BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam era globalisasi dewasa ini, perdagangan internasional telah mengalami perkembangan yang sangat pesat dari waktu ke waktu, di mana negara-negara di dunia saat ini telah menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara dan telah mengarah pada pola perdagangan bebas. Perdagangan internasional yang mengarah pada pasar bebas ini pada dasarnya akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif dan sebaliknya juga akan membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik. Hal ini dapat memungkinkan para pelaku usaha di satu negara berlomba-lomba untuk mendapatkan akses pasar dan mendominasi pasar dari negara lain.
1
Meskipun
demikian, hubungan perdagangan internasional antarnegara tersebut tetap harus dilakukan dengan tertib dan adil. Oleh karena itu, untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan di bidang perdagangan internasional, diperlukan aturan-aturan yang mampu menjaga serta memelihara hak-hak dan kewajiban para pelaku perdagangan internasional ini. Perangkat hukum internasional yang mengatur hubungan dagang antarnegara terkandung dalam dokumen GATT yang ditandatangani negara-negara tahun 1947, dan mulai diberlakukan sejak tahun 1948. Dari waktu ke waktu ketentuan 1
Yulianto Syahyu, Hukum Anti Dumping di Indonesia, Analisis dan Panduan Praktis, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 8.
1
2
GATT disempurnakan lewat berbagai putaran perundingan, terakhir lewat perundingan-perundingan Putaran Uruguay (1986 – 1994) yang berhasil membentuk sebuah Organisasi Perdagangan Dunia yaitu World Trade Organization (WTO). Badan inilah yang selanjutnya akan melaksanakan dan mengawasi aturan-aturan perdagangan internasional yang telah dirintis GATT sejak tahun 1947. 2 Pembentukan WTO memberikan prospek yang baik bagi seluruh negara khususnya negara-negara anggota untuk menempuh kebijakan perdagangan bebas dalam batas-batas rule of law. 3 Namun, berangkat dari kondisi dan perkembangan ekonomi yang berbeda pada negara-negara yang ambil bagian dalam perjanjianperjanjian internasional maka sebenarnya tidak semua negara siap untuk menghadapi era perdagangan bebas yang disepakati pada GATT – WTO, terutama negara-negara berkembang khususnya Indonesia. 4 Bagi semua negara khususnya bagi negara berkembang seperti Indonesia, pola perdagangan bebas ini telah menimbulkan ketergantungan dan integrasi ekonomi nasional ke dalam ekonomi global. 5 Hal ini dapat menciptakan mekanisme pasar yang memiliki persaingan yang tinggi. Tindakan persaingan antara pelaku usaha tersebut tidak jarang mendorong dilakukannya persaingan curang, baik dalam bentuk harga maupun bukan harga (price or nor price competition). Dalam bentuk harga misalnya terjadi diskriminasi harga (price discrimination) yang dikenal dengan istilah dumping. Dumping merupakan salah 2
Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional (dalam Kerangka Studi Analitis), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 12. 3 Ibid., hlm. 13. 4 Yulianto Syahyu, op. cit., hlm. 15. 5 Ibid., hlm. 16.
3
satu bentuk hambatan perdagangan yang bersifat nontarif, berupa diskriminasi harga. 6 Praktik dumping merupakan praktik dagang yang tidak adil, karena bagi negara pengimpor, praktik dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing, sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, yang diikuti munculnya dampak ikutannya seperti pemutusan hubungan kerja massal, pengganguran dan bangkrutnya industri barang sejenis dalam negeri. 7 Tindakan dumping tersebut jelas-jelas dapat menimbulkan kerugian yang sangat serius terhadap perekonomian setiap negara. Oleh karena itu, setiap negara memerlukan perlindungan yang memadai dan demi melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping, maka lahirlah suatu instrumen kebijaksanaan perdagangan yang dikenal dengan istilah antidumping. Ketentuan mengenai antidumping tersebut sudah lama tercantum sejak disepakatinya GATT pada tahun 1947 dan pengaturannya terdapat dalam Article VI The General Agreement on Tariffs and Trade 1947 (Pasal VI GATT 1947) yang isinya mengatur tentang Antidumping and Countervailing Duties. Sebagai tindak lanjut dalam mengimplementasikan ketentuan pasal VI GATT, maka pada tahun 1979, dalam Tokyo Round telah disepakati Antidumping
6
Sukarmi, Regulasi Antidumping di Bawah Bayang-Bayang Pasar Bebas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 2. 7 Daniel Suryana, “Harmonisasi Ketentuan Anti Dumping ke dalam Hukum Nasional Indonesia”, http://www.blogster.com/dansur/harmonisasi-ketentuan-2, diakses 18 Maret 2012.
4
Code 1979 yang disepakati dan mengikat sejumlah 22 negara yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1980. Antidumping Code 1979 ini kemudian digantikan oleh Antidumping Code 1994 yang dihasilkan oleh Uruguay Round dengan nama Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 yang merupakan Multilateral Trade Agreement (MTA), di mana instrumen hukum tersebut ditandatangani bersamaan dengan penandatanganan Agreement Establishing the World Trade Organization di Marrakesh (Maroko) pada tanggal 15 April 1994. Dengan demikian, Antidumping Code 1994 sudah merupakan suatu paket yang inklusif atau integral dari Agreement Establishing the WTO, suatu institusi yang bertujuan antara lain untuk memajukan perdagangan bebas dunia di antara negaranegara anggotanya sesuai dengan MTA. 8 Sebagai negara yang turut ambil bagian dalam perdagangan Multilateral, Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing the WTO melalui UndangUndang Nomor 7 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564). Dengan meratifikasi Agreement Establishing the WTO ini, Indonesia secara sekaligus telah meratifikasi pula Antidumping Code 1994. 9 Konsekuensi dari diratifikasinya Agreement Establishing the WTO oleh Indonesia, Indonesia kemudian membuat ketentuan dasar tentang antidumping dengan cara menyisipkannya dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Nomor 3612) Tanggal 30 Desember 1995 sebagaimana 8 9
Yulianto Syahyu, op. cit., hlm. 19. Ibid.
5
telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93) Tanggal 15 November 2006. Ketentuan antidumping dalam Undang-Undang tersebut diakomodasi di dalam Bab IV mengenai Bea Masuk Anti-Dumping, Bea Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan, Pasal 18 dan 19. 10 Ketentuan inilah yang kemudian menjadi dasar bagi pembuatan peraturan pelaksanaan tentang antidumping Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan yang kini telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan dan beberapa Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan. Indonesia sebagai salah satu negara yang selalu ikut serta dalam melakukan perdagangan internasional dan merupakan anggota WTO, juga tidak dapat terhindar dari praktik dumping yang dilakukan oleh produk impor di Indonesia. Sehingga untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping tersebut, Pemerintah akan berpedoman pada ketentuan-ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas untuk kemudian diterapkan terhadap praktik dumping tersebut. Salah satu produk impor yang dituduh melakukan praktik dumping di Indonesia adalah produk impor tepung terigu asal Turki. Kasus ini bermula ketika APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia) yang mewakili tiga 10
Christhophorus Barutu, Ketentuan Antidumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 130.
6
perusahaan di dalam negeri yakni PT Eastern Pearl FM, PT Sriboga, dan PT Panganmas Inti Persada mengajukan permohonan ke KADI untuk melakukan penyelidikan antidumping atas terigu impor asal Turki, Srilanka dan Australia pada tanggal 16 Oktober 2008. Atas permohonan tersebut KADI melakukan penyelidikan dan rekomendasi dari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) atas hasil penyelidikan kasus tersebut telah disampaikan ke Menteri Perindustrian dan Perdagangan sejak Desember 2009. Dalam rekomendasinya, KADI menduga adanya dumping terigu asal Turki dan untuk itu perlu dikenakan BMAD. Ketua KADI, Halida Miljani, menyatakan bahwa berdasarkan investigasi ditemukan terigu impor dari Turki terbukti ada hubungan kausal dumping. 11 Rekomendasi
KADI
tersebut
telah
ditindaklanjuti
oleh
Menteri
Perdagangan melalui surat dengan No. 2017/M.DAG/12/2009 kepada Menteri Keuangan tertanggal 31 Desember 2009 yang isinya merekomendasikan agar mengenakan BMAD kepada para eksportir terigu asal Turki. Meskipun KADI telah merekomendasikan pengenaan BMAD terhadap tepung terigu Turki, namun Menteri Keuangan sampai sekarang belum menetapkan surat keputusan tentang bea masuk anti dumping (BAMD) terhadap terigu impor asal Turki. 12 Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang akan dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul: “Penerapan Hukum Anti Dumping di Indonesia
11
Heri Susanto, “Ada Intervensi atas Kasus Dumping Terigu?”, http://bisnis.vivanews.com/news/read/128568ada_intervensi_atas_kasus_dumping_terigu, diakses 21 Februari 2012. 12 Ibid.
7
atas Tuduhan Praktik Dumping Tepung Terigu Impor asal Turki oleh APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia)”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang tersebut di atas, maka dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep dan pengaturan dumping serta anti dumping dalam kerangka GATT – WTO? 2. Bagaimana ketentuan anti dumping dalam hukum nasional Indonesia? 3. Bagaimana penerapan hukum anti dumping di Indonesia dalam perkara tuduhan praktik dumping tepung terigu impor asal Turki oleh APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia)? C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan Berdasarkan pokok-pokok permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan memahami konsep dan pengaturan dumping serta anti dumping dalam kerangka GATT – WTO. 2. Untuk mengetahui dan memahami ketentuan anti dumping dalam hukum nasional Indonesia. 3. Untuk mengetahui dan menganalisis penerapan hukum anti dumping di Indonesia dalam perkara tuduhan praktik dumping tepung terigu impor asal Turki oleh APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia). Selain tujuan yang diuraikan di atas, penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu:
8
1. Secara teoritis Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran sekaligus menambah khasanah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis sebagai bahan pengembangan kajian ilmu hukum pada umumnya, dan khususnya tentang hal-hal yang berkaitan dengan penerapan hukum anti dumping di Indonesia atas tuduhan praktik dumping suatu produk impor. 2. Secara praktis Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau pemikiran lebih lanjut bagi hukum nasional di Indonesia dan Pemerintah agar Pemerintah lebih meningkatkan kebijakannya dalam menangani kasus-kasus tuduhan praktik dumping produk impor di Indonesia guna memberikan perlindungan hukum terhadap produk dalam negeri yang dilakukan melalui upaya penegakan hukum anti dumping, baik secara preventif dalam upaya mencegah praktik dumping maupun secara represif yaitu berupa pemberian sanksi “pengenaan bea masuk anti dumping” terhadap pelaku ekonomi yang memasukkan produk berindikasi dumping. Selain itu skripsi ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi para pelaku usaha dalam mengambil tindakan terkait tuduhan praktik dumping suatu produk impor. Bagi mahasiswa, skripsi ini juga diharapkan mampu memberikan serangkaian informasi dan penjelasan sebagai bahan kajian dalam mengkaji suatu isu yang terjadi pada masyarakat internasional khususnya mengenai isu praktik dumping.
9
D. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh penulis di Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum USU diketahui bahwa penulisan skripsi tentang: “Penerapan Hukum Anti Dumping di Indonesia atas Tuduhan Praktik Dumping Tepung Terigu Impor Asal Turki oleh APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia)” belum pernah dilakukan. Meskipun demikian, ada beberapa penulisan skripsi yang dilakukan oleh mahasiswa terdahulu terkait Anti Dumping, antara lain: 1. Johan
Elvin
Saragih,
Penerapan
Anti
Dumping
dalam
Rangka
Perlindungan Perdagangan Barang. 2. Halimatus S Marpaung, Tinjauan Hukum terhadap Anti Dumping dalam Perdagangan Internasional menurut GATT – WTO Implementasinya di Indonesia. 3. Chandra Tri Kesuma, Tinjauan terhadap Pelaksanaan Ketentuan Anti Dumping di Indonesia dalam Rangka Menghadapi AFTA 2003. Skripsi ini berbeda substansi pembahasannya dengan ketiga penulisan skripsi di atas yang juga berkaitan dengan Anti Dumping. Skripsi ini fokus pada sejauh mana dan bagaimana penerapan hukum anti dumping di Indonesia dalam perkara tuduhan praktik dumping tepung terigu impor asal Turki oleh APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia). Dengan demikian, penulisan skripsi ini merupakan hasil karya sendiri yang asli dan bukan merupakan hasil jiplakan atau merupakan judul skripsi yang pernah diangkat sebelumnya oleh orang lain karena penulisannya telah sesuai
10
dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan terbuka yang ditulis secara objektif dan ilmiah melalui pemikiran para pakar dan praktisi, referensi, undangundang, buku-buku, makalah, bahan seminar, koran, dan internet serta bantuan dari
berbagai
pihak.
Sehingga
hasil
penulisan
skripsi
ini
dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap semua kritikan serta masukan yang sifatnya membangun guna menyempurnakan hasil penulisan skripsi ini. E. Tinjauan Kepustakaan Ketentuan antidumping sudah lama tercantum sejak disepakatinya GATT pada tahun 1947, yang secara simultan telah diadakan beberapa perjanjian tambahan (Side Agreement) mengenai suatu pasal dalam GATT, dimana perjanjian tambahan tersebut dikenal dengan code dan antidumping diatur dalam Pasal VI GATT 1947 (Article VI GATT 1947) yang merekomendasikan kepada setiap negara anggota untuk mengimplementasikan ketentuan GATT dalam sistem hukum nasional masing-masing. 13 Dan sebagai tindak lanjut dalam mengimplementasikan ketentuan pasal VI GATT tersebut, maka pada tahun 1979 dalam Tokyo Round telah disepakati Antidumping Code 1979 oleh 22 negara yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1980, yang kemudian diperbaharui dengan Antidumping Code 1994 dalam Uruguay Round yang secara resmi berjudul Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, di mana instrumen hukum tersebut ditandatangani bersamaan dengan penandatanganan Agreement Establishing the World Trade Organization di
13
Yulianto Syahyu, op. cit., hlm. 18.
11
Marrakesh (Maroko) pada tanggal 15 April 1994. Sehingga dengan demikian Antidumping Code 1994 menjadi bagian yang integral dan tidak terpisahkan dari GATT 1994 dan Agreement Establishing the WTO, oleh karena itu harus ditaati oleh semua negara yang telah meratifikasinya. 14 Dalam Pasal VI ayat (1) GATT 1947 (Article VI GATT 1947), dumping didefenisikan sebagai: “The contracting parties recognize that dumping, by which products of one country are introduced into the commerce of another country at less than the normal value of the products, is to be condemned if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry.” 15 (Terjemahan bebas dari Pasal VI GATT di atas adalah “Para pihak dalam perjanjian mengakui bahwa dumping, dimana barang-barang dari suatu negara diperdagangkan ke negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga normal dari barang tersebut, dilarang apabila dumping tersebut dapat menimbulkan kerugian materiil baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik”).
Sedangkan pengertian dumping yang diatur dalam Article 2.1 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, yaitu: “For the purpose of the agreement,a product is to be concidered as being dumped i.e introcduced into the commerce of another country at less than its normal value, if the export price of the product exported from one country to another is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country.” 16 Article 2.1 di atas menjelaskan bahwa suatu produk dianggap sebagai dumping apabila harga barang yang diperdagangkan dari suatu negara ke wilayah negara lain lebih rendah dibandingkan nilai normal di negara barang tersebut, 14
Ibid., hlm. 19. The General Agreement on Tariffs and Trade 1947, Article VI point 1. 16 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, Article 2. 15
12
pada tingkat perdagangan yang wajar. Barang tersebut harus serupa dan ditujukan untuk dikonsumsi di negara tujuan ekspor. Menurut Kamus Lengkap Perdagangan Internasional, dumping adalah penjualan suatu komoditi di suatu pasar luar negeri pada tingkat harga yang lebih rendah dari nilai yang wajar, biasanya dianggap sebagai tingkat harga yang lebih rendah daripada tingkat harga di pasar domestiknya atau di negara ketiga. 17 Sedangkan pengertian dumping dalam Kamus Hukum Ekonomi diartikan sebagai praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di pasaran Internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor. 18 Jadi secara singkat dumping dapat dikatakan barang yang diimpor dengan tingkat harga ekspor yang lebih rendah dari nilai normalnya di negara pengekpor. Suatu negara dapat dikatakan dumping apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: 19 1. Adanya barang yang sejenis yang diekspor ke suatu negara; 2. Adanya penjualan dengan harga ekspor yang di bawah harga normal atau dengan kata lain adanya dumping; 3. Adanya kerugian atau ancaman kerugian terhadap industri dalam negeri;
17
Departernen Perindustrian dan Perdagangan, Kamus Lengkap Perdagangan Internasianal, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, 1997), hlm. 123. 18 A.F. Elly Erawati, J.S. Badudu, Kamus Hukum Ekonomi, Inggris – Indonesia, (Jakarta: Proyek ELIPS, 1996), hlm. 39. 19 Yulianto Syahyu, op. cit., hlm. 68-69.
13
4. Adanya hubungan sebab akibat antara penjualan dengan harga ekspor yang di bawah nilai normal dengan terjadinya kerugian terhadap industri dalam negeri. Keempat kriteria tersebut harus terpenuhi agar penyelidikan dumping dapat ditindaklajuti, sekalipun demikian tidak ada yang salah terhadap dumping apabila terbukti bahwa hanya dumping satu-satunya bukti, maksudnya meskipun telah menjadi produk impor dengan harga dumping apabila tidak menimbulkan kerugian pada produk-produk sejenis di negara pengimpor, tindakan dumping tidak dapat dikenakan terhadap barang dengan harga dumping tersebut. Bahkan sebaliknya konsumen diuntungkan karena dapat memilih produk-produk alternatif lainnya dengan harga relatif lebih murah. Demikian halnya dengan faktor keempat harus dibuktikan adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan ancaman kerugian materil yang timbul dikarenakan adanya impor dengan harga dumping. Sebab tanpa dapat dibuktikan adanya hubungan sebab akibat antara kedua faktor itu, kerugian atau ancaman kerugian materil yang diderita industri dalam negeri mungkin saja disebabkan oleh faktor-faktor lain misal menurunnya daya beli masyarakat, berkurangnya minat masyarakat terhadap produk yang ada di pasaran dan lain sebagainya. Terhadap tindakan dumping yang telah memenuhi empat kriteria tersebut maka pemerintah suatu negara pengimpor dapat mengenakan tindakan balasan berupa antidumping dengan menetapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD). 20 Bea Masuk Anti Dumping adalah pungutan yang dikenakan terhadap barang
20
Sukarmi, op. cit., hlm. 27.
14
impor untuk dipakai di dalam daerah pabean, sedangkan Bea Masuk Anti Dumping Sementara (BMADS) adalah bea masuk antidumping yang dikenakan untuk sementara waktu menunggu hasil final investigasi. Jika hasil final investigasi menunjukkan praktik dumping telah terbukti dan praktik tersebut telah merugikan industri dalam negeri, BMADS akan diteruskan dan ditetapkan menjadi BMAD, tetapi jika tidak terbukti maka BMADS akan dicabut. 21 F. Metode Penulisan Metode penulisan ilmiah merupakan realisasi dari rasa ingin tahu manusia dalam taraf keilmuan. Seseorang akan yakin bahwa ada sebab bagi setiap akibat dari gejala yang tampak dan dapat dicari penjelasannya secara ilmiah. Oleh karena itu perlu bersikap objektif, karena kesimpulan yang diperoleh hanya akan dapat ditemukan bila dilandasi dengan bukti-bukti yang meyakinkan dan data dikumpulkan melalui prosedur yang jelas, sistematis dan terkontrol. 22 Untuk mendapatkan dan mengumpulkan data tersebut maka penulis menggunakan metode penelitian yang mencakup hal-hal sebagai berikut: 23 1. Tipe Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini, tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang mengacu kepada normanorma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan sehingga penelitian hanya difokuskan untuk mengkaji dan mengetahui penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma hukum positif tentang anti dumping di Indonesia dalam perkara tuduhan praktik dumping tepung 21
Christhophorus Barutu, op. cit., hlm. 164. H. Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 7. 23 Ibid., hlm. 105. 22
15
terigu impor Turki oleh APTINDO melalui peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan perkara tersebut, dalam hal ini antidumping. 2. Sifat Penelitian Penelitian dalam skripsi ini bersifat deskriptif analitis. Penelitian yang bersifat
deskriptif
analitis
merupakan
suatu
penelitian
yang
menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum. 24 Jadi penelitian ini bersifat menggambarkan, menjelaskan dan menganalisa segala mekanisme penerapan hukum anti dumping di Indonesia dalam perkara tuduhan praktik dumping tepung terigu impor Turki oleh APTINDO. 3. Sumber Bahan Hukum Data pokok yang digunakan sebagai bahan analisa di dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder tersebut meliputi: a. Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat terdiri dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian yaitu: The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT 1947); Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 (Antidumping Code 1994); Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995; Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996
24
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 6.
16
tentang Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan; Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 216/MPP/Kep/7/2001 tentang Perubahan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 261/MPP/Kep/9/1996 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pengajuan Mengadung
Penyelidikan
Atas
barang
Subsidi;
Keputusan
Dumping
Menteri
dan
Barang
Perindustrian
dan
Perdagangan No. 427/MPP/Kep/10/2000 tentang Komite Antidumping Indonesia; dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 428/MPP/Kep/10/2000 tentang Penunjukan dan Pengangkatan Anggota Komite Antidumping Indonesia. b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti berbagai tulisan ilmiah hukum, jurnal, makalah dari pakar hukum dan buku-buku yang dianggap berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan diangkat dalam skripsi ini. c. Bahan Hukum Tertier
Merupakan bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar dan sumber-sumber lain dari internet sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.
17
4. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan cara mengumpulkan data-data yang bersumber dari peraturan perundangundangan, buku-buku, dokumen resmi, surat kabar dan hasil penelitian serta sumber-sumber lain yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. 5. Metode Analisis Data Berdasarkan sifat penelitian skripsi ini yang menggunakan metode penelitian
bersifat
deskriptif
analitis,
maka
analisis
data
yang
dipergunakan adalah pendekatan kualitatif terhadap data sekunder. Kualitatif yakni mengumpulkan peraturan perundang-undangan dan bahan kepustakaan lainnya yang relevan dengan penelitian, mengelompokkan peraturan perundang-undangan dan bahan hukum yang ada, melakukan interpretasi terhadap peraturan perundang-undangan terkait, menguraikan bahan-bahan hukum sesuai dengan masalah yang dirumuskan, dan kemudian menarik kesimpulan. G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari V Bab yang masing-masing bab memiliki sub-bab dan keseluruhan sistematika penulisan skripsi ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan satu sama lain, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
18
BAB I
Pendahuluan Bab ini akan menguraikan secara umum mengenai keadaankeadaan yang berhubungan dengan objek penelitian yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II
Konsep dan Pengaturan Dumping serta Anti Dumping dalam Kerangka GATT – WTO Bab ini menguraikan tentang sejarah terbentuknya GATT – WTO, sejarah perkembangan ketentuan anti dumping, pengertian dan pengaturan dumping dan anti dumping dalam kerangka GATT – WTO, jenis – jenis dumping dalam praktik perdagangan internasional, dampak praktik dumping terhadap negara importir dan eksportir, serta pengaruh ketentuan anti dumping terhadap perlindungan industri dalam negeri.
BAB III
Ketentuan Anti Dumping Dalam Hukum Nasional Indonesia Bab ini memberikan pemahaman dan gambaran tentang dasar hukum ketentuan anti dumping di Indonesia, lembaga-lembaga pelaksanaan
peraturan
anti
dumping
Indonesia,
prosedur
permohonan dan tahapan proses penyelidikan anti dumping, indikator yang digunakan dalam analisis praktik dumping, dan penentuan bea masuk anti dumping sebagai tindakan anti dumping.
19
BAB IV
Penerapan Hukum Anti Dumping di Indonesia dalam Perkara Tuduhan Praktik Dumping Tepung Terigu Impor Asal Turki oleh APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia) Bab ini menguraikan tentang kronologis kasus tuduhan praktik dumping tepung terigu impor asal Turki oleh APTINDO, penerapan hukum anti dumping di Indonesia terhadap kasus dumping tepung terigu turki yang meliputi prosedur permohonan penyelidikan kasus tepung terigu menurut hukum Anti Dumping Indonesia, penyelidikan oleh KADI, rekomendasi penerapan BMAD oleh KADI dan Menteri Perdagangan dan tindakan Menteri Keuangan atas rekomendasi Menteri Perdagangan. Selain itu bab ini juga memberikan pemahaman tentang dampak apabila kebijakan BMAD terigu Turki diterapkan atau tidak diterapkan dan
fungsi
serta
peranan
Pemerintah
dalam
kebijakan
Antidumping. BAB V
Kesimpulan dan Saran Bab terakhir ini berisi kesimpulan yang diambil oleh penulis terhadap bab-bab sebelumnya yang telah penulis uraikan dan yang ditutup dengan mencoba memberikan saran-saran yang penulis anggap perlu dari kesimpulan yang diuraikan tersebut.