BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pesawat terbang merupakan sebuah alat transportasi udara yang berteknologi canggih dan telah memiliki peranan penting pada abad ini. Seseorang dapat melakukan perjalanan jauh dengan menggunakan pesawat terbang dalam waktu yang cukup singkat. Pesawat terbang adalah pesawat udara yang lebih berat dari udara, bersayap tetap, dan dapat terbang dengan tenaga sendiri (UU Penerbangan RI No 1, 2009). Pesawat terbang di kemudikan oleh seorang ahli terbang atau penerbang yang biasa dikenal dengan sebutan pilot. Pilot secara umum adalah suatu profesi yang bertugas untuk menerbangkan pesawat dengan memiliki kualifikasi dan sebuah lisensi khusus untuk menerbangkan pesawat tersebut (Merriam Webster Online Dictionary, 2012). Pilot yang menentukan segala hal dalam sebuah misi penerbangan baik sebelum lepas landas (take off), selama di udara, dan ketika mendaratkan pesawat (landing). Pilot dengan kata lain merupakan penanggung jawab utama selama misi penerbangan berlangsung (Rosadi & Mawardi, 2008). Secara umum, terdapat empat macam pilot pesawat, diantaranya pilot pesawat pribadi, pilot pesawat komersil atau sipil, pilot pesawat militer, dan pilot pesawat ulang-alik (Wikipedia The Free Encyclopedia, 2012). Profesi sebagai pilot memiliki banyak tuntutan untuk memenuhi tanggung jawabnya. Timm menerangkan dalam artikelnya, untuk menjadi seorang pilot harus memiliki
perception
skills,
logic
skills,
dan
communication
skills
(http://www.ehow.com/list_6527160_skills-do-need-become-pilot_.html). Pilot dituntut untuk selalu disiplin, bermental kuat, memiliki endurance jangka panjang, dan memiliki motivasi tinggi untuk terbang (Craig, 1992; Foo, 2012). Pilot dapat diartikan sebagai
1
2 seseorang yang harus memiliki ketahanan fisik yang baik dan prima tentunya menyangkut kemampuan psikomotorik, kognitif dan daya konsentrasi yang tinggi. Pilot yang baik adalah pilot yang berusaha untuk terbang sesuai dengan prosedur, baik prosedur yang sudah dibuat oleh pemerintah atau regulator, maupun prosedur yang dibuat oleh maskapai tempat ia bekerja (Rosadi & Mawardi, 2008). Craig (1992) menambahkan agar seseorang layak disebut sebagai pilot yang baik, ia harus memiliki sifat yang disebut airmanship. Airmanship merupakan kemampuan seorang pilot dalam menggabungkan pengetahuan (knowledge), kemampuan (skill), dan pengalamannya (experience) yang menyebabkan dirinya dapat selalu membuat keputusan yang baik dalam segala situasi. Seorang pilot yang memiliki sifat airmanship dapat diandalkan dalam menghadapi berbagai situasi, memiliki kemampuan pengambilan keputusan yang baik, punya landasan pengetahuan yang kuat dalam mengambil keputusan, dan mampu mengumpulkan berbagai informasi sebelum mengambil keputusan, sehingga dipercaya dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, pesawat, beserta awak dan para penumpangnya (Craig, 1992). Airmanship merupakan suatu tuntutan umum yang harus dipenuhi oleh seorang pilot, masih terdapat tuntutan-tuntutan lain yang harus dipenuhi oleh seorang pilot tergantung macam profesinya secara lebih spesifik. Pedoman Awak Pesawat Garuda Indonesia (2001) mencatatkan beberapa standar yang harus dipenuhi seorang pilot pesawat sipil atau komersil diantaranya adalah kemampuan teknikal (kemampuan menerbangkan pesawat dan memahami karakteristik pesawat), kemampuan manajerial (bekerja dalam tim, komunikatif, koordinatif), dan kemampuan konseptual (pengambilan keputusan dalam berbagai situasi). Standar-standar tersebut harus dipenuhi seorang pilot pesawat komersil karena ia memiliki beberapa kelebihan tersendiri bila dibandingkan dengan pilot pesawat lain. Kelebihan tersebut diantaranya pertama, seorang pilot pesawat komersil tidak akan
3 mengoperasikan pesawatnya sendiri, ia akan bekerja sama dengan pihak luar dan dalam yang meliputi ATC (Air Traffic Controller), rekan sesama pilotnya, teknisi, hingga pramugara/pramugari sebagai awak kabin pesawat. Hal inilah seorang pilot dituntut harus memiliki kemampuan komunikasi dan manajerial yang sangat baik. Kedua, pilot pesawat komersil akan melayani dan bertanggung jawab penuh terhadap penumpang yang dibawanya beserta barang bawaan mereka. Terakhir, pilot turut bertanggung jawab penuh dalam menjaga nama baik perusahaan atau maskapai tempat ia bekerja di mata para pelanggan mereka (Basic Operations Manual Garuda Indoneisa, 2007). Pesawat sipil atau komersil dalam sebuah misi penerbangannya, terdapat dua atau tiga orang pilot yang bertugas di dalamnya untuk mengoperasikan pesawat tersebut, yaitu seorang kapten yang memimpin misi penerbangan, lalu dibantu oleh seorang first officer yang lebih sering kita kenal dengan sebutan co-pilot, lalu kapten lain yang terkadang ikut dalam misi penerbangan tersebut. Kapten adalah suatu jabatan yang dimiliki oleh seorang pilot yang telah memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang telah ditentukan oleh negara dan perusahaan yang bersangkutan. Seorang kapten dalam suatu misi penerbangan biasanya memiliki fungsi sebagai seorang pilot in command sebagai orang yang memiliki otoritas utama dalam sebuah misi penerbangan baik menyangkut pengoperasian pesawat bahkan keselamatan pesawat (Speciale & Venhuizen, 2007). Hal ini berlaku pada beberapa maskapai penerbangan sipil atau komersil lainnya, Basic Operations Manual Garuda Indonesia (2006) juga menyebutkan pilot in command adalah pemimpin dari sebuah misi penerbangan yang telah memiliki kualifikasi sebagai kapten dalam misi penerbangan tersebut. Pilot in command dengan kata lain seorang penanggung jawab utama dari suatu misi penerbangan dan kesuksessannya dalam bertugas dilihat dari kemampuannya dalam menjaga keselamatan dan keamanan misi penerbangan tersebut.
4 Basic Operations Manual Garuda Indonesia (2006) menyebutkan First Officer atau co-pilot merupakan pilot kedua dari sebuah misi penerbangan yang bekerja dalam satu tim dengan pilot in command beserta kru lainnya selama penerbangan berlangsung. Seorang first officer atau co-pilot dengan kata lain memiliki fungsi second in command dibawah naungan pilot in command dalam sebuah misi penerbangan. Belakangan ini integritas para pilot sedang terganggu dengan disebabkan banyaknya kasus kecelakaan yang menimpa sarana transportasi udara khusunya di penerbangan sipil atau komersil, baik kecelakaan kecil (incident), maupun kecelakaan besar (accident) yang telah terjadi. Kecelakaan pesawat terbang merupakan sebuah fenomena yang cukup mengkhawatirkan. Jumlah kasus kecelakaan pesawat terbang kian meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini dibuktikan oleh catatan data dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) yang terbaru menunjukkan bahwa dari tahun 2007 hingga 27 Desember 2012 telah terjadi 140 kecelakaan pesawat dan memakan korban sebanyak 387 jiwa, yang meliputi 303 korban tewas dan 84 mengalami luka-luka atau cedera. Menurut data investigasi KNKT selama ini, penyebab terbesar kecelakaankecelakaan tersebut adalah akibat kesalahan manusia atau human error (60,71%), disusul dengan masalah teknis (32,86%), lalu lingkungan (6,43%). Hal ini juga didukung oleh Helmreich dan Foushee (dalam Krivonos, 2007) yang mencatat dalam penelitiannya bahwa human error merupakan penyumbang kecelakaan pesawat terbesar yaitu sebanyak 70%. Human error dalam dunia penerbangan dan realitas kehidupan publik sangat terkait erat dengan incident maupun accident. Definisi human error dalam dunia penerbangan adalah perilaku manusia yang menyimpang yang dapat menurunkan tingkat sistem efektifitas dan keselamatan atau keamanan yang berpotensi menyebabkan kecelakaan atau cedera (http://carrielee.net/pdfs/HumanError.pdf). Human error pada kecelakaan pesawat dapat ditujukan kepada beberapa pihak seperti kepada pilot, pegawai Air Traffic Controller
5 (ATC), ataupun teknisi pesawat (Hawkins, 1995). Human error pada kecelakaankecelakan pesawat dapat terjadi akibat salah satu ataupun gabungan dari beberapa faktor manusia di atas, baik pilot, teknisi, hingga pihak manajemen. Craig (1992) menegaskan bahwa pilot sebagai operator pesawatlah penyumbang human error terbesar dalam kecelakaan yang telah terjadi selama ini. Istilah yang terkait dengan human error dan banyak digunakan dalam dunia aviasi yaitu pilot error. Federal Aviation Adminsitration (2006) pilot error merupakan bentuk sebutan dari kesalahan yang dilakukan oleh pilot pada pesawat, yang secara formal didefinisikan sebagai suatu tindakan sengaja maupun tidak sengaja yang mengarah ke penyimpangan dari maksud dan tujuan. Penggunaan istilah ini ditujukan pada kesalahan yang dilakukan pilot pada saat mengoperasikan pesawat, tidak saja saat di udara tetapi juga ketika di darat. Craig (1992) menambahkan pilot error sebagai hasil dari pengambilan keputusan seorang pilot dalam mengambil risiko yang jauh lebih besar daripada kemampuan menangani yang ia miliki. Seorang pilot dapat menimbang suatu risiko terutama dari tingkat pengalaman (experience), pengetahuan (knowledge), dan keahlian (skill) yang dimilikinya. Kecelakaan pesawat biasanya terjadi bila seorang pilot gagal membandingkan pengalaman (experience), pengetahuan (knowledge), dan keahliannya (skill) dengan keadaan berisiko yang dihadapinya. Keadaan berisiko yang dimaksud dapat bersumber dari cuaca, keadaan pesawat, maupun pilot itu sendiri. Pilot error sendiri disebabkan oleh beberapa hal seperti keletihan, sakit, mengkonsumsi alkohol, komunikasi yang tidak efektif dan stres, baik stres akibat pekerjaan maupun stres akibat masalah lainnya (Foo, 2012). Craig (1992) menegaskan bahwa stres dianggap sebagai silent killer bagi pilot, pesawat udara, dan penumpang yang dibawanya. Stres pada tahap yang berlebihan atau akumulasi dari berbagai stres dianggap sebagai penyebab pilot error yang paling besar, hal ini disebabkan apabila tekanan stres
6 yang dialami seorang pilot berada di atas kemampuan sang pilot untuk menghadapinya, maka hal ini akan menurunkan kinerja dari pilot tersebut. Dampak penurunan kinerja tersebut selanjutnya dapat berpotensi menimbulkan konsekuensi negatif dalam penerbangannya, termasuk meningkatnya potensi terjadinya kecelakaan (Thom, 1994). Kondisi stres pada pilot dapat menimbulkan rasa panik, takut, dan hilangnya rasa percaya diri mengakibatkan suatu pekerjaan yang sebelumnya dapat ditangani menjadi sulit ditangani atau bahkan tidak dapat ditangani sama sekali. Hal ini yang mengakibatkan seorang pilot baik atau pilot yang memiliki keahlian di atas rata-rata, terkadang dapat membuat keputusan yang salah (bad decision) saat mereka mengalami stres (Craig, 1992). Gejala dominannya human error dalam kecelakaan pesawat ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia, bahkan juga terjadi di seluruh dunia. Survey yang dilakukan salah satu perusahaan manufacture pesawat terbang, Boeing (2004) terhadap kecelakaan yang terjadi pada maskapai penerbangan sipil dunia dari tahun 1959 – 2004 menunjukkan bahwa kecelakan-kecelakaan pesawat yang terjadi akibat flight crew error yang terdiri dari kapten dan co-pilot (56%), kerusakan pesawat (17%), cuaca buruk (13%), Air Traffic Control (4%), Maintenance (4%), dan lainnya (6%). Banyak sekali kecelakaan pesawat terbang yang terjadi terutama di Indonesia yang sering mengundang banyak tanya. Hal tersebut tentu saja tidak bisa dijelaskan dengan singkat, karena suatu kecelakaan pesawat terbang tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui atau melewati proses yang panjang. Berdasarkan teori Rosadi & Mawardi (2008) kecelakaan dapat terjadi akibat banyaknya rangkaian kesalahan atau rantai kesalahan yang tercipta, kecelakaan tersebut tidak akan terjadi hanya karena satu kesalahan. Untuk menghindari terjadinya kecelakaan, sebaiknya memutuskan rantai kesalahan tersebut seawal mungkin sebelum mendekati keadaan yang paling membahayakan.
7
Kesa lahan
Kesa lahan
Kesa lahan
Kesa lahan
BAHAYA /KECEL AKAAN
Gambar 1: Konsep Rantai Kesalahan Gambar diatas menjelaskan bahwa semakin banyak kesalahan yang dilakukan atau ditimbulkan, maka kesalahan-kesalahan tersebut akan menimbulkan sebuah rantai kesalahan, yang pada akhirnya menyebabkan bahaya yang mengarah pada kecelakaan. Decision making seorang pilot sangat dibutuhkan pada kasus ini, sesuai yang diutarakan oleh Moore, seorang pilot dituntut dapat membuat sebuah keputusan yang cepat dan tepat untuk
menghindari
terjadinya
error
atau
kecelakaan
tersebut.
(http:/www.ehow.com/search.html?s=Personal+Qualities+of+a+Commercial+Pilot&skin= money&t=all). Ketika menghadapi situasi kritis, pilot dituntut untuk menggunakan kemampuan manajerial, komunikasi, dan good judgment-nya sebelum membuat sebuah keputusan (Foo, 2012). Disamping kemungkinan seorang manusia melakukan error, manusia juga dapat menghindari terjadinya error tersebut, atau mengurangi dampak dari error yang telah terjadi dengan berbagai kemampuan yang ia miliki. Disamping besarnya data statistika mengenai kecelakaan pesawat yang diakibatkan oleh human error, khususnya pilot error, ada beberapa peristiwa-peristiwa nyata yang pernah terjadi dimana di dalam peristiwa tersebut seorang pilot mampu menyelamatkan pesawat beserta orang-orang di dalamnya dari potensi kecelakaan kecil (incident) maupun kecelakaan besar (accident) secara keseluruhan atau setidaknya dapat mengurangi dampak dari kecelakaan tersebut.
8 Hal ini dapat dilihat pada peristiwa pesawat Airbus A320 maskapai Batavia Air pada tanggal 15 Juli 2010 rute Pekanbaru – Jakarta yang mengangkut 186 orang penumpang yang nyaris mengalami kecelakaan akibat kerusakan mesin pesawat dan mengakibatkan sistem keseimbangan pesawat terganggu. Pilot pesawat tersebut berhasil melakukan pendaratan darurat dengan selamat di landasan pacu bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru, Riau, dengan posisi mengerem dan mesin pesawat dimatikan (DetikNews, 2010). Selain itu, ada peristiwa pesawat MD 90 milik Lion Air penerbangan JT 972 jurusan Medan – Batam, dimana pilot terpaksa melakukan holding selama 1 jam untuk menghabiskan bahan bakar pesawat dikarenakan roda depan pesawat yang tidak mau keluar, sehingga pada akhirnya pilot terpaksa melakukan pendaratan darurat di Bandara Hang Nadim Batam dalam kondisi pesawat tersebut mendarat tanpa roda depan (DetikNews, 2009). Terakhir, masih dalam ingatan kita peristiwa pesawat Boeing 737 milik maskapai Garuda Indonesia pada tanggal 16 Januari 2002 dengan rute Mataram – Yogyakarta yang mengangkut 54 penumpang, dimana pilotnya berhasil melakukan pendaratan darurat di sungai Bengawan Solo ketika pesawat menghadapi hujan badai dan tiba-tiba kedua mesin pesawat tersebut mati mendadak di ketinggian 23.000 kaki (news.liputan6.com, 2002), dan tentunya masih banyak beberapa peristiwa penyelamatan lainnya di Indonesia. Beberapa contoh kasus nyata tersebut, dapat dilihat peran yang luar biasa dari pilot dalam menyelamatkan pesawat beserta para kru dan penumpangnya. Tanggung jawab seorang pilot, khusunya seorang kapten selaku pilot in command dalam misi penerbangan terhadap suatu kecelakaan pesawat ternyata tak hanya muncul bila kesalahan berasal dari dirinya saja (pilot error). Regulasi penerbangan internasional menegaskan apabila pegawai ATC atau teknisi pesawat membuat kesalahan, maka pilot harus turut bertanggung jawab bila ada kecelakaan yang terjadi (Craig, 1992). Pilot memiliki tanggung jawab bersama
9 dengan pegawai ATC atau teknisi pesawat dalam pengambilan keputusan selama misi penerbangan. Hal ini menunjukkan begitu besar tanggung jawab yang diemban seorang kapten pilot atau dengan kata lain pilot in command untuk menjaga keselamatan pesawat dan orang-orang di dalamnya. Hasil wawancara pribadi dengan seorang kapten pilot pada tanggal 18 Februari 2013, peneliti memperoleh informasi bahwa setiap pilot selama menjalani profesinya, pasti pernah mengalami situasi abnormal atau kritis baik itu sifatnya kecil maupun besar, oleh karena itu pilot dituntut dapat membuat sebuah keputusan yang cepat dan tepat untuk menangani situasi kritis tersebut. Situasi berbahaya atau kritis tersebut seperti menghadapi cuaca yang buruk, roda pesawat yang tidak mau keluar, mesin pesawat mati, situasi menghindari tabrakan pesawat, penumpang yang sakit, dan situasi berbahaya lainnya. “Situasi kritis” merupakan istilah yang biasa digunakan dalam dunia penerbangan untuk menggambarkan situasi abnormal atau berbahaya. Situasi kritis didefinisikan oleh Basic Operations Manual Garuda Indonesia (2007) sebagai keadaan-keadaan berbahaya yang mengancam keselamatan pesawat udara beserta orang-orang di dalamnya. Hal-hal yang termasuk situasi kritis diantaranya pembajakan, ancaman bom, kerusakan mesin, kerusakan roda pesawat, dan cuaca buruk. Belakangan ini banyak penelitian dilakukan untuk mencari tahu mengapa kecelakaan pesawat dapat terjadi baik dari sudut pandang kinerja atau performa pilot maupun dari segi keamanan pelayanan sebuah maskapai penerbangan. Media massa maupun literatur belakangan ini banyak berbicara mengenai mengapa kecelakaan pesawat dapat terjadi, dalam penelitian ini akan mencoba mencari tahu hal yang berkebalikan dengannya, yaitu mengapa seorang pilot mampu menyelamatkan pesawatnya dan dapat menghindari potensi kecelakaan tersebut.
10 Craig (1992) dan Hawkins (1995) berpendapat, sebenarnya terdapat berbagai faktor yang menyebabkan seorang pilot mampu menyelamatkan pesawat dan orang-orang di dalamnya dari kondisi yang membahayakan. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan seorang pilot mengkoreksi error baik yang ia sebabkan sendiri maupun pihak lain diantaranya adalah pengetahuan, keahlian, pengalaman, kepribadian, hingga berbagai soft skill yang dianggap berperan penting bagi pilot dalam menjalankan tugasnya seperti risk management, stress management, komunikasi, motivasi, asertivitas, bahkan leadership. Sejauh ini literatur dan penelitian mengenai bagaimana pilot dapat menghadapi situasi kritis banyak berfokus pada panduan teknis penanganan pesawat maupun proses pengambilan keputusan dan coping dalam situasi kritis. Masih sedikit sekali ditemukan adanya penelitian yang menggambarkan bagaimana keseluruhan pengalaman yang dirasakan oleh seorang pilot itu sendiri, dan bagaimana gambaran perasaanya pada saat itu sehingga turut berkontribusi terhadap pengambilan keputusan pada pilot yang berhasil menyelamatkan pesawat maupun orang-orang di dalamnya dari situasi kritis, sehingga terhindar dari kecelakaan fatal yang dapat merengut nyawa sang pilot, para penumpang, dan awak kabinnya. Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini berjudul pengambilan keputusan pilot penerbangan komersil dalam menyelamatkan pesawat dari situasi kritis. B. Rumusan Masalah Kemampuan menyelamatkan pesawat dari situasi kritis sangat penting dimiliki seorang pilot, tak terkecuali pada penerbangan komersil yang mengangkut banyak nyawa para penumpang dan awak kabinnya. Namun demikian, proses penyelamatan pesawat pada masing-masing pilot yang mengalamniya akan berbeda-beda karena dipengaruhi beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain, coping, kepribadian, leadership, dukungan sosial, komunikasi, motivasi, asertivitas dan lain-lain. Berdasarkan permasalahan tersebut, peneliti
11 ingin mengetahui dan memahami bagaimana proses pengambilan keputusan pilot yang mampu menyelamatkan pesawatnya dari situasi kritis beserta pemaknaan subyektif pilot tersebut. C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memahami proses pengambilan keputusan dan pemaknaan subyektif pada pilot penerbangan komersil terhadap peristiwa penyelamatan pesawat dari situasi kritis. D. Manfaat Penelitian Memberikan dan menambah khasanah mengenai penanganan situasi kritis dalam dunia penerbangan yang selama ini hanya didominasi oleh langkah-langkah teknis. Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran pengalaman pilot secara mendetail dalam menghadapi situasi kritis, tidak sekedar langkah-langkah teknis yang diambil, tetapi juga gambaran pikiran dan perasaan saat itu, dan bagaimana hal-hal tersebut dapat berkontribusi terhadap pengambilan keputusan pilot dalam menyelamatkan pesawat. Pemaknaan peristiwa yang digali dari pilot juga diharapkan mampu memberikan gambaran dampak peristiwa tersebut bagi pilot yang mengalaminya. Dengan diketahui pemaknaannya, diharapkan dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang terkait untuk membantu pasca peristiwa yang telah mereka alami apabila terdapat masalah psikologis.