1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Kebijakan desentralisasi pemerintahan berupa otonomi daerah merupakan momen penting bagi pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam mengurus rumah tangga daerahnya, terutama dalam melakukan reformasi di berbagai bidang pembangunan. Mengingat kebijakan desentralisasi pemerintahan tersebut memberikan wewenang sepenuhnya kepada daerah untuk mengelola rumah tangganya,
maka
pemerintah
Provinsi
Sulawesi
Selatan
diwajibkan
memformulasikan kebijakan yang menjadikan pembangunan ekonomi sebagai tujuan akhirnya. Sebagai penyelenggara utama pembangunan di daerah, pemerintah daerah berperan sebagai pelaksana dan penanggung jawab utama atas keseluruhan proses pembangunan yang dilaksanakan di daerah, yaitu dalam kerangka investasi, penyediaan barang dan pelayanan publik. Semua ini harus dilakukan secara benar, sehingga tujuan desentralisasi yaitu meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan dan akuntabilitas pemerintahan, dapat dicapai secara terukur (Bappenas, 2007). Selain kebijakan desentralisasi pemerintahan, tuntutan untuk memajukan dan menjaga stabilitas ekonomi daerah juga mengharuskan pemerintah mencari formula
untuk
menjamin
terciptanya
pertumbuhan
ekonomi
yang
berkesinambungan guna mencapai pembangunan ekonomi yang lebih baik. Investasi telah menjadi salah satu variabel penting dalam mendorong terciptanya pembangunan ekonomi. Upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, penciptaan lapangan kerja baru, serta penanggulangan
2
kemiskinan pada akhirnya menempatkan investasi sebagai mesin penggerak utama mengingat perekonomian yang digerakkan oleh konsumsi diakui amat rapuh terutama pasca krisis yang melanda Indonesia di tahun 1998. Investasi mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru, dan hal itu menyebabkan persediaan modal bertambah (Mankiw, 2007:186). Pertambahan investasi kemudian akan berdampak pada kenaikan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat berkembang dengan adanya pertambahan faktor-faktor produksi, terutama penambahan peralatan produksi dan perbaikan faktor-faktor produksi tersebut. Pengerahan atau mobilisasi dana tabungan guna menciptakan bekal investasi dalam jumlah yang memadai dibutuhkan untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2003:113). Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebuah daerah, sumber-sumber pembiayaan bisa berasal dari ekspor, bantuan luar negeri, investasi asing dan tabungan domestik (Kuncoro, 1997:215). Adapun alokasi modal yang kita kenal sebagai investasi, utamanya berasal dari dua sumber yakni baik PMDN maupun PMA. Investasi yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri akan memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Peningkatan investasi tidak hanya menaikkan permintaan agregat, tetapi juga menaikkan penawaran agregat melalui pengaruhnya terhadap kapasitas produksi. Dalam perspektif waktu yang lebih panjang, investasi meningkatkan stok kapital dan setiap penambahan stok kapital akan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
menghasilkan
output
yang
pada
gilirannya
dapat
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu pusat perekonomian di Kawasan Timur Indonesia. PDRB Provinsi Sulawesi Selatan tiap tahunnya selalu
3
mengalami peningkatan. PDRB Provinsi Sulawesi Selatan atas dasar harga konstan selama kurun waktu 2006-2010 masing-masing sebesar Rp. 38,867 triliun pada tahun 2006, Rp. 41,332 triliun pada tahun 2007, Rp. 44,549 triliun pada tahun 2008, Rp. 47,326 triliun pada tahun 2009 dan Rp. 51,197 pada tahun 2010. Berdasarkan angka-angka PDRB tersebut, PDRB Provinsi Sulawesi Selatan tiap tahun terus mengalami peningkatan, sejalan dengan proses membaiknya kondisi ekonomi. Gambaran nilai PDRB Provinsi Sulawesi Selatan ditunjukkan oleh Tabel 1.1 di bawah ini. Tabel 1.1 PDRB Provinsi Sulawesi Selatan Atas Harga Konstan Tahun 2006-2010 No.
Keterangan
2006
2007
2008
2009
2010
1
Nilai PDRB (Triliun Rupiah)
38,867
41,332
44,549
47,326
51,197
2
Pertumbuhan Ekonomi (%)
6,72
6,34
7,78
6,23
8,18
Sumber: BPS, Sulawesi Selatan dalam Angka
Jika dilihat dari pertumbuhan ekonomi, Provinsi Sulawesi Selatan cenderung masih berfluktuatif tiap tahunnya. Jika pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan sempat melambat menjadi 6,34 persen, yang sebelumnya pada tahun 2006 tumbuh sebesar 6,72 persen. Namun, kembali naik sebesar 7,78 persen pada tahun 2008, akan tetapi kembali melambat menjadi 6,23 persen pada tahun 2009. Kemudian naik kembali menjadi 8,18 persen pada tahun 2010. Salah satu cara untuk meningkatan PDRB adalah dengan meningkatkan nilai investasi yang masuk tiap tahunnya. Hal ini dikarenakan semakin tinggi tingkat investasi maka semakin tinggi pula tingkat pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan. Dengan demikian, peningkatan investasi akan menjadi salah satu sumber pertumbuhan ekonomi. Selain dapat memacu pertumbuhan ekonomi, investasi juga memiliki multiplier effect bagi kegiatan ekonomi masyarakat. Selain
4
itu investasi juga dapat meningkatan kesempatan kerja, sehingga angka pengangguran dapat dikurangi. Dalam jangka panjang akumulasi investasi dapat memberikan dorongan terhadap perkembangan berbagai aktivitas ekonomi terutama
dalam
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
wilayah
yang
bersangkutan. Angka realisasi investasi yang masuk tiap tahunnya mengindikasikan bahwa kondisi Perekonomian Sulawesi Selatan cukup menarik bagi para investor. Realisasi investasi yang berasal dari modal asing maupun modal dalam negeri menunjukkan angka yang variatif, ditunjukkan pada Tabel 1.2. Tabel 1.2 Perkembangan Nilai Investasi PMA dan PMDN Provinsi Sulawesi Selatan Periode Tahun 2006-2009 PMDN (Miliar PMA (Juta Tahun Rupiah) US$) 2006 2.362 680 2007 244,7 141,4 2008 1.211 611,6 2009 4.506,40 109,2 Sumber: Indikator Makroekonomi Sulawesi Selatan, 2009
Kondisi Investasi di Provinsi Sulawesi Selatan selama periode tahun 20062009 terbilang masih berfluktuatif. Untuk nilai realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) misalnya, pada tahun 2006 sebesar US$ 680 juta, kemudian turun menjadi US$ 141,4 juta pada tahun 2007, naik lagi menjadi US$ 611,6 juta pada tahun 2008 dan kembali turun pada tahun 2009 menjadi US$ 109,2 juta. Sedangkan nilai Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) pada tahun 2006 sebesar Rp. 2.362 kemudian turun pada tahun 2007 menjadi Rp. 244,7 milyar, lalu meningkat lagi pada tahun 2008 menjadi Rp. 1.211 miliar dan meningkat menjadi Rp 4.506,4 milyar pada tahun 2009.
5
Melihat kondisi pertumbuhan ekonomi dan investasi yang cenderung berfluktuasi tiap tahunnya, pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan kemudian diharuskan berupaya untuk memformulasikan kebijakan agar investasi yang masuk dapat bekerja secara efisien. Artinya bahwa nilai investasi tiap tahunnya tidak hanya besar dari segi jumlah, akan tetapi juga efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi tiap tahunnya. Terlebih lagi kondisi yang terjadi di sebagian besar daerah di Indonesia termasuk Provinsi Sulawesi Selatan yang memiliki APBD yang tidak berpihak kepada pembangunan daerah. Dari nilai total APBD Provinsi Sulawesi Selatan dalam beberapa tahun terakhir ditemukan bahwa sekitar 52,3 persen digunakan untuk belanja pegawai, artinya bahwa kurang dari 40 persen dari total APBD Provinsi Sulawesi Selatan digunakan untuk belanja modal (rakyatsulsel.com, 2012). Hal ini tentu tidak terlalu menarik untuk didengar dimana seharusnya ketika desentralisasi pemerintahan telah diberlakukan, belanja pegawai haruslah lebih kecil karena belanja modal yang dibutuhkan untuk membangun daerah semakin besar. Hal ini kemudian mengindikasikan bahwa dibutuhkan alternatif pembiayaan lain guna membiayai pembangunan di Provinsi Sulawesi Selatan mengingat kapasitas fiskal Provinsi Sulawesi Selatan yang sangat terbatas. Investasi kemudian dilirik untuk menjadi solusi atas permasalahan tersebut. Investasi yang dibutuhkan tidak hanya besar dari segi jumlah, akan tetapi dapat bekerja secara efisien guna mencapai pertumbuhan ekonomi yang akseleratif tiap tahunnya guna mewujudkan pembangunan ekonomi daerah. Efisien tidaknya investasi yang masuk ke Provinsi Sulawesi Selatan sangat bergantung kepada setiap kebijakan yang diambil guna mendorong masuknya investasi. Kebijakan yang memberi kemudahan kepada investor kemudian akan membuat investasi dapat bekerja secara efisien dalam mendorong pertumbuhan
6
ekonomi. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi munculnya rencana penelitian yang berjudul “Analisis Efisiensi Investasi Provinsi Sulawesi Selatan”.
7
1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah tingkat efisiensi investasi yang masuk ke Provinsi Sulawesi Selatan periode tahun 2000-2009? 2. Bagaimanakah gambaran umum kebijakan pendukung masuknya investasi di Provinsi Sulawesi Selatan?
1.3. Tujuan dan Kegunaan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui seberapa besar tingkat efisiensi investasi Provinsi Sulawesi Selatan pada periode tahun 2000-2009. 2. Untuk mengetahui gambaran umum kebijakan pendukung masuknya investasi di Provinsi Sulawesi Selatan.
Kegunaan dari penelitian ini adalah: 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam hal pengimplementasian kebijakan investasi. 2. Sebagai bahan studi dan tambahan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa Fakultas Ekonomi terutama Jurusan Ilmu Ekonomi yang ingin melakukan penelitian selanjutnya. 3. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan penulis khususnya dibidang ekonomi perencanaan dan pembangunan.
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori Dalam perekonomian suatu negara atau daerah, pembentukan modal merupakan faktor yang sangat menentukan dalam mendukung laju pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang termasuk di dalamnya pertumbuhan ekonomi, memerlukan dana yang cukup besar. Sebab dengan tersedianya dana atau modal dalam jumlah yang cukup untuk realisasi pembangunan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal penting dari pertumbuhan ekonomi adalah bersumber dari peningkatan investasi. Investasi akan mendorong permintaan barang modal dan penyerapan tenaga kerja baru untuk mengaktifkan peningkatan kapasitas pendapatan dan selanjutnya akan meningkatkan permintaan, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi (Bappenas, 2007). Model Harrod Domar mengaitkan adanya pengaruh tambahan stok kapital terhadap output yang dikenal dengan ICOR (Todaro, 2003;115). Perhitungan ICOR sangat dibutuhkan dalam melihat seberapa efisien investasi yang ditanamkan di sebuah daerah pada periode tertentu.
2.1.1. Pengertian dan Peranan Investasi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dalam bahasa makroekonomi, investasi menunjukkan pembelian barang modal baru, baik itu peralatan maupun bangunan (Mankiw, 2007:165). Investasi telah dianggap sebagai salat satu instrumen yang ampuh dalam menggenjot perekonomian sebuah negara atau daerah.
9
Permintaan
investasi
merupakan
komponen
penting
dalam
permintaan agregat dalam teori ekonomi makro (Nicholson, 2001:508). Permintaan terhadap investasi ini sering diasumsikan berhubungan terbalik dengan tingkat suku bunga. Turunnya tingkat suku bunga, cateris paribus, akan mengurangi tingkat sewa modal. Karena suku bunga yang tidak diterima merupakan biaya implisit, maka turunnya tingkat bunga akan mengakibatkan turunnya tingkat sewa. Turunnya tingkat sewa ini kemudian berdampak modal telah relatif lebih murah dan ini kemudian berdampak meningkatnya penggunaan modal dibanding faktor produksi lainnya yang sekarang biayanya relatif lebih mahal. Karena suku bunga merupakan faktor penting dalam menentukan
tingkat
sewa
modal,
turunnya
suku
bunga
akan
menyebabkan naiknya permintaan investasi untuk barang-barang modal. Investasi
adalah
pengeluaran
oleh
produsen
(swasta)
untuk
pembelian barang dan jasa dengan tujuan sebagai penambahan stok barang. Dalam perhitungan pendapatan nasional, pengertian investasi adalah pembentukan modal tetap domestik bruto (Boediono, 1986:78). Pembentukan atau pengumpulan modal dipandang sebagai salah satu faktor utama di dalam pembangunan ekonomi (Jhingan, 2007:338). Investasi juga diartikan sebagai upaya penanaman modal baik langsung maupun tidak langsung dengan harapan pada saatnya nanti pemilik modal akan memperoleh hasil dari penanaman modal tersebut. Dengan kata lain dalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang, fungsi investasi yang meningkatkan produktivitas tidak saja berwujud pabrik dan perlengkapan lainnya, tapi juga berwujud infrastruktur sosial dan ekonomi seperti jalan, listrik, komunikasi dan sebagainya (Todaro, 2003:79).
10
Perdebatan
panjang
untuk
mendorong
perbaikan
kinerja
perekonomian negara-negara berkembang pasca perang dunia kedua telah menyebabkan munculnya pemikiran-pemikiran baru (Todaro, 2003:112). Pendapat tentang pentingnya investasi dalam menunjang pembangunan khususnya di negara berkembang dimulai dengan diternukannya model pertumbuhan oleh beberapa ahli pembangunan seperti Rostow dan Harrod Domar. Menurut Rostow, setiap upaya untuk tinggal landas mengharuskan adanya mobilisasi tabungan domestik dan luar negeri dengan maksud untuk menciptakan investasi yang cukup, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi (Todaro, 2003:113). Menurut Rostow, salah satu syarat penting tinggal landas adalah peningkatan tabungan dan rasio investasi dari 5 persen atau kurang ke 10 persen lebih dari pendapatan nasional dan mempertahankan selama dua dasawarsa atau lebih. Ini merupakan tahap peralihan yang penting menuju swadaya. Mekanisme diarahkan
perekonomian
dengan
pengertian
investasi
yang
kepada usaha mempercepat pertumbuhan ekonomi lebih
banyak diterangkan oleh Sir Roy Harrod dan Evsey Domar yang lebih dikenal dengan model pertumbuhan Harrod-Domar. Mereka berpendapat bahwa pertumbuhan pendapatan nasional secara positif berhubungan dengan rasio tabungan dan sebaliknya secara negatif berhubungan dengan COR atau ICOR (Capital Output Rasio atau Incremental Capital Output Rasio). Asumsi yang digunakan di sini
menunjukkan adanya hubungan
antara peningkatan stok kapital dan kemampuan masyarakat untuk menghasilkan output. Dengan demikian, maka menurut Rostow langkah-
11
langkah untuk pertumbuhan ekonomi dan pembangunan hanya soal meningkatkan tabungan nasional dan investasi. Namun demikian, model pertumbuhan Harrod-Domar di atas, tidak terlepas dari kritik. Alasan utama berlakunya teori tersebut bukan karena tabungan dan investasi bukan merupakan suatu syarat keharusan bagi percepatan tingkat pertumbuhan ekonomi, tetapi karena itu saja tidak cukup (Todaro, 2003:116). Meskipun banyak kritik yang dilancarkan, nampaknya strategi pembangunan tidak dapat melepaskan diri dari kebutuhan menghimpun modal, sehingga kelihatannya ada hubungan yang erat antara pembentukan modal dan pertumbuhan ekonomi. Teori neoklasik dari Robert Solow, ditinjau dari sudut jumlah faktor yang dianalisisnya, lebih lengkap daripada teori Harrod-Domar karena disamping membahas mengenai peranan modal, teori ini menyatakan bahwa secara kondisional, perekonomian berbagai negara akan bertemu pada tingkat pendapatan yang sama, dengan asumsi bahwa negaranegara tersebut mempunyai tingkat tabungan, depresiasi, pertumbuhan angkatan kerja dan pertumbuhan produktivitas yang sama (Todaro, 2003:141). Modifikasi penting dari model pertumbuhan Harrod-Domar adalah bahwa teori neoklasik membolehkan substitusi antara modal dan tenaga kerja. Dalam proses produksi, teori ini mengasumsikan bahwa terdapat hasil yang semakin berkurang dalam penggunaan input-input ini. Sayang sekali, analisis neoklasik masih belum cukup mendalam pembahasannya terhadap peranan ketiga faktor di atas dalam pembangunan, sehingga belum cukup sempurna bagi landasan dalam penyusunan strategi pembangunan di negara berkembang.
12
Teori Romer atau lebih dikenal dengan sebutan model pertumbuhan endogen muncul untuk melengkapi pertanyaan yang belum terjawab pada teori-teori sebelumnya bahwa dalam kondisi mapan, tingkat output tidak akan bertambah lagi meskipun input terus ditambah. Teori ini memiliki kemiripan struktural dengan model neoklasik, namun sangat berbeda dengan asumsi serta kesimpulan yang ditarik darinya. Perbedaan mendasar dari teori ini adalah adanya hasil marjinal yang semakin menurun pada investasi modal, memberikan peluang terjadinya skala hasil yang semakin meningkat (increasing return to scale) dalam produksi agregat. Dengan mengasumsikan bahwa investasi sektor publik dan swasta dalam sumber daya manusia menghasilkan ekonomi eksternal dan peningkatan produktivitas yang membalikkan kecenderungan hasil yang semakin menurun secara alamiah, teori Romer kemudian berupaya menjelaskan keberadaan skala hasil yang semakin meningkat dan pola pertumbuhan jangka panjang yang berbeda-beda antar negara. Dan karena teknologi masih memainkan peranan penting dalam model ini, perubahan eksogen tidak diperlukan lagi untuk menjelaskan pertumbuhan jangka panjang. Teori ini juga menekankan terdapat dua hal penting dalam meningkatkan produktifitas modal, yaitu learning by doing dan learning by investing yang memasukkan faktor modal manusia sebagai faktor
penggerak
pertumbuhan
ekonomi.
Pada
model
pertama,
pertumbuhan modal manusia bergantung pada bagaimana interaksi antara faktor produksi dan akumulasi modal manusia, sedangkan model kedua menekankan bahwa pertumbuhan modal manusia merupakan fungsi yang positif untuk produksi barang baru. Teori ini mengasumsikan bahwa dengan adanya peningkatan modal manusia maka tingkat
13
investasi akan terus berkembang karena kemajuan teknologi yang menjadi salah satu faktor pendorong produktivitas modal hanya dapat digerakkan apabila terdapat sumber daya manusia yang berkualitas.
2.1.2. Peranan Efisiensi Investasi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Efisiensi investasi erat kaitannya dengan kemajuan teknologi (Todaro, 2003:143). Kemajuan teknologi bagi para ahli ekonomi merupakan sumber pertumbuhan ekonomi yang lebih penting serta dapat meningkatkan nilai tambah yang tinggi. Kemajuan teknologi berarti ditemukannya cara berproduksi atau perbaikan produksi. Dalam teori Solow, pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh faktor-faktor produksi yaitu tenaga kerja, modal dan teknologi. Teknologi merupakan salah satu faktor penentu pertumbuhan ekonomi karena dengan adanya teknologi, penggunaan input akan lebih efisien. Penggunaan bibit unggul (input) yang menghasilkan produksi (output) lebih banyak dibandingkan dengan menggunakan bibit biasa merupakan contoh dari adanya kemajuan teknologi. Pengaruh teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini.
14
Gambar 2.1 Pengaruh Teknologi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi
=
O
Sumber: Todaro, 2003
Berdasarkan Gambar 2.1 dapat dilihat bahwa, produksi sebelum adanya kemajuan teknologi dan
adalah fungsi =
adalah fungsi
produksi setelah adanya kemajuan teknologi. Dengan adanya kemajuan teknologi maka akan dapat meningkatkan produktivitas dari input dan pada
akhirnya
akan
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi.
Pada
penelitian ini teknologi diukur lewat efisiensi dan efisiensi diukur dari angka ICOR. Semakin kecil angka ICOR berarti investasi yang dilakukan semakin efisien. Misalnya untuk investasi pada tahun yang sama, di Provinsi Sulawesi Selatan ICOR = 5, sedangkan di Provinsi Sulawesi Tengah ICOR = 4. Hal ini menunjukkan bahwa di Provinsi Sulawesi Selatan, untuk mendapatkan tambahan PDRB Rp.1 diperlukan tambahan investasi sebesar Rp.5, sedangkan di Provinsi Sulawesi Tengah diperlukan tambahan investasi sebesar Rp.4.
Dengan kata lain dapat
dikatakan
Tengah
investasi
di
Provinsi
Sulawesi
lebih
efisien
dibandingkan dengan Provinsi Sulawesi Selatan. Dari contoh ini dapat diambil kesimpulan bahwa angka ICOR yang rendah mencerminkan
15
efisiensi terhadap modal dan dengan adanya efisiensi maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Arsyad, 1988).
2.1.3. Peranan Investasi Terhadap Pembangunan Ekonomi Daerah Perencanaan pembangunan ekonomi daerah yang kokoh bertumpu pada terjadinya saling pengertian antara faktor yang mempengaruhi tingkat dan pertumbuhan ekonomi daerah tersebut (Blakely, 2010:165). Pertumbuhan ekonomi daerah saat ini sebagian besar bersumber dari peningkatan konsumsi baik pemerintah maupun masyarakat (Bappenas,2007) . Pertumbuhan ekonomi daerah yang didorong oleh konsumsi sulit dijaga keberlangsungan dan kestabilannya. Pertumbuhan ekonomi daerah seperti itu tidak menunjukkan struktur perekonomian daerah yang kuat. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan konsumsi
akan
kurang
menciptakan
nilai
tambah
dan
memicu
peningkatan inflasi. Dalam upaya menciptakan pertumbuhan yang lebih berkualitas dan berkelanjutan, perekonomian daerah perlu didukung oleh kegiatan investasi di sektor produktif dan jasa. Dampak pengganda yang diciptakan dari peningkatan investasi adalah meningkatnya pemanfaatan sumberdaya secara optimal dalam kegiatan produksi, berkembangnya kegiatan perdagangan antar daerah, dan terciptanya nilai tambah yang lebih besar. Investasi juga mendorong percepatan perkembangan teknologi informasi, telekomunikasi, dan transportasi. Percepatan ini akan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi mobilitas sumberdaya (bahan mentah, barang modal, dan tenaga kerja) secara lebih mudah dan murah.
16
Percepatan ini juga bermanfaat bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat di daerah. Investasi dapat menjadi pendorong roda perekonomian daerah dan meningkatkan kesejahteraan ketika semua pihak mendapat manfaat maksimal dari aktivitas tersebut. Dalam situasi ini, pengusaha mendapat keuntungan yang memadai untuk melakukan penambahan
modal,
meningkatkan
produktivitas,
meningkatkan
kesejahteraan pekerja, dan melakukan ekspansi usaha. Bagi tenaga kerja dorongan kegiatan ekonomi melalui investasi dan perdagangan dapat mengurangi pengangguran dan memperbaiki upah yang mereka terima. Kenaikan upah diharapkan tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi tetapi juga meningkatkan kemampuan menabung
dan/atau
berinvestasi.
Bagi
pemerintah,
meningkatnya
aktivitas produksi dan perdagangan, upah dan daya beli berarti meningkatnya penerimaan pajak, yang memungkinkan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.
2.1.4. Peranan Kebijakan Pemerintah Terhadap Investasi Salah satu ciri umum negara terbelakang adalah kelangkaan modal (Todaro, 2003:112). Sebab utama kelangkaan modal adalah kecilnya tabungan atau lebih tepat kurangnya investasi di dalam sarana produksi yang mampu menaikkan tingkat pertumbuhan ekonomi. Hal terpenting yang kemudian menyebabkan terjadinya kelangkaan modal salah satunya dapat disebabkan oleh regulasi pemerintah yang tidak fleksibel dan tidak mengkondisikan daerahnya sebagai daerah yang memiliki prospek cerah
17
sebagai tujuan investasi sehingga membuat investor kurang tertarik menanamkan modalnya. Maka bila dibandingkan dengan kondisi Provinsi Sulawesi Selatan, keadaan tersebutlah yang terjadi saat ini. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah
fakta
seperti
tertundanya
keinginan
pemerintah
untuk
membangun sejumlah infrastruktur akibat kurangnya dana yang dimiliki oleh pemerintah, tingkat produktivitas dan kemampuan individual masyarakat juga rendah, ketergantungan masyarakat terhadap bantuan pemerintah, serta kurangnya sarana produksi yang dimiliki masyarakat dan sektor swasta. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab bersama dalam memberikan stimulan bagi pengembangan sektor riil melalui peningkatan investasi. Mengingat kapasitas fiskal pemerintah daerah yang terbilang cukup terbatas kemudian menempatkan investasi sebagai alternatif pembiayaan yang sangat potensial untuk membiayai pembangunan daerah. Investasi akan menimbulkan efek pengganda (multiplier effect) bagi perekonomian. Peningkatan investasi tidak hanya akan meningkatkan permintaan agregat, tetapi juga meningkatkan penawaran agregat melalui meningkatnya stok kapital dan kapasitas produksi. Kegiatan produksi akan menyerap tenaga kerja. Investasi, khususnya yang datang dari luar negeri atau luar wilayah, juga akan mendorong proses alih teknologi dan inovasi. Proses ini pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas, memacu pertumbuhan dan berpeluang untuk
meningkatkan
pendapatan
masyarakat
dan
mengurangi
kemiskinan. Untuk itu investasi yang perlu ditingkatkan adalah investasi yang dapat menciptakan kesempatan kerja, menggunakan sumber daya
18
ekonomi daerah yang ada, dan dapat memberikan nilai tambah yang besar terutama investasi di sektor pertanian dan industri yang dapat menyerap tenaga kerja. Kebijakan pendukung investasi dapat ditunjukkan dengan seberapa besar kebijakan pengeluaran pemerintah dialoasikan untuk investasi. Pentingnya pengeluaran pemerintah khususnya semasa krisis adalah untuk menggairahkan kembali perekonomian nasional (Tambunan , 2003:167). Rostow (Todaro, 2003:113) menghubungkan perkembangan pengeluaran pemerintah dengan tahap-tahap pembangunan ekonomi yang dibedakan antara tahap awal, tahap menengah dan tahap lanjut. Pada tahap awal perkembangan ekonomi, persentase investasi pemerintah terhadap total investasi besar sebab pada tahap ini pemerintah harus menyediakan prasarana, seperti misalnya pendidikan, kesehatan,
prasarana transportasi,
dan sebagainya.
Pada tahap
menengah pembangunan ekonomi, investasi pemerintah tetap diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi agar dapat tinggal landas, namun pada tahap ini peranan investasi swasta sudah semakin besar. Peranan pemerintah tetap besar pada tahap menengah, oleh karena peranan swasta yang semakin besar ini banyak menimbulkan kegagalan pasar, dan juga menyebabkan pemerintah harus menyediakan barang dan jasa pubik dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik. Selain itu, pada tahap ini perkembangan ekonomi memyebabkan terjadinya hubungan antar sektor yang semakin rumit. Misalnya pertumbuhan ekonomi yang disebabkan oleh perkembangan sektor industri menimbulkan semakin tingginya tingkat pencemaran udara dan air, dan pemerintah harus turun tangan untuk mengatur dan mengurangi
19
akibat negatif dari polusi terhadap masyarakat. Pemerintah juga harus melindungi buruh yang berada dalam posisi yang lemah agar dapat menigkatkan kesejahteraan mereka. Laporan OECD (2006) menunjukkan bahwa kualitas investasi yang akan masuk ke sebuah daerah sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah itu sendiri, baik PMA maupun PMDN sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti transparansi dan kebijakan non diskriminatif yang kemudian akan mendorong masuknya investasi ke sebuah daerah. Teori mengenai perkembangan persentase pengeluaran pemerintah yang semakin besar terhadap GNP dikemukakan oleh Wagner. Teori ini menyatakan dalam suatu perekonomian apabila pendapatan per kapita meningkat, secara relatif pengeluaran pemerintah pun akan meningkat. Menurut Nopirin (1998) apabila pengeluaran investasi swasta tidak cukup mendorong
kenaikan
GNP
maka
pengeluaran
pemerintah
dapat
menggantikannya. Dengan menambahkan pengeluaran pemerintah serta pajak ke dalam model persamaan tidaklah sukar, sehingga pengeluaran sekarang meliputi pengeluaran konsumsi, pengeluaran investasi dan pengeluaran pemerintah.
20
2.2. Penelitian Terdahulu Studi empiris mengenai efisiensi dan kebutuhan investasi daerah sudah pernah dilakukan. Misalnya oleh Lucky et al (2011) di Provinsi Jawa Timur. Dengan menggunakan metode ICOR, mereka memfokuskan analisis kebutuhan investasi sektoral Jawa Timur untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dari penelitian ini mereka menyimpulkan bahwa sektor industri pengolahan dan sektor listrik, gas dan air bersih kegiatan produksinya paling tidak efisien, dengan angka ICOR sebesar 31.1847 dan 36.4373. Sedangkan kelima sektor, yakni sektor pertanian, sektor pertambangan dan penggalian, sektor perdagangan, hotel dan restaurant, sektor pengangkutan dan komunikasi serta sektor jasa-jasa menjadi sektor yang paling efisien. Kebijakan pemerintah guna mendukung investasi di Provinsi Jawa Timur juga dikemukakan, misalnya pada sektor pertanian. Selama ini masyarakat Indonesia pada umumnya dan Jawa Timur pada khususnya masih banyak yang menggunakan alat-alat sederhana/tradisional untuk memproduksi padi, padahal permintaan akan beras masih banyak. Permintaan beras yang banyak, sedangkan penawaran akan beras yang sedikit, memaksa pemerintah untuk mengimpor beras dari luar negeri, misalnya Thailand. Investor dapat tertarik untuk berinvestasi di sektor pertanian, karena peluang usaha ini terbuka lebar. Hal tersebut karena permintaan akan beras tidak dapat terpenuhi hanya dari penawaran dari dalam negeri. Untuk meningkatkan produksi pertanian, tidak hanya memerlukan input produksi tanah dan tenaga kerja saja, akan tetapi input teknologi juga dapat dikembangkan untuk meningkatkan produksi. Peran investor adalah untuk berinvestasi pada input teknologi, sehingga produksi padi meningkat. Input teknologi di sini tidak berarti bahwa peralihan padat karya ke padat modal, tetapi perpaduan antara padat karya dan padat modal yang
21
bersinergi membentuk pertumbuhan ekonomi yang tinggi demi kesejahteraan bersama. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Sarana
(2006)
dengan judul
Kebutuhan Investasi di Daerah Melalui Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) yang mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Demak. Penelitian ini menemukan bahwa ICOR Kabupaten Demak dalam periode tahun 2001-2005 sebesar 1,77 sedangkan ICOR Kabupaten Purwakarta dalam periode tahun 2001-2005 sebesar 0,99. Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Khairil et al (2009) dengan judul Analisis Determinan Pertumbuhan Ekonomi dan Kebutuhan Investasi Kabupaten Maros. Hasil penelitian ini menemukan bahwa besaran ICOR selama tahun pengamatan yaitu tahun 2000-2009 adalah 0,74. Besaran ICOR merefleksikan produktivitas investasi yang pada akhirnya menyangkut pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai.
22
2.3. Kerangka Pemikiran
Kebijakan Pemerintah
Efisiensi Investasi
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
Pertumbuhan Ekonomi
23
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian Jenis Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menganalisis tingkat efisiensi investasi Provinsi Sulawesi Selatan.
3.2. Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan dan mencatat teori-teori dari buku-buku literatur maupun bacaan-bacaan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti, antara lain PDRB Provinsi Sulawesi Selatan secara time series dan nilai Penanaman Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) Provinsi Sulawesi Selatan dan lain-lain. Sumber data yang digunakan berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sulawesi Selatan, Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Provinsi Sulawesi Selatan dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Provinsi Sulawesi Selatan.
3.3. Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dokumentasi yaitu cara pengumpulan data melalui dokumen tertulis, terutama berupa arsip dan juga termasuk buku-buku tertentu, pendapat, teori, atau hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Dokumen yang diperlukan adalah
24
dokumen RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan dan nilai PDRB Provinsi Sulawesi Selatan periode 2000-2009.
3.4. Metode Analisis
3.4.1. Analisis Efisiensi Investasi Pertumbuhan
ekonomi
telah
menjadi
salah
satu
indikator
pembangunan ekonomi di sebuah daerah. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi mengindikasikan bahwa daerah tersebut mengalami pembangunan ekonomi. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi tiap tahunnya tentu saja mengharuskan adanya tambahan investasi yang meningkat pula tiap tahunnya. Investasi yang dibutuhkan pun diharapkan memiliki tingkat efisiensi yang tinggi, dengan asumsi bahwa investasi yang memiliki tingkat efisiensi yang tinggi kemudian akan mengarah kepada tercapainya pertumbuhan ekonomi yang lebih akseleratif. Metode perhitungan Incremental Capital Output Ratio (ICOR) kemudian digunakan untuk melihat tingkat efisiensi investasi Provinsi Sulawesi Selatan dalam periode tahun 2000-2009. Sebagai ilustrasi, arti dari angka ICOR sebesar 3.0 adalah agar output perekonomian naik satu rupiah dibutuhkan tambahan kapital senilai 3.0 rupiah. Perhitungan angka ICOR biasanya bukan dari perubahan kapital dan output tahun per tahun, melainkan dihitung dalam selang waktu yang relatif panjang, misalnya lima tahun. Sebab penambahan kapital pada tahun ini tidak
otomatis diikuti oleh
penambahan output pada tahun ini juga, melainkan baru akan muncul
25
pada satu atau dua tahun yang akan datang. Selain itu masa yang dibutuhkan dari waktu penambahan kapital sampai dengan menghasilkan output akan berbeda-beda dari sektor yang satu dengan sektor lainnya. Sebagai contoh penambahan kapital (investasi) pada sektor bangunan akan mendatangkan output paling cepat pada 2–3 tahun yang akan datang. Secara matemastis Harrod-Domar telah menuliskan rumus ICOR sebagai berikut. ……….. (1)
Dalam praktek, data yang diperoleh bukan merupakan penambahan barang modal baru atau kapasitas terpasang melainkan besarnya investasi yang ditanamkan. Sehingga dengan mengasumsikan bahwa ΔK = I maka rumus (1) dapat dimodifikasi menjadi:
…………. (2)
Dalam prakteknya penerapan formula ICOR seperti dicantumkan di atas mengalami kesulitan, terutama dalam menaksir tingkat output. Untuk itu kemudian nilai output diganti oleh nilai Produk Regional Domestik Bruto, sehingga konsep praktis perhitungan ICOR diformulasikan menjadi:
Pada kenyatannya, investasi yang di tanamkan kadang-kadang memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menghasilkan output yang diinginkan. Lama waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh output dari investasi yang ditanamkan disebut lag. Arti dari rumus ini adalah
26
investasi yang ditanamkan pada tahun ke t akan menghasilkan output pada tahun ke t juga. Dengan demikian tidak diperlukan waktu (lag time) sampai investasi dapat memberikan tambahan output. Dalam penelitian ini lag waktu yang digunakan adalah lag 0 dan lag 1. Untuk menghitung koefisien ICOR lag 0, rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.
Arti dari rumus ini adalah investasi yang ditanamkan pada tahun ke t akan menghasilkan output pada tahun ke t juga. Dengan demikian tidak diperlukan waktu (lag time) sampai investasi dapat memberikan tambahan output. Untuk menghitung koefisien ICOR lag 1, rumus yang digunakan adalah sebagai berikut.
Rumus ini berarti bahwa investasi yang ditanamkan pada tahun ke t baru akan menghasilkan tambahan output pada tahun ke t+1. Dengan demikian terdapat lag satu tahun sampai investasi yang ditanamkan menghasilkan tambahan output. Penghitungan dengan rumus di atas menerapkan prinsip rata-rata sederhana sehingga dimungkinkan terjadinya bias yang disebabkan karena fluktuasi yang cukup ekstrim pada tahun tertentu. Untuk itu sebagai pembanding dilakukan juga penghitungan ICOR menggunakan metode
akumulasi
investasi
yang
menerapkan
prinsip
rata-rata
27
tertimbang, sehingga rumus yang digunakan untuk periode tersebut adalah:
Efisiensi investasi dapat dilihat dari berapa besar koefisien ICOR yang diperoleh. World economic study menjelaskan bahwa 70% Negara berkembang memiliki rasio modal output antara 3 dan 4 (Jhingan, 617:2007).
Rosenstein-Rodan
dan
Lewis
(Arsyad,
232:2005)
memperkirakan bahwa rasio efisiensi investasi terletak antara 3 sampai 4. Artinya bahwa investasi dikatakan efisien apabila nilai ICOR yang diperoleh berada antara 3 dan 4. Apabila nilai ICOR semakin kurang dari 3 maka dapat dikatakan investasi tersebut sangat efisien dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan apabila nilai ICOR melebihi 4 maka dapat dikatakan investasi tersebut semakin tidak efisien dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
3.4.2. Analisis Kebijakan Pendukung Masuknya Investasi Untuk mempercepat perbaikan iklim bisnis dan kinerja sektor riil di daerah, harus ditumbuhkan kesadaran akan pentingnya persaingan antar daerah dalam menarik investasi sebanyak-banyaknya ke daerah tersebut. Pemerintah Daerah dituntut untuk selalu giat dalam menarik investasi sekaligus mempertahankan dan meningkatkan investasi yang sudah ada di daerah masing-masing. Berbagai kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk Perda-perda diharapkan mendukung penciptaan iklim usaha yang kondusif, dan memberikan berbagai insentif serta kemudahan bagi investor dalam melakukan usaha.
28
Dengan otonomi yang dimiliki, peran pemerintah daerah kini menjadi sama pentingnya dengan pemerintah pusat dalam peningkatan investasi. Pemerintah
daerah
dituntut
dapat
berkreasi
dalam
menangani
permasalahan iklim investasi di daerah masing-masing melalui berbagai kebijakan yang mendukung terciptanya iklim usaha yang sehat. Pemerintah daerah juga dituntut untuk dapat bersaing dengan Pemerintah daerah lainnya dalam meningkatkan daya tarik investasi daerah. Hal ini disebabkan oleh motivasi pelaku usaha atau investor untuk berpindah atau melakukan investasi di daerah lain yang memiliki daya tarik lebih tinggi. Investor akan memilih lokasi yang menawarkan peluang keuntungan lebih besar dengan risiko lebih kecil. Content analysis terhadap dokumen perencanaan berupa Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sulawesi Selatan 2008-2013 kemudian digunakan untuk melihat gambaran umum kebijakan yang telah ditempuh oleh pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan guna mendorong masuknya investasi ke Provinsi Sulawesi Selatan. Content analysis adalah sebuah metode untuk mempelajari dan menganalisis komunikasi secara sistematis, obyektif dan kuantitatif terhadap pesan yang tampak (Bungin, 2001:134). Analisis isi berupaya mengumpulkan dan menganalisis isi dari sebuah teks, baik itu berupa kata, arti, gambar, simbol, ide, tema atau beberapa pesan yang dapat dikomunikasikan (Martono, 2011:86).
29
3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel dalam penelitian ini adalah efisiensi investasi dan kebijakan pemerintah.
Definisi operasional variabel penelitian adalah: 1. Efisiensi investasi adalah rasio penambahan modal yang semakin menurun yang diikuti dengan peningkatan output. Dalam penelitian ini, efisiensi terjadi jika kontribusi investasi yang dibutuhkan untuk meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
tiap
tahunnya
semakin
menurun. 2. Kebijakan pemerintah dalam penelitian ini adalah setiap kebijakan yang ditempuh pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam mendukung masuknya investasi, baik yang bersifat ekonomi maupun non-ekonomi.
30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 4.1.1. Aspek Geomorfologis 4.1.1.1.
Letak Geografis
Secara geografis wilayah darat Provinsi Sulawesi Selatan dilalui oleh garis khatulistiwa yang terletak antara 0012’~80 Lintang Selatan dan 1160 48’~122’ 36’ Bujur Timur, yang berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat di sebelah utara dan Teluk Bone serta
Provinsi
Sulawesi
Tenggara
di
sebelah
timur,
serta
berbatasan dengan Selat Makassar di sebelah barat dan Laut Flores di sebelah timur. Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan khususnya wilayah daratan mempunyai luas kurang lebih 45.519,24 km2, dimana sebagian besar wilayah daratnya berada pada jazirah barat daya Pulau Sulawesi serta sebagian lainnya berada pada jazirah tenggara Pulau Sulawesi.
4.1.1.2.
Topografi
Wilayah Sulawesi Selatan membentang mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Kondisi Kemiringan tanah 0 sampai 3 persen merupakan tanah yang relatif datar, 3 sampai 8 persen merupakan tanah relatif bergelombang, 8 sampai 45 persen merupakan tanah yang kemiringannya agar curam, lebih dari 45 persen tanahnya curam dan bergunung. Wilayah daratan terluas
31
berada pada 100 hingga 400 meter DPL, dan sebahagian merupakan dataran yang berada pada 400 hingga 1000 meter DPL. Terdapat sekitar 65 sungai yang mengalir di provinsi ini, dengan jumlah sungai terbesar ada di bagian utara wilayah provinsi ini. Lima danau besar menjadi rona spesifik wilayah ini, yang tiga di antaranya yaitu Danau Matana, Danau Towuti dan Danau Mahalona di Kabupaten Luwu Timur, serta dua danau lainnya yaitu Danau Tempe dan Danau Sidenreng yang berada di Kabupaten Wajo.
4.1.1.3.
Geologi
Struktur geologi batuan di Provinsi Sulawesi Selatan memiliki karakteristik geologi yang dicirikan oleh adanya berbagai jenis satuan batuan yang bervariasi. Struktur dan formasi geologi wilayah Provinsi Sulawesi Selatan terdiri dari volkan tersier, Sebaran formasi volkan tersier ini relatif luas mulai dari Cenrana sampai perbatasan Mamuju, daerah Pegunungan Salapati (Quarles) sampai Pegunungan Molegraf, Pegunungan Perombengan sampai Palopo, dari Makale sampai utara Enrekang, di sekitar Sungai Mamasa, Sinjai sampai Tanjung Pattiro, di deretan pegunungan sebelah barat dan timur Ujung Lamuru sampai Bukit Matinggi. Batuan volkan kwarter, Formasi batuan ini ditemukan di sekitar Limbong (Luwu Utara), sekitar Gunung Karua (Tana Toraja) dan di Gunung Lompobatang (Gowa). Kapur kerang terdapat di sebelah barat memanjang antara Enrekang sampai Rantepao, utara Parepare, di Pegunungan Bone Utara sebelah barat Watampone, bagian barat Pulau Selayar, dan di Tanjung Bira (Bulukumba).
32
Alluvium kwarter, dijumpai di dataran sepanjang lembah sungai antara Sungai Saddang dan Danau Tempe, Sungai Cenrana di dataran antara Takalar – Sumpang Binangae (Barru), di selatan Parepare, di dataran Palopo – Malili, di selatan Palopo sampai Umpu, di sekitar Sinjai serta di Rantepao (Tana Toraja) dan Camba (Maros). Sekis hablur, formasi ini ditemukan di beberapa tempat seperti di bagian barat Sabbang (Luwu Utara), Pegunungan Latimojong, di sebelah tenggara Barru dan di Bukit Tanjung Kerambu di Kabupaten Pangkep. Batuan sedimen mesozoikum, Formasi ini ditemukan di daerah Tana Toraja (Pegunungan. Kambung dan di sebelah barat Masamba) batuan terdiri dari serpih, napal, batu tulis, batu pasir, konglomerat yang umumnya berwarna merah, ungu, biru, dan hijau. Batuan plutonik basa, dijumpai di bagian timur Malili dan tersebar sebagai intrusi antara lain di bagian utara Palopo, di Gunung Maliowo dan Gunung Karambon. Batuan plutonik masam, ditemukan di sekitar Sungai Mamasa, sedangkan granodiorit dijumpai di barat laut Sasak. Di antara Masamba dan Leboni. Batuan sediment paleogen, Tersebar di bagian utara Provinsi Sulawesi Selatan, yaitu di bagian timur Pangkajene sampai di timur Maros, memanjang di bagian timur lembah Walane dan di tenggara
Sungai
Sumpatu.
Batuan
sedimen
neogen,
penyebarannya di sekitar Lodong, sebelah timur Masamba memanjang dari utara Enrekang sampai Pompanua, dari Sengkang ke tenggara sampai Rarek dan ke selatan sampai Sinjai, di Pulau Selayar bagian timur dan di selatan Sinjai sampai Kajang.
33
4.1.1.4.
Hidrologi
Pada wilayah Provinsi Sulawesi Selatan, terdapat sekitar 65 sungai mengaliri berbagai kabupaten khususnya yang berada di dataran tinggi. Di wilayah Luwu terdapat 25 aliran sungai. Kabupaten Tana Toraja, Enrekang, dan Pinrang dialiri oleh sungai terpanjang yakni sungai Saddang (150 km). DAS Jeneberang meliputi wilayah 8 (delapan) kabupaten di bagian selatan Sulawesi Selatan, termasuk kota Makassar, mencakup wilayah seluas 825,607 Ha dan kawasan hutan seluas 204,427 Ha. Sungai Walanae mengalir di kawasan Bone dan Wajo, sementara di Gowa dan Makassar mengalir sungai Jeneberang. Danau Tempe dan Sidenreng terdapat di Kabupaten Wajo dan sekitarnya, sementara di wilayah Luwu terdapat danau Matana dan Towuti. Pada wilayah bagian tengah wilayah Sulawesi Selatan, Formasi Walanae merupakan suatu formasi lapisan batuan pembawa air yang bersifat tertekan dengan debit kecil sampai sedang. Air tanah bebas dijumpai pada endapan alluvial dan endapan pantai, endapan formasi walanae serta pada lembah-lembah yang ditempati oleh endapan batuan formasi Camba.
4.1.1.5.
Klimatologi
Provinsi Sulawesi Selatan terdapat dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau, dimana musim hujan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. November sampai Maret angin bertiup sangat banyak mengandung uap air yang berasal dari
34
Benua Asia dan Samudera Pasifik sehingga pada bulan-bulan tersebut sering terjadi musim hujan. Berdasarkan klasifikasi tipe iklim menurut Oldeman, Provinsi Sulawesi Selatan memiliki 5 jenis iklim, yaitu Tipe iklim A termasuk kategori iklim sangat basah dimana curah hujan rata-rata 3500-4000 mm/tahun. Wilayah yang termasuk ke dalam tipe ini adalah Kabupaten Enrekang, Luwu, Luwu Utara dan Luwu Timur. Tipe Iklim B, termasuk iklim basah dimana Curah hujan rata-rata 3000 – 3500 mm/tahun. Wilayah tipe ini terbagi 2 tipe yaitu (B1) meliputi Kabupaten Tana Toraja, Luwu Utara, Luwu Timur, Tipe B2 meliputi Gowa, Bulukumba, dan Bantaeng. Tipe iklim C termasuk iklim agak basah dimana Curah hujan rata-rata 2500 – 3000 mm/tahun. Tipe iklim C terbagi 3 yaitu Iklim tipe C1 meliputi Kabupaten Wajo, Luwu, dan Tana Toraja. Iklim
C2
meliputi
Kabupaten
Bulukumba,
Bantaeng,
Barru,
Pangkep, Enrekang, Maros dan Jeneponto. Sedangkan tipe iklim C3 terdiri dari Makassar, Bulukumba, Jeneponto, Pangkep, Barru, Maros, Sinjai, Gowa, Enrekang, Tana Toraja, Parepare, Selayar. Tipe iklim D dengan Curah hujan rata-rata 2000 – 2500 mm/tahun. Tipe iklim ini terbagi 3 yaitu wilayah yang masuk ke dalam iklim D1 meliputi Kabupaten Wajo, Bone, Soppeng, Luwu, Tana Toraja, dan Enrekang. Wilayah yang termasuk ke dalam iklim D2 terdiri dari Kabupaten Wajo, Bone, Soppeng, Sinjai, Luwu, Enrekang, dan Maros. Wilayah yang termasuk iklim D3 meliputi Kabupaten Bulukumba, Gowa, Pangkep, Jeneponto, Takalar, Sinjai dan Kota Makassar Tipe iklim E dengan Curah hujan rata-rata antara 1500 – 2000 mm/tahun dimana tipe iklim ini disebut sebagai tipe iklim
35
kering. Tipe iklim E1 terdapat di Kabupaten Maros, Bone dan Enrekang. Tipe iklim E2 terdapat di Kabupaten Maros, Bantaeng, dan Selayar.
4.1.1.6.
Penggunaan lahan
Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 45.751,91 km2, penggunaan lahan dalam jumlah yang terbesar adalah hutan negara yang luasnya mencapai 28,45% dari total wilayah atau mencapai 13.014,56 km2, kemudian lahan sawah yang secara keseluruhan luasnya mencapai 5.983,89 km2 atau 13,08% dari total luas lahan yang ada terdiri dari lahan sawah seluas 5.983,89 km2 dan lahan bukan sawah seluas 39.768,91 km2. Penggunaan lahan lain yang cukup signifikan adalah kebun/tegalan yang luasnya mencapai 12,10% dari luas wilayah keseluruhan yaitu seluas 5.534,24 km2. Penggunaan lahan terendah adalah kolam/empang yang hanya sebesar 145,79 km2 (0,32%) dan rawa seluas 194,12 km2 (0,42%).
4.1.2. Aspek Kependudukan dan Sosial Budaya Berdasarkan data BPS tahun 2006, jumlah penduduk Sulawesi Selatan pada tahun 2001 adalah sebesar 7.006.066 jiwa, kemudian berkembang menjadi 7.629.138 pada tahun 2006 atau mengalami pertambahan sebesar 623.072 jiwa waktu 5 tahun terakhir (2001-2006), atau tumbuh rata-rata sebesar 1,74% per-tahun .
36
Jumlah Penduduk
terbesar
terdapat
di Kota
Makasar
yang
merupakan pusat kegiatan di Provinsi Sulawesi Selatan dengan jumlah penduduk sebesar 1.223.530 jiwa, sedangkan yang paling rendah di Kota Pare-pare sebesar 115.076 jiwa pada tahun 2006. Kabupaten atau kota yang menjadi pusat-pusat kegiatan wilayah seperti Pare-pare, Baru, Pangkajene, Palopo, Bulukumba, dan Bone (Watampone) memiliki jumlah penduduk jauh lebih rendah dibandingkan dibandingkan dengan Kota Makassar. Sebagian besar penduduk Sulawesi Selatan pada tahun 2005 berada pada kelompok umur 5-9 tahun, yaitu sebesar 809.221 jiwa. Sedangkan kelompok umur dengan jumlah terkecil adalah kelompok penduduk usia diatas 60 tahun sebesar 612.094 jiwa. Lebih dari 50% penduduk di Sulawesi Selatan berada di kelompok usia produktif. Kekayaan dan keragaman budaya dalam tatanan Sulawesi Selatan sangat bervariasi sebagai rumpun budaya yang terdiri dari Bugis, Makassar, dan Toraja. Rumpun Makassar dominan berada pada kabupaten di Wilayah Selatan Sulawesi Selatan. Rumpun Toraja terbesar di Kabupaten Tana Toraja dan Luwu. Rumpun Bugis terbesar di wilayah utara Sulawesi Selatan. Keragaman Budaya yang tersebar pada wilayah yang beragam pula, balik keragaman tersebut, terdapat pula keragaman nilai dan norma serta adat istiadat yang spesifik. Variasi-variasi ini terkait pula dengan potensi kearifan lokal yang bisa berkembang dalam tatanan sosial budaya selain itu terkandung pula potensi berkembangnya interaksi sosail dan komunikasi lintas budaya, yang dapat mendorong dinamikan perubahan secara lebih kreatif dalam menanggapi spirit jaman.
37
Komunitas pedesaan terdiri dari nelayan, petambak, petani, dan pengrajin. Komunitas ini merupakan suatu komunitas berskala kecil namun tetap memiliki kearifan lokal. Komunitas petani adalah komunitas yang terbesar di seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Disamping itu berapa komunitas yang berbasis pada aktivitas ekonomi sekunder, antara lain pengrajin besi di Massepe Sidrap dan pengrajin perahu di Bira Bulukumba yang berkaitan dengan sumberdaya alam yang ada disekitarnya. Komunitas petani misalnya, memahami kapan waktu yang tepat untuk mulai menanam serta bagaimana menangani hama, demikian pula dengan komunitas nelayan yang telah menyatu dengan pantai dan laut, sehingga mereka dapat memprediksi lebih awal kondisi dan permasalahan yang akan terjadi baik di pantai maupun di laut. Pada era globalisasi, eksistensi keberadaan beberapa komunitas yang terkait dengan sektor pertanian masih ada yang mengalami ketertinggalan akibat dari ketidakmampuan bersaing dengan berbagai produk lainnya yang beredar dipasaran. Disamping itu juga umumnya masih mengalami masalah persyaratan dalam mengakses permodalan pada kelembagaan keuangan seperti Bank Rakyat yang ditawarkan pemerintah melalui berbagai program perkreditan. Disamping itu juga terdapat komunitas tradisional yang mampu bertahan di antaranya adalah komunitas Ammatoa di Kajang Bulukumba, Karangpuang di Sinjai, Tolotang di Sidrap, Aluk Todolo di Toraja, Pua Cerekang di Luwu. Senyatanya, komunitas ini benar-benar merupakan suatu komunitas yang memiliki karakteristik tersendiri. Komunitas ini masih tetap eksis walaupun secara sosial dikelilingi oleh berbagai informasi dan iptek namun karakteristik tetap dipertahankan.
38
4.1.3. Aspek Ekonomi Pada sektor perekonomian, lembaga-lembaga yang mengkhususkan diri di bidang ini menunjukkan kecenderungan bertumbuh dengan laju yang cukup tinggi, walaupun dari sisi identitas umumnya mirip satu dengan lainnya. Kebanyakan lembaga dimaksud menyandang identitas sebagai lembaga ekonomi modern yang memposisikan keuntungan sebagai orientasi utama dengan seperangkat aturan dan nilai yang cenderung serupa pula. Keberadaan lembaga ini bukannya menambah kualitas keragaman tetapi justru sebaliknya, karena memarginalkan lembaga tradisional. Kehadiran lembaga ekonomi modern dalam bentuk Bank dan Koperasi telah menggeser lembaga tradisional. Demikian pula kehadiran lembaga pasar modern cenderung meminggirkan eksistensi pasar tradisional. Kehadiran pasar modern yang mestinya menambah keragaman, justru melemahkan entitas yang sudah ada. Kehadiran perusahaan besar sebagai lembaga ekonomi yang lebih terkonsentrasi pada bidang otomotif dan konstruksi, kurang mendorong produksi manufaktur dan agroindustri, juga menjadi fenomena di balik rendahnya keragaman dalam kelembagaan ekonomi. Lembaga ekonomi dalam perdagangan komoditas utama seperti Kakao, Beras dan Rumput Laut, belum bergeser dari sekedar pedagang pengumpul kearah pencipta nilai tambah melalui industri pengolahan.
4.1.3.1.
Struktur Ekonomi
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu pencerminan kemajuan ekonomi suatu daerah. Sementara itu, potensi ekonomi pada suatu wilayah dapat diukur dari kontribusi
39
masing-masing sektor terhadap nilai PDRB (Produk Domestik Regional Bruto). Variabel yang digunakan dalam PDRB terdiri dari 9 (sembilan)
sektor
lapangan
usaha,
yaitu
sektor
pertanian,
pertambangan dan galian, industri dan pengolahan, listrik, gas dan air minum, bangunan, perdagangan, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan serta sektor jasa. PDRB Sulawesi Selatan atas dasar harga konstan pada tahun 2010 sekitar
51.197,04 milyar rupiah, dengan kontribusi terbesar
diberikan oleh sektor pertanian sebesar 13.809,80 milyar rupiah dan disusul oleh sektor perdagangan, restoran dan hotel sebesar 8.698,81 milyar rupiah. Secara umum nilai PDRB Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihat pada Tabel 4.1 di bawah ini. Tabel 4.1 PDRB Provinsi Sulawesi Selatan Menurut Lapangan Usaha Atas harga konstan Tahun 2006-2010 (juta rupiah)
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bangunan Perdagangan Angkutan dan Komunikasi Lembaga Keuangan Jasa-Jasa PDRB
2006 11.802.563 3.891.338 5.481.513 368.274 1.787.873 5.770.904 2.945.641 2.340.472 4.479.101 38.867.679
2007 12.181.818 4.157.152 5.741.390 400.881 1.942.089 6.322.426 3.244.613 2.610.477 4.731.581 41.332.427
2008 12.923.422 4.034.942 6.241.442 450.999 2.328.425 7.034.556 3.651.369 2.881.068 5.003.598 44.549.821
2009 2010 13.516.639 13.809.800 3.852.793 4.491.340 6.468.785 6.869.430 490.447 529.820 2.656.772 2.900.270 7.792.098 8.698.810 4.023.676 4.619.930 3.203.983 3.742.090 5.308.826 5.535.550 47.314.019 51.197.040
Sumber: PDRB Provinsi Sulawesi Selatan 2011, BPS Provinsi Sulawesi Selatan
40
4.1.3.2.
Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat diartikan sebagai kemampuan daerah dalam menyediakan berbagai sumberdaya ekonomi dalam jangka panjang yang terus meningkat dalam memenuhi kebutuhan penduduknya. Tingkat pertumbuhan ekonomi ini ditentukan oleh pertambahan nilai yang diperoleh dari produksi barang dan jasa. Berdasarkan tingkat pertumbuhan yang dicapai dari tahun ke tahun maka secara kasar dapat dinilai prestasi dan kesuksesan suatu daerah jika mempunyai kemampuan untuk meningkatkan nilai tambah terhadap produksi barang dan jasa yang sifatnya jangka panjang. Pertumbuhan PDRB merupakan salah satu indikator penting untuk mengetahui perkembangan ekonomi suatu wilayah dalam suatu periode tertentu. Rata-rata Pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan selama kurun waktu tahun 2006-2010 dapat dilihat pada Tabel 4.2 di bawah ini.
41
Tabel 4.2 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sulawesi Selatan Setiap Sektor Tahun 2006-2010 (persen) Lapangan Usaha
2006
2007
2008
2009
2010
Pertanian
4,1
3,21
6,09
4,68
2,08
Pertambangan
6,63
6,83
-2,94
-4,51
16,57
Industri Pengolahan
7,22
4,74
8,71
3,64
6,19
Listrik, Gas dan Air
7,55
8,85
12,50
8,75
8,03
Bangunan
4,41
8,63
19,89
14,10
9,17
Perdagangan
7,14
9,56
11,26
10,77
11,64
Angkutan dan Komunikasi
6,81
10,15
12,54
10,20
14,82
Lembaga Keuangan
8,72
11,54
10,37
11,21
16,79
Jasa-Jasa
12,8
5,64
5,75
6,10
4,27
Total PDRB
6,72
6,34
7,78
6,23
8,18
Sumber: Indikator Makroekonomi Sulawesi Selatan 2011, BPS Provinsi Sulawesi Selatan
4.1.3.3.
Pendapatan Per Kapita
Dengan berkembangnya perekonomian Sulawesi Selatan tentunya akan berdampak kepada peningkatan pendapatan per kapita masyarakat. Namun, angka tersebut belumlah menunjukkan penerimaan
penduduk
secara
nyata
dan
merata.
Hal
ini
dikarenakan pendapatan per kapita hanya merupakan angka ratarata. Walaupun demikian, angka tersebut sudah dapat digunakan sebagai salah satu indikator untuk melihat kondisi kesejahteraan penduduk di sebuah daerah. Setiap
tahun
pendapatan
per
kapita
Sulawesi
Selatan
mengalami peningkatan yang cukup besar. Dalam lima tahun terakhir, dari 7,92 juta rupiah pada tahun 2006 meningkat menjadi 14,66 juta rupiah pada tahun 2010 atau meningkat 1,8 kali lipat.
42
Bila dibandingkan dengan pendapatan per kapita nasional, pendapatan per kapita Sulawesi Selatan masih relatif lebih rendah. Pada tahun 2006 misalnya, pendapatan per kapita nasional telah mencapai 14,89 juta rupiah dan pada tahun 2010 sudah mencapai sekitar 20,027 juta rupiah. Bila dibandingkan dengan daerah lain di Sulawesi maka pada tahun 2010 angka pendapatan per kapita Sulawesi Selatan merupakan terbesar kedua setelah Sulawesi Utara yang mencapai 16,22 juta rupiah. Perbandingan pendapatan perkapita dalam skala nasional maupun dalam lingkup pulau Sulawesi dapat dilihat dari Tabel 4.3 dan Tabel 4.4 di bawah ini Tabel 4.3 Pendapatan Per Kapita Sulawesi Selatan dan Pendapatan Per Kapita Indonesia Tahun 2006-2010 (juta rupiah)
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010
Pendapatan Per Kapita Sulawesi Selatan 7.920.519 8.907.258 10.825.425 12.567.365 14.665.035
Pendapatan Per Kapita Indonesia 14.893.259 17.353.656 21.447.891 23.904.065 27.027.783
Sumber: PDRB Provinsi Sulawesi Selatan, 2010
Tabel 4.4 PDRB dan Pendapatan Per Kapita Se-Sulawesi Tahun 2010
Provinsi Sulawesi Utara Sulawesi Selatan Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat
PDRB Harga Berlaku (Juta Rupiah) Pendapatan Per Kapita (rupiah) 36.834.793 16.222.522 117.830.270 14.665.035 36.124.486 13.709.436 28.369.053 12.706.813 8.056.513 7.745.426 10.986.625 9.482.255
Sumber: PDRB Provinsi Sulawesi Selatan, 2010
43
4.1.3.4.
Kondisi Investasi
Investasi merupakan
bagi hal
pembangunan
yang
sangat
ekonomi
penting,
sebuah
guna
daerah
menggerakkan
pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat bergerak jika ada pertambahan faktor-faktor produksi, terutama penambahan peralatan
produksi
dan
perbaikan faktor
produksi
tersebut.
Penambahan faktor produksi tersebut dapat melalui Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD) Provinsi Sulawesi Selatan, nilai investasi yang disetujui oleh pemerintah yang bersumber baik dari dalam maupun luar negeri masih cenderung fluktuatif selama kurun waktu tahun 2000-2009. Pada tahun 2006 nilai investasi yang disetujui pemerintah cukup besar, kemudian turun pada tahun 2007 dan pada tahun 2009 kembali meningkat. Naik turunnya investasi diyakini oleh pemerintah disebabkan oleh keadaan perekonomian daerah serta faktor keamanan yang juga menjadi salah satu penyebab meningkatnya investasi asing. Di sisi lain, krisis global yang melanda sebagian besar Negara di dunia menyebabkan investasi yang masuk ke Sulawesi Selatan cenderung fluktuatif. Krisis global ini kemudian mempengaruhi perekonomian dunia sehingga
ada
kecenderungan
untuk
melakukan
perbaikan
perekonomian dalam negeri sendiri serta membatasi penanaman modal ke luar negeri. Hal ini bisa dilihat pada Tabel 4.5 di bawah ini.
44
Tabel 4.5 Proyek Investasi Yang Disetujui Pemerintah Selama Tahun 2000-2009
TAHUN 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
PMDN Banyak Proyek Nilai Proyek (Rp. Juta) 17 29.981.734 9 16.794.029 15 146.060 10 487.274 8 767.122 8 940.544 4 2.362.627 9 244.671 3 121.400 10 4.506.425
Banyak Proyek 5 12 16 12 12 14 13 23 14 23
PMA Nilai Proyek (US$ 000) 3.115 17.285 382.864 50.544 264.050 53.558 679.965 141.431 611.550 109.173
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah Provinsi Sulawesi Selatan
Pada waktu sebelum krisis, yaitu pada tahun 1998, PMA yang masuk cukup tinggi namun menurun drastis pada tahun 1999. Sebagai ilustrasi bahwa pada tahun 1995, nilai PMA yang disetujui mencapai US$ 2,1 milyar dan turun menjadi US$ 0,6 milyar pada tahun 1999. Pada tahun 2000-2009, nilai investasi masih cenderung berfluktuasi. Pada tahun 2000, nilai investasi yang ditanamkan berkisar US$3,1 milyar kemudian meningkat drastis menjadi US$ 679,9 milyar pada tahun 2006. Tetapi pada tahun 2007 nilai investasi kembali turun menjadi US$ 141,1 milyar dan turun kembali menjadi 109,2 milyar pada tahun 2009. Pada tahun 2007, walaupun terlihat terjadi penurunan, akan tetapi masih lebih baik dibandingkan periode tahun 1999-2001 dimana nilai investasi yang ditanamkan sebesar US$ 109 milyar.
45
Gambar 2.3 Grafik Perkembangan Penanaman Modal Asing (PMA) Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2000-2009 (US$ milyar)
PMA 680 611,6
382,9 264,1 141,4 3,1
17,3
50,5
109,2
53,6
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Investasi yang berasal dari luar negeri pada tahun 2009 diperuntukkan terutama pada sektor pertambangan sebesar 54,41 persen atau senilai US$ 59,4 milyar kemudian sektor pertanian sebesar 18,32 persen atau senilai US$ 20 milyar dan sektor jasa senilai US$ 19,5 milyar atau sekitar 17,86 persen. Perkembangan PMDN sejalan dengan pergerakan PMA, namun nilai PMDN relatif jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan PMA. Walaupun demikian, investasi dalam negeri sangat diperlukan dalam rangka kemandirian pemerintah daerah. Pada tahun 1999 nilai investasi sebesar Rp. 713,1 milyar dan meningkat sangat drastis menjadi Rp. 29.982 milyar lebih pada tahun 2000. Kemudian setelah itu pada tahun 2002 PMDN turun menjadi Rp. 146 milyar dan bangkit kembali pada tahun 2003 hingga 2006. Pada tahun 2007 PMDN kembali turun namun masih lebih baik dibandingkan periode tahun 2002-2003 dengan nilai Rp.
46
245 milyar. PMDN tahun 2009 mengalami peningkatan tiga kali lipat lebih besar yaitu sebesar Rp. 4,138,8 trilyun. Investasi sebesar itu terutama dipergunakan untuk sektor pertambangan sebesar Rp. 4,138 trilyun atau sekitar 92,77 persen, sektor industri sebesar Rp. 243.933,4 milyar atau sekitar 5,47 persen, sektor pertanian sebesar Rp. 60.855,6 milyar atau sekitar 1,36 persen dan sisanya dengan nilai 0,39 persen digunakan oleh sektor jasa. Gambar 2.4 Grafik Perkembangan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2000-2009 (Rp Milyar)
PMDN 16.794
4.506,40
0
2.362,60 1.214 940,5 767,1 244,7 146,1 487,3
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Pada Gambar 2.3 dan 2.4 di atas menggambarkan sebuah hal yang sangat menarik dimana nilai penanaman modal asing yang tertinggi dicapai pada tahun 2006 akan tetapi untuk penanaman modal dalam negeri dicapai pada tahun 2000-2001. Keadaan ini dapat juga memberi ilustrasi adanya substitusi antara keduanya dan adanya stagnasi penanaman modal pada periode 1997-1999. Dalam mendorong roda perekonomian salah satu mesin penggeraknya adalah investasi. Dalam konteks PDRB Penggunaan,
47
investasi dikenal sebagai Pembentukan Modal Tetap Bruto ditambah dengan inventori. PMTDB menggambarkan adanya proses penambahan dan pengurangan barang modal pada tahun tertentu. Mengingat perekonomian,
pentingnya
PMTDB
juga
meningkatkan
dapat
dalam
menggerakkan
pendapatan
dan
penyerapan tenaga kerja, maka kinerja PMTDB harus dapat dipertahankan terus dan berkesinambungan. Penanaman Modal Asing dan Modal Dalam Negeri setiap tahunnya membentuk modal tetap yang terus terakumulasi dan terdepresiasi, atau disebut dengan Pembentukan Modal Tetap Bruto. Modal tetap bruto ini menjadi indikasi akumulasi nilai investasi dalam ekonomi pada suatu waktu. Bila nilai modal tetap bruto ini tinggi, maka terdapat potensi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Untuk
melihat
perkembangan
investasi,
khususnya
pembentukan barang modal tetap bruto dapat dilihat dari PDRB penggunaan. Dilihat dari Institusi pelaku PMDTB terbagi empat yaitu : Swasta, rumah tangga, BUMN dan BUMD dan Pemerintah. Dengan
demikian
selain
para
investor
swata,
pemerintah
diharapkan dapat memperbesar porsi pengeluarannya untuk barang modal. Belanja pemerintah dalam bentuk barang modal (terutama Infrastruktur) menjadi stimulus yang mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi pembangunan ekonomi. Sumber dana investasi dapat berasal dari tabungan domestik atau pinjaman luar negeri yang meningkatkan tingkat tabungan suatu
daerah.
Perkembangan
lembaga
keuangan
juga
48
mempengaruhi tingkat tabungan karena berhubungan dengan kemungkinan investor asing untuk melakukan investasi. Bagi wilayah yang memiliki tingkat tabungan domestik tidak memadai untuk menjalankan negara sekaligus berinvestasi, maka alternatif yang dilakukan umumnya adalah melalui pinjaman luar negeri atau mengundang investor untuk berinvestasi. Dalam kurun waktu 2006-2010, besarnya investasi (PMTDB) menurut harga berlaku rata-rata tumbuh 28,34 persen per tahun, sedangkan secara riil rata-rata tumbuh 15,30 persen per tahun. Dalam periode tersebut, besarnya investasi terus mengalami peningkatan, sebagai ilustrasi, pada tahun 2006 investasi menurut harga berlaku sebesar 10.165,99 milyar rupih meningkat menjadi 27.581,96 milyar rupiah pada tahun 2010. Sedangkan secara riil pada tahun 2006 sebesar 6.304,06 milyar rupiah menjadi 11.142,66 milyar rupiah pada tahun 2010. Porsi investasi dalam PDRB penggunaan pada tahun 2006 menurut harga berlaku dan harga konstan masing-masing sekitar 16,69 persen dan 16,22 persen, kemudian mengalami pergeseran pada tahun 2010 menjadi 23,41 persen untuk harga berlaku dan 21,76 persen untuk harga konstan. Bila diamati porsi tersebut dari tahun 2006 hingga tahun 2010 tampaknya masih fluktuatif. Melihat perkembangan investasi yang secara riil tumbuh sekitar 12,73 persen per tahun dalam periode tahun 2006-2010, ternyata telah mampu mendorong terciptanya pertumbuhan ekonomi ratarata
7,13
persen
per
tahun
dalam
periode
yang
sama.
49
Perkembangan nilai investasi Provinsi Sulawesi Selatan dapat dilihatn pada Tabel 4.6 di bawah ini. Tabel 4.6 Perkembangan Nilai Investasi (PMTDB) Provinsi Sulawesi Selatan 2006-2010 (Milyar Rupiah)
Uraian 2006 2007 2008 2009 2010 1. Berlaku a. Investasi 10.165,99 11.983,11 17.239,19 22.274,61 27.581,96 b. Tumbuh (%) 11,59 17,87 43,86 29,21 23,83 c. Andil (%) 16,69 17,3 20,25 22,3 23,41 2. Konstan a. Investasi 6.304,06 6.973,39 8.414,11 9.783,92 11.142,66 b. Tumbuh (%) 2,2 10,62 20,66 16,28 13,89 c. Andil (%) 16,22 16,87 18,89 20,68 21,76 Sumber: Badan Pusat Statistik, Provinsi Sulawesi Selatan
50
4.2. Efisiensi Investasi di Provinsi Sulawesi Selatan Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa untuk mengukur tingkat efisiensi dan produktivitas investasi di Provinsi Sulawesi Selatan, digunakan formula ICOR. ICOR mencoba menjelaskan berapa besar tambahan kapital yang dibutuhkan untuk mencapai output tertentu. Untuk mendukung terciptanya pembangunan yang berkualitas, pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan harus berupaya semaksimal mungkin untuk mampu meningkatkan efisiensi dan produktivitas investasi. Hal ini dibutuhkan karena semakin tinggi tingkat efisiensi dan produktivitas investasi yang ada, maka semakin tinggi pula tingkat output yang bisa diperoleh. Perhitungan ICOR kemudian digunakan untuk memberikan gambaran mengenai tingkat efisiensi dan produktivitas investasi yang dipergunakan selama kurun waktu tertentu. Pada kenyatannya, investasi yang di tanamkan kadang-kadang memerlukan waktu yang cukup lama untuk dapat menghasilkan output yang diinginkan. Lama waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh output dari investasi yang ditanamkan disebut lag. Dengan mempertimbangkan periode waktu ini dan karena data yang digunakan adalah time series data, maka untuk memperoleh suatu nilai ICOR yang mewakili dilakukan penghitungan simple average (rata-rata sederhana). Tabel 4.7 di bawah ini menunjukkan besaran koefisien ICOR dengan menggunakan lag 0 dan lag 1. Lag 0 artinya bahwa investasi yang ditanamkan pada tahun ke-t akan menghasilkan penambahan output pada tahun ke-t juga, sedangkan lag 1 berarti investasi yang ditanamkan pada tahun ke-t baru akan menghasilkan output pada tahun t+1.
51
Tabel 4.7 Koefisien ICOR Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan Lag waktu (Time Lag) Periode 2000 – 2009 TAHUN ICOR Lag 0 ICOR Lag 1 2000 4,1 3,4 2001 3,6 2,3 2002 2,5 7,0 2003 7,1 3,3 2004 3,4 2,8 2005 3,0 2,5 2006 2,6 2,6 2007 2,8 2,2 2008 2,6 3,0 2009 3,5 2,5 Sumber: data diolah
Dari Tabel 4.7 di atas tampak bahwa dari periode tahun 2000-2009, nilai ICOR cenderung berfluktuatif. Tampak pula bahwa investasi di Provinsi Sulawesi Selatan terbilang efisien karena sebagian besar nilai ICOR dari tahun pengamatan untuk periode tahun 2000-2009 berada di antara 3 dan 4. Dari tabel 4.7 untuk nilai ICOR Lag 0 artinya bahwa investasi yang ditanamkan pada tahun ke-t akan menghasilkan output pada tahun ke-t juga tampak bahwa meski berfluktuatif dari tahun ke tahun akan tetapi masih tergolong efisien. Seperti pada tahun 2000, nilai ICOR yang diperoleh sebesar 4,1 artinya bahwa untuk memperoleh penambahan output sebesar 1 unit pada tahun 2000 dibutuhkan investasi sebesar 4,1 unit. Nilai ICOR pada tahun 2001 yakni 3,6. Sedangkan pada tahun 2002, nilai ICOR yang diperoleh sebesar 2,5 artinya bahwa dibutuhkan 2,5 unit untuk memperoleh tambahan output sebesar 1. Dari periode pengamatan tahun 2000-2009, tampak bahwa hanya pada tahun 2000 dan tahun 2003 yang terbilang tidak efisien. Nilai ICOR yang diperoleh sebesar 4,1 pada
52
tahun 2000 dan 7,1 pada tahun 2003 dimana melebihi batas efisien investasi yakni antara 3 dan 4. Adapun investasi yang paling efisien di Provinsi Sulawesi Selatan adalah pada tahun 2002 dengan nilai ICOR Lag 0 sebesar 2,5. Sementara itu untuk nilai ICOR Lag 1 artinya bahwa investasi yang ditanamkan pada tahun ke-t akan menghasilkan output pada tahun ke t+1 tampak bahwa meski berfluktuatif dari tahun ke tahun akan tetapi masih tergolong efisien. Seperti pada tahun 2000, nilai ICOR yang diperoleh sebesar 3,4 artinya bahwa untuk memperoleh penambahan output sebesar 1 unit pada tahun 2000 dibutuhkan investasi sebesar 3,4 unit. Sedangkan pada tahun 2001, nilai ICOR yang diperoleh sebesar 2,3 artinya bahwa dibutuhkan 2,3 unit untuk memperoleh tambahan output sebesar 1. Dari periode pengamatan tahun 2000-2009, tampak bahwa hanya pada tahun 2002 yang terbilang tidak efisien. Nilai ICOR yang diperoleh sebesar 7,0 dimana melebihi batas efisien investasi yakni antara 3 dan 4. Sedangkan investasi paling efisien diperoleh pada tahun 2007 dengan nilai ICOR Lag 1 sebesar 2,2. Sedangkan tampak dari tabel di atas dari periode tahun pengamatan terdapat kecenderungan efisiensi investasi, baik untuk ICOR Lag 0 dan Lag 1. Jika diamati berdasarkan pengamatan tahun ke tahun sebenarnya investasi yang ditanamkan memiliki tingkat efisiensi yang berfluktuatif. Tampak pada beberapa tahun pengamatan terdapat investasi yang tidak efisien, di mana nilai ICOR tahun ke t+1 pada beberapa tahun pengamatan lebih besar dibanding tahun ke t. Misalnya pada tahun 2002, untuk memperoleh tambahan output sebesar 1 unit dibutuhkan investasi sebesar 2,5 unit. Artinya bahwa untuk memperoleh tambahan PDRB sebesar Rp
53
100 juta, dibutuhkan investasi sebesar Rp 250 juta. Sedangkan pada tahun 2003 untuk memperoleh tambahan output sebesar 1 unit dibutuhkan investasi sebesar 7,1 unit. Artinya bahwa untuk memperoleh tambahan PDRB sebesar Rp 100 juta, dibutuhkan investasi sebesar Rp 710 juta. Hal ini kemudian menunjukkan terjadi inefisiensi investasi karena untuk memperoleh tambahan PDRB yang sama yakni Rp 100 juta, investasi yang dibutuhkan justru bertambah dari Rp 250 juta pada tahun 2002 menjadi Rp 710 juta pada tahun 2003. Hal yang sama juga terjadi pada perhitungan ICOR Lag 1 meski pada tahun 2000 hingga 2009 nilai ICOR yang diperoleh cenderung efisien yakni rata-rata lebih kecil dari 3, namun pada tahun tertentu terdapat perkembangan investasi yang tidak efisien. Misalnya pada tahun 2001, untuk memperoleh tambahan output sebesar 1 unit dibutuhkan investasi sebesar 2,3 unit. Artinya bahwa untuk memperoleh tambahan PDRB sebesar Rp 100 juta, dibutuhkan investasi sebesar Rp 210 juta. Sedangkan pada tahun 2002 untuk memperoleh tambahan output sebesar 1 unit dibutuhkan investasi sebesar 7,0 unit. Artinya bahwa untuk memperoleh tambahan PDRB sebesar Rp 100 juta, dibutuhkan investasi sebesar Rp 700 juta. Hal ini kemudian menunjukkan terjadi inefisiensi investasi karena untuk memperoleh tambahan PDRB yang sama yakni Rp 100 juta, investasi yang dibutuhkan justru bertambah dari Rp 210 juta pada tahun 2001 menjadi Rp 700 juta pada tahun 2002. Penghitungan di atas menerapkan prinsip rata-rata sederhana sehingga dimungkinkan terjadinya bias yang disebabkan karena fluktuasi yang cukup ekstrim pada tahun tertentu. Untuk itu sebagai pembanding dilakukan juga penghitungan ICOR menggunakan metode akumulasi
54
investasi yang menerapkan prinsip rata-rata tertimbang untuk periode pengamatan tertentu. Untuk masing-masing periode digunakan lag 1. Tabel 4.8 di bawah ini menjelaskan koefisien ICOR berdasarkan akumulasi beberapa tahun pengamatan. Tabel 4.8 Koefisien ICOR Provinsi Sulawesi Selatan dalam Beberapa Periode Pengamatan PERIODE ICOR 2000-2009 3,4 2001-2009 3,4 2002-2009 3,5 2003-2009 3,0 2004-2009 3,4 2005-2009 3,5 Sumber: data diolah
Dari Tabel 4.8 di atas tampak bahwa investasi yang bergulir di Provinsi Sulawesi Selatan dalam beberapa periode pengamatan terbilang efisien. Sebagai contoh, pada periode pengamatan tahun 2005-2009, nilai ICOR di Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 3,5. Artinya bahwa pada periode tersebut, untuk memperoleh peningkatan output sebesar 100 milyar rupiah, dibutuhkan penambahan investasi sebesar 350 milyar rupiah yang hasilnya diperoleh pada kurun waktu 2005-2009. Tampak angka-angka ICOR Provinsi Sulawesi Selatan selalu lebih kecil dari 4, sementara ICOR nasional berkisar pada angka 4.5-5.0 (Propeda Jakarta, 2012). Hal ini kemudian menunjukkan bahwa tingkat efisiensi investasi dalam mendorong perekonomian Provinsi Sulawesi Selatan melebihi tingkat efisiensi nasional.
55
4.3. Kebijakan Pendukung Masuknya Investasi di Provinsi Sulawesi Selatan Sulawesi Selatan merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang memiliki nilai strategis dalam konstalasi pembangunan Indonesia. Selain memiliki sumber daya alam yang cukup besar, khususnya di bidang pertanian, pertambangan dan pariwisata, juga memiliki keunggulan strategis karena berada ditengah-tengah Indonesia dan menjadi pintu gerbang sekaligus berfungsi sebagai pusat pelayanan Kawasan Timur Indonesia. Oleh karena itu, Provinsi Sulawesi Selatan memiliki keunggulan komparatif sekaligus kompetitif untuk kegiatan investasi. Melihat kecenderungan bahwa kapasitas fiskal Provinsi Sulawsei Selatan yang sangat terbatas dan tampak belum cukup untuk digunakan sebagai pos pembiayaan utama pembangunan, pemerintah kemudian diharuskan merumuskan sebuah kebijakan guna mencapai target-target pembangunan. Salah satu yang harus diupayakan sebagai langkah awal penguatan ekonomi wilayah adalah dengan mendorong masuknya investasi. Hal ini dimungkinkan sehubungan dengan telah diberlakukannya kebijakan otonomi daerah yang menitikberatkan kepada kemandirian daerah guna mengelola sumber-sumber pendapatan daerah tersebut guna mencapai sasaran pembangunannya. Gambaran umum kebijakan pendukung masuknya investasi ke Provinsi Sulawesi Selatan sepenuhnya telah dipaparkan dalam dokumen perencanaan
daerah
Provinsi
Sulawesi
Selatan
yakni
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2008-2013 yang dijabarkan melalui Rencana Kerja Perangkat Daerah (RKPD) Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2009.
56
Berdasarkan dokumen RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan, baik secara langsung maupun tidak langsung telah diupayakan untuk mendorong masuknya investasi di Provinsi Sulawesi Selatan. Misalnya peningkatan daya saing komoditas unggulan sebagai komoditi utama yang memiliki potensi besar bersaing di pasar global. Upaya tersebut ditempuh dengan mendorong pengembangan kawasan andalan. Pengembangan kawasan andalan sebagai infrastruktur penunjang diharapkan menjadi pelecut program pengembangan agroindustri dan agrobisnis. Menumbuhkembangkan industri strategis yang bersinggungan langsung juga ditempuh khususnya untuk sektor pertanian dengan anggapan bahwa sektor pertanian sebagai sektor potensial di Provinsi Sulawesi Selatan. Untuk menarik kalangan investor, maka upaya pertama yang dilakukan pemerintah kemudian adalah
menemukenali dan merumuskan daftar
industri strategis yang dilengkapi dengan insentif dan kemudahan lainnya yang disediakan oleh pemerintah daerah, dengan harapan bahwa kemudahan-kemudahan tersebut akan mendorong para investor untuk berinvestasi di Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, upaya yang ditempuh guna mendorong investor adalah pemerintah Provinsi Sulwesi Selatan juga berupaya memfasilitasi untuk peningkatan kinerja/kapasitas pelayanan Bandara Sultan Hasanuddin dan Pelabuhan Soekarno-Hatta, serta pusat-pusat pelayanan sosial-ekonomi lainnya. Kebijakan ini diarahkan untuk meningkatkan aksesibilitas fisik antar daerah dan antar kawasan serta penyediaan prasarana dan sarana wilayah lainnya yang dibutuhkan untuk mendukung pengembangan aktivitas perekonomian yang dilakukan secara terpadu dalam suatu kerangka rencana penataan ruang yang terpadu dan berwawasan lingkungan hidup.
57
Kebijakan ini diwujudkan dalam beberapa program kegiatan. Pertama, program pemeliharaan dan peningkatan kualitas jalan yang diarahkan untuk meningkatkan jangkauan pelayanan sosial ekonomi (pemerataan pelayanan sosial ekonomi). Kedua, program pemeliharaan dan peningkatan kualitas sarana dan prasarana keairan untuk menjamin ketersediaan pasokan air baku, baik untuk irigasi, industri maupun untuk rumah tangga. Ketiga, peningkatan ketersediaan energi, khususnya listrik, untuk mendorong pengembangan industri. Adapun secara garis besar, kebijakan yang ditempuh dalam menarik investor adalah dengan mempermudah pengurusan izin usaha menjadi keharusan sehingga saat ini telah terdapat kelembagaan pemerintah yang dapat mempermudah pengurusan izin dengan informasi persyaratan yang transparan. Di sisi lain, pembangunan sarana dan prasarana pendukung perekonomian
terus
dilaksanakan
yang
diimplementasikan
dengan
membangun kutub-kutub dan pusat pertumbuhan baik dari pedesaan maupun perkotaan yang berada dalam wilayah Provinsi Sulawesi Selatan. Di samping itu, penciptaan iklim usaha yang kondusif dianggap penting, seperti mempermudah izin usaha dengan memberikan informasi yang transparan sehingga pihak swasta akan bergairah untuk menanamkan modalnya. Hal ini dimungkinkan, oleh karena saat ini pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan telah memiliki lembaga pengurusan izin yang profesional yakni Kantor Pelayanan Perizinan Satu Pintu sehingga pengurusan izin bagi investor akan terpusat pada satu kantor dan ini dapat mengefisienkan terhadap biaya dan waktu.
58
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil simpulan: 1.
Investasi yang masuk ke Provinsi Sulawesi Selatan dari periode 2000-2009 tergolong efisien jika dihitung berdasarkan lag 0 dan lag 1. Rata-rata nilai ICOR Provinsi Sulawesi Selatan berada di antara 3 dan 4. Untuk ICOR Lag 0, inefisiensi terjadi hanya pada tahun 2000 dengan nilai ICOR sebesar 4,1 dan tahun 2003 sebesar 7,1. Sedangkan untuk ICOR lag 1, inefisiensi terjadi hanya pada tahun 2002 ditunjukkan dengan nilai ICOR sebesar 7,0. Secara kumulatif, nilai koefisien ICOR Provinsi Sulawesi Selatan juga terbilang efisien di mana untuk periode pengamatan 2000-2009, nilainya mencapai 3,4. Sedangkan untuk periode pengamatan dengan rentan waktu yang lebih singkat pun menunjukkan tren yang semakin efisien yakni dengan rata-rata mencapai 3,3 tiap tahunnya.
2.
Gambaran kebijakan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dalam mendorong masuknya investasi ke Provinsi Sulawesi Selatan telah tertuang dalam dokumen perencanaan daerah Provinsi Sulawesi Selatan, yakni Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2008-2013 yang dijabarkan dalam Rencana Kerja Perangkat Daerah (RKPD) Provinsi Sulawesi Selatan tahun
59
2009. Adapun secara garis besar, kebijakan yang ditempuh dalam
menarik
investor
adalah
dengan
mempermudah
pengurusan izin usaha, membangunan sarana dan prasarana pendukung dan penciptaan iklim usaha yang kondusif, seperti mempermudah izin usaha dengan memberikan informasi yang transparan.
5.2. Saran 1.
Perlunya menjaga dan meningkatkan tingkat efisiensi investasi di
Provinsi
Sulawesi
Selatan
guna
mencapai
target
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tiap tahunnya. 2.
Selain menekan pengeluaran pemerintah dalam hal belanja pegawai, pengelolaan pengeluaran pemerintah dalam hal ini belanja modal harus diarahkan pada program/kegiatan yang mengarah pada peningkatan perekonomian daerah. Dengan mengalokasikan anggaran tersebut pada program/kegiatan pembangunan yang dapat merangsang sektor ekonomi yang produktif. Dengan demikian, pembangunan Provinsi Sulawesi Selatan yang diharapkan dapat tercapai.
60
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo, 2008. Pengembangan Wilayah: Konsep dan Teori. Graha Ilmu, Yogyakarta. Anwar, K. Adisasmita, R. & Nursini, 2009. Analisis Determinan Pertumbuhan Ekonomi dan Kebutuhan Investasi Kabupaten Maros. Arsyad, Lincolin, 2005. Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah. BPFE, Yogyakarta. Arsyad, Lincolin. 1988. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta : STIE Yayasan Keliarga Pahlawan Negara. Assauri, Sofjan, 1984. Teknik dan Metode Peramalan. Lembaga Penerbitan FEUI, Jakarta. Badan Pusat Statistik Sulawesi Selatan. 2011. Produk Domestik Regional Bruto. BPS Sulawesi Selatan. Bappeda DKI Jakarta. 2007. Propeda DKI Jakarta 2002-2007. Jakarta. Bappenas.
2007.
Buku
Pegangan
Penyelenggaraan
Pemerintah
dan
Pembangunan Daerah. Jakarta. Blakely, Edward J. dan Leigh, Nancey Green. 2010. Planning Local Economic Development. Sage Publication Inc. California. Boediono, 1986. Pengantar Ekonomi Mikro. BPFE, Yogyakarta. Bungin, Burhan, 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. BPS Sulawesi Selatan, 2009. Indikator Makro ekonomi Sulsel. BPS Sulawesi Selatan. Jhingan, M.L, 2003. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
61
Kajian Ekonomi Regional Sulawesi Selatan, 2007. Survey Iklim Investasi. Sulawesi Selatan. Kuncoro, Mudrajad, 1997. Ekonomi Pembangunan (Teori, Masalah dan Kebijakan). UPP AMP YPKN, Yogyakarta. Mankiw, N. Gregory, 2007. Macroeconomics. Worth Publishers, New York. Martono, Nanang, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Nicholson, Walter, 2001. Teori Ekonomi Mikro. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Nopirin, 1998. Ekonomi Moneter. BPFE, Yogyakarta. OECD, 2006. Policy Framework For Investment. OECD Publications, France. Partidiredja, Ace. 1977. Perhitungan Pendapatan Nasional. LP3ES, Yogyakarta. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. 2002. Propeda Provinsi DKI Jakarta 20022007. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. 2008. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2008-2013. Rachmawati, L. Cahyono, H. Kurniawan, R. 2011. Analisis Kebutuhan Investasi Sektoral Jawa Timur Untuk Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal ISEI Jember Volume I. Rakyatsulsel.
2012.
(online).
Diakses dari
rakyatsulsel.com/rasio-belanja-
pegawai-di-atas-50-persen.html Sarana, Jiwa, 2006. Kebutuhan Investasi di Daerah Melalui Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB). Sudewi, Ni Made. 2000. Analisis Peluang Investasi Sektor Pariwisata Bahari di Kabupaten Badung Provinsi Bali. Skripsi Tidak Dipublikasikan. Program
62
Sosial Ekonomi Perikanan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Tambunan, Tulus T.H, 2003. Perekonomian Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. Tarigan, Robinson, 2003. Ekonomi Regional. Bumi Aksara, Jakarta. Todaro, Michael P dan Smith, Stephen C, 2003. Economic Development. Eighth Edition, Pearson Addision-Wiley. UU RI No. 32 Tahun 2004 dan UU RI No 33 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah. CV Duta Nusindo. Jakarta.
63
64
Lampiran 1. PDRB Provinsi Sulawesi Selatan atas Dasar Harga Konstan Periode 2000-2009 (Triliun Rupiah) Lapangan Usaha
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
Pertanian
9,823.40
10,142.66
10,384.26
10,818.74
10,646.08
11,337.55
11,802.56
12,181.82
12,923
13,516.64
Pertambangan
1,357.57
1,378.88
2,886.81
3,190.33
3,482.03
3,649.47
3,891.34
4,157.15
4,034
3,852.79
Industri Pengolahan
3,647.27
3,769.96
4,344.98
4,486.10
4,764.79
5,112.43
5,481.51
5,741.39
6,241
6,468.79
Listrik, Gas dan Air Bersih
383.30
437.36
325.84
324.83
321.42
342.43
368.27
400.88
451,00
490.45
Bangunan
1,232.99
1,342.30
1,432.89
1,443.80
1,603.01
1,712.29
1,787.87
1,942.09
2,328
2,656.77
Perdagangan, hotel dan restoran
4,739.78
5,167.28
4,775.93
4,753.96
5,065.35
5,386.35
5,770.90
6,322.43
7,034
7,792.10
Angkutan dan Komunikasi
2,237.41
2,582.54
2,275.77
2,294.05
2,558.63
2,757.78
2,945.65
3,244.61
3,651
4,023.68
Keungan dan Persewaan
1,211.55
1,179.59
1,408.49
1,591.67
2,063.66
2,152.68
2,340.47
2,610.48
2,881
3,203.98
Jasa-Jasa
3,561.39
3,627.28
4,001.90
3,723.91
3,840.10
3,970.80
4,479.10
4,731.58
5,003
5,308.83
Total
28,194.67
29,627.85
31,836.86
32,627.39
34,345.07
36,421.78
38,867.69
41,332.43
44,549.82
47,314.03
65
Lampiran 2. Perhitungan ICOR Provinsi Sulawesi Selatan Lag 0 dan Lag 1 Tahun
PMTDB
PDRB
ΔPDRB Lag 0
ΔPDRB Lag 1
ICOR Lag 0
ICOR Lag 1
1999
─
27.008.308
─
─
─
─
2000
4.803.213
28.194.670
1.186.362
1.433.180
4,1
3,4
2001
5.147.444
29.627.850
1.433.180
2.209.010
3,6
2,3
2002
5.544.934
31.836.860
2.209.010
790.530
2,5
7,0
2003
5.600.552
32.627.390
790.530
1.717.690
7,1
3,3
2004
5.846.634
34.345.080
1.717.690
2.076.700
3,4
2,8
2005
6.168.582
36.421.780
2.076.700
2.445.899
3,0
2,5
2006
6.304.060
38.867.679
2.445.899
2.464.748
2,6
2,6
2007
6.973.390
41.332.427
2.464.748
3.217.394
2,8
2,2
2008
8.414.110
44.549.821
3.217.394
2.764.198
2,6
3,0
2009
9.783.910
47.314.019
2.764.198
3.883.021
3,5
2,5
2010
11.142.660
51.197.040
─
─
─
─
Rumus Perhitungan ICOR Lag 0 dan Lag 1
ICOR Lag 0
ICOR Lag 1
Ket: Nilai ICOR dianggap efisien apabila berada di antara 3 dan 4. Semakin kecil nilai ICOR dari 3 maka investasi tergolong sangat efisien sedangkan semakin besar nilai ICOR dari 4 maka nilai investasi semakin tidak efisien.
66
Lampiran 3. Perhitungan ICOR Akumulatif
ICOR 2000-2009
ICOR 2001-2009
ICOR 2002-2009
ICOR 2003-2009
67
ICOR 2004-2009
ICOR 2005-2009