BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Perkembangan dunia bisnis dan perekonomian selalu saja diikuti
oleh perkembangan pemberian fasilitas kredit yang selalu memerlukan jaminan.
Pelaksanaan
jaminan
ini
merupakan
bentuk
pemberian
kemananan dalam pelaksanaan kredit tersebut. Dengan kata lain, yang memberikan pinjaman (debitur) dalam hal ini Perum Pegadaian1 (PT Persero Pegadaian) akan terjamin dengan adanya jaminan yang diberikan oleh peminjam (kreditur). Untuk itu jelas sekali dapat kita lihat bahwa lembaga jaminan dapat bersifat antara lain menunjang perkembangan ekonomi, perkreditan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat akan fasilitas modal. Dalam pelaksanaannya, penyedia dana yang ada di Indonesia masih didominasi oleh perbankan sebagai lembaga intermediary yang langsung mempertemukan pemilik dana dengan pengguna.2 Dalam hal ini penulis menekankan pada pelaksanaan lembaga pembiayaan yang dilakukan oleh PT Persero Pegadaian.
1
Status Perum Pegadaian berubah menjadi PT Persero Pegadaian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perum Pegadaian Menjadi Perusahaan Persero. 2 Lastuti Abubakar, “Pranata Gadai Sebagai Alternatif Pembiayaan Berbasis Kekuatan Sendiri (Gagasan Pembentukan UU Pergadaian)”, Mimbar Hukum Volume 24, Nomor 1, Februari, 2012, hlm. 4.
1
2
Perkembangan yang terjadi pada PT Persero Pegadaian saat ini adalah bentuk pelayanan yang tidak hanya melayani gadai konvensional saja
melainkan
juga
pelayanan
gadai
dengan
sistem
syari’ah.3
Keberadaan dua sistem pergadaian tersebut bukan tanpa masalah bahkan telah menjadi permasalahan yuridis. Hal ini kemudian dapat dilihat dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.4 Kegiatan pinjam-meminjam berupa uang telah lama beredar dan dikenal oleh masyarakat Indonesia. Pada zaman dahulu, jika memerlukan pinjaman uang kebanyakan masyarakat mendatangi rentenir dengan memberikan harta benda yang mereka miliki sebagai jaminan, serta membayar bunga yang sangat tinggi (melampaui batas kewajaran). Sehingga tujuan mereka yang semula untuk mengatasi masalah keuangan yang sedang dihadapi akhirnya justru menimbulkan masalah yang baru, sebab disamping harus membayar uang pokok pinjaman, mereka juga harus membayar bunga uang pinjaman tersebut.5 Gadai yang ada saat ini, dalam praktiknya menunjukkan adanya beberapa hal yang dipandang memberatkan dan mengarahkan kepada
3
Lastuti Abubakar, Loc.cit., menyebutkan pelayanan gadai di luar sistem konvensional terdapat gadai syariah (rahn), layanan jual beli logam mulia (mulia dan galeri 24), layanan fidusia (Kreasi, Krasida dan Krista), serta layanan jasa lainnya berupa jasa titipan, jasa taksiran, Kresna, Kucica,16 Langen Palikrama, Investa, Kremada, Kagum, dan G Lab (jasa pengujian logam mulia). 4 Lastuti Abubakar, loc.cit 5 Esther Million, Tugas dan Fungsi Pegadaian Sebagai Lembaga Pembiayaan Dalam Pemberian Kredit Dengan Sistem Gadai, Tesis, PPS USU, Medan, 2004, hlm. 1.
3
suatu persoalan riba yang dilarang oleh hukum syara’.6 riba
terjadi
apabila dalam akad gadai ditemukan bahwa peminjam harus memberi tambahan sejumlah uang atau persentase tertentu dari pokok utang, pada waktu membayar utang atau pada waktu lain yang telah ditentukan penerima gadai. Hal ini lebih sering disebut juga dengan “bunga gadai”, yang pembayarannya dilakukan setiap 15 hari sekali. Sebab apabila pembayarannya terlambat sehari saja, maka nasabah harus membayar 2 kali lipat dari kewajibannya, karena perhitungannya sehari sama dengan 15 hari. Penjelasan tersebut jelas merugikan pihak nasabah, karena ia harus menambahkan sejumlah uang tertentu untuk melunasi hutangnya. Padahal sering sekali orang yang menggadaikan barang itu untuk kebutuhan konsumtif. Namun, apabila dilihat dari segi komersiil pihak Pegadaian dirugikan, misalnya karena inflasi, atau pelunasan yang tidak tepat waktu, sementara barang jaminan tidak laku dijual.7 Karena itu aktivitas akad gadai dalam Islam, tidak dibenarkan adanya praktik pemungutan bunga karena dilarang syara’, dan pihak yang terbebani merasa dianiaya dan tertekan, karena selain harus susah payah mengembalikan hutangnya, penggadai juga masih berkewajiban untuk membayar bunganya. Pinjaman itu sebagai bagian dari faktor produksi dan memiliki potensi untuk berkembang dan menciptakan nilai, serta juga menciptakan 6
A.A. Basyir, Hukum Islam tentang Riba; Utang-Piutang Gadai, Al-Maarif, Bandung, 1983, hlm. 55. 7 Ibid., hlm. 4.
4
adanya kerugian. Oleh karena itu, apabila menuntut adanya pengembalian yang pasti sebagai balasan uang (sebagai modal), maka yang demikian itu dapat dianggap bunga dan itu sama dengan riba’. 8 Mengenai riba’ itu, para ulama telah berbeda pendapat. Walaupun demikian, Afzalurrahman dalam Muhammad dan Solikhul Hadi, memberikan pedoman bahwa yang dikatakan riba’ (bunga), di dalamnya terdapat 3 (tiga) unsur berikut:9 1. Apabila dalam akad gadai tersebut di tentukan bahwa ar-rahin atau penggadai harus memberikan tambahan kepada al-murtahin atau penerima gadai ketika membayar utangnya; 2. Apabila akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut dilaksanakan; 3. Apabila ar-rahin tidak mampu membayar utangnya hingga pada waktu yang telah ditentukan, kemudian al-murtahin menjual almarhun dengan tidak memberikan kelebihan harga almarhun kepada al-rahin. Padahal utang ar-rahin lebih kecil nilainya dari almarhun. Islam menyikapi pegadaian terkait dengan fungsi utama pegadaian adalah boleh dilakukan, kecuali bila dalam melaksanakan fungsinya pegadaian melakukan hal-hal yang dilarang syari’ah. Dalam praktek pegadaian konvensional yang dikenal saat ini. Fungsi tersebut dilakukan
8
Muhmmad Akram Khan, Economic Teaching of Prophet Muhammad: A Select Anthology of Hadith Literature on Economics, Alih Bahasa Team Bank Muamalat, Jakarta: 1996, hlm. 180. 9 Muhammad dan Solikhul Hadi, Pegadaian Syariah, Salemba Diniyah, Jakarta, 2003, hlm. 64. Lihat juga Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 304.
5
berdasarkan sitem bunga. Pegadaian konvensional tidak serta merta identic denga riba, namun kebanyakan praktek pegadaian konvensional dapat digolongkan dengan transaksi ribawi. Pegadaian konvensional dalam melaksanakan beberapa kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip syariah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memperkenalkan praktek pegadaian berdasarkan syariah.10 Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Keputusan Fatwa Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga (Interest/ Fa’idah) berpendapat:11 1. Bunga (Interest/ fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (Al-Qardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase; 2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya, dan inilah yang disebut Riba Nasi’ah; 3. Praktik pembungaan uang saat ini telah memenuhi kriteria riba yang terjadi pada jaman Rasulullah SAW, Ya ini Riba Nasi’ah. Dengan demikian, praktek pembungaan uang ini termasuk salah satu bentuk Riba, dan Riba Haram Hukumnya;
10
Remy S., Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2005, hlm. 18. 11 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Bunga (Interest/ Fa’idah).
6
4. Praktik Penggunaan tersebut hukumnya adalah haram, baik di lakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu; 5. Untuk wilayah yang sudah ada kantor/jaringan lembaga keuangan syari’ah dan mudah di jangkau, tidak diperbolehkan melakukan transaksi yang didasarkan kepada perhitungan bunga; 6. Untuk wilayah yang belum ada kantor/ jaringan lembaga keuangan syari’ah, diperbolehkan melakukan kegiatan transaksi di lembaga keuangan konvensional berdasarkan prinsip darurat/hajat. Gadai syari’ah tidak menganut sistem bunga, namun menggunakan biaya jasa (ijarah) sebagai penerimaan dan labanya, yang dengan pengenaan biaya jasa itu, dapat menutupi biaya yang dikeluarkan dalam operasionalnya. Oleh karena itu, untuk menghindari adanya unsur riba’ (bunga) dalam gadai syariah dalam usahanya pembentukan laba, maka gadai syari’ah menggunakan mekanisme yang sesuai dengan prinsipprinsip syari’ah, seperti melalui akad qardhul hasan dan akad ijarah. Menurut pendapat Muhammad Akram Khan, bahwa keberadaan gadai syariah tidak hanya digunakan untuk fungsi komersiil (untuk mendapatkan keuntungan) saja, tetapi juga digunakan untuk fungsi sosial juga12 Imbalan jasa yang masih digunakan oleh gadai yang dikenal dengan „bunga gadai, sangat memberatkan dan merugikan pihak penggadai.
12
Muhammad Akram Khan, Op.cit., hlm 179-184.
7
Prinsip
Syari’ah
berlandaskan
pada
nilai-nilai
keadilan,
kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Dalam hal praktik gadai syari’ah (Rahn), prinsip utang piutang yang terdapat di dalam gadai konvensional dapat dikategorikan sebagai praktik riba.13 Untuk itu perlu disampaikan juga perbedaan yang mendasar antara gadai syari’ah dengan gadai konvensional, yaitu tidak diperkenankannya bunga dalam gadai syari’ah sebagaimana diterapkan dalam gadai konvensional.14 Pegadaian konvensional memungut biaya dalam bentuk bunga yang bersifat akumulatif dan berlipat ganda, lain halnya dengan biaya di Pegadaian Syari’ah yang tidak berbentuk bunga, tetapi berupa biaya penitipan,
pemeliharaan,
penjagaan,
dan
penaksiran
dan
biaya
administrasi untuk penerbitan sertifikat gadai sebagai bukti saat penebusan objek gadai. Biaya gadai syari’ah lebih kecil dan hanya sekali saja.15 Praktik gadai konvensional yang dianggap melanggar syariat Islam, maka sebagian masyarakat menilai hal ini tidak lazim dilaksanakan oleh umat Islam di Indonesia, yang sebagian telah diberitakan oleh media massa, sehingga dapat menimbulkan pertanyaan, prasangka buruk, kerisauan, dan keresahan dikalangan masyarakat. Praktik gadai syari’ah dengan objek gadai emas dianggap telah lazim sebagai barang berharga yang disimpan dan dijadikan objek gadai 13
Riba diartikan dengan tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa ada ganti rugi yang dibenarkan syariah kepada penambahan tersebut. Lihat Lastuti Abubakar, op.cit., hlm. 6. 14 Ibid. 15 Ibid.
8
(Rahn) sebagai jaminan utang untuk mendapatkan pinjaman uang. Hal ini dilakukan melalui mekanisme yang sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah, untuk itu Dewan Syari’ah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa tentang hal itu untuk dijadikan pedoman pada pelaksanaan gadai syari’ah dengan objek gadai emas.16 Hal ini dapat ditelusuri pada PT Persero Pegadaian di Kabupaten Purwakarta yang melaksanakan mekanisme gadai syari’ah dengan objek gadai emas yang sesuai dengan prinsipprinsip syari’ah. Penelitian terkait tinjauan hukum terhadap gadai emas syari’ah oleh PT Persero Pegadaian menurut hukum islam dikaitkan dengan
Fatwa
Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor : 26/DSNMUI/III/2002 Tentang Rahn Emas belum pernah dilakukan. Namun, peneliti mengenai implementasi dua sistem gadai emas yang berlaku di perum pegadaian pernah ditulis oleh : 1. Erwin Nugrahanto, NPM 110110070020, Skripsi Fakultas Hukum Unpad Tahun 2012, tentang “Kajian Hukum Mengenai Implementasi dua Sistem Gadai Emas yang berlaku di Perum Pegadaian Indonesia Menurut KUHPerdata, Fatwa Dewan Syariah
No.25/DSN-MUI/III/2002
Tentang
Rahn
;
dan
No.26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas 2. Tia Rifahniari, NPM A1005220, Skripsi Fakultas Hukum Unpad Tahun 2009, Tentang “Tinjauan Yuridis tentang Gadai syari’ah
16
Lihat Fatwa Dewan Syariah No: 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas.
9
dengan obyek Gadai Emas dalam pembiayaan syari’ah berdasarkan Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah Pemaparan dan pengaturan-pengaturan serta fenomena yang terjadi terhadap pelaksanaan gadai syari’ah dengan objek gadai emas tersebut, maka hal tersebut mendorong penulis untuk menjadikan usulan penelitian yang berjudul: “TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENERAPAN GADAI EMAS OLEH
PT
DIKAITKAN MAJELIS
PERSERO
FATWA
DENGAN ULAMA
PEGADAIAN
MENURUT
DEWAN
INDONESIA
HUKUM
SYARI’AH
NOMOR:
ISLAM
NASIONAL
26/DSN-MUI/III/2002
TENTANG RAHN EMAS”.
B.
Identifikasi Masalah 1. Bagaimana Praktik Penerapan Gadai Emas Syari’ah oleh PT Persero Pegadaian Menurut Hukum Islam dikaitkan dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas? 2. Bagaimana
Implikasi
Yuridis
Gadai
Syari’ah
Perkembangan Ekonomi Syari’ah di Indonesia?
terhadap
10
C.
Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai melalui penulisan hukum ini adalah : 1. Mencari kepastian mengenai Praktik Penerapan Gadai Emas Syari’ah oleh PT Persero Pegadaian Menurut Hukum Islam dikaitkan dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas. 2. Mendapatkan gambaran implikasi yuridis gadai syari’ah terhadap perkembangan ekonomi syari’ah di Indonesia.
D.
Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan dan bahan
masukan
bagi
penulis
dan
pihak-pihak
lain
yang
berkepentingan yang merasakan manfaat penelitian ini, baik secara: 1. Teoretis Penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam meningkatkan pemahaman dan wawasan keilmuan dibidang hukum perdata dan Hukum Islam pada umunya dan khususnya dibidang hukum Gadai Emas (Rahn Emas) menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam sistem hukum positif di Indonesia.
11
2. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan: a. Dapat digunakan bagi pihak yang berkepentingan khususnya masyarakat, praktisi hukum dan badan legislatif untuk mengkaji: 1) Praktik dan kedudukan terhadap gadai emas syariah dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional majelis Ulama Indonesia Nomor : 26/DSN-MUI/III/2002 Tentang Rahn Emas. 2) Implikasi yuridis gadai syari’ah terhadap perkembangannya di Indonesia.
E.
Kerangka Pemikiran Dalam ilmu hukum terdapat berbagai definisi hukum yang
diungkapan oleh para ahli hukum. Salah satunya diungkapkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, yaitu hukum merupakan keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur kehidupan manusia di dalam masyarakat, termasuk lembaga (institution) dan proses (processes) yang dapat mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.17 Dalam konsep hukum sebagai sarana pembangunan, sebagaimana tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 amandemen keempat
tercantum
tujuan
pembangunan
nasional,
yaitu
untuk
mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia. Tujuan pembangungan
17
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung, 1976, hlm 12.
12
nasional juga diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 amandemen keempat yang mengatakan: 1. Perekonomian nasional disusun sebagai usaha bersama berdasar atas kekeluargaan; 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; 3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; 4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efesiensi berkeadilan,
berkelanjutan,
berwawasan
lingkungan,
kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dari kesatuan ekonomi nasional; 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Pasal tersebut mencantumkan demokrasi ekonomi sebagai prinsip dasar pembangunan nasional dengan mengutamakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat.18 Hal inilah yang mendasarkan pembangunan nasional di Indonesia dan menjadikan dasar setiap produk hukum yang berhubungan
dengan
perekonomian
yang
terutama
di
bidang
perdagangan dan menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama. 18
Tom Gunadi, Sistem Perekonomian Menrut Pancasila dan UUD 1945, Angkasa, Bandung, 1985, hlm. 49.
13
Hal senada juga dituangkan dalam visi Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 (RPJP) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional
2010-2014
(RPJMN),
yaitu
mewujudkan
perekonomian yang maju, mandiri, dan mampu secara nyata memperluas peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemakmuran yang merata yang mendasar pada prinsip-prinsip ekonomi yang menjungjung tinggi persaingan sehat dan keadilan, serta berperan aktif dalam perekonomian global dan regional yang bertumpu pada kemampuan potensi bangsa sendiri dan didukung oleh aktivitas sektor riil yang berdaya saing, berdaya tahan, dan berkeadilan19 Pembiayaan
adalah
penyediaan
dana
atau
tagihan
yang
dipersamakan dengan itu berupa: 1. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah; 2. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; 3. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’; 4. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan 5. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa. Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syari’ah dan/ atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/ 19
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007.
14
atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil. Pegadaian sebuah lembaga keuangan formal di Indonesia, yang bertugas menyalurkan pembiayaan dengan bentuk pemberian uang pinjaman kepada masyarakat yang membutuhkan berdasarkan hukum gadai merupakan suatu hal yang perlu disambut positif. Hadirnya lembaga tersebut diharapkan dapat membantu masyarakat agar tidak terjerat dalam praktik-praktik lintah darat, ijon dan/atau pelepas uang lainnya. Lembaga pegadaian di Indonesia dewasa ini ternyata dalam prakteknya belum dapat terlepas dari berbagai persoalan. Maka diharapkan pegadaian yang selama ini sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat dapat berjalan sesuai tujuan pokoknya, serta benar-benar akan dapat berfungsi sebagai lembaga keuangan non-Bank yang dapat memberikan Kemaslahatan sesuai yang diharapkan masyarakat. Perkembangan yang terjadi pada PT Persero Pegadaian saat ini adalah bentuk pelayanan yang tidak hanya melayani gadai konvensional saja
melainkan
juga
pelayanan
gadai
dengan
sistem
syari’ah.
Keberadaan dua sistem pergadaian tersebut bukan tanpa masalah bahkan telah menjadi permasalahan yuridis. Hal ini kemudian dapat dilihat dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah.20
20
Lastuti Abubakar, loc.cit.
15
Perkembangan perekonomian nasional senantiasa bergerak cepat dengan tantangan yang semakin kompleks. Oleh karena itu, diperlukan berbagai penyesuaian kebijakan di bidang ekonomi termasuk sektor pegadaian
sehingga
diharapkan
akan
dapat
memperbaiki
dan
memperkukuh perekonomian nasional. Secara
umum
pengertian
usaha
gadai
adalah
kegiatan
menjaminkan barang-barang berharga kepada pihak tertentu, guna memperoleh sejumlah uang dan barang yang dijaminkan akan ditebus kembali sesuai dengan perjanjian antara nasabah dengan lembaga gadai.21 Ini berarti bahwa gadai merupakan suatu hak jaminan kebendaan atas kebendaan bergerak tertentu milik debitur atau seseorang lain atas nama debitur untuk dijadikan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu, yang memberikan hak didahulukan pelunasan piutangnya kepada pemegang hak gadai (Kreditur Preferen) atas kreditur lainnya (Kreditur Konkruen), setelah terlebih dahulu didahulukan dari biaya untuk lelang dan biaya menyelamatkan barang-barang gadai yang diambil dari hasil penjualan
melalui
pelelangan
umum
atas
barang-barang
yang
digadaikan.22 Jangka waktu pinjaman gadai adalah selama 4 bulan atau 120 hari. Jangka waktu pinjaman dihitung sejak tanggal pemberian uang pinjaman sampai batas akhir tanggal pelunasan atau jatuh tempo, dimana hari
21
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 246. 22 Rachmadi Usman, Hukum Jaminan Keperdataan. Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 105.
16
besar dan hari minggu turut dihitung, jangka waktu dapat diperpanjang dengan jalan.23 Transaksi hukum gadai dalam fikih Islam disebut Rahn. Rahn adalah suatu jenis perjanjian untuk menahan suatu barang sebagai tanggungan hutang. Pengertian Rahn dalam bahasa Arab adalah AtsTsubut wa addawam yang berarti “tetap” dan “kekal”, seperti pada kalimat maun rahin, yang berarti air yang tenang. Hal itu, berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. Al-Muddatstsir (74) ayat 38:
“Setiap
orang
bertanggung
jawab
atas
apa
yang
telah
diperbuatnya”. Pengertian “tetap” dan “kekal” dimaksud, merupakan makna yang tercakup dalam kata al-habsu, yang berarti menahan. Kata ini merupakan makna yang bersifat materiil. Karena itu, secara bahasa kata Ar-Rahn berarti “menjadikan sesuatu barang yang bersifat materi sebagai pengikat hutang. Pengertian gadai (Rahn) dalam Hukum Islam (Syara’) adalah menjadikan suatu barang yang mempunyai nilai harta dalam pandangan syara’ sebagai jaminan hutang, yang memungkinkan untuk mengambil seluruh atau sebagian hutang dari barang tersebut.24 Gadai menurut Hukum Islam (Syari’ah) atau dalam penelitian ini lebih lanjut disebut dengan Gadai Syari’ah (Rahn) adalah menahan salah satu harta milik nasabah (rahin) sebagai barang jaminan (marhun) atas hutang/ pinjaman
23 24
Ibid. Zainuddin Ali, Hukum Gadai Syariah, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 2.
17
(marhun bih) yang diterimanya. Marhun tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan atau penerima gadai (murtahin) memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.25 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa gadai syari’ah merupakan perjanjian antara seseorang untuk menyerahkan harta benda berupa emas/perhiasan/kendaraan dan/ atau harta benda lainnya sebagai jaminan dan/atau agunan kepada seseorang dan/atau lembaga gadai syari’ah berdasarkan hukum gadai syari’ah. Fungsi akad perjanjian dalam pengertian gadai (Rahn) antara pihak peminjam dengan pihak yang meminjam uang adalah untuk memberikan ketenangan bagi pemilik uang dan/atau jaminan keamanan uang yang dipinjamkan. Karena itu, Rahn pada prinsipnya merupakan suatu kegiatan hutang piutang yang murni berfungsi sosial, sehingga dalam buku fiqh mu’amalah akad ini merupakan akad tabarru atau akad derma yang tidak mewajibkan imbalan. Dasar hukum yang menjadi landasan Gadai Syari’ah adalah ayatayat Al-Quran, hadis Nabi Muhammad SAW, ijma’ ulama, dan fatwa MUI. Didalam sistem hukum positif di indonesia hanya fatwa MUI yang dapat dijadikan aturan pelaksanaan dalam melakukan praktik gadai, tentunya Fatwa MUI tersebut berdasarkan Al-Quran, hadis Nabi Muhammad SAW, ijma’ ulama.
25
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press, Jakarta, 2001, hlm. 128.
18
Fatwa
Dewan
Syari’ah
Nasional
Majelis
Ulama
Indonesia
(DSNMUI) menjadi salah satu rujukan yang berkenaan gadai syari’ah, di antaranya dikemukakan sebagai berikut 1. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 25/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn; 2. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 26/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn Emas. Syariah Islam sebagai suatu syariat yang dibawa oleh Rasul terakhir memiliki sifat yang komprehensif dan universal. komprehensif berarti merangkum seluruh aspek kehidupan manusia baik ritual (ibadah) maupun sosial (Muamalah). Konsep lembaga keuangan pada tatanan perekonomian
masyarakat
madani
harus
mengacu
pada
tatanan
perekonomian pada masa Rasululloh membangun masyarakat Madinah yang dalam seluruh aspek kehidupan berlandaskan syari’ah Islam.26 Gadai dalam Hukum Islam diistilahkan dengan Rahn dan Al-Babs. Secara etimologis Al-Rahn berarti tetap dan lama, sedangkan Al-Babs berarti penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.27 Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, Rahn adalah menjadikan barang yang mempunyai nilai harta menurut syara’ sebagai jaminan hutang sehingga orang yang bersangkutan boleh mengambil hutang atau Ar-Rahin (Penggadai) dapat
26
Muhamad Djafar, Pengantar Ilmu Fiqh, Suatu Pengantar tentang Ilmu Hukum Islam dalam berbagai Mazhab, Kalam Mulia, Jakarta, 1993, hlm. 30-42 27 Rahmah Syafi’I, Fiqh Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 159.
19
mengambil sebagian manfaat barang tersebut.28 Pengertian gadai Syari’ah berbeda dengan gadai dalam pengertian hukum positif (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan berbeda pula dengan gadai menurut pengertian Hukum Adat.29 Menurut terminologi, syariah adalah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan pecipta-Nya lalu hubungan antar sesama manusia yang mengacu pada Alquran dan sunah. Di negara seperti Iran atau Saudi Arabia, prinsip syari’ah adalah dasar kehidupan bernegara yang digunakan dalam politik dan juga ekonomi.30 Pegadaian syari’ah atau dikenal dengan istilah rahn, dalam pengoperasiannya menggunakan metode Fee Based Income (FBI) atau Mudharabah (bagi hasil).
Karena
nasabah
dalam
mempergunakan
marhumbih
(UP)
mempunyai tujuan yang berbeda-beda misalnya untuk konsumsi, membayar uang sekolah atau tambahan modal kerja, penggunaan metode Mudharobah belum tepat pemakaiannya. Oleh karenanya, pegadaian menggunakan metode Fee Based Income (FBI). Minat masyarakat akan pembiayaan gadai syariah yang semakin besar, maka pegadaian syariah yang merupakan salah satu lembaga yang menyediakan produk tersebut harus tetap dikawal dengan baik agar tidak ada yang melakukan penyimpangan terhadap sistem yang telah ada
28
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunah, Al-Maarif, Bandung, 1997, hlm. 139. Chairuman Pasaribu, dkk, Hukum Pejanjian dalam Islam, Sinar Grafika, Jakarta 1996, hlm. 140. 30 http://brighterLife.co.id, Mengenal Prinsip Syariah di Indonesia, http://brighterlife.co.id/2012/05/24/mengenal-prinsip-syariah-di-indonesia.htm diakses 08/01/2013. 29
20
karena dapat merusak citra pegadaian syariah di mata masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan pengawasan terhadap penerapan dan pelaksanaan produk pembiayaan dalam hal ini difokuskan mengenai sistem akuntansi pembiayaan gadai syari’ah agar masyarakat yang telah menggunakan produk tersebut semakin yakin dengan prinsip syari’ah yang telah dijelaskan dan untuk masyarakat yang belum memanfaatkan produk pembiayaan menjadi yakin dan tertarik dengan produk tersebut. Fatwa
Dewan
Syari’ah
Nasional
Majelis
Ulama
Indonesia
No.26/DSN-MUI/III/2002 dengan akad pendamping ijarah (PSAK 107) tahun 2008 sebagai panduan dalam pengakuan dan pengukuran, penyajian, dan pengungkapan yang berhubungan dengan pembiayaan gadai syariah. PSAK ini berlaku sejak April 2008. Penerapan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No. 26/DSNMUI/III/2002 dengan akad pendamping ijarah (PSAK 107) tahun 2008 untuk pembiayaan dengan gadai syari’ah akan memberikan kontribusi terhadap pencapaian target pertumbuhan pendanaan syariah karena peraturan tersebut merupakan formulasi yang dibuat oleh para pakar ekonomi syari’ah Dalam negara-negara yang menganut sistem ekonomi syari’ah, konsep-konsep seperti zakat mewakili konsep tentang hidup adil dan merata bagi setiap orang. Kemudian gharar dan masyir, yang melarang semua praktik perjudian. Lalu takaful, sebuah konsep tentang rasa solidaritas antara masyarakat untuk tolong menolong jika ada kerabatnya
21
yang mengalami musibah. Lalu, bagaimana dengan penerapan prinsip syari’ah di Indonesia. Dalam Al-Quran Surat Al baqarah 283 dan juga dalam hadits dijelaskan bahwa gadai merupakan salah satu bentuk dari mu’amalah, dimana sikap menolong dan amanah sangat ditonjolkan. Maka pada dasarnya, hakikat dan fungsi gadai dalam islam adalah semata-mata untuk memberikan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan dengan bentuk marhum sebagai jaminan.31 Masyarakat kini telah lazim menjadikan emas sebagai barang berharga yang disimpan dan menjadikannya objek Rahn sebagai jaminan utang untuk mendapatkan pinjaman uang, Dewan Syari’ah Nasional memandang perlu membuat suatu aturan mengenai praktik gadai emas. Untuk itu dikeluarkanlah Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 26/DSN-MUI/III/2002, tentang Rahn Emas. Kasus sengketa antara seniman Butet Kartaredjasa dengan PT Bank Rakyat Indonesia Syari’ah (BRI Syari’ah) menjalani babak baru. Keduanya saat ini menjalani proses mediasi yang ditangani oleh Bank Indonesia. Mediasi tersebut dilakukan pada Kamis, 3 Oktober 2012, di Gedung Bank Indonesia. Tak hanya Butet, mediasi itu juga dihadiri tujuh nasabah lain yaitu Robert Sugiharto, Sell Kusuma Dewani, Elsje Hartini, Tan Leo Hardianto, Indah Sulistiyo Wati dan Mohammad Widodo. Para nasabah BRI Syariah itu didampingi pengacara Djoko Prabowo Saebani. 31
Sasli Rais, Pegadaian Syariah: Konsep dan Sistem Operasional, UIP, Jakarta, 2006, hlm.41.
22
Para nasabah yang berasal dari Semarang dan Yogyakarta tersebut datang untuk memberikan konfirmasi terkait kasus tersebut. Butet berpendapat, klaim BRI bahwa nasabah tidak membayar ijarah (biaya sewa) tidak berdasar karena dana standby untuk membayar ijarah itu sudah ada di bank. Butet juga menjelaskan pihaknya telah mengajukan somasi kepada BRI Syari’ah. Alasannya, pihaknya tidak mengizinkan BRI Syari’ah untuk menjual emas yang menjadi obyek jaminan yang disimpan di Bank BRI Syari’ah. Butet dan nasabah lain menolak penjualan obyek jaminan secara langsung oleh Bank BRI Syari’ah. Dalam perjanjian gadai syari’ah yang ditandatangani nasabah, jatuh temponya dalam waktu empat bulan. Pengacara Butet, Djoko Prabowo, menjelaskan, dalam pertemuan dengan Deputi Direktur Perbankan Syari’ah, Nawawi, para nasabah itu meminta beberapa hal diantaranya jika emas para nasabah belum dijual, maka dapat dijual dengan harga saat ini, sehingga bank dan nasabah sama-sama diuntungkan. Mereka juga meminta pemulihan nama baik akibat masuk dalam BI Checking sehingga mereka sulit mengajukan kredit. Gadai emas, yang belakangan ini marak, adalah merupakan produk pembiayaan atas dasar jaminan berupa emas sebagai salah satu alternatif memperoleh uang tunai dengan cepat. Dalam kasus Butet yang menjadi nasabah gadai emas BRI Syari’ah di Yogyakarta pada Agustus 2011. Dengan modal 10 persen dari keseluruhan harga emas, BRI Syari’ah memberikan pembiayaan sebesar
23
90 persen. Butet mencicil sejumlah uang yang dipersyaratkan. Total emas yang digadaikan seberat 4,89 kilogram dengan nilai lebih dari Rp2,5 miliar. Ketika jatuh tempo pada Desember 2011, nasabah diberikan opsi: saat harga emas turun, nasabah menanggung penurunan harga dari harga emas semula. Dalam hal ini Butet menolak opsi tersebut. BRI Syari’ah juga memberikan opsi memperpanjang masa jatuh tempo sebanyak dua kali, namun kerugian penurunan harga tetap harus ditanggung Butet. BRI juga meminta emas yang dimiliki Butet dijual BRI Syari’ah akhirnya menjual kepemilikan emas Butet dengan alasan hal itu sudah tercantum dalam perjanjian. Selama ini BRI Syari’ah sudah menjalankan bisnis gadai emas dengan benar dan sesuai ketentuan BI. Namun, jika terjadi kerugian dalam bisnis tersebut, hal itu sudah sewajarnya menjadi tangung jawab nasabah gadai emas. Dalam kesempatan itu, Hadi juga memberikan klarifikasi bahwa pihaknya telah memberikan penjelasan kepada Butet, sebelum menjual emas miliknya pada Agustus lalu. Dalam penjualan tersebut, BRI Syari’ah mengaku sudah menjalankan mekanisme penjualan emas yang benar. Tak hanya itu, BRI Syari’ah menegaskan pihaknya sama sekali tidak mengambil keuntungan dari selisih harga emas yang berlaku pada waktu itu. Pembiayaan dengan cara yang dijelaskan di atas memiliki resiko besar. Dengan alasan model utama pembiayaan itu adalah spekulasi karena ketika terjadi gejolak di pasar, maka akan menimbulkan resiko
24
tambahan. Dalam investasi itu dikenal dengan margin landing, yaitu nasabah meminjam uang untuk digunakan investasi. Selisih antara modal dan pinjaman inilah yang kerap menjadi masalah. Dalam hal ini seharusnya. Sebelum memulai gadai emas, semua nasabah mengerti apa resikonya. penjual juga harus menjelaskan kerugiannya jika harga emas turun. Meskipun demikian, perencana keuangan ini mengakui konsep gadai emas ini secara sistematis memang menguntungkan. Namun, dengan catatan, biaya penitipan emas harus lebih rendah dari imbalan hasil harga emas. Agar masyarakat mengubah konsep dan pola pikir untuk
cepat
mendapatkan
keuntungan,
maka
harus
merasakan
prosesnya. Untuk mencapai hal itu, diperlukan tingkat edukasi dan pemahaman yang cukup. Menjelaskan hal tersebut, Ligwina menyarankan agar masyarakat mengubah konsep dan pola pikir untuk cepat mendapatkan keuntungan, namun harus merasakan prosesnya. Untuk mencapai hal itu, diperlukan tingkat edukasi dan pemahaman yang cukup.32
F.
Metode Penelitian Metode penelitian sangat penting dalam rangka memperoleh hasil
penelitian yang akurat, untuk itu penelitian dilakukan berdasarkan metodemetode sebagai berikut:
32
http://fokus.news.viva.co.id/news/read/357085-butet-kartaredjasa-versus-brisyariah--siapa-salah- diakses 10-01-2013.
25
1. Spesifikasi Penelitian Dalam upaya mencapai tujuan penelitian ini, metode penelitian yang
digunakan
menggambarkan
bersifat dan
deskriptif
menganalisis
analitis33. data
Metode
sekunder
ini
yang
didukung oleh data primer mengenai berbagai masalah yang berkaitan dengan praktik pegadaian yang menggunakan obyek gadai emas. 2. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif34 yaitu penelitian dengan cara mengkaji, menganalisis tentang Gadai Emas Syari’ah Hukum Islam dan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia Nomor 26/DSNMUI/III/2002 Tentang Rahn Emas. 3. Tahap Penelitian Tahapan yang dilakukan dalam penelitian skripsi ini, antara lain: Penelitian Kepustakaan (library research), yaitu mengumpulkan data skunder yang terdiri dari berupa tulisan-tulisan para ahli di bidang hukum, jurnal dan majalah hukum yang didapatkan melalui studi kepustakaan yang berkaitan dengan pergadaian; dan
33
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, UI Press, Jakarta, 2007, hlm.10. 34 Ibid., hlm. 51.
26
a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer berupa peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan obyek penelitian, yaitu : 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata); 2) Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2011 tentang Perubahan Bentuk Badan Hukum Perum Pegadaian Menjadi Perusahaan Persero; 3) Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah; 4) Sumber Hukum Islam: Al-Qur’an dan Hadist. b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan yang menjelaskan bahan hukum primer, seperti halnya hasil penelitian hukum dan ekonomi, buku teks, jurnal, artikel dari kalangan hukum dan sumber data lainnya. c. Bahan hukum Tersier, yaitu berupa kamus hukum, kamus ekonomi, ensiklopedia, artikel pada surat kabar, majalah, dan internet. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini adalah: a. Studi kepustakaan dengan maksud untuk memperoleh data sekunder yaitu berupa bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
27
b. Mempelajari
Peraturan
Perundang-undangan
Negara
Republik Indonesia serta peraturan pelaksanaannya. 5. Analisis Data Setelah bahan data primer, sekunder maupun tersier dari penulisan skripsi ini terkumpul, maka selanjutnya dilakukanlah analisis secara kualitatif. Dilakukannya analisis data secara yuridis kualitatif
memungkinkan
peneliti
berdasarkan
bahan-bahan
kepustakaan tersebut untuk melihat secara jelas pengaruhnya terhadap kenyataan yang ada berdasarkan hasil penelitian, berupa penjelasan-penjelasan yang tidak dirumuskan melalui perhitungan secara matematis. Menurut Soerjono Soekanto, penelitian yang menggunakan analisis data secara yuridis kualitatif tidak terlepas dari beberapa unsur:35 a. Adanya sinkronisasi secara vertikal maupun horizontal dari perundang-undangan, hal ini bertujuan untuk menghindari ketidaksesuaian antara satu peraturan perundang-undangan dengan yang lainnya, serta untuk mengetahui peraturan perundang-undangan menurut hierarkinya; b. Menelaah
sistematika
perundang-undangan,
hal
ini
bertujuan untuk mencari suatu kepastian dalam suatu peraturan perundang-undangan;
35
Soerjono Soekanto, op.cit., hlm. 252.
28
c. Dalam mengambil suatu putusan, seorang hakim wajib menggali dan mengikuti serta memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. 6. Lokasi Penelitian Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penelitian dilakukan di Perpustakaan meliputi: a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Jl. Dipati Ukur No. 35, Bandung. b. Perpustakaan
Pusat
Universitas
Padjadjaran
Bandung
(CISRAL), Jl. Dipati Ukur No. 46, Bandung. c. Perpustakaan Universitas Islam Bandung. d. Perpustakaan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung Jl AH Hasution No. 105. Instansi meliputi: a. PT Persero Pegadaian Kabupaten Purwakarta Jl Kapten Halim No 37; b. PT Persero Pegadaian Syari’ah Kabupaten Purwakarta Jl Veteran No 91; c. Majelis Ulama Indonesia, Jalan L.R.E. Martadinata No. 115, Bandung; d. Dewan Syari’ah Nasional. (MUI) di Jl. Dempo no. 19 Jakarta.