BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini membahas motif birokrat dalam pemilihan kepala daerah, mengingat kuatnya godaan untuk tidak berlaku netral.Meskipun secara resmi mereka mengetahui larangan untuk tidak terlibat dalam pemilukada, namun intervensi birokrat secara aktif kepada salah satu pasangan calon atau kandidat sangat mudah ditemukan.Salah satunya keterlibatan birokrasi dalam Pemilihan Kepala Daerah terjadi di Kota Pekanbaru tahun 2011.Studi ini mempersoalkan apakah penguasaan masalah-masalah kebirokrasian menjadi salah satu energi yang membekali mereka dengan keberanian untuk tidak netral, tepatnya ikut mensukseskan pemenangan seorang calon kepala daerah dalam sebuah kontestasi pemilihan kepala daerah. Penelitian tidak sekedar membaca proses interaksi politik yang terjadi antara politisi dan birokrasi dalam konteks pilkada, melainkan yang melatarbelakangi keinginan birokrat untuk terlibat secara aktif dalam pemilukada. Weber menggambarkan tipe birokrasi yang ideal dalam nada positif yang membuat birokrasi lebih berbentuk organisasi rasional dan efisien.Ia memandang adanya penyimpangan wewenang dalam sebuah birokrasi ketika para birokrat tidak dapat memisahkan kepentingan pribadi, golongan keluarga dan kepentingan Negara. Dengan kata lain Weber menyatakan bahwa birokrasi haruslah netral dengan tidak mencampuri urusan administrasi dengan politik karena telah memiliki bentuk yang pasti dimana kedua hal tersebut dijalankan dalam cara-cara yang rasional. Berbeda dengan apa yang menjadi pemikiran Karl Marx mengenai birokrasi, Marx mengkritik 1
pemikiran dari Weber menyoal birokrasi yang ideal. Karl Marx dalam pemikirannya menyatakan bahwa birokrasi merupakan instrument yang digunakan untuk melaksanakan kekuasaan dominannya atas kelas-kelas sosial lainnya, dengan kata lain keberadaan birokrasi pemerintah memihak pada kekuatan politik yang memerintah. Sejarah praktek kepemerintahan Indonesia pembahasan tentang netralitas birokrasi pemerintah dalam ranah politik sudah ada sejak pasca pemilu 1955. Gejala keheranan dan ketidakpuasan rakyat terhadap pengkaplingan birokrasi pemerintah akibat kooptasi yang dilakukan partai politik. Birokrasi pemerintah pernah terjebak dalam hegemoni kekuasaan dalam praktek pemerintahan orde baru, terjadi ambiguitas dan tumpang tindih antara peran sebagai aparat birokrasi dan sebagai kader politik. Pasca reformasi tuntutan netralitas semakin serius dan intensif ketika akan dilaksanakannya pemilihan umum untuk menduduki jabatan pimpinan pemerintahan (eksekutif) baik tingkat pusat maupun daerah (pilkada). Berbicara birokrasi sepintas memunculkan pandangan yang mengganggap bahwa birokrasi tidak lepas pada pengaruh suksesi pemenangan kepala daerah. Birokrasi dan politik praktis selalu dikaitkan pada saat proses pemilihan maupun sesudah pemenangan kepala daerah. Birokrasi di Indonesia tidak pernah lepas dari pengaruh politik dan kekuasaan, kondisi ini telah melekat dalam tingkah laku maupun perilaku birokrasi saat ini.Fungsi birokrasi tidak berjalan semestinya, seharusnya menjadi pelayan masyarakat menjadi sebaliknya yaitu birokrasi cenderung mengabdi kepada penguasa untuk kepentingan kekuasaan. Kenetralan tidak lagi menjadi value (nilai) yang harus dipertahankan, banyaknya mesin-mesin pemerintah telah beralih 2
haluan yang lebih mementingkan kepentingan penguasa. Kehadiran birokrasi tidak luput dari berbagai kegiatan yang ditumpangi dengan ketidaknetralan dari birokrasi yang melibatkan birokrat masuk dalam arena pertarungan politik yang terjadi dalam pesta demokrasi. Menjelang Pemilihan Umum Kepala Daerah, iklim politik semakin hangat dan menegangkan. Mesin-mesin politik bergerak secara progresif untuk menggolkan hasrat politik kandidat masing-masing, berbicara mesin politik posisi birokrasi sangat rawan terpolitisasi oleh calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.Birokrasi dapat menjadi suatu trouble maker dan penghambat perubahan serta kemajuan masyarakat. Apabila birokrasi terus 'berpolitik' atau dikooptasi untuk dijadikan instrumen kekuasaan bagi para politisi maka peranannya akan semakin tereduksi dari tujuan semula dibentuknya birokrasi. Fenomena melibatkan birokrat dalam arena pertarungan politik sering terjadi menjelang pesta demokrasi seperi pemilihan kepala daerah langsung. Posisi strategis birokrasi memiliki keunggulan dalam memobilisasi massa dan memanfaatkan setiap fasilitas dalam mendukung seorang pasangan calon kepala daerah. Potret perpolitikan yang terjadi di Kota Pekanbaru menjelang pemilihan walikota di Kota Pekanbaru 2011 mengalami permasalahan dengan ditemukannya berbagai kecurangan. Kecurangan terjadi diseluruh tempat pemungutan suara di daerah pekanbaru, mulai dari Daftar Pemilih Tetap, keikutsertaan birokrat kecamatan secara aktif dalam kampanye dan berpihak kepada masing-masing pasangan calon kepala daerah.
3
Pemilihan kepala daerah di Kota Pekanbaru sejak otonomi daerah telah dilakukan pada tahun 2006 dan 2011.Pemilihan Kepala daerah tahun 2011 diikuti oleh dua pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU Kota Pekanbaru. Pasangan H.Firdaus,ST.MT dan Ayat Cahyadi (PAS) sebagai pasangan nomor urut satu dan Dra.Hj.Septina Prinawati,M.Si dan H.Rizal Muluk (BERSERI) sebagai pasangan nomor urut dua. Pemilihan Kepala Daerah yang dilaksanakan tanggal 18 Mei 2011 dimenangkan oleh pasangan pertama yaitu H.Firdaus dan Ayat Cahyadi dengan perolehan suara 58,96% sedangkan pasangan BERSERI mendapatkan perolehan suara 41,04%. Kemenangan Firdaus-Ayat digugat oleh pasangan Septina-Erizal Muluk karena terjadi pelanggaran ataupun kecurangan menjelang pemilukada. Gugatan ditujukan kepada pasangan PAS dan disampaikan ke Mahkamah Konstitusi untuk menindaklanjuti kebenaran atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pasangan PAS. Mahkamah Konstitusi kemudian memproses laporan yang diajukan oleh pasangan BERSERI, dalam pertimbangan putusan delapan Hakim MK menyatakan telah terjadi berbagai pelanggaran di antaranya pelibatan Pegawai Negeri Sipil (PNS), terutama Camat, Lurah, RT dan RW secara terstruktur, sistematis dan massif untuk memenangkan salah satu pasangan calon dalam Pemilukada Kota Pekanbaru. Hasil dari gugatan pasangan BERSERI pada pemilukada 18 Mei 2011 yaitu dibatalkannya perolehan suara serta membatalkan kemenangan pasangan Firdaus-Ayat (PAS). Keputusan ini dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan SK MK Nomor 63/PHPU.D-IX/2011 tanggal 24 Juni 2011 dan memutuskan melakukan pemungutan suara ulang di seluruh TPS di daerah Kota Pekanbaru. 4
Salah satu pelanggaran yang terjadi adanya rekaman suara mantan Walikota Pekanbaru Herman Abdullah dalam video You Tobe tanggal 18 April 2011. Herman Abdullah sebagai walikota yang masih menjabat melakukan pertemuan di rumah dinas Walikota dengan seluruh Camat, Lurah. Pertemuan tersebut memberikan pengarahan kepada jajarannya hingga RT/RW untuk mendukung pasangan nomor urut satu yaitu Firdaus dan Ayat. Segala upaya dilakukan dalam mendukung pasangan nomor satu melalui instruksi kepada birokrat untuk melakukan kampanye terselubung dan pertemuan tertutup dengan jajarannya. Konsekuensi dari instruksi adalah jajaran yang tidak patuh pada perintah Herman Abdullah akan dimutasi dari jabatannya. Herman Abdullah sebagai walikota saat itu menyalahgunakan jabatannya untuk menggerakkan struktur jajaran pemerintahan kota dalam mendukung pasangan Firdaus dan Ayat. Pelanggaran yang terjadi pada pemilukada tahun 2011 dinilai bersifat sistematis, terstruktur dan massif karena birokrat Kota Pekanbaru yang memiliki jabatan strategis terlibat dalam politik praktis. Menjelang pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU), masa pemerintahan Herman Abdullah sebagai Walikota Pekanbaru telah berakhir pada Juli 2011. Posisi Walikota digantikan oleh Syamsurizal yang merupakan Kepala Inspektorat Provinsi Riau. Syamsurizal ditunjuk sebagai Plt.Walikota Pekanbaru oleh Gubernur Riau Rusli Zainal. Pada pemerintahan Syamsurizal terjadi mutasi besar-besaran ditingkat pemerintahan Kota Pekanbaru, mutasi yang dilakukan hingga Desember 2011 sebanyak 170 PNS. Tidak hanya mutasi yang dilakukan oleh Syamsurizal melainkan rotasi, demosi hingga non job. Mutasi ini mendapat perlawanan dari 45 orang PNS yang mengalami demosi dan non job. PNS sebanyak 45 orang tersebut terdiri dari 5
Kasi di Kelurahan, Lurah, Sekretaris Camat hingga Camat (Tribun Pekanbaru, 24 Desember 2011; 23). Mutasi dilakukan sebagai cara untuk mendukung pasangan calon nomor dua (BERSERI) yang merupakan isteri Gubernur Riau Rusli Zainal. Syamsurizal memanfaatkan jajaran birokrat untuk mendukung Septina dengan konsekuensi yaitu kehilangan kedudukan atau jabatan. Berdasarkan Surat Keputusan MK maka KPU Kota Pekanbaru sebagai penyelenggara pemilihan umum kepala daerah menetapkan jadwal pemungutan suara ulang. Pelaksanaan pemungutan suara ulang dilakukan diseluruh TPS Pekanbaru tanggal 21 Desember 2011. Hasil rekapitulasi pada pemungutan suara ulang tetap dimenangkan oleh pasangan Firdaus-Ayat Cahyadi dengan perolehan suara 61,82 % sedangkan Septina-Erizal Muluk memperoleh 38,28%. Perolehan suara ini juga mengalami permasalahan karena tim saksi pasangan Septina Primawati-Erizal Muluk (BERSERI) tidak bersedia menanda tangani hasil pleno tersebut. Sesuai surat Keputusan MK 13 januari 2012 memerintahkan KPU Kota Pekanbaru untuk menetapkan pasangan nomor urut satu yakni PAS sebagai calon terpilih sebagai Walikota dan Wakil Walikota Pekanbaru periode 2012-2017. Pelanggaran yang dilakukan Herman Abdullah dan Plt.Syamsurizal menujukkan bahwa birokrat merupakan alat yang cukup baik untuk memenangkan kandidat pasangan calon. Melihat fenomena yang terjadi di Pekanbaru, birokrasi di daerah belum mampu mensejahterakan rakyat, peran dan fungsinya sebagai pelayan masyarakat yang netral dan professional masih jauh dari harapan. Birokrasi tidak jarang dijadikan sebagai kendaraan oleh oknum-oknum elit daerah untuk mewujudkan agenda kekuasaannya. 6
Keinginan birokrat untuk masuk kedalam arena politik dalam pemilukada diasumsikan bahwa itu dilakukan untuk kepentingan pribadinya serta menginginkan jabatan dalam pekerjaannya atau mempertahankan kekuasaan yang dimiliki.Birokrasi juga membuka diri ke dalam arena politik untuk mencapai jabatan yang lebih tinggi dalam jabatan strategis birokrasi. Keadaan ini yang menjadikan adanya politisasi birokrasi yaitu gejala melibatkan birokrasi secara langsung dan terang-terangan untuk menjadi pendukung dan anggota organisasi peserta pemilu demi kepentingan pribadi. Peran birokrasi sebagai pemegang kekuasaan sentral membuat birokrasi dihadapkan dengan situasi dilematis antara sebagai alat politik atau sebagai administrator publik yang berorientasi pada professional dan efisiensi pelayanan publik. Perebutan kekuasaan dikarenakan tidak adanya aturan main secara jelas sehingga pada akhirnya menjadi persoalan bagi demokrasi. Kontradiksi dalam ambiguitas dari peran birokrasi dalam banyak hal menyebabkan perselisihan politik antara birokrat senior dan politisi senior. Perselisihan konflik politik acap kali juga disebabkan oleh peran birokrasi yang tidak pernah didefenisikan secara jelas baik dalam ranah politik maupun dalam ranah non politik. Birokrasi dalam setting electoral hampir bisa dipastikan tidak mungkin netral, ketidaknetralan dapat dikarenakan faktor internal maupun faktor eksternal. Peluang dan resiko selalu menjadi pertimbangan birokrat untuk masuk kedalam politik praktis khusunya pada pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada). Selain adanya peluang yang didapat birokrat saat masuk ke dalam politik praktis, birokrat juga mengalami resiko yang akan dihadapi ketika memilih untuk netral atau tidak berpihak. Resiko yang dihadapi adalah; Birokrat akan kehilangan kewenangan yang telah dimiliki; 7
Jabatan yang telah dimiliki akan mengalami kemunduran (pemindahan) ke bagian bawah jabatan yang sebelumnya; Kehilangan jabatan yang dimiliki dalam birokrasi. Pemilihan Langsung Kepala Daerah menjadikan kenetralan birokrasi semakin dipertanyakan. Birokrat tidak jarang memasuki ranah politik praktis secara terangterangan mendukung salah satu kandidat yang bertarung. Selain itu banyak birokrat yang langsung dan naik jabatannya dari hasil suksesi tersebut, namun hal ini tidak menjadi sebuah perhatian pemerintah untuk dijadikan evaluasi dari keberhasilan atau kegagalan otonomi daerah. Setara dengan hal ini menunjukkan betapa proses liberalisasi atau pemberlakuan demokrasi liberal yang sedang berlangsung belakangan ini memiliki daya goda yang sangat tinggi. Kenyataannya bahwa cukup banyak birokrat memilih untuk terlibat secara aktif atau ikut terjun kedalam dunia politik dengan melanggar azaz kenetralan. Asumsi banyaknya prasyarat bagi tegaknya kaidah netralitas birokrasi yang tidak tersedia sehingga melanggar kaidah itu adalah hal yang sangat rasional. Konteks Pemilukada secara langsung jika dikaitkan dengan demokratisasi birokrasi di Indonesia maka keterlibatan birokrasi dalam penyelenggaraan pemilukada akan sangat sulit dihindari. Blau dan Meyer (1987) dalam buku Suhendra (2006.h.30) menyatakan bahwa birokrasi adalah organisasi besar yang merupakan lembaga yang sangat berkuasa yang memiliki kemampuan yang besar untuk berbuat kebaikan ataupun keburukan. Meskipun telah ada aturan yang membahas mengenai bagaimana seharusnya sikap seorang birokrat yang tertuang dalam Undang-Undang No 43 Tahun 1995 yaitu tentang Pegawai negeri, Peraturan Pemerintah No 15 dan 12 Tahun 1999 tentang Netralitas Birokrasi dan Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin 8
Pegawai Negeri Sipil, tetapi sampai saat ini masih banyak birokrat dalam birokrasi yang melanggar hal tersebut. Aturan tersebut mengungkapkan apabila masuk menjadi anggota dan atau pengurus partai politik, yang bersangkutan harus mengundurkan diri dari statusnya sebagai pegawai negeri sipil, tetapi pada implementasinya hal ini sangat sulit terwujud. Aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah tersebut tidak menjamin netralitas dari birokrasi pemerintah (PNS) tetapi kenyataan yang terjadi justru semakin banyak keberpihakan aparat birokrasi dalam pemilukada. Pengalaman sejarah birokrasi di Indonesia selama ini menunjukkan bahwa kelompok ini paling mudah untuk dijadikan kendaraan politik (political vehicles) mencapai kekuasaan. Keterlibatan birokrasi juga tidak terlepas dari adanya kemungkinan mereka terlibat atau dilibatkan dalam agenda politik praktis para politisi. Kemungkinan adanya tekanan (pressure) politik, intimidatif dan kondisi yang memaksa birokrasi melakukan hal tersebut dalam mengakomodasi birokrat untuk mencapai jenjang karir yang lebih tinggi. Banyak kasus yang terjadi secara terangterangan atau melalui berbagai kegiatan yang bersifat sosial dengan dalil untuk memberikan bantuan. Kegiatan yang secara terang-terangan dilakukan mulai dari mark-up data wajib pemilih, kertas suara dan berbagai gerakan mobilisasi suara baik melalui aparat RT hingga desa, kelurahan dan kecamatan. Menjelaskan tentang studi birokrasi telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya tetapi penelitian ini berbeda dengan yang lain. Studi ini fokus mengkaji motif seorang birokrat untuk tidak netral dalam proses pemilukada didaerahnya. Studi sebelumnya mengkaji birokrasi dijadikan sebagai arena,kepentingan dan kontestasi politik, dimana penelitian tersebut mengeksplorasi bentuk-bentuk serta faktor yang 9
mempengaruhi birokrasi dimobilisasi oleh incumbent dan berujung pada kemenangan seorang kandidat tersebut (Syaiful,2007. h.24). Kedua, kajian yang mengidentifikasi pola relasi antar elite birokrasai dan elite partai politik dalam Pilkada mulai dari awal agenda pilkada sampai dengan tahap perhitungan suara terjadi. Adanya dukungandukungan tertentu oleh elite birokrasi seperti konsultasi, fasilitasi, dan informalisasi pelayanan formal. Elit partai politik juga memberikan respon baik yang berupa adanya kompensasi-kompensasi tertentu atas dukungan yang diterimanya baik jaminan keamanan, akomodasi, karir dan jabatan, sampai dengan kompensasi ekonomis (Murdi 2006, h.20). Studi ketiga mengkaji birokrat digunakan untuk menggiring masyarakat memilih salah satu pasangan, kemudian memanfaatkan tahapan kerja Pemerintah Daerah berupa perencanaan pembangunan, promosi serta mutasi dan memanfaatkan pertemuan-pertemuan (Siddha 2007, h.23).
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah penulis sampaikan maka perumusan masalah yang menjadi fokus adalah: “Mengapa birokrat terlibat dalam pemilihan kepala daerah di Kota Pekanbaru pada Tahun 2011?”
C. Tujuan Penelitian Berdasarakan rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi dan mengetahui motif para birokrat terlibat dalam proses pemilukada di daerah Kota Pekanbaru tahun 2011.
10
D. Kerangka Teori 1. Birokrasi Pendefenisian umum birokrasi berasal dari kata bureaucracy, dalam bahasa Inggris bureau dan cracy, yang diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk pirammida, dimana lebih banyak orang berada di tingkat bawah daripada tingkat atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer. Birokrasi dipandang dalam multi paradigma, birokrasi dapat dikaji dari sisi aindividu (aktor-aktor) dan sisi organisasi (kelompok atau interest group). Birokrat adalah pelaksana birokrasi, birokrat tidak terpisahkan dari birokrasi yang pada dasarnya merupakan institusi sebagai pelayan masyarakat yang fungsinya melayani kepentingan masyarakat. Hal ini seperti dikatakan oleh Mill dalam Consideration On Representatif Government yang mengungkapkan bahwa pekerjaan menjalankan pemerintahan oleh orang-orang yang memerintah secara professional merupakan esensi birokrasi (Albrow 1996, h.8). Pernyataan tersebut menyatakan bahwa birokrasi dalam peran dan fungsinya adalah makhluk yang bertugas menjalankan tugas-tugas negara yang merepresentasikan kepentingan publik. Dalam abad ke-19, terdapat beberapa penulis dan pemikir yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan teori birokrasi, antara lain yaitu Gaetano Mosca dan Max Weber. Mosca dalam bukunya membagi semua pemerintahan menjadi dua tipe yaitu feudal dan birokratis berdasarkan kepada kelas yang memerintah.Dalam sistem pemerintahan feodal, kelas yang memerintah adalah kelas yang sederhana yang memonopoli fungsi-fungsi ekonomi, politik, militer atau administrasi. Setelah 11
masyarakat berkembang menjadi lebih kompleks dan mempunyai fungsi terpisah satu sama lain, maka pemerintahan dijalankan oleh birokrasi, yaitu sekelompok pejabat yang digaji (Albrow, 1996, h.22). Menjelaskan mengenai birokrasi tidak terlepas dari Max Weber, birokrasi weberian menekankan bagaimana seharusnya birokrasi itu secara professional dan rasional dijalankan. Konsep birokrasi oleh Weber masih menjadi acuan sampai sekarang ini walaupun mendapat kritikan dari ilmuan lainnya. Pemaknaan terhadap birokrasi sebagai organ pelayan bagi masyarakat luas tentu merupakan pemaknaan yang bersifat idealis. Pernyataan ini tidak salah ketika Max Weber memandang birokrasi sebagai organisasi yang rasional dan sebagai mekanisme sosial yang memaksimumkan efisiensi dan juga bentuk organisasi sosial yang memiliki ciri khas.(Tjokrowinoto 2001, h.112). Menurut Weber dalam buku Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik Indonesia, tipe ideal birokrasi weberian yang identik dengan sebutan birokrasi rasional dengan ciri sebagai berikut: 1) Individu pejabat secara personal yang bebas namun tidak bebas dalam penggunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi, 2) Hierarkis, 3) Penugasan berbeda tiap jenjang hierarki, 4) Adanya uraian tugas untuk setiap pejabat, 5) Rekrutmen dengan ujian berdasar kualitas, 6) Hak gaji untuk pejabat/pegawai, 7) Adanya promosi jabatan, 8) Adanya sistem kontrol yang ketat (Thoha 2003, h.17). Birokrasi dari tipe Weber banyak diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat, dimana kekuasaan terpusat ditangan para pejabat dan birokrasi terjebak pada tatanan pola hirarki otoritas dan kekuasaan. Posisi birokrasi dengan kekuasaannya pada hirarki teratas masyarakat pada hirarki paling bawah atau dengan kata lain 12
kekuasaan itu ada pada setiap hirarki jabatan. Birokrasi merupakan instrument yang sangat penting dalam tubuh pemerintahan untuk menjalankan fungsi pemerintahan. Meehan melihat birokrasi sebagai sekelompok orang yang terorganisir menjalankan tugas menurut aturan dan prosedur yang ditetapkan berdasarkan ketentuan-ketentuan jabatan dan bukan orang (Deny 1999, h.34). Selain itu Bealey memandang ada beberapa konsep yang dapat dilihat dalam memaknai aktor yang bekerja dalam birokrasi, seperti konsep tentang nilai, sikap, kepercayaan dan tingkah laku dari para aktor pendukung insitusi, hal inilah yang dimaksudkan dengan birokrasi (Afadlal 2003, h.7). Kelebihan organisasi birokrasi yang dimaksudkan oleh Weber dengan ciri-cirinya yang dipandang superior dibandingkan dengan organisasi lain dalam masyarakat terletak pada hal berikut ini yaitu ketepatan, kecepatan, kejelasan dan pengetahuan tentang kearsipan, kontinuitas, penyimpangan, kesatuan, subordinasi yang ketat, pengurangan friksi dan biaya material serta personal. Semuanya merupakan prinsip-prinsip optimum yang menjadi pegangan administrasi birokratis dibandingkan dengan semua bentuk administrasi organisasi kehormatan dan organisasi sukarela. Birokrasi terlatih memiliki kelebihan berkat prinsip-prinsip tersebut (Albrow 1989, h.21). Weber juga menyatakan birokrasi pemerintah bukanlah kekuatan politik melainkan berbagai instrument politik. Artinya birokrasi itu harus berfungsi sebagai agent bukannya sebagai master. Birokrasi lebih banyak menekankan pada aspek teknis administratif dan teknik operasional dari politik. Birokrasi yang netral diartikan dimana kekuatan politik itu seharusnya dibebaskan dari pengaruh dan keterjalinan ikatan politik dengan kekuatan-kekuatan politik yang sewaktu-waktu bisa masuk ke birokrasi (Thoha 1992,h.156). 13
Berbicara mengenai birokrasi Hegel juga berpendapat bahwa birokrasi sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara antara negara (pemerintah) dengan masyarakatnya. Adapun masyarakat itu sendiri terdiri dari kelompokkelompok profesional, usahawan dan kelompok lain yang mewakili bermacammacam kepentingan partikular (khusus). Diantara keduanya, birokrasi pemerintah merupakan medium yang dipergunakan untuk menghubungkan kepentingan patikular dengan kepentingan general (Thoha 2008, h.22). Keberadaan birokrasi pemerintahan dijadikan sebagai mediator yang menghubungkan kedua kepentingan general (pemerintah) dan partikural (kekuatan politik dalam masyarakat). Dengan kata lain birokrasi Hegelian menekankan posisi birokrasi adalah posisi yang netral terhadap kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya. Analisis Hegelian menggambarkan bahwa administrasi negara atau birokrasi sebagai suatu jembatan antara negara dengan masyarakat rakyatnya (the civil Society). Masyarakat rakyat terdiri atas para profesional dan pengusaha yang mewakili dari berbagai kepentingan khusus, sedangkan negara mewakili kepentingan-kepentingan umum. Di antara kedua hal ini, birokrasi pemerintah merupakan perantara (medium) yang memungkinkan pesanpesan dari kepentingan khusus tersebut tersalurkan ke kepentingan umum. Dalam buku Dr.Ahmad Sumargono, SE, MM, Affandi beranggapan bahwa birokrat diibaratkan sebagai mesin dari kendaraan birokrasi pemerintah yang pada dasarnya sebuah mesin haruslah loyal terhadap institusinya dan netral dalam menjalankan tugas-tugasnya. Netral yang dimaksud tidak dipengaruhi oleh politik yang dominan dan tidak ikut serta dalam platfom partai politik, tetapi mempunyai sikap dan prilaku melayani rakyat sepuh hati (Sumargono 2009, h.13). 14
Menurut Tjokrowinoto, ada empat fungsi birokrasi, yaitu; a.
Fungsi Instrumental yaitu menjabarkan perundang-undangan dan kebijaksanaan publik dalam kegiatan rutin untuk memproduksi jasa, pelayanan, komoditi atau mewujudkan situasi tertentu.
b.
Fungsi Politik yaitu memberi input berupa saran, informasi, visi dan profesionalisme untuk mempengaruhi sosok kebijaksanaan.
c.
Fungsi Katalis Public Interest yaitu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan publik dan mengintegrasikan atau menginkorporasikannya dalam kebijaksanaan dan keputusan pemerintah.
d.
Fungsi Enterpreneurial yaitu member inspirasi bagi kegiatan-kegiatan inovatif dan non rutin serta mengaktifkan sumber-sumber daya potensial untuk mencapai tujuan yang optimal(Tjokrowinoto 2004, h.54).
Lebih lanjut Joko Widodo dalam bukunya menyebutkan ciri lain yang terjadi saat ini khususnya di Indonesia, yaitu sentralisme yang tinggi, artinya lebih banyak mendominasi masyarakat, bersifat tidak netral dan menjadi korban ketika dihadapkan pada kalangan bisnis yang dekat dengan lingkaran kekuasaan (Joko Widodo 2008, h.32). Idealnya birokrasi merupakan suatu sistem rasional yang strukturnya terorganisir untuk pelaksanaan kebijakan publik yang efektif dan efisien, selain itu terdapat rantai komando berupa hirarki kewenangan di mana tanggungjawab setiap bagian-bagiannya mengalir dari atas ke bawah. Dari berbagai macam pengertian yang muncul dalam term birokrasi, dapat disistematiskan dalam tiga kategori, yaitu 1) Birokrasi dalam pengertian baik dan
15
rasional (bureau-rationality) seperti yang terkandung dalam pengertian birokrasi oleh Hegel dan Weber; 2) Birokrasi dalam pengertian sebagai suatu penyakit (bureau pathology); dan 3) Birokrasi dalam pengertian netral (value free), artinya tidak terkait dengan pengertian baik ataupun buruk (Budi Santoso 1997, h.14). 1.1 Netralitas Birokrasi Netralitas birokrasi merupakan birokrasi pemerintah yang tidak memihak terhadap kekuatan politik dan golongan dominan dengan istilah politiknya apolitic. Sikap apolitic diperlukan agar pelayanan serta pengabdiannya kepada pemerintah dan kepada seluruh masyarakat atau sebagai abdi negara dan abdi rakyat (Thoha 1990). Salah satu kategori disampaikan diatas mengenai kategori dari birokrasi yang diungkapkan oleh Budi Santoso yaitu birokrasi dalam pengertian netral.Dalam pengertian netral ini birokrasi dapat diartikan sebagai keseluruhan pejabat negara dibawah pejabat politik, atau keseluruhan pejabat negara pada cabang eksekutif atau birokrasi juga bisa diartikan sebagai setiap organisasi yang berskala besar (Budi Santoso 1997). Terdapat dua aliran besar dalam ilmu politik tentang netralitas birokrasi menurut Teguh Yuwono, yaitu: a. Aliran yang dimotori oleh para ahli administrasi klasik seperti W.Wilson yang menyatakan bahwa birokrasi harus netral dan steril dari kehidupan politik, birokrasi bersifat admnistratif, mekanistik yaitu hanya sebagai pelaksana kebijakan. Birokrasi tidak boleh masuk dalam konteks pengambilan kebijakan apalagi bertarung memperebutkan jabatan politik, jika birokrasi masuk ke dalam politik maka birokrasi akan rusak dan mengalami krisis kepercayaan.
16
b. Aliran yang menolak pemikiran aliran pertama yang dimotori oleh James Svara dan George Edward II. Pemikiran ini menyatakan persoalan netralitas birokrasi bukan lagi pertanyaan yang utama, tetapi pertanyaan apakah birokrasi harus netral ketika mafas kehidupan dan lingkungan yang digelutinya adalah politik? Aliran ini mengatakan bahwa birokrasi tidak bisa tidak harus terlibat dalam politik karena ikut menentukan masa depan organisasi dan kehidupan politiknya. (Suara Merdeka 1996-2004). Jalan tengah untuk kedua aliran ini adalah kesungguhan para birokrat untuk tetap melaksanakan tugas pokoknya dan menjaga netralitasnya. Netralitas birokrasi akan dapat terjamin tidak hanya dengan cara melepaskan keanggotaan PNS dalam partai politik, professional dan bersikap imparsial terhadap partai politik dan pemilu (Kumontoro 2005, h.71). Netralitas hakekatnya adalah suatu sistem dimana birokrasi tidak akan berubah dalam memberikan pelayanan kepada masternya (dari partai politik dan pejabat politik yang memerintah) walaupun masternya berganti. Wilson mengatakan faktor yang mempengaruhi netralitas birokrasi yaitu kepentingan umum, kepentingan masyarakat serta birokrasi itu sendiri (Thoha 2008, h.168). Perspektif lain yang dikemukakan oleh Francis Rourke bahwa netralitas birokrasi dari politik hampir tidak mungkin terjadi sebab partai politik tidak mampu memberikan alternatif program pengembangan dan mobilisasi dukungan, maka birokrasi akan melaksanakan tugas-tugas itu sendiri dan mencari dukungan politik diluar partai politik yang bisa membantunya dalam merumuskan kebijakan politik (Thoha 2008, h.181). Birokrasi sesuai aturannya harus netral dalam sisi politiknya sehingga dapat dikatakan netralitas politik pada birokrasi. Netralitas politik diartikan sebagai upaya dan sekaligus pengkondisian untuk menjaga ketidakberpihakan institusi birokrasi dan 17
individu birokrat pada proses kompetisi untuk mendapatkan kekuasaan politik. Aturan yang menjelaskan mengenai birokrasi harus netral dan tidak boleh berpartisipasi secara aktif didalam politik telah tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010. Aturan ini sebagai aturan yang melaksanakan UndangUndang No 43 Tahun 1991 tentang pokok-pokok kepegawaian dan pengganti dari Peraturan Pemerintah No 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Aturan Peraturan Pemerintah tersebut secara tegas menjelaskan larangan kepada pegawai negeri sipil sebagai birokrat pemerintahan yaitu pada Pasal 4 ayat 14 dan 15 mengenai larangan kepada Pegawai Negeri Sipil. Peraturan tersebut pada ayat 14 menjelaskan larangan “memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundangundangan; pada ayat 15 menjelaskan larangan “memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah, dengan cara: a. terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala daerah; b. menggunakan fasilitas yang terkait dengan abatan dalam kegiatan kampanye; c. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama kampanye; d. mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat. Aturan tersebut memberikan larangan kepada para birokrat untuk terlibat secara aktif dalam 18
memberikan dukungan kepada calon kepala daerah dengan menggunakan fasilitas negara baik jabatan maupun fasilitas lainnya. Hal inilah yang menjadi bentuk ketidaknetralan dari birokrasi yang ada di Indonesia pada khususnya. Pengertian birokrasi netral bukan berarti birokrat mengisolasi diri dengan tutup mata, tutup telinga dari dunia politik. Birokrat sebagai bagian dari birokrasi dituntut mengikuti perkembangan politik sehingga memperoleh informasi cukup untuk menjatuhkan pilihan secara tepat terhadap partai politi atau calon dalam pemilihan kepala daerah. Netralitas mengharuskan birokrasi tidak menyatakan mampu memberikan dukungan secara terang-terangan didepan publik, tidak melibatkan diri, tidak berpihak serta tidak membantu salah satu partai atau kandidat. Dalam konstalasi politik peran birokrasi memiliki dua pilihan, Carino menyatakan bahwa hubungan birokrasi dengan pejabat politik (political leadership) merupakan sesuatu hubungan yang konstan antara fungsi control dan dominasi serta terdapat dua bentuk alternative solusi yang utama yakni apakan birokrasi sebagai subordinasi dari politik (executive ascendary) atau birokrasi sejajar dengan politik (bureaucracy sublation) (Thoha 2005, h.153). Persoalan yang penting yang menjadi perdebatan dalam netralitas birokrasi adalah boleh tidaknya pejabat pemerintah baik pejabat tinggi maupun tingkat bawah ikut dalam kampanye kandidat tertentu. Sofyan Efendi meyatakan bahwa harus adanya pemisahan yang jelas antara jabatan seorang birokrat (PNS) dan jabatan menteri yang merupakan jabatan politik (Kumontoro 2005, h.72).
19
1.2 Birokrasi dan Politik Birokrasi dan politik merupakan suatu yang krusial untuk dipahami karena secara prinsip keduanya selalu menghadirkan karakter yang berbeda. Birokrasi bukanlah entitas homogeny, netral dan terisolasi dari dinamika politik terutama pada pesta demokrasi. Studi tentang perpolitikan birokrasi (bureacratic politic) sebenarnya multi dimensional, multi paradigama. Kajian tersebut bisa meliputi aras individual (aktor-aktor) atau kelompok (interest group) aras organisasi. Weber menginginkan adanya pemisahan antara birokrasi dan politik sebagai penopang dalam mewujudkan netralitas birokrasi. Realitasnya birokrasi dan politik merupakan dua hal yang berada dalam satu atap namun karena masing-masing memiliki logika yang berbeda sering kali memunculkan sebuah dilemma khususnya bagi birokrasi dalam hal ini adalah birokrat sebagai perangkat didalam birokrasi.Hubungan yang terjadi antara birokrasi dan politik dalam teori Weber merupakan birokrasi ideal dan rasional yang muncul atas dasar kaidah-kaidah otoritas hukum.(Thoha 2008, h.32). Weber dalam tulisannya mengenai relasi antara birokrasi dan politik menempatkan birokrasi dalam posisi netral, yang berarti birokrasi tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis dan hanya bekerja berdasarkan profesionalitasnya dalam melayani kepentingan masyarakat. Sisi lain Weber menyatakan bahwa birokrasi akan tunduk pada pemegang kekuasaan politik, yaitu dari para politisi yang diangkat lewat pemilu dalam sistem demokrasi. Hal ini diungkapkan Weber dari model birokrasi Jerman dan Inggris yang memiliki karakteristik bahwa birokrasi seringkali dikepalai oleh orang bukan dari birokrasi (orang yang dipilih melalui pemilu).(Etzioni-Eva 1983, h.50). 20
Teorisasi tentang kehadiran birokrasi dalam konteks masyarakat modern begitu dibutuhkan bagi kelangsungan kekuasaan. Merujuk pada apa yang dikatakan Robert Michel dalam Bambang Purwoko, “the modern state need a large bureaucracy because through in politically dominant classer secure their domination”, dalam hal ini birokrasi menjadi alat yang dipakai penguasa untuk mempertahankan pengaruh dan kekuasaannya (Purwoko 2006, h.29). Birokrasi pada realitasnya tidaklah pasif dan diam namun birokrasi juga aktif dalam berpolitik. Oleh karena itu birokrasi dalam hal ini memiliki kepentingan terhadap kepentingan politik dengan diperhadapkan dengan situasi yang dilematis. Beberapa hal yang menjadikan birokrasi sangat kuat dalam politik yaitu: 1) Kepemilikan asset sumber kekuasaan: 2) Peran Birokrasi yang istimewa ditengah masyarakat; 3) Posisi birokrat yang strategis dalam hubungan penguasa dan rakyat (Budi Setioyo 2002, h.51). Berdasarkan realitas yang terjadi antara birokrasi dan politik memiliki logika yang berbeda menimbulkan dilemma. Menurut Etzioni-Halevy dilemma tersebut diidentifikasikan sebagai berikut: a.
Birokrasi sebagai ancaman bagi politik, hal tersebut dikarenakan birokrasi dengan kemajuan teknologi memonopoli keahlian dan informasi serta tidak jelasnya aturan yang membatasi kompetensi birokrasi.
b.
Politik sebagai dilema birokrasi, birokrasi bekerja dan diatur oleh para politisi tapi sekaligus juga dibebankan dari kontrol tersebut (setidaknya dalam proses pengambilan kebijakan); birokrasi bertugas menerapkan peraturan yang ditetapkan oleh para politisi, tetapi pada saat yang sama
21
juga bertugas dalam formulasi kebijakan serta pada saat yang sama juga harus netral secara politik. (Etzioni-Halevy 1983, h.90) Etzioni-Halevy mengemukakan bahwa dilematika yang dihadapi birokrasi menjadi sumber hambatan, friksi dan konflik dalam arena politik (the bureaucracy dilemma and political friction). Selama arena politik dipandang sebagai perebutan kekuasaan maka aktifitas birokrat sesungguhnya sudah menempati area yang sangat mudah untuk masuk ke dalam politik. Pernyataan serupa berkaitan dengan yang dijelaskan oleh Eva-Havely kekuasaan birokrasi menjadi dilemma bagi demokrasi dan sebaliknya demokrasi sebagai dilemma bagi birokrasi, yaitu: a.
Birokrasi Sebagai Dilema Bagi Demokrasi - Birokrasi merupakan sebuah ancaman bagi demokrasi, sebab birokrasi dapat bertindak sebagai alat untuk perluasan dominasi negara dan represi negara; Peningkatan kapasitas birokrasi dan monopoli informasi dapat menembus domain individu yang akan memberikan otonomi dan kebebasan lebih luas kepada birokrasi. - Kekuatan monopoli birokrasi dalam hal keahlian dan informasi dapat membebaskan mereka dari control politik dan melindungi lingkup penugasan birokrasi.
b.
Demokrasi sebagai Dilema Bagi Birokrasi - Birokrasi diharapkan menjadi subjek dari pertanggungjawaban kementrian, tetapi juga diminta untuk bertanggungjawab pada
22
tingkatan yang mereka ambil; birokrasi diharapkan dapat dikontrol politisi tetapi juga diminta bebas dari intervensi - Birokrasi diharapkan menjadi pelaksana kebijakan yang diambil para politisi, tetapi juga diminta untuk terlibat dalam formulasi kebijakan; birokrasi diharapkan terlibat dalam formulasi kebijakan tetapi juga diminta untuk netral secara politik. ( Eva-Halevy 2011, h.140) Berdasarkan pernyataan mengenai dilemma birokrasi dan demokrasi dapat dijelaskan juga oleh Eva Etzioni bahwa adanya kontradiksi dan ketidakjelasan yang ada dalam defenisi peran dari birokrasi dalam negara-negara demokratis tampaknya menjadi sumber dari perselisihan dan konflik antara birokrat senior dan politisi senior.Karena peran birokrasi yang tidak didefenisikan secara jelas, maka para birokrat senior mampu dan bahkan kadang merasa wajib untuk masuk kedalam wilayah yang tidak memiliki batasan jelas yang terletak di antara wilayah birokrasi dengan wilayah politik (Etzioni 2001, h.155). Tulisan Randhall B.Ripley setidaknya dapat digunakan sebagai konsep untuk melihat kepentingan-kepentingan aktor, khususnya kepentingan birokrat itu sendiri yaitu: 1. Memaksimalkan/memperbesar wilayah kewenangan instansi/unit kerja (to maximized the size of their agencies). 2. Mencari peluang jabatan yang lebih tinggi (seeking more opportunity to high level). 3. Menjalin hubungan saling menguntungkan (mutual benefit relationship with client group). (Randall 1987, h.270) 23
Kehadiran politik ataupun partai politik dalam tatanan birokrasi pemerintah sulit dihindari untuk menjadikan birokasi itu netral. Setiap saat partai politik yang memimpin birokrasi pemerintah berinteraksi dengan pejabat karier birokrasi, interaksi yang seperti ini membangun sistem birokrasi pemerintah yang rentan terhadap intervensi politik.
2. Perilaku Birokrat Pemahaman konsep perilaku birokrasi dapat ditelusuri dari berbagaiperspektif. Hal ini mengandung makna bahwa untuk memahami konsep perilaku birokrasi, setiap orang bisa melihatnya dari berbagai sudut pandang dan sangat tergantung pada latarbelakang, persepsi, motivasi, bahkan kepentingan dalam menterjemahkan istilah perilakubirokrasi tersebut. Oleh sebab itu, munculnya berbagai pandangan tentang konsep perilaku birokrasi hendaknya dimaknai sebagai pengayaan dalam mengkaji konsep perilaku birokrasi. Menurut Thoha, perilaku birokrasi adalah pada hakekatnya merupakan
hasil
interaksi
birokrasi
sebagai
kumpulan
individu
dengan
lingkungannya (Thoha 1995, h.138). Lebih
lanjut
Thoha mengemukakan
bahwa
perilaku
birokrasi terkait
dengandua karakteristik, yakni karakteristik individu dan karakteritik birokrasi. Manakala kedua karakteristik tersebut berinteraksi dan berjalan secara sinergis, maka timbulah apa yang disebut dengan “perilaku birokrasi”. Pandangan tersebut mengisyaratkan adanya dua faktor pentingyang memiliki karakteristik berbeda-beda, tetapi secara kelembagaan kemudianmembangun perilaku organisasi, yang dalam perspektif birokrasi pemerintahan dapat diterjemahkan sebagai perilaku birokrasi 24
(Thoha 2002, h.187). Kedua karakter yang dapat menjelaskan perilaku birokrasi tersebut dibagi menjadi Karakter Individu yaitu terdiri dari kemampuan, kebutuhan, kepercayaan, pengalaman dan pengharapan; Karakter Birokrasi yaitu terdiri dari hirarki, wewenang, tugas-tugas, tanggungjawab, sistem reward, sistem control. Kedua hal ini yang dianggap dapat membentuk sebuah perilaku birokrasi (Thoha 2002, h. 185). Perilaku birokrasi di Indonesia berkaitan dengan praktek birokrasi yang dibangun dari proses kesejarahan yang amat panjang, dari warisan kerajaan-kerajaan yang ada sampai pada lamanya masa kolonialisme. Seperti yang diungkapkan Santoso dalam bukunya yang berjudul Birokrasi Pemerintah Orde Baru Perspektif Kultural dan Struktural sebagai menyatakan bahwa sosok birokrasi di Indonesia masih menampilkan corak patrimonial. Budaya patrimonial adalah merupakan benang sejarah yang perlu diperhatikan dengan seksama. Karakteristik birokrasi di Indonesia mengantarkan perilaku birokrasi pemerintahan yang sangat dipengaruhi oleh budaya patrimonialisme dan patron-client, yang menguasai hubungan-hubungan antara birokrat maupun hubungan antara birokrat dengan komponen lain. Pengertian patron klien menurut birokrasi pemerintahan ialah: “patron” adalah seorang pimpinan (atasan) dan “client” adalah anak buah (bawahan). Keduanya berjalan karena ada hubungan yang disebut “Petronage”. Hubungan patron- klien yang melandasi sistem birokrasi patrimonial bukanlah hubungan patronklien yang tunggal namun hubungan patron-klien yang kompleks, dimana diantara klien yang berbentuk faksi satu sama lain memperebutkan perhatian atasan (M.Mas’oed Said 2007, h.70). Patron-klien adalah kesanggupan seorang patron 25
(atasan) untuk menyediakan atau memberikan kursi, jabatan serta pekerjaan bagi kliennya dengan imbal jasa bawahan harus memberikan loyalitas serta dedikasinya pada pemberian jabatan/pekerjaan melalui bentuk upeti, amplop, kesenangan dan lainnya. Dalam konteks kontemporer Syukur dalam bukunya Budaya Birokrasi di Indonesia, memandang bahwa Birokrasi pada masa Orde Baru menampilkan neopatrimonialisme, yaitu sebuah rezim modern yang berbasiskan kewibawaan tradisional. Rezim ini pemimpin eksekutif mempertahankan otoritas lewat ideologi dan hukum ditandai dengan pertukaran loyalitas aparatur birokrasi dengan imbalan material dari pengusaha, dan fenomena demikianlah sampai saat ini masih merambah politik formal dan sistem administrasi pemerintahan. Hal ini merupakan menifestasi dari hubungan patron-client dalam wujudnya yang lebih modern. Birokrasi di Indonesia sering terjadi beberapa kekurangan atau penyimpangan yang menyebabkan citra birokrasi dimata masyarakat menjadi kurang baik. Kaitannya dengan fenomena perilaku birokrasi maka kedudukan, peran dan fungsinya tidak dapat dipisahkan dari individu selaku aparat (pegawai) yang mempunyai persepsi, nilai, motivasi dan pengetahuan dalam rangka melaksanakan fungsi, tugas dan tangung jawab sosial.Perilaku birokrasi di Indonesia berkaitan dengan praktek birokrasi yang dibangun dari proses kesejarahan yang amat panjang, dari warisan kerajaan-kerajaan yang ada sampai pada lamanya masa kolonialisme. Model birokrasi kerajaan dan warisan model kolonial cenderung persistent sampai sekarang ini, seperti word view birokrat yang seringkali memanifestasikan warisan budaya aristokratis, orientasi vertikal (keatas) yang lebih mendominasi referensi birokrat, loyalitas ritual yang seringkali bersifat pribadi, kesadaran prestise dan status yang 26
masih kuat, budaya panutan yang sering membayangi partisipasi, kecenderungan sentralisasi yang amat kuat, dan sebagainya (Santoso 1997, h.143). Keterkaitan birokrasi dengan politik memang tidak dapat dihindari. Kenyataannya birokrasi tidak pernah beroperasi dalam ”ruang hampa politik” dan bukan aktor netral. Di samping itu birokrasi pada negara berkembang tidak bisa lepas dari pengaruh sistem internasional. Hal ini menempatkan birokrasi tidak bisa hanya sebagai alat penerapan kebijaksanaan publik yang netral. Perilaku seperti itulah yang kemudian mengantarkan birokrasi menjadi sulit melepaskan diri dari jaring-jaring kepentingan politik praktis. Perilaku birokrat untuk bersikap netral sangat jarang ditemukan dalam sebuah pemerintahan terutama menjelang pelaksanaan pemilihan umum maupun pemilukada di setiap daerah.Perilaku birokrat seperti ini dapat dipandang karena adanya budaya patron klien serta terjadi birokrasi patronase. Dimana birokrasi patronase lebih berorientasi pada faktor kekuasaan dan kedekatan dengan para klien (bawahan) yang menjurus pada kekeluargaan. Prakteknya seringkali lingkungan birokrasi menjadi arena untuk memperkuat kekuasaan pejabat eksekutif (kepala daerah) yang memimpin dengan menempatkan orang-orang terdekat pada jabatan strategis dalam birokrasi tanpa memperhatikan kompetensi yang dimiliki. Berkaitan dengan jabatan dalam lingkungan birokrasi semakin kental dengan aspek politis, terlebih ketika dihadapkan pada suatu sistem politik formal dalam memilih pejabat eksekutif (kepala daerah) melalui sistem pemilihan langsung. Sistem pemilihan langsung birokrasi seringkali dijadikan kekuatan untuk mendapatkan dukungan, hal ini secara tidak langsung akan menimbulkan alasan bagi birokrat untuk terlibat dalam politik praktis karena karir 27
birokrat (PNS) sangat ditentukan oleh pejabat diatasnya yaitu kepala daerah. Disisi lain pegawai pemerintah harus netral dari keterpengaruhan dan kepemihakan partai politik dan kelompok kepentingan tersebut kecuali kelompok kepentingan birokrasi pemerintah sendiri (Thoha, 2010, h.175). Pembahasan mengenai model-model hubungan patron klien bertolak belakang dari yang diungkapkan oleh Scoot ialah “suatu masalah dari kasus dari hubungan antara dua individu yang mempunyai keterlibatan dan mengikat kuat dengan menggunakan alam dan pengaruh dirinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan dari keduanya bagi seorang dari status yang rendah (klien) karena baginya membalas budi dengan menawarkan potongan dan dukungan termasuk pelayanan secara perseorangan atau sang pelindung(Scoot1985,h.123).
3. Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) Pemilihan kepala daerah secara langsung pertama kali dilaksanakan di Indonesia dimulai sejak tahun 2005. Pemilihan saat itu berbeda karena dahulunya pemilihan kepala daerah dipilih oleh legislatif di daerah telah berubah. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah saat ini, rakyat tidak lagi menjadi penonton tetapi sebagai penentu kemenangan seorang pemimpin daerah. Pemilukada langsung merupakan proses demokrasi bagi seluruh lapisan masyarakat untuk bertanggungjawab atas keberhasilan roda pemerintahan. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum 28
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Pemilihan kepala daerah secara langsung telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2004 pasal 56 jo pasal 119 dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2005 yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, rahasia, jujur dan adil. Elemen terpenting dari demokrasi dalam konteks lokal adalah partisipasi masyarakat sebagai bentuk pertanggungjawaban mayarakat tehadap pemerintahnya. Pemilihan kepala daerah (Pemilukada) secara langsung dilakukan dengan persyaratan dan tata cara yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Hal ini menjadi penting bagi daerah karena pemilukada merupakan salah satu unsur penting otonomi daerah dan merupakan terobosan politik yang fundamental bagi perkembangan politik lokal dan demokratisasi lokal. Namun demikian pemilukada langsung sangat tergantung pada mekanisme pelaksanaan pemilukada itu sendiri, salah satunya sikap netral yang ditunjukkan oleh aparatur pemerintah dalam proses pelaksanaan pemilukada. Pemilukada secara langsung memberikan nuansa perubahan dalam pemerintahan daerah yaitu sistem pemerintahan daerah (birokrasi) oleh karena adanya pertumbuhan demokrasi yang ditandai dengan adanya partai politik (Hidayaturahmi, LAN,h.133). Kumorotomo mengatakan pemilihan kepala daerah langsung merupakan suatu mekanisme politik untuk menentukan suatu proses yang lebih dapat mengakomodasi suara setiap individu(Kumorotomo 2005, h.137-138). Dwiyanto mendefenisikan 29
pemilihan kepala daerah secara langsung sebagai suatu inovasi yang bermakna dalam proses konsolidasi demokrasi diaras lokal yang memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan sistem rekruitmen politik secara sentralistik yang mencerminkan suara rakyat (Agus Dwiyanto 2001, h.3). Pemilihan Kepala Daerah secara langsung untuk menentukan pemimpin daerah yang demokratis sesuai dengan tuntutan dan kehendak rakyat yang tergantung pada kritisme dan rasionalitas masyarakat sendiri (Prihatmoko 2005, h.2). Selain itu Prihatmoko juga menjelaskan bahwa pilkada secara langsung dapat dijadikan sebagai jalan masuk bagi demokratisasi politik di daerah karena dapat mengeleminasi atau mengikis politik uang (money politic). Dengan kata lain pilkada secara langsung memberikan proses pengembalian hak-hak dasar masyarakat di daerah dengan memberikan kewenangan yang utuh dalam rangka rekrutment politik lokal secara demokrasi (Prihatmoko 2005, h.10). Pelaksanaan pemilukada langsung sejalan dengan semangat otonomi daerah dan upaya menciptakan pemerintahan demokratis dimana kedaulatan dan kekuasaan berada di tangan rakyat yang difasilitasi lewat UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.Pasal 56 ayat 1 menyebutkan Kepala daerah dan Wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung,jujur,bebas,umum,rahasia dan adil. 1. Langsung berarti dalam pemilukada secara langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan hati nuraninya dan tanpa perantara. 2. Umum, pada dasarnya semua warga negara yang berada di Propinsi, Kabupaten/Kota yang telah memenuhi syarat yang telah ditentukan sesuai 30
dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Asas
ini
mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku bagi semua warga negara tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,kedaerahan dan status sosial. 3. Bebas, berarti dalam pemilukada secara langsung setiap warga negara yang berada di propinsi,Kabupaten/Kota serta bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan haknya, warga negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilik sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya. 4. Rahasia, dalam memberikan suaranya pemilih dijamin dan pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apapun. 5. Jujur, dalam pelaksanaan pemilukada setiap penyelenggara pemilukada secara langsung, aparat pemerintah, calon atau peserta pemilukada, pengawas pemilukada, pemantau serta pemilih dan semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 6. Adil, dalam penyelenggaraan Pemilukada secara langsung setiap pemilih dan calon atau peserta pemilukada secara langsung mendapat perlakuan yang sama serta bebas dari kecurangan pihak manapun. Sistem pemilukada langsung dilaksanakan oleh lembaga yang independen, mandiri dan non-partisan sehingga obyektifitas, transparansi dan keadilan bagi pemilih dan peserta pemilukada dapat dioptimalkan.Lembaga yang berwewenang sebagai penyelenggara pilkada langsung adalah DPRD, KPUD dan Pemerintah 31
daerah sesuai dengan UU No 32 tahun 2004. DPRD yang berkedudukan sebagai pemegang otoritas politik karena merupakan representasi rakyat yang memiliki mandat penyelenggaraan pilkada langsung. KPUD berfungsi sebagai pemegang mandat penyelenggaraan pilkada dan merupakan pelaksana teknis dalan setiap tahapan pilkada, mulai dari pendaftaran pemilih sampai pada penetapan calon terpilih. Pemerintah daerah berfungsi sebagai fasilitator dalam proses pelaksanaan pilkada yaitu anggaran, personalia, kebijakan sebagai eksekutif serta tugas teknis lain yang menunjang pelaksanaan pilkada. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung juga memiliki tujuan. Tujuan dari dilaksanakannya pemilukada adalah: 1) Mendekatkan negara kepada masyarakat; 2) Mengembalikan kedaulatan dari kedaulatan negara menjadi kedaulatan rakyat; 3) Memberikan pelajaran politik kepada rakyat; 4) Secara psikologis meningkatkan rasa harga diri dan otonomi masing-masing daerah; 5) Memberika legitimasi yang kuat kepada daerah untuk memerintah; 6) Memberikan kontribusi terhadap pengembangan demokrasi di tingkat lokal. Model pemilihan kepala daerah secara langsung memberikan kesempatan terhadap semua kekuatan politik yang ada untuk terlibat dan berpartisipasi dalam pilkada langsung, seperti kekuatan politik formal dan kekuatan politik non formal. Kekuatan politik formal: pejabat politik eksekutif,ABRI,birokrasi pemerintah,partai politik,pers. Kekuatan non formal: NGO, Ormas, kelompok Ulama, kelompok intelektual, kelompok bisnis dan organisasi masyarakat lokal. (Riswanda Imawan, diklat Depdagri RI 1997 h. 102). Netralitas birokrasi sangat dibutuhkan dalam pemilihan kepala daerah. Netralitas birokrasi dalam pemilukada merupakan sikap tidak memihak atau 32
diskriminatif dalam memilih calon kepala daerah tertentu dan ditunjukkan dengan keberpihakannya kepada calon kepala daerah yang dinilai masyarakat sebagai pilihan yang terbaik. Hak pilih birokrasi terhadap calon kepala daerah tertentu tidak didasarkan atas kepentingan pribadi atau pihak calon kepala daerah yang dipilih.Netralitas birokrasi dalam konsep demokrasi tidak hanya dilihat atau dicapai dengan peran serta masyarakat untuk mengontrol birokrasi, tetapi juga dicapai dengan sistem pemilukada (election) yang dilakukan rakyat terhadap pejabat-pejabat pemerintah. Pemilukada yang dilakukan oleh rakyat merupakan inti dari pelaksanaan demokrasi dalam suatu negara. Nyoman Yasa menyatakan bahwa netralitas birokrasi merupakan hal yang sangat penting karena paradigm pembangunan saat ini menuntut adanya sistem yang tidak hanya bekerja efisien, efektifitas juga pertisipatif.Hal ini juga dapat membantu terpilihnya seorang kepala daerah yang mampu membawa perubahan kea rah yang lebih baik (Nyoman Yasa 2005, h.9). Menurut Soebhan netralitas politik birokrasi dapat dilihat dari: a. Tidak menggunakan program dan anggaran pembangunan APBD/APBN atau sumber milik negara yang lain untuk kepentingan salah satu kandidat calon kepala daerah. b. Tidak menggunakan waktu kerja/jam dinas, fasilitas kantor dan anggaran kantor untuk kepentingan kandidat calon kepala daerah tertentu. c. Tidak memasang satu atau lebih atribut kandidat calon kepala daerah pada kantor, gedung, dan kendaraan milik negara.
33
d. Tidak memberikan pernyataan secara terbuka kepada umum tentang kandidat calon kepala daerah berupa dukungan atau kritik diluar bidangnya. e. Tidak memberikan keistimewaan atau melakukan diskriminasi terhadap kandidat kepala daerah tertentu dalam pemberian izin, pelayanan administrative, pemberian informasi kepada kandidat calon kepala daerah tertentu. (Soebhan 2000, h.34) Kemungkinan ada dua alasan bagi birokrat yang masih terlibat dalam aktivitas pemilukada
pasca
diundangkannya
Undang-Undang
mengenai
pokok-pokok
kepegawaian dan Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Undang-Undang dan Peraturan pemerintah tersebut mengamatkan agar birokrat senantiasa netral, professional dan berdiri diatas semua golongan sehingga fungsi dan peran birokrat sebagai pelayan masyarakat dapat dilaksanakan secara optimal. Dua kemungkinan tersebut adalah pertama; disebabkan adanya situasi birokrat tidak bisa menghindar dari pressure (tekanan) politik yang begitu kuat oleh kelompok kepentingan politik tertentu. Birokrat terpaksa melakukan keberpihakan karena tidak ada pilihan kecuali mengikuti mainstream politik yang menghegemoni pada saat itu. Kedua; disebabkan karena personality birokrat itu sendiri yang sengaja melibatkan diri pada aktivitas politik praktis. Tujuannya agar memperoleh patronase dalam politik dan nantinya bisa membantu memperlancar jenjang karier birokrasinya (Sjahrazad M, 2005, h.156).
34
Berbagai alasasan yang diungkapkan diatas dapat dikaitkan dengan keinginan birokrat untuk terlibat dalam proses pemilukada, adanya berbagai motif yang ingin dicapai. Motif keterlibatan birokrasi dalam tim sukses pilkada demi meraih jabatan menjadikannya sebagai aktor. Birokrasi secara sadar menjadi bagian dari koalisi pemenangan kandidat, birokrat rela bila program dan kegiatannya didompleng kepentingan politik yang berpotensi mengakumulasi dukungan publik terhadap kandidat kepala daerah. Kenyataannya, birokrasi sekaligus merupakan korban ketidaknetralan dalam pilkada, birokrasi dipaksa untuk tidak netral karena dipaksa ikut oleh atasannya untuk mendukung salah satu kandidat. Tidak hanya birokrat yang tidak netral yang menjadi korban dalam pemilukada, korban lainnya adalah birokrat netral. Karena konsistensinya, jabatan mereka pada dinas, badan, dan kantor daerah tergusur, kemudian digantikan oleh birokrat yang masuk dalam koalisi pemenangan kandidat terpilih. Birokrasi yang professional dan netral diharapkan memberikan pengaruh positif bagi terwujudnya pilkada yang demokratis. Pemilihan kepala Daerah menjadi sangat penting bagi daerah karena dua hal, Pertama; pemilukada merupakan salah satu unsur penting otonomi daerah dan merupakan terobosan politik yang fundamental bagi perkembangan politik lokal dan demokratisasi lokal. Kedua; birokrasi yang selama ini hanya mengalami pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung pada tahun 2004, tetapi sejak berlakunya otonomi daerah dimana kepala daerah juga dipilih secara langsung menjadi pengalaman yang penting karena berlangsung pada level yang berbeda (Masdar, 2005, h.47). Netralitas Birokrasi dalam pemilihan kepala daerah secara langsung bertujuan untuk menjamin 35
efektivitasnya pemerintahan berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah. Hal ini sehubungan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan wujud penerapan demokrasi sehingga netralitas birokrasi merupakan hal yang mutlak dipertahankan agar dapat terhindar dari masalah yang tidak diinginkan segenap komponen bangsa. LIPI pernah merilis hasil studi tentang netralitas birokrasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung 2005. Penelitian ini dilakukan terhadap tiga daerah pada saat pelaksanaan pemilukada, yaitu daerah Gowo, Malang dan Kutai Kartanegara. Penelitian itu menyebutkan sejumlah faktor yang mendorong birokrasi berpolitik dalam pilkada. Di antaranya, kepentingan pegawai negeri sipil (PNS) untuk memobilisasi karirnya secara cepat, kuatnya hubungan patron-client, dan adanya peran birokrasi bayangan (shadow bureaucracy). Keinginan untuk memperoleh jabatan membuat PNS mau berspekulasi menjadi bagian dari tim sukses. Dengan harapan, seandainya kandidat yang didukung menang, para birokrat tersebut mendapatkan keuntungan perolehan jabatan. Demi balas budi, biasanya kenaikan pangkat tersebut bisa menabrak aturan kepangkatan.Birokrasi bayangan terdiri atas pengusaha, kontraktor, ormas, dan LSM yang menjadi kelompok pemenangan kandidat. Menurut peneliti LIPI, dalam praktiknya, kelompok bayangan bertindak sebagai penyandang dana dan pendukung kampanye. Sebagai imbalan, mereka memperoleh ''perlindungan politik'', pasokan dana, serta lisensi atau tender proyek pascapilkada.Dua faktor ini kemudian mendorong terciptanya hubungan patronclient. Sebagai patron, kandidat terpilih memberikan kemudahan akses terhadap sumber daya finansial dan nonfinansial. Giliran client yang sebelumnya menjadi 36
pendukung berubah menjadi penerima manfaat dari pilihan-pilihan kebijakan kandidat terpilih selama menjabat.(LIPI 2005). Ada dua bentuk keterlibatan birokrasi dalam penyelenggaraan pemilu, pilres dan pilkada. Bentuk keterlibatan yang pertama bersifat langsung, yakni dalam proses electoral governance yaitu ada birokrasi penyelenggaran pemilu yang harus dikembangkan agar pemilihan berkualitas terselenggara dan menghasilkan pemimpin yang berkualitas unutk memimpin jalannya birokrasi itu sendiri. Bentuk keterlibatan yang kedua yaitu bersifat tidak langsung, yakni bentuk keterlibatan yang memiliki dampak yang besar bagi peningkatan kualitas demokrasi.(Purwo Santoso h.8). Rangkaian pilkada 2005 sejumlah studi mengidentifikasi fakta-fakta keterlibatan politik birokrasi dalam pilkada dan pemilu legislatif. Salah satunya studi Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama jaringan kerja di empat daerah (Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Jogjakarta), ICW menemukan 54 indikasi pelanggaran ketentuan tentang fasilitas jabatan selama Pemilu 2009.Pelibatan birokrasi terjadi dalam bentuk mobilisasi pengawai negeri sipil (PNS). Modus inilah yang paling sering ditemukan menjelang pelaksanaan pemilukada di setiap daerah. Modus lain berupa penggunaan kendaraan dinas, pelibatan pejabat daerah, penggunaan rumah ibadah, penggunaan rumah dinas, dan penggunaan program populer pemerintah (raskin).Lebih dramatis lagi merujuk pada temuan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hingga awal Mei, lembaga pengawas tersebut menemukan 1.599 pelanggaran pilkada 2010. Semua dihimpun berdasar temuan pada 16 pilkada yang telah dilangsungkan. Di antara sekian banyak kasus tersebut, ditemukan keterlibatan birokrasi yakni, berupa penyalahgunaan fasilitas negara dan mobilisasi PNS. Berarti, 37
masih akan ditemukan bentuk-bentuk ketidaknetralan birokrasi pada 228 pilkada lainnya sepanjang 2010. Keterlibatkan PNS dalam pilkada langsung sangat mungkin terjadi jika kita hubungkan dengan kondisi daerah pemilihan. Untuk daerah pemilihan tertentu, misalnya perkotaan, keterlibatan PNS dapat dibatasi, tetapi untuk daerah pinggiran yang manusianya terbatas, PNS dapat membantu menjadi panitia penyelenggara Pilkada. Ketentuan ini sangat penting agar tidakterjadi keraguan baik untuk PNS maupun untuk lembaga lain, seperti Panwas yang selalu mencatat setiap pelanggaran. Sebenarnya, yang harus mendapat titik tekan pelarangan PNS terlibat dalam penyelenggaraan Pilkada langsung adalah dalam konteks sebagai peserta, baik sebagai calon kepala daerah maupun tim kampanye pendukung kepala daerah.Oleh karena itu jika birokrat terlibat dalam panitia penyelenggara pemilu itu sah-sah saja.(Leo Agustino 2009, h.174). 4. Teori Motif Sebelum memahami motif dari birokrat untuk terlibat dalam berpolitik dalam hal ini pemilukada, ada pendapat para pakar psikologi sosial dalam menjelaskan arti dari motif. Menurut Atkinson (1958) motif sebagai sesuatu disposisi laten yang berusaha dengan kuat untuk menuju ke tujuan tertentu, tujuan ini dapat berupa prestasi, afikasi ataupun kekuasaan. Sedangkan Walgito, Bimo (2005) mengartikan motif sebagai kekuatan yang terdapat di dalam diri yang mendorong untuk berbuat atau merupakan driving force. Dari pengertian tersebut motif berarti suatu dorongan yang ada didalam diri seseorang untuk berusaha mendapatkan tujuan tertentu sesuai
38
dengan apa yang diharapkan. Motif bukanlah sesuatu yang kelihatan, tetapi tersembunyi. Motif dapat diketahui, di antaranya dari pengakuan seseorang terhadap alasannya melakukan suatu tindakan. Dalam dunia politik, mendapatkan kekuasaan adalah tujuan bagi para aktor politik. Kekuasaan bukan keperkasaan dan gagahgagahan, tapi wadah dan amanah untuk memperbaiki kondisi masyarakat. Motif politik seseorang untuk berpolitik menurut Beck dan Sorauf(1994:115126) terdiri dari tiga motif diantara pertama,motif insentif material ini terdiri dari tiga bagian yakni: a.
Seseorang berpartisipasi berpolitik (dalam hal ini birokrat) yaitu untuk mencari perlindungan (patronage). Perlindungan yang dimaksud disini lebih mengejar kepentingan individu untuk mendapatkan imbalan uang atau berlindung di pemerintahan. Hal ini mencakup antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional. Keterlibatan untuk mendapatkan posisi tertentu loyalitas sangat dibutuhkan sehingga tetap mendapatkan perlindungan.
b.
Untuk menjadi pejabat yang dipilih (elected office). Jalan pintas yang terbaik adalah mendekatkan diri dengan sang penguasa pemerintah maupun partai jika ingin melanggengkan kekuasaan.Kekuasaan dan jabatan adalah sesuatu yang didamba-dambakan setiap orang, karena dengan jabatan dan kekuasaan itulah orang akan mendapatkan suatu kebanggaan dan keuntungan. Karena jabatan di sini harus memiliki struktur maka sebuah jabatan adalah sebuah kekuasaan dengan embelembel kesenangan maka pejabat tak mau kehilangan itu semua. Jabatan 39
harus dipertahankan, bagaimana pun caranya karena jabatan adalah sebuah pencapaian sebuah karir, harus diraih karena menentukan hidup kita, kini dan kelak dikatakan ada di mana seorang agen bisa mengharapkan beberapa bentuk imbalan material terutama uang sebagai imbalan untuk bertindak dengan cara tertentu. c.
Untuk memperoleh kedudukan yang lebih tinggi (Preferment). Menjadi pejabat publik memiliki status sosial yang sangat tinggi. Mereka dihormati dan dihargai sedemikian rupa sehingga mampu meningkatkan derajat seseorang. Kenikmatan peran sebagai mendapat status sosial yang tinggi inilah yang membuat status sebagai pejabat publik menjadi impian
Kedua, Insentif Solidaritas ( Solidarity/Sosial Incentives) yaitu motif untuk mencari kehidupan sosial baru dari selama ini mereka miliki. Mendapatkan status sosial yang tinggi inilah yang membuat status sebagai pejabat publik menjadi impian selain itu mendapatkan jaringan yang baru. Untuk mengidentifikasi isentif solidaritas hal tersebut menimbulkan kesulitan
disebabkan bersifat non materi hanya bisa
dirasakan. Keterlibatan dalam organisasi lebih penting dibandingkan dengan isentif material. Asumsi yang muncul selalu mengandalkan hubungan persahabatan yang terjalin untuk mendapatkan posisi dalam rangka melanggengkan kekuasaan. Insentif solidaritas atau sosial lebih akankebutuhan penghargaandalam hal ini semua orang dalam masyarakat mempunyai kebutuhan atau menginginkan penilaian terhadap dirinya yang mantap, mempunyai dasar yang kuat, dan biasanya bermutu tinggi, akan rasa hormat diri atau harga diri. Mencakup kebutuhan akan harga diri, kepercayaan
40
diri, kompetensi, penguasaan, kecukupan, prestasi, ketidaktergantungan, dan kebebasan (kemerdekaan). Menyangkut penghargaan dari orang lain, prestise, pengakuan, penerimaan, ketenaran, martabat, perhatian, kedudukan, apresiasi atau nama baik. Orang yang memiliki cukup harga diri akan lebih percaya diri, dengan demikian ia akan lebih berpotensi dan produktif. Sebaliknya harga diri yang kurang akan menyebabkan rasa rendah diri, rasa tidak berdaya, bahkan rasa putus asa serta perilaku yang neurotik. Kebebasan atau kemerdekaan pada tingkat kebutuhan ini adalah kebutuhan akan rasa ketidakterikatan oleh hal-hal yang menghambat perwujudan diri. Kebutuhan ini tidak bisa ditukar dengan sebungkus nasi goreng atau sejumlah uang karena kebutuhan akan hal-hal itu telah terpuaskan. Ketiga, insentif idealisme (Purposive/Issued Based Insentives) yaitu keinginan untuk memperjuangkan sesuatu yang bersifat ideal.Memperjuangkan kepentingan rakyat lebih utama ketimbang kepentingan pribadi. Sebagai aktivis partai harus memiliki kemampuan manajemen strategis meliputi, salah satunya kemampuan menerjemahkan ideologi menjadi visi, misi, platform parpol ke dalam programprogram kerja yang kemudian dapat menarik minat calon pemilih mereka lantaran dianggap mewakili dan identik dengan kepentingan mereka. Jika seorang aktivis memiliki motif idealisme maka arah parlemen bergerak secara progresif. Parlemen terasa semakin berarti untuk rakyat yang notabene sebagai wakil rakyat seyogianya memperjuangkan kepentingan rakyat.Komitmen aktivis untuk memperjuangkan kepentingan rakyat merupakan tanggung jawab dan kewajiban sebagai warga negara. Tetapi sangat disesalkan bahwa komitmen aktivis hadir sebagai abdi masyarakat sangat sulit didapatkan. 41
Keempat, Insentif campuran (Mix Incentives)yaitu pembauran beberapa insentif yang telah disebutkan sebelumnya menjadi saling bertautan. Motif untuk terlibat dalam kegiatan politik tidak bersifat tunggal.Terkadang isentif material, isentif solidarity dan isentif purposive dicampur adukkan. Masyarakat kultur politiknya masih bersifat tradisonal keterlibatan aktivis lebih disebabkan untuk mencari materi atau penghargaan. Sedangkan masyarakat kultur politiknya yang sudah maju lebih berorientasi isentif purvosive. Keterlibatan birokrasi dalam pemilukada disebabkan adanya motivasi dari dalam untuk melanggengkan kekuasaan serta adanya vested interest berupa kepentingan memelihara dan meningkatkan posisi karir atau jabatan (Agustino 2009 ,h.182). Kuatnya desakan dari luar yakni dari partai yang senantiasa menaruh harapan yang besar supaya birokrasi bisa dirangkul dan dijadikan sebagai mesin politik dalam peristiwa pesta demokrasi. Ketertarikan birokrat untuk terlibat secara aktif dalam Pilkada langsung di motivasi oleh sebuah pemahaman bahwa seorang birokrat akan mendapatkan imbalan baik jabatan ataupun kedudukan. Selain itu incumbent sebagai calon kepala daerah tersebut bisa memobilisasi birokrat lainnya yang berada dibawah kepemimpinannya beserta anggota keluarganya dalam usaha mendapatkan dukungan suara dalam Pilkada tersebut. Permasalahan yang sering terjadi pada pelaksanaan pemilukada langsung di berbagai daerah, hampir seluruh birokrasi berperilaku terlibat dalam pemilukada terutama yang memiliki posisi strategis. Motif idealisme yang menjadi motif seorang birokrat masuk kedalam politik tidak ditemukan dalam pelaksanaan pemilukada. Adanya motif material yaitu ekonomi serta non material yaitu status sosial dan 42
adanya balas jasa itulah yang membangkitkan hasrat birokrat untuk terlibat dalam pelaksanaan pemilukada langsung dengan berperilaku tidak netral. E. Kerangka Berpikir Kerangka pikir adalah dasar pemikiran dari penelitian yang disitesiskan dari fakta-fakta, observasi dan telaah kepustakaan. Kerangka piker memuat teori, dalil atau konsep-konsep yang akan dijadikan dasar dalam penelitian. Uraian dalam kerangka
pikiri
menjelaskan
hubungan
dan
keterkaitan
antara
variable
penelitian.Variable penelitian dijelaskan secara mendalam dan relevan dengan permasalahan yang diteliti, sehingga dapat dijadikan dasar untuk menjawab permasalahan penelitian (Ridwan 2004, h.25). MOTIF:
BIROKRAT
TERLIBAT DALAM PEMILUKADA
- Mencari perlindungan - Material(Jabatan / kekuasaan) - Kehidupan Sosial - Balas jasa
F. Defenisi Konsep Untuk dapat lebih memberikan arahan pada fokus penelitian, perlu dilakukan generalisasi dari sekelompok fenomena yang abstrak secara empirik. Oleh karena itu untuk lebih mudah dipahami maka penulis membuat pembatasan dan penegasan defenisi konsep sebagai berikut: 1. Pemilukada merupakan suatu mekanisme politik untuk memilih pemimpin daerah dimana proses pemilukada dilakukan secara langsung sehingga menjadikan suatu proses yang lebih mengakomodasikan suara setiap individu. 43
2. Birokrat merupakan keseluruhan aparat pemerintah yang beraktifitas menerapkan kebijakan-kebijakan pemerintah kepada warga negara dalam penyediaan layanan publik sesuai dengan tugas dan fungsi serta levelnya masing-masing. 3. Netralitas birokrasi merupakan suatu sikap ataupun perilaku yang menyadatakan tidak adanya keberpihakan atau pengaruh dari semua golongan dari partai politik terhadap birokrasi. 4. Motif adalah dorongan atau keinginan seseorang untuk melakukan sesuatu dalam rangka mendapatkan keuntungan material dan non material.
G. Defenisi Operasional Dalam rangka memudahkan proses pengumpulan data, maka defenisi konsep yang
ada
dioperasionalkan
ke
dalam
indikator-indikator
agar
mampu
menggambarkan dan mejelaskan gejala-gejala yang dapat diuji kebenarannya. Adapun operasionalisasi konsep dalam penelitian ini meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung berkaitan dengan pelaksanaan Pemilukada Kota Pekanbaru Tahun 2011, dalam hal ini dapat dilihat dari: -
Proses pelaksanaan pemilukada di Kota Pekanbaru Tahun 2011
-
Keterlibatan birokrasi sebagai kekuatan politik pada pemilukada di Kota Pekanbaru
-
Motif Birokrat terlibat dalam pemilukada Kota Pekanbaru
44
2. Birokrat adalah aparat kecamatan yaitu camat yang ada di setiap kecamatan yang ada di Kota Pekbanbaru dan beberapa SKPD di pemerintahan Kota Pekanbaru 3. Bentuk dan Tahap keterlibatan birokrat dalam pemilihan langsung kepala daerah (Pemilukada) di Kota pekanbaru. 4. Motif Keterlibatan Birokrat untuk menjelaskan faktor yang membuat birokrat terlibat dalam politik, yaitu: -
Mencari perlindungan atau rasa aman
-
Motif Material/ekonomi atau mendapatkan jabatan (melanggengkan kekuasaan)
-
Mencari kehidupan sosial baru (jaringan baru)
-
Balas Jasa
H. Metode Penelitian 1.
Pendekatan dan Metode Penelitian Penelitian dilakukan untuk mengetahui motif birokrat terlibat aktif dalam
pemilukada, maka penulis menggunakan pendekatan kualitatif. Pengertian kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai katakata lisan maupun tertulis serta tingkah laku yang dapat diamati dari orang-orang atau objek yang diteliti. Penelitian kualitatif memberikan hasil laporan dengan deskripsi secara lengkap, detail-detail yang jelas, serta bersifat netral dari statistik. Penelitian tersebut memberikan kepada para pembacanya rasa keterlibatan dalam setting penelitian (Neuman,W.&Lawrence,1997). 45
Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kasus dengan penelitian eksploratif.Studi kasus merupakan penelitian yang dilakukan secara intensif, teliti dan mendalam terhadap suatu organisasi, lembaga atau gejala tertentu (Suharmisi 2002, h.120). Kasus dalam penelitian ini adalah motif birokrat di Kota Pekanbaru terlibat dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Oleh karena itu peneliti berusaha mengembangkan konsep dan menghimpun data dilapangan dan menggali pendapat dari pihak yang dianggap bekompeten dengan masalah yang diteliti. 2. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah Kota Pekanbaru Provinsi Riau. Pemilihan lokasi ini dikarenakan adanya relevansi dengan permasalahan yang ingin dilteliti. Selain itu karena adanya keterlibatan birokrat sehingga dilakukan pemungutan suara ulang di seluruh TPS. Pemilukada yang dimenangkan oleh calon terpilih melibatkan birokrat yang seharusnya tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis, selain itu lawanpasangan calon juga melakukan pelibatan birokrat dalam pemenangan pemilukada Kota Pekanbaru 2011. 3. Jenis dan Sumber data Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari wawancara langsung dari subyek atau informan yang dipilih. Informan terdiri dari kalangan birokrat mulai dari jabatan teratas hingga staff. Sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari arsip-arsip atau dokumentasi yang relevan dengan permasalahan penelitian. Data ini dapat diperoleh melalui penyelenggara pemilukada pemerintah daerah serta laporan dari media massa yang terkait dengan issue penelitian. 46
4.
Teknik pengumpulan data a. Observasi Observasi merupakan suatu pengamatan yang sistematis yang bersifat fisik
maupun non fisik dengan menggunakan indera atau nalar, terutama dalam mengalami dan menafsirkan gejala-gejala yang akan berhubungan dengan objek penelitian. b. Wawancara mendalam (indepth interview) Wawancara langsung dilakukan secara mendalam (in depth interview) dengan bertatap muka langsung antara penulis dengan sumber informasi.Wawancara dilakukan dengan kerangka pertanyaan tetapi penyajiannya tidak terikat oleh kerangka yang telah disiapkan.Artinya peneliti dapat memperdalam suatu informasi spesifik yang muncul dari informan tetapi tidak ada muncul dalam pedoman wawancara. Wawancara mendalam terhadap informan dilakukan untuk menjawab fokus permasalahan yang diteliti yaitu, menjelaskan motif dari keterlibatan birokrat dalam pemilukada di kota pekanbaru. Wawancara dilakukan terhadap pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan topik penelitiaan seperti: birokrat jajaran Camat se-Kota Pekanbaru, Lurah, Panitia Pengawas Pemilihan Umum Kepala Daerah kota Pekanbaru (Panwaslu), Komisioner KPU Kota Pekanbaru, anggota KPU Kota Pekanbaru, mantan tim sukses dari masingmasing kandidat calon kepala daerah, beberapa masyarakat Kota Pekanbaru serta wartawan media Tribun Pekanbaru. c. Dokumentasi Dokumentasi dalam penelitian ini terkait dengan data-data sekunder berupa dokumen, koran, literatur-literatur yang relevan dan arsip-arsip lain yang terkait 47
dengan motif keterlibatan birokrat. Dokumen yang terkait dengan topik penelitian seperti: hasil perolehan suara pada pemilukada pertama hingga pemungutan suara ulang, arsip-arsip (Koran,hasil putusan MK). 5.
Analisis data Analisis data dalam penelitian ini adalah suatu proses penyederhanaan data,
sehingga data menjadi lebih mudah dibaca dan diiterpretasikan. Dengan demikian data primer dan data sekunder yang diperoleh kemudian dianalisis, yaitu proses mengubah data menjadi sesuatu yang lebih bermakna atau berarti. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menelaah seuruh data. Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan teknik deskriptif kualitatif: a.
Data yang diperoleh dilapangan dirangkap dan memilih hal yang penting serta mencari tema dan polanya. Hasil wawancara terhadap informan disaring sesuai kebutuhan dan dilakukan analisis untuk menjelaskan kecenderungan yang diperoleh dari hasil analisis kualitatif.
b.
Data yang direduksi disajikan dalam bentuk naratif, hubungan antar kategori dan sejenisnya kemudian disusun dalam pola hubungan sehingga mudah dipahami.
c.
Setelah menganalisis kemudian menarik kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan maslah yang dikemukakan.
48
6.
Sistematika Penulisan Tesis ini ditulis dalam lima bab, yaitu: BAB I Pendahuluan, bab ini mendeskripsikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, kerangka teori, kerangka pikir dan metode penelitian serta sistematika penulisan yang akan digunakan dalam menganalisis permasalahan. BAB II, bab ini akan menguraikan tentang pemilihan kepala daerah secara umum dan Pemilihan kepala daerah yang terjadi kota pekanbaru pada tahun 2011. BAB III, akan mendeskripsikan birokrasi dalam pemilukada serta keterlibatan birokrat dalam politik. BAB IV akan menguraikan motif dari birokrat untuk secara langsung dan aktif terlibat dalam pemenangan calon kepala daerah Kota Pekanbaru. BAB V akan berisi kesimpulan dari motif birokrat terlibat aktif dalam pilkada serta implikasi teoritik untuk dijadikan acuan serta menjadi landasan penting bagi penulisan yang lebih konstruktif kedepannya.
49