BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Otonomi daerah membawa dampak besar bagi pelaksanaan program
Keluarga Berencana (KB) di Indonesia. Program KB yang pada awalnya secara struktural dikoordinasikan oleh BKKBN, pada saat otonomi dilimpahkan kepada daerah.Kabupaten/kota menyikapi aturan ini secara beragam. Ada banyak variasi kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah dalam menyikapi pelaksanaan program KB. Sebagian besar menganggap bahwa KB bukan persoalan yang masuk skala prioritas karena dianggap bukan sektor strategis.Sebaliknya, program tersebut dianggap sektor yang banyak menghabiskan anggaran. Karena dianggap sebagai sektor yang hanya menghabiskan anggaran, tidak semuakabupaten/kota menyelengarakan urusan KB di daerah mereka.Menurut data BKKBN tahun 2005, di antara 433 kabupaten/kota di Indonesia, hanya 31 kabupaten/kota yang menjadikan KB sebagai kelembagaan yang utuh. (Rondiyah, 2010). Urusan KB memperoleh perhatian lebih baik sejak keluarnya Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 2007 yang mewajibkan pemerintah daerah menyelenggarakan program KB. Meskipun begitu, program KB yang pernah menjadi kebanggaan di era Orde Baru tersebut terlanjur mengalami penurunan. Hal ini tercermin dari hasil Survei Demografi Kependudukan Indonesia (SDKI) yang dilakukan setiap 5 tahun sekali sejak tahun 1991. Berdasar survey tersebut, ternyata Total Fertility Rate(TFR) atau rata-rata jumlah anak yang dilahirkan wanita selama masa subur tidak mengalami perubahan, Contraceptive Prevalence Rata (CPR) atau tingkat
1
2
pemakaian alat kentrasepsi tidak banyak meningkat, dan keinginan ber-KB yang tidak terpenuhi (unmet need) justru meningkat. 1Menurut SDKI terakhir yang dilakukan tahun 2012, TFR di Indonesia tetap beradapada angka 2,6 sama seperti hasil SDKI 2003 dan 2007.Parameter lainnya terkait jumlah penduduk yang berdasar hasil Sensus Penduduk tahun 2010 ternyata melebihi prediksi, yaitu 237,6 juta dari prediksi sebesar 232,4 juta. Mengingat besarnya kontribusi program KB dalam mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, dengan semangat
merevitaliasi KB pemerintah
mengeluarkan Undang-undang No. 52 Tahun 2009
tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Tetapi Undang-undang yang disahkan tanggal 29 Oktober 2009 sebagai pengganti Undang-Undang No. 10 Tahun 1992 belum berjalan optimal meskipun telah berjalan lima tahun. Salah satu ketentuan yang belum terlaksana adalah pembentukan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Daerah (BKKBD) di Provinsi dan Kabupaten/Kota. DalamPasal 54 ayat 1 Undang-undang No. 52 Tahun 2009 disebutkan: “Dalam rangka pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana di daerah, pemerintah daerah membentuk Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah yang selanjutnya disingkat BKKBD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.” Kedudukan BKKBD berada di provinsi dan kabupaten/kota seperti dinyatakan dalam pasal 57 ayat 1: “BKKBD mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan pengendalian penduduk dan menyelenggarakan keluarga berencana di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.” 1
BKKBN, Renstra Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Berencana 2010-2014
3
Aturan ini kemudian diperjelas dengan keluarnya Peraturan Presiden No.62 Tahun 2010 tentang Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).Perpres ini selain memperjelas kedudukan, tugas dan fungsi BKKBN baik di Pusat/Provinsi juga mengamanatkan kepada Perwakilan BKKBN Provinsi untuk memfasilitasi terbentuknya BKKBD di wilayahnya.Perpres No.62 tahun 2010 kemudian diperbaharui dengan Perpres No.3 Tahun 2013 tentang Perubahan Ketujuh atas Kepres No. 103 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Kementerian. Dalam pasal 117A poin 2 Perpres tersebut disebutkan: “BKKBN melalui Perwakilan BKKBN Provinsi melakukan pembinaan dan memfasilitasi terbentuknya Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah Provinsi dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Walapun undang-undang dan perpres telah ada, pembentukan BKKBD yangdiamanatkan UU No.52 Tahun 2009 sejauh initidak optimal. Berdasar data yang disampaikan kepala BKKBN, sampai dengan bulan Juni tahun 2014 baru terbentuk 18 BKKBD di Kabupaten/kota di seluruh Indonesia. 2Bahkan di wilayah Jawa dengan kepadatan dan permasalahan kependudukan yang lebih kompleks baru terbentuk satu BKKBD, yaitu di Kabupaten Sukabumi. Selebihnya berada di luar Pulau Jawa. Tabel berikut memperlihatkan kabupaten/kota yang telah membentuk BKKBD:
2
BKKBN, Materi Sambutan Kepala BKKBN pada peringatan Hari Keluarga Nasional ke-21 Tahun 2014, tertanggal 14 Juni 2014.
4
Tabel 1. Kabupaten/Kota yang Telah Membentuk BKKBD No. Provinsi
No.
Kabupaten/Kota
NO. Perda
1.
Kepulauan Bangka
1.
Kabupaten Bangka Selatan
No. 5/2012
Belitung
2.
Kabupate Belitung Timur
No. 5/2013
3.
Kabupaten Bangka Barat
No. 17/2013
4.
Kota Ternte
No. 4/2010
5.
Kabupaten Pulau Morotai
No. 4/2010
2.
Maluku Utara
3.
Jawa Barat
6.
Kabupaten Sukabumi
No. 25/2012
4.
Sulawesi Utara
7.
Kabupaten Bolmut
No. 1/2011
8.
Kota Bitung
No. 41/2012
9.
Kabupaten Bolangmogondo
No. 17/2014
4.
Gorontalo
10.
Kabupaten Boalemo
No. 11/2012
5.
Sumatera Selatan
11.
Kabupaten Empat Lawang
No. 16/2012
12.
Kabupaten Muara Enim
No. 5/2013
6.
Sumatera Utara
13.
Kabupaten Tapanuli Tengah
No. 7/2012
7.
Sulawesi Selatan
14.
Kabupaten Maros
No. 12/2012
8.
Sulawesi Barat
15.
Kabupaten Manjene
No. 14/2013
9.
Kalimantan Selatan
16.
Kabupaten Hulu Sungai Utara
No. 25/2013
10.
Papua
17.
Kabupaten Paniai
No. 72/2012
11.
Sulawesi Tenggara
18.
Kabupaten Koala Timur
Dalam Proses Penomoran
Sumber: Direktorat Bina Hubungan Antar Lembaga BKKBN, Materi disampaikan dalam Konsultasi Kepala Seksi Se-Indonesia di Surabaya tanggal 24-27 Mei 2014
Pembentukan BKKBD dimaksudkan untuk mengoptimalkan pelaksanan program KB di daerah karenaselama ini nomenklatur kelembagaan yang menangani KB di daerah tidak seragam, bisa berbentuk dinas, badan, maupun kantor. Dalam kelembagaan tersebut (SKPD),keluarga berencana digabungkan dengan urusan pemerintahan lainnya seperti pemberdayaan perempuan,
5
pemberdayaan masyarakat, kependudukan dan catatan sipil, perlindungan anak, dan sebagainya. Beragamnya nomenklatur yang ada di daerah berpengaruh besar bagi pelaksanaan berbagai program KB yang disusun Pemerintah (BKKBN). Selain anggaran yang terbatas,
staf yang mengurusi bidang KB pun jauh dari
mencukupi. Keterbatasan-keterbatasan tersebut
menjadikan program KB
di
daerah kurang maksimal. Karena itulah dengan dibentuknya BKKBD diharapkan program KB akan mendapat porsi perhatian yang cukup dari pemerintah daerah, baik menyangkut anggaran, jumlah pegawai, maupun berbagai bentuk dukungan lainnya. Terbentuknya BKKBD juga menjadi salah satu bagian dari revitalisasi program KB dalam hal penguatan struktur kelembagaan. Seperti ditulis Muhadjir Darwin (2009) bahwa ada 3 hal yang menjadi tujuan revitalisasi program KB, yaitu: penurunan kinerja program, lemahnya struktur kelembagaan dan belum terakomodasinya pendekatan hak individu (right based approach) yang menjamin terpenuhinya hak semua individu, khususnya perempuan, untuk mendapatkan pelayanan KB dan kesehatan reproduksi. Mengingat penguatan kelembagaan merupakan bagian dari revitalisasi program, advokasi kepada pemerintah daerah untuk mewujudkan terbentuknya BKKBD terus dilakukan. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Prof dr. Fasli Jalal, Phd, SpG (K) dalam Rapat Penelaahan Program Pembangunan Kependudukan dan KB tanggal 10 Agsutus 2013 bahkan telah
6
meminta masing-masing perwakilan di BKKBN Provinsi untuk membentuk minimal 2 BKKBD pada akhir tahun 2014. 3 Perintah tersebut merupakan sebuah tantangan bagi Perwakilan BKKBN yang berada di masing-masing provinsi, termasuk DIY yang selama ini kerapkali menjadi barometer daerah lain dalam melaksanakan program-program BKKBN. Dengan sistem pemerintahan yang tidak lagi sentralistis, upaya tersebut tentu bukan hal yang mudah dilakukan karena pemerintah daerah punya kebijakan yang kadang tidak sejalan dengan pemerintah pusat. Bagi DIY, pembentukan BKKBD diharapkan menjadi solusi untuk memperkuat kembali program KB dalam rangka pengendalian penduduk karena berdasarkan beberapa parameter kependudukan, upaya pengendalian penduduk di DIY terlihat stagnan bahkan cenderung mengalami penurunan. Hal tersebut tampak pada peningkatan laju pertumbuhan penduduk (LPP) dan meningkatnya TFR di DIY. Berdasar Sensus Penduduk 2010, LPP di DIY tercatat rsebesar 1,49% tahun. Artinya dari tahun 2000 hingga 2010 penduduk di DIY mengalami penambahan sebesar 1,49% setiap tahunnya. Sementara antara tahun 1990-2000 pertambahannya hanya sebesar 0,72%/tahun. Selain meningkatnya laju pertambahan penduduk (LPP), rata-rata jumlah anak yang dimiliki perempuan di DIY (TFR) juga meningkat. Dari 1,8 berdasarkan SDKI tahun 2007 menjadi 2,1 menurut SDKI tahun 2012. Permasalahan lain yang mendorong perlunya pembentukan BKKBD adalah dualisme kelembagaan. Saat ini di DIY terdapat dua instansi yang sama-sama
3
http://www.bkkbn.go.id/layouts/mobile/dispform.aspk , 20 Agustus 2013
7
mengurusi program KB, yaitu Perwakilan BKKBN DIY selaku instansi vertikal dan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Masyarakat (BPPM) yang merupakan SKPD di Pemerintah DIY. Adanya dua lembaga yang menangani bidang yang sama selain tidak efektif juga menimbulkan persoalan terutama berkaitan dengan data sebagai acuan perencanaan program. Dalam Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Provinsi tahun 2013, isu tentang kelembagaan ini diangkat sebagai salah satu persoalan utama urusan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera. Persoalan tersebut berkaitan dengan adanya duplikasi kelembagaan KB di daerah, yaitu BPPM sebagai lembaga yang mengampu Urusan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera di daerah dan Perwakilan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang merupakan instansi vertikal dengan urusan yang sama. Pembentukan atau penataan organisasi perangkat daerah bukanlah persoalan mudah karena menyangkut banyak aspek dan kepentingan. Dalam Permendagri Nomor 57 Tahun 2007 tentangPetunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerahdisebutkan bahwa dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, yang terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan namun tidak berarti bahwa setiap penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri. Perangkat
daerah adalah unsur pembantu
kepala daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, dan lembaga teknis daerah (badan, kantor dan rumah sakit).
8
Di lingkup kabupaten/kota juga mencakup kecamatan, dan kelurahan. Perangkat Daerah dibentuk oleh masing-masing
dengan memperhatikan kebutuhan,
kemampuan keuangan, cakupan tugas, kepadatan penduduk, potensi, karakteristik serta sarana dan prasarana. Untuk tingkat kabupaten/kota yang berada di wilayah DIY penanganan bidang KB berada dibawah satuan perangkat daerah yang berbentuk badan dan kantor, namun dengan nomenklatur yang sangat beragam, yaitu: 1. Badan Kesejahteraan Keluarga, Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BKKB PP dan KB) Kabupaten Bantul. 2. Badan Keluarga Berencana, Pemberdayaan Masyarakat dan Pemberdayaan Perempuan (BKB PM PP) Kabupaten Sleman. 3. Badan Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Keluarga Berencana (BPMP dan KB) Kabupaten Gunungkidul. 4. Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemerintahan Desa, Perempuan dan Keluarga Berencana (BPM PD P dan KB) Kabupaten Kulonprogo. 5. Kantor Keluarga Berencana (KB) Kota Yogyakarta Selain di Kota Yogyakarta, urusan KB di semua kabupaten di DIY disatukan dalam satu wadah dengan urusan pemerintahan yang lain. Hal tersebut berdampak pada alokasi anggaran maupun personalia yang menangani urusan KB. Apalagi jika para pejabat di instansi tersebut sama sekali tidak memahami persoalan KB dan Kependudukan. Beragamnya urusan pemerintahan yang ditangani dalam satu SKPD juga menyulitkan pembentukan lembaga baru seperti BKKBD,
karena dimungkinkan ada tuntuan yang sama dari masing-masing
9
bidang untuk berdiri sebagai lembaga tersendiri. Dengan begitu, di Kota Yogyakarta seharusnya pembentukan BKKBD lebih mudah dilakukan karena selama ini urusan KB sudah ditangani instansi yang berdiri sendiri. Pembentukan BKKBD diharapkan mampu membantu mengatasi persoalan kependudukan di Kota Yogyakarta sebagai daerah urban dengan tingkat kepadatan yang sangat tinggi.Sebagai kota yang menjadi
tujuan pendidikan,
Yogyakarta menjadi arena pertemuan sosial dan kultural dari berbagai etnis di Indonesia. Kota Yogyakarta juga berkembang menjadi pusat ekonomi modern yang menjadikannya sebagai salah satu tujuan pencari kerja dari berbagai daerah untuk mengadu nasib. Di satu sisi kondisi tersebut memberi kontibusi bagi pengembangan ekonomi, namun disisi lain memunculkan berbagai persoalan berkaitan dengan kependudukan. Meskipun secara kelembagaan pembentukan BKKBD di Kota Yogyakarta lebih memungkinkan untuk dibentuk, Pemerintah Kota Yogyakarta ternyata tidak berencana membentuk lembaga tersebut. Tetapi dalam rencana penataan kelembagaan Pemerintah Kota Yogyakarta lebih memilih menyelenggarkan urusan KB dalam satu lembaga baru yang merupakan gabungan dari Kantor KB dan Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (KPMP), yaitu Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan, Perlindungan Anak dan KB (BPMPPA dan KB). Karena itulah penelitian ini bermaksud memperoleh jawaban mengapa PemerintahKota Yogyakartatidak berencana membentuk BKKBD sebagaimana amanat UU No.52 Tahun 2009. Penelitian ini berusaha mengkaji faktor-faktor
10
yang mempengaruhi kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta berkaitan dengan masalah tersebut. Selain itu juga untuk memperoleh informasi tentang upaya Perwakilan BKKBN DIY sebagai kepanjangan tangan BKKBN dalam mengupayakan terbentuknya BKKBD. Peran tersebut penting untuk dikaji karena BKKBN sebenarnya berada dalam posisi dilematis. Disatu sisi, memfasilitasi terbentuknya BKKBD adalah amanat Undang-undang. Tetapi di sisi lain, jika semua BKKBD telah terbentuk, tugas perwakilan BKKBN Provinsi berakhir.
1.2.
Perumusan Masalah Dari paparan di atas bisa disimpulkan adanya beberapa poin permasalahan.
Pertama, program Keluarga Berencana yang pernah sukses diimplementasikan di Indonesia ternyata mengalami penurunan sejak era otonomi sehingga perlu dilakukan revitalisasi. Salah satu tujuanrevitalisasi program KB adalah memperkuat
kelembagaan yang menangani progam KB di daerah. Regulasi
tentang hal tersebut tertuang dalam Undang-undang No. 52 Tahun 2009 yang mengamanatkan pembentukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBD). Namun setelah kurang lebih lima tahun sejak peraturan tersebut diundangkan, baru 18 kabupaten/kota yang telah membentuk BKKBD. Kedua, karena tersendatnya pembentukan BKKBD, Kepala BKKBN meminta Perwakilan BKKBN yang ada di Provinsi untuk membentuk minimal dua BKKBD di masing-masing Provinsi pada akhir tahun 2014.
Ketiga,
memperhatikan kondisi kelembagaan (SKPD) yang menangani program KB di kabupaten/kota se-DIY, SKPD KB di Kota Yogyakarta lebih memiliki kemudahan untuk dijadikan BKKBD karena urusan KB telah dijalankan tersendiri
11
dan tidak digabung dengan urusan pemerintahan yang lain.
Namun, dalam
raperda yang telah dibuat Pemerintah Kota Yogyakarta tidak berencana membentuk BKKBD, tetapi membentuk sebuah lembaga yang merupakan gabungan Kantor KB dengan Kantor Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan. Dari beberapa poin permasalahan tersebut,yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1. Mengapa Pemerintah Kota Yogyakarta tidak membentuk BKKBD sebagaimana amanat UU No.52 Tahun 2009 tetapi memilih membentuk BPMPPA dan KB? 2. Bagaimana peran Perwakilan BKKBN DIY dalam memfasilitasi terbentuknya BKKBD di wilayah kerjanya? 1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui alasan Pemerintah Kota Yogyakarta tidak membentuk BKKBD untuk menggantikan Kantor KB tetapi lebih memilih memasukkan urusan KB dalam BPMPPA dan KB. 2. Mengetahui peran Perwakilan BKKBN DIY dalam memfasilitasi terbentuknya BKKBD di wilayah kerjanya?
1.4.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bisa memberi gambaran bagi perumus kebijakan
di tingkat pusat tentang kondisi, cara pandang, serta pertimbangan-pertimbangan yang
melatarbelakangi
penataan
lembaga
pengampu
urusan
KB
dan
12
Kependudukan di daerah. Bagi Perwakilan BKKBN DIY penelitian ini bisa memberi informasi bagaimana pandangan para penentu kebijakan tentang program KB serta faktor-faktor apa saja yang menjadi pendorong dan penghambat pembentukan
BKKBD di
wilayah DIY.Dengan
penggambaran tersebut
diharapkan diperoleh berbagai masukan yang berguna untuk merumuskan kebijakan yang tepat dalam menyikapi amanat UU No. 52 tahun 2009 tersebut.