BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pada tanggal 6 dan 7 September 2014, akun-akun Twitter fanbase1 JKT48
ramai diserbu mention 2 dari berbagai (akun) penggemar JKT48 di seluruh Nusantara. Pasalnya pada dua hari tersebut digelar Pajama Drive Revival Show di teater JKT48, sebuah pertunjukan impian penggemar JKT48. Dikatakan impian karena penggemar telah menentukan siapa saja 16 dari ke-71 anggota JKT48 3 yang dapat membawakan lagu panggung Pajama Drive di dua hari itu. Alkisah terpilihlah 16 anggota melalui voting sms, dan terwujudlah pertunjukan impian tersebut. Kebijakan manajemen untuk menyiarkannya secara live streaming berbayar membuat keriuhan dalam dunia fanbase Twitter menjadi semakin meriah. Penggemar jauh merasa mendapat “nutrisi”-nya tanpa harus menunggu konser di kota mereka. Tidak hanya dua hari itu saja. Para penggemar JKT48 sudah sering meramaikan jagat media sosial. Tercatat pada acara HUT RCTI yang ke-25 Sabtu 23 Agustus 2014, meski penggemar JKT48 mendapat sambutan kurang sedap dari
1
Fanbase pada awalnya tidak berbeda dengan sebutan fandom (fans kingdom), di mana merupakan kumpulan penggemar atas hal tertentu, penyanyi atau grup idola misalnya. Namun dengan kemajuan teknologi telekomunikasi serta perubahan cara berkomunikasi dan berinteraksi, kini fanbase dapat juga diartikan sebagai wadah untuk penggemar atas suatu hal berinteraksi – biasanya dalam bentuk forum atau akun-akun jejaring sosial dengan beragam informasi dan interaksi antar anggota/pengikutnya. 2 Mention adalah suatu cara berkomunikasi dalam Twitter, yaitu dengan menyebut nama pengguna yang dimaksudkan. 3 Per September 2014.
1
2
Elf, fandom Super Junior, yang juga hadir mengisi acara tersebut, tagar4 Twitter dari penggemar JKT48 masuk dalam (Twitter) trending topic world wide56. Bila demikian yang terjadi dalam dunia “maya”, setidaknya keadaan di dunia “sebenarnya” juga cukup riuh. Sebagai grup yang masih tergolong pendatang baru di industri musik Indonesia, JKT48 telah memiliki prestasinya sendiri. Album pertamanya Heavy Rotation laris terjual 70.000 keping hanya dalam 3 bulan setelah peluncurannya Februari 2013 7 , bahkan sebuah situs belanja musik Indonesia dalam sehari saja berhasil menjual 14.000 kopi dari 15.000 album yang disediakan 8 . Pada 12 Juni 2014 album-mini JKT48 (single keenam) Gingham Check berhasil menduduki peringkat kedua dalam tangga lagu iTunes Indonesia9. Anugerah Musik Indonesia (AMI) Award 2014 kemudian memberikan JKT48 dua penghargaan pada Juni 2014, sebagai artis penampil grup vokal dan produser
4
Tagar atau hashtag merupakan kata atau frase tanpa spasi yang diawali tanda pagar untuk menandai suatu hal yang sedang dibicarakan, utamanya dalam micro-blogging seperti Twitter, Facebook, dan jejaring sosial lainnya. 5 http://jkt48news.com/jkt48-menjadi-trending-topic-meski-disambut-kurang-baik-oleh-elf/ diakses 29 September 2014. 6 Trending topic (topik yang sedang tren), merupakan hashtag yang sedang menjadi tren, biasanya berkorelasi dengan regional tertentu (Indonesia misalnya) dan yang paling umum adalah level internasional atau worldwide. Yang perlu digaris-bawahi adalah algoritma tren dalam Twitter tidak melihat seberapa banyak jumlah suatu topik (biasanya hashtag) dalam suatu kurun waktu, namun “identifies topics that are immediately popular” (https://support.twitter.com/articles/101125-faqsabout-trends-on-twitter# diakses 29 September 2014) yang artinya mesin tersebut memantau lonjakan sebuah topik, dan bukan kuantitasnya. 7 https://twitter.com/HITSRec/status/332877255904743426 diakses 1 Oktober 2014. 8 http://showbiz.liputan6.com/read/543070/penjualan-album-perdana-jkt48-laris-manis-subarashii diakses 1 Oktober 2014. 9 http://www.republika.co.id/berita/senggang/musik/14/06/20/n7gupr-sehari-dirilis-album-terbarujkt48-langsung-jadi-raja-di-itunes-indonesia diakses 1 Oktober 2014. iTunes merupakan perangkat lunak keluarga Apple, Inc. yang selain dapat digunakan untuk memutar dan mengatur isi lagu, juga menyediakan layanan pembelian musik secara online. Masyarakat Indonesia baru dapat membeli via perangkat ini sejak Desember 2012 dengan dibukanya Apple Store Indonesia (http://tekno.kompas.com/read/2012/12/04/10204760/akhirnya.bisa.beli.lagu.di.itunes.store.indone sia diakses 1 Oktober 2014). Tangga lagu iTunes dibuat berdasarkan jumlah penjualan via piranti tersebut.
3
rekaman terbaik 10 . Seribu penggemar lebih berhasil dikumpulkan di Hall B Senayan, Jakarta, pada konser ulang tahun pertama tim keduanya, tim KIII, 11 Juni 201411. Kurang lebih sejumlah tiket konser yang sama juga berhasil dijual dalam konser oleh tim JKT48 yang sama (KIII), kali ini merupakan konser yang digelar di Malang pada 27 September 201412. Kehadiran JKT48 di Indonesia pada semester akhir 2011 sebenarnya merupakan kelanjutan dari kehadiran budaya pop “asing” lain yang telah mendahuluinya. Telenovela dari Amerika Latin pernah marak di dekade 1990-an dan 2000-an. Juga di dekade yang sama demam boyband asal Amerika Serikat dan Eropa melanda kaum muda (kebanyakan perempuan, untuk tidak mengatakannya perempuan saja). Yang masih hangat “menyerang” adalah Korean Hallyu (gelombang Korea – seharusnya gelombang Korea Selatan) yang sangat diminati dalam bentuk drama, reality show, serta berbagai fenomena girlband dan boyband-nya. Budaya pop Asia Timur lain, Jepang, malah sudah tiba dan populer lebih dahulu di Indonesia. Hari Minggu seakan tak lengkap tanpa kehadiran Doraemon di TV. Great Teacher Onizuka13 pernah menjerat hati kawula mudamudi. JKT48 memakai istilah idol group sebagai distingsi yang dihadirkan keluarga 48 dari Jepang untuknya; istilah yang digunakan sebagai penolakan atas pensejajaran dengan girlband-girlband ala Korea Selatan yang marak menghiasi 10
http://hai-online.com/Hai2013/Entertainment/Music/News/JKT48-Persembahkan-2-Piala-AMISomeone-Special-di-Jepang diakses 1 Oktober 2014. AMI Award memberi penghargaannya tidak melalui pengumpulan suara (voting), namun dengan sistem penjurian. 11 http://journalistjkt48.blogspot.com/2014/06/1stanniversary-team-kiii-jkt48-konser.html diakses 1 Oktober 2014. 12 https://twitter.com/Yona_JKT48/status/513990999039700993 diakses 1 Oktober 2014. 13 Salah satu serial drama televisi asal Jepang yang disiarkan di Indosiar tahun 90-an.
4
layar kaca Indonesia (Teen Magazine 2012: 14). Idol group merupakan istilah yang sudah jamak dalam budaya pop Asia Timur. Lee Soo-Man, pendiri S.M. Entertainment, agen talenta terbesar di Korea Selatan yang melahirkan si populer Girls Generation, menjelaskan bahwa pembentukan idola pop (pop idol) merupakan sebuah teknologi budaya (cultural technology)14 yang membutuhkan investasi jangka panjang dan proses yang lama15. Di sana calon grup idola harus digembleng sedemikian rupa dari kecil dengan segala kedisiplinannya, dalam waktu bertahun-tahun, dan tidak akan melakukan debutnya bila belum dinyatakan siap (Korean Culture and Information Service 2011: 63). Hematnya mereka bukan bintang “karbitan”. Ini berbeda dengan grup idola oleh Yasushi Akimoto, produser keluarga 48. Grup idolanya besar bersama penggemar.16 Asuhannya memulai debut dari nol, tampil di depan penonton hampir setiap hari (dengan memiliki teater sendiri), digembleng, sehingga segala proses menjadi idola sesungguhnya disaksikan oleh para penggemar. Ketika biasanya grup idola asal Korea Selatan hadir di Indonesia dengan medium mati seperti lewat movie video yang ditonton via Youtube, compact disc (CD), ataupun data bajakan yang tersebar di internet, serta lewat majalah, siaran televisi dan medium tak bernafas lainnya, Yasushi tak hanya berhenti di situ. Ia juga memilih media hidup – manusia –
untuk menjadi kepanjangan tangan
AKB48, grup 48 yang pertama yang dibentuk di Akihabara, Tokyo. Konsep ini terlihat secara teknis lebih menguntungkan (dibandingkan grup idola asal Korea 14
http://www.koreatimes.co.kr/www/news/art/2012/08/201_88764.html diakses 3 Oktober 2014. http://www.berfrois.com/2012/09/joel-gn-play-pop/, diakses 3 Oktober 2014. 16 http://jkt48.com/about/akb48?lang=id diakses 3 Oktober 2013. 15
5
Selatan). Fans fanatik AKB48 yang ada di Indonesia dan tidak dapat merasakan tumbuh-kembang idolanya secara langsung di Akihabara, Tokyo, Jepang sana, kini dapat merasakan pengalaman tersebut karena adanya JKT48 yang berbasis di Jakarta.17 Tak terlalu berlebihan kiranya ketika menyebut JKT48 sebagai kepanjangan tangan AKB48. Pasalnya dari ia dibentuk hingga tulisan ini dibuat, belum pernah sekalipun JKT48 membawakan lagunya sendiri. Artinya ia menyanyikan lagu AKB48 yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan koreografi yang tak jauh berbeda dari kakaknya tersebut, bahkan pada beberapa pertunjukan kostum dan mimik para anggotanya terasa terinspirasi benar oleh saudari jauhnya tersebut. Ini memang bukanlah hal yang aneh karena sebut saja konsep ini sudah sangat biasa dalam waralaba18 dunia hiburan internasional19. Keluarga 48 merupakan grup idola yang terdiri atas sejumlah besar perempuan muda. Jika JKT48 menyanyikan lagu versi bahasa Indonesia AKB48, 17
http://edition.cnn.com/TRANSCRIPTS/1201/13/ta.01.html diakses 3 Oktober 2014. Waralaba (franchise) menurut Oxford English Dictionary adalah “an authorization granted by a government or company to an individual or group enabling them to carry out specified commercial activities (…)”. Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah no. 16 tahun 1997: “Waralaba adalah perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka penyediaan dan atau penjualan barang dan atau jasa” (www.depkop.go.id/.../pp/UKM02PP_1997_16_WARALABA.PDF diakses 3 Oktober 2014). 19 Benarkah JKT48 waralaba dari AKB48? Manajemennya sendiri, yang berada di bawah PT. Dentsu Indonesia, menolak untuk memberikan informasi dalam bentuk apa pun kepada saya sebagai peneliti. Pernyataan resmi dalam media juga tidak pernah diutarakan. Istilah paling dekat dengan ekspor konsep industri hiburan ini, dengan manajemen operasional yang berbeda dari AKB48 (manajemen AKB48, SKE48, HKT48 adalah AKS di Jepang yang berbeda dari PT. Dentsu), adalah waralaba. Konsep waralaba sendiri sudah begitu jamak di dunia hiburan di Indonesia (dan tentunya dunia). Indonesian Idol misalnya, merupakan usaha waralaba lintas negara Idol yang dibuat dan didistribusikan oleh FremantleMedia; produser totalnya adalah Simon Fuller (Inggris). Selain itu juga terdapat berbagai macam acara televisi lainnya seperti Who Wants to Be a Millionaire, Take Me Out Indonesia, Rising Star Indonesia, MasterChef Indonesia, X Factor Indonesia, The Voice Indonesia, dan lain-lain, yang bereferensi pada acara serupa di negara tertentu. 18
6
ini berarti JKT48 memerankan “kedirian” AKB48 yang tercermin pada lagu yang mereka bawakan. Dari sini terlihat semacam sebuah “pembentukan” identitas perempuan secara lintas negara. Lebih dari itu menjadi menarik bila konteks lagu yang awalnya adalah Jepang (karena lagu tersebut dibuat untuk perempuan Jepang - AKB48), kini dihadirkan dengan wajah dan bahasa lokal, bahasa Indonesia, dan dengan demikian turut berkelindan dengan konteks di mana ia kini dijual (konteks Indonesia). Identitas perempuan inilah yang menjadi signifikan dalam keberadaan JKT48 yang terklasifikasi dalam budaya pop. Dalam Cultural Studies, budaya pop menjadi situs yang sangat penting karena di dalamnya wacana-wacana diproduksi secara terus-menerus – wacana-wacana yang saling bertentangan, afirmatif, ataupun yang memiliki posisi tawar. Identitas perempuan dengan demikian juga tanpa henti diwacanakan dalam penampilan-penampilan JKT48. Di dalamnya norma-norma gender muncul setiap saat, seakan memiliki “perintah” bagaimana menjadi perempuan yang “benar” itu. Salah satu penampilan JKT48, seperti yang dibahas di awal subbab adalah Pajama Drive Revival Show yang menampilkan lagu panggung Pajama Drive dengan pemilihan anggota penampil oleh para penggemar. Lagu panggung Pajama Drive merupakan sekumpulan lagu teater yang dibawakan pertama kali oleh setiap generasi JKT48 dengan status sebagai siswi pelatihan (trainee) sebelum mereka memulai karirnya sebagai anggota tim tertentu, dengan periode tertentu. Sebut saja seluruh anggota awal tim J merupakan generasi pertama JKT48 yang sebelum terbentuknya tim tersebut para anggota menampilkan
7
Pajama Drive selama tujuh bulan sejak Mei hingga Desember 2012. Demikian halnya dengan generasi kedua yang kemudian sebagian besar di antaranya menjadi anggota tim KIII, telah membawakannya dari Januari hingga Mei 2013. Generasi paling baru, generasi ketiga, membawakan lagu panggung ini sejak bulan Mei 2014 hingga 24 Januari 2015, yang lalu dilanjutkan dengan status tim baru, tim T. Pajama Drive dengan demikian menjadi semacam penentu kesan pertama atas JKT48 pada (calon) penggemarnya. Tahun 2014 merupakan kali kedua diadakan Pajama Drive Revival Show. Kali pertamanya adalah setahun sebelumnya, tepatnya pada 7 dan 8 September 2013. Acara ini juga dimaksudkan sebagai perayaan ulang tahun teater mereka di lantai 4 mal fX Sudirman (pertama digunakan pada 8 September 2012). Dua hari Pajama Drive Revival Show 2014 akhirnya menjadi hal yang sangat berarti bagi tim J dan tim KIII, karena merupakan wadah bagi mereka untuk bernostalgia atas lagu panggung pertama dalam karir mereka. Meski demikian acara ini juga penting bagi generasi ketiga karena seakan memberi gambaran bagaimana senior mereka membawakan lagu panggung tersebut. Di lain pihak pertunjukan tersebut juga menjadi tolak ukur bagi kepopuleran anggota tertentu sebab hanya 16 dari keseluruhan anggota JKT48 yang mendapat “kehormatan” tampil di dua hari spesial itu. Hal yang kemudian patut digarisbawahi adalah bagaimana dengan acara tersebut potensi adanya tindak bernostalgia tidak hanya terjadi pada anggota JKT48, namun juga utamanya menyasar penggemar. Dan tidak hanya sekedar nostalgia biasa, keberadaan acara yang hingga kini sudah diulang dua kali tersebut
8
seakan mengarahkan anggota dan penggemar untuk senantiasa mengingat status awal karir JKT48 dan dengan demikian mempertegas kembali posisi keduanya (anggota dan penggemar) dalam ke-48-an – semacam penegasan loyalitas pada bendera JKT48. Sebuah nilai plus yang disasar oleh manajemen. Akhirnya dari kisah singkat grup idola perempuan ini melangsungkan pertunjukan revival lagu panggung teaternya, menjadi perlu untuk mengetahui bagaimana identitas perempuan diwacanakan dalam pertunjukan tersebut. Konsep performativitas identitas gender Judith Butler digunakan sebagai naungan penelitian ini. Butler melihat bahwa wacana secara performatif, yaitu praktikpraktik pengulangan dan pengutipan, menghasilkan efek-efek yang dinamai sebagai identitas tersebut (Butler 1993: 2), dan identitas secara performatif dibentuk oleh “ekspresi-ekspresi” dari identitas tersebut (1999: 33). Dalam konsep ini berarti identitas perempuan merupakan sekumpulan tindakan-tindakan dengan efek-efek tertentu yang dikonstruksi oleh wacana.
1.2
Rumusan Masalah Terkait dengan latar belakang yang telah dijabarkan, penelitan ini berusaha
menjawab dua pertanyaan berikut: 1. Bagaimana identitas perempuan secara performatif diproduksi oleh wacana dalam pertunjukan JKT48 Pajama Drive Revival Show 2014? 2. Bagaimana konteks sosial dan kultural atas performativitas tersebut?
9
1.3
Tujuan Penelitian 1. Menjelaskan bagaimana identitas perempuan secara performatif diproduksi oleh wacana dalam pertunjukan JKT48 Pajama Drive Revival Show 2014. 2. Menjelaskan konteks sosial dan kultural atas performativitas identitas tersebut, mengingat bahwa menjadi perempuan bukanlah hal alamiah, namun selalu terkait dengan latar belakang sosial dan budaya.
1.4
Tinjauan Pustaka Penelitian tentang grup idola telah banyak dilakukan, khususnya bahasan
mengenai idol di Jepang. Namun kiranya studi yang paling populer dan yang cukup mendahului tentang bintang pop perempuan adalah tentang identitas Madonna. Beragam teori telah digunakan untuk mengungkapkan penampilan Madonna. Ann Kaplan (1993) dalam esainya Madonna Politics: Perversion, Repression or Subversion? Or Mask and/as Master-y memberikan analisis yang cukup menjelaskan (via Brooks 2009: 223). Kaplan membahas Madonna dengan teori topeng Bakhtin (1968) yang dikaitkan dengan identitas ala Foucauldian yang tidak stabil (Foucault 2000). 20 “Fenomena Madonna” dideskripsikannya dalam tiga pendirian dominan: perversi atau perbuatan seksual tak wajar, penindasan, dan situs perlawanan. 20
Bakhtin menempatkan bahasan topeng dalam konteks sejarah: dalam romantisisme topeng sangat mengerikan karena menyembunyikan dan mendistorsi the real, namun dalam legenda rakyat kuno topeng digunakan sebagai permainan, pernyataan kedapat berubahan dan ketidak pastian subjek. Kacamata genealogis Foucauldian dipakai Kaplan untuk melihat topeng Bakhtin tersebut: dalam sejarah pertunjukan topeng memperlihatkan bahwa tak ada identitas yang stabil (via Brooks 2009: 326).
10
Pada
pendirian
pertama
yang
melihat
Madonna
sebagai
penampilan/perbuatan tak wajar berujung pada penyensoran video, iklan, dan beberapa penampilannya di sejumlah negara. Contohnya penyensoran iklan Like a Player oleh Pepsi-Cola meski Madonna telah dibayar 5 juta dolar Amerika. Pada ihwal ini Madonna dianggap sebagai ekshibionis murahan, seorang yang aneh dan media massa tak dapat melihat tingkatan fantasi Madonna (ibid.: 224). Artinya kemungkinan makna lain atas penampilan-penampilannya tidak diakomodir, entah dengan sengaja maupun tidak. Penindasan adalah respons di mana Madonna dilihat sebagai fetisisme untuk menggantikan suatu objek phallus. Bintang sebesar Madonna akan mengisi ruang hasrat ini (ibid.: 225). Melihat penampilan Madonna sebagai situs perlawanan, Kaplan menggunakan usaha Butler dalam memperluas kategori-kategori identitas. Butler (1999: 44) melihat bahwa heteronormativity (heteronormativitas) merupakan kekuasaan (dengan aktor utama hegemoni maskulin) yang dinaturalisasi dan direifikasi (is reified) agar ia tampak stabil. Madonna menampilkan ekspresi-ekspresi yang menggugat heteronormativitas tersebut dan dengan demikian satu jalur dengan usaha Butler untuk memperluas kategori identitas. Pada video musik Justify My Love Madonna menentang definisi tubuh dan gender tradisional, yaitu dengan menampilkan kekasih-kekasihnya yang berbagai gender dan ketika menjadi Cleopatra, ia masturbasi di depan pengawal laki-laki berpayudara palsu besar (Barker 2011: 272). Topeng Bakhtinian lalu Kaplan gunakan untuk menyimpulkan kasus ini, yaitu bahwa citra Madonna (via Brooks 2009: 227): 1) menyingkap fakta bahwa
11
tak ada diri yang esensial yaitu dengan beragam topeng yang ia kenakan, dengan demikian tak ada feminin yang esensial; 2) adalah muslihat, dengan demikian ada diri sadar Madonna yang menggunakan topengnya untuk mereproduksi fantasifantasi patriarkal; 3) memberikan contoh yang positif bagi perempuan muda untuk menolak feminin patriarkal yang pasif: menyingkap kedoknya dengan citra perempuan yang kuat dan otonom. Kaplan kemudian membuka diskusi tentang masalah komodifikasi Madonna dalam irisannya dengan gender dan subjektivitas: bahwa apa yang ditampilkan Madonna sangat bisa jadi meleset dan malah menguatkan binerisme heteronormativitas yang telah ada. Dicontohkan seperti video Justify My Love di mana adegan lesbian malah dapat menjadi sasaran tatapan laki-laki (ibid.). Penelitian kedua terangkum dalam disertasi Hiroshi Aoyagi yang kemudian dibukukan, Islands of Eight-Million Smiles: Pop-Idol Performances and the Field of Symbolic Production (1999). Aoyagi menghadirkan semacam narasi komprehensif tentang idola di Jepang. Kesejarahan tentangnya dibahas cukup detail, demikian pula dengan usahanya menggambarkan sistem industri idola di Jepang dan juga globalisasi atas industri hiburan tersebut (di Cina, Hong Kong, Taiwan, Korea Selatan dan Vietnam). Studinya berfokus pada idola (baik grup maupun solo) perempuan di Jepang dan dilakukan secara etnografi produksi. Idola di Jepang adalah semacam bintang pop muda yang ditujukan menjadi role model kehidupan remaja. Salah satu babnya (bab IV) membahas tentang konstruksi seksualitas dan gender dari idola perempuan (muda) dalam dislipin laki-laki (male discipline).
12
Dikatakan demikian karena produser dalam dua agen idola perempuan yang menjadi subjek penelitian dalam bab tersebut adalah laki-laki, dan ranah kapitalisme di Jepang juga dikatakan masih didominasi oleh laki-laki (ibid.: 112). Dua agen tersebut menghasilkan idola perempuan dengan karakter berbeda. Agen petama disebutkan menghasilkan idola yang kawaii (atau imut-imut dalam bahasa Indonesia), yaitu yang dideskripsikan dengan keperempuanan yang pasif, patuh, dan seperti anak kecil, sedang yang kedua direpresentasikan oleh idola-penari yang aktif, stylish (bergaya) dan berpenampilan sangat sensual (ibid.: 154). Dengan demikian Aoyagi menunjukkan bagaimana industri menjadi sebuah aparatus yang mendefinisikan feminitas idola remaja perempuan, semacam tempat di mana norma regulatif dijalankan, dan dianut oleh individu di dalamnya (termasuk penggemar). Aoyagi kemudian menghadirkan diskusi dalam konteks gender dalam kehidupan di Jepang. Idola perempuan yang patuh merupakan representasi identitas perempuan tradisional di mana feminitas yang dirangkum di dalamnya merupakan syarat idaman untuk seorang istri pada pandangan tradisional, yaitu “good wife, wise mother” (ryōsai kenbo21). Sedang yang kedua dinyatakan sebagai perempuan yang melawan berkenaan dengan gerakan feminis di Jepang tahun 1980-an yang mengusung pemberdayaan perempuan utamanya penolakan atas domestikasi perempuan oleh negara. Seksualitas seakan menjadi kontrol milik perempuan pada varian idola kedua. Tapi kemudian Aoyagi juga memaparkan bahwa meskipun aktivis perempuan Jepang berimbas pada peran gender dalam kehidupan sosial, bias gender masih terjadi di mana-mana. 21
Merupakan program pemerintah Jepang sejak 1890-an untuk menghasilkan generasi terbaik (yaitu dari anak yang diasuh secara baik oleh ibu yang baik) demi mencapai negara modern yang dapat bersaing dengan barat.
13
Perempuan masih sering menjadi peranan sampingan daripada yang utama (ibid.: 151). Demikian juga ia membahas idola perempuan yang sensual, yaitu meskipun terlihat lebih berdaya, mereka membentuk agensinya dalam kerangka industri yang ada, yang pada kenyataannya terus-menerus menjadikan komoditas dan memanipulasi seksualitas perempuan (ibid.: 153). Studi ketiga adalah Muh. Ridhlo Al Qodri (2011) yang menganalisis video musik Godai Aku Lagi oleh penyanyi pop perempuan Indonesia, Agnes Monica, dengan pendekatan semiotika mitos Roland Barthes. Dalam tesis masternya yang berjudul Kekar Beracun: Representasi Tubuh dalam Video Musik “Godai Aku Lagi” Agnes Monica itu, Qadri menjabarkan bagaimana signifikasi tubuh ditonjolkan dalam video tersebut dan dengannya diperoleh konstruksi ideologi gender yang menyusun mitos dalam tatanan penandaannya. Agnes Monica dikatakan melawan dominasi seksual laki-laki dengan konfrontasi tubuh yang dimenangkan perempuan, tapi usahanya dilakukan dengan menempelkan simbolsimbol negatif dan jahat pada tubuh perempuan. Penanda negatif tersebut yang paling signifikan adalah perempuan beracun yang digambarkan dengan Agnes Monica berkostum Poison Ivy (secara harfiah berarti perempuan beracun). Poison Ivy adalah karakter dalam Batman yang mematikan dengan racun biologisnya. Dengan kesinambungan penanda yang lain seperti salah satunya adalah gerakan meliuk seperti ular yang dilakukan Agnes, Qadri mengacu pada beberapa mitos untuk memaknai perempuan beracun, di antaranya mitos perempuan dan ular dalam Kristen; lalu dalam mitos Yunani ia menyebutkan tiga perempuan ular: Medusa dan Gorgon yang sama-sama berambut ular, serta Echidon wanita
14
setengah ular; kemudian wanita ular dalam komik Snake Woman (India); wanita racun dunia dalam beberapa lagu di Indonesia; dan terakhir mitos Nyi Roro Kidul di Jawa (ibid.: 52). Analisisnya berakhir pada kesimpulan bahwa tanda-tanda dalam video tersebut, meskipun terlihat seakan melawan dominasi patriarki, secara bersamaan juga melestarikan dan “memberi kehidupan” pada ideologi tersebut. Konteks sosial perkara gender yang dijabarkan Qadri kurang terlihat begitu detail, khususnya konstruksinya di Indonesia, karena ditujukan untuk meneliti susunan mitos dalam video yang ia analisis. Penelitian Susi Gustina berjudul Performativitas Penyanyi Perempuan dalam Pertunjukan Musik
(2012) memperlihatkan bagaimana tiga penyanyi
perempuan (Nyak Ina Raseuki (Ubiet) yang bergenre etnik/lokal, Sundari Soekotjo (Unti) bergenre keroncong, dan Ratna Kusumaningrum (Aning) yang bernyanyi
seriosa)
menampilkan
subjektivitas
dan
feminitasnya
dalam
pertunjukan musik. Kerangka postrukturalis22 dikatakan di bab pendahuluannya akan dipakai untuk menganalisis. Di dalamnya dibahas secara rinci juga teori performativitas Judith Butler23 yang dikombinasikan dengan teori habitus Pierre Bourdieu 24 . Hanya keyakinan Gustina di awal tulisannya tentang kerangka postrukturalis tersebut kurang terbukti ketika ia menganalisis data yang ia peroleh. 22
Merupakan gerakan pemikiran yang mengkritik metafisika barat dengan melawan dan “membedah” oposisi biner, juga dengan membongkar dasar pemikirannya yang bertumpu pada kehadiran sebagai pusat segalanya (Salih 2002: 21). 23 Seperti yang telah dijelaskan di latar belakang, Butler melihat bahwa wacana secara performatif yaitu melalui praktik-praktik pengulangan dan pengutipan, menghasilkan efek-efek yang dinamai sebagai identitas (Butler 1993: 2). Lebih jelasnya akan dibahas di subbab landasan teori. 24 Bourdieu (1984) membahas bagaimana selera sangat terkait dengan tatanan sosial, merupakan hal yang tidak netral, dan distrukturasi oleh habitus. Dengan demikian keberadaan distingsi sosial selalu terkait dengan habitus kelompok-kelompok sosial yang ada, yang dimungkinkan oleh penguasaan kapital. Empat macam kapital menurut Bourdieu di antaranya adalah kapital kultural, sosial, ekonomi, dan simbolik.
15
Postrukturalis, dan terlebih konsep Judith Butler yang sarat akan wacana ala Foucauldian terkait hubungannya dengan performativitas identitas25, tidak terlalu dipakai dalam melihat fenomena yang ia teliti. Daripada dikatakan membahas pervormativitas penyanyi perempuan, studi Gustina lebih baik disebut sebagai studi komparatif mengingat apa yang ia lakukan adalah semacam membandingkan sejarah hidup dan kualitas tiga penyanyi yang ia teliti secara life-history. Mungkin karena posisinya sebagai peneliti seni, sehingga ia seakan mendapat otoritasnya untuk menilai mana penyanyi yang lebih baik dan tidak lebih baik, atau mana sejarah penyanyi yang lebih baik dan mana yang tidak lebih baik (sehingga menghasilkan yang menurutnya baik). Misalnya Ubiet dikatakan lebih memiliki kompetensi estetik daripada Unti dan Aning, dan dua terakhir disebut kurang dapat memperlihatkan totalitasnya dalam musikalitas (ibid.: 343, 397). Posisi tersebut menjadi berbahaya karena studinya lebih bermakna penghakiman (judgemental) di mana nilai yang dianut peneliti sangat kental terasa, sedang sepertinya Gustina lupa bahwa apa yang disebut baik atau tidak adalah semata konstruksi. Juga yang menarik perhatian adalah pembahasannya tentang subjektivitas dan feminitas penyanyi yang dibahas tanpa menyangkutpautkan konstruksi dua hal tersebut dalam wacana-wacana yang menaunginya. Ini sangat disayangkan karena sebuah konsep seakan disertakan sebagai polesan luar saja, namun tidak dipakai sebagai pisau untuk menganalisis fenomena yang ia teliti.
25
Butler (1999) mengembangkan teori Performativitasnya dengan konsep wacana Faucault yang melihat bahwa tidak ada identitas yang stabil (Foucault 2000) dan bahwa identitas adalah efek dari wacana (Mills 2003: 70). Tentu tidak sesederhana ini. Penjelasan yang lebih memadai akan dibahas di landasan teori.
16
Saya tidak meneliti kualitas musikal JKT48, seperti yang (secara tidak langsung) dilakukan Gustina terhadap tiga penyanyi perempuan. Penelitian saya mencoba melihat performativitas identitas perempuan, seperti yang pada awalnya dibidik oleh Gustina tapi kemudian luput ia kerjakan. Penjabaran tentang konteks sosial terkait dengan wacana yang membentuk identitas perempuan dalam penelitian saya akan memberikan pengayaan terhadap hasil penelitian Qadri yang minim konteks sosial.
1.5
Landasan Teori
1.5.1 Wacana Ketika Saussure lebih memilih menganalisis “struktur terdalam” suatu bahasa, langue, ia mendapat kritiknya. Pasalnya bagi Saussure mengeksplorasi langue
26
berarti juga (akhirnya) dapat menganalisis kebudayaan dengan
pendekatan saintifik (Hall 1997: 34). Saussure sendiri enggan mengurusi parole karena menurutnya parole mustahil untuk dianalisis secara sistematis (Budiman 2002: 92). Padahal parole itu justru merupakan praktik dari bahasa, dan bahasa, entah langue maupun parole yang disebut Saussure tersebut, kiranya bukanlah entitas tertutup yang dapat dibahas seperti ilmu pasti dengan postulat dan hukumhukumnya. Jadi adalah ilusi ketika ingin mendekatinya dengan jalur saintifik 26
Langue, dikontraskan dengan parole, merupakan sistem bahasa dengan aturan dasar dan kodekode di mana suatu semesta (budaya) dapat menghasilkan kalimat yang baik (Hall 1997: 33). Sebagaimana aturan lainnya, ada konvensi kultural yang menjadi landasannya. Ini berarti ada shared meaning di antara pemakainya. Karena merupakan institusi sosial, ia tak dapat seenaknya diubah atau pun dirancang oleh individu (ibid.: 34; Budiman 2011: 168). Sedang parole menurut Saussure adalah level “permukaan bahasa”, di mana individu-individu melakukan tindak tutur (speech act). Di sini aturan dan struktur langue dipakai dengan beragam kombinasi kebebasan level individu (Hall 1997: 34). Meski jumlah tuturan itu tak terbatas, ada tanda-tanda identik yang berulang yang dapat menjadi elemen dari langue (Budiman 2002: 86).
17
(Hall 1997: 35). Parole atau tindak tutur dalam pengertian paling luasnya, yang tak terbatas bentuknya, yang tersebar pada level individu-individu inilah yang biasa disebut sebagai wacana (Budiman 2002: 83). Foucault membawa wacana sebagai fokus kajiannya (bersama fokus lainnya: kuasa dan pengetahuan). Tentu pemahaman baru dilekatkan pada istilah wacana (discourse27) (Foucault 2002: 90). Meski ia akui sendiri ada tiga makna wacana yang ia rumuskan dalam bukunya The Archaeology of Knowledge28, kirakira wacana dapat diartikan sebagai “sejumlah pernyataan-pernyataan efektif (baik terucap maupun tertulis)” (ibid.: 29) yang mengikuti aturan-aturan tertentu. Tapi lebih baik melihat wacana tidak dalam pengertian sesederhana sebagai kumpulan pernyataan-pernyataan yang saling bertautan saja, sebab wacana sendiri kiranya adalah beragam praktik yang kompleks yang hadir di mana-mana dan memediasi segala hal dalam hidup ini. Wacana membentuk bagaimana realitas dimaknai, atau menurut Foucault wacana memberi batasan atas persepsi (Mills 2003: 55). Wacana dengan demikian memproduksi pengetahuan dan makna dikonstruksi melalui wacana, termasuk di dalamnya subjek. Juga ini berarti tidak ada subjek yang di luar wacana, atau pun mendahului wacana. Ada praktik yang selalu dilakukan demi kelangsungan hidup suatu wacana, ada juga yang bertujuan sebagai batasan dan menegaskan wacana 27
Dari bahasa Perancis discours di antaranya dalam Mills (2004: 2) saat ia mengutip kamus Perancis Collins Robert Concise: “discours: a) speech [….]; b) discours direct/indirect: direct/indirect speech (linguistics); c) discours: (philosophical treatise); discourir: […]: to discourse; to hold forth upon; to chat (pejorative)”. 28 Yaitu sebagai “general domain of all statements”, sebagai “groups of statements”, atau juga “regulated practice that accounts for certain number of statements” (Foucault 2002: 90). Definisi terakhir menjadi yang teristimewa di mata para teorisi (Mills 2004: 6). Namun yang paling signifikan kiranya adalah penekanannya pada kespesifikan konteks (ruang dan waktu, dan dengan demikian historis) ketika pernyataan itu muncul (Foucault 2002: 98; 131).
18
tersebut
(dari
wacana
lain)
dan
berusaha
menghentikan
peredaran
pernyataan/wacana lainnya (ibid.: 54). Misalnya, praktik agama tertentu yang melarang dan bahkan berusaha “membasmi” praktik homoseksual. Maka wacana juga mendefinisikan praktik-praktik tersebut. Ia memiliki aturan-aturan yang harus dipenuhi untuk terangkum di dalamnya. Ada praktik penerimaan dan penyangkalan yang senantiasa dilakukan/diulang agar sebuah wacana tetap terdefinisikan, agar tetap ada. Kinerja inklusi-eksklusi ini merupakan sistem kerja yang penting dalam wacana dengan catatan definisi aturan itu bukan merupakan sistem tertutup yang tak dapat berubah mengingat sekali lagi wacana ada karena proses inklusi eksklusi – ada praktik-praktik dengan muatan berbeda yang selalu dihadapinya sehingga tidak menutup kemungkinan perubahan definisi29. Fokus Foucault lebih pada praktik pengecualian (ekslusi) ketika berbicara tentang produksi wacana dalam artikelnya “The Order of Discourse” (1981), sebab definisi wacana itu sendiri kiranya lebih terteguhkan karena praktik penyangkalannya atas yang lain. Yang pertama adalah sistem ekslusi eksternal, di antaranya adalah “forbidden speech, division of madness and the will to truth” (ibid.: 55). Sistem terakhir dibahas yang paling banyak karena yang pertama dan kedua telah menjadi tercakup di dalamnya, yang mewujud pada institusi terkini (misalnya universitas, pemerintah, lembaga-lembaga penelitian, atau bahkan media, dan lain-lain), dengan “dukungan instrumental”. Artinya institusi-institusi zaman modern memiliki mekanisme “pemaksaan kebenaran”, klasifikasi yang 29
Kata Mills: “Discourses should not been seen as wholly cohesive, since they always contain within them conflicting sets of statements; ….” (2003: 64; cetak tebal tambahan).
19
benar dan yang salah, yang di dalamnya sudah termasuk pernyataan-pernyataan tentang apa yang dilarang dan apa yang dianggap gila (normal dan tak normal). Yang kedua adalah prosedur eksklusi internal sebagai dasar “klasifikasi, penataan, dan peredaran” wacana (ibid.: 56), di antaranya adalah komentar, pengarang (atau lebih tepatnya author-function), disiplin-disiplin, dan penjernihan (rarefaction) subjek yang berbicara (siapa yang memiliki otoritas ke suatu wacana). Keempat hal ini menjadi penentu siapa yang berwewenang untuk berbicara, bertindak, dan akhirnya menjadi pembeda mana wacana yang “sah” dan yang bukan (Mills 2003: 59). Dengan ini terlihat ada kekuasaan yang berjalan, yang meliputi proses pembentukan wacana via tindakan-tindakan eksklusi. Di dalam praktik tersebutlah kekuasaan menyatakan dirinya. Ia membentuk pengetahuan, dan berarti tak ada pengetahuan tanpa produksi relasi kekuasaan, serta tak ada relasi kekuasaan yang produksi pengetahuan (Foucault sebagaimana dikutip Hall 1997: 49). Karakter utama kekuasaan Foucault adalah menyebar, seperti “kapiler” di jaringan tubuh sosial (Mills 2003: 43). Ia ada di mana-mana dan bukan merupakan kepemilikan (maka tidak juga diperebutkan atau dilimpahkan). Karena kekuasaan berada dalam praktik sosial, sehingga di mana ada kekuasaan di situ ada perlawanan (Foucault 2000: 117). Dalam The History of Sexuality Volume I: An Introduction, ia juga memberi karakter di mana kekuasaan tidak hanya represif, namun juga produktif. Dicontohkan bagaimana di zaman Victorian tindakan seks yang begitu dikungkung dalam ranah publik, untuk tidak dibicarakan dan dibahas, untuk
20
ditabukan, malah membentuk wacana tentang seks itu sendiri. Seks hadir menjadi objek wacana yang diteliti dan dibuat pernyataan-pernyataan tentangnya di beragam lingkup ilmu pengetahuan (kedokteran, psikologi, kependudukan, dll.) Karena pelarangan, seks malah jadi dibicarakan di mana-mana. Konsep wacana Foucault menjadi landasan pertama dalam penelitian ini mengingat beragam praktik wacana terjadi secara silih berganti pada pertunjukan JKT48 dan di dalamnya identitas perempuan dikonstruksi. Mekanisme inklusi ekslusi mewarnai praktik produksi pengetahuan tersebut (yaitu produksi identitas perempuan) dan dengan demikian juga terdapat relasi kekuasaan padanya.
1.5.2 Identitas dan Performativitas Pertanyaan tentang “aku” tak dapat diragukan lagi merupakan pertanyaan yang mendasar dalam kehidupan
manusia. Identitas yang tak jarang
membingungkan karena kedinamisannya. “Aku” tak pernah tetap. Bisa jadi ia menjadi A dan esoknya menjadi B, atau O. Giddens menyebut hal yang demikian ini sebagai sebuah proyek – proyek identitas (1991). Ada diri yang selalu dalam proses dialektika antara narasi masa lalunya, masa sekarang, dan harapan untuk masa depan. “Aku” memang tak pernah absolut. Tapi apakah benar “aku” ada? Apakah benar ada diri yang berpikir dan berkehendak untuk dapat mencapai sebuah identitas tertentu? Pada Foucault jelas tak ada hal di luar wacana, di luar bahasa, mengingat
semuanya
dikonstruksi
melalui
wacana,
melalui
kisah
21
kekuasaan/pengetahuan. Si “aku” pun tak terkecuali. Identitas adalah “efek”, sebagaimana yang ia katakan (seperti dikutip Mills 2003: 70): “the subject who knows, the objects to be known and the modalities of knowledge must be regarded as so many effects of [the] fundamental implications of powerknowledge and their historical transformations.” Butler lebih jauh lagi mengatakan bahwa identitas secara performatif dibentuk melalui wacana. Tetap dalam nuansa Foucauldian, ia memaknai performativitas sebagai “reiterative and citational practice by which discourse produces the effects that it names” (Butler 1993: 2). Efek-efek yang dimaksud itulah sebuah identitas. Ia ada karena ada praktik yang diulang-ulang, dan yang mengacu pada konvensi atau norma-norma yang ada. Konsep Butler tentang performativitas identitas ini kental dengan nuansa seksualitas dan gender, meski pada Bodies That Matter (1993) ia mencoba membahas keterhubungan tubuh berjenis kelamin dengan ras. Contoh berikut mengadaptasi konsep performativitas dalam identitas yang lebih general (bukan gender/seksualitas). Bahasan identitas gender dan seksualitas akan mendapatkan porsinya sendiri di subbab selanjutnya. Seseorang misalnya, dalam kesehariannya sering berpakaian berwarna hijau, beraksesoris warna hijau, tas dan barang-barang yang ia miliki sebagian besar juga berwarna hijau. Ia mendaulat dirinya sebagai penyuka warna hijau sehingga selalu memilih warna ini. Sebagian besar orang lain sudah menduga hal tersebut dan kemungkinan besar tak akan bertanya apakah benar pernyataan bahwa orang yang sering berpenampilan dengan warna tertentu adalah penyuka warna tersebut (demikian halnya dengan seseorang yang dimaksud). Hal ini
22
dianggap lumrah dan maka “benar” karena ada referensinya, yaitu pengulangan praktik serupa: bahwa orang yang suka warna tertentu cenderung menampilkan warna tersebut. Dan praktik atas pendefinisian ini senantiasa diulang sehingga menyukai warna tertentu berarti memiliki korelasi dengan seringnya atas penggunaannya. Padahal menyukai bisa saja tidak ditampakkan (atau rentang kemungkinan yang lain). Namun itu kurang sesuai dengan konvensi yang ada. Bila saya menyukai warna merah namun justru sering berpakaian warna biru, orang akan heran dan memberi label “aneh” pada saya. Label “aneh” ini dengan demikian juga merupakan efek berikutnya atas tindakan saya yang berbeda dari konvensi sosial. Ini berarti suatu tindakan pengutipan dan pengulangan semakin memperteguh norma-norma yang ada, semacam akhirnya terlihat sebagai yang mutlak. Demikian sederhananya contoh identitas yang dikonstruksi secara performatif melalui wacana.
1.5.3 Perempuanpun Performatif Maka gender itu juga performatif, dan adalah “efek institusi, wacana, dan praktik-praktik ketimbang penyebabnya” (Salih 2002: 10). Ini berarti tak ada identitas gender yang mendahului wacana dan Butler mengatakan, “there is no gender identity behind the expressions of gender; that identity is performatively constituted by the very “expressions” that are said to be its result” (1999: 33).30 30
Istilah performatif ini merupakan pembacaan Butler kembali atas ujaran performatif (performative utterance) milik J. L. Austin pada 1955, yang lalu dibaca kembali oleh Derrida pada 1972 (Salih 2002: 63). Ujaran performatif Austin disebut juga illocutionary acts, yaitu ujaran yang sebenarnya melakukan apa yang diutarakan, contohnya jawaban “I do” saat pengantin dinikahkan secara adat barat; kebalikannya adalah prelocutionary acts atau ujaran konstatatif (constative) yang hanya pernyataan deskriptif atau penggambaran (“saya tadi makan”). Menurut Austin, untuk
23
Efek gender secara performatif dihasilkan dan dipaksa oleh praktik regulatif gender (ibid.) dan berada dalam matriks heteroseksual (Salih 2002: 48). Hal ini Butler sebut sebagai compulsory (and naturalized) heterosexuality. Tentu norma tersebut memaksa karena individu diharuskan untuk memiliki identitas gender (dan tak lepas juga jenis kelamin) dalam definisi heteronormatif, yaitu dikotomi maskulin-feminin, perempuan-laki-laki, male-female; bagi yang tidak masuk kategori tentu mendapatkan sanksinya. Dengan demikian individu dipaksa untuk menjadi heteroseksual (ibid.: 49). Menjadi seorang gadis misalnya, merupakan sebuah paksaan sejak dari awal ketika individu tersebut lahir (saat ia dinyatakan sebagai perempuan oleh dokter), dan jauh dari kata memang sudah dilahirkan sebagai seorang perempuan, individu tersebut digadiskan (“girled”) dan terus digadiskan oleh beragam otoritas dalam periode tertentu (dengan “ekspresi-ekspresi perempuan” seperti pakaian warna tertentu, cara duduk yang “sopan”, berkelakuan yang “halus”, dan lain-lain) sehingga kediriannya sebagai seorang gadis itu tampak merupakan sebuah hal yang natural dan yang semestinya. Seperti yang dikatakan Butler: “Consider the medical interpellation which (the recent emergence of the sonogram notwithstanding) shifts an infant from an ‘it’ to a ‘she’ or a ‘he’, and in that naming the girl is ‘girled’, brought into the domain of language and kinship through the interpellation of gender. But that ‘girling’ of the girl does not end there; on the contrary, menjadi performatif suatu ujaran harus memenuhi syaratnya (feliticious – layak): 1) diucapkan oleh pihak otoritatif sesuai konteks, 2) mengikuti konvensi tertentu, 3) intensi si pengucap adalah hal yang penting; bila tidak ia gagal dan tidak ada efeknya (infelicitious). Bagi Derrida yang disebut kegagalan tersebut sebenarnya sudah merupakan fitur tanda-tanda, dan dengan demikian dapat menaruhnya dalam konteks yang tak terduga (ibid.: 91). Maka Butler mengikuti Derrida, menyatakan bahwa untuk menjadi performatif ujaran tidak perlu mengikuti tiga syarat Austin, karena kegagalan yang dimaksud Austin adalah suatu kemampuan untuk meresignifikasi konvensi yang ada – sebuah usaha subversi (ibid.: 100).
24
that founding interpellation is reiterated by various authorities and throughout the various intervals of time to reinforce or contest this naturalized effect. The naming is at once the setting of a boundary, and also the repeated inculcation of a norm.” (1993: 7-8)31 Kemudian lanjutnya: “This is a “girl” however, who is compelled to “cite” the norm in order to qualify and remain a viable subject. Feminity is thus not the product of choice, but the forcible citation of a norm, one whose complex historiocity is indissociable from relations of discipline, regulation, punishment.” (ibid.: 232) Artinya sekali lagi menjadi seorang perempuan adalah menampilkan secara berulang tindakan-tindakan yang dalam norma yang ada disetujui sebagai ekspresi perempuan, dan bila tidak berhasil menampilkannya dengan benar (“do their gender right”) seseorang akan mendapatkan hukumannya, entah berupa hinaan, perlakuan tak adil, ataupun hukuman yang lainnya. Bagi Butler yang disebut jenis kelamin itu sudah merupakan gender, semacam satu paket yang selama ini tak terpisahkan. Bahasan tentang jenis kelamin yang konon natural dan given itu sejak awal sudah selalu dilekatkan dengan kualitas-kualitas yang dimiliki gender (Butler 1999: 10). Orang dikatakan laki-laki dengan kualitas maskulinnya selalu untuk tubuh laki-laki (male), yang berpenis, dan perempuan dengan kualitas feminin selalu untuk tubuh bervagina. Bila memang berbeda, seharusnya ada kemungkinan sebutan perempuan pada tubuh berpenis, atau laki-laki pada tubuh bervagina.
31
Interpelasi (dan hailing) yang dimaksud memang merupakan pembacaan ulang interpelasi milik Althusser dalam bukunya Ideology and Ideological State Apparatuses (1969).
25
Butler lalu memaparkan masalah gender. Gender bermasalah ketika ia tidak dapat mencakup segala kemungkinan kualitas hasrat dan kelamin yang ditampilkan individu (yang di luar binerismenya), seperti yang dicontohkan Butler dengan kasus sosok hermaprodit Herculine yang pernah diangkat Foucault 32 . Kasus Herculine menguak ketidakstabilan kategori-kategori gender, dan dengan demikian jenis kelamin dan gender adalah dua hal yang bukan natural33 – adalah hasil konstruksi sosial, sesuatu yang “phantasmatic” (khayal/tak nyata), dan merupakan yang performatif. Demikianlah maka ia menyebutnya sebagai Gender Trouble. Dengan menunjukkan bahwa heteronormatif yang tampak stabil dan alamiah pada kenyataannya adalah sebuah entitas yang rapuh, di mana usahausaha harus terus-menerus dilakukan lewat beragam institusi, wacana, dan praktik-praktik lainnya agar ia tetap bertahan (sustained), berarti juga bahwa Butler
memperluas
kategori
gender
yang
berada
di
bawah
naungan
heteronormativitas tersebut (Salih 2002: 49-50). Perluasan kategori gender ini dapat pula diartikan sebagai usaha subversif. Dengan demikian agensi juga turut dibahas, meskipun dalam catatan tak ada subjek yang mendahului tindakan34. Karena gender adalah pengulangan tindakantindakan gender (gender acts), dan gender norms itu jauh dari kestabilan, reiterasi dapat dilakukan secara berbeda, dengan menampilkan tindakan-tindakan yang berbeda dari norma yang mengharuskannya, menantang definisi-definisi yang 32
“Herculine is not an “identity”, but the sexual impossibility of an identity”(Butler 1999: 31-32). Persoalan jenis kelamin adalah persoalan tubuh yang hanya akan diketahui melalui bahasa dan wacana (Salih 2002: 80). Seperti yang contoh hailing dokter sebelumnya yang mengatakan bayi bervagina sebagai seorang gadis, maka jenis kelamin itu juga persoalan performativitas. 34 “My argument is that there need not be a “doer behind the deed,” but that the “doer” is variably constructed in and through the deed” (Butler 1999: 181). 33
26
telah membeku, dan bahkan menghancurkan kategori-kategori identitas yang telah ada. “The task is not whether to repeat, but how to repeat or, indeed, to repeat and, through a radical proliferation of gender, to displace the very gender norms that enable the repetition itself” (Butler 1999: 189). Dalam membahas identitas perempuan pada pertunjukan JKT48, teori performativitas Butler menjadi landasan paling utama, mengingat dalam pertunjukan tersebut perempuan ditampilkan dengan kualitas-kualitas, atau efekefek tertentu yang membuatnya disebut perempuan. Kerangka wacana Foucault pada subbab sebelumnya, seperti yang sempat disinggung, memiliki kaitan erat dengan teori ini, karena wacana secara performatif membentuk identitas. Kedua konsep ini dengan demikian saling menguatkan satu sama lainnya untuk melihat mekanisme pembentukan identitas perempuan dalam pertunjukan JKT48. Konsep selanjutnya adalah mengenai budaya pop, karena JKT48 termasuk dalam kategori ini.
1.5.4 Budaya Pop Budaya pop atau budaya populer? Dominic Strinati dalam pendahuluan bukunya An Introduction to Theories of Popular Culture (1995: xviii) mengatakan bahwa budaya populer tak dapat diartikan bila tidak dalam lingkup teori-teori yang pernah membahasnya (misal oleh Frankfurt School atau oleh Gramsci dan Althusser). Mengikuti saran tersebut, saya mengambil definisi Stuart Hall yang diamini oleh Chua (2012: 9) untuk menegaskan pemakaian istilah budaya populer dan budaya pop:
27
“the term “popular culture” should be reserved for the larger cultural sphere that encompasses everyday life to the masses in contradiction to and contestation with elite culture, while “pop culture” should be used to refer to commercially-produced, profit-driven, media-based mass entertainment; so conceived, pop culture is but one segment of popular culture” (cetak tebal tambahan). Bagi cultural studies sendiri budaya pop merupakan hal yang sangat sentral. Cultural studies tidak setuju dengan adanya dualisme budaya tinggi dan rendah di mana elitisme terjadi. Menurut Hall (sebagaimana dikutip Barker 2011: 51; Storey 1996: 3), budaya pop (atau budaya massa, istilah yang tidak disukai Barker),
merupakan
sebuah
arena
konsensus
dan
resistensi
dalam
memperjuangkan makna kultural. Praktik signifikasi memang begitu penting bagi Hall. Makna dan pesan yang dihasilkan oleh suatu produsen wacana (media) tidak dapat dipaksakan agar sampai sama seperti yang dimaksudkan. Lebih dari itu, pembaca menginterpretasi dan memahami wacana tersebut dengan caranya sendiri, dan karenanya hasil pemaknaan tergantung pada konteks, budaya dan lingkungan yang menaungi pembaca (juga tentunya dalam konteks historis tertentu), dalam kaitannya dengan wacana tertentu. Pesan dengan demikian bersifat polisemi (Hall 2006: 169), atau yang Storey bahasakan dengan multiaksentual (1996: 5). Akhirnya interpretasi pun dapat berjuta-juta jenisnya. Di sini proses signifikasi menjadi arena pertarungan sehingga “wilayah budaya menurut cultural studies merupakan tempat pergumulan ideologis […] di mana hegemoni dimenangkan atau kalah” (ibid.: 5-6). Maka budaya pop menjadi salah satu arena yang dapat digunakan oleh mereka yang terpinggirkan untuk memberdayakan dirinya.
28
Penampilan
Madonna
yang
digambarkan
Barker
(2011:
272),
memproduksi wacana baru yang mengisyaratkan bagaimana identitas feminin dan maskulin menjadi benar-benar hanya seperti yang diistilahkan oleh Butler (1999: 33) sebagai “atribut yang mengambang bebas”, yang tidak tetap dan rentan perubahan. Dalam hal ini Madonna melakukan resignifikasi identitas gender melalui situs budaya pop. Misalnya ketika ia menampilkan adegan masturbasi di depan mata pengawal laki-laki berpayudara besar palsu. Sebuah pertunjukan yang mempermainkan kestabilan kategori dualisme identitas feminin-maskulin. Namun yang harus digaris bawahi adalah bahwa budaya pop merupakan sebuah lokus budaya, di mana suatu wacana “mengalahkan” wacana yang lain. Ia memang dapat menjadi wilayah di mana yang terpinggirkan dapat menggunakan kekuasaannya untuk menampilkan tindakan subversi, tapi seperti dalam konsep Butler yang telah dijelaskan sebelumnya, pengulangan praktik-praktik yang lalu malah sangat mungkin terjadi, karena pengulangan tersebut dibutuhkan agar suatu norma (dalam kasus Butler heteronormativitas) tetap lestari. Pada budaya pop sebagai situs di mana wacana diproduksi, wacana perempuan
pun
silih
berganti
ditampilkan.
Wacana-wacana
tersebut
mengkonstruksi pengetahuan, karena budaya pop tak dapat dilepaskan dari rezim media. Ia memberi tahu khalayak apa yang harus dilakukan, menginstruksi bagaimana cara yang terbaik menjadi perempuan, atau laki-laki. Dengan kata lain suguhan-suguhan budaya pop, termasuk salah satu dari “regulatory discourse”35.
35
Pada Gender Trouble (Butler 1999), kata regulatory sering sekali dipadukan dengan “practices” (menjadi “regulatory practices”), yang tentu dimaksudkan pada praktik regulatif suatu wacana.
29
Dengan konsep di atas maka penelitian ini melihat pertunjukan JKT48 sebagai situs di mana wacana diproduksi, khususnya di mana identitas perempuan ditampilkan.
1.6
Metodologi
1.6.1 Sumber Data Acara Pajama Drive Revival 2014 dilaksanakan pada dua hari dengan total 4 pertunjukan (dua pertunjukan per harinya). Pertunjukan yang akan dianalisis adalah dokumentasi live streaming dalam bentuk video atas pertunjukan ke-4 pada tanggal 7 September pada jam 19.00-21.00 WIB. Pada dasarnya tidak ada perbedaan signifikan pada keempat pertunjukan tersebut kecuali bahwa anggota terlihat lebih bersemangat pada penampilan di hari kedua dan bahwa pertunjukan terakhir adalah acara puncak di mana lilin ditiup, semacam puncak perayaan ulang tahun teater JKT48. Dengan demikian perbedaan isi masing-masing pertunjukan tidak akan dibahas lebih jauh. Pertunjukan keempat dipilih karena ketersediaan dokumentasi. Acara ini disiarkan secara berbayar, yaitu penggemar yang tidak dapat melihat langsung di teater (karena penggemar jauh atau karena kalah undian tiket), dapat mengakses secara langsung dengan membeli identitas pengguna seharga Rp. 27.500,-/id pada sebuah halaman internet. Dengan demikian seharusnya tidak ada tautan gratis atas pertunjukan ini. Namun pada akhirnya beberapa penggemar mengunggah hasil rekaman dari live streaming tersebut. Saya sendiri menyaksikan secara langsung lewat koneksi internet pertunjukan kedua, malam hari 6 September 2014.
30
Lagu panggung ini terdiri dari 16 lagu dengan 5 di antaranya adalah lagu unit. Lagu unit adalah lagu spesial yang tidak dibawakan oleh 16 anggota bersamaan, namun oleh anggota tertentu. Keenambelas anggota yang terpilih pada acara ini disebar dalam 5 lagu unit sehingga masing-masing membawakan satu lagu unit. Di akhir pertunjukan generasi dua dan tiga masuk panggung untuk perayaan hari jadi teater kedua dengan rangkaian pemutaran kilas balik teater JKT48, tiup lilin, dan kemudian secara bersama-sama menampilkan Kokoro No Placard/Papan Penanda Isi Hati sebagai lagu bonus.
1.6.2 Metode Pengumpulan Data Kualitas video live streaming yang diberikan manajemen JKT48 tidak dapat dikatakan yang terbaik meskipun dilabeli high definition (HD). Dengan kualitas koneksi internet di Indonesia, banyak bagian dari pertunjukan yang terlewati. Hal ini dialami oleh banyak penonton, termasuk saya. Kira-kira hanya mereka yang memiliki akses internet cepat dari kantor atau warung internet yang beruntung yang dapat menyaksikan live streaming tanpa gangguan transmisi data. Hasil unggahan video dari penggemar akhirnya bukan yang berkualitas bagus, bahkan bukan pula yang berkualitas sedang36. Juga terdapat kasus di mana dalam beberapa hasil rekaman tersebut, terdapat beberapa bagian yang terputusputus (karena koneksi internet masing-masing saat menonton). Dengan kondisi itu video-video tersebut saya unduh. Setelah didapatkan beberapa video dan diobservasi, video satu sama lain digunakan. Satu video menyempurnakan video 36
Mengunggah di Youtube kini juga memiliki aturan tentang privacy. Misalnya bila saya mengunggah video milik JKT48, saya harus mendapat izin dari akun resmi JKT48. Biasanya video yang diperbolehkan diunggah adalah yang berkualitas rendah.
31
lainnya, hingga diperoleh keseluruhan cerita yang paling baik secara kualitas. Gabungan dari beberapa sumber video ini memenuhi kriteria untuk kemudian kembali diamati mana bagian yang signifikan yang harus dianalisis. Yang dimaksud bagian yang signifikan adalah bagian di mana identitas perempuan ditampilkan. Sumber
video
yang
kiranya
dapat
digunakan
berasal
dari
www.4shared.com (@noriz S.) dan www.youtube.com (@Noriz Shinichi Kudo). Keduanya identik dan saya asumsikan merupakan milik orang yang sama. Tentunya pertunjukan ini layaknya sebuah buku dengan kisah yang ia miliki. Pada bagian kisah-kisah tersebut ada praktik-praktik yang mengkonstruksi identitas perempuan. Sampai dengan ini, itulah data yang akan dianalisis.
1.6.3 Metode Analisis Data Penelitian ini menggunakan metode analisis interpretatif dengan pendekatan Performativitas Judith Butler. Wacana menjadi titik perhatian utama Butler, utamanya dalam mengkonstruksi identitas gender. Media memiliki hubungan yang erat dengan produksi identitas ini. Dalam media norma-norma gender muncul setiap saat, dan olehnya juga individu dituntun atau lebih tepatnya diperintah untuk menjadi perempuan atau laki-laki yang “benar”. Dengan ini dapat dikatakan bahwa gambaran dalam media menjadi semacam wacana yang mengatur (regulatory discourse). Sederhananya kemudian dapat dikatakan bahwa dalam pertunjukan Pajama Drive Revival terdapat pernyataan-pernyataan tentang bagaimana menjadi
32
perempuan ideal, atau tentang apa itu perempuan yang “seharusnya”. Pernyataan tersebut tentunya lebih baik dipahami sebagai praktik, sebagaimana konsep speech act hasil bacaan Butler atas ujaran performatif Austin (Salih 2002: 63), yang kemudian dikenal dengan performativitas. Dengan ini maka akan dilihat bagaimana performativitas identitas perempuan dalam rekaman pertunjukan tersebut. Pada Butler kemudian dikatakan bahwa kategori-kategori identitas gender dimaknai sebagai gandaan dan tidak ada yang asli – adalah copy, imitasi (Butler 2012: 129). Perempuan misalnya merupakan sebuah imitasi dari praktik yang menandakan “perempuan”, sedang sumber yang ditiru tersebut bukan hal yang nyata/real. Kategori gender dalam heteronormativitas (dan dengan demikian semua kategori identitas gender) adalah hal yang phantasmatic (khayal), karena acuannya adalah hal yang tidak nyata. Menurut Butler menjadi perempuan (atau laki-laki) adalah pengulangan tindakan meniru atas apa yang dibayangkan sebagai ideal perempuan (atau laki-laki). Oleh karena itu identitas gender ia sebut sebagai hal yang imaginatif. Kategori yang dikatakan berasal dari imitasi bayangan kategori ideal, dipraktikkan dan diawetkan dalam dan oleh tubuh sosial. Dengan demikian wacana mengawetkan suatu kategori identitas dengan praktik-praktik yang mengimitasi praktik-praktik sebelumnya yang juga mengimitasi praktik-praktik yang memakai sumber imajinatif (yaitu bayangan ideal atas suatu kategori identitas). Maka tidak ada sumber asli dari tiruan tersebut kecuali praktik-praktik peniruan kategori identitas yang juga tak memiliki sumber asli – sebuah repetisi.
33
Dari penjelasan di atas kemudian saya dimudahkan oleh pendapat Cover (2004) ketika ia memakai pendekatan yang sama untuk membaca karakter pada serial TV Buffy the Vampire Slayer 37 . Empat faktor yang menurutnya harus diperhatikan dalam analisis representasi karakter TV menggunakan teori performativitas (Butler). Pertama, cara karakter ditampilkan dalam hubungannya dengan bahasa dan wacana dalam episode-episode serial TV itu. Wacana yang ia sebutkan di sini adalah wacana logis dalam dunia fiksi sebuah cerita, bukan wacana yang termaknai dalam dunia di luar televisi (Cover hanya berniat menganalisis level intrinsik cerita dan tidak membahas hal yang di luar cerita). Kedua, menolak pemahaman bahwa identitas, tindakan-tindakan, relasi-relasi dan sikap sebuah karakter adalah alamiah dan bawaan genetis. Ketiga, memandang bahwa perubahan karakter atau “character development” merupakan transformasi diri yang performatif. Keempat, repetisi dari atribut karakter, kode moral, kebiasaan, sikap adalah penting, juga singgungannya dengan wacana baru (dalam kisah tersebut). Keempat poin tersebut dapat diadopsi dalam penelitian saya, dengan catatan bahwa wacana dimaknai sebagai konsep yang luas tidak sekedar dalam cerita saja. Meskipun demikian poin pertama dan keempat dapat diambil untuk menganalisis data tekstual yaitu video live streaming Pajama Drive Revival Show 2014.
37
Cover (2004) menerapkan konsep Butler hanya untuk membaca logis karakter dalam narasi panjang serial TV Buffy the Vampire Slayer, atau dengan kata lain hanya melihat bagaimana perjalanan sebuah karakter mengikuti konsep performativitas Butler. Ini berarti ia tidak memakai logika sosial di luar kisah itu, tidak menyangkut situasi kultural di Amerika Serikat misalnya.
34
Dari penjelasan ini, langkah-langkah analisis data (yaitu bagian video yang mengandung performativitas identitas perempuan) saya rumuskan sebagai berikut. Pertama menganalisis verbal (lirik, ucapan, reaksi penonton di teater) dan/atau visual dari data tersebut (gerakan, bahasa tubuh, ekspresi wajah). Dari keterkaitan antara lirik lagu, ucapan anggota saat sesi MC38, visual, dan pada beberapa bagian reaksi penonton (dalam teater), akan ditemukan bagaimana identitas perempuan ditampilkan. Poin pertama dan keempat Cover dibuat sebagai acuan dalam menganalisis. Maka harus diperhatikan cara identitas perempuan ditampilkan dalam hubungannya dengan bahasa dan wacana dalam lirik lagu, ucapan saat MC, visual, dan reaksi penonton (dalam teater), serta repetisi dari atribut-atribut yang dilekatkan pada identitas perempuan tersebut. Langkah kedua melihat performativitas identitas perempuan yang telah dirumuskan dalam pertunjukan tersebut pada lingkup sosial JKT48, khususnya di Indonesia. Dari sini nanti dapat dilihat bagaimana posisi wacana yang ditawarkan di antara wacana-wacana yang lain. Yang kemudian perlu menjadi catatan adalah bahwa kode sinematik tidak akan dianalisis secara detail karena tidak dimungkinkan, mengingat video rekaman yang didapat tidak begitu bagus kualitasnya dan sulit ditentukan apakah semua kode sinematik akhirnya dapat terkirimkan maknanya saat situasi transmisi data live streaming sangat jauh dari kata sempurna seperti yang dijelaskan di poin sebelumnya. Ini berbeda ketika menganilisis sebuah video musik yang kualitasnya sudah bagus dan cenderung mudah diakses. Meski demikian tetap ada kode 38
Adalah sesi obrolan di mana semua atau beberapa anggota tinggal di panggung sebagai jeda setelah beberapa lagu dibawakan.
35
sinematik yang muncul dalam video yang dapat dianalisis dan signifikan dalam hubungannya dengan performativitas identitas perempuan. Dan hanya yang signifikan ini yang terpilih untuk dibahas 39 . Warna, pencahayaan, kostum, pemanggungan, adalah beberapa kode sinematik yang memungkinkan dianalisis. Meski demikian juga terdapat teknik kamera yang signifikan dan jelas untuk dapat dianalisis.
1.7
Sistematika Penulisan Dalam bab pertama dijelaskan latar belakang penelitian, rumusan masalah,
tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Mengingat budaya pop Jepang telah menembus Indonesia sejak lama, maka bab dua dikhususkan untuk pembahasan tentang budaya pop Jepang termasuk idolanya, profil franchise 48, JKT48, serta beberapa “aturan main”-nya. Elaborasi tersebut menjadi semacam pengetahuan umum sebelum berlanjut ke tahap analisis. Analisis berada dalam tiga bab selanjutnya. Bab ketiga, “Tersihir (Tipu) Daya Cinta” adalah analisis kisah lagu panggung tersebut. Dalam kisah tersebut ditemukan performativitas identitas perempuan. Mengingat lagunya yang hanya terjemahan langsung dari Jepang, pembahasan konteks Jepang dan lokal dihadirkan sebagai analisis selanjutnya. Bab keempat, “Tubuh untuk Fantasi” membahas bagaimana identitas perempuan ditampilkan secara visual, utamanya 39
Kode sinematik yang tidak signifikan dan “gagal” tersampaikan maknanya misalnya adalah adanya teknik close up pada bagian video tertentu, tapi karena kualitas video, hal yang ter-close-up tidak terlalu terlihat dengan jelas, sehingga harus ditangguhkan dalam analisis. Dan hal semacam ini banyak terdapat dalam video yang akan dianalisis.
36
koreografi, busana, dan ekspresi JKT48, di mana perempuan “dinikmati” untuk fantasi laki-laki. Terdapat beberapa ragam fantasi tersebut sebagai nilai jual perempuan. Diskusi digulirkan dalam konteks “kesusilaan” dalam negeri, termasuk hubungannya dengan kapitalisme. Bab analisis terakhir, “Diri Bernarasi”, berisi pembahasan tentang performativitas identitas perempuan dalam sesi MC lagu panggung, di mana anggota penampil saling membuka obrolan. Bagaimana perempuan yang berbicara menampilkan diri perempuannya, merupakan inti dari bab ini. Bab keenam, “Kesimpulan dan Saran” adalah bab terakhir yang menyimpulkan hasil penelitian ini, sekaligus memberikan isu-isu lebih jauh yang dapat diteliti pada kesempatan selanjutnya.