BAB I PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul 1. Aktualitas Salah satu kebudayaan Indonesia yang mendapat pengakuan dari dunia serta telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan kemanusiaan untuk budaya lisan dan nonbendawi pada 2 Oktober 2009 adalah batik. Penetapan yang dilakukan oleh UNESCO membawa dampak yang besar terhadap perkembangan industri batik diberbagai daerah di Indonesia, termasuk di Sentra Batik Kota Tasikmalaya. Batik Tasik sendiri namanya tidak begitu dikenal seperti batik dari daerah Pekalongan, Solo, Yogyakarta, Madura maupun Cirebon. Batik Tasik walaupun tidak begitu terlalu dikenal, akan tetapi telah memiliki sejarah panjang dalam dunia perbatikan serta telah turut melahirkan Koperasi Mitra Batik. Batik Tasikmalaya dan Koperasi Mitra Batik sempat berjaya dengan 7000 unit usaha. Akan tetapi karena berbagai faktor kemudian industri Batik Tasik mengalami kemunduran yang ditandai dengan banyaknya unit usaha yang mengalami gulung tikar dan Koperasi Mitra Batik juga mengalami kerugian yang besar sehingga harus menjual asetnya (termasuk pabrik) untuk membayar hutang dengan jumlah yang besar. Sampai pada saat ini salah satu bangunan yang dulu menjadi kantor Koperasi Mitra Batik disewakan dan berubah fungsi menjadi supermarket, padahal gedung tersebut merupakan salah satu simbol kejayaan koperasi dan simbol kejayaan industri batik di Kota Tasikmalaya. 1
Batik Tasikmalaya sempat dikabarkan akan mengalami kepunahan dan yang akan tersisa hanyalah nama jalan Mitra Batik saja. Kabar tersebut kemudian tidak terbukti karena industri Batik Tasik kembali bangkit dengan peningkatan jumlah unit usaha yang berada di Sentra Batik Kota Tasikmalaya yang juga terdorong oleh pengakuan batik sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO, yang membawa angin segar bagi industri perbatikan nasional termasuk industri batik di Kota Tasikmalaya karena meningkatnya permintaan terhadap batik. Setalah hanya tersisa beberapa unit usaha saja, industri Batik Tasik kembali bangkit dan menurut Dinas KUKM Perindag IKM Batik Tasik pada tahun 2010 mengalami pertambahan jumlah unit usaha yang signifikan dengan 30 unit usaha yang mampu menyerap 526 tenaga kerja dan pada tahun 2013 bertambah menjadi 41 unit usaha dengan 695 tenaga kerja. Kebangkitan industri batik tersebut tentunya tidak lepas dari peran pemerintah Kota Tasimalaya yang melakukan pembenahan di Sentra Industri Batik Tasikmalaya dan mewajibkan PNS serta sekolah untuk menjadikan Batik Tasik sebagai seragam pada hari tertentu yang membawa dampak signifikan terhadap kebangkitan industri kecil Batik Tasikamalaya. Hal tersebut menarik untuk dipahami lebih jauh, dalam rangka mendalami proses dan dinamika kebangkitan tersebut apakah hanya bersandar pada kekuatan pihak luar saja atau lahir dari proses dan dinamika internal kehidupan bermasyarakat. Apabila proses kebangkitan tersebut hanya karena euforia masyarakat sebagai dampak ditetapkannya batik sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO atau hanya mengandalkan kekuatan pemerintah dan pihak luar lainnya maka akan terjadi ketergantungan serta bukan tidak mungkin gairah kebangkitan industri batik di sentra 2
Batik Kota Tasikmalaya hanya berlangsung singkat dan kembali mengalami kemunduran. Stimulan dari kekuatan eksternal tersebut bisa menyebabkan ketergantungan dan kebangkitan yang terjadi hanya bersifat semu. Akan tetapi bila kekuatan tersebut bisa disinergikan dengan kekuatan yang lahir dari proses dan dinamika internal kehidupan bermasyarakat, maka akan terjadi proses peningkatan kesejahteraan yang menyeluruh. Pengusaha akan sadar, mengetahui dan memilih berbagai pilihan tindakan untuk membangkitkan usahanya, sehingga mereka akan mengetahui hendak kemana usahanya akan dibawa. Proses dan dinamika internal kehidupan bermasyarakat tersebut tentunya mempunyai visi dan misi. Misi tersebut akan tercermin dari strategi dan relasi yang terjalin antara pengusaha. Strategi pengusaha tersebut tentunya merupakan kekuatan pokok untuk membangkitkan usahanya sendiri, yang menjadi visinya. Strategi itu lahir dan berkembang dari relasi sosial dan respon terhadap situasi eksternal. Apabila strategi, relasi sosial dan respon tersebut bersinergi, maka akan terwujud kebangkitan usaha luar dalam atau yang dikenal dengan keswadayaan masyarakat. Penelitian tersebut masih sangat relevan untuk dilakukan pada saat ini, ditambah lagi pada saat sekarang merupakan eranya ekonomi kreatif dan industri batik merupakan bagaian dari industri ekonomi kreatif tersebut. 2. Orisinilitas Ada banyak penelitian terkait IKM Batik yang mendahului penelitian ini, diantanya sebagai berikut : 3
1.
Pengaruh Sikap Kewirausahaan Terhadap Perkembangan Usaha Pada Pengusaha Batik di Sentra Kerajinan Batik Kota Tasikmalaya, karya Mira Nurfitriya. Penelitian tersebut dilakukan pada tahun 2013, berfokus pada pengaruh sikap kewirausahaan terhadap perkembangan usaha pengusaha kerajinan batik Kota Tasikmalaya
2.
Peran Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman Dalam Promosi Batik (Studi Deskriptif Kualitatif Tentang Peran Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman Dalam Promosi Batik Di Kampung Kauman, Kelurahan Kauman, Kecamatan Pasar Kliwon, Surakarta), karya Yuli Nugraheni. Penelitian tersebut dilakukan pada tahun 2009 yang mengulas tentang bagaimana peran paguyuban kampung batik Kauman dalam promosi batik.
3.
Modal Sosial dalam Pengembangan Industri Batik (Studi mengenai Industri batik Dusun Sukorejo, Desa Banyubiru, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi), karya Qholib Ginanjar H.S. Penelitian tersebut dilakukan pada tahun 2014 yang berfokus pada modal sosial yang mampu menjadi sebuah komponen untuk melakukan pengembangan terhadap usaha batik yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Sukorejo.
4.
Reaktualisasi Usaha Kerajinan Batik Giriloyo (Studi Tentang Fungsi Paguyuban Batik Tulis Giriloyo dalam Memberdayakan dan Menjaga Eksistensi Pengrajin dan Pengusaha Batik di Wukirsari Imogiri Bantul Pasca Bencana Gempa Bumi DIY 27 Mei 2006) karya Kanzul Firdaus yang
4
berfokus pada fungsi paguyuban batik dalam mengaktualisasikan kembali usaha batik yang vakum akibat dari gempa bumi 5. Respon Masyarakat Terhadap Industri Kreatif Batik Di Desa Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, karya Hasan Setiawan. Penelitian tersebut dilakukan pada tahun 2014, yang berfokus pada respon masyarakat terkait proses penyusunan program, implementasi program, dan evaluasi program untuk mengetahui mengapa masyarakat mau melibatkan dirinya dalam program industri kreatif tersebut Berpijak dari beberapa penelitian tersebut, terdapat perbedaan dengan penelitian ini. Penelitian ini mengulas tentang strategi dan dinamika kebangkitan industri kecil menengah batik di Kota Tasikmalaya, setelah mengalami masa kemunduran sejak era Koperasi Mitra Batik. Dengan melihat bagaimana strategi pengusaha dan relasi sosial diantara pengusaha untuk membangkitkan kembali usahanya serta melihat bagaimana respon pengusaha terhadap program pemerintah yang berkaitan dengan upaya untuk kembali mengembangkan industri kecil batik di Kota Tasikmalaya. 3. Relevansi dengan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan memiliki tiga konsentrasi kajian yaitu Social Policy, Community Empowerment, dan Corporate Social Responsibility. Penelitian ini berporos pada Community Empowerment yang akan melihat bagaimana masyarakat mengenali dan menyadari masalah yang dihadapinya serta secara bersama-
5
sama dan mandiri memecahkan masalah tersebut. Pemberdayaan masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bagaimana masyarakat mampu memanfaatkan potensi yang ada baik di dalam dirinya maupun di lingkungan sekitarnya untuk membangkitkan kembali usaha batik di sentra industri Batik Tasikmalaya. Berdasarkan penjelasan tersebut penelitian ini tentu sangat relevan dengan jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, dalam penelitian ini juga terdapat upaya bagaimana masyarakat menyeimbangkan antara needs dan resources. Kebutuhan
(needs)
masyarakat
adalah
peningkatan
kesejahteraan
dengan
membangkitkan kembali usaha batiknya dan ditempuh dengan memanfaatkan resources yang ada. Resources dalam hal ini terdiri dari sumber daya alam sumber daya manusia dan sumber daya sosial. Hal tersebut berhubungan kemampuan pengusaha batik dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya guna mengatasi masalah yang muncul untuk terus mengembangkan usahanya.
B. Latar Belakang Masalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) memiliki peranan penting dalam perekonomian Indonesia. UMKM berkaitan langsung dengan kehidupan dan peningkatan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia, selain itu UMKM telah teruji menjadi penopang kekuatan dan pertumbuhan ekonomi nasional. Keberadaan UMKM juga telah membuka perluasan kesempatan berusaha dan penyerapan tenaga kerja. Hal tersebut membuktikan bahwa UMKM telah menjadi subyek vital dalam pembangunan.
6
Menurut Kementrian Koperasi dan UKM pada tahun 2013 UMKM mempunyai proporsi sebesar 99,99% atau sebanyak 57.895.721 unit dari total keseluruhan pelaku usaha di Indonesia. UMKM juga terbukti berkontribusi menyumbang sebesar 60,34% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Disamping itu, UMKM pada tahun 2013 mampu menyerap 11.414.082 orang tenaga kerja atau 96, 99% dari total tenaga kerja di Indonesia Berdasarkan data Badan Pusat Statistik jumlah industri mikro kecil pada tahun 2013 terdapat 2.887.015 unit dengan menyerap 5.408.857 tenaga kerja, kemudian pada tahun 2014 meningkat menjadi 3.220.563 unit dengan menyerap 6.039.855 tenaga kerja. Sementara itu untuk jumlah industri kecil pada tahun 2013 terdapat 531.351 unit dengan 4.325.254 tenaga kerja, akan tetapi pada tahun 2014 terdapat penurunan jumlah unit usaha menjadi 284.501 dengan menyerap 2.322.891 tenaga kerja (BPS, 2015). Jumlah UMKM yang besar dan persebarannya mencakup ke berbagai pelosok daerah hal ini membuktikan bahwa UMKM merupakan kekuatan ekonomi yang sebenarnya dalam struktur perekonomian nasional. UKM atau Industri Kecil dalam keadaan tertentu (dan paling tidak secara potensial) ternyata penuh vitalitas untuk tumbuh secara wajar, serta kemampuannya untuk bertahan dalam keadaan ekonomi yang terburuk sekalipun, semakin meyakinkan bahwa perlunya subsektor ini untuk dikembangkan dan dibantu oleh iklim yang menunjang. Ahmad Erani Yustika (2003: 113-114) menjelaskan bahwa struktur usaha di Indonesia selama ini bertumpu pada keberadaan industri kecil menengah (IKM), dengan memajukan kelas usaha tersebut secara otomatis membangun kesejahteraan 7
sebagian masyarakat. Tanpa disadari juga ternyata cukup banyak IKM yang selama ini berorientasi ekspor sehingga sangat membantu pemerintah dalam mendapatkan devisa. Sektor IKM telah terbukti lebih fleksibel dalam berbagai kondisi perkonomian yang tidak menguntungkan, seperti yang saat ini dialami Indonesia. Serta IKM lebih banyak memakai bahan baku atau bahan antara dari dalam negeri sehingga tidak membebani nilai impor yang selama ini dipraktikan oleh industri besar. Berdasarkan perannya yang besar dan dengan karakteristik yang dimiliki IKM, sudah selayaknya IKM mendapat perhatian lebih serius lagi untuk dikembangkan. Irsan Azhary Saleh (1986: 43) juga mengemukakan alasan-alasan
yang mendukung
pentingnya pengembangan industri kecil itu antara lain adalah: fleksibilitas dan adaptabilitasnya yang ditopang oleh kemudahan relatif dalam memperoleh bahan mentah dan peralatan, relevansinya dengan proses desentralisasi kegiatan ekonomi guna menunjang terciptanya integrasi kegiatan pada sektor-sektor ekonomi yang lain, potensinya terhadap perluasan dan penciptaan kesempatan kerja bagi pengangguran, serta dalam jangka panjang peranannya sebagai basis bagi suatu kemandirian pembangunan ekonomi, karena pada galibnya diusahakan oleh pengusaha dalam negeri serta proses produksinya dengan kandungan impor yang lemah. Indonesia sendiri telah memiliki UU Nomor 20 tahun 2008 dan UU Nomor 3 tahun 2014 yang mengatur tentang pengembangan UKM atau IKM di Indonesia. Diantara industri kecil dan menengah, industri batik mempunyai karakteristik yang sangat khusus dan menjadi kebudayaan Indonesia yang tetap bertahan secara konsisten. Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam (Wahyono dkk, 8
2014: 30) batik adalah kain bergambar yang pembuatannya secara khusus dengan menuliskan atau menerapkan malam pada kain, kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu. Proses batik disebut mbatik secara etomologis berasal dari fase Jawa amba titik yang berarti “menggamabarkan titik”. Hal ini karena dalam proses pembuatan batik melalui tahapan penetasan lilin ke kain putih berbunyi tik-tik sehingga lahirlah istilah kata batik. Dengan pengaruh motif daerah tertentu, batik berkembang dan menyebar terutama di pulau Jawa yang terkenal dengan batik Surakarta, Yogyakarta, Pekalongan maupun batik Cirebon. Selain daerah-daerah tersebut yang memang telah dikenal sejak lama sebagai daerah penghasil batik, daerah-daerah lain juga memiliki batik, salah satunya adalah daerah Tasikmalaya. Batik Tasikmalaya terkenal dengan tiga jenis motif batik yaitu Batik Sukapura, Batik Sawoan, dan Batik Tasik. Motif batik Tasikmalaya sangat kental dengan nuansa Parahyangan, seperti bunga anggrek dan burung. Selain itu ada juga motif Merak-Ngibing, Cala-Culu, Pisang-Bali, Sapujagat, dan Awi Ngarambat. Batik Tasik memiliki kekhususan tersendiri, yaitu bermotif alam, flora, dan fauna (Disparbud, 2011). Kejayaan Batik Tasik menjadikan Kota Tasikmalaya dijuluki pusat industri Batik di Selatan Jawa Barat. Pada waktu itu, jumlah pengrajin batik tidak kurang dari 450 orang dan mampu menyerap ribuan tenaga kerja. Sentra batik tersebar di beberapa wilayah seperti Panglayungan, Gudang Jero, Bojong, Burujul, Sawah Lempay dan Buninagara (Dinas KUKM Perindag, 2013). Sementara itu dalam sebuah berita di harian Pikiran Rakjat edisi 16 Juni 1952 (dalam Sjafari, 2012) disebutkan perusahaan 9
batik di Tasikmalaya telah menjadi perusahaan tradisi turun temurun. Sebagian masyarakat Tasikmalaya bergantung pada jalannya industri batik ini. Ada masyarakat yang membuka perusahaan batik, menjadi buruh, penjual batik, atau membuka usaha yang ada hubungan dengan batik seperti membuat canting. Industri kerajinan Batik Tasik telah melewati proses yang panjang dengan pasang surut usaha. Pada tahun 1950 jumlah tercatat terdapat sekitar 700 unit usaha dengan omset Rp. 7.000.000 perbulannya. Akan tetapi pada tahun 1952 pasaran batik kembali menurun, sebagai akibat dari embargo karet yang menyebabkan menurunnya permintaan batik dari berbagai daerah dan harga bahan baku yang tidak tetap. Keadaan tersebut berpengaruh signifikan terhadap industri Batik Tasik, terbukti dengan jumlah unit usaha batik yang berkurang lebih dari lima puluh persen, yakni tersisa 259 unit usaha. Tercatat dari 259 unit usaha tersebut, 196 diantaranya telah tergabung dalam koperasi mitra batik. Koperasi Mitra Batik pada tahun 1953 mampu menyerap paling banyak tenaga kerja, yaitu 1668 tukang cap, 2661 tukang tulis, 435 mandor godog dan 21 orang pegawai kantor (Kementrian Penerangan, 1953 dalam Sjafari, 2012). Batik Tasik yang berjaya pada tahun 1950-an sampai tahun 1960-an memasuki era 1970-an mulai mengalami penurunan. Pamor batik Tasik mulai meredup, ditandai banyak pengusaha batik yang bangkrut dan berhenti berproduksi (Kompas.com, 17 Juli 2011). Akibat dari hal tersebut, selama beberapa waktu keberadaan Batik Tasik seakan terlupakan dan dikabarkan juga sempat akan punah. Menurunnya kinerja industri Batik Tasik juga berpengaruh terhadap Koperasi Mitra Batik yang harus menyewakan dan menjual aset-asetnya untuk menutupi hutang. 10
Koperasi Mitra Batik bisa diibaratkan sebagai induk dari pengusaha-pengusaha batik yang ada di Tasikmalaya pada waktu itu. Keberadaan Koperasi Mitra Batik memudahkan pengusaha dalam menjalankan usahanya karena hanya tinggal memikirkan proses produksi saja tanpa harus bingung mencari pasar karena hasil produksinya langsung ditampung oleh koperasi serta para pengusahapun tidak perlu kebingungan mendapatkan bahan karena bisa mendapatkannya di koperasi sebagai induk dari usaha mereka. Penurunan kinerja industri Batik Tasik pada beberapa dekade lalu yang ditandai dengan banyaknya pelaku usaha batik yang gulung tikar dan hanya tersisa beberapa unit usaha saja yang masih aktif berproduksi. Kondisi sentra batik Tasik yang mengalami kemunduran tersebut sesuai dengan apa yang digambarkan dalam siklus hidup produk (Product life Cycle) Kotler (2001: 464) dimana suatu produk akan mengalami tahapan perkenalan, pertumbuhan, kedewasaan dan tahapan penurunan. Pada tahap penurunan ini penjualan produk akhirnya menurun secara perlahan, penurunan tersebut disebabkan oleh banyak faktor seperti masalah perkembangan teknologi, pergeseran selera konsumen, masalah modal dan bahan baku serta semakin meningkatnya persaingan. Faktor-faktor tersebut berdampak pada terjadinya persaingan dalam soal harga dan berkurangnya keuntungan yang diperoleh. Banyak pelaku usaha pada fase ini yang menarik diri dari persaingan karena terus mendapat kerugian, ada yang bertahan dengan mengalihkan segmentasi pasar ke yang lebih kecil atau lemah dengan menurunkan harga dan kualitas produk. Kondisi tersebut sesuai dengan yang dialami oleh industri batik di Kota Tasikmalaya.
11
Hal tersebut kemudian dipertegas bahwa kenyataaan banyak perusahaan kecil yang tidak berkembang bahkan mengalami kebangkrutan menurut Marbun (996: 105106) disebabkan oleh perusahaan telah berkembang akan tetapi kemampuan pengelolaan atau manajeman tidak ikut berkembang,terlambat mengadakan pembaruan atau inovasi produk, tidak mau menerima perubahan atau pembaruan serta tidak menyiapkan kader secara tepat waktu serta terlambat mengadakan diversifikasi usaha. Kemunduran Batik Tasikmalaya sendiri disebabkan oleh beberapa faktor, baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor eksternal yang menyebabkan kemunduran Batik Tasik adalah kemunculan batik printing yang harganya murah dan memiliki variasi motif yang lebih beragam. Berubahnya gaya berbusana masyarakat yang biasanya sehari-hari menggunakan kain batik pada saat itu telah bergeser menggunakan celana dan rok yang juga menyebabkan permintaan akan kain batik menurun. Selain itu kemunduran Batik Tasik disebabkan dari tidak adanya pendampingan dari pemerintah kepada para pengusaha batik untuk menghadapi persaingan. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor eksternal yang menyebabkan kemorosotan Batik Tasik, dimana para pengusaha tidak mampu mengimbanginya sehingga menyebabkan mereka gulung tikar atau beralih ke usaha lain. Kemunduran batik Tasik selain disebabkan oleh faktor eksternal juga dipengaruhi oleh faktor internal, dimana para pengusaha tidak melakukan inovasi produk, lemah dalam hal pemasaran dan regenerasi pengusaha batik yang tidak berjalan karena keturunan dari juragan-juragan batik lebih memilih untuk berkarier di luar usaha batik. 12
Situasi tersebut terjadi karena para pengusaha terlena dengan kemudahan usaha yang dirasakan pada era Koperasi Mitra Batik membuat para pengusaha tidak terbiasa untuk melakukan berbagai inovasi serta tidak terbiasa untuk berhadapan dengan pasar terbuka. Ketika para pengusaha kehilangan induknya terlihat para pengusaha kebingungan untuk melakukan tindakan untuk merespon keadaan sehingga tidak heran banyak perusahaan yang gulung tikar dan sempat tersisa tiga sampai empat unit usaha yang masih aktif berproduksi (Ade Suryana, wawancara 3 Maret 2015). Pada saat itu setelah koperasi Mitra Batik ambruk, para pengusaha Batik Tasik kehilangan identitas karena tidak ada pengusaha yang berani menyebut dirinya sebagai pengusaha Batik Tasik atau menyebut batik hasil produksinya sebagai Batik Tasik, para pengusaha lebih memilih menggunakan sebutan batik Garutan. Pengusaha Batik Tasik telah kehilangan rasa percaya diri dan yang menguasai pemasaran hasil produksi pengusaha Batik Tasik adalah pengusaha asal Garut. Bagi pengusaha batik yang masih bertahan pasca ambruk koperasi Mitra Batik, Garut merupakan pasar yang potensial. Selain wilayah pinggiran di Kabupaten Tasikmalaya seperti Karangnunggal, Salopa maupun Cibalong. Pengusaha batik Tasik dengan pengusaha Batik Garut, mengembangkan pola kerjasama dengan menempatkan para pengrajin Batik Tasik sebagai basis produksi, sementara pemasaran ditangani oleh pengusaha Batik Garut. Hubungan tersebut bersifat patron-klien dimana modal produksi perusahaan Batik Tasik disokong oleh pengusaha batik asal Garut. Hal tersebut berdampak pada branding Batik Tasik yang lambat laut tersisihkan oleh Batik Garutan, hingga konsumen lebih mengenal Batik 13
Garut daripada Batik Tasik. Nilai tambah secara ekonomipun lebih banyak diperoleh pengusaha batik dari Garut (Dinas KUKM Perindag, 2013). Keadaan mulai membaik seiring dengan munculnya dukungan dari situasi eksternal yang mendorong kebangkitan tersebut yakni ditetapkannya batik sebagai warisan budaya dunia UNESCO, dimana penetapan tersebut juga turut memberikan dampak yang signifikan terhadap gairah industri perbatikan di Indonesia (Wahyono dkk, 2014: 1). Industri Batik Tasik kembali bergairah dan mengalami kebangkitan setelah sempat sebelumnya hanya tersisa beberapa unit usaha saja yang aktif berproduksi dan sempat juga dikabarkan terancam punah (Liputan6.com, 16 Agustus 2001) Kebangkitan industri Batik Tasik ditandai dengan jumlah unit usaha yang terus meningkat. Berdasarkan data Dinas KUKM Perindag Kota Tasikmalaya jumlah unit usaha batik dalam hal ini adalah usaha yang memproduksi batik tulis, batik cap dan batik kombinasi pada tahun 2010 terdapat 30 unit usaha dengan menyerap 526 tenaga kerja. Jumlah unit usaha dari tahun 2010 sampai tahun 2012 terjadi penambahan jumlah unit usah namun tidak signifikan, setiap tahunnya hanya muncul satu unit usaha yang baru. Pada tahun 2011 terdapat 31 unit usaha dan pada tahun 2012 terdapat 32 unit usaha. Akan tetapi pada tahun 2013 terdapat penambahan sembilan unit usaha menjadi 41 unit usaha batik dengan menyerap 695 tenaga kerja. Mayoritas pengusaha Batik Tasik terdapat di Kampung Ciroyom yang terletak diantara Kelurahan Parakannyasag yang termasuk kedalam wilayah Kecamatan Indihiang dan Kelurahan Nagarasari yang
14
termasuk kedalam wilayah Kecamatan Cipedes. Kedua kecamatan tersebut telah lama dikenal sebagai penghasil Batik Tasik. Bangkitnya industri Batik di Kota Tasikmalaya ini selain dampak dari ditetapkannya batik sebagai warisan budaya oleh UNESCO, tidak terlepas juga dari peran pemerintah Kota Tasikmalaya yang mengeluarkan Surat Edaran Nomor 800/0955/Org./2010 tanggal 7 Mei 2010 Perihal Penggunaan Pakaian Dinas Batik bagi PNS, sehingga pesanan kepada pengusaha batik di Sentra Batik Tasik meningkat. Kebijakan tersebut turut berpengaruh pada penambahan unit usaha dari awalnya 10 unit usaha dan pada tahun 2013 bertambah menjadi 41 unit usaha dan mampu menyerap 696 orang tenaga kerja serta berdampak pada tumbuhnya outlet-outlet di sentra batik dengan jumlah 17 outlet. Hal tersebut disampaikan oleh Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman di dalam seminar nasional Standarisasi di Jakarta pada 12 November 2014. Berdasarkan hal tersebut menarik untuk melihat lebih jauh bagaimana proses dan dinamika kebangkitan industri batik di Kota Tasikmalaya. Penelitian ini membahas apakah kebangkitan industri Batik Tasik ini bersandar pada upaya pihak luar saja dan karena euforia masyarakat yang tiba-tiba menggemari batik sebagai dampak dari ditetapkannya batik sebagai warisan budaya dunia sehingga permintaan batik meningkat signifikan atau para pengusaha memiliki strategi tertentu. Strategi aktif dan kreatif yang mempunyai tujuan untuk mengembangkan usahanya yang dicapai melalui cara, teknik, prosedur, metode atau perangkat alternatif pilihannya yang diperkirakan tepat untuk mencapai tujuan tersebut. 15
Kemajuan usaha yang nyata terjadi ketika dalam proses dan dinamika kebangkitan tersebut, pelaku IKM Batik Tasik memiliki strategi tersendiri. Strategi tersebut berkaitan dengan upaya yang dilakukan pengusaha dalam mengembangkan produk, relasi sosial diantara para pengusaha maupun respon pengusaha terhadap program pemerintah sebagai bentuk tindakan yang muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai objek. Penelitian ini membahas mengenai hal tersebut untuk mengetahui bagaimana proses dan dinamika kebangkitan industri Batik Tasik.
C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah “Bagaimana strategi dan dinamika kebangkitan industri kecil Batik Tasik di Sentra Batik Kota Tasikmalaya?”. Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita perlu mengetahui: 1. Bagaimana strategi pengusaha dalam pengembangan produk Batik Tasik? 2. Bagaimana relasi sosial yang terjalin diantara pengusaha dalam proses kebangkitan usaha batik? 3. Bagaimana respon pengusaha terhadap program pemerintah Kota Tasikmalaya untuk membangkitkan industri Batik Tasik?
16
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Melihat proses dan dinamika kebangkitan industri kecil Batik Tasikmalaya 2. Mengetahui strategi pengusaha dalam pengembangan
usaha batiknya,
meliputi strategi permodalan produksi, pemasaran dan pengambangan sumber daya manusia 3. Melihat relasi sosial yang terjalin di antara pengusaha dalam usaha membangkitkan kembali industri Batik Tasik 4. Mengetahui respon pengusaha terhadap program Pemerintah Kota Tasikmalaya untuk membangkitkan kembali kejayaan industri Batik Tasik 2. Manfaat penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini menjadi bahan referensi untuk tambahan kajian mengenai Industri Kecil dan Menengah khususnya mengenai IKM Kerajinan Batik 2. Hasil penelitian ini dapat menggambarkan proses dan dinamika kebangkitan usaha kerajinan batik di Sentra Industri Batik Kota Tasikmalaya 3. Menjadi rujukan bagi Dinas KUKM Perindag Kota Tasikmalaya untuk pengembangan lebih lanjut industri Batik Tasik.
17
E. Tinjauan Pustaka 1. Strategi dalam Pengembangan Usaha Strategi dapat disoroti sekurang-kurangnya dari dua perspektif yang berbeda, perspektif yang pertama memandang bahwa strategi sebagai apa yang hendak dilakukan, perumusan program atau langkah aktif, sadar, rasional yang dilakukan untuk menentukan dan mencapai tujuan tertentu. Sedangkan perspektif yang kedua melihat strategi sebagai sesuatu yang sesungguhnya dilakukan, baik itu direncakan maupun tidak direncakan sebelumnya. Perspektif yang kedua ini juga menjelaskan bahwa strategi itu sebagai pola tanggapan, penyesuain diri atas lingkungannya sepanjang waktu (Stoner dan Wankel, 1993: 161). Salusu kemudian (1996: 101) menjelaskan strategi sebagai suatu seni menggunakan kecakapan dan sumber saya suatu organisasi untuk mencapai sasarannya melalui hubungannya yang efektif dengan lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan. Sementara itu strategi menurut Soerjono Soekanto dalam (Benjamin, 2013) merupakan prosedur yang mempunyai alternatif-alternatif pada berbagai tahap atau langkah. Robert H. Hayes dan Steven C dalam (Stoner dan Wankel, 1993: 162163) mengidentifikasi lima sifat pokok strategi, antara lain: a. Cakrawala Waktu. Pada umumnya kata strategi digunakan untuk melukiskan kegiatan yang meliputu cakrawala waktu dalam arti yang luas, menyangkut baik waktu yang dicapai untuk melaksanakan kegiatan tersebut maupun waktu yang digunakan untuk mengamati dampkanya.
18
b. Dampak. Meskipun akibat yang ditimbulkan karena mengikuti strategi tertentu belum terlihat jelas sekalipun dalam jangka waktu yang lama, namun dampak akhirnya akan sangat berarti c. Pemusatan upaya. Sebuah strategi yang efektif biasanya memerlukan pemusatan kegiatan, upaya atau perhatian seseorang pada tujuan yang agak sempit. Pemusatan perhatian pada kegiatan pilihan ini secara implisit mengurangi sumber daya yang tersedia untuk kegiatan lainnya. d. Pola-pola keputusan. Meskipun sebagian dari kita memerlukan beberapa keputusan penting untuk melaksanakan strategi yang dipilihnya, kebanyak strategi memerlukan rangkaian jenis keputusan tertentu yang harus diambil. Keputusan-keputusan tersebut harus saling menunjang sehingga mengikuti suatu pola yang konsisten e. Daya meresap. Sebuah strategi mencakup sebuah spektrum aktivitas yang luas, mulai dari proses alokasi sumber daya sampai dengan kegiatan seharihari. Selain itu, kebutuhan akan konsisten dikemudian hari dalam aktivitas tersebut mengharuskan semua jenjang organisasi untuk bertindak dengan cara sedemikian rupa sehingga memperkuat strategi. Berdasarkan penjelasan tersebut strategi pengembangan usaha adalah perumusan, cara atau tindakan yang dipilih pengusaha untuk mengembangkan usahanya dengan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki. Strategi pengembangan
19
usaha atau dalam hal ini strategi pengembangan usaha Batik Tasik merupakan bagian dari strategi kelangsungan hidup atau strategi adaptasi pengusaha Batik Tasik. Adaptasi menurut (Alland Jr, 1975) didefinisikan sebagai suatu strategi yang digunakan oleh manusia dalam masa hidupnya untuk mengantisipasi perubahan lingkungan baik fisik maupun sosial. Kapasitas manusia untuk dapat beradaptasi ditunjukkan dengan usahanya untuk mencoba mengelola dan bertahan dalam kondisi lingkungannya. Kemampuan suatu individu untuk beradaptasi mempunyai nilai bagi kelangsungan hidupnya. Makin besar kemampuan adaptasi suatu makhluk hidup, makin besar pula kemungkinan kelangsungan hidup makhluk tersebut. Dengan demikian, adaptasi merupakan suatu proses di mana suatu individu berusaha memaksimalkan kesempatan hidupnya (Sahlins, 1968 dalam Haryono, 2005: 120). Soerjono Soekanto juga menjelaskan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk melihat perubahan di sekitarnya, kemudian membuat dan mencari cara untuk mengatasinya, sehingga ia dapat mempertahankan keberadaannya atau dirinya terhadap perubahan tersebut, kemampuan itu dinamakan sebagai strategi kelangsungan hidup (Benjamin, 2013). Berdasarkan hal tersebut para pengusaha batik di Sentra Batik Kota Tasikmalaya yang mengalami keterpurukan usaha tentunya akan mengejar tujuan dalam situasi dimana norma-norma mengarahkannya dalam memilih alternatif cara atau alat untuk mencapai tujuannya yaitu untuk kembali membangkitkan usaha batiknya. Kemampuan para pengusaha untuk melakukan suatu tindakan dalam hal ini memilih alternatif cara atau alat untuk mencapai tujuannya dinamakan sebagai 20
voluntarism oleh Parson. Konsep Voluntarism ini dikembangkan oleh Parson dengan berpijak pada Teori Aksi yang dijelaskan Oleh Weber. Konsep tersebut menjelaskan bahwa aktor merupakan pelaku aktif dan kreatif serta mempunyai kemampuan memilih dan menilai alternatif tindakan. Walaupun aktor tidak mempunyai kebebasan total, namun ia mempunyai kemauan bebas dalam memilih berbagai alternatif tindakan (Ritzer, 1992: 57). Pada industri kerajinan batik di Sentra Industri Batik Kota Tasikmalaya dalam hal ini para pengusaha sebagai aktor akan menggunakan strategi, yang sesuai untuk mengejar, mencapai tujuan dalam situasi dimana norma-norma mengarahkannya dalam memilih alternatif cara dan arah. Strategi pengembangan usaha dapat disimpulkan sebagai cara, langkah, tindakan yang dipilih oleh pengusaha dalam merespon perubahan dengan memanfaat kemampuan dan sumber daya yang dimiliki untuk mengembangkan usahanya, yang dalam hal ini untuk membangkitkan usahanya dari keterpurukan. Maksud keterpurukan dalam usaha ini bisa dijelaskan dengan meminjam konsep siklus hidup produk (Product life Cycle) Kotler (2001: 464) yang secara umum terdiri dari empat tahapan, yaitu: a. Tahap perkenalan, dimulai saat produk diluncurkan. Karena masih bersifat awal, diperlukan waktu untuk menyebarkan produk ke pasar yang mengakibatkan pertumbuhan penjualan produk akan lambat, pengeluaran biaya promosi dan biaya distribusi juga akan banyak.
21
b. Tahap pertumbuhan ditandai dengan peningkatan pesat penjualan produk, dimana konsumen mulai menyukai produk dan terdapat konsumen tambahan. c. Tahap kedewasaan merupakan tahapan yang paling lama berlangsung diantara tahapan yang lain, dimana produk sampai pada titik pelambatan pertumbuhan penjualan produk dan produk akan mengalami proses kemapanan relatif. Tahap ini merupakan fase yang paling berat untuk dijalani dalam mempertahankan pasar dan eksistensi usaha yang telah dibangun d. Tahapan yang terakhir adalah tahapan penurunan. Pada tahap ini penjualan produk akhirnya menurun secara perlahan, penurunan tersebut disebabkan oleh banyak faktor seperti masalah perkembangan teknologi, pergeseran selera konsumen, masalah modal dan bahan baku serta semakin meningkatnya persaingan. Faktor-faktor tersebut berdampak pada terjadinya persaingan dalam soal harga dan berkurangnya keuntungan yang diperoleh. Banyak pelaku usaha pada fase ini yang menarik diri dari persaingan karena terus mendapat kerugian, ada yang bertahan dengan mengalihkan segmentasi pasar ke yang lebih kecil atau lemah dengan menurunkan harga dan kualitas produk. Menurut Sunarto (Mainaho, 2013: 4) produk yang memasuki tahapan penurunan dapat terdaur kembali dalam tahap pertumbuhan melalui promosi yang kuat dan positioning ulang.
22
Kotler (2001: 464) menjelaskan bahwa produk memiliki siklus hidup untuk menegaskan empat hal, yakni: Pertama. Produk memiliki umur yang terbatas. Kedua. Penjualan produk memiliki tahap-tahap yang berbeda, dengan tantangan yang berbeda bagi penjual. Ketiga. Laba naik turun pada tahap yang berbeda dalam siklus hidup produk. Keempat. Produk membutuhkan strategi pemasaran, keuangan, produksi, pembelian dan personel yang berbeda dalam tiap tahap siklus hidup mereka. Industri Batik Tasikmalaya sempat mengalami kejayaan dalam waktu yang cukup lama dan sampai pada akhirnya sebagaimana pola hidup produk yang dijelaskan oleh Kotler bahwa suatu produk akan mengalami fase penurunan, yang apabila tidak bisa disiasati maka usaha tersebut akan mengalami gulung tikar dan itu terjadi pada pengusaha yang terdapat di Sentra Industri Batik Kota Tasikmalaya yang banyak mengalami kebangkrutan usaha karena gagal melakukan adaptasi dan kalah bersaing dengan produk sejenis dari produsen lain. Akan tetapi dengan adanya dorongan situasi eksternal dengan hadirnya peran pemerintah dan ditetapkannya batik sebagai warisan budaya oleh UNESCO yang membawa dampak yang besar bagi industri batik nasional tersebut, juga dirasakan oleh para pengusaha batik di Sentra Industri Batik Kota Tasikmalaya yang sempat tertidur dan bangkit berdiri kembali mengembangkan usahanya. Dalam proses bangkit tersebut tentunya pengusaha memiliki strategi, baik itu direncankan sebelumnya maupun yang tidak direncanakan. Kebangkitan atau perkembangan suatu industri kecil menengah dapat terlihat dari beberapa indikator yang dapat menggambarkan perkembangan yang terjadi pada suatu perusahaan dalam hal ini adalah perusahaan Batik Tasik. Terdapat beberapa 23
pendapat yang mengemukakan indikator yang dapat digunakan sebagai alat ukur perkembangan suatu usaha, diantaranya adalah indikator perkembangan industri kecil adalah dengan melihat pertumbuhan usaha. Pertumbuhan usaha sendiri dapat dilihat dari (Davidsson et al., 2002; Shanmugam and Bhaduri, 2002) dalam (Lela Hindasah, 2011) pertumbuhan poduksi, pertumbuhan penjualan, pertumbuhan pendapatan dan pertumbuhan laba. Disamping itu pertumbuhan juga dapat terlihat dari pertambahan dalam hal-hal seperti tenaga kerja dan fasilitas pabrik yang diperoleh melalui perbandingan keadaan kini dan keadaan masa lalunya (Steers, 1980: 47). Sementara itu menurut Tulus Tambunan (2002) bahwa indikator-indikator perkembangan IKM yang umum digunakan adalah pertumbuhan nilai atau volume output (produktivitas), peningkatan kontribusi output atau nilai tambah terhadap pembentukan PDB, pertumbuhan tenaga kerja dan peningkatan porsi dalam jumlah tenaga kerja di sektor industri manufaktur (pangsa tenaga kerja). Kemudian menurut Korawijayanti dan Tyas (2009) disebutkan bahwa perkembangan industri kecil menengah terlihat dalam pertumbuhan aset, pertambahan tenaga kerja, keragaman usaha dan peningkatan kinerja industri kecil menengah. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut kebangkitan industri kecil Batik Tasik dapat dilihat dari pertumbuhan aset, pertumbuhan tenaga kerja, keragaman usaha dan pertumbuhan pendapatan. Strategi para pengusaha dalam membangkitkan dan mengembangkan kembali usahanya tersebut berkaitan dengan adaptasi dan strategi kelangsungan hidup pengusaha untuk membangkitkan usahanya dalam hal ini produk batiknya guna 24
mempertahankan hidupnya. Strategi yang diambil tentunya tidak bisa terlepas dari aspek penting dalam industri kecil menengah, yakni permodalan, produksi, manajeman sumber daya manusia atau tenaga kerja serta pemasaran. Aspek-aspek tersebut paling tidak yang telah membuat mereka gagal bersaing dan tertidur. Maka dari itu setelah sempat mengalami kemunduran, pengusaha tentunya bisa belajar dan memetik pengalaman dari kepahitan masa lalu. Menarik untuk melihat strategi seperti apa yang dipilih olah para pengusaha untuk kembali membangkitkan usahanya atau mereka tidak memiliki strategi tertentu dan hanya mengandalkan kekuatan luar saja. Strategi dalam membangkitkan dan pengembangan usaha tersebut tentunya tidak terlepas dari aspekaspek penting dalam industri kecil. Murti Sumarni dan John Soeprihantono (1995) menjelaskan aspek-aspek penting dalam industri kecil menengah tersebut, diantaranya: a. Produksi adalah semua kegiatan
untuk menciptakan kegiatan dan
menambah kegunaan suatu barang atau jasa dengan memanfaatkan faktorfaktor produksi yang tersedia (1995: 184) b. Pemasaran adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan bisnis yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan, baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial. Pemasaran harus dilakukan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya, untuk berkembang dan memperoleh keuntungan.
25
Pemasaran menurut Willian. J. Stan (dalam Swastha dan Handoko, 1982: 3) adalah suatu sistem keseluruhan dari kegiatan-kegiatan usaha yang ditujukan untuk merencanakan, menentukan harga, mempromosikan dan mendistribusikan barang serta jasa yang dapat memuaskan kebutuhan baik kepada pembeli yang ada maupun pembeli potensial. c. Modal adalah uang atau barang yang dipakai sebagai pokok untuk berdagang atau digunakan untuk menghasilakan sesuatu yang baru. d. Manajeman sumber daya manusia atau tenaga kerja merupakan salah satu aspek penting dalam praktek manajeman modern, faktor manusia merupakan unsur pokok dan paling menuntukan. Uang bisa dipinjam di bank, tetapi kalau tidak ada manusia dalam hal ini karyawan yang menjalankan perusahaan tidak akan berhasil. Pada dasarnya, perusahaan sebagai organisasi berkewajiban melakukan manajemen orang atau dalam hal ini mempin karyawan demi mencapai tujuan atau sasaran yang hendak dicapai oleh perusahaan (Marbun, 1996: 100). 2. Relasi Sosial dalam Pengembangan Usaha Manusia merupakan makhluk sosial dimana sifat sosialnya tampak jelas dalam bentuk relasi, komunikasi ataupun ketika bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu. Kemampuan manusia sebagai individu sangat terbatas sehingga untuk mencapai tujuan tertentu selalu diperlukan usaha bersama dalam suatu ikatan atau wadah yang telah disepakati. Bakat manusia yang jenis dan mutunya berbeda lantas dipadukan untuk
26
saling mengisi dan saling melengkapi serta akhirnya menjadi kekuatan baru yang supra-individual untuk mengangkat beban yang sifatnya supra-individual juga. Kekuatan baru itu kemudian dipertemukan dalam asosiasi-asosiasi maupun organisasi sosial. Manusia dengan sendirinya akan berelasi atau membentuk hubungan sosial dengan orang lain (OC Hendropuspito, 1989: 223). Menurut (Bintarto, 1983:63) relasi adalah hubungan antara dua gejala, dua komponen, dua individu atau lebih yang dapat menimbulkan pengaruh. Sedangkan menurut OC Hendropuspito (1989: 224) relasi sosial didefinisikan sebagai jalinan interaksi yang terjadi antara perorangan dengan perorangan atau kelompok dengan kelompok atas dasar status (kedudukan) dan peranan sosial yang bersifat dinamik dan berpola tertentu. Berdasarkan pendapat tersebut relasi sosial merupakan hubungan yang dinamis dalam kehidupan masyarakat yang dapat dimulai dari pertemuan antara dua orang atau dua kelompok yang menimbulkan pengaruh timbal balik antara individu atau diantara kelompok dalam rangka usaha individu atau kelompok untuk mencapai tujuannya. Relasi sosial yang terjalin dalam kelompok masyarakat bisa membentuk kesadaran kolektif di antara para pelaku sosial. Kesadaran kolektif ini sangat penting dalam membangun kekuatan suatu komunitas masyarakat, termasuk dalam masyarakat pengusaha batik di sentra batik Tasikmalaya. Relasi ini diperlukan untuk meningkatkan produktivitas pengusaha itu sendiri. Dalam proses kehidupan bermasyarakat, pengusaha menjalin hubungan satu sama lain dengan prinsip saling memberi dan
27
menerima. Orang akan berelasi dan berinteraksi saling bantu membantu dalam kehidupan sosialnya agar hubungan ekonominya tetap terjalin dengan baik. Tindakan ekonomi dapat dipandang sebagai suatu tindakan sosial sejauh tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku orang lain dan aktor selalu mengarahkan tindakannya kepada perilaku orang lain melalui makna-makna yang terstruktur sebagimana dijelaskan oleh Weber dalam (Damsar, 2009: 31-32). Hal tersebut berarti bahwa aktor menginterpretasikan kebiasaan-kebiasaan, adat dan norma-norma yang dimiliki dalam sistem hubungan sosial yang sedang berlangsung. Kemudian hal tersebut dipertegas oleh Granovetter yang memandang bahwa tindakan aktor lebih melekat pada hubungan sosial konkret yang sedang berlangsung, yang berarti bahwa aktor mendefinisikan situasi sosialnya terlebih dahulu sebelum menanggapi orang lain. Pandangan Granovetter ini menyetujui pendapat Weber bahwa tindakan ekonomi tidak dapat dipandang sebagai fenomena stimulus respon yang sederhana, tetapi lebih kepada hasil dari suatu proses yang dilakukan oleh individu dalam proses hubungan sosial yang sedang berlangsung. Bisa dikatakan bahwa tindakan ekonomi disituasikan secara sosial dan melekat dalam jaringan hubungan sosial personal yang sedang berlangsung dari para aktor (Damsar, 2009: 32-33). Granovetter (dalam Damsar, 2009: 139) mengemukakan konsep keterlekatan yaitu merupakan tindakan ekonomi yang disituasikan secara sosial dan melekat (embedded) dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung di antara para aktor. Tindakan tersebut tidak hanya terbatas pada tindakan aktor individual sendiri tetapi juga mencakup perilaku ekonomi yang lebih luas, seperti penetapan harga dan 28
institusi-institusi ekonomi, yang semuanya terpendam dalam suatu jaringan hubungan sosial. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa relasi atau hubungan sosial yang terjadi dalam suatu komunitas atau masyarakat dalam hal ini adalah para pengusaha batik di sentra Industri Batik Kota Tasikmalaya berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi mereka. Relasi sosial personal yang terjalin terlekat dalam tindakan ekonomi yang dilakukan oleh para pengusaha dalam usaha untuk kembali membangkitkan usaha mereka yang sempat mengalami keterpurukan. Setiap masyarakat mempunyai kemampuan untuk pemenuhan kebutuhan dan itu berati juga kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan. Hal ini disebabkan karena proses hubungan sosial yang berkesinambungan telah membentuk suatu jaringan relasi sosial yang terpola yang merupakan suatu sistem. Melalui sistem tersebut masyarakat melakukan berbagai tindakan bersama untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan kondisi kehidupannya (Soetomo, 2012: 72). Relasi sosial tersebut akan melahirkan kontak sosial yang bersifat positif maupun negatif, yang bersifat positif mengarah kepada kerja sama sedangkan yang negatif mengarah pada suatu pertentangan atau bahkan sama sekali tidak menghasilkan suatu interaksi sosial (Soekanto, 1990: 72). Pola relasi sosial yang melahirkan pertentangan dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan kepentingan dan perbedaan tujuan yang ingin dicapai oleh masing-masing pihak. Pola relasi demikian menimbulkan pertikaian, perselisihan atau konflik. Sedangkan pola relasi sosial yang melahirkan kerja sama ditimbulkan dari sifat 29
komplementer dan saling membutuhkan, sehingga untuk memenuhi kebutuhannya mereka menjalin kerja sama. Hal tersebut sesuai dengan yang dijelaskan oleh Soerjono Soekanto (1990: 76) bahwa bentuk-bentuk relasi sosial dapat berupa kerja sama (coperation), persaingan (competion) atau pertikaian (conflict). a. Kooperasi merupakan perwujudan minat dan perhatian orang untuk bekerja bersama-sama dalam suatu kesepahaman, meskipun motifnya sering tertuju pada kepentingan sendiri. Bentuk-bentuk kerja sama bisa kita temukan dalam kelompok-kelompok yang kecil maupun pada satuan-satuan kehidupan yang besar. (Siti Norma, 2004: 58). Kaitannya dengan kerja sama, pengusaha kecil dalam hal ini pengusaha batik akan menyadari kelemahan dan kekurangan yang mereka miliki sehingga mereka akan berfikir dan mengadakan untuk bisa menjalin kerja sama atau relasi sosial untuk mendukung usahanya. Hubungan kerja sama tersebut apabila dilakukan dengan sesama pengusaha kecil akan menghasilkan kerja sama yang setara, akan tetapi apabila hubungan tersebut dilakukan dengan pengusaha yang memiliki modal atau jaringan usaha yang lebih besar, maka akan menghasilkan hubungan yang tidak seimbang atau akan membentuk hubungan patron-klien. Menurut Scott dalam (Ahimsa, 1988: 2) menjelaskan bahwa hubungan patron-klien adalah suatu kasus khusus hubungan antara dua orang yang sebagian besar melibatkan persahabatan instrumental dimana seseorang yang lebih tinggi kedudukan sosial ekonominya (patron) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan
atau 30
keuntungan atau kedua-duanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (klien), yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan, termasuk jasa-jasa pribadi terhadap patron. Hubungan tersebut dapat berjalan dengan mulus jika terdapat unsur-unsur tertentu didalamnya. Unsur pertama adalah bahwa apa yang diberikan oleh suatu pihak adalah sesuatu yang berharga di mata pihak lain, entah pemberian tersebut berupa barang atau jasa. Dengan pemberian tersebut penerima merasa mempunyai kewajiban untuk membalasnya, sehingga terjadi hubungan timbal balik, yang merupakan unsur kedua dalam relasi patron-klien. Adanya unsur timbal balik inilah yang menurut Scott, yang membedakannya dengan hubungan yang bersifat memaksa atau hubungan karena adanya wewenang formal. Scott lebih jauh menjelaskan bahwa hubungan patronase ini memiliki ciri-ciri tertentu. Pertama, terdapat ketidaksamaan dalam pertukaran. Kedua, adanya sifat tatap muka. Ketiga, sifatnya luwes dan meluas (Ahimsa, 1988: 3). Ciri yang pertama memiliki penjelasan bahwa ketidaksamaan tersebut mengandung ketidakseimbangan dalam pertukaran antara dua pasangan, yang mencerminkan perbedaan dalam kekayaan, kekuasaan dan kedudukan. Klien dalam hal ini tidak mampu membalas sepenuhnya dalam pertukaran sehingga suatu hutang kewajiban membuatnya terikat pada patron. Sifat tatap muka pada hubungan patron-klien menunjukan bahwa sifat pribadi terdapat didalamnya. Sedangkan ciri yang ketiga mengandung penjelasan bahwa hubungan ini dapat 31
dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan oleh kedua belah pihak dan sekaligus menjadi jaminan sosial diantaranya (Ahimsa. 1988: 4-5). Hubungan patron-klien ini terjadi pada relasi sosial atau dalam hubungan kerjasama antara pengusaha kecil dengan pengusaha menengah di sentra industri Batik Tasikmalaya, dimana pengusaha kecil memiliki keterbatasam modal maupun jaringan dan sarana pemasaran yang dapat dibantu oleh pengusaha menengah. Hubungan ini juga digunakan oleh pengusaha Batik Tasik dalam rangka mempertahankan usahanya dengan pengusaha batik Garut. Pengusaha Batik Tasik hanya sebagai klien dari pengusaha batik asal Garut yang menjadikan Batik Tasik kehilangan identitas dan tidak dikenal luas seperti batik Garut. b. Persaingan atau competion dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, dimana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing, mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada, tanpa mempergunakan ancaman kekerasan (Gilin dalam Soekanto, 1990: 99) c. Konflik atau pertentangan adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan (Seokanto, 1990: 107)
32
Pola-pola relasi tersebut yang digunakan sebagai kerangka dalam melihat seperti apa hubungan sosial antar pengusaha yang ada di sentra industri Batik Kota Tasikmalaya yang mempengaruhi proses kebangkitan industri kecil menengah Batik Tasik dengan segala dinamikanya apakah menghambat perkembangan usaha atau menjadi sarana dalam mempercepat proses kebangkitan tersebu.
3. Respon Pengusaha Terhadap Kebijakan Pemerintah Sumbangan industri kecil menengah pada pembangunan adalah hasil perpaduan antara pola perilaku, sikap dan pengetahuan pengusaha serta dorongan atau hambatan yang melahirkan pola perilaku tertentu. Pada umumnya sikap dan perilaku tidak mudah berubah dalam waktu singkat. Sikap dan perilaku bisa ditempa dalam pendidikan di rumah, sekolah dan oleh sistem budaya dalam arti luas. Kemudian tertanam dalam waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Di sisi lain, faktor-faktor penghambat dan pendorong dibidang ekonomi sering dapat diubah dalam waktu singkat menurut cakupan dan intensitasnya. Tetapi, memberikan dorongan positif atau meniadakan hambatan dapat mengakibatkan perubahan tertentu pada pola perilaku hanya jika perubahan itu seirama dengan sikap dasar pengusaha (Ronald Clapham, 1991: 64). Sikap dasar pengusaha tersebut akan menentukan keberhasilan suatu program yang dikeluarkan oleh pemerintah. Sikap dasar pengusaha tersebut berkaitan dengan respon. Respon merupakan suatu tanggapan, reaksi atau jawaban atas sesuatu. Watson dalam (Suwarsono, 1984: 11) menjelaskan bahwa setiap tingkah laku pada hakikatnya merupakan tanggapan atau balasan (response) terhadap rangsang (stimulus), karena itu 33
rangsang sangat mempengaruhi tingkah laku. Bahkan ia sampai pada kesimpulan bahwa setiap tingkah laku ditentukan atau diatur oleh rangsang. Respon dalam kaitannya dengan dengan gejala tingkah laku sosial kita dapat menggunakan teori rangsang balas (stimulus-response theory) yang sering juga disebut sebagai teori penguat yang akan menjelaskan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku tertentu jika ia menghadapi rangsangan tertentu. Salah satu yang menerangkan hal tersebut adalah Daryl Beum (1964) dalam (Suwarsono, 1984: 17-18) yang mendasarkan diri kepada pernyataan Skinner bahwa tingkah laku manusia berkembang dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat yang memberi penguat pada individu untuk bertingkah laku tertentu yang dikehendaki oleh masyarakat. Atas dasar pendapat Skinner tersebut, Beum mengemukakan empat asumsi dasar, yaitu: a. Setiap tingkah laku, baik yang verbal maupun sosial, adalah suatu hal yang bebas dan berdiri sendiri, bukan merupakan refleksi sikap, sistem kepercayaan, dorongan, kehendak ataupun keadaan-keadaan tersembunyi lainnya dalam diri individu. b. Rangsang dan tingkah laku balas adalah konsep-konsep dasar untuk menerangkan suatu gejala tingah laku. Konsep-konsep ini hanya bisa didefinisikan dan diukur secara fisik dan nyata. c. Prinsip-prinsip hubungan rangsang balas sebetulnya hanya sedikit. Ia nampak sangat bervariasi karena bervariasinya lingkungan dimana hubungan rangsang balas itu berlaku. 34
d. Dalam analisa tingkah laku itu perlu dihindari diikutsertakannya keadaankeadaan internal yang terjadi pada waktu tingkah laku itu timbal, baik yang bersifat fisiologik maupun konseptual. Teori rangsang balas ini juga bisa digunakan untuk menjelaskan sikap. Sikap merupakan awalan dari sebuah respon, karena sikap merupakan kecenderungan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku jika ia menghadapi suatu rangsangan. Sikap dapat bersifat negatif dan dapat pula bersifat positif. Sikap negatif memunculkan kecenderungan untuk menjauhi, membenci, menghindari ataupun tidak menyukai keberadaan suatu objek. Sedangkan sikap positif memunculkan kecenderungan untuk menyenangi, mendekati, menerima atau bahkan mengharapkan kehadiran objek tertentu (Adi, 1994: 178-179). Sementara itu Ritohardoyo (dalam Waromi, 2004: 21) menjelaskan bahwa respon seseorang terhadap program pembangunan suatu objek tertentu mencakup tiga perwujudan, diantaranya dalah: a. Tindakan penilaian (dalam benak atau otak seseorang) terhadap baik buruknya objek berdasar faktor keuntungan atau kerugian yang akan diterima dari objek tersebut (persepsi) b. Sikap lahir yang dapat terucap dalam lisan (pendapat) mau menerima atau menolak objek yang dipersepsikan c. Tindakan melakukan kegiatan lahir untuk berperanserta atau melakukan suatu kegiatan yang terkait dengan objek tersebut
35
Ritohardoyo juga menjelaskan bahwa ketiga wujud respon (batiniah maupun lahiriah) tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama. Kondisi (status) sosial ekonomi seseorang. Kedua. Tingkat pengetahun tentang manfaat dan resiko yang dapat diterima atau sebagai akibat dari objek (program pembangunan). Ketiga. Ada tidaknya sosialisasi objek pada seseorang atau sekelompok masyasarakat, dengan demikian dapat dinyatakan secara teoritis bahwa ketiga faktor tersebut menjadi penentu pilihan yang pada akhirnya akan menentukan dorongan seseorang menerima atau menolak suatu program pembangunan (Waromi, 2004: 22). Berdasarkan penjelasan tersebut kita dapat melihat bagaimana respon pengusaha batik terhadap program atau kebijakan pemerintah Kota Tasikmalaya yang berkaitan dengan usaha untuk kembali menggairahkan sentra industri Batik Tasikmalaya. Respon pengusaha tersebut dapat berupa persepsi, sikap maupun partisipasi pengusaha terhadap program tersebut. 4. Industri Kecil Beberapa lembaga atau instansi pemerintah serta Undang-Undang telah memberikan definisi mengenai UMKM, Badan Pusat Statistik (BPS) memiliki definisi UKM yang berdasarkan pada jumlah tenaga kerja, untuk usaha kecil memiliki jumlah tenaga kerja lima sampai dengan 19 orang sedangkan usaha menengah memiliki tenaga kerja 20 sampai dengan 99 orang tenaga kerja. Sementara itu dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 3/9/Bkr tanggal 17 Mei 2011 tentang Petunjuk Pemberian Kredit Usaha Kecil mengatur bahwa UKM yang dapat mengakses kredit harus menunjukan maksimum aset yang dimiliki, menunjukan maksimum penjualan, dimiliki oleh WNI, tidak berafiliasi dengan badan usaha menengah atau besar serta berbadan hukum. 36
Definisi UKM dari Bank Indonesia mangacu pada definisi micro and saml enterprise dari IFC. Tabel 1. 1 Kriteria UMKM Menurut IFC
Skala
Jumlah Tenaga Kerja
Total Aset
Penjualan Pertahun
Mikro
< 10 orang
< USD 100.000
Kecil
11 – 50 orang
USD 100.000 – USD 3 USD 100.000 – USD 3
Menengah
51 – 300 orang
< USD 100.000
juta
juta
USD 3 juta – 15 juta
USD 3 juta – USD 15 juta
Sumber: Kajian Akademik Pemeringkatan Kredit Bagi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah di Indonesia oleh Bank Indonesia (2011)
Undang-undang nomer 20 tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil dan menengah menjelaskan pendefinisian atau kriteria usaha mikro, kecil dan menengah. Menurut Undang-undang tersebut disebutkan bahwa usaha mikro adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah). Selanjutanya yang disebut usaha kecil adalah usaha yang memiliki kekayaan bersih lebih dari Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha atau memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp
37
300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 2.500.000.000 (dua miliar lima ratus ribu rupiah). Sedangkan usaha menengah adalah usaha yang mempunyai kriteria dengan kekayaan bersih lebih dari Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Atau memiliki hasil penjualan tahun lebih dari Rp 2.500.000.000 (dua miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp 50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah). Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia saat ini memberikan kontribusi yang besar bagi perekonomian Indonesia. Kemampuan untuk bertahan dalam menghadapi krisis dan kontribusinya terhadap perekonomian negara menjadikan UMKM sebagai subjek banyak pihak. Rini Purwani Budi dalam (Agnes Sunartiningsih, dkk., 2004: 124) membagi industri kecil menjadi empat kelompok menjadi: 1. Kelompok usaha yang menghasilkan barang pemenuhan kebutuhan pasar, yaitu kelompok industri yang bekerja melalui proses teknis dan hasilnya dapat langsung dijual kepada konsumen . 2. Kelompok yang menghasilkan barang pemenuhan kebutuhan industri besar dan menengah, yaitu industri kecil yang bekerja melalui proses teknis dan hasilnya dijual kepada industri lain 3. Kelompok kerja hasil barang-barang seni kerajinan yaitu industri kecil yang menghasilkan produk berdasarkan suatu kreasi seni 38
4. Kelompok yang berlokasi di desa-desa, yaitu industri kecil yang memenuhi kebutuhan wilayah akan jasa atau produk tertentu Berdasarkan penjelasan mengenai defenisi, ciri-ciri dan kategorisasi di atas, industri batik yang terdapat di Kota Tasikamalaya masuk kedalam kategori industri kecil kerajinan. Irsan Azhary Saleh (1986:50-54) mengkategorikan industri kecil dan kerajinan rumah tangga berdasarkan eksistensi dinamisnya menjadi tiga kelompok bagian, yakni: industri lokal, industri sentra dan industri mandiri. Untuk kategori pertama, yakni industri lokal, adalah kelompok jenis industri yang menggantungkan kelangsungan hidupnya kepada pasar setempat yang terbatas, serta relatif tersebar dari lokasinya. Skala usha kategori industri kecil ini sangat kecil dan mencerminkan pola usaha yang bersifat subsisten. Proses pemasaran hasil produksinya dilakukan oleh sendiri dengan target wilayah pemasarannya yang terbatas sehingga tidak diperlukan jasa dari pedagang perantara. Kategori yang kedua, yakni kategori industri sentra adalah kelompok jenis industri yang memiliki satuan usaha yang kecil, tetapi membentuk suatu suatu pengelompokan atau kawasan produksi yang terdiri dari kumpulan unit-unit usaha yang menghasilkan barang sejenis. Kategori industri sentra ini memiliki target cakupan wilayah pemasaran yang lebih luas daripada kategori yang pertama, sehingga peranan pedagang perantara menjadi cukup menonjol. Industri sentra ini pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh terkonsentrasinya bahan mentah bagi suatu produksi di daerahdaerah tertentu, yang dalam hal ini berperan sebagai penarik (pull factor) bagi
39
terciptanya sentra industri kecil dari jenis produk yang bersangkutan. Sementara keahlian dan keterampilan tertentu yang dimiliki atas dasar bakat, kultur dan berbagai alasan lainnya oleh masyarakat suatu daerah sebaliknya berperan sebagai pendorong (push factor) bagi terciptanya sentra-sentra industri kecil tersebut. Adapun kategori ketiga, yaitu industri mandiri merupakan kelompok jenis industri yang masih mempunyai sifat-sifat industri kecil, namun telah memiliki kemampuan untuk mengadaptasi teknologi produksi yang cukup canggih. Pada dasarnya kelompok industri mandiri ini tidak sepenuhnya masuk kedalam bagian industri kecil, mengangingat kemampuannya dalam menyerap berbagai aspek modernitas. Hanya atas dasar skala penyerapan tenaga kerja semata, maka kelompok ini jadi termasuk ke dalam bagian subsektor industri kecil. Kategorisasi industri kecil kerajinan rumah tangga yang disampaikan oleh Irsan Azhary Saleh menempatkan industri batik yang terdapat di Kota Tasikmalaya ke dalam industri kecil kerajinan sentra karena industri batik yang terdapat di Kota Tasikmalaya melakukan pengelompokan kawasan produksi yang terdiri dari kumpulan unit-unit usaha yang menghasilkan barang sejenis yakni batik. Keahlian dan bakat pengusaha batik yang terdapat di kawasan tersebutpun diperoleh secara turun temurun. Mudrajad Kuncoro (2007: 365) menjelaskan bahwa usaha kecil menengah memiliki beberapa karakteristik yang hampir seragam, diantaranya adalah: a. Tidak ada pembagian tugas yang jelas antara bagian operasi dan administrasi
40
b. Rendahnya akses industri kecil terhadap lembaga-lembaga kredit formal, sehingga mereka cenderung menggantungkan pembiayaan usahanya dari modal sendiri atau sumber-sumber lain seperti keluarga, kerabat, pedagang perantara bahkan rentenir c. Sebagian besar usaha kecil ditandai dengan belum memiliki status badan hukum. d. Dilihat dari golongan indutri tampak bahwa hampir sepertiga bagian dari seluruh industri kecil bergerak pada kelompok industri makanan, minumam dan tembakau, lalu diikuti oleh kelompok industri barang galian bukan logam; industri tekstil; industri kayu, bambu, rotan dan sejenisnya termasuk perabotan rumah tangga Pusat Penelitian dan Pengkajian Ekonomi Masyarakat (Budimansyah, 2004: 6) mengidentifikasi sejumlah kendala yang menghambat perkembangan industri kecil, baik bersifat internal maupun eksternal. Secara internal kendala yang dihadapi diantaranya adalah belum memadainya modal usaha, lemahnya sistem administrasi dan manejeman, kesulitan bahan baku, kurang memadainya teknologi produksi, kurang mampu membentuk jaringan pemasaran yang lebih baik
dan belum mampu
memanfaatkan peluang ekonomi berskala besar. Adapun kendala eksternal diantaranya adalah keterbatasan dalam memperoleh akses permodalan, belum terjalinnya kemitraan strategis antara pengusaha kecil dan pengusaha besar, keterbatasan informasi dan kurang terpadunya koordinasi antarinstansi pembina usaha kecil.
41
Industri kecil pada umumnya tidak dibedakan antara pemilik, pekerja dan pengelola. Kebanyakan industri kecil tidak mengalami perubahan metode kerja dan tidak memperbaharui teknologi produksi. Kelemahan dalam hal teknik produksi tersebut tentunya menjadi permasalah tersendiri dalam perkembangan usaha kecil. Masalah lain yang kerap muncul pada kelompok industri kecil adalah masalah perencanaan yang tidak jelas, lemah dalam segi permodalan, bahan baku dan pemasaran (Agnes Sunartingsih, dkk., 2004: 126). Hal serupa juga disampaikan oleh Mudrajad Kuncoro (2007: 368) yang menjelaskan bahwa pengembangan usaha kecil menghadapi beberapa kendala seperti tingkat kemampuan, keterampilan, keahlian, manajeman sumber daya manusia, kewirausahaan, pemasaran dan keuangan. Hal tersebut menyebabkan pengusaha tidak bisa menjalankan usahanya dengan baik. Secara lebih spesifik Mudrajad Kuncoro menjelaskan terdapat enam masalah mendasar yang dihadapi oleh pengusaha kecil. Pertama, kelemahan dalam memperoleh peluang pasar dan memperbesar pangsa pasar. Kedua, kelemahan dalam struktur permodalan dan keterbatasan untuk memperoleh jalur terhadap sumber-sumber permodalan. Ketiga, kelemahan dibidang organisasi dan manajeman sumber daya manusia. Keempat, keterbatasan jaringan usaha kerja sama antarpengusaha kecil (sistem informasi pemasaran). Kelima, iklim usaha yang kurang kondisif karena persaingan usaha yang saling mematikan. Keenam, pembinaan yang dilakukan malah kurang terpadu dan kurangnya kepercayaan serta kepedulian masyarakat terhadap usaha kecil. Kenyataaan bahwa banyak perusahaan kecil yang tidak berkembang bahkan mengalami kebangkrutan (Marbun, 1996: 10542
106) kembali mempertegas sebab-sebab kegagalan perusahaan kecil untuk berkembang atau bahkan gulung tikar menurutnya adalah: a. Perkembangan dan pertumbuhan yang terlalu cepat dan mendadak, baik karena kesempatan dan nasib baik, tetapi tidak diikuti dengan peningkatan teknologi, kemampuan manejerial dan penyesuain sikap pengusaha serta aparatnya. Perusahaan telah berkembang akan tetapi kemampuan pengelolaan atau manajeman tidak ikut berkembang. b. Terlambat mengadakan pembaruan atau inovasi produk dan serta teknik kerja, terutama kurang menyesuaikan diri dengan dengan perkembangan teknologi dan selera konsumen sehingga menyebabkan kalah bersaing. c. Manajeman atau kepemimpinan perusahaan kecil ikut menua dengan semakin bertambahnya
umur pemilik, karena mungkin
bersikap
konservatif, tidak mau menerima perubahan atau pembaruan serta tidak menyiapkan kader secara tepat waktu. d. Terlambat mengadakan diversifikasi usaha serta terlambat menyesuikan diri dengan kebijaksanaan pemerintah e. Pengusaha mengurus banyak persoalan di luar perusahaan sehingga waktunya menjadi kurang untuk mengurusi bisnis perusahaannya. Pada umumnya pengusaha kecil sangat sulit untuk meninggalkan tradisi yang ditekuni dan dinikmati selama bertahun-tahun yang pernah membawa mereka pada kondisi yang lebih baik. Menurut Marbun (1996: 106) apabila kita melihat dan
43
mengkaji lebih mendalam lagi akan tampak jelas bahwa umumnya profil pemilik atau pemimpin perusahaan kecil memiliki karakteristik sebagai berikut: Tidak memiliki pendidikan yang memadai dan sangat jarang lulusan perguruan tinggi Kurang mengembangkan diri dengan mempelajari ilmu dan teknologi baru Agak kolot dan sering percaya diri secara berlebihan Kurang tanggap terhadap perubahan mode, sikap dan selera masyarakat Tidak menyiapkan kader Tidak mengikuti perubahan peraturan perundang-undangan yang terbaru Tidak menyesuaikan diri dengan gerak ekonomi dan produk internasional Faktor-faktor yang menghambat atau menyebabkan kemunduran industri kecil menengah yang telah dijelaskan di atas, juga ditemukan pada pengusaha batik di Sentra Industri Batik Tasikmalaya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Wali Kota Tasikmalaya Budi Budiman di dalam seminar nasional Standarisasi di Jakarta pada 12 November 2014. IKM Batik Tasikmalaya masih memiliki beberapa kelemahan seperti masih rendahnya kualitas dan desain produk, belum adanya pengolah limbah batik komunal yang menyebabkan pencemaran sungai karena pada umumnya para pengusaha membuang air limbah ke sungai, belum optimalnya pemanfaatan lembaga usaha para pengusaha batik, masih lemahnya sarana promosi dan keterbatasan modal usaha.
44
Kemampuan suatu usaha kecil untuk tumbuh dan berkembang tentu saja berbeda dari satu jenis ke jenis usaha yang lain. Meskipun demikian, secara umum kemampuan tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi eksternal dan kemampuan internalnya. Faktor-faktor eksternal seperti iklim kebijakan, struktur pasar yang bekerja, akses ke informasi dan pelayanan, serta jenis komoditas yang disediakan akan menentukan seberapa besar potensi suatu usaha untuk tumbuh dan berkembang. Faktor-faktor internal seperti strategi pemasaran, pola-pola produksi, pengelolaan ketenagakerjaan serta kewirausahaan lebih berpengaruh terhadap kemampuan usaha kecil itu sendiri (Dede Haryadi., dkk, 1998: 30). Aspek-aspek penting yang menghambat bahkan menyebabkan kemunduran pada industri kecil telah dijelaskan panjang lebar, kita dapat menarik kesimpulan bahwa yang paling menentukan dalam perkembangan industri kecil menengah adalah faktor-faktor internal yang meliputi aspek permodalan, produksi, pemasaran, manajeman sumber daya manusia atau tenaga kerja.
45