BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah Novel grafis atau yang disebut sebagai graphic novel atau roman
graphique – terjemahannya dalam bahasa Inggris dan Prancis– sering disamakan dengan komik berformat panjang (long comic books). Novel grafis pada umumnya memiliki alur cerita yang panjang dan kompleks serupa dengan sebuah novel dilengkapi dengan latar, setting dan penokohan. Berbeda dengan komik yang biasanya dalam satu halaman terdiri dari beberapa strip cerita dan berukuran tipis, novel grafis menceritakan satu cerita dalam satu buku, atau terkadang beberapa dalam jilid buku dengan tebal layaknya sebuah novel. Keberadaan novel grafis dalam ranah studi literatur Prancis bukan lagi hal baru. Hal ini terlihat dari maraknya novel grafis yang diterbitkan serta apresiasi masyarakat terhadap novel-novel grafis yang diterbitkan. Salah satu penelitian tentang kajian komik pernah dilakukan oleh para cendekia Prancis, salah satunya Marcell Bonneff (2008: 4) pada 1964. Penelitian ini menyebutkan buku-buku yang diterbitkan sebagai hasil disertasi, tulisan mengenai novel grafis, dan komik. Selain itu, adanya program studi master komik (Master Bande Dessinée) di Université de Poitiers Angoulême yang dimotori oleh dosen-dosen terkemuka serta para praktisi di bidang seni, komik, novel grafis, desain grafis, sejarah, media, dan sebagainya, menjadi bukti nyata keseriusan para cendekia Prancis
1
untuk menunjukkan bahwa novel grafis dan komik dapat dijadikan objek material penelitian. Pada 1978, Will Eisner, komikus senior atau yang kemudian disebut sebagai ‘Bapak Komik Amerika’, menerbitkan A Contract with God dan menyebut karyanya sebagai graphic novel. Karya ini dirasa ‘baru’ bagi publik Amerika, karena ditulis tanpa batasan halaman seperti lazimnya komik di sana. Novel grafis ini pun secara eksplisit membahas tema dewasa –ragam cerita dan penderitaan orang pada umumnya (bukan ‘superhero’)– sebuah roman sejarah tentang kaum imigran Yahudi di Bronx, New York, pada tahun 1930-an. Layaknya sebuah novel, karya ini mengandung narasi, ide, pendalaman karakter, dan kompilasi plot (Darmawan, 2005: 123). Roman graphique atau graphic novel yang kemudian diterjemahkan secara literal menjadi novel grafis ke dalam bahasa Indonesia, mendapat keraguan dari sejumlah pihak mengenai pemilihan istilahnya. Darmawan (2005) menjelaskan karena format novel grafis yang tidak jauh berbeda dengan komik (bande dessinée) dan karya-karyanya yang sebagian besar dianggap menceritakan pahlawan superhero imajinasi pembuatnya. Kritik lain ditujukan pada pemilihan istilah ini, yang dianggap sebagai bagian dari kesombongan (snobisme) penerbit Prancis yang ingin memberi dekorasi ‘sastra’ pada komik . Novel grafis sering dimasukkan ke dalam bagian seni populer dan komersial. B. Rahmanto memaparkan (2002: xiv-xv)1 bahwa dalam terminologi sastra, sastra populer diartikan sebagai sastra hiburan atau sastra picisan yang 1
Pengantar Editor dalam buku Menakar Panji Koming, Tafsiran Komik Karya Dwi Koendoro pada Masa Reformasi Tahun 1998 karya Muhammad Nashir Setiawan 2
biasanya berbentuk cerita detektif, cerita koboi, cerita horor/misteri, dan cerita silat. Selain itu, seni populer juga memasukkan musik populer, film-film populer, dan komik (dalam hal ini novel grafis). B. Rahmanto (2002: xv) 2 mengutip pendapat Kaplan dalam Modern Culture and the Arts, bahwa seni populer mungkin buruk, tetapi seni yang buruk belum tentu seni populer. Seni populer harus dibedakan dari seni minor atau seni kelas dua. Menurutnya, seni minor biasanya memang lebih populer daripada highbrow (seni tingkat tinggi); tetapi suatu karya seni minor belum tentu merupakan karya kelas dua. Baik karya seni minor maupun seni tingkat tinggi bisa saja merupakan hasil yang sangat bagus di bidang masing-masing. Hal ini mengandung pengertian bahwa tidak semua komik buruk atau tidak semua komik itu sampah. Menurut Bonneff (2008), komik memiliki sejarawan, ahli estetika, dan ahli tafsir. Komik diangkat menjadi bahan penelitian para akademisi untuk memperoleh derajat sarjana, magister, bahkan doktor seperti yang dilakukan Bonneff. Dia membaca dan meneliti ratusan komik Indonesia sebagai wahana untuk memahami karakter/sejarah bangsa Indonesia. Novel grafis memiliki keunikan dalam memperlakukan gambar dibanding medium lain seperti lukisan atau film. B. Rahmanto (2002: xv) menjelaskan, dibandingkan lukisan, keunikannya terletak pada karakter seni sekuensialnya. Dibandingkan film, keunikan novel grafis terletak pada pemberdayaan still lifenya. Jika dalam film, waktu atau kala bergerak dalam satu ruang tetap, maka kala cerita dalam novel grafis bergerak dari satu panel ke panel lain, dari halaman ke halaman, dan dari satu ruang ke ruang lain.
2
ibid 3
Marx
(2007: 85-86) mengungkapkan bahwa novel grafis
yang
diperdagangkan bisa bervariasi ukuran dan panjangnya, tetapi secara kasar cenderung memiliki dimensi panjang dan berat yang sama dengan sebuah buku yang terbit bulanan (6,5 inchi dari 10 inchi). Biasanya buku ini dijilid bukan sekedar distepler, memiliki punggung buku persegi dan halaman-halaman yang merekat dengan punggung buku tersebut, dan dilengkapi oleh sampul tebal. Cerita yang terdapat didalamnya bisa dituliskan sebanyak 100 halaman atau lebih. Kertas yang digunakan merupakan kertas berkualitas tinggi, berwarna, dan dicetak. Harganya terbilang mahal dan diperlakukan lebih sebagai buku daripada sebuah majalah. Tidak seperti buku yang terbit bulanan (majalah), yang berakhir di rak buku atau di kios koran dalam waktu sebulan, sebuah novel grafis/buku bersampul tipis bisa menempati sebuah rak buku dalam waktu tak terbatas karena merupakan barang yang berdiri sendiri. Sejak tahun 1958, Edgar Morin, seorang sosiolog Prancis, muncul di antara orang-orang pertama yang menulis tentang komik di majalah Le Nef. Kemudian pada 1962, berkat rangsangan dari Francis Lacassin dan sineas Alan Resnais, dibentuklah “Club des Bandes Dessinées” yang pada 1964 menjadi Centre d’Études des Littératures d’Expression Graphique (CELEG) [Pusat Kajian Sastra Grafis]. Sejak itu, pameran dan kongres tentang sastra grafis bermunculan. Pada 1967, museum Arts Décoratifs menyajikan riwayat yang disusun oleh Société d’Étude et de Recherches des Littératures Dessinées [Masyarakat Pengkaji dan Peneliti Sastra Bergambar]. Televisi menyediakan acara khusus untuk membicarakan komik. Terakhir, pada tahun 1971, gerakan itu mengimbas 4
ke Universitas Sorbonne dengan penyelenggaraan kuliah oleh Lacassin yang berjudul “Sejarah dan Estetika Komik” (Bonnef, 2008: 3; Miller, 2007: 29). Contoh tersebut di atas bisa dijadikan rujukan bahwa karya novel grafis di Eropa tidak lagi dipandang sebelah mata hanya sebagai gambar belaka dan tidak berbeda dengan komik pada umumnya. Tema-tema berat dan dewasa seperti tentang penyakit epilepsi, Holocaust, pencarian Tuhan, alam mimpi dan sebagainya, yang diangkat dalam novel grafis memposisikan karya ini sebagai bukan sekedar komik. Oleh karena itu, ideologi seorang novelis grafis (penulis yang juga bisa menggambar dengan baik) untuk menyampaikan wacana yang ingin dia sampaikan kepada pembaca bisa terlihat dari karyanya tersebut. Contohnya, Art Spiegelmann yang menulis dan menggambarkan kengerian dan ketakutan pada peristiwa Holocaust dalam karyanya yang berjudul Maus. Selanjutnya, Joe Sacco dalam novel grafisnya Palestine menceritakan masalahmasalah yang dihadapi orang-orang Palestina. Ia berada di Jalur Gaza selama musim dingin tahun 1991 dan sekembalinya ke Amerika, dia membuat sebuah reportase jurnalisme dalam bentuk novel grafis autobiografis. Penulis ketiga, David B (nama asli Pierre-François Beauchard) menceritakan kakaknya yang mempunyai penyakit epilepsi dan bagaimana dia berusaha melindungi dirinya serta mencari jawaban melalui imajinasi dan mimpi-mimpinya dalam L’Ascension du Haut Mal atau Epileptic dalam edisi bahasa Inggris. David menggambarkan dirinya dengan pedang melawan penyakit kakaknya. Terakhir, Hugo Pratt menggambarkan petualangan Corto Maltese di awal abad kedua puluh yang sarat akan sejarah dunia di awal abad ke 20, mulai dari revolusi Rusia di Siberia sampai 5
masalah di Irlandia Utara dalam novel grafis Corto Maltese (Gravett, 2005: 28, 60, 68, 156). Banyaknya novelis grafis yang mengangkat politik sebagai tema dalam karyanya juga diikuti oleh Marjane Satrapi, seorang perempuan Iran yang saat ini bermukim di Paris, dalam novel grafisnya berjudul Persepolis. Satrapi dilahirkan pada 1969 di Rasht, Iran. Ia masih berusia 10 tahun ketika revolusi terjadi yang mengubah Iran menjadi Republik Islam. Dia tinggal selama beberapa tahun di Teheran, ibukota Iran, di bawah kepemimpinan rezim Ayatollah Ruhollah Khomeini dan pemimpin Islam fundamentalis lainnya. Satrapi merasa jengkel dan kesal terhadap berbagai pembatasan dan larangan yang ditujukan untuk kaum muda ketika itu. Pemerintah juga mewajibkan pemakaian jilbab atau tchador (syal atau jubah panjang). Pendidikan untuk perempuan pun dibatasi. Satrapi tergerak untuk memberontak melawan peraturan yang menghalangi kaum muda Iran untuk mengakses musik, hiburan, dan aspek lain yang berhubungan dengan kebudayaan Barat dan Amerika. Persepolis
3
bagi Satrapi merupakan riwayat hidup singkatnya yang
dituangkan dalam bentuk novel grafis dan mendapat banyak pujian oleh pembaca dan penulis lain, termasuk Sandra Cisneros 4 dan Phillip Pullman5 . Penulis dan
3
nama ibu kota dari kerajaan Persia kuno Cisneros adalah seorang novelis Amerika keturunan Meksiko, penulis cerpen, esai, dan puisi. Salah satu novelnya yang terkenal adalah House on Mango Street (1983). Karyakaryanya mendapat pujian dan kritik dari peneliti sastra. Cisneros menuliskan karyanya berdasarkan perspektif seorang perempuan chicana (Meksiko-Amerika) dan banyak mengulas mengenai feminisme (http://www.sandracisneros.com/bio.php diakses pada 15 Juli 2011). 5 Penulis buku trilogi terkenal His Dark Materials (Northern Lights/The Golden Compass, The Subtle Knife, The Amber Spyglass) yang kemudian difilmkan. Pullman saat ini bermukim di North Wales dan juga menulis cerpen. Sebagian besar karyanya banyak 6 4
editor, Gloria Steinem mengungkapkan kualitas unik dari Persepolis, yakni adanya keintiman dari sebuah riwayat hidup, sebuah novel grafis yang menarik digunakan sebagai medianya, dan kedalaman politik sebuah konflik mengenai fundamentalisme dan demokrasi (Satrapi, Nov 2003: 9). “the intimacy of a memoir, the irresistibility of a graphic novel, and the political depth of the conflict between fundamentalism and democracy”
Ketika mulai bermukim di Prancis pada 1994, Satrapi menceritakan kehidupannya di Iran kepada teman-temannya, tetapi mereka tidak bisa benarbenar memahami pengalaman Satrapi. Setelah menyelesaikan kuliahnya, temanteman Satrapi mengenalkannya dengan novel grafis. Maus karangan Art Spiegelman adalah novel grafis pertama yang dibacanya dan dari situlah Satrapi berpikir untuk menceritakan kisah hidupnya melalui novel grafis. We learn about the world through images all the time. In the cinema we doit, but to make a film you need sponsors and money and 10.000 people towork with you. With a graphic novel, all you need is yourself and your editor. Of course, you have to have a very visual approach to the world. You have to perceive life with images –otherwise it doesn’t work. The point is that you have to know what you want to say, and find the best way of saying it. It’s hard to explain how Persepolis evolved once I started writing. I had to learn how to write it as graphic novel by doing it (Satrapi, Nov 2003: 11).
Pendekatan dan sudut pandang melalui gambar dalam merefleksikan kehidupan, menjadi kunci bagi Satrapi untuk memulai menceritakan kisahnya. Tidak seperti membuat film yang membutuhkan banyak komponen dan orang yang terlibat di dalamnya, pembuatan novel grafis hanya membutuhkan seorang novelis grafis dan seorang editor. Seorang novelis grafis harus mempunyai dibaca oleh anak-anak dan juga orang dewasa. Atas keseriusannya menekuni sastra anak, Pullman memperoleh banyak penghargaan internasional seperti Carnegie Medal, Guardian Children’s Book Award, Eleanor Farjeon Award, Whitbread Book Of The Year Award, Carnegie of Carnegies, Costa Award dan Astrid Lindgren Award dari pemerintah Swedia (http://www.philip-pullman.com/about.asp diakses pada 15 Juli 2011). 7
pendekatan visual dengan dunia sekitarnya dan harus menemukan cara untuk menuangkannya dalam bentuk gambar dan tulisan. Persepolis yang terbit tahun 2000-2003 bercerita tentang masa kecil Marjane (Marji) di Teheran, Iran pada 1970 sampai 1990-an. Marjane tumbuh di tengah Revolusi Islam, perang Iran-Irak hingga pasca revolusi Islam di Iran. Pada awal penerbitannya, karya ini mendapat banyak kritik dan pujian serta sering dibandingkan dengan karya Art Spiegelman, Maus. Karya ini juga memenangkan beberapa penghargaan bergengsi yaitu Prix Alph’art Coup de Coeur di Angoulême, Prix du Lion di Belgia, Prix Alph’art du Meilleur Scénario, dan Prix France Info6. Satrapi menceritakan kisahnya berlatarkan revolusi Islam di Iran. Peristiwa-peristiwa besar diungkapkan secara kronologis berikut perubahan yang dialami oleh keluarga dan lingkungan sekitarnya melalui penuturan Marjane. Adanya perubahan sosial dan kekerasan sipil di masyarakat Iran pada saat itu disebabkan oleh terjadinya revolusi. Dalam novel grafisnya juga diceritakan pengasingan tokoh Marjane ke Austria untuk menghindari perang dan konflik yang terjadi di negaranya dan untuk melanjutkan studinya. Ahmad Kasravi menyampaikan dalam bukunya Enqelab Chist?(What Is Revolution?) (Milani, 1994: 7), bahwa revolusi menghasilkan kengerian sekaligus antusiasme. Victor Hugo (Milani, 1994: 7) memandangnya sebagai “larva peradaban”. Revolusi juga dimaknai sebagai perubahan besar dan ‘pemborosan, yang paling mahal, dan opsi terakhir yang dapat dipilih’. Inilah mengapa,
6
http://www.barclayagency.com/satrapi.html diakses pada 5 Januari 2011 8
walaupun berlimpah studi literatur mengenai revolusi, hanya ada sedikit konsensus mengenai apakah revolusi dan apa penyebabnya. Namun, tetap ada kesepakatan bulat bahwa revolusi adalah peristiwa penting dengan pengaruh yang kuat dan kekal. Two young men came to me and started talking. One of them said: We have read your writings. “There should be a revolution in this country (Iran).” Before i could answer, the other said: “Yes, we have lagged behind, we must move fast.” I told them, “Your talk is so vacuous that I do not know how to answer. If I ask you what revolution is, I bet you cannot answer. In any event, do you have a plan for it (revolution) and have you prepared the ground for it?” They said, “No. We only wanted to express our views. We have no plan (for revolution) as yet.” Dua pemuda datang kepada saya dan berbicara. Salah satu dari mereka berkata: “Kami telah membaca tulisan Anda. Harus ada revolusi di negeri ini (Iran)”. Sebelum saya bisa menjawab, yang lain berkata: “Ya, kita sudah tertinggal di belakang, kita harus bergerak cepat”. Saya katakan kepada mereka, “Saya tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan Anda. Jika saya bertanya apa itu revolusi, saya yakin Anda tidak bisa menjawab. Lalu, apakah Anda memiliki rencana untuk itu (revolusi) dan Anda sudah mempersiapkan segala sesuatunya?” Mereka berkata, “Tidak. Kami hanya ingin mengungkapkan pendapat kami. Kami belum memiliki rencana (untuk revolusi)”.
Beberapa peneliti (Zahedi, 2000: 14) memiliki kesamaan pandangan mengenai definisi ‘revolusi’ namun berbeda pandangan mengenai faktor-faktor yang mendorong terjadinya revolusi. Menurut Huntington (dalam Zahedi, 2000: 15) revolusi adalah, A rapid, fundamental and violent domestic change in the dominant values and myths of a society, in its political institutions, social structure, leadership and government activity and policies. Revolutions are thus to be distinguished from insurections, rebellions, revolts, coups, and wars of independence. Sebuah perubahan domestik yang cepat, mendasar dan adanya kekerasan dalam nilai-nilai dominan dan mitos masyarakat, dalam lembaga-lembaga politik, struktur kepemimpinan, sosial dan kegiatan pemerintah serta kebijakan. Jadi revolusi harus dibedakan dari kekacauan, pemberontakan, kudeta, dan perang kemerdekaan.
Zahedi kemudian menyimpulkan (2000: 16), ide revolusioner terjadi karena adanya tiga komponen yang melatarbelakangi. Pertama, adanya gangguan atau 9
musnahnya rezim tua (awal). Kedua, adanya pembentukan salah satu elemen baru oleh rezim penantang. Elemen itu bisa berupa peraturan politik, sosial, dan ekonomi yang secara jelas berbeda dengan rezim tua. Ketiga, adanya dukungan untuk menghidupkan atau mengabadikan peraturan baru. Revolusi Islam di Iran dimotori oleh Ayatollah Khomeini yang kemudian mengganti bentuk monarki di Iran pada 1979 dan mendirikan Republik IslamIran. Khomeini kembali ke Iran pada Februari 1979 setelah mengalami 15 tahun masa pembuangan dan menunjuk Mehdi Bazargan sebagai kepala Pemerintahan Revolusioner Sementara. Melalui referendum, Republik Islam dideklarasikan pada April 1979 (Milani, 1994). Hal ini digambarkan Satrapi sebagai berikut.
Gb. 1 : En 1979, il y a eu une révolution qui a été appelée plus tard “la révolution islamique” (Satrapi, 2000: 3). Tahun 1979, revolusi mengambil alih. Revolusi ini kemudian disebut “Revolusi Islam”.
Kronologis
sejarah
yang terjadi di Iran pada masa sebelum dan sesudah revolusi inilah
yang
kemudian
membuat perubahan pada keadaan sosial masyarakat Iran yang mengalami semua hal tersebut di atas. Dominasi kekuasaan dan situasi politik Iran diikuti oleh perubahan norma-norma serta budaya. Adanya dominasi kekuasaan tersebut menjadi alasan munculnya perlawanan dalam bentuk kelompok yang menentang kebijakan pemerintah. 10
Persepolis memuat permasalahan sosial-politik yang saat itu berlangsung di Iran, berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah, pergantian kedudukan, perilaku-perilaku petinggi negara dan sikap masyarakat yang terpecah-belah karena perbedaan opini, sudut pandang serta dominasi kekuasaan. Adanya dominasi dan perebutan kekuasaan kemudian menimbulkan konflik-konflik sosial. Salah satu konflik adalah terpecahnya masyarakat Iran menjadi kubu pendukung revolusi serta kubu yang didukung oleh kaum fundamentalis dan pemerintah. Konflik antargrup inilah yang kemudian memunculkan masalah, contohnya berupa maklumat wajib penggunaan jilbab bagi kaum perempuan Iran. Tak lepas dari maklumat tersebut adalah siswi-siswi sekolah seperti digambarkan Satrapi. Gb. 2 : Puis vint l’année 1980: la première année où le port du foulard devint obligatoire à l’école. “Tiens ma fille!” (Satrapi, 2000: 3). Kemudian tahun 1980: tahun diwajibkannya pemakaian jilbab di sekolah. “Pakai ini!”
Atas
ketidakpuasan
terhadap kondisi negaranya pada saat itu dan permintaan dari orang tuanya, Marjane mengasingkan diri ke Austria demi kebebasannya meneruskan studi. Pengasingan diri ini sebagai bentuk pemberontakan Marjane terhadap penggunaan jilbab serta larangan mengikuti budaya Barat. Dalam pengasingan dan pelarian ini, Marjane menghadapi benturan dan masalah yang berhubungan dengan perbedaan budaya
11
serta identitasnya sebagai seorang perempuan Iran. Hal ini turut mempengaruhi ketika ia harus menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pemilihan tema ‘revolusi Islam di Iran’ merupakan sebuah pusat yang dijadikan Satrapi untuk membangun cerita. Satrapi menuliskan dalam prolog novel grafisnya (2003), As an Iranian who has lived more than half of my life in Iran, I know that this image is far from the truth. This is why writing Persepolis was so important to me. I believe that an entire nation should not be judged by the wrongdoings of a few extremists. I also don’t want those Iranian who lost their lives in prisons defending freedom, who died in the war against Iraq, who suffered under various repressive regimes, or who were forced to leave their families and flee their homeland to be forgotten. One can forgive but one should never forget. –Paris, September 2002. Sebagai orang Iran yang telah tinggal lebih dari separuh hidupku di Iran, aku tahu bahwa gambaran tersebut jauh dari kebenaran. Inilah kenapa menulis Persepolis menjadi begitu penting bagiku. Aku percaya bahwa suatu bangsa secara keseluruhan tidak seharusnya dinilai dari kekeliruan segelintir ekstrimis. Aku juga tidak ingin orang Iran, yang kehilangan nyawanya di penjara saat mempertahankan kemerdekaan, yang gugur dalam perang melawan Irak, yang menderita di bawah berbagai rezim yang represif, atau yang dipaksa meninggalkan keluarga dan tanah air mereka, dilupakan. Orang boleh memaafkan, tetapi seharusnya ia tidak pernah melupakan.
Melalui bentuk novel grafis autobiografis, Satrapi mengungkapkan kesaksiannya untuk para kerabat yang dikenalnya yang meninggal pada masa itu, dan juga untuk dirinya sendiri agar tidak melupakan janji masa kecilnya. Dalam jurnal Writing! (2003: 9-11) dia menjelaskan alasannya menggunakan media novel grafis ketika ditanyai mengapa dia tidak menuliskan Persepolis dalam bentuk buku. Persepolis (graphic novels) are not traditional literature, but that dosen not mean they are second-rate. Images are a way of writing. When you have the talent to be able to write and to draw, it seems a shame to choose only one. I think it’s better to do both. Persepolis adalah buku yang walaupun bukan termasuk dalam sastra tradisional tetapi bukan berarti bisa dinomorduakan. Gambar merupakan suatu cara menulis. 12
Ketika seseorang mempunyai bakat untuk menulis dan menggambar, sepertinya memalukan jika hanya memilih salah satunya karena akan lebih baik jika melakukan keduanya.
Di Teheran, Satrapi tumbuh di tengah-tengah orang tua yang berpandangan terbuka dan modern. Satrapi merupakan cucu buyut dari kaisar Iran terakhir dan dibesarkan seiring berlangsungnya revolusi Islam. Pada malam terjadinya perang Iran-Iraq yang kemudian dikenal dengan perang Teluk, pamannya Anouche, dieksekusi sebagai mata-mata Rusia. Sang paman memberinya patung angsa yang dia buat dari roti agar Satrapi selalu mengingatnya dan mempercayakan padanya sejarah keluarga mereka. Janji inilah yang Satrapi buat sehingga beberapa tahun kemudian setelah tinggal di Paris dan sejak terinspirasi oleh novel grafis berjudul Maus, Satrapi lalu membuat novel grafisnya sendiri berjudul Persepolis (Gravett, 2005: 59). Adanya revolusi Islam di Iran yang membuat perubahan regulasi di masyarakat dan latar belakangnya sebagai keturunan kaisar, membuat Satrapi sebagai pribadi merasa terikat pada proses-proses sosial yang menciptakannya. Identitas yang dia yakini tentang dirinya, pendapat orang lain mengenai dirinya, proses identifikasi dan adaptasinya ke dalam budaya Barat dituliskan dalam Persepolis. Konflik-konflik yang muncul akibat revolusi juga diungkapkan Satrapi berdasarkan ingatan yang dialaminya. Berkaitan dengan hal ini Barker (2008: 174) menuliskan bahwa subjektivitas dan identitas adalah produk kultural yang spesifik dan tidak abadi. Satrapi sebagai seorang pribadi adalah ‘seluruh aspek’ sosial dan kultural yang dimilikinya. Jadi, identitas sepenuhnya merupakan konstruksi sosial dan tidak 13
mungkin ‘eksis’ di luar representasi kultural dan akulturasi. Identitas adalah suatu esensi yang dapat dimaknai melalui tanda-tanda selera, kepercayaan, sikap, dan gaya hidup. Identitas dianggap bersifat personal sekaligus sosial, dan menandai bahwa seseorang sama atau berbeda dengan orang lain. Identitas inilah yang berusaha disampaikan Satrapi melalui Persepolis. Pencarian identitas Marjane dalam novel grafis digambarkan dimulai sejak dia berusia belia yang percaya bahwa dirinya adalah Nabi terakhir yang diutus.
Gb. 3 : Déjà à l’âge de six ans j’étais sûre d’être la dernière des prophètes. C’était quelques années avant la révolution. (Satrapi, 2000: 6). “Ô, lumière Céleste!” Di usia enam tahun, aku meyakini bahwa akulah Nabi terakhir. Ini beberapa tahun sebelum revolusi. “Wahai cahaya surga!”
Contoh di atas menunjukkan identitas-diri yang ditunjukkan Marjane. Giddens (via Barker, 2008: 175) mengatakan identitas adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks biografinya dan apa yang dipikirkan tentang diri sebagai pribadi. Pembentukan identitas seseorang
14
bisa dilandasari karena adanya harapan dari diri sendiri, pendapat orang lain, dan label sosial. Dalam pembentukan identitas ini diperlukan adanya proses identifikasi yang tersusun dari pengalaman individu (pribadi), pengalaman kolektif, dan pengalaman yang berkaitan dengan sejarah. Melalui proses identifikasi ini, tidak jarang ditemui adanya konflik antara individu dengan masyarakatnya. Vignoles (2011: 2) menuturkan bahwa identitas merupakan sebuah konsep yang kuat (identity is a powerful construct) yang menuntun jalan kehidupan (life path) dan keputusan (decision). Identitas pula yang memperkenankan individu untuk mendapatkan kekuatan dari hubungannya dengan kelompok sosial dan lingkungan di sekitarnya. Perilaku destruktif yang dibawa seseorang dan berlawanan dengan kelompok budaya dan etnisnya juga menjelaskan mengapa identitas dianggap sebagai gagasan yang penting dalam kehidupan seorang individu. Perilaku destruktif yang dianggap berlawanan dengan regulasi kemudian memunculkan konflik individu dengan kelompok yang mendominasi (rezim pemerintah yang berkuasa). Dalam Persepolis, individu tersebut direpresentasikan oleh Marjane yang merasa terkungkung oleh rezim kekuasaan Islam fundamentalis di masa revolusi Iran yang menerapkan hukum berjilbab dan menjauhi segala bentuk pengaruh Barat. Identitas menjadi arena yang digunakan kelompok dominan untuk menegaskan kuasanya atas individu-individu yang didominasi. Kuasa dan represi menimbulkan perlawanan (resistensi) yang dilakukan oleh kelompok yang didominasi.
15
Resistensi dianggap sebagai perilaku-perilaku dan praktik budaya oleh kelompok yang tersubordinasi dalam menentang bentuk sosial hegemonik (Anagol, 2008: 24-25). Kelompok yang tersubordinasi ini lalu membentuk sebuah wacana yang disebut oleh Foucault ‘reverse discourses’ -wacana kebalikan(Weedon, 2004: 17). Resistensi dalam Persepolis ditunjukkan oleh agensi yang merasa memiliki kapasitas untuk bertindak. Tindakan tersebut berkebalikan dengan yang telah ditetapkan oleh rezim penguasa saat itu. Sementara itu negosiasi yang dilakukan Marjane muncul setelah pengasingannya ke Austria (negara migran). Negosiasi identitas menggarisbawahi hubungan timbal-balik antara sumber linguistik seorang individu dengan tindakannya serta kekuatan struktural dan historis yang didapatkan selama hidupnya (Bailey, 2002: 21). Bailey (2002: 21-22) menambahkan klaim seorang individu dalam memainkan identitas yang berubah-ubah melalui bahasa, menunjukkan agensi sosial dari individu tersebut. Dalam interaksi dan percakapan sehari-hari, validitas mengenai identitas selalu dinegosiasikan, karena dengan tegas identitas disusun (constituted) setelah orang lain memvalidasi dan mensahkan identitas tersebut.
1.2
Rumusan Masalah Novel grafis Persepolis muncul sebagai reaksi dari pengarang yang
hendak menyampaikan wacana atau discourse-nya sebagai bagian dari masyarakat yang mengalami persoalan sosial. Persoalan yang dimaksud merujuk pada revolusi Islam yang terjadi di Iran, yang menimbulkan perubahan regulasi dan 16
kekuasaan. Perubahan dalam masyarakat kemudian membawa dampak pada persoalan identitas individu yang tercermin dalam Persepolis. Perubahan rezim kekuasaan yang terjadi pada masa revolusi juga turut mempengaruhi pembentukan identitas seseorang di mana individu tidak bebas memilih identitas tertentu yang diinginkannya. Dia harus mengindahkan regulasi yang telah ditetapkan
oleh
konstruksi
lingkungan
sosialnya.
Kekangan
tersebut
memunculkan resistensi atas kekuasaan yang mendominasinya dan benturan budaya baru. Sebagai agen, individu tersebut melakukan aksi yang berkebalikan (act otherwise) untuk membuat perbedaan (make a difference). Sementara itu, dalam pengasingannya, seorang individu mengasimilasi budaya baru yang ditemuinya sebagai bentuk akulturasi terhadap budaya tersebut. Pada proses penyesuaian diri seorang individu terdapat relasi timbal balik antara perilaku komunikatif pelaku sosial individu (agen) dengan struktur sosial yang lebih besar. Beberapa hal yang perlu dielaborasi adalah sebagai berikut: 1) bentuk resistensi dan strategi bertahan yang direpresentasikan dalam Persepolis 2) bentuk negosiasi identitas dalam novel grafis Persepolis.
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan teoretis penelitian ini adalah, sebagai berikut: 1) untuk mengungkapkan bentuk resistensi dan strategi bertahan yang direpresentasikan dalam Persepolis
17
2) untuk mengungkapkan bentuk negosiasi identitas dalam novel grafis Persepolis. Tujuan praktis penelitian ini adalah memberikan pemahaman mengenai revolusi Islam yang terjadi di Iran kepada pembaca dan perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat berkaitan dengan pergantian rezim kekuasaan semasa revolusi Islam di Iran. Penelitian ini juga akan mengungkapkan bentuk resistensi individu dan strategi bertahannya menghadapi dominasi kekuasaan serta benturan budaya baru yang dihadapi dalam Persepolis. Kemudian akan dijabarkan bentuk negosiasi identitas yang terdapat dalam novel grafis Persepolis. Pemakaian novel grafis sebagai objek material dalam penelitian ini diharapkan memberikan pemahaman dan wawasan kepada pembaca mengenai kajian sastra gambar atau sastra visual sebagai salah satu bentuk kajian sastra populer. Hal ini dikarenakan masih minimnya penelitian mengenai sastra gambar atau sastra visual di Indonesia, terutama karya novel grafis yang berasal dari Prancis. Penelitian ini diharapkan menjadi stimulus para pembaca untuk meningkatkan apreasiasi terhadap karya-karya komikus dan novelis grafis baik di Indonesia maupun di dunia keprancisan.
1.4
Tinjauan Pustaka Penelitian yang menggunakan objek material novel grafis pernah
dilakukan oleh Henry Ghonsak (2009) dengan judul Beyond Maus: Other Holocaust Graphic Novel. Ghonsak mendiskusikan tiga novel grafis tentang
18
holocaust7, yaitu: A Life Force karya Will Eisner, Yossel: April 19, 1943 karya Joe Kubert, dan Auschwitz karya Pascal Croci. Setiap karya novel grafis tersebut menggambarkan holocaust dan membandingkannya dengan karya novel grafis holocaust terkenal dan mendunia, yaitu Maus: A Survivor’s Tale oleh Art Spiegelman. Tulisan ini memperlihatkan bahwa karya Eisner adalah karya yang paling baik di antara ketiga karya tersebut, karena Eisner merumuskan ulang sebuah perspektif yang berbeda mengenai holocaust. Ghonsak menyimpulkan walaupun ketiga novel grafis ini memiliki banyak kelebihan, tetapi tidak satu pun diantaranya mengambil resiko estetis dan tematik seperti yang ditemukan dalam Maus. Ghonsak juga membantah pandangan kritis yang berkembang saat itu bahwa holocaust tidak dapat digambarkan secara artistik. Kemudian, Karen Rustad (2005) pernah melakukan penelitian terhadap Persepolis yang berjudul The Importance of Voice: Feminism and Satrapi’s “Persepolis” Series. Tulisan ini membahas unsur feminisme dan sifat patriarki yang ada dalam Persepolis. Rustad juga menggarisbawahi bahwa semasa revolusi di Iran, norma-norma yang diberlakukan berbeda untuk pria dan wanita. Menurut
7
Holocaust berasal dari bahasa Yunani, yaitu ‘holos’ (keseluruhan/whole) dan ‘kaustos’ (terbakar/burned), secara historis digunakan untuk mendeskripsikan ‘persembahan yang dibakar di altar’. Sejak 1945, kata tersebut memiliki arti baru dan mengerikan : pembunuhan massal sekitar 6 juta Yahudi Eropa (dan juga beberapa anggota kelompok lainnya yang dianiaya, seperti kaum Gipsi dan homoseksual) oleh rezim Nazi Jerman selama Perang Dunia Kedua. Menurut pemimpin Nazi anti-Semit, Adolf Hitler, Yahudi adalah ras inferior yang merupakan ancaman asing bagi kemurnian ras Jerman dan masyarakatnya. Setelah kekuasaan Nazi bertahun-tahun di Jerman dan selama itu pula orang-orang Yahudi secara konsisten dianiaya, ‘solusi akhir’ Hitler –yang kemudian dikenal dengan Holocaust– sampailah kepada hasil yang dibayang-bayangi oleh Perang Dunia, adanya pusat-pusat pembunuhan massal yang dibangun di dalam kamp-kamp konsentrasi di Polandia yang waktu itu diduduki Nazi. (sumber dari http://www.history.com/topics/world-war-ii/the-holocaust diakses pada 5 Januari 2015). 19
Rustad, Persepolis menghadirkan wacana ‘penentuan nasib sendiri’ dengan menyuguhkan pertanyaan-pertanyaan mengenai ‘apa yang wanita inginkan’. Selanjutnya Miller (2007: 238-241) yang menulis dalam bukunya Reading Bande Dessinée:Critical Approaches to French-Language Comic Strip mengenai Gender and Autobiography menyimpulkan bahwa kenangan Satrapi merupakan peninjauan ulang yang memungkinkannya mencapai subjektivitas sebagai seorang seniman. Hal ini penting karena Satrapi bertindak sebagai pembentuk gagasan atau konsep mengenai perempuan Iran yang melawan. James Bucky Carter (2009) dengan tulisannya yang berjudul Going Graphic menyimpulkan beberapa novel grafis tidak bisa dimasukkan sebagai bacaan anak-anak di sekolah, salah satunya adalah Persepolis karya Satrapi. Seorang guru di Normal, Illinois -dituliskan Carter- menjadikan Persepolis bacaan bagi murid kelas 4 sekolah dasar. Meskipun ada beberapa bagian yang menunjukkan bahwa Marjane berusia sebaya dengan murid kelas 4 sekolah dasar, namun banyak penggambaran yang secara terang-terangan menunjukkan kekerasan. Hal inilah yang menurut Carter tidak sesuai dan terlalu cepat jika diberikan sebagai bahan bacaan bagi murid-murid sekolah dasar. Guru disarankan memilihkan novel grafis yang tepat dan sesuai dengan usia murid-muridnya. Di bidang pengajaran, Schwarz (2009) menulis artikel berjudul Graphic Novel: New Sites of Possibility in the Secondary Curriculum in Curriculum and Teaching Dialogue. Di zaman yang serba digital, siswa membutuhkan kurikulum baru, sebuah tempat yang memungkinkan untuk mempelajari dan menciptakan pengetahuan baru. Novel grafis dianggap sebagai salah satu media yang bisa 20
memperbarui
dan
memutakhirkan
kurikulum
tradisional,
mengajarkan
pengetahuan baru, menawarkan kebaruan topik yang dapat mengikutsertakan guru dan siswa, serta memungkinkan metode pengajaran terbaru. Malek (2006) dalam jurnalnya yang berjudul Memoir as Iranian Exile Cultural Production: A Case Study of Marjane Satrapi’s Persepolis Series membahas pembentukan budaya Iran yang dihasilkan selama pengasingan melalui kajian budaya. Malek mengaplikasikan teori Hamid Naficy tentang konsep liminality dan productive potential untuk menganalisis fenomena kisah hidup wanita Iran sebelas tahun yang lalu. Tulisannya berfokus semata pada novel grafis Persepolis yang dianalisis sebagai bagian dari fenomena kisah hidup yang besar dan contoh terbaik dari pembentukan budaya di pengasingan, refleksi diri, dan penterjemahan budaya. Naghibi & Andrew O’Malley (2005) dalam jurnal Estranging the Familiar: “East” and “West” in Satrapi’s Persepolis membahas karya Satrapi dalam bentuk komik sebagai bentuk percampuran budaya Timur dan Barat yang dialaminya. Persepolis membawa unsur Timur dan Barat bersama-sama dengan menggarisbawahi perpaduan tekanan-tekanan dan kontradiksi-kontradiksi yang tidak dapat dielakkan. Dalam tingkat bentuk, Satrapi menggambar sejarah yang panjang melalui bentuk underground comix8. Penelitian yang membahas mengenai resistensi dilakukan Muhd. AlHafizh (Februari 2010) dalam tesisnya yang berjudul Rasisme Pascakolonial di 8
Istilah comix menyatakan karya yang dibuat dalam medium ‘produced outside the commercial mainstream’. Linda Hutcheon menyebutkan bahwa penggunaan istilah comix yang dilakukan Spiegelman menekankan pada percampuran dari elemen grafis dan elemen tulisan (the mixing of graphic and written element) (Naghibi, 2005: 233). 21
Amerika, Sebuah Kajian Novel the Secret Life of Bees Karya Sue Monk Kidd. Hafizh membahas karya Sue Monk Kidd dari perspektif teori poskolonial dan didukung metode pembacaan dekonstruksi. Hasil dari penelitian ini menemukan adanya jejak-jejak kolonial dalam bentuk rasisme pascakolonial di Amerika dalam novel tersebut. Dalam novel ini digambarkan sikap rasisme kulit putih yang dominan dalam relasinya dengan ras kulit hitam yang marjinal. Rasisme tersebut terefleksi dalam tiga aspek, yaitu pengakuan dan rasionalisasi supremasi ras kulit putih, diskriminasi dan segregasi rasial, serta resistensi yang ditunjukkan kulit hitam terhadap marjinalitas rasial yang dikonstruksi oleh kulit putih. I Nyoman Yasa (Maret 2010) dalam Resistensi Budak pada Masa Kolonial Sebuah Kajian Poskolonial terhadap Novel Surapati dan Robert Anak Surapati Karya Abdoel Moeis, menunjukkan sebentuk relasi antara penjajah dengan terjajah, yakni antara Belanda dengan pribumi di Indonesia sebagai relasi yang tidak setara di mana Belanda mendominasi pribumi. Akibat dominasi ini (pendiskriminasian, rasisme, dan marjinalisasi) membuat masyarakat pribumi melakukan resistensi. Resistensi yang dilakukan oleh budak/pribumi dalam bentuk mimikri dan mockery yang memperolok-olok kolonial belanda dalam upaya
meruntuhkan
kekuasaannya.
Adanya
mimikri
dan
mockery
itu
menunjukkan perilaku budak/pribumi yang hybrid sehingga wacana yang dibangun dalam kedua novel tersebut merupakan wacana yang ambigu. Beberapa referensi yang telah disebutkan di atas memperlihatkan bahwa eksplorasi terhadap resistensi, strategi bertahan, dan negosiasi identitas yang dipengaruhi oleh peran agensi dalam novel grafis Persepolis belum disinggung 22
dalam penelitian mandiri. Hal ini juga menegaskan relevannya penelitian ini, dengan munculnya novel grafis bertema aktual. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dapat memberikan masukan terhadap penelitian ini, dan sebaliknya, penelitian ini juga dapat menjadi pelengkap dari kajian terhadap novel grafis yang sudah ada.
1.5
Landasan Teori Sesuai dengan uraian pada latar belakang, penelitian ini akan membahas
mengenai perubahan dalam masyarakat dan persoalan identitas sebagai akibat adanya perubahan kekuasaan dan revolusi. Untuk menjawab masalah pada penelitian ini, maka teori identitas digunakan untuk mengupas persoalan identitas, resistensi, strategi bertahan, dan adanya negosiasi identitas. Karena persoalan identitas dalam Persepolis berkaitan dengan revolusi Iran, maka sejarah revolusi Iran akan menjadi pijakan dan turut diuraikan pula dalam penelitian ini.
1.5.1 Identitas dan Subjektivitas Identitas menurut Jenkins
(2008: 5) adalah kapasitas manusia untuk
bertanya tentang ‘siapa’ dan ‘apa’ dan melekat dengan setiap tindakan yang dilakukan seorang individu. As a very basic starting point, identity is the human capacity –rooted in language– to know ‘who’s who’ (and hence ‘what’s what’). This involves knowing who we are, knowing who others are, them knowing who we are, and so on: a multi-dimensional classification or mapping of the human world and our places in it, as individuals and as members of collectivities. It is a process – identification– not a ‘thing’. It is not something that one can have, or not; it is something that one does.
23
Sebagai titik awal yang sangat mendasar, identitas adalah kapasitas manusia – berakar dalam bahasa– untuk mengetahui ‘siapakah siapa’ (dan selanjutnya ‘apakah apa’). Ini melibatkan kesadaran mengenai siapakah kita, siapakah orang lain, mereka mengetahui siapa kita, dan seterusnya: sebuah klasifikasi multi dimensional atau pemetaan dunia manusia dan tempat kita didalamnya, sebagai individu dan sebagai anggota dari masyarakat (grup sosial). Identitas merupakan sebuah proses –identifikasi– dan bukan sebuah ‘barang’. Ini bukanlah sesuatu yang seseorang bisa miliki, atau tidak; ini adalah sesuatu yang seseorang lakukan.
Konsep subjektivitas dan identitas terkait erat dan secara virtual tidak dapat dipisahkan. Subjektivitas mengacu pada kondisi menjadi seorang pribadi dan proses menjadi pribadi, yaitu bagaimana subjek dibentuk. Sebagai subjek, seorang pribadi ‘terikat kepada’ proses-proses sosial yang menciptakan seseorang menjadi ‘subjek untuk’ dirinya dan orang lain. Repertoir kultural bagi diri di dunia Barat mendeskripsikan seseorang memiliki diri sejati, suatu identitas yang dimiliki dan yang dapat dikenali. Identitas diekspresikan melalui berbagai bentuk representasi yang dapat dikenali oleh orang lain dan diri sendiri. Jadi, identitas adalah suatu esensi yang dapat dimaknai melalui tanda-tanda selera, kepercayaan, sikap, dan gaya hidup (Barker, 2008: 173-174). Barker menjelaskan lebih jauh (2008: 174-175), identitas dianggap bersifat personal sekaligus sosial dan menandai seseorang sama atau berbeda dengan orang lain. Dapat dikatakan bahwa orang memiliki ‘esensi’ diri yang disebut dengan identitas. Esensialisme berasumsi bahwa deskripsi tentang diri mencerminkan suatu identitas esensial. Berdasarkan logika ini maka akan ada esensi feminitas, maskulinitas, Asia, remaja, dan segala kategori sosial lainnya. Sebaliknya, identitas bersifat kultural dalam ‘segala aspeknya’, bersifat khas sesuai dengan ruang dan waktu tertentu. Ini berarti bentuk identitas dapat berubah dan terkait dengan berbagai konteks sosial dan kultural. Gagasan bahwa identitas 24
bersifat plastis dipertegas oleh argumen yang disebut dengan antiesensialisme. Identitas bukanlah benda melainkan suatu deskripsi dalam bahasa. Identitas adalah konstruksi diskursif yang berubah maknanya menurut ruang, waktu, dan pemakaian. Giddens (Barker, 2008: 175) menyatakan bahwa identitas-diri terbentuk oleh kemampuan melanggengkan narasi tentang diri, sehingga membentuk suatu perasaan terus-menerus tentang adanya kontinuitas biografis. Cerita identitas berusaha menjawab sejumlah pertanyaan kritis: ‘Apa yang harus dilakukan? Bagaimana bertindak? Dan ingin jadi siapa?’ Individu berusaha mengonstruksi suatu narasi identitas koheren di mana ‘diri membentuk suatu lintasan perkembangan dari masa lalu sampai masa depan yang dapat diperkirakan’. Jadi, identitas-diri bukanlah sifat distingtif, atau bahkan kumpulan sifat, yang dimiliki oleh individu. Identitas adalah diri sebagaimana yang dipahami secara refleksif oleh orang dalam konteks biografinya. Giddens menyebut identitas sebagai proyek, cara berpikir tentang diri sendiri yang berubah dari satu situasi ke situasi yang lain menurut ruang dan waktunya. Identitas merupakan sesuatu yang diciptakan, sesuatu yang selalu dalam proses. Proyek identitas membentuk apa yang orang pikir tentang dirinya saat ini dari sudut situasi masa lalu dan masa kini, bersama dengan apa yang dia pikir dia inginkan, lintasan harapannya ke depan. Identitas sepenuhnya bersifat sosial dan kultural, karena alasan-alasan berikut. Pertama, pandangan tentang bagaimana seharusnya menjadi seseorang adalah pertanyaan kultural. Sebagai contoh, individualisme adalah ciri khas 25
masyarakat modern. Kedua, sumber daya yang membentuk materi bagi proyek identitas, yaitu bahasa dan praktik kultural, berkarakter sosial. Sehingga, apa yang dimaksud dengan perempuan, orang tua, anak dan lainnya dibentuk secara berbeda pada konteks-konteks kultural yang berbeda. Berbagai sumber daya yang dapat dibawa ke dalam proyek identitas tergantung pada kekuatan situasional ketika menerjemahkan kompetensi kultural seseorang di dalam konteks kultural tertentu. Dalam hal ini identitas bukan hanya soal deskripsi-diri melainkan juga label sosial. Contohnya, kaya atau miskin, cantik atau jelek, hitam atau putih, dan lainnya (Barker, 2008: 176). Definisi identitas, secara dasar melibatkan respon eksplisit dan implisit seseorang pada pertanyaan: “Who are you?”. Hal ini terlihat sederhana, tetapi respon tersebut secara nyata menyembunyikan sejumlah kuantitas yang rumit dan kompleks. Pertama, harus digarisbawahi bahwa ‘you’ bisa berarti bentuk tunggal atau jamak, identitas bisa mengacu pada definisi diri seorang individu maupun sepasang individu, kelompok kecil atau dalam kategori yang lebih besar lagi. Kedua, identitas tidak hanya terdiri dari “who you think you are” secara individu maupun kolektif, tetapi juga “who you act as being” di dalam kelompok interaksi antar-perseorangan maupun antar-kelompok (social recognition). Dengan demikian, pertanyaan identitas “who are you” meliputi susunan dari bermacam konten dan proses (Vignoles, 2011: 2).
26
1.5.2 Proses Identifikasi dalam Pembentukan Identitas Vignoles (2011: 3) mengungkapkan bahwa identitas bisa didefinisikan melalui tiga level yang berbeda: individual, relational dan collective. Perbedaan di antara ketiganya bisa dipahami sebagai perbedaan di antara bentuk muatan identitas serta dipahami dengan mengacu pada proses dan tahapan yang dialami ketika identitas dibentuk, dipertahankan atau justru mengalami perubahan. Identifikasi bagi Jenkins (2008: 2-3) bukan hanya sesuatu yang biasa dan tidak bernilai. Bukan pula perkara yang dihadapi dan sebagai permulaan kehidupan seorang individu. Meskipun proses identifikasi selalu melibatkan individu, identifikasi juga tergantung pada hal lainnya–collectivity dan history–. Menurut Freud (Barker, 2008: 89), diri terdiri atas ego atau pikiran rasional sadar, super ego atau kesadaran sosial, dan ketidaksadaran (the unconscious), yang menjadi sumber gudang kerja simbolis pikiran yang berfungsi dengan logika yang berbeda dari rasio (menurut Lacan, ketidaksadaran terstruktur seperti halnya bahasa). Diri secara definitif terpecah menjadi ego, superego, dan ketidaksadaran, sehingga narasi yang terpadu tentang diri adalah sesuatu yang diperoleh di sepanjang waktu melalui pintu masuk menuju tatanan simbolis bahasa dan kebudayaan. Melalui proses identifikasi dengan orang lain dan dengan posisi subjek diskursus sosial, suatu identitas diciptakan yang mewujudkan ilusi tentang keseluruhan. Bagi Butler (Barker, 2008: 261), identifikasi dipahami sebagai semacam afiliasi dan ekspresi ikatan emosional dengan suatu objek yang difantasikan berada pada kondisi ideal (orang, bagian tubuh) atau kondisi ideal secara 27
normatif. Dia berlandaskan pada fantasi, proyeksi dan idealisasi. Namun, identifikasi bukanlah suatu peniruan secara sengaja atau suatu model investasi yang dilakukan secara sengaja dalam posisi subjek. Identifikasi tidak dapat dipisahkan dari proses dasar pembentukan subjek dan memiliki batas yang sama dengan kemunculan ego. Identifikasi terdiri atas suatu matriks eksklusioner di mana proses pembentukan subjek secara simultan memproduksi sisi luar yang konstitutif. Jadi, identifikasi dengan seperangkat norma, mengabaikan identifikasi terhadap yang lain. Karya Butler menitikberatkan pada ketidakberdayaan seksualitas gay dan lesbian di bawah ‘perintah’ heteroseksualitas yang hegemonik. Dia juga menyatakan bahwa identifikasi tidak pernah selesai ataupun berlangsung secara menyeluruh. Karena identifikasi terkait dengan fantasi atau idealisasi, maka tidak memiliki batas-batas yang sama dengan tubuh ‘sejati’ atau praktik-praktik yang tergenderkan. Selalu ada kesenjangan atau keterputusan dalam identifikasi (instabilitas identitas). Identifikasi bisa jadi beragam dan tidak memerlukan penolakan terhadap semua pendapat (Barker, 2008: 261). Salah satu asumsi yang diyakini bersama berbagai ilmu sosial adalah bahwa ‘everyday thinking’ dari ‘common sense’ atau ‘common knowledge’ merupakan perbedaan mendasar di antara individu dan masyarakat (collective). Ini berarti bahwa identitas kolektif (sosial) dan identitas individu dipahami sebagai fenomena yang berbeda, dan relasi antara ‘unique individuality’ dan ‘shared collectivity’ cenderung diperlakukan aksiomatis (sudah jelas kebenarannya). Dalam teori identitas sosial –yang mengamati pada proses dan secara khusus 28
berfokus pada individu– memperlakukan identifikasi ‘personal’ dan ‘social’ sebagai konstruksi atau kondisi yang secara psikologis berbeda serta memahami kelompok (group) dalam pengertian kasar (Jenkins, 2008: 37). Jenkins (2008: 37-38) menyatakan perspektifnya bahwa, berkenaan dengan identifikasi, ‘unique individuality’ dan ‘shared collectivity’ bisa dipahami dengan cara yang serupa dalam hal-hal tertentu. Selain itu, seorang individu dan lingkungan sosialnya saling berhubungan satu sama lain. Proses identifikasi individu dan sosial hanya bisa terjadi dengan adanya interaksi dan sejalan. Jenkins menambahkan bahwa teorisasi identifikasi harus bisa mengakomodir individu dan sosial dalam ukuran sama. Dasar penting untuk memahami identitas pada teori yang ditulis Jenkins (2008: 38-39) adalah bahwa dia menyebut society sebagai human world, yaitu tempat di mana individu dan masyarakat bertemu dan melebur. Dia menyatakan bahwa dunia yang dikonstruksi dan dialami oleh manusia bisa dipahami dengan baik sebagai tiga perintah (order) yang berbeda: yang pertama, the individual order adalah human world yang dibentuk dari perwujudan individual dan apa yang ada dalam kepala individu. Kedua, the interaction order adalah human world yang disusun dalam hubungan antara individual dan apa yang terjadi antara orang-orang dan poin ketiga, the institutional order adalah human world dari pola dan organisasi, dari cara yang ditetapkan untuk melakukan sesuatu. Pencarian identitas dan proses identifikasi dalam Persepolis melibatkan individu dan masyarakat, yang direpresentasikan oleh Marjane dan masyarakat Iran serta kelompok yang ditemui Marjane dalam pengasingannya ke Wina. 29
Pertemuan individu dengan identitas sosial inilah yang kemudian dapat menimbulkan konflik maupun benturan budaya karena adanya ketidakcocokan atau perbedaan norma pada masyarakat yang ditemui. Proses identifikasi dalam hal ini bukan merupakan kepatuhan absolut yang dijalani oleh masyarakat Iran yang resisten. Tindakan mereka yang meniru (to mimic) dapat pula menjadi suatu ejekan (mockery) terhadap penjajah (kelompok yang dominan dan budaya baru) karena mereka tidak melakukan peniruan dengan sepenuhnya setia pada model yang ditawarkan. Dengan demikian, identifikasi ini menjadi “false-identification” (Faruk, 2007: 6).
1.5.3 Resistensi dan Negosiasi dalam Pembentukan Identitas Novel grafis Persepolis yang mengambil latar pada masa sebelum, sewaktu dan sesudah Revolusi Islam di Iran menyampaikan pandangan masyarakat sipil dan masyarakat politis pada saat itu. Adanya perbedaan anggapan umum (common sense) membuat masyarakat sipil terpecah menjadi: masyarakat pro-revolusi dan masyarakat kontra-revolusi. Perpecahan ini tidak lepas dari adanya dominasi kekuasaan kubu Shah dan kubu Khomeini. Dominasi rezim yang berkuasa pada saat itu memunculkan sikap oposisi dan penolakan (rejection) pada sebagian masyarakat Iran. Kekuasaan Shah dan Khomeini di Iran menampilkan cara yang berbeda dalam menjalankan pemerintahan yang dominan. Regulasi yang berseberangan mengenai hukum berjilbab dan pendidikan di Iran mengakibatkan adanya persoalan identitas yang dipaksakan bagi masyarakat Iran, khususnya kaum perempuan. Bentuk-bentuk 30
perlawanan bermunculan di masyarakat dalam keseharian mereka. Perilakuperilaku yang bertolakbelakang dengan regulasi yang diterapkan menjadi bentuk resistensi masyarakat yang didominasi pada saat itu. Kelompok
yang
lemah
(didominasi)
selalu
mengekspresikan
ketidaksenangan mereka menggunakan strategi dan berbagai macam cara (multiple strategies and avenues) (Ghosh, 2008: 5). Perlawanan ini dimulai dari individual resistance kepada bentuk kebudayaan dominan (Woodward, 2002: 43), misalnya kaum perempuan Iran yang mendapatkan forced identity dalam hal penggunaan jilbab menjadi individu yang kemudian melawan maupun mengikuti peraturan
tersebut.
Hal
ini
memperlihatkan
keputusan
mereka
untuk
menegosiasikan identitas yang mereka miliki. Kaum perempuan Iran yang direpresentasikan oleh Marjane tidak begitu saja menerima identitas yang diberikan. Mereka bernegosiasi dengan cara menerima atau menolak identitas yang dihadirkan bagi mereka (Woodward, 2002: 85). Negosiasi dalam pembentukan identitas berhubungan dengan relasi kekuasaan (Woodward, 2002: 99, 123-124). Woodward mencontohkan tinju sebagai kontradiksi dalam pembentukan dan presentasi dari perwujudan identitas. Olahraga keras ini memasukkan keunggulan gender dalam hubungannya dengan identitas namun juga menunjukkan relasi yang kompleks. Tinju menunjukkan elemen dari self-control dan kebutuhan menegosiasikan identitas melalui melatih agensi di seluruh tubuh untuk mengontrol diri. Tubuh merupakan subjek dari kelemahannya sendiri karena manusia sebagai agen mencari keunggulan dari tubuh mereka sendiri dan tubuh lawan mereka (dalam tinju). 31
Di sisi lain, resistensi tidak selamanya dilakukan dengan kekerasan dan penentangan. Ashcroft (2001: 20) menyebutkan ‘passive resistance’ yang dilakukan Gandhi terhadap British Raj sebagai contoh yang efektif dan terkenal. Resistensi dalam masyarakat poskolonial merupakan perlawanan yang memuat penolakan, melawan dalam bentuk yang berbeda, mengambil pengaruh yang telah ditekankan oleh kekuasaan yang mendominasi, dan mengubahnya menjadi alat untuk mengekspresikan identitas dan budaya yang dipegang. Hubungan antara budaya dominan dengan budaya yang mengalami subordinasi didasarkan pada proses resistensi, inkorporasi, dan negosiasi yang terus-menerus (Procter, 2004 : 88). Negosiasi identitas menjadi bentuk tindakan yang dilakukan individu dalam menerima dan melegitimasi keberadaan ‘yang lain’ dalam diri melalui interaksi. Proses ini biasanya menimbulkan konflik namun juga menciptakan cara untuk bisa menampung kesemua identitas tersebut dan menegaskan identitas dari individu lainnya. Dalam Persepolis, bentuk resistensi individu didasarkan pada negosiasi dan proses perjuangan (struggle) yang terus-menerus karena menemukan perbedaan budaya di negara tujuan migran dan sekembalinya ke tanah air.
1.5.4 Agensi dalam Konsep Sosiologi Giddens Pusat pada teori sosiologi Giddens adalah penekanan bahwa manusia sebagai active agents. Konsep ‘actor’ atau ‘agent’ bagi Giddens memiliki tiga lapisan kesadaran ‘consciousness’. Dia menggambarkannya dengan skema triadik
32
Freud yang meliputi ‘id, ego, superego’ diganti menjadi konsep unconsciousness, pratical consciousness, dan discursive consciousness (Loyal, 2003: 51-52). Konsep
unconsciousness
(id)
merepresentasikan
bentuk
kesadaran/pengertian dan dorongan hati yang tertekan seluruhnya atau sebagian. Dalam konsep inilah komponen motivasional dari aksi yang dilakukan dan juga memori. Practical consciousness merepresentasikan pengetahuan yang bersifat diam/tidak diucapkan dan pengetahuan bersama (mutual), yang digunakan dalam pembuatan rangkaian aksi sehingga memungkinkan agen memiliki kemampuan ‘to go on’ dalam mengikuti peraturan di kehidupan sosial. Terakhir, discursive consciousness
merupakan
kemampuan
agen
untuk
mengartikulasikan
pengetahuannya atau agar mampu untuk mengungkapkan sesuatu dalam pikirannya menjadi kata (to be able to put things into words) (Loyal, 2003: 5152). Ketiga konsep Giddens di atas berkaitan dengan tindakan (action) yang dilakukan agen. Reflexity of action, mengacu pada proses dengan mana individual mencerminkan dirinya, memantau dan memodifikasi tindakan mereka. Hal ini berhubungan dengan ‘kesadaran diskursif’ agen. Rationalisation of action, yang berhubungan dengan practical consciousness mengacu pada proses dengan mana agen secara rutin dan tanpa keributan, mempertahankan keberlanjutan pemahaman dalam aktivitas mereka. Individu dianggap mampu untuk mempertimbangkan satu sama lain sebagai ‘kompeten’ dan ‘bertanggungjawab’ dalam hal rasionalisasi tindakan mereka. Giddens menambahkan bahwa reasons are causes of activities
33
which the individual ‘makes happen’ as an inherent feature of being an agent (Loyal, 2003: 53). Akan tetapi, agen individu tidak sepenuhnya mengetahui alasan-alasan dari tindakan yang dilakukannya yang kemudian membedakan reflexivity dan rationalisation dengan motivation of action. Motif (motive) menjadi keseluruhan rencana atau proyek yang menyusun dan mengatur perilaku actor (Loyal, 2003: 54). Giddens juga menambahkan bahwa pada konsep agensi, seseorang (yang merupakan agen) bisa bertindak sebaliknya ‘could have acted otherwise’. Pernyataan ini menghubungkan agensi (agency) dengan kekuasaan/kekuatan (power) (Loyal, 2003: 56-57) karena seorang individu memiliki kapasitas untuk bertindak secara bebas (act independently) dan untuk menentukan pilihan mereka sendiri.
1.5.5 Teori Naratif Gérard Genette Secara tradisional, narrative dianggap sebagai rangkaian atau urutan peristiwa atau ‘a sequence of events’ (Herman, 2005: 11). Genette (Eagleton, 2007: 151) menggambarkan perbedaan dalam narasi antara récit, yang dia maksud sebagai urutan peristiwa dalam teks; histoire, yakni urutan kejadian di mana peristiwa-peristiwa itu ‘sebenarnya’ terjadi, karena kita dapat menyimpulkannya dari teks; dan narration, yang terkait dengan tindakan bercerita itu sendiri. Genette (Eagleton, 2007: 152) mengenali lima kategori sentral dan analisis naratif. ‘Urutan’ mengacu pada urutan waktu narasi, caranya beroperasi melalui prolepsis (antisipasi), analepsis (kilas balik) atau anakroni, yang mengacu pada 34
ketidakselarasan antara ‘cerita’ dan ‘plot’. ‘Durasi’ menandakan bagaimana naratif dapat menghilangkan episode, memperluasnya, meringkas, berhenti sejenak, dan sebagainya. ‘Frekuensi’ melibatkan pertanyaan tentang apakah sebuah peristiwa terjadi sekali dalam ‘cerita’ dan dinarasikan sekali, terjadi sekali tetapi dinarasikan beberapa kali, terjadi beberapa kali dan dinarasikan beberapa kali, atau terjadi beberapa kali dan dinarasikan hanya sekali. Kategori ‘suasana’ dapat dibagi lagi menjadi ‘jarak’ dan ‘perspektif’. ‘Jarak’ ialah hubungan naratif dengan materinya sendiri: apakah narasi mengisahkan cerita (‘diagesis’) atau mewakilinya (‘mimesis’), apakah narasi dituturkan lewat ujaran langsung, tak langsung atau ‘tak langsung bebas’. ‘Perspektif’ adalah apa yang secara tradisional disebut ‘sudut pandang’, dan juga dapat dibagi lagi menjadi bermacam-macam cara. Narator bisa saja tahu lebih banyak dari tokoh, kurang tahu dibanding mereka, atau bergerak pada tingkatan yang sama; narasi mungkin ‘tidak difokalisasi’, disampaikan oleh narator yang berada di mana-mana dan di luar peristiwa, atau ‘difokalisasikan secara internal’, dikisahkan oleh satu tokoh dari posisi yang tetap, dari bermacam-macam posisi, atau dari sudut pandang beberapa tokoh. Sebuah bentuk ‘fokalisasi internal’ juga mungkin, di mana narator kurang tahu dibanding tokoh. Lalu ada kategori ‘suara’, yang berhubungan dengan tindakan mengucapkan narasi itu sendiri, narator dan penerima narasi macam apa yang tersirat. Pelbagai kombinasi dimungkinkan di sini antara ‘waktu narasi’ dan ‘waktu yang dinarasikan’, antara tindakan mengisahkan cerita dan peristiwa yang dikisahkan; peristiwa bisa dikisahkan sebelum, sesudah atau (seperti dalam novel 35
berupa kumpulan surat) saat terjadinya. Narator dapat bersifat ‘heterodiegetik’ (absen dari narasinya sendiri), ‘homodiegetik’ (berada dalam narasinya seperti dalam cerita dengan kata ganti orang pertama sebagai tokoh), atau ‘autodiegetik’ di mana dia bukan saja ada dalam naratif tetapi berperan sebagai tokoh utama (Eagleton, 2007: 152-153). Ketika narator menulis rangkaian peristiwa, mengeksplorasi waktu tertentu, atau mengabadikan sebuah komunitas, penulis pada dasarnya sedang membuat sejarah dalam artian tertentu. Penulis juga melakukan aksi retoris: menjustifikasi persepsi mereka sendiri, menjaga reputasi mereka, mendebat orang lain, membuat penilaian, membawa informasi budaya, dan menemukan masa depan yang diinginkannya di antara orang lain (Smith, 2001: 10). Mishler (Elliott, 2005: 38) mendasarkan analisis naratifnya pada tiga fungsi bahasa yaitu, meaning (arti), structure (struktur), dan interactional context (konteks interaksi). Teori naratif ini tidak seluruhnya digunakan, tetapi hanya untuk melihat bagaimana tokoh Marjane dalam Persepolis memposisikan dirinya dalam ingataningatan akan peristiwa masa lalunya dalam konteks rekonstruksi identitasnya.
1.6
Metode Penelitian Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Chamamah (2001:13) menyebutkan bahwa dalam sebuah penelitian harus dipilih metode dan langkah-langkah yang tepat, yang sesuai dengan karakteristik objek kajiannya. Pengumpulan data dilakukan dengan kajian pustaka. Adapun metode analisisnya menggunakan metode analisis naratif Genette karena dianggap mampu 36
mengungkapkan bentuk representasi individu dalam konteks sosio-kultural masyarakat Iran pada masa revolusi.
1.6.1 Metode Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder melalui kajian pustaka. Data primer berupa novel grafis yang digunakan sebagai objek material. Novel grafis Persepolis yang dijadikan data primer adalah novel grafis berbahasa Prancis jilid 1-jilid 4 yang diterbitkan tahun 2000-2003, novel grafis Persepolis berbahasa Prancis kumpulan empat jilid yang diterbitkan tahun 2007, dan novel grafis Persepolis berbahasa Inggris yang terbit di Amerika pada tahun 2003 serta 2004 untuk didistribusikan di Taiwan. Dari populasi yang terkumpul, penyusun melakukan pembacaan terhadap novel dan menentukan sampel novel grafis Persepolis yang representatif. Data yang digunakan berupa narasi dan dialog dalam balon kata. Pemilihan novel grafis ini didasari oleh kenyataan bahwa konteks pencarian identitas dalam karya tersebut tidak hanya dilakukan pada masa revolusi namun juga pada masa sebelum revolusi dan sewaktu pengasingan ke negara lain. Data tersebut akan diuraikan menjadi urutan sekuen. Data tentang alur, tokoh, latar, dan sudut pandang akan digunakan berkaitan dengan persoalan identitas yang ada dalam Persepolis. Data sekunder meliputi sumber-sumber referensi tertulis (buku, laporan penelitian, jurnal, dan lainnya) yang berkaitan dengan Persepolis dan revolusi Iran.
37
1.6.2 Metode Analisis Data Penelitian ini akan mendasarkan metode analisis data narrative analysis. Dalam analisis ini, tekniknya dilakukan sebagai berikut: 1. Mengamati peristiwa-peristiwa aktual dan pengalaman-pengalaman yang diceritakan dalam narrative, misalnya memfokuskan pada isi (content) cerita Persepolis. Untuk mengelaborasi lebih jauh, isi cerita dianggap memiliki dua fungsi: pertama mendeskripsikan peristiwa-peristiwa masa lampau dalam Persepolis untuk menghasilkan catatan kronologis bagi pembaca dan kedua mengevaluasi fungsi, menjelaskan maksud serta arti dari peristiwa dan pengalaman yang terjadi. Dalam hal ini peristiwa yang dianggap menjadi kunci adalah revolusi Islam di Iran. 2. Mengamati dari struktur atau bentuk narrative (cerita), misalnya bagaimana cara sebuah cerita dirangkai menjadi satu. 3. Mengamati performance dari narrative (cerita) Persepolis pada konteks interaksional dan institusional di mana cerita dihasilkan, diceritakan kembali, dan dikonsumsi.
1.7
Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri atas lima bab. Bab I merupakan pendahuluan yang
berisi latar belakang masalah, masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II akan membahas sejarah Revolusi Iran dan Persepolis sebagai karya francophone yang dijadikan acuan dalam pembahasan selanjutnya. Bab ini kemudian akan 38
membahas perubahan masyarakat Iran yang terdapat dalam Persepolis yang membawa dampak pada munculnya bentuk resistensi. Bab III berisi pembahasan mengenai bentuk resistensi, strategi bertahan, dan agensi yang mendukung adanya resistensi pada masa revolusi Islam. Bab IV membahas tentang negosiasi identitas yang dilakukan dalam proses identifikasi yang dialami seorang individu dalam Persepolis pada pengasingan di luar negeri dan sekembalinya ke Iran. Bab V merupakan kesimpulan penelitian.
39
