1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Globalisasi merupakan sebuah fenomena global yang merambah ke seluruh dunia dan mempengaruhi sendi kehidupan seluruh lapisan masyarakat
termasuk
di
Indonesia
dengan
membawa
berbagai
konsekwensi sebagai akibat globalisasi baik segi positif maupun negatif. Seiring dengan perkembangan jaman, dalam bidang teknologi, informasi dan
komunikasi
perkembangan
mengalami
informasi
perkembangan
tanpa batas
telah
yang
sangat
pesat,
membuka wawasan
pengetahuan baru dan bentuk-bentuk peradaban baru dalam masyarakat, kehausan masyarakat akan perkembangan informasi yang terus bergerak dinamis memaksa masyarakat untuk terus berburu informasi-informasi terbaru. Efek dari globalisasi, semua informasi dari seluruh penjuru dunia berupa baik informasi yang positif maupun negatif dapat diakses dengan sangat mudah, namun informasi yang diterima tidak selalu selaras dengan norma agama, norma kesusilaan, norma hukum dan budaya yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Sisi positif dari pemberitaan adalah memperluas wawasan sekaligus menyadarkan masyarakat agar selalu waspada terhadap dinamika lingkungan dan memahami gejala-gejala yang berkembang, namun sisi negatif dari pemberitaan juga memberikan beban yang berat bagi masyarakat, saat ini sangat mudah bagi masyarakat
2
untuk melihat situs porno, provokasi-provokasi yang memecah belah, kejahatan internasional dan kejahatan multi dimensi lainnya. Berita-berita tentang kejahatan yang terjadi dan ditayangkan di media massa banyak menjadi favorit masyarakat, fenomena-fenomena kejahatan yang tersaji dalam berita yang dikonsumsi oleh masyarakat dapat menjadi sebuah contoh cara melakukan kejahatan bagi masyarakat yang belum pernah melakukan. Banyak terjadi kejahatan-kejahatan dimensi baru yang kemudian ditiru oleh oknum-oknum pelaku wajah baru dan mengejutkan publik seperti kasus terorisme, narkoba, korupsi dan pelecehan seksual yang pada awalnya sangat tidak populer, saat ini menjadi berita yang sangat populer di media massa. Salah satu kejahatan yang menjadi fenomena baru di masyarakat adalah penyimpangan seksual, dalam suatu masyarakat perilaku seks yang tidak sesuai dengan norma agama, norma hukum, atau norma susila dikatakan sebagai penyimpangan atau kelainan seksual. Pengertian tersebut tidak sepenuhnya benar, karena pengertian secara luas tingkah laku seksual adalah, segala perilaku yang didasari oleh dorongan seks. Menurut Kartono ada dua jenis perilaku seks, yaitu perilaku yang dilakukan sendiri, seperti masturbasi, fantasi seksual, membaca bacaan porno dan lain-lain, serta perilaku seksual yang dilakukan dengan orang lain, seperti berpegangan tangan, berciuman hingga berhubungan intim. Perilaku penyimpangan seksual merupakan tingkah laku seksual yang tidak dapat diterima oleh masyarakat dan tidak sesuai dengan tata cara, norma agama, norma hukum serta norma kesusilaan. Penyimpangan seks
3
dikuasai oleh kebutuhan-kebutuhan neorotis dengan dorongan-dorongan non-seks daripada kebutuhan erotis yang pada akhirnya mengarahkan seseorang pada tingkah laku menyimpang yang dapat merugikan orang lain dan orang banyak. 1 Menurut Kartono ketidakwajaran seksual (sexual perversion) itu mencakup perilaku seksual atau fantasi-fantasi seksual yang diarahkan pada pencapaian orgasme lewat relasi di luar hubungan kelamin heteroseksual dengan jenis kelamin yang sama atau dengan partner yang belum dewasa dan bertentangan dengan norma-norma tingkah laku seksual dalam masyarakat yang bisa diterima secara umum. 2 Beberapa waktu yang lalu hangat diberitakan di media massa tentang kasus kekerasan seksual terhadap anak hingga korban meninggal dunia, penulis tertarik mengangkat kasus kekerasan seksual sebagai bahan tesis karena kasus kekerasan seksual menjadi trend baru berita media dan tekanan publik untuk mengetahui perkembangan kasus melalui media massa sangat kuat, pressure media terhadap kinerja Polri sebagai penyidik sangat besar serta banyak sorotan dari lembaga dan organisasi masyarakat yang mengkritisi kasus tersebut. Pelanggaran terhadap norma dan peraturan perundang undangan harus dilakukan penegakan hukum yang harus tetap mewujudkan suatu penghargaan dan komitmen menjunjung tinggi terhadap hak asasi manusia serta menjamin semua warga negara setara dalam hukum. Proses penegakkan hukum sering terjadi hal-hal yang dapat merusak 1 2
Kartini Kartono. Patologi Sosial 2. Jakarta: Radja Grafindo Persada. 1998. Hal. 22. Kartini Kartono. Ibid. Hal 35.
4
penegakkan proses hukum itu sendiri dan mengabaikan korban yang tidak dilindungi hak-haknya oleh Negara, pada kenyataannya kejahatan tidak mungkin dapat dihilangkan namun hanya dapat ditekan dan dikurangi. Kemungkinan kejahatan akan terus berlangsung dan meningkat. Korban juga semakin berkembang, bukan saja perseorangan, tetapi bisa lebih meluas korban kelompok, masyarakat, institusi dan bahkan negara. Menurut pandangan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana pengertian “korban kejahatan” dalam terminologi Ilmu Kriminologi dan Victimologi adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan. Konsekuensi logisnya perlindungan korban dalam Kongres PBB VII/1985 di Milan dalam “The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders” dikemukakan, bahwa hak-hak korban seharusnya terlihat sebagai bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana “victims rights should be perceived as an integral aspect of the total criminal justice system”. 3 Dalam terjadinya suatu tindak pidana di suatu Negara, pelaku korban
kejahatan
mendapatkan
perlindungan
hak-haknya,
untuk
menyeimbangkan hal tersebut maka perlu suatu peraturan yang mengatur tentang perlindungan korban kejahatan. Sistem Peradilan melalui produk 3
Upaya Hukum Yang Dilakukan Korban Dikaji Dari Perspektif Sistem Peradilan Pidana. http://pnkepanjen.go.id. Diakses tanggal 13 November 2015. Pukul 12.47 wib.
5
peraturan perundang-undangan Indonesia, khususnya Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diundangkan dalam Undang-Undang
Nomor
8
Tahun
penyelenggaraan
Sistim
Peradilan
1981
menjadi
Pidana,
belum
dasar
dari
benar-benar
mencantumkan, terhadap apa yang diisyaratkan dalam UUD 45 dan falsafah negara Pancasila tersebut. B.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis akan melakukan penelitian dengan mengangkat rumusan masalah sebagai berikut: 1.
Mengapa pelaku melakukan kekerasan seksual?
2.
Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual?
3.
Bagaimana upaya pencegahan yang harus dilakukan agar anak tidak menjadi korban kekerasan seksual?
C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk: 1)
menemukan pola pelaku kekerasan seksual dan latar belakang pelaku
melakukan
kekerasan
seksual
serta
memberikan
pemahaman masyarakat untuk mengurangi peluang dan niat terjadinya kejahatan seksual. 2)
menjelaskan proses hukum yang dilakukan oleh Polri sekaligus mewujudkan perlindungan hukum terhadap anak yang menjadi korban kasus kekerasan seksual sehingga diharapkan dapat
6
memberikan shocktherapy kepada pelaku dan calon pelaku kejahatan seksual. 3)
menjelaskan upaya pencegahan yang harus dilakukan oleh semua elemen masyarakat agar memahami apa yang dapat dilakukan oleh masing-masing fihak agar anak tidak lagi menjadi korban kasus serupa di masa yang akan datang.
D.
Manfaat Penelitian Berdasarkan hasil penelitian diharapkan dapat diambil manfaat penelitian yaitu: 1) dapat menambah informasi atau wawasan yang lebih konkrit bagi aparat penegak hukum dan pemerintah, khususnya dalam menangani kejahatan seksual yang terjadi di Indonesia. 2) dapat memberikan sumbangan pemikiran ilmiah bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum pada umumnya, dan pengkajian hukum khususnya yang berkaitan dengan kebijakan kriminal dalam menanggulangi kejahatan seksual. 3) dapat memahami lebih detail tentang psikologi pelaku, latar belakang pelaku, modus kejahatan pelaku, motivasi dan pengaruh lingkungan pelaku sehingga dapat memberikan informasi ke masyarakat untuk mengurangi peluang dan cara mencegah niat terjadinya kejahatan seksual. 4) penelitian ini diharapkan dapat menggambarkan proses perlindungan hukum yang dilakukan oleh kepolisian terhadap pelaku dan
7
perlakuan khusus terhadap anak yang menjadi korban kasus kekerasan seksual. 5) dapat memberikan masukan kepada semua pihak dan elemen masyarakat
maupun
pemerintah
terkait
upaya
memberikan
perlindungan terhadap anak agar tidak terulang kasus serupa di masa yang akan datang. E. Orisinalitas Penelitian Penelitian sejenis dengan fokus penelitian terhadap Perlindungan Anak dan korban kekerasan seksual pernah dilakukan oleh: 1. Imam Jauhari, dengan judul: “Kajian Yuridis terhadap Perlindungan Anak dan Penerapannya (Studi di Kota Binjai, Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang)”. 4 Fokus penelitian dengan mengkaji tiga permasalahan yang meliputi: a.
undang-undang perlindungan anak belum dapat memberikan perlindungan terhadap hak anak;
b.
hambatan-hambatan
dan
sebab-sebab
yang
terjadi
dalam
penerapan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak; dan c.
peran Pemerintah Daerah dalam mewujudkan peraturan dan undang-undang perlindungan anak terhadap hak-hak anak.
Ada tiga temuan yang disajikan dalam penelitian disertasinya adalah: a. Undang-undang Perlindungan Anak belum dapat memberikan perlindungan
4
hukum
terhadap
hak
anak,
Pemda
belum
Program Doktor Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Medan. 2005
8
mempunyai perhatian khusus dan political will terhadap perlindungan hak anak serta belum menjadi prioritas. Belum ada lembaga khusus yang dibentuk untuk melindungi hak anak. b. hambatan yang terjadi dalam penerapan perlindungan hukum anak adalah belum adanya kerjasama lintas sektoral dengan instansi terkait, yaitu Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama dan tingkat kepedulian masyarakat yang masih rendah. c. peran Pemda dalam mewujudkan perlindungan anak baru sampai pada tahap pemberian bantuan kepada anak terlantar di Panti Asuhan, pembuatan rumah singgah dan penambahan biaya buku bagi anak sekolah yang tidak mampu. 2.
Tri Wahyu Widiastuti, dengan judul “Kebijakan Hukum Pidana dalam perlindungan terhadap Korban Perkosaan”. 5 Fokus penelitian dengan mengkaji dua permasalahan, yaitu : a.
bagaimana kebijakan perlindungan korban perkosaan dalam hukum pidana positif Indonesia; dan
b.
bagaimana prospek pengaturan/formulasi perlindungan korban perkosaan dalam hukum pidana di masa yang akan datang? Adapun hasil penelitian adalah sebagai berikut:
a.
kebijakan perlindungan korban dalam hukum positif Indonesia selama ini belum terlaksana dengan baik, masalah kejahatan hanya berfokus kepada pelaku tindak pidana, sedangkan korban belum
5
Program Magister Ilmu Hukum. Universitas Diponegoro. Semarang. 2008.
9
mendapat perhatian serius. Pasal 98-101 KUHAP mengatur penggabungan gugatan ganti kerugian ke dalam proses peradilan pidana berupa ganti rugi materiil, sedangkan ganti rugi immateriil tidak dapat diterima. b.
prospek pengaturan/formulasi perlindungan korban perkosaan dalam hukum pidana di masa yang akan datang dengan memasukkan sanksi pidana ganti kerugian ke dalam sanksi pidana tambahan sehingga hakim dapat menjatuhkannya bersamaan dengan pidana pokok atau secara mandiri.
F. Kerangka Teori Perkembangan kehidupan manusia selalu berkembang setiap saat untuk mencapai kematangan sosial. Proses perkembangan kepribadian dan kejiwaan dari diri seorang individu merupakan salah satu syarat mutlak untuk menunjukkan eksistensi manusia dalam masyarakat, sebagaimana makhluk sosial baik secara internal maupun secara eksternal. Perilaku menyimpang adalah semua tindakan yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku di suatu sistem sosial dan menimbulkan usaha dari pihak berwenang dalam sistem untuk memperbaiki perilaku menyimpang tersebut. Penyimpangan dalam suatu masyarakat tidak berarti merupakan penyimpangan dalam masyarakat lainnya karena ada perbedaan standar atau ukuran tentang nilai dan norma yang berlaku di lingkungan masyarakat itu sendiri.
10
Perilaku penyimpangan seksual merupakan tingkah laku seksual yang tidak dapat diterima oleh masyarakat dan tidak sesuai dengan tata cara,
norma
agama,
norma
hukum
serta
norma
kesusilaan.
Penyimpangan seks dikuasai oleh kebutuhan-kebutuhan neorotis dengan dorongan-dorongan non-seks daripada kebutuhan erotis yang pada akhirnya mengarahkan seseorang pada tingkah laku menyimpang yang dapat merugikan orang lain dan orang banyak. Menurut
Kartono
(1998)
ketidakwajaran
seksual
(sexual
perversion) itu mencakup perilaku seksual atau fantasi-fantasi seksual yang diarahkan pada pencapaian orgasme lewat relasi di luar hubungan kelamin heteroseksual dengan jenis kelamin yang sama atau dengan partner yang belum dewasa dan bertentangan dengan norma-norma tingkah laku seksual dalam masyarakat yang bisa diterima secara umum. 6 Poerwandari (2000) mendefinisikan kekerasan seksual sebagai tindakan yang mengarah ke ajakan/desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium, dan atau melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki oleh korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual, ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban dengan kekerasan
6
Kartini Kartono. Ibid. Hal. 23.
11
fisik maupun tidak; memaksa melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak disukai, merendahkan, menyakiti atau melukai korban. 7 Menurut hasil penelitian Studi Australian oleh Goldman and Goldman, 82% korban mengalami kekerasan seksual di bawah usia 13 tahun dan 60% terjadi dengan anak-anak lain sedangkan 22% kekerasan seksual anak dialami dengan orang dewasa. Korban kekerasan seksual anak dikaitkan dengan umur korban, 28% dialami oleh perempuan, dan 9% adalah laki-laki. Rata-rata umur korban adalah 9.8 tahun untuk anak perempuan dan 10.3 tahun untuk anak laki-laki. 24% pelaku kekerasan seksual anak adalah dilakukan oleh orang asing, sedangkan 76% pelaku kekerasan seksual anak adalah orang yang sudah dikenal oleh korban. 8 Sisca & Moningka (2009) 9 mengatakan bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada masa kanak-kanak merupakan suatu peristiwa krusial karena akan membawa dampak negatif pada kehidupan korban di masa dewasanya. Mboiek (1992) 10 dan Stanko (1996) 11 mendefinisikan kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang biasanya dilakukan lakilaki dan ditujukan kepada perempuan dalam bidang seksual yang tidak 7
Poerwandari, E. K. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3). Universitas Indonesia. 1998. 8
Robert Osadan.“The Importance of Knowing Child Sexual Abuse Symptoms in the Elementary Teacher’s Work”. International Journal of Humanities and Social Science” Vol. 5, No. 7 (1), July 2015. 9 Sisca, H., & Moningka, C., Resiliensi perempuan dewasa muda yang pernah mengalami kekerasan seksual di masa kanak-kanak. Jurnal Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Sipil) Vol : 3 Oktober 2009. 10 Mboiek, P. B., Pelecehan seksual suatu bahasan psikologis paedagogis, makalah dalam Seminar Sexual Harassment, Surakarta 24 Juli 1992 (Surakarta: kerjasama Pusat Studi Wanita Universitas Negeri Surakarta dan United States Information Service). 1992. 11 Stanko, E. A., Reading Danger: Sexual Harassment, Anticipation and Self-Protection, dalam Marianne Hester (ed.) Women Violence and Male Power: Feminist Activism, Research and Practice. 1996. (Buckingham: Open University Press). 1996.
12
disukai oleh perempuan sebab ia merasa terhina, tetapi kalau perbuatan itu ditolak ada kemungkinan ia menerima akibat buruk lainnya. Suhandjati (2004) 12 mengatakan bahwa seseorang dikatakan sebagai korban kekerasan apabila menderita kerugian fisik, mengalami luka atau kekerasan psikologis, trauma emosional, tidak hanya dipandang dari aspek legal, tetapi juga sosial dan kultural. Bersamaan dengan berbagai penderitaan itu, dapat juga terjadi kerugian harta benda. Tower (2002), 13 dalam “The nation center on child abuse and neglect
1985”,
menyebutkan
beberapa
jenis
kekerasan
seksual
berdasarkan pelakunya, yaitu: 1.
Kekerasan yang dilakukan oleh anggota keluarga.
2.
Kekerasan yang dilakukan oleh orang lain di luar anggota keluarga.
3.
Kekerasan dalam Perspektif Gender Faham gender memunculkan perbedaan laki-laki dan perempuan,
yang sementara diyakini sebagai kodrat Tuhan dan tidak dapat dirubah, gender membatasi bagaimana seharusnya perempuan dan laki-laki berfikir dan berperilaku dalam masyarakat. Perbedaan perempuan dan laki-laki akibat gender ternyata melahirkan ketidakadilan dalam bentuk sub-ordinasi, dominasi, diskriminasi, marginalisasi dan stereotype. Bentuk ketidakadilan tersebut merupakan sumber utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Dampak yang muncul dari kekerasan
12
Suhandjati, S., Kekerasan terhadap istri. Yogyakarta: Gama Media. 2004. Tower, C., Understanding Child Abuse and Neglect (5thed). Boston: Allyn & Bacon, A Pearson Education Company. 2002. 13
13
seksual kemungkinan adalah depresi, phobia, dan mimpi buruk, curiga terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya tindak kekerasan seksual yang dialami oleh anak adalah sebagai berikut: 1)
Faktor kelalaian orang tua, kelalaian orang tua yang tidak memperhatikan pertumbuhan, perkembangan dan pergaulan anak yang membuat anak menjadi korban kekerasan seksual.
2)
Faktor rendahnya moralitas dan mentalitas pelaku, moralitas dan mentalitas yang tidak dapat tumbuh dengan baik, membuat pelaku tidak dapat mengontrol nafsu atau perilakunya.
3)
Faktor ekomoni, faktor ekonomi keluarga yang membuat pelaku dengan mudah memuluskan rencananya dengan memberikan iming-iming kepada korban yang menjadi target dari pelaku. 14 Polisi dan jaksa sebagai bagian sub-sistem peradilan pidana
sebagai pintu gerbang masuknya perkara pidana ke pengadilan menunjukkan sikap yang kurang respek terhadap korban/pelapor. Negara, dalam hal ini polisi dan jaksa, memiliki peran yang dominan dan memonopoli reaksi terhadap pelanggaran hukum pidana adalah wakil sah dari masyarakat atau kepentingan publik, sesungguhnya telah mengambil alih peran korban sebagai pihak yang menderita karena kejahatan. Peran negara tersebut tidak diikuti oleh pengaturan hukum yang jelas mengenai hubungan hukum antara korban kejahatan di satu pihak dengan negara (dalam hal ini polisi dan jaksa) di lain pihak. Keadaan 14
Sarlito W. Sarwono., Psikologi Remaja, 2003, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
14
tersebut menjadi conditio sine qua non bagi nasib korban kejahatan, yakni sebagai objek yang pasif dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana. Partisipasi korban kejahatan dalam sistem peradilan dipandang sebagai “nothing more than a piece of evidence” 15 yang posisinya berada di
luar
sistem
(outsider),
bukan
menjadi
pihak
yang
sangat
berkepentingan dan terlibat dalam sistem (insider). Hubungan antara korban kejahatan dengan polisi digambarkan sebagai hubungan yang tidak langsung (indirect) yang tidak menimbulkan akibat hukum. Hal ini berbeda dengan hubungan antara tersangka dengan penasehat hukumnya (direct) yang murni sebagai hubungan hukum antara dua subjek hukum yang menimbulkan akibat hukum. 16 Contoh korban kejahatan dalam kasus wartawan Udin merupakan bukti dari ketidak-jelasan hubungan hukum antara korban kejahatan dengan polisi dan jaksa yang menjadi salah satu penyebab korban kejahatan mengalami viktimisasi sekunder (secondary victimization),17
15
Robert Reiff. The Invisible Victim, New York: Basic Books Inc. Publishers. 1979. Hal. 76 dalam Mudzakkir. Kedudukan Korban Tindak Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia Berdasarkan KUHP Dan RUU KUHP . Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 14, No.1, Maret 2011. Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Hal. 29 16 Hubungan antara penjual jasa hukum dengan pengguna jasa hukum. Terdakwa dapat memilih ahli hukum yang baik sebagai penasehat hukumnya yang benar-benar dapat memperjuangkan kepentingankepentingannya dan ia sewaktu-waktu dapat mencabut kuasanya bila penasehat hukum tidak melaksanakan tugasnya dengan baik dan memuaskan. Sebaliknya korban tidak bisa memperlakukan polisi seperti halnya terdakwa terhadap penasehat hukumnya. Hubungan antara korban kejahatan dengan polisi dan jaksa adalah hubungan yang bersifat unik dan simbolik, karena korban tidak memiliki hak terhadap polisi dan jaksa seperti halnya terdakwa dengan penasehat hukumnya. Mudzakkir, Ibid. Hal. 30. 17 Maksudnya korban kejahatan akan mengalami viktimisasi akibat adanya reaksi formal maupun informal yang tidak respek terhadap kepentingan korban. Masalah ini dibahas di dalam William F. McDonald., Criminal Justice and The Victim. London: Sage Publications. 1976. Mudzakkir, Ibid. Hal. 31.
15
pertama oleh pelaku kejahatan dan kedua oleh sistem peradilan pidana itu sendiri. Kebijakan penanggulangan dapat dilaksanakan dengan cara penal dan nonpenal, penanggulangan penal adalah kebijakan kriminal yaitu penanggulangan setelah terjadinya kejahatan atau menjelang terjadinya kejahatan (sudah bertemunya niat dan kesempatan) dengan memberikan sanksi pidana bagi pelakunya yang bertujuan agar kejahatan tidak terulang kembali. Sedangkan kebijakan nonpenal adalah penanggulangan kejahatan tidak dengan menggunakan sanksi hukum, kebijakan nonpenal lebih mengarah kepada upaya pencegahan terjadinya kejahatan dengan cara preemtif (himbauan) dan preventif (pencegahan). G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan suatu proses penelitian yang dilakukan untuk menemukan aturan hukum maupun prinsip hukum untuk menjawab masalah hukum yang menjadi pokok bahasan penelitian. Sifat penelitian adalah deskriptif analitis, yaitu memberi gambaran secara jelas dan menganalisa bahan yang diperoleh mengenai konsep-konsep yang relevan sehingga dapat mengambil kesimpulan yang logis, sistematis dan mudah dipahami berkaitan dengan latar belakang pelaku, proses hukum yang dilakukan dan upaya pencegahan terjadinya kasus tersebut. 2. Metode Penelitian
16
Penelitian ini merupakan penelitian normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk mengkaji peraturan perundang-undangan yang berlaku dan terkait dengan proses hukum kasus kekerasan seksual terhadap anak, sedangkan pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap keunikan beberapa kasus kekerasan seksual terhadap anak yang sedang diproses hukum atau yang telah selesai diproses oleh Polres/Poltabes di wilayah Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta. 3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Polres/Poltabes wilayah Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan alasan pemilihan lokasi ini karena penulis menilai bahwa Kota Yogyakarta memiliki keunikan dalam kejadian kejahatan, hal ini sangat menarik dikaji karena wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan wilayah sekitarnya merupakan wilayah yang heterogen dan mewakili semua adat istiadat dari seluruh Nusantara, Polri sebagai pengemban supremasi hukum dalam melaksanakan tugasnya selalu diawasi oleh media dan masyarakat sehingga harus diimbangi dengan sikap
professional
dan
proporsional
seorang
penyidik
dalam
menyelesaikan proses hukum kasus tersebut. 4. Sumber Data Sumber-sumber penelitian berupa bahan-bahan primer dan bahanbahan sekunder dan bahan tertier, bahan primer merupakan bahan yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan primer berasal
17
dari wawancara penulis dengan penyidik dan pelaku keajahatan seksual yang diindikasikan mempuyai kelainan seksual. Bahan sekunder terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dalam hal ini bahan-bahan yang terkait dengan kasus tersebut adalah KUHAP, KUHP, peraturan Perundangundangan, semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum dan jurnal-jurnal hukum dalam hal ini adalah Berkas Acara Pemeriksaan. Sumber data penelitian akan diambil dari 5 (lima) Poltabes/Polres di wilayah Polda Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu Poltabes Yogyakarta, Polres Sleman, Polres Bantul, Polres Gunung Kidul, dan Polres Kulon Progo, sesuai dengan karakteristik masingmasing wilayah. Setelah dilakukan analisa data akan diambil beberapa berkas perkara yang diindikasikan pelaku memiliki kelainan dalam melakukan kekerasan terhadap korban.
5. Teknik Pengumpulan Data a. Wawancara Wawancara atau interview merupakan teknik pengumpulan data dengan cara mengajukan pertanyaan kepada sumber informasi. Data atau informasi itu berupa tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, hasil pemikiran, atau pengetahuan seseorang tentang segala sesuatu hal yang dipertanyakan sehubungan dengan masalah
18
penelitian. Dalam penelitian ini wawancara akan dilakukan kepada Penyidik Polri dan wawancara mendalam juga akan dilakukan kepada pelaku yang diindikasikan memiliki kelainan dalam melakukan kekerasan seksual terhadap anak. b. Studi Kepustakaan Studi Kepustakaan adalah cara pengumpulan data yang dilakukan dengan kategorisasi dan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan penelitian, baik dari jurnal, buku, koran, majalah ilmiah, dan lain-lain. Atau cara mengumpulkan data tertulis berupa arsip-arsip, termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil, hukum, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Dalam penelitian ini data dokumentasi yang diperlukan antara lain meliputi: berbagai referensi untuk tinjauan pustaka, data dari instansi samping yang berkaitan dengan kasus kekerasan seksual, serta publikasi media massa.
H. Teknik Analisis Data Analisis
data
merupakan
proses
mengatur
urutan
data,
mengorganisasikannya ke dalam suatu pola dan suatu uraian dasar. Proses analisis data merupakan usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan perihal rumusan dan hal-hal yang diperoleh dalam penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Dalam hal ini terdapat tiga komponen analisis yaitu reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasinya.
19
Reduksi dan sajian data disusun pada waktu penulis sudah mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitian. Dalam mereduksi data, penulis menyisihkan data-data yang tidak diperlukan dan mengambil data yang diperlukan. Untuk penyajian data penulis membuat dalam bentuk narasi yang disusun secara logis. Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, penulis mulai melakukan untuk menarik kesimpulan yang didasarkan pada semua yang terdapat dalam reduksi data dan sajian data. I. Objek Penelitian Pengumpulan sampel dilakukan di wilayah Polda Daerah Istimewa Yogyakarta dengan fokus kasus kekerasan seksual yang sudah dilaporkan di 5 (lima) Polres/Poltabes yaitu: (1) Poltabes Yogyakarta (2) Polres Sleman (3) Polres Bantul (4) Polres Gunung Kidul (5) Polres Kulon Progo. Alasan pemilihan Objek penelitian di 5 (lima) Polres di wilayah Polda DIY disebabkan karena keunikan karakteristik wilayah dan masyarakat di masing-masing Polres berbeda. Kondisi ekonomi masyarakat sangat mempengaruhi tingkat kriminalitas yang terjadi di wilayah
tersebut.
Poltabes
Yogyakarta merupakan
Polres
yang
mempunyai wilayah hukum Kota Yogyakarta dengan karakteristik masyarakat yang beragam dan komplek, semua perwakilan etnis suku bangsa Indonesia ada di Yogyakarta dengan situasi yang tenang namun mempunyai karakteristik sebagai sumbu pendek yang mudah bergejolak. Polres Sleman dan Polres Bantul merupakan Polres penyangga Kota Yogyakarta dengan tingkat kepadatan penduduk, daerah industri dan mobilitas yang sangat tinggi.
20
Polres Gunung Kidul, dan Polres Kulon Progo merupakan Polres dengan karakteristik masyarakat pedesaan, yang mempunyai wilayah hukum daerah pinggiran dengan tingkat kerawanan dan karakteristik masyarakat yang beragam. Penelitian akan dilakukan dengan mengambil masing-masing Polres minimal 1 (satu) sampel kasus kekerasan seksual dari masing-masing Polres yang sudah ditentukan. Sampel kemudian dilakukan klasifikasi dan dianalisa untuk menemukan pelaku yang memiliki pola kejahatan dan pola pelaku serta korban. Hasil analisa akan dituangkan dalam bentuk tesis sebagai bentuk pertanggung jawaban terhadap hasil penelitian. J. Teknik Uji Validitas Data Data dalam penelitian ini merupakan hasil penelitian berkas perkara, wawancara dan komunikasi antara peneliti dengan pelaku dengan penyidik yang menangani kasus kekerasan seksual. Data dikumpulkan dengan metode simak, catat dan wawancara mendalam yang dilakukan sebagai salah satu cara menguji validitas data, yaitu derajat kesesuaian dan ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan data yang diperoleh peneliti. 18 Data dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara kejadian yang sesungguhnya terjadi pada objek penelitian. Teknik validitas data dilakukan dengan triangulasi yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data melalui sumber lain yang bertujuan untuk mengecek kebenaran data yang diperoleh.
18
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitataif. R&D. Alfabeta: Bandung. 2012. Hal. 117.
21
K. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan tesis ini terdiri dari 4 (empat) bab. Pada masing-masing bab terbagi dalam beberapa sub bab, sehingga mempermudah pembaca untuk mengetahui gambaran secara ringkas mengenai uraian yang dikemukakan dalam tiap bab. Pada Bab I berisi Pendahuluan yang menguraikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, kerangka teori, kerangka penelitian, metode penelitian, teknik analisa data, obyek penelitian, teknik uji validitas data dan sistematika penulisan. Bab II berupa
Tinjauan
Pustaka
yang
berisikan
tentang
pengertian
penyimpangan sosial, penyimpangan seksual, penyimpangan seksual dengan korban anak, kekerasan seksual, kekerasan seksual pada anak, proses peradilan pidana, penegakkan hukum, kewenangan Polri, penegakkan hukum oleh Polri dan peran instansi terkait. Selanjutnya Bab III berupa Hasil Penelitian dan Pembahasan, pada Bab III ini akan dibahas tentang hasil penelitian, hasil pemeriksaan, hasil wawancara pelaku, hasil wawancara penyidik, pembahasan, terjadinya kekerasan seksual terhadap anak, proses perlindungan hukum kasus kekerasan seksual dan peran dari masing-masing institusi untuk mencegah korban kekerasan seksual. Bab IV berisikan Simpulan dan Saran yang merupakan akhir dari penulisan tesis yang berisikan simpulan dan saran yang merupakan jawaban permasalahan yang diangkat untuk dapat menjawab identifikasi masalah dan membuat saran-saran terhadap masalah perlindungan terhadap anak dari kekerasan seksual.