BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Undang-Undang Praktik Kedokteran (UUPK) Undang-Undang Praktik Kedokteran (UUPK) telah disetujui oleh DPR RI
pada 7 September 2004 dan telah efektif diberlakukan tanggal 6 Oktober 2005. UUPK dibuat oleh DPR RI (melalui hak inisiatifnya) dengan tujuan untuk memberikan jaminan mutu pelayanan kedokteran (dalam arti luas) bagi masyarakat. Melalui UUPK ini, diharapkan output dari proses penyiapan dokter yang akan masuk (sebagai input) dalam praktik kedokteran dapat tertata lebih baik. Perumusan
UUPK
dimulai
dengan
berkembangnya
gagasan
untuk
membentuk Medical Council pada awal 1980-an. Baru pada sekitar 1998 prakarsa perumusan Undang-Undang tentang Konsil Kedokteran memperoleh respon yang positif dari Pemerintah. Beberapa ahli dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Biro Hukum Depkes kemudian bekerja bersama-sama merumuskan Rancangan Undangundang (RUU) tentang Konsil Kedokteran. RUU tersebut kemudian diubah namanya menjadi RUU tentang praktik kedokteran. Para pemrakarsa perumusan RUU berkesempatan pula mengadakan studi banding ke berbagai negara termasuk negara maju untuk mempelajari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Konsil-Kedokteran dan Praktik Kedokteran (Idris, 2006). UUPK memuat tujuan dari pembangunan kesehatan, kesehatan sebagai hak asasi manusia, penyelenggaraan praktik kedokteran yang merupakan inti dari
Universitas Sumatera Utara
penyelengaraan upaya kesehatan dan perlunya memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada penerima pelayanan kesehatan dan dokter serta dokter gigi. Secara keseluruhan, struktur dari UUPK adalah sebagai berikut : ketentuan umum, azas dan tujuan, konsil kedokteran, standar pendidikan profesi kedokteran dan kedokteran gigi, pendidikan dan pelatihan kedokteran dan kedokteran gigi, registrasi dokter dan dokter gigi, penyelenggaraan praktik kedokteran, disiplin dokter dan dokter gigi, pembinaan dan pengawasan, serta ketentuan pidana. Pengaturan praktik kedokteran pada dasarnya harus ditujukan untuk menunjang pembangunan nasional bidang kesehatan. Pembangunan nasional bidang kesehatan yang tertuang dalam visi Indonesia Sehat 2010, secara jelas mengharapkan masa depan kesehatan bangsa yang ingin dicapai, yaitu ”kehidupan masyarakat, bangsa dan negara ditandai oleh penduduk yang hidup dalam lingkungan dan dengan prilaku hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata, serta memiliki derajat kesehatan yang setinggitingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia”. Dalam pasal 2 dan 3 UUPK (2004), dinyatakan bahwa pengaturan penyelenggaraan praktik kedokteran dilandaskan pada asas kenegaraan, keilmuan, kemanfaatan, kemanusiaan dan keadilan. Keberadaan UUPK dimaksudkan untuk: 1) memberikan perlindungan kepada pasien, 2) mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi, dan 3) memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.
Universitas Sumatera Utara
2.1.1. Pengaturan Praktik Kedokteran Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Dokter atau dokter gigi yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) dan menyelengarakan praktik kedokteran wajib memasang papan nama. Dalam hal berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib membuat daftar dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran. Pimpinan sarana pelayanan kesehatan dilarang mengiizinkan dokter dan dokter gigi yang tidak memiliki SIP untuk melakukan praktik di sarananya. Dokter dan dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi yang dibedakan menurut jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan. Standar pelayanan akan diatur dengan Peraturan Menteri. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan setelah pasien mendapat penjelasan lengkap. Persetujuan dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan. Setiap tindakan yang mengandung risiko harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak. Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis yang harus segera dilengkapi setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan. Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu dan tanda tangan petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan. Dokumen rekam
Universitas Sumatera Utara
medik merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien. Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktiknya wajib menyimpan rahasia kedokteran. Rahasia dapat dibuka hanya untuk kepentingan pasien, memenuhi permintaan aparatur penegak hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
2.1.2. Izin Praktik Dalam UUPK Bab II Pasal 2 disebutkan bahwa Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia wajib memiliki Surat Izin Praktik (SIP)
yang
dikeluarkan
oleh
pejabat
kesehatan
yang
berwenang
di
kabupaten/kotamadya tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan. Surat izin Praktik hanya berlaku untuk 1(satu) tempat praktik. Untuk memperoleh SIP dokter atau dokter gigi harus mengajukan permohonan kepada kepala dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat praktik dilaksanakan, dengan persayaratan : (a) memiliki surat tanda registrasi dokter, (b) mempunyai tempat praktik, (c) memiliki rekomendasi dari organisasi profesi.
Dokter hanya bisa
menjalankan praktik apabila telah mimiliki Surat Tanda Registrasi (STR). SIP masih tetap berlaku sepanjang tempat praktik masih sesuai dengan SIP. STR berlaku untuk lima tahun (Idris, 2003 ; Cahyono, 2008). Dokter hanya dapat menjalankan praktik apabila sudah terregistrasi. Proses dokter berpraktik juga bervariasi. Ada negara yang tidak secara khusus mengatur izin
Universitas Sumatera Utara
praktik. Praktik diserahkan pada mekanisme pasar (misalnya disesuaikan dengan kondisi pasar asuransi kesehatan yang ada, misalnya Belanda). Ada negara yang menyerahkan kewenangan izin praktik ke institusi profesi (Kolegium profesi ini di tingkat provinsi, misalnya Kanada). Ada negara yang mengatur izin praktik melalui institusi Departemen Kesehatan. Izin praktik dilakukan oleh institusi Depatemen Kesehatan setelah mendapat rekomendasi dari institusi profesi (IDI). Untuk izin praktik, secara khusus UUPK juga mengatur hal tersebut namun tidak jauh berbeda dengan proses perizinan selama ini (Idris, 2006). Selain menempatkan prinsip-prinsip utama dalam menjaga mutu dokter (yang akan menjadi input) dalam proses pelayanan kedokteran, melalui mekanisme registrasi dan pendisiplinan, UUPK juga mengatur tentang penyelenggaraan praktik. Hal-hal yang diatur tersebut meliputi: surat izin praktik (SIP), pelaksanaan praktik, standar pelayanan, persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi, rekam medis, rahasia kedokteran, kendali mutu dan kendali biaya, hak dan kewajiban dokter dan dokter gigi, hak dan kewajiban pasien, serta hal yang terkait dengan pembinaan penyelenggaraan praktik. Pengaturan-pengaturan di atas sangat bersifat teknis tentang tempat praktik maksimal hanya tiga tempat sebagai upaya menjaga mutu praktik kedokteran, namun tidak mempertimbangkan kepentingan daerah yang memang dokternya masih sangat dibutuhkan di beberapa tempat dan mobilitasnya jauh lebih baik (tidak separah Jakarta). Semestinya hal-hal teknis yang membutuhkan pengaturan lebih lanjut dari
Universitas Sumatera Utara
pasal-pasal tersebut cukup diatur dalam keputusan Menteri Kesehatan saja atau Peraturan Daerah (Idris, 2006)
2.1.3. Ketentuan Pidana (Sanksi) Pasal 75 sampai dengan pasal 80 dalam UUPK menyebutkan sanksi hukuman pidana penjara dan atau denda dapat diberikan kepada setiap dokter dan dokter gigi, apabila : 1. Melakukan praktik tanpa memiliki surat tanda registrasi 2. Melakukan praktik tanpa SIP 3. Menyalahgunakan gelar dokter oleh yang tak berhak. 4. Menggunakan alat, metode, dan lain-lain yang ingin mengesankan penggunaannya seolah-olah dokter. 5. Tidak memasang papan nama, tidak membuat rekam medis, tidak memenuhi kewajiban. 6. Mempekerjakan dokter dan dokter gigi yang tidak memiliki SIP. Pidana penjara maksimum berlangsung antara 1 tahun sampai dengan 10 tahun. Misalnya pidana penjara tidak membuat rekam medis paling lama satu tahun, sedangkan dengan mempekerjakan dokter yang tidak memiliki SIP dapat dipenjara paling lama sepuluh tahun (pimpinan sarana pelayanan). Pidana denda paling banyak berkisar antara Rp.50 juta sampai dengan Rp.300 juta. Misalnya praktik tidak memasang papan nama dapat dikenai pidana denda
Universitas Sumatera Utara
paling banyak Rp.50 juta, sedangkan mempekerjakan dokter tanpa SIP dapat pidana denda paling banyak Rp.300 juta. (Idris, 2006 dan UUPK, 2004). Sanksi atau upaya pembinaan dokter anggota IDI yang tidak secara sungguhsungguh menjalankan sumpahnya dan aturan etik organisasi lebih bersifat sanksi moral dan administratif. Sanksi ini, paling tinggi adalah memecat dokter tersebut sebagai anggota, dan pada yang bersamaan mengusulkan pencabutan izin praktiknya ke pihak berwenang. IDI, dengan niat untuk menjaga keluhuran profesi kedokteran dari beberapa permasalahan etik yang diprediksikan dapat melunturkan sifat luhur profesi kedokteran, telah berinisiatif dan proaktif mendorong berbagai langkah jangka panjang (yang lebih sistemik sifatnya) dan langkah jangka pendek (yang lebih kasuistik). Apabila dokter melakukan upaya praktik kedokteran yang tidak semestinya (melakukan technical misconduct) maka sanksi yang diberikan lebih pada upaya memperbaiki kompetensi dokter tersebut, antara lain dengan memerintahkan dokter tersebut untuk sekolah lagi (reschooling). Sanksi maksimal dari penegakan disiplin profesi adalah pencabutan kewenangan dari dokter tersebut. 2.1.4. Pembatasan Tempat Praktik Mengenai permohonan pembatasan tempat praktik terdapat pada UndangUndang Repubik Indonesia No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 37 ayat (2); “Surat izin praktik dokter dan dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat”. Perlindungan, kepastian hukum dan pemerataan pemberian jasa pelayanan kesehatan perlu dijamin antara lain
Universitas Sumatera Utara
dengan pembatasan tempat praktik dokter. Menurut Mahkamah Konstitusi, sebagai manusia dokter memiliki keterbatasan fisik dan mental, sehingga fungsi memberikan pelayanan
kesehatan
masyarakat
akan
lebih
mendapat
kepastian
hukum
(rechtszekerheid) dan perlindungan hukum (rechtsbescherming) dengan adanya pembatasan tersebut (Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2007). Perlindungan hukum bagi dokter sebagai pemberi jasa kesehatan (health provider) dan juga pasien sebagai penerima layanan kesehatan (health receiver), pembatasan praktik di tiga tempat akan memberikan kesempatan kerja bagi dokterdokter muda di seluruh Indonesia, sehingga pemerataan kerja dan pelayanan kesehatan masyarakat dapat diberikan secara simultan. Pembatasan
tempat
praktik
kedokteran
tersebut
pada
satu
sisi
menimbulkan beban moral akibat bertentangan dengan sumpah dokter (Hipocrates oath) yang menegaskan adanya nobeles oblige (responsibility of profession) profesi dokter,
antara lain janji membaktikan hidup
guna kepentingan
perikemanusiaan dan janji menjalankan tugas dengan mengutamakan kepentingan masyarakat (www.hukumonline.com). 2.2.
Pelayanan Spesialis Kebidanan dan Penyakit Kandungan Beberapa pengertian dalam pelayanan kebidanan dan penyakit kandungan
menurut Martaadisoebrata (2009) adalah: a. Obstetri Ginekologi Klinik: Ilmu yang mempelajari alat dan fungsi reproduksi, baik laki-laki maupun wanita, yang merupakan bagian integral dari sistem tubuh lainnya.
Universitas Sumatera Utara
b. Obstetri Ginekologi Sosial: Ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara alat dan fungsi reproduksi dengan lingkungannya, terutama lingkungan sosial. c. Kesehatan Reproduksi: Ilmu yang mempelajari alat dan fungsi reproduksi, baik laki-laki maupun wanita, yang merupakan bagian integral dari sistem tubuh lainnya, serta hubungannya secara timbal balik dengan lingkungannya, terutama lingkungan sosial. Pelayanan dalam bidang obstetri dan ginekologi merupakan bagian dari pelayanan kesehatan secara umum. Pelayanan dalam bidang obstetri dan ginekologi merupakan pelayanan kesehatan terhadap seorang perempuan yang meliputi kedua jenis pelayanan kesehatan tersebut. Pada awalnya dokter spesialis obstetri dan ginekologi hanya terfokus pada kesehatan reproduksi perempuan terutama untuk persalinan yang aman dan berhasil baik serta masalah penyakit ginekologik. Namun, saat ini pelayanan ini menjadi lebih luas bahkan seorang dokter spesialis obstetri ginekologi sangat mungkin menjadi pemberi pelayanan primer bagi seorang perempuan (FK-UI, 2001). Menurut Martaadisoebrata (2009), kesehatan reproduksi dijabarkan atau lebih dikenal sebagai Obstetri Ginekologi.
Pada awalnya ilmu ini menggambarkan
perkembangan alat dan fungsi reproduksi. Obstetri berkaitan dengan kehamilan, persalinan dan masa nifas, sedangkan Ginekologi adalah ilmu yang mempelajari alat dan fungsi reproduksi wanita di luar kehamilan, baik yang fisiologis maupun patologis. Pada tingkat ini, Obstetri Ginekologi masih bersifat monodisiplin dan
Universitas Sumatera Utara
berkonotasi klinik. Tujuannya tidak lain adalah untuk mempelajari dan mengobati proses reproduksi atau kelainan/penyakit yang ada pada manusia, bukan mengamankan manusia yang sedang mengalami proses reproduksi atau manusia yang menderita kelainan/penyakit. Perkembangan Obstetri Ginekologi Klinik, sebagai akibat perkembangan ilmu, bioteknologi dan ketrampilan klinik, yang mempunyai ciri Akademis dan berwawasan klinik individualistis. Pada perkembangan selanjutnya diketahui bahwa peristiwa biomedis itu ternyata tidak berdiri sendiri. Misalnya, pada peristiwa kehamilan. Apakah kehamilan tersebut akan berjalan normal atau patologis, sangat dipengaruhi oleh karakteristik dan faktor sosial wanita tersebut, seperti umur, paritas, sosioekonomi, dan budaya serta gambaran demografi. Demikian pula dengan kejadian HIV/AIDS dan Karsinoma Serviks, berkaitan dengan perkawinan remaja, kawin cerai dan promiskuitas (Martaadisoebrata, 2009). Setiap tindakan medis dapat berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan Quality of Life (QOL) selanjutnya, seperti tindakan pada partus lama dapat menimbulkan infertilitas sekunder atau fistula genitalia, atau tindakan operasi. Kemoterapi dan radiasi pada karsinoma ovarii, dapat menyebabkan kesulitan seksual atau keterbatasan kemampuan hidup (Martaadisoebrata, 2009). Upaya menjamin kualitas pelayanan dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan, maka dalam struktur organisasi POGI terdapat Dewan Pertimbangan yang seyogyanya dapat memantau kinerja para anggauta melalui Manajemen Risiko
Universitas Sumatera Utara
Klinik (MRK). Yang dimaksud dengan risiko ialah: kesalahan/malpraktik/ penyimpangan/efek samping/ kematian sampai ketidak puasan pasien pada luaran. Pengendalian pelayanan Obstetri Ginekologi seyogyanya merupakan suatu bagian dari system yang mempunyai kehendak meningkatkan mutu terus menerus. Pada kenyataannya ketidakpuasan pasien yang berupa tuntutan terus meningkat, diseluruh dunia termasuk di Indonesia. Upaya yang direncanakan untuk mengurangi dampak kelemahan pelayanan ialah dengan membentuk manajemen risiko klinik (clinical risk management). Melalui upaya ini diharapkan identifikasi kelemahan dapat diketahui secara dini dan diredam dengan maksud meningkatkan mutu secara keseluruhan (Wiknjosastro, 2003). Ruang lingkup MRK ditujukan terutama bidang Obstetri, namun dapat diperluas pada ginekologi dan perinatal. Kegiatan kelompok ini ialah berkaitan dengan masalah (risiko) : identifikasi risiko, analisa risiko/masalah, pengendalian risiko, pendanaan risiko. Risiko tersebut berkembang secara bertahap, sehingga kelompok kerja harus bersikap proaktif. Dengan demikian diperlukan kepemimpinan dan organisasi yang mantap, dimana dapat bekerja sama dengan pimpinan namun bersifat tegas (Wiknjosastro, 2003). Tujuan identifikasi risiko menelaah kesalahan yang terjadi pada pelayanan Obstetri Ginekologi. Seharusnya penyidikan langsung dilakukan begitu diketahui adanya kesalahan (risiko). Risiko dapat menyangkut : kematian, kesakitan atau efek samping yang memerlukan penyidikan (Wiknjosastro, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi masyarakat saat ini dirasakan bahwa dengan pendekatan Obstetri Ginekologi Klinik saja tidak mungkin dapat menyelesaikan masalah kesehatan reproduksi secara paripurna, karena ada keterbatasan, baik dalam pengertian Falsafah, Wawasan maupun Garapannya. Untuk itu perlu dikembangkan Obstetri Ginekologi Sosial. Sesuai dengan tahap perkembangannya kita sekarang mengenal tiga keilmuan yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi, yaitu Obstetri Ginekologi Klinik, Obstetri Ginekologi Sosial dan Kesehatan Reproduksi sendiri (Martaadisoebrata, 2009). Pada saat Obstetri Ginekologi Sosial dikembangkan, sebetulnya tujuan pertama adalah untuk mengingatkan para dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan (SpOG) akan adanya ketimpangan antara perkembangan ilmu dan bioteknologi yang dianut para klinisi dengan hasil yang dicapai dalam penanggulangan masalah kesehatan reproduksi. Di satu fihak perkembangan ilmu bioteknologi menghasilkan subspesialisasi seperti Feto Maternal, Onkologi Reproduksi dan Fertiliti Endokrinologi Reproduksi, di lain pihak angka kematian/kesakitan ibu/anak masih tetap tinggi, demikian juga dengan prevalensi STD/HIV/AIDS (Martaadisoebrata, 2009). Obstetri Ginekologi Sosial juga ingin mengingatkan akan adanya pengaruh timbul balik antara proses biomedis reproduksi serta hasil penanganannya, dengan faktor sosial. Karena itu para klinisi digugah agar mau memperluas wawasan, baik secara konseptual maupun implementasinya. Di sini sengaja digunakan istilah memperluas wawasan, bukan mengubah, karena adanya ObGinSos (Obstetri
Universitas Sumatera Utara
Ginekologi Sosial) tidak bermaksud untuk menghilangkan Obstetri Ginekologi Klinik. Seorang Obstetri Ginekologi Sosial harus tetap seorang klinisi yang mahir. Hanya saja wawasannya diperluas, dengan pengertian bahwa SpOG tersebut harus memikirkan bagaimana kemampuan kliniknya, di samping bermanfaat bagi setiap wanita sebagai individu, dapat pula dimanfaatkan secara efektif dan efisien, oleh sebagian besar masyarakat yang memerlukannya (Martaadisoebrata, 2009) 2.2.1. Angka Kematian Ibu dan Bayi sebagai Masalah Kebidanan dan Penyakit Kandungan Pada Millenium Development Goals (MDGs) disebutkan bahwa akselerasi penurunan angka kematian ibu dan bayi merupakan salah satu tujuan dan target yang ingin dicapai. Pada tujuan 4 MDGs dinyatakan penurunan angka kematian bayi dengan target penurunan 2/3 pada tahun 2015, serta pada tujuan 5 dinyatakan penurunan angka kematian ibu dengan target penurunan 3/4 pada tahun 2015. Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan secara sistematis mulai Repelita I (1969), telah berhasil meningkatkan derajat kesehatan masyarakat di Indonesia khususnya di Propinsi Sumatera Utara. Derajat Kesehatan diukur berdasarkan angka Kematian (Mortalitas), angka Kesakitan (Morbiditas), status gizi dan umur harapan hidup (UHH). Berdasarkan penelitian WHO diseluruh dunia terdapat kematian ibu sebesar 500.000 jiwa per tahun dan kematian bayi khususnya neonatus sebesar 10.000.000 jiwa pertahun. Kematian maternal dan Bayi terjadi terutama di Negara berkembang sebesar 99 %. Kendatipun jumlahnya sangat besar, tetapi tidak menarik perhatian
Universitas Sumatera Utara
karena kejadiannya tersebar (sporadis), berbeda dengan kematian yang terjadi akibat banjir, tanah longsor, bencana alam lainnya atau korban kecelakaan. Sebenarnya kematian ibu dan bayi mempunyai peluang yang sangat besar untuk dihindari dengan meningkatkan kerjasama antar pemerintah, swasta, dan badan-badan sosial lainnya. WHO memperkirakan jika ibu hanya melahirkan rata-rata 3 bayi, maka kematian ibu dapat diturunkan menjadi 300.000 jiwa dan bayi sebesar 5.600.000 jiwa pertahun. Sebaran kematian ibu di Indonesia bervariasi di antara 130 sampai 780 dalam 100.000 persalinan hidup. Kendatipun telah dilakukan usaha yang intensif dan dibarengi dengan makin menurunnya angka kematian ibu dan bayi di setiap rumah sakit, kematian ibu di Indonesia masih berkisar 307 per 100.000 kelahiran hidup. Sedangkan kematian bayi sekitar 35 per 1.000 kelahiran hidup. Untuk lebih mengetahui angka kematian ibu dan perinatal di Indonesia berikut ini disajikan beberapa tabel yang dapat memberikan gambaran kondisi tersebut (Depkes RI, 2008). Angka Kematian Bayi (AKB) di Propinsi Sumatera Utara telah dapat diturunkan secara bermakna selama dekade 70 sampai 80-an dari 121 per 1000 kelahiran hidup menurun tajam menjadi 89 per 1000 kelahiran hidup. Memasuki dekade 90-an, penurunan AKB Propinsi Sumatera Utara menunjukkan indikasi perlambatan, dengan melandainya penurunan AKB mulai tahun 1995. Berturut-turut 50 (1995), 49 (1996), 41 (1997), 41 (2000) dan 37 (2002-2003). Bila dibandingkan dengan angka nasional, penurunan AKB di Propinsi Sumatera Utara cenderung lebih lambat, dimana pada tahun 2003 AKB secara nasional yaitu 35 per 1000 kelahiran hidup (Dinkes Sumut, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Seperti juga AKB, secara nasional maupun lokal, AKI juga menunjukkan penurunan. Berdasarkan SKRT 1995 dilaporkan AKI di Indonesia yaitu sebesar 384 per 100.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2003 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup. Untuk propinsi Sumatera Utara, AKI pada tahun 1995 adalah 373 per 100.000 kelahiran hidup menurun menjadi 345 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2003. Dari angka Nasional dan propinsi ini terkait bahwa pada tahun 1995 AKI di Propinsi Sumatera Utara lebih rendah 7 point dari AKI Indonesia pada tahun yang sama. Namun pada tahun 2003, AKI di daerah ini justru tertinggal 38 point dari angka nasional. Hal ini menunjukkan bahwa memasuki dekade 21 dimana reformasi, otonomi dan desentralisasi diluncurkan dengan tujuan mempercepat pembangunan di daerah ternyata belum berjalan dengan optimal, terlihat dari pembangunan kesehatan mengalami stagnasi dan kemunduran. Beberapa asumsi penyebab yaitu (Dinkes Sumut, 2005): 1. Adanya vested-intrested (perbedaan kepentingan) dalam pelaksanaan otonomi daerah. 2. Kurangnya perhatian pemerintah untuk pembangunan kesehatan dilihat dari rendahnya alokasi pembiayaan untuk sektor kesehatan. 3. Kurangnya kemampuan dan kesiapan SDM tenaga kesehatan di dalam menghadapi otonomi itu sendiri. Kehamilan, disatu sisi merupakan saat-saat yang membahagiakan bagi seorang ibu, tetapi juga dapat menjadi suatu keadaan yang mengkhawatirkan bila ada hal-hal yang tidak diharapkan turut menyertai kehamilan tersebut. Komplikasi
Universitas Sumatera Utara
kehamilan seperti perdarahan pasca persalinan, eklampsia, sepsis, dan komplikasi keguguran menyebabkan tingginya kasus kematian ibu di banyak negara berkembang. Kematian ibu didefenisikan sebagai kematian seorang wanita yang terjadi pada masa kehamilan atau dalam waktu 42 hari setelah berakhirnya kehamilan tanpa memperdulikan lama dan letak kehamilan, akibat setiap hal yang berhubungan dengan dan/atau dipicu oleh kehamilan atau penatalaksanaannya, tetapi bukan oleh sebab kecelakaan. ICD-X membagi kematian maternal menjadi dua kelompok yaitu kematian obstetrik langsung, yaitu kematian yang disebabkan oleh komplikasi obstetrik pada saat kehamilan, persalinan dan nifas maupun akibat tindakan-tindakan, kesalahan-kesalahan karena penanganan yang tidak tepat/benar ataupun gabungan kejadian berbagai hal diatas. Kelompok kedua adalah kematian obstetrik tidak langsung yaitu kematian maternal yang terjadi karena penyakit yang ada sebelumnya atau mulai terjadi pada saat kehamilan dan tidak disebabkan oleh penyebab langsung tetapi diperberat oleh efek fisiologis dari kehamilan. Kematian bayi merupakan kematian seorang bayi pada masa tahun pertama kelahirannya. Berdasarkan International Case Effort (ICE), penyebab kematian bayi dibagi menjadi delapan kategori, yaitu anomali kongenital, asfiksia, imaturitas, infeksi, Sudden Death Infant Syndrome (SIDS), kematian mendadak yang tidak bisa dijelaskan sebabnya, penyebab eksternal dan kondisi lainnya. Kematian balita adalah kematian yang terjadi pada anak sebelum mencapai usia lima tahun (Depkes RI, 2007).
Universitas Sumatera Utara
2.3. Kinerja Kinerja merupakan terjemahan dari performance. Selain bermakna kinerja, performance juga diterjemahkan secara beragam. Keragaman tersebut salah satunya diungkapkan oleh Sedarmayanti (2001), bahwa “performace dapat diterjemahkan menjadi kinerja, juga berarti prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian kerja atau hasil kerja/unjuk kerja/penampilan kerja” Hasibuan (2003), menyatakan kinerja sebagai prestasi kerja mengungkapkan bahwa “prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang disandarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu”. Mangkunegara (2001) berpendapat “prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya”. Rahardja (2004) menyatakan bahwa kinerja merupakan tindakan yang menunjukkan bahwa dia adalah anggota kelompok. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa kinerja menunjuk (mengacu) pada perbuatan atau tingkah laku seseorang di dalam suatu kelompok (organisasi). Brown (dalam Rahardja, 2004) mengemukakan bahwa kinerja adalah manifestasi konkret dan dapat diobservasi secara terbuka atau realisasi suatu kompetensi. Menurut Prawirosentono (1999) kinerja seorang pegawai akan baik, jika pegawai mempunyai keahlian yang tinggi, kesediaan untuk bekerja, adanya imbalan/upah yang layak dan mempunyai harapan masa depan.
Universitas Sumatera Utara
Secara teoritis ada tiga kelompok variabel yang memengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu, yaitu: variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis (Gibson et.al, 1996). Kelompok variabel individu terdiri dari variabel kemampuan dan ketrampilan, latar belakang pribadi dan demografis. Variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang memengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu, sedangkan variabel demografis mempunyai pengaruh yang tidak langsung. Kelompok variabel psikologis terdiri dari variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. Kelompok variabel organisasi terdiri dari variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. Menurut Gomes (2003), aspek organisasional cenderung lebih berpengaruh terhadap pelaksanaan kegiatan pelayanan di institusi kesehatan dibandingkan lingkungan fisik.
Faktor organisasional yang mendukung akan sangat
berpengaruh terhadap semangat kerja karyawan dalam suatu pekerjaan yang dilakukan, sehingga perusahaan haruslah mengusahakan agar faktor-faktor yang dalam organisasinya dapat diusahakan sedemikian rupa dan memberi pengaruh positif. Organisasi yang dipersiapkan baik akan mendukung produktivitas kerja karyawan yang lebih baik sehingga kemampuan tenaga kerja juga semakin baik. Kemampuan kerja yang baik akan menghasilkan keluaran organisasi yang lebih baik. Dimana salah satu keluaran itu tercermin dari semangat kerja karyawan.
Universitas Sumatera Utara
Variabel imbalan akan berpengaruh terhadap variabel motivasi, yang pada akhirnya secara langsung memengaruhi kinerja individu (Gomes, 2003). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah unjuk kerja seseorang dalam melaksanakan tugas sebagai realisasi konkret dari kompetensi berdasarkan kecakapan, pengalaman dan kesungguhan. Menurut Rivai (2004), penilaian kinerja merupakan kajian sistematis tentang kondisi kerja karyawan yang dilaksanakan secara formal yang dikaitkan dengan standar kerja yang telah ditentukan perusahaan. Penilaian kinerja merupakan proses yang dilakukan perusahaan dalam mengevaluasi kinerja pekerjaan seseorang, meliputi dimensi kinerja karyawan dan akuntabilitas. Menurut Rivai (2004) pada dasarnya ada dua model penilaian kinerja : 1. Penilaian Kinerja Berorientasi Masa Lalu a. Skala Peringkat (Rating Scale) Metode ini merupakan metode yang paling tua yang digunakan dalam penilaian prestasi, di mana para penilai diharuskan melakukan suatu penilaian yang berhubungan dengan hasil kerja karyawan dalam skala-skala tertentu, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. b. Daftar Pertanyaan (Checklist) Metode ini menggunakan formulir isian yang menjelaskan beraneka macam tingkat perilaku bagi suatu pekerjaan tertentu. Penilai hanya perlu kata atau pertanyaan yang mengambarkan karakteristik dan hasil kerja karyawan.
Universitas Sumatera Utara
Keuntungan dari cheklist adalah biaya yang murah, pengurusannya mudah, penilai hanya membutuhkan pelatihan yang sederhana dan distandarisasi. c. Metode dengan Pilihan Terarah Metode ini dirancang untuk meningkatkan objektivitas dan mengurangi subjektivitas dalam penilaian. Salah satu sasaran dasar pendekatan pilihan ini adalah untuk mengurangi dan menyingkirkan kemungkinan berat sebelah penilaian dengan memaksa suatu pilihan antara pernyataan-pernyataan deskriptif yang kelihatannya mempunyai nilai yang sama. d. Metode Peristiwa Kritis (Critical Incident Method) Metode ini bermanfaat untuk memberi karyawan umpan balik yang terkait langsung dengan pekerjaannya. e. Metode Catatan Prestasi Metode ini berkaitan erat dengan metode peristiwa kritis, yaitu catatan penyempurnaan, yang banyak digunakan terutama oleh para profesional, misalnya penampilan, kemampuan berbicara, peran kepemimpinan dan aktivitas lain yang berhubungan dengan pekerjaan. f. Skala Peringkat dikaitkan dengan Tingkah Laku (Behaviorally Anchored Rating Scale=BARS) Penggunaan metode ini menuntut diambilnya tiga langkah, yaitu: 1) Menentukan skala peringkat penilaian prestasi kerja 2) Menentukan kategori prestasi kerja dengan skala peringkat
Universitas Sumatera Utara
3) Uraian prestasi kerja sedemikian rupa sehingga kecenderungan perilaku karyawan yang dinilai dengan jelas. g. Metode Peninjauan Lapangan (Field Review Method) Di sini penilai turun ke lapangan bersama-sama dengan ahli dari SDM. Spesialis
SDM
mendapat
informasi
dari
atasan
langsung
perihal
karyawannya, lalu mengevaluasi berdasarkan informasi tersebut. h. Tes dan Observasi Prestasi Kerja (Performance Test and Observation) Karyawan dinilai, diuji kemampuannya, baik melalui ujian tertulis yang menyangkut berbagai hal seperti tingkat pengetahuan tentang prosedur dan mekanisme kerja yang telah ditetapkan dan harus ditaati atau melalui ujian praktik yang langsung diamati oleh penilai. i. Pendekatan Evaluasi Komparatif (Comparative Evaluation Approach) Metode ini mengutamakan perbandingan prestasi kerja seseorang dengan karyawan lain yang menyelenggarakan kegiatan sejenis. 2. Penilaian Kinerja Berorientasi Masa Depan a. Penilaian Diri Sendiri (Self Appraisal) Penilaian diri sendiri adalah penilaian yang dilakukan oleh karyawan sendiri dengan harapan karyawan tersebut dapat lebih mengenal kekuatan-kekuatan dan kelemahan dirinya sehingga mampu mengidentifikasi aspek-aspek perilaku kerja yang perlu diperbaiki pada masa yang akan datang.
b. Manajemen Berdasarkan Sasaran (Management by Objective)
Universitas Sumatera Utara
Merupakan suatu bentuk penilaian di mana karyawan dan penyelia bersamasama menetapkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran pelaksanaan kerja karyawan secara individu di waktu yang akan datang. c. Penilaian dengan Psikolog Penilaian ini lazimnya dengan teknik terdiri atas wawancara, tes psikologi, diskusi-diskusi dengan penyelia-penyelia
2.4.
Rumah Sakit Milik Pemerintah Ada dua jenis pemilikan Rumah Sakit Pemerintah, yaitu Rumah Sakit milik
Pemerintah Pusat (RSUP) dan Rumah Sakit milik Pemerintah Provinsi dan kabupaten atau kota (RSUD). Kedua jenis Rumah Sakit Pemerintah ini berpengaruh terhadap gaya manajemen rumah sakit masing-masing. Rumah Sakit Pemerintah Pusat, mengacu kepada Departemen Kesehatan, sementara rumah sakit pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota mengacu pada stakeholder utamanya yaitu pimpinan daerah dan lembaga perwakilan masyarakat daerah. Rumah sakit pemerintah pusat sebagian adalah rumah sakit pendidikan yang cukup besar dengan hubungan khusus ke fakultas kedokteran (Trisnantoro, 2006). Rumah sakit merupakan salah satu jaringan pelayanan kesehatan yang penting, karena rumah memiliki peran yang sangat strategis dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Peran strategis ini diperoleh karena rumah sakit adalah fasilitas kesehatan yang padat teknologi dan padat pakar. Peran tersebut pada dewasa in makin menonjol mengingat timbulnya perubahan-perubahan
Universitas Sumatera Utara
epidemiologi penyakit, perubahan struktur demografis, perkembangan IPTEK, perubahan struktur sosio-ekonomi masyarakat, pelayanan yang lebih bermutu, ramah dan sanggup memenui kebutuhan mereka yang menuntut perubahan pola pelayanan kesehatan di Indonesia (Aditama, 2006). Pada sistem kesehatan nasional Indonesia, rumah sakit pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat penting, yaitu merupakan pusat rujukan regional dan nasional, baik medik maupun kesehatan. Di pihak lain rumah sakit pendidikan juga merupakan tempat dihasilkannya sumber daya manusia di bidang kesehatan, (Aditama, 2006) Rumah sakit pendidikan di negara maju umumnya bermutu lebih baik dibandingkan rumah sakit non pendidikan. Setidaknya hal ini diperlihatkan oleh peringkat rumah sakit di Amerika Serikat yang dikeluarkan oleh US News 2001 dimana keseluruhan 50 RS terbaik di Amerika Serikat merupakan RS Pendidikan, baik yang dimiliki ataupun berafiliasi ke universitas.
2.5.
Landasan Teori Tujuan kebijakan pembatasan tempat praktik untuk memperbaiki kualitas
pelayanan dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan terkait dengan faktor individu, psikologi dan organisasi (Gibson et.al. (1996), secara skematis teori Gibson tentang faktor-faktor yang memengaruhi kinerja dapat dilihat pada Gambar 2.1.
Universitas Sumatera Utara
Faktor Individu - Kemampuan dan Keterampilan (mental dan fisik) - Latar Belakang (keluarga, tingkat sosial, pengalaman) - Demografis (umur, etnis, jenis kelamin)
KINERJA
Faktor Psikologis − Persepsi − Sikap − Kepribadian − Motivasi
Faktor Organisasi -
Sumber daya Kepemimpinan Imbalan Struktur Disain pekerjaan
Gambar 2.1. Diagram Skematis Teori Perilaku dan Kinerja Menurut Gibson Berdasarkan teori di atas bahwa kemampuan dan kemauan dokter dalam melaksanakan kebijakan, hal ini menyangkut faktor karakteristik individu dokter yang menjadi fokus dari kebijakan pembatasan tempat praktik, serta faktor psikologi dan organisasi terkait dengan pelaksanaan pelayanan dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan. Prinsip praktik kedokteran masa kini adalah kendali mutu, kendali biaya, berkeadilan, merata, terjangkau, terstruktur, dan aman dalam sebuah sistem pelayanan kesehatan berkualitas. Diberlakukannya Undang-undang (UU) No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran diharapkan bisa memperbaiki kualitas pelayanan dokter kepada pasiennya. Pembatasan tempat praktik merupakan suatu perubahan besar bagi dunia kedokteran di Indonesia. UUPK dibuat dalam rangka memberikan kepastian dan perlindungan hukum, untuk meningkatkan, mengarahkan, dan memberikan landasan hukum serta menata kembali berbagai perangkat hukum yang
mengatur
Universitas Sumatera Utara
penyelenggaraan
praktik
kedokteran.
Perubahan
tersebut
diharapkan
dapat
meningkatkan kualitas layanan kedokteran di Indonesia (Idris, 2006). Salah satu permasalahan kesehatan yang perlu ditangani dengan pelayanan yang baik adalah tingginya AKI dan AKB di Indonesia, dalam hal ini tenaga dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan (SpOG) mempunyai peran penting sesuai dengan kompetensinya dalam pelayanan pertolongan persalinan. Variabel penelitian tentang kinerja dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan tidak menelaah seluruh faktor yang disebutkan oleh Gibson et.al. (1996), dengan pertimbangan sebagai berikut: a. Faktor individu dalam penelitian ini difokuskan kepada jumlah tempat praktik sesuai amanah UUPK No 29 Thn 2004, serta pengalaman diukur dari lama kerja, umur dan jenis kelamin. Sedangkan faktor kemampuan dan keterampilan (mental dan fisik), latar belakang (keluarga, tingkat sosial), serta demografis (etnis), dianggap tidak berbeda pada setiap individu dokter atau tidak terkait langsung dengan kinerja dalam pelayanan kesehatan. b. Faktor psikologis tidak menjadi variabel penelitian karena dianggap tidak berbeda pada setiap individu dokter atau tidak terkait langsung dengan kinerja dalam pelayanan kesehatan c. Faktor organisasi difokuskan pada aspek sumber daya yang diukur dari ketersediaan sarana pelayanan dan disain pekerjaan diukur dari pengawasan pada saat melakukan pelayanan. Sedangkan faktor kepemimpinan, imbalan
Universitas Sumatera Utara
dan struktur organisasi, dianggap tidak berbeda pada setiap individu dokter atau tidak terkait langsung dengan kinerja dalam pelayanan kesehatan. Kinerja dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan mengacu kepada pelaksanaan UUPK No 29 Tahun 2004 khususnya tentang pembatasan 3 tempat praktik, sehingga parameter yang relevan untuk mengukurnya melalui aspek: keberadaan dokter spesialis kebidanan dan penyakit kandungan di tempat tugas dan bekerja selama jam kerja, jumlah pasien meninggal (ibu atau/dan bayi) dibandingkan jumlah pasien yang dilayani dan jumlah pasien dengan komplikasi pasca persalinan.
2.6.
Kerangka Konsep Penelitian Berdasarkan tinjauan kepustakaan dan landasan teori, maka kerangka konsep
penelitian ini adalah sebagai berikut : Variabel Independen (X) Karakteristik Individu -
Jumlah Tempat Praktik Lama Kerja Umur Jenis Kelamin
Karakteristik Organisasi - Pengawasan dalam pelayanan - Sarana pelayanan - Imbalan
Variabel Dependen (Y) Kinerja Dokter Spesialis Kebidanan dan Penyakit Kandungan - Berada di tempat tugas dan bekerja selama jam kerja - Jumlah pasien yang meninggal (ibu atau/dan bayi) dibandingkan jumlah pasien yang dilayani - Jumlah pasien yang meninggal (ibu atau/dan bayi) dibandingkan jumlah pasien mengalami komplikasi pasca persalinan
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara