BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perkembangan film dimulai sejak diciptakannya sebuah alat bernama Phenakistoscope sekitar tahun 1832 oleh Joseph Plateau di Belgia. Dua tahun berselang, William Horner memperbaiki alat temuan Plateau tersebut dan diubah namanya menjadi Zoetrope. Alat tersebut merupakan sebuah roda berputar yang diberi gambar-gambar bergerak (motion pictures) untuk kemudian diputar sehingga menciptakan efek gambar yang bergerak (Dixon dan Foster, 2008: xi). Gambar bergerak tidaklah bergerak tetapi ilusi gerakan pada layar sinema menghasilkan efek bergerak. Mata manusia dapat menangkap gambar yang berjalan dengan jelas sebanyak dua puluh empat gambar perdetik, atau sekitar 1/60 detik tiap gambarnya (Dixon dan Foster, 2008: 1). Film modern pun sebenarnya masih menggunakan cara yang sama, tetapi kini sudah menggunakan format digital, yang sebelumnya menggunakan pita klise (gambar film negatif). Munculnya media film ini berkembang seiring terjadinya revolusi industri pada abad ke-18 ketika novel yang berisi tentang cerita-cerita bertema kehidupan beredar di masyarakat. Bukan untuk menyaingi eksisnya novel, tetapi film hadir dengan memberikan cara baru kepada masyarakat untuk menikmati cerita kehidupan yang dibuat oleh seniman-seniman (pengarang, penulis, filsuf) pada masa itu.
1
2
Dalam novel maupun cerpen, pengarang merangkai seluruh unsur intrinsik seperti alur, penokohan, latar waktu dan tempat serta penggambaran peristiwa yang terjadi melalui sebuah rangkaian kata-kata yang ditulis dalam sekumpulan kertas sehingga menuntut pembacanya untuk berimajinasi secara total, tanpa ada batasan apapun agar bisa memahami isi cerita yang dituliskan oleh si pengarang. Novel yang telah laris di masyarakat membangkitkan para seniman-seniman baru seperti sutradara, penulis skenario maupun editor untuk mengangkat kesuksesan yang telah dicapai oleh sebuah novel tertentu ke dalam sebuah film. Hal ini melahirkan istilah film adaptasi atau ekranisasi. Dalam buku Novel dan Film (1991) yang ditulis oleh Pamusuk Eneste, disebutkan bahwa ekranisasi merupakan sebuah pemindahan sebuah novel ke dalam sebuah film. Pemindahan tersebut merupakan perubahan dunia kata-kata menjadi dunia gambar yang bergerak berkelanjutan (Eneste, 1991:60). Ekranisasi membuat pengangkatan novel ini mendapat banyak perubahan. Pamusuk menjelaskan bahwa terdapat banyak perubahan, yaitu penciutan, penambahan, dan perubahan bervariasi (Eneste, 1991 :61-66). Film juga merefleksikan kehidupan manusia seperti dalam novel, tetapi para sutradara mencoba membuat penggambaran tersebut dengan menggunakan teknik yang berbeda yaitu menggunakan audio (indera pendengaran) dan visual (indera pengelihatan). Dengan penggunaan media yang berbeda maka teknik yang digunakan pun akan berbeda pula.
3
Audio merupakan penggambaran peristiwa melalui sebuah efek suara yang menggambarkan peristiwa yang sedang terjadi. Sedangkan visual menggambarkan kejadian dengan aktris dan aktor yang berperan menjadi tokoh-tokoh yang melakoni cerita yang telah diarahkan oleh seorang sutradara, sehingga penonton tidak perlu menghabiskan berhari-hari untuk membaca sebuah novel dan membentuk penggambaran imajinasi sendiri terhadap apa yang dibacanya karena sutradara telah membuat penggambaran dalam film secara pasti. Sutradara tidak hanya membuat cerita film sendiri tetapi juga mengangkat sebuah novel maupun cerpen yang sekiranya menarik untuk diangkat menjadi sebuah film. Sudah banyak film yang diangkat dari sebuah novel, cerpen, komik bahkan dari sebuah game yang sangat terkenal. Banyak film Holywood yang merupakan karya alih wahana seperti novel Harry Potter karya J.K. Rowling, seorang pengarang dari Inggris yang diangkat oleh beberapa sutradara yang berbeda namun menjadi suatu kesatuan cerita karena tiap sutradara mengangkat seri novel yang berbeda. Kemudian ada sebuah film kolosal yang sangat disukai yaitu The Lord Of The Ring Karya J.R.R. Tolkien yang juga pengarang dari Inggris. Tiga sekuel novelnya, yaitu Fellowship Of The Ring, The Two Towers dan yang terakhir The Return Of The King diangkat oleh satu sutradara yaitu Peter Jackson. Kemudian Peter Jackson juga mengangkat kembali novel dari penulis yang sama yaitu The Hobbits. Sebuah novel dari Marguerite Duras (1958), seorang pengarang dari Prancis, juga diangkat menjadi film yang berjudul sama oleh sutradara Peter Brook, yaitu Moderato Cantabille (1960).
4
Di Indonesia pun, sudah banyak sutradara yang mengadaptasi sebuah novel yang dianggap layak untuk menjadi sebuah film. Film adaptasi di Indonesia yang mendapatkan banyak pujian dari penonton, diantaranya adalah Laskar Pelangi (2008), novel karya Andrea Hirata, Ayat-Ayat Cinta (2009) karya Habibburrahman El Shirazy dan novel karya Ahmad Tohari yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk yang kemudian difilmkan dengan judul Sang Penari pada tahun 2011. Tak hanya selalu novel yang diangkat, ternyata sebuah cerpen juga dapat diangkat menjadi sebuah film. Sebuah karya seorang penulis Prancis bernama Guy de Maupassant dengan cerpen lepasannya yang berjudul Une Partie de Campagne yang ditulis pada tahun 1881 (selanjutnya akan disebut UPdC), diadaptasi ke dalam sebuah film berjudul sama oleh seorang sutradara sekaligus aktor Prancis bernama Jean Renoir pada tahun 1934. Jean Renoir, lahir di tahun 1894, adalah anak kedua dari seorang seniman lukis Prancis beraliran impresionis, bernama Auguste Renoir. Ketika adiknya lahir, di tahun 1901, ia dikirim orang tuanya untuk bersekolah di College de Saint-Croix. Di tahun 1913, ia menjadi tentara di Resimen Dragoon selama tiga tahun dan menjadi pegawai kavaleri dan pilot. Jean Renoir terjun ke dunia perfilman karena ia sangat tertarik pada dunia sinema terutama sinema-sinema karya D.W. Griffiths dan Charlie Chaplin. Sejak tahun 1924, ia mulai meniti karir di dunia film. Beberapa filmnya adalah La Fille de L’Eau (1924), Nana (1926) dan The Little Match Girl (1928). Pada tahun 1936, Jean Renoir mengadaptasi cerpen UPdC karya Guy de Maupassant ke dalam film, dan ia juga ikut
5
berperan dalam film tersebut. Sayang, Renoir belum sempat menyelesaikan film ini akibat Perang Dunia II dan akhirnya film ini diselesaikan oleh sekelompok orang yang menemukan potongan-potongan film ini kemudian disatukan sesuai catatan awal dari Renoir. Cerpen UPdC ini merupakan sebuah cerpen (conte) lepas yang dibuat oleh pengarang Prancis terkenal pada abad 19, yaitu Guy de Maupassant, tepatnya pada tahun 1881. Cerpen ini pada akhirnya disatukan dengan cerpen-cerpen lainnya yang diterbitkan dalam satu judul, yaitu La Parure et autres contes parisiens. Guy de Maupassant adalah seorang penulis terkenal Prancis pada abad 19. Dia lahir pada tahun 1850 dari sebuah keluarga yang tidak lengkap akibat perceraian. Pada tahun 1870, ia menjadi tentara dan setahun kemudian ia bekerja di Kementrian Kelautan dan pada tahun 1878 bekerja di Kementrian Pendidikan. Semasa hidupnya, ibu Maupassant mengenalkannya kepada seorang rekan ibunya, seorang penulis terkenal Prancis, Gustave Flaubert. Flaubert juga memperkenalkan Maupassant ke dunia sastra. Berkat jasa Flaubert, Maupassant telah menghasilkan 6 roman dan setidaknya menghasilkan lebih dari 300 cerpen. Tokoh perempuan selalu menjadi tokoh utama dalam beberapa karyanya, seperti dalam cerpen UpdC ini, mengisahkan tentang kisah cinta dan perselingkuhan perempuan. Kemudian ada cerpen La Petite Rouge yang menceritakan tentang pembunuhan yang dilakukan seorang walikota terhadap seorang gadis kecil yang sebelumnya ia perkosa. Pada akhir hidupnya, Maupassant mengalami gangguan jiwa akibat kelelahan fisik dan mental karena bekerja, hingga akhirnya pada tahun 1893 ia
6
meninggal dalam keadaan gila. Dalam kegilaannya, karya-karya Maupassant menyiratkan rasa takut. Beberapa karyanya yang terkenal lainnya adalah Mademoiselle Fifi (1882) dan Bel Ami (1885). Menurut Boggs, gaya penceritaan dalam novel yang dibuat oleh dua pengarang yang berbeda dengan ideologi yang berbeda pula bagaikan dua kutub yang bertentangan (1992: 222). Satu novel memberikan kita irama bahasa lisan (elemental dan sensual), elemental dan sensual merupakan unsur-unsur dari novel yang membuat sebuah novel menjadi layak dilayarputihkan ditinjau dari unsur intrinsiknya. Novel lainnya memberikan kita belitan-belitan sastra yang hanya bisa ditemui di atas halaman tercetak (kompleks). Boggs menganggap bahwa suatu karya yang elemental dan sensual sangat cocok apabila dilayarputihkan. Argumen tersebut diperkuat dengan penuturan Steart dan Bethurum (via Boggs, 1992:222) bahwa penyampaian penceritaan yang secara sensual dan emosional adalah sinematik. Begitu pula yang dilakukan oleh sutradara Prancis yang melayarputihkan cerpen UpdC, Jean Renoir. Cerpen ini mengandung unsur penceritan yang sensual dan elemental. Maupassant mengisahkan seorang wanita muda yang bercinta dengan seseorang yang baru dikenalnya di tepi sungai, begitu pula si ibu dari gadis tersebut yang juga berselingkuh dengan pria lain yang juga baru dikenalnya. Cerita-cerita seperti ini masih jarang dan dianggap tabu pada masa itu karena stereotip yang ada membentuk pola pikir masyarakat bahwa tidak ada perempuan yang berkelakuan seperti itu. Hal-hal inilah yang dianggap elemental dan sensual walaupun film ini baru rilis 50 tahun setelah cerpennya terbit.
7
Cerpen ini dialihwahanakan dua kali, yang pertama oleh Jean Renoir pada tahun 1936 dengan judul yang sama, UPdC dan yang kedua merupakan sebuah episode dari serial TV milik France 2 berjudul Chez Maupassant: Contes & Nouvelles. Episode UPdC merupakan bagian dari Chez Maupassant Saison 3 episode 7 yang ditayangkan pada tanggal 18 Mei 20111. Dari kedua film adaptasi tersebut, yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah adaptasi pertama karya Jean Renoir. Contoh analisa ekranisasi dapat dilihat pada penjelasan di bawah ini. Dalam cerpen dituliskan bahwa Keluarga Dufour pergi ke desa yang sangat tentram dan damai dimana terdapat Kincir Angin Orgemont dan Bendungan Marly dengan langit cerah dan bersih. « Au rond-point de Courbevoie, une admiration les avait saisis devant l’éloignement des horizons. A droite,c’était Argenteuil, dont le clocher se dressait ; au-dessus apparaissaient les buttes de Sannois et le Moulin d’Orgemont. A gauche, l’aqueduc de Marly se dessinait sur le ciel clair du matin…» (Maupassant,1881 :1) « Di bundaran Courbevoie, nampak raut kekaguman. Di sebelah kanan terlihat Argenteuil, sebuah menara lonceng, di atasnya, nampak kincir-kincir angin Sannois dan kincir angin Orgemont. Di sebelah kiri, bendungan Marly memperlihatkan cerahnya langit di pagi hari… » (Maupassant, 1881 :1)
Gambar 1 (00 :01 :46-00 :01 :49)
1
Chez Maupassant Saison 3 episode 7: http://www.imdb.com/title/tt1919459/
8
Jean Renoir tidak memperlihatkan penggambaran yang dilukiskan oleh Maupassant sebagaimana tertulis dalam cerpen. Hal itu terjadi karena penggambaran desa yang seperti dalam cerpen dianggap terlalu membuang-buang durasi (tidak penting dalam membentuk cerita), sehingga Renoir mengambil sudut pandang pemandangan seperti pada gambar 1. Dalam gambar 1 terdapat pemandangan hamparan tanah yang luas dengan pepohonan di tepian sungai yang masih sangat bersih dan asri. Dari perubahan ini, terlihat ada perubahan semiotika desa yang digambarkan oleh Jean Renoir. Melihat Gambar 1, kita dapat mengetahui bahwa sebuah tempat yang memiliki dataran rumput luas dengan pepohonan yang masih rindang serta aliran sungai yang masih natural dapat disebut sebuah kawasan pedesaan karena tidak mungkin lagi kota masih memiliki tempat seperti itu.
1.2 Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, perubahan dari sebuah media ke media yang lain menimbulkan banyak pergeseran. Terdapat penambahan cerita maupun pengurangan cerita yang dilakukan oleh sutradara maupun penulis skenario untuk membuat sebuah film adaptasi yang sekiranya layak untuk diangkat ke layar putih. Dari penambahan dan penciutan cerita/adegan di atas, dapat dianalisis bahwa kedua poin tersebut memiliki banyak aspek penentu yang membuat mengapa hal itu dilakukan. Hal ini dapat disimpulkan ke dalam pertanyaan permasalahan: Aspek-
9
aspek perubahan apa yang mempengaruhi perubahan adegan dalam film adaptasi UPdC karya Jean Renoir ?
1.3 Tujuan Penelitian Adaptasi dari novel ke film menimbulkan banyak perubahan dan perubahan yang terjadi bukanlah perubahan asal-asalan tetapi terdapat aspek-aspek penentu perubahan adegan seperti dalam penambahan dan penciutan baik unsur intrinsik maupun unsur ekstrinsik, sehingga diharapkan memberikan gambaran secara umum tentang transformasi dari novel ke film beserta permasalahan-permasalahan yang terjadi dan secara khususnya adalah pembaca dapat memahami seperti aspek-aspek perubahan dari cerpen UPdC ke dalam film karya Jean Renoir. Tujuan lain dari penelitian ini, diharapkan juga dapat memberikan pengetahuan yang berkaitan dengan film adaptasi sehingga dapat menumbuhkan rasa hormat, rasa menghargai dan apresiasi terhadap sineas-sineas yang mengangkat film adaptasi.
1.4 Landasan Teori Alih wahana disebut juga dengan ekranisasi atau pelayarputihan. Ekranisasi diambil dari bahasa Prancis yaitu écran yang berarti layar (Pamusuk, 1991:60). Akibat ekranisasi, banyak terjadi perubahan-perubahan baik pengurangan, penambahan dan pergantian adegan seperti latar, alur dan waktu. Novel dan film merupakan dua hal yang berbeda. Novel merupakan sebuah karya yang tertulis, dibutuhkan intepretasi dan logika untuk mendapatkan
10
penggambaran dari tulisan tersebut. Sedangkan film adalah karya audiovisual yang menampilkan gambar dan suara yang membentuk sebuah penggambaran. Ekranisasi menimbulkan banyak perubahan karena kata-kata dalam novel diubah menjadi olahan gambar dan suara yang menyebabkan terjadinya penciutan, penambahan dan pergantian baik dari segi alur, latar tempat dan waktu bahkan penokohan sekalipun. Beberapa penikmat novel berargumen negatif bahwa film yang diadaptasi tidak sesuai dengan aslinya, terkadang alur dalam film berbeda dengan aslinya, terlebih lagi jika ada tokoh yang tiba-tiba muncul dalam film padahal dalam novelnya tidak ada. a. Penciutan Novel merupakan media yang bisa dinikmati selama berjam-jam bahkan sampai berhari-hari, akibat ekranisasi, novel harus diubah menjadi apa yang dinikmati selama sembilan puluh sampai 120 menit (Eneste, 1991 :61). Mau tidak mau harus ada penciutan, yaitu membuang hal-hal yang tidak penting dan yang tidak membentuk cerita. Sebagian cerita, alur, tokoh maupun suasana tidak akan ditemui dalam film. b. Penambahan Penafsiran terhadap novel yang akan diangkat menjadi film sudah seharusnya dilakukan oleh sutradara dan penulis skenario untuk mencari hal-hal yang seperti apa yang akan diangkat dan juga penambahan apa saja yang akan mereka tampilkan dalam film mereka (Eneste,1991:64). Perubahan ini bisa terkait dengan cerita, tema, alur, tokoh dan latar sesuai keinginan mereka
11
yang penting, penambahan tersebut harus relevan dengan cerita keseluruhan dan biasanya sutradara akan menambahakan sentuhan aspek sinematik agar film lebih menarik. Menurut Bluestone (1957:5), pembuat film diizinkan untuk mengubah durasi dengan memotong atau menambahkan adegan dengan tetap menghormati karya orisinilnya. Jika terjadi asumsi-asumsi negatif dari pembaca dan penonton adalah karena adanya concept mental image dan visual image. Concept mental image adalah kesiapan mental pembaca ketika membaca karya sastra tersebut. Kesiapan mental ini meliputi segala pengalaman hidup, watak dan ideologi pembaca untuk membentuk gambaran imajinasi. Visual image adalah penggambaran mutlak adegan yang telah dibuat oleh sutradara melalui editing film. Penggambaran ini memudahkan penonton dalam memahami cerita, tidak seperti membaca novel yang menuntut kerjanya imajinasi seseorang. Dalam proses pembuatan film, baik film adaptasi atau bukan, editing film memiliki peran penting dalam pembentukan cerita. Editing film yang dikombinasikan dengan pengambilan gambar yang sesuai dengan ritme sekuen akan memberikan ciri khas yang berkarakter dari sang sutradara (Bluestone, 1956: 24). Dengan kata lain, berkat pengambilan gambar yang sesuai dan dengan kombinasi editing yang dibuat oleh sutradara membentuk ciri khas dalam film yang membuat penonton mengenal ciri khas sutradara yang membuat film yg mereka tonton.
12
Bluestone mengungkapkan bahwa struktur kata-kata dalam novel itu apa adanya dan berdiri sendiri, tetapi di dalam film, kata-kata yang diucapkan diubah menjadi gambar bergerak (Bluestone, 1956: 58). Bluestone memberikan conoh jika kita mencoba untuk mengubah penggambaran deskriptif tentang Marlon Brando (seorang aktor dan sineas Amerika) ke dalam imajinasi kita, kita pasti akan membutuhkan waktu tambahan untuk membayangkan wajahnya, dan akan sering membuka kembali deskripsinya lagi untuk memastikan lagi, bisa dipastikan kita tidak melewatkan satu hal pun di dalam novel. Berbeda jika deskripsi Marlon Brando difilmkan, kita tidak perlu membayangkan lagi wajahnya, tetapi ketika kita lengah sedikitpun, bukan tak mungkin kita melewatkan sesuatu adegan yang mungkin itu adalah bagian krusial. Hal di atas merupakan pembeda yang sangat mendasar dari membaca novel dengan menonton film. Di sisi lain, adanya penambahan dan pengurangan dimaksudkan agar novel yang biasanya kita baca berhari-hari sesuai dengan durasi yang telah disepakati (biasanya 1 jam 30 menit sampai 2 jam 45 menit). Akibat durasi ini, sutradara yang mengadaptasi sebuah novel, mengurangi bagian-bagian cerita yang sekiranya terlalu bertele-tele atau kurang sesuai dengan keinginannya. Sedangkan penambahan adegan dilakukan biasanya dilakukan agar meraik perhatian penonton dan sesuai kebutuhan pasar (segi ekonomi). Ketika seorang pembuat film mengadaptasi sebuah novel, dia bukan mengubah seluruh novel ke dalam film yang akan ia buat karena novel hanya dipandang sebagai sumber/bahan utama. Jadi, sangat mungkin terjadi perbedaan
13
antara novel dengan film dari segala segi walaupun mungkin ada hal yang sama. Karena hal itu diperbolehkan, makan terkadang kita mengetahui bahwa seorang pembuat film sama sekali belum atau tidak membaca novel yang akan ia layarputihkan tetapi hanya diceritakan oleh penulis skripnya. Itulah mengapa kualitas antara novel dengan film tidak dapat dibandingkan (Bluestone, 1956: 62).
1.5 Tinjauan Pustaka Penggunaan film sebagai bahan skripsi telah dilakukan oleh Agus Hermawan pada tahun 2009 yang berjudul Klasifikasi Penyampaian Pesan dalam Lima Film Paris Je T’aime yang membahas tentang penyampaian arti cinta dalam kelima film tersebut menggunakan teori récit filmique dari André Gardies. Teori tersebut menganalisis scene dan transkrip film. Pada tahun 2004, terbit tesis dari mahasiswa S2 bernama Karkono yang mengangkat
judul
Ayat-ayat
Cinta:
Kajian
Ekranisasi.
Saudara
Karkono
menganalisis perubahan yang terjadi murni dengan menggunakan teori ekranisasi dengan sedikit menyinggung nilai-nilai moral dalam kehidupan di dalam novel. Di tahun 2013, Putri Devianita menulis skripsi yang berjudul Transformasi Novel Moderato Cantabile Karya Margeurite Duras ke dalam Film Karya Sutradara Peter Brook. Putri melakukan analisis ekransasi dengan melihat secara detail pengurangan dan penambahan adegan serta meninjau dari segi semiotika. Dari tinjauan pustaka di atas, belum pernah ada yang membahas tentang AspekAspek Perubahan Adegan dalam Film Une Partie de Campagne Karya Sutradara
14
Jean Renoir diangkat dari Cerpen Karya Guy de Maupasant (Sebuah Analisis Ekranisasi) sehingga penelitian ini layak dilakukan. 1.6 Metodologi Penelitian Metode penelitian ini terbagi menjadi beberapa tahap. Tahap pertama adalah tahap pengumpulan data dari objek material. Tahapan pertama mengunakan teknik pembacaan heuristik untuk memahami alur cerita, latar dan penokohan pada cerpen UPdC. Kemudian menonton film UPdC secara berulang dan capturing scene untuk mendapatkan bagian-bagian adegan yang memuat perbedaan antara film dengan cerpen maupun adegan tambahannya. Teknik capturing juga digunakan untuk mendapatkan penggambaran karakter dan penggambaran latar dalam film. Pembuatan alur cerita cerpen dan film dilakukan untuk mendapatkan garis besar perbedaan alur cerita dan juga dilakukan pengklasifikasian aspek-aspek penambahan dan penciutan adegan ke dalam kartu data untuk memudahkan penelitian. Pembuatan transkrip dialog film dilakukan sebagai pembanding dengan dialog yang terjadi di dalam cerpen karena dari dialog yang terjadi, kita dapat melihat kecocokan maupun perbedaan antara kedua media tersebut dan yang terakhir adalah analisis data dan pengambilan kesimpulan.
1.7 Sistematika Penyajian Dalam penelitian ini akan disajikan tiga bab. Bab I akan menjelaskan tentang latar belakang penulisan, rumusan permasalahan berikut dengan pertanyaan
15
penelitian, Landasan teori yang meliputi teori ekranisasi George Bluestone dan teori aspek sinematika untuk menilai sebuah film yang ditulis oleh Joseph M. Boggs. Kemudian tinjauan pustaka untuk membuktikan bahwa penelitian tentang AspekAspek Perubahan Adegan dalam Film Une Partie de Campagne Karya Sutradara Jean Renoir diangkat dari Cerpen Karya Guy de Maupasant (Sebuah Analisis Ekranisasi) belum pernah dilakukan dalam ruang lingkup Universitas Gadjah Mada. Metodologi penelitian yang menjelaskan tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Bab II akan menyajikan alur cerita dalam cerpen kemudian alur cerita dalam film agar lebih mudah ketika dibandingkan dan diteliti perubahan-perubahan yang terjadi antara keduanya di dalam sub-bab berikutnya. Sub-bab berikutnya akan dijelaskan bahwa penciutan dan penambahan adegan juga memiliki aspek-aspek perubahan, tidak hanya dari segi durasi, kebutuhan film, tetapi juga aspek sinematik serta penempatan kamera untuk membuat film menjadi menarik untuk ditonton. Bab III merupakan bab terakhir dalam penelitian ini yang akan berisi tentang kesimpulan penelitian, yaitu kesimpulan dari data-data yang telah dianalisis baik dari novel maupun dari film yang dapat menjawab pertanyaan penelitian yang telah dipaparkan pada poin sebelumnya.