BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Pada masa kini kota-kota di Indonesia telah banyak mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat pesat. Pembangunan massa dan fungsi baru untuk menunjang ragam aktivitas manusia terkadang tidak memperhatikan bangunan-bangunan lama yang telah berdiri jauh sebelumnya. Pada kenyataannya perubahan seperti ini, khususnya pada bangunan, kawasan maupun objek budaya yang perlu dilestarikan menjadi rawan untuk hilang dan hancur, dan dengan sendirinya akan digantikan dengan bangunan, kawasan ataupun objek lainnya yang lebih bersifat komersial. Gejala penurunan kualitas fisik tersebut, dengan mudah dapat diamati pada kawasan kota-kota yang pada umumnya berada dalam tekanan pembangunan. Di dunia modern tuntutan atas segala aktifitas dan kebutuhan manusia menjadikan pembangunan lebih berorientasi pada nilai-nilai komersialisasi. Tidak terlepas dari itu, terbatasnya jumlah lahan khususnya pada daerah perkotaan terkadang menjadikan keberadaan bangunan-bangunan maupun kawasan lama yang justru menyimpan nilai-nilai historis semakin terdesak. Faktor-faktor seperti inilah yang dapat membawa perubahan terhadap bentuk keruangan di wilayah yang bersangkutan. Dilema permasalahan pembangunan bagi kawasan kota yang
dihadapi
mempertahankan
saat
ini
wawasan
adalah kota
membangun budaya
kota
yang
modern
masih
dengan
mempunyai
kesinambungan dengan masa lalu. Konservasi/pelestarian yang dilakukan bukan semata mengawetkan kawasan kota yang bersejarah, namun berfungsi sebagai
1
alat dalam mengolah transformasi melalui pemahaman tentang sejarah perkotaan dan aspek-aspek dalam pelestarian yang dijadikan dasar dalam merancang sebuah kota. Sejak dahulu, Kota Yogyakarta sudah terkenal sebagai salah satu kota yang unik dalam hal bentuk pola tata ruangnya. Keunikan ini disebabkan karena dalam tata ruang kota terdapat suatu poros sumbu imajiner. Poros ini membentang dari arah Utara – Selatan (Gunung Merapi – Tugu Pal Putih – Kraton Yogyakarta – Panggung Krapyak – Laut Selatan) membentuk suatu jalur linear dan menghubungkan beberapa simbol-simbol fisik yang mempunyai makna nilai filosofis. Konsep filosofis kota ini (sumbu imajiner) telah dipikirkan, direncanakan dan ditanamkan jauh sebelum terbentuknya Ngayogyakarta Hadiningrat oleh seorang Raja I (pertama) Kraton Kasultanan Yogyakarta yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono I.
Gambar 1.1 Konsep sumbu imajiner Kota Yoyakarta (Sumber : http://yogyaku-istimewa.blogspot.com)
2
Pada dasarnya sumbu imajiner ini lebih memiliki arti secara simbolik daripada secara fisik. Tugu, Kraton dan Panggung Krapyak yang satu garis lurus merupakan sumbu filosofinya Kraton Yogyakarta. Dikatakan sumbu filosofi karena garis penghubung Tugu, Kraton dan Panggung Krapyak merupakan sumbu yang nyata yang berupa jalan. Adapun sebagai sumbu imajinernya adalah dari Gunung Merapi, Kraton, dan Laut Selatan. Adapun perlambangan dari Panggung Krapyak ke utara sampai Kraton menggambarkan seorang bayi sejak lahir dari rahim sang ibu, menginjak dewasa, berumah tangga, sampai melahirkan kembali. Sedangkan dari Tugu ke Kraton adalah melambangkan perjalanan manusia menghadap sang khalik. Pada awalnya Panggung Krapyak merupakan tempat yang digunakan raja-raja Mataram (prabu hanyokrowati dan HB I) untuk berburu rusa, sehingga pada kawasan alun-alun selatan ke arah selatan ini merupakan area hutan lebat. “Dalam pembangunan Ibukota Ngajogjakarta-Adiningrat, bekas-bekas tempat perburuan hewan itu atas titah Sri Sultan Hamengku Buwono I tidak dirusak semua, sebagian ketjil masih berwujud hutan, letaknya ada dibelakang Kraton, jang selandjutnya diberi nama Krapjak.”(Kota Jogjakarta 200 Tahun : 18). Panggung Krapyak terletak 2 km sebelah selatan Kraton, bentuk Panggung Krapyak yang menyerupai kastil batu ini dahulu digunakan raja untuk menonton para prajurit berlatih dan berburu rusa (menjangan). Secara filosofis simbolik melambangkan pertemuan antara wiji (benih) yang digambarkan antara Panggung Krapyak sebagai yoni (alat kelamin wanita) dengan Tugu Pal putih sebagai Lingga, melambangkan proses kelahiran manusia. (Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta, 2007 : 25). Sebelah barat laut Panggung Krapyak terletak Kampung Mijen, yang berasal dari kata wiji (benih). Menurut kepercayaan Kraton, Krapyak merupakan tempat roh-roh suci sebelum dihembuskan ke dalam calon bayi yang akan
3
dikandung sang ibu. Di sepanjang jalan poros Panggung Krapyak ke utara pada jaman dahulu banyak ditumbuhi pohon asam dan tanjung, yang mempunyai makna
“nengsemake”
(menyenangkan)
serta
disanjung-sanjung
oleh
lingkungannya, sehingga anak yang dikandung diharapkan akan memiliki sifatsifat tersebut. Panggung Krapyak memiliki peranan dan arti yang sangat penting dalam simbolik tatanan kota Yogyakarta, karena merupakan bagian awal dari tiga titik susunan sumbu filosofis (Panggung Krapyak – Kraton - Tugu) Sangkan Parananing Dumadi. (Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta, 2007 : 25). Pada perkembangan pembangunan Kraton selanjutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono I menitahkan untuk membangun kampung-kampung pemukiman dan asrama-asrama disekeliling Kraton, pemukiman ini khususnya ditujukan kepada angkatan perang maupun perwira, serta orang-orang penting, dikarenakan kawasan dalam benteng Kraton sudah tidak mencukupi. Hal ini yang menyebabkan lambat laun kawasan Panggung krapyak pun berkembang menjadi kawasan permukiman sampai saat ini. (Kota Jogjakarta 200 Tahun : 22). Yogyakarta sebagai kota yang mempunyai ciri khas dan keunikan, secara
khusus
mempunyai
struktur
bermakna
filosofis-simbolis,
yaitu
berdasarkan garis imajiner yang diyakini membentuk garis lurus. Pada perkembangan kota Yogyakarta pada saat ini, sumbu imajiner sudah banyak mengalami perkembangan namun masih tetap mempertahankan kelengkapan fisik, sarana, prasarana, estetik, etik, simbol, dan filosofis-religius eksistensinya yang mempunyai keterkaitan dengan berbagai rancangan sebagaimana fungsi dan maknanya.
4
Tabel 1.1 Konsep filosofis poros sumbu imajiner Yogyakarta Konsep filosofis
Melambangkan perjalanan manusia menghadap sang pencipta dengan segala macam godaan dan kesenangan duniawi juga kekuasaan.
Melambangkan proses kehidupan manusia dari lahir, anak-anak, menuju masa kedewasaan.
Eksisting
Penggal jalan Mangkubumi Malioboro – Ahmad Yani – Trikora. Kawasan Perkantoran, jasa, dan perdagangan. Terdapat banyak sebaran pariwisata.
Penggal jalan Gading – D.I Panjaitan. Kawasan Pemukiman yang berkembang menjadi kawasan komersial skala kecil.
Poros tata ruang imajiner Tugu-Kraton-Panggung Krapyak telah tumbuh dan berkembang sebagai pusat Kota Yogyakarta. Planologi
kota
Yogyakarta
didasarkan pada keserasian makna filosofis sumbu imajiner yang merupakan garis lurus Krapyak–Kraton-Tugu, yang masing-masing di antaranya berdiri bangunan-bangunan yang mempunyai arti dan makna tentang proses kehidupan manusia, mulai dari lahir sampai mati. Penggal jalan Tugu-Kraton (Jalan Mangkubumi – Malioboro - Ahmad Yani - Trikora) sebagai jalur penghubung Kraton dan Tugu kini merupakan jalan yang sangat sibuk dan padat. Pada penggal ini dominasi fungsi kawasan merupakan kawasan perkantoran, jasa dan perdagangan. Terdapat banyak bangunan modern, serta sebaran pariwisata. Berbeda dengan Penggal Kraton-Panggung Krapyak (Jalan Gading – D.I Panjaitan) dimana fungsi kawasan merupakan pemukiman, sehingga aktivitas di kawasan ini tidak terlalu padat.
5
Pada tabel diatas, terlihat bahwa penggal Utara merupakan kawasan dengan intensitas aktivitas dan mobilitas tinggi yang didominasi oleh kegiatan perkantoran, perdagangan dan jasa, wisata serta sosial budaya. Selain dikenal masyarakat sebagai salah satu objek wisata berbelanja, penggal Jalan Malioboro yang menghubungkan Tugu dan Kraton ini juga merupakan salah satu koridor jalan penunjang kehidupan sosial dan ekonomi di Kota Yogyakarta. Hal ini menjadikan kawasan ini cukup banyak mendapat perhatian pemerintah khususnya pada penataan elemen-elemen fisik kawasan, serta sudah banyak pula studi-studi kasus yang mengangkat kawasan Malioboro sebagai lokus penelitian. Berbeda dengan penggal Selatan dimana intensitas aktivitas tidak terlalu tinggi dan juga fungsi kawasan yang sebagian besar berupa pemukiman, namun saat ini mulai berkembang menjadi kawasan komersial skala kecil. Meskipun merupakan satu kesatuan pada sumbu imajiner, namun penggal Selatan kurang mendapat perhatian seperti pada penggal Utara. Nilai historis-kultural, filosofis, dan arsitektural sumbu imajiner tersebut merupakan identitas yang mempunyai karakter dan potensi. Keunikan pola tata ruang kota Yogyakarta yang memiliki nilai historis seperti ini perlu dipertahankan agar tidak mengalami degradasi seiring dengan berkembangnya pembangunan kota. Pertumbuhan dan perkembangan kota Yogyakarta pada masa kini lebih dilatarbelakangi
oleh
berbagai
aspek
kehidupan
seperti
perkembangan
penduduk, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, dinamika kegiatan ekonomi,
perkembangan/perluasan
jaringan
komunikasi-transportasi
dan
sebagainya. Faktor-faktor tersebut akan membawa perubahan terhadap bentuk keruangan di wilayah kota Yogyakarta, baik secara fisik maupun non fisik,
6
sebagai wadah kegiatan manusia di dalamnya. Pertumbuhan pembangunan yang tinggi mengakibatkan banyak terjadi perubahan-perubahan fungsi tata guna lahan dan fungsi kawasan, tidak terkecuali pada bangunan atau kawasan yang seharusnya di preservasi dan konservasi. Perubahan tersebut apabila tidak ditata dengan baik akan mengakibatkan perkembangan yang tidak terarahdan penurunan kualitas pemanfaatan ruang, terutama pada kualitas tata ruang kota Yogyakarta yang seharusnya dijaga yaitu poros sumbu imajiner utara selatan dan sumbu filosofis (Tugu – Kraton Yogyakarta – Panggung Krapyak). Di saat kota-kota lain mulai kritis karena kehilangan jati diri akibat pembangunan yang berorientasi pada modernisasi dan melupakan kebudayaan lokal, Kota Yogyakarta dapat tampil sesuai dengan jati dirinya.
I.2 Rumusan Masalah Setiap kota pasti mempunyai sejarahnya masing-masing; di mana, mengapa dan kapan didirikan, dibangun dan dipertahankan; bagaimana kegiatan perencanaan kota teknis dan non-teknis (simbolis dan nilai budaya). Adanya pemusatan kegiatan pada penggal Tugu-Kraton menjadikan masyarakat lebih mengenali
penggal
jalan
tersebut
sebagai
sumbu
filosofis Yogyakarta.
Permasalahan pada penggal jalan Alun-alun Selatan – Panggung Krapyak kota Yogyakarta adalah kurang dipahaminya penggal jalan tersebut sebagai satu kesatuan yang menerus dari sumbu imajiner Yogyakarta (Tugu – Kraton Yogyakarta – Panggung Krapyak). Dibutuhkan suatu arahan dalam penataan yang dapat mempertegas aksis sumbu imajiner tersebut sebagai jalur yang memiliki nilai filosofis dan historis terhadap kota Yogyakarta.
7
Gaya dan bentuk bangunan, banyak fasad bangunan lama yang dibongkar mempengaruhi karakter fisik, visual kawasan tersebut, serta perkembangan kawasan pemukiman yang mulai berkembang menjadi kawasan komersial dan jasa di beberapa titik pada koridor penelitian dapat mempengaruhi kualitas visual dari kawasan tersebut, sehingga dibutuhkan arahan dalam pengembangannya. Arahan yang dapat membentuk kualitas visual pada penggal jalan Alun-alun Selatan – Panggung Krapyak yang dapat mempertegas karakter sumbu imajiner sebagai satu kesatuan sumbu filosofis Yogyakarta.
I.3 Pertanyaan Penelitian • Bagaimana karakter visual Penggal Jalan Alun-alun Selatan – Panggung Krapyak saat ini? • Elemen rancang kota seperti apa yang dapat memperkuat karakter visual pada Penggal Jalan Alun-Alun Selatan – Panggung Krapyak sebagai bagian dari sumbu imajiner Yogyakarta?
I.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah: • Mengidentifikasi karakter visual pada Penggal Jalan Alun-alun Selatan – Panggung Krapyak yang ada pada saat ini. • Memberikan arahan rancangan pola pengembangan visual pada Penggal Jalan Alun-alun Selatan – Panggung Krapyak berdasarkan elemen rancang kota yang paling berpengaruh yang dapat memperkuat karakter visual sumbu imajiner Yogyakarta yang memiliki nilai historis.
8
I.5 Sasaran Penelitian Terciptanya kualitas lingkungan fisik baik secara spasial maupun visual dan terwujudnya arahan desain (guidelines) yang dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam perkembangan dan pertumbuhan pembangunan penggal jalan alun-alun selatan – Panggung Krapyak agar dapat memperkuat konsep filosofis sumbu imajiner Kota Yogyakarta serta dapat menjaga karakter dan kualitas visual kawasan sebagai satu kesatuan sumbu imajiner Yogyakarta yang memiliki nilai historis.
9
I.6 Keaslian Penelitian Tabel 1.2 Keaslian Penelitian No
Peneliti - Judul
1
• Yohanes Firza • Tesis DKB UGM 2001 • Arahan Rancangan Menjaga Karakter Kawasan
• Karakter Visual • Jl Asia Afrika, Bandung
• Yohanes melakukan pengamatan terhadap elemen karakter visual kawasan (masa, ruang, sirkulasi fungsi aktifitas dan vegetasi); merumuskan elemen penting pada kawasan jalan asia afrika, untuk mengetahui bagian yang dapat dipertahankan dan dijaga.
2
• Limra Naupan • Tesis DKB UGM 2009 • Peran Kualitas Visual untuk Mempertahankan Karakter Kawasan eks. Perkantoran Kab. Lahat • Erlangga • Tesis DKB UGM 2010 • Arahan desain pengembangan kawasankayutangan berdasarkan kajian visual • FaizfulRamdan • Tesis DKB UGM 2011 • ArahanRancanganPengendal ian • Karakter Visual Kawasan Kota Lama Padang • HendiWarlikaSedo Putra • Tesis DKB UGM 2012 • Karakter Visual KoridorKawasan Lama Sekanak -Palembang
• Karakter Kawasan • Kawasan eks. Perkantoran Kab. Lahat tepian Sungai LematangKota Lahat
• Penelitian bertujuan untuk menemukan faktor yang menyebabkan menurunnya kualitas visual yang berpengaruh penurunan karakter kawasan.
• Karakter dan Kualitas Visual • Koridor Jl Kayutangan Kota Malang
• Penelitian Erlangga bertujuan untuk menemukan elemen yang membentuk karakter (massa, ruang, sirkulasi, fungsi aktivitas, vegetasi) dan yang membedakan dengan kawasan lain.
• Karakter Visual Kawasan • JalanBatangArau Padang
• Penelitian Faizful Ramdan dititik beratkan pada pengamatan elemenelemen pembentuk karakter visual kawasan yaitu bangunan dan fungsi aktifitas, dengan area pengamatan kawasan kota lama.
• Karakter Visual • Jl. DepatenBaru – Jl. Ki IngSuro, Sekanak, Palembang
• Penelitian Hendi Warlika yaitu pengamatan elemen-elemen pembentuk karakter visual kawasan yaitu massa, ruang, sirkulasi, vegetasi, dan fungsi aktivitas, melalui pengamatan secara statis.
3
4
5
Fokus - Lokus
PerbedaandenganPenulis
(Sumber: Daftar Tesis Program Pasca Sarjana Magister Desain Kawasan Binaan dan Perpustakaan Jurusan Teknik Arsitektur UGM)
Pada penelitian-penelitian terdahulu, elemen visual yang diteliti meliputi aspek fisik (massa, ruang, sirkulasi, fungsi, aktivitas, vegetasi) dan aspek non fisik (aktivitas). Perbedaan dengan penulis adalah elemen visual yang diteliti yaitu pada aspek fisik yang terdiri dari street space dan street wall. Selain itu metode yang digunakan pada penelitian terdahulu menggunakan pengamatan secara statis, sedangkan penulis akan menggunakan metode pengamatan secara statis dan dinamis.
10