlu mendefinisikan kelompok remaja tersebut. Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas yang sama (Koentjaraningrat). Dalam suatu masyarakat ada, kelompok manusia dengan usia 12—17 tahun yang disebut remaja. Remajaremaja ini cenderung berkelompok dengan mereka yang usianya sama. Kelompok remaja tersebut adalah geng yang lahir dari peer group remaja. Gengberarti gerombolan atau kelompok remaja yang terbentuk dari kesamaan latar belakang sosial6. Istilah geng sering kali digunakan untuk merujuk pada kelompok ‘se-permainan’ pada masa muda hingga kelompok kejahatan yang terorganisasi.Akan tetapi, secara umum istilah geng biasa digunakan untuk merujuk
pada
kelompok
perusuh
yang
biasanya
terdiri
dari
anak
muda.Sederhananya geng adalah kelompok ‘perkoncoan’ remaja, bukan kelompok pemuda yang masih melibatkan orang dewasa (dalam artian biologis) (Odit Budiawan).Geng merupakan kelompok yang anggotanya selalu bersamasama secara teratur, dan mereka menentukan sendiri kriteria keanggotanya (Short, 1990:4). Karena istilah geng sudah dikenal untuk menyebut kelompok perusuh yang berisikan anak muda, saya mencoba memberikan istilah untuk kelompok remaja yang kegiatannya adalah belajar untuk mengembangkan kapasitas diri di luar 67.
Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi III hal 353
11
pendidikan nonformal, yakni komunitas belajar remaja. Komunitas adalah suatu kesatuan hidup manusia yang menempati suatu wilayah yang nyata dan berinteraksi secara berkesinambungan sesuai dengan suatu sistem adat istiadat dan terikat oleh suatu rasa identitas komunitas (Koentjaraningrat). Komunitas belajar remaja adalah sekelompok remaja dalam suatu masyarakat yang bertempat tinggal dalam wilayah tertentu, terikat oleh rasa solidaritas yang tinggi, dan memiliki perasaan komuniti sebagai pengaruh kesatuan tempat tinggalnya yang mengisi aktivitasnya dengan belajar.
3. Negara dan Remaja Ditinjau secara hukum, dalam Undang-Undang di Indonesia juga tidak disebutkan adanya kategori kewarganegaraan bernama remaja, tetapi anak-anak dan dewasa. Hukum Perdata misalnya, memberikan batas usia 21 tahun (atau kurang, asalkan sudah menikah) untuk menyatakan kedewasaan seseorang (Pasal 330 KUHPerdata). Bagi mereka yang masih di bawah usia tersebut, harus menggunakan wali untuk melaksanakan hukum Perdata. Dalam hukum pidana, memberikan batasan usia 16 tahun sebagai usia Dewasa (Pasal 45,47 KUHP). Bagi mereka yang berada di bawah usia tersebut masih menjadi tanggung jawab orang tua apabila tingkah laku mereka melanggar hukum pidana. Pelanggaran yang dilakukan mereka (sampai 16 tahun) juga tidak disebut sebagai kejahatan (kriminal),tetapi hanya disebut sebagai “kenakalan”. Mereka dapat dimasukkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak-anak maupun ke lembaga-lembaga rehabilitasi lainnya, jika ternyata kenakalan yang
12
mereka lakukan sudah membahayakan masyarakat, mereka patut dijatuhi hukuman oleh negara, serta ketika orang tuanya tidak mampu mendidik anak tersebut lebih lanjut. Dalam pembinaan remaja, negara hanya melibatkan secara utuh kategori remaja di bidang pendidikan. Pendidikan sebagai alat pemerataan kesempatan dan kualitas guna mengembangkan potensi diri individu dan kelompok masyarakat sehingga mampu melakukan transformasi sosial. Remaja dipersiapkan agar ketika mereka lepas dari masa Remaja, mereka sudah siap menjadi manusia dewasa. Akan tetapi, dalam praktiknya pendidikan tidaklah membuat remaja-remaja mampu mengenali apa yang sebenarnya mereka butuhkan. Jadi, ketika mereka selesai sekolah dan kembali hidup di desa, ada status yang diberikan kepadanya, dilandasi kedudukan sebagai penyandang pengetahuan modern. Guru sekolah, petugas kesehatan, penyuluh pertanian, dan para pejabat desa lainnya memalingkan mukanya keatas, ke pusat kekuasaan, dan sumber pengajaran. Seperti pada umumnya orang-orang lulusan sekolah, mempunyai kebutuhan memupuk kepercayaan bahwa pengetahuan dan kecakapan yang mereka peroleh lebih unggul dari mereka yang tidak sekolah (Chambers, 1983). Selain di wilayah pendidikan, negara memberikan ruang bagi anak usia remaja untuk berperan aktif dalam pembangunan desa. Wadah tersebut adalah karang taruna. Mereka yang berusia 13—45 tahun adalah anggota karang taruna. Karang taruna menjadi salah satu lembaga desa yang berperan membantu
13
perumusan dan pelaksanaan program pemerintah desa.7 Selain itu, karang taruna juga berfungsi sebagai pengembangan kreativitas remaja, pencegahan kenakalan, penyalahgunaan obat terlarang (narkoba) bagi remaja.8 Remaja masuk sebagai anggota karang taruna, namun tetap berdiri sendiri dengan mereka yang sesama remaja. Sehingga dalam praktiknya, karang taruna lebih cenderung diisi oleh mereka yang usianya sudah masuk kategori dewasa.
4. NGO dan Programnya. Kerentanan remaja menjadi perhatian NGO yang bergerak diranah remaja. NGO membawa wacana tandingan tentang remaja, dari berita akan kenakalan remaja mereka bergerak untuk menemani remaja. Konsepnya hampir sama, yakni dengan pendidikan. Bagi mereka yang bergerak di kawasan konseling remaja akan berbicara bagaimana menghadapi tumbuh kembang remaja agar tidak terjerumus dalam “kenakalan remaja”. Kampung Halaman menjadi salah satu NGO di Indonesia yang bergerak menemani remaja. Gagasan yang mereka angkat adalah remaja bagian dari masyarakat dalam melakukan proses regenerasi. Kampung Halaman memulai
7Peraturan
Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 77/HUK/2010 Tentang Pedoman Karang Taruna,Bagian 2 Keanggotaan pasal 9, (1)Karang Taruna menganut sistimstelsel pasif yang berarti seluruh anggota masyarakat yang berusia 13 tahun sampai dengan 45 tahundalam lingkungan desa/kelurahan atau komunitas adat yang sederajat merupakan Warga Karang Taruna. 8 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan pasal 17 k.
14
dengan kepercayaan dengan remaja, bahwa dimanapun tempatnya remaja dapat melakukan sesuatu untuk dirinya dan lingkungannya.9
E. Metode Penelitian Studi ini mencoba lebih fokus menampilkan fenomena remaja dalam pengorganisasian yang dilakukan oleh Yayasan Kampung Halaman dalam program Sekolah Remaja. Penelitian dilakukan di lokasi program Sekolah Remaja, yaitu dusun Surapandan, Cirebon, tetapi tidak menutup kemungkinan penelitian juga dilakukan di tempat lain. Lokasi tersebut dipilih karena menjadi lokasi pertama program Sekolah Remaja di tahun ketiga ini bersamaan dengan Sekolah Remaja di Pulau Bungin, Sumbawa. Dalam penelitian ini saya bukan hanya menjadi peneliti, melainkan sekaligus berperan sebagai Community Organizer (CO) selama 40 hari bersama remaja melakukan penelitian partisipatif di RW 04 Surapandan, Cirebon. Perbedaanya adalah, penelitian partisipatif ini bertujuan untuk menemani remaja mengenali kampungnya, kemudian menyusun rancangan kegiatan yang akan dilakukan di kampung, sedangkan penelitian yang saya lakukan adalah untuk menyusun tulisan ini. Sehingga dalam penulisan ini saya membedakan peran antara menjadi peneliti dan Community Organizer. Secara umum, pengumpulan data dalam tulisan ini dilakukan dengan metode penelitian kualitatif. Adapun metode agar data penelitian ini dapat menghasilkan tulisan yang dalam dan bermakna, saya menggunakan metode yang
9
Selama saya mencari tahu NGO yang fokus bergerak menemani remaja hanya Yayasan Kampung Halaman yang saya temukan.
15
dianjurkan oleh Geertz (1973:10), yakni deskripsi mendalam (thick description) yang sangat diperlukan untuk memahami konteks atau situasi. Oleh karena itu, untuk mendapatkan ketepatan dalam analisis, dilakukan wawancara mendalam (Indepth Interview). Meskipun dalam tema-tema tertentu memungkinkan memakai partisipant observation, wawancara dilakukan agar dapat lebih dalam memahami aktivitas Remaja Surapandan. Selain sumber data dari lapangan sebagai data primer, pengumpulan juga diambil dari koran, artikel-artikel, buku, ataupun majalah yang relevan sebagai data sekunder dan sebagai data pendukung, pembanding, sekaligus literatur. Sudah tiga kali program dilakukan dan saya selalu terlibat dalam programprogram tersebut. Dalam hal ini saya masih mengadopsi konsep Spardley (1997:61) dan Benard (1994:166) untuk menentukan informan yang benar-benar paham mengenai data-data yang saya perlukan. Oleh karena itu, teknik snowballing masih saya gunakan, dimana informasi yang didapatkan dari informan pertama dilanjutkan terhadap informan lainnya, meskipun saya tetap fokus pada sepuluh informan kunci, tiga dari remaja Surapandan (Ama, Heru, Siwi, dan Wiwi) satu pendamping remaja dari Sanggar Rakyat Cirebon (Munawar), dua pengurusRW (Pak RW Rusdin dan Ibu Inda), dan empat dari Staf Yayasan Kampung Halaman (Rama, Dina, Rani, dan Juni).10Dengan demikian, informan akan menjadi tidak terbatas jumlahnya serta informasi yang didapatkan akan lebih banyak dan juga mendalam.
10
Nama-nama tersebut disamarkan.
16
Pada penulisan skripsi ini, agar tidak ada bias dalam pembicaraan di luar konteks yang telah dibuat, saya memberikan kontekstualisasi dalam tulisan ini, yakni terbentuknya kelas precariat. Mereka, para buruh atau pekerja kontrak tersebut, didefinisikan Standing, dalam bukunya sebagai precariat.Standing mendefinisikan bahwa precariat bukanlah “kelas pekerja” atau ‘proletariat.’ Pemberlakuan LMF (labour market flexibility) yang kian masif di seluruh dunia inilah yang kemudian memunculkan kelas baru dalam masyarakat, yakni precariat (precarious proletariat), di mana status buruh atau kerja kontrak menjadi ciri yang sangat kuat dari precariat. 11 Surapandan merupakan dusun dengan mayoritas pekerjaannya adalah buruh.Menjadi buruh telah terwariskan dari generasi sebelumnya mulai 1980-an dan berlangsung hingga saat ini.Tidak menutup kemungkinan bahwa remaja Surapandan saat ini akan menjadi buruh galian, kalau pilihan akan pekerjaan lain tidak ada. Awalnya, masyarakat Surapandan bukanlah buruh, melainkan petani di lahan pribadi dan mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari.Akan tetapi, karena tanah mereka habis dijual, kini mereka menjadi buruh. Setelah data terkumpul, peneliti akan mencoba menafsirkan serta menggambarkan berbagai pemikiran, perasaan, penglihatan dan tindakan yang dilakukan oleh tineliti berdasarkan nilai kepercayaan, norma yang dianut oleh
11
Precarius adalah pekerjaan rentan bahaya terjadi di berbagai belahan dunia, pekerja mendapati dirinya dalam kondisi kerja yang tidak tentu, tidak aman, tidak pasti dan tanpa perlindungan. Proletariat adalah anggota kelas sosial rendah. Menurut marx, yang masuk dalam kategori tersebut adalah buruh saja, namun itu berlaku di Eropa. Soekarno menambahkan kategori kelompok protelariat sesuai dengan konteks Indonesia, yakni kaum tani, kaum nelayan, kaum miskin kota dan sebagainya.
17
tineliti tersebut (Geertz, 1973:10). Hasilnya adalah studi kasus yang (berusaha) mendalam, spesifik, namun juga holistik.
18