BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Meskipun Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi pertanian yang
sangat tinggi, namun belum banyak upaya yang dilakukan untuk mengidentifikasi keberhasilan agribisnis secara simultan dalam suatu wilayah, kawasan, atau cluster. Kajian tentang faktor penentu keberhasilan suatu cluster agribisnis masih sangat terbatas. Padahal di sisi lain, pemahaman mendalam terhadap keberhasilan cluster agribisnis berikut elemen yang ada di dalamnya memiliki posisi yang amat penting dan strategis untuk keperluan perencanaan maupun pelaksanaan pembangunan pertanian yang lebih produktif dan berdaya saing tinggi. Menurut DFID (1999) terdapat lima capital (disepadankan dengan kata ”modal” atau ”kapital” dalam bahasa Indonesia) yang akan menentukan suatu keberlanjutan (sustainability) dalam aktivitas masyarakat atau komunitas (termasuk di dalamnya keberhasilan pembangunan pertanian), yaitu: (1) sumber daya alam (natural capital), (2) sumber daya manusia (human capital), (3) sumber daya fisik (physical capital), (4) sumber daya finansial (finansial capital), dan (5) sumber daya sosial atau modal sosial (social capital). Aspek sumber daya alam seperti tanah, iklim, dll., merupakan penentu keberhasilan pembangunan pertanian, namun karena hal ini sudah bersifat tetap maka yang relevan untuk dibicarakan adalah teknologi yang diterapkan dalam kontek sumber daya alam yang telah ada. Aspek teknologi yang perlu dipahami oleh semua stakeholder termasuk petani adalah alur pikir logis dari teknologi yang dibutuhkan dalam suatu kawasan pertanian yang direncanakan atau dikembangkan tersebut.
1
Pada aspek lainnya, telaah terhadap peranan sumber daya manusia petani secara parsial mungkin telah banyak dilakukan, namun kajian terhadap sumber daya sosial yang ada pada individu-individu dalam komunitas yang sekarang lebih dikenal sebagai “modal sosial” serta peran pedagang hasil pertanian dalam membangun jaringan sosial-ekonomi dan pengaruhnya terhadap keberhasilan cluster agribisnis belum banyak dilakukan. Artinya, masih sangat terbatas informasi yang dapat dijadikan rujukan mengenai pengaruh modal sosial terhadap keberhasilan cluster agribisnis, terutama yang berkaitan dengan peran hubungan petani dengan pedagang. Padahal, pada satu sisi keberadaan petani dan pedagang adalah elemen kunci bagi keberhasilan cluster agribisnis, sedangkan pada sisi lainnya peranan modal sosial demikian penting, mengingat dalam agribisnis (teknis usahatani) banyak memerlukan kebersamaan dalam kelompok atau dengan perkataan lain sangat memerlukan eksistensi modal sosial. Terdapat perbedaan mendasar peranan dari berbagai macam kapital tersebut di atas. Apabila kapital yang lain, selain modal sosial dan modal manusia, dapat segera dilihat pengaruhnya pada agribisnis dalam jangka waktu relatif lebih pendek, sebaliknya modal sosial memerlukan waktu relatif panjang untuk bisa melihat pengaruhnya. Pada bidang pertanian, modal sosial akan mendorong keberhasilan agribisnis, apabila terus menerus dipelihara dan sering digunakan oleh para pelakunya dalam berbagai bentuk interaksi sosial atau transaksi ekonomi, karena modal sosial pada dasarnya akan berakumulasi apabila terus menerus dipergunakan. Hal ini berbeda dengan kapital yang lainnya yang akan mengalami penyusutan apabila dipergunakan.
2
Modal sosial sangat diperlukan pada level usahatani, karena banyak sekali aktivitas usahatani yang memerlukan kebersamaan dalam kelompok. Pada praktek usahatani, pemeliharaan terhadap saluran air atau jalan usahatani, sebagai contoh, harus dilakukan secara bersama-sama, karena tidak mungkin sendiri-sendiri. Demikian pula, sangat diperlukan kekompakkan dalam menentukan jenis tanaman dan waktu menanam dalam satu hamparan supaya hasilnya lebih optimal. Pada memasaran komoditas pertanian modal sosial juga amat diperlukan, mengingat komoditas pertanian kualitasnya sering tidak homogen dan mudah rusak. Komoditas yang memiliki karakteristik demikian sangat rentan menimbulkan kecurangan dalam transaksinya apabila tidak dibarengi dengan modal sosial. Selanjutnya, untuk berbagai keadaan kerjasama pemasaran hasil pertanian sangat diperlukan saling pengertian (solidaritas) diantara para pihak yang terlibat (Petani-Pedagang), misalnya ketika terjadi kegagalan panen karena pengaruh cuaca atau serangan hama, pedagang mungkin harus bisa memahami kondisi petani atau melindungi petani agar tetap memiliki motivasi untuk berproduksi secara lebih baik pada musim tanam berikutnya. Dalam kondisi demikian, tampak jelas diperlukan kehadiran modal sosial agar kerjasama atau kemitraan yang dibangun bisa berlangsung secara berkelanjutan. Merujuk pada pemikiran di atas dan praktek atau implementasi nilai-nilai modal sosial telah banyak mewarnai dan melekat pada berbagai aspek kehidupan masyarakat perdesaan di Indonesia. Secara khusus praktek pelembagaan nilai modal sosial dapat ditelusuri di Provinsi Kalimantan Barat dimana terdapat suatu kawasan pengembangan agribisnis yang dalam pengamatan penulis menarik untuk dikaji berkenaan dengan peran modal sosial dan peran pedagang dalam menggerakkan agribisnis, yaitu cluster
3
agribisnis jagung di Kecamatan Tujuh Belas Kabupaten Bengkayang yang telah berlangsung dan terjalin sejak tahun 1990-an. Peranan pedagang pengumpul jagung (PPJ) pada cluster ini sangat menonjol dalam menjaga keberlangsungan agribisnis yakni selain berperan sebagai penampung, pengolah, dan pemasaran jagung juga berperan sebagai penyedia berbagai kebutuhan petani, salah satunya sebagai pemasok pupuk organik dari kotoran ayam ras. Resiprositas sosial-ekonomi, norma kerjasama dan jaringan telah terbangun antara para petani jagung dan pedagang pengumpul. Dengan perkataan lain, pada praktek agribisnis di lokasi tersebut pedagang pengumpul memainkan peran dalam membiayai usahatani jagung, yaitu dengan memberikan pinjaman benih, pupuk organik, pupuk anorganik, obat-obatan, dan keperluan lainnya dalam usahatani jagung. Cluster agribisnis jagung ini pada mulanya merupakan daerah transmigrasi. Oleh karena itu, sebagian besar petaninya berasal dari pulau Jawa, dengan tradisi komunitas yang cukup kuat. Namun dalam perkembangan selanjutnya, warga suku asli Dayak juga telah banyak terlibat dalam agribisnis ini. Selain itu, kedudukan agribisnis jagung pada cluster ini dipandang cukup strategis, mengingat supply jagung dari daerah ini merupakan pemasok utama untuk kebutuhan peternakan ayam ras yang terdapat di Kota Singkawang. Peran penting dan cukup dominannya posisi pedagang pengumpul dalam kelembagaan agribisnis jagung tersebut, pada satu sisi bisa saja dipandang sebagai lemahnya posisi tawar petani. Namun demikian, apabila dilihat lebih jauh dari berbagai dimensi kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat menunjukkan bahwa
4
posisi tawar petani tersebut tidak terlalu lemah. Kondisi ini dapat diperjelas dengan uraian sebagai berikut: 1.
Untuk usahatani tanaman semusim yang bersifat komersial, petani memiliki cukup banyak pilihan dalam menentukan jenis usahataninya, tidak hanya pada usahatani jagung tetapi petani dapat mengusahakan usahatani sayuran seperti kacang panjang, buncis, terung, cabe, tomat, dan lain-lain yang dapat dijual pada pasar lokal. Perlu diketahui, bahwa perkembangan pasar lokal untuk komoditas dimaksud dalam satu dekade terakhir cukup berkembang mengingat demikian pesatnya perkembangan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Bengkayang seperti di Kecamatan Ledo, Kecamatan Sanggau Ledo, Kecamatan Seluas, dan Kecamatan Jagoi Babang yang sangat membutuhkan supply sayuran dari cluster ini. Selain itu, pada beberápa kasus komoditas sayuran juga dipasarkan ke negara tetangga Malaysia (wilayah perbatasan). Terbukanya pilihan petani dalam menentukan jenis usahatani dapat dilihat dari perkembangan usahatani jagung yang ternyata sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun tergantung pada komoditas yang menjadi pilihan petani seperti dapat dilihat pada Tabel 1.1 serta keberagaman komoditas usahatani pada cluster ini seperti dapat dilihat pada Tabel 1.2. Tabel 1.1. Perkembangan Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Tanaman Jagung di Kecamatan Tujuh Belas Kabupaten Bengkayang. Tahun 2007
Luas Panen (Ha) 10.112
Produksi (Ton) 55,07
Produktivitas (Ton/Ha) 5,45
2008
9.235
56,47
6,11
2009
4.615
26,52
5,75
2010
9.933
42,68
4,30
5
Tahun 2011
Luas Panen (Ha) 7.352
Produksi (Ton) 29,97
Produktivitas (Ton/Ha) 4,08
2012
9.042
39,31
4,35
2013
7.549
30,91
4,10
Sumber : BPS, Kecamatan Tujuh Belas dalam Angka Tahun 2014.
Tabel 1.2. Keberagaman Komoditas Usahatani di Kecamatan Tujuh Belas Kabupaten Bengkayang Tahun 2013. No 1
Jenis Komoditas Usahatani Jagung
Luas Panen (Ha) 7.549
Produksi (Ton) 30.913
2
Ubi Kayu
277
5.461
3
Ubi Jalar
26
221
4
Kacang Tanah
20
5,39
5
Kacang Hijau
46
0,63
6
Padi Sawah
7
Padi Ladang
8
Sawi
9
Kacang Panjang
10
471
1.806
1.244
2.811
18
112
133
668
Cabe Besar
58
391
11
Cabe Rawit
2
72
12
Tomat
199
438
13
Terong
161
560
13
Buncis
196
582
14
Ketimun
51
57
Sumber : BPS, Kecamatan Tujuh Belas dalam Angka Tahun 2014.
2.
Pada aspek kepemilikan lahan, belum ada indikasi yang mengarah kepada terjadinya ketimpangan (polarisasi pemilikan lahan), mengingat lokasi ini merupakan daerah eks transmigrasi yang diciptakan oleh pemerintah sehingga akses terhadap lahan relatif merata. Adapun potensi lahan usahatani jagung pada cluster ini mencapai luas 21.619 ha, sedangkan lahan yang telah diusahakan 6
(lahan fungsional) hingga saat ini baru mencapai luas sekitar 10.000-an hektar (Burhansyah, 2006). 3.
Petani masih memiliki pilihan untuk menentukan pedagang pengumpul yang menjadi mitranya, karena pada lokasi penelitian ini cukup banyak pedagang pengumpul jagungnya, yaitu terdapat sebanyak 14 pedagang pengumpul jagung. Perkembangan agribisnis jagung pada cluster ini diperlancar pula oleh
berkembangnya berbagai lembaga pendukung, seperti: kelompok tani, kios yang menjual sarana produksi usahatani, pasar, koperasi, bank lokal, dan lembaga-lembaga informal lainnya. Berkembangnya lembaga-lembaga tersebut menjadi penting, tentunya dilihat dari sisi modal sosial.
B. Perumusan Masalah Proses pengembangan agribisnis jagung yang dimulai dari proses produksi, pasca panen, dan pemasaran, di Kecamatan Tujuh Belas Kabupaten Bengkayang sangat menonjol diorganisir melalui pola hubungan yang melembaga antara petani dengan pedagang pengumpul. Pola hubungan petani dengan pedagang pengumpul dapat dianggap sebagai sentrum dari proses dan kegiatan agribisnis pada lokasi tersebut. Pola hubungan atau sistem kelembagaan seperti ini sesungguhnya juga sangat meluas dan dapat dijumpai dengan mudah pada pemasaran hasil tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan pemasaran hasil kelautan di wilayah pesisir Kalimantan Barat. Dewasa ini terdapat pandangan yang sering terlihat kontradiktif mengenai berlangsungnya kelembagaan seperti ini. Ada sementara pihak yang menyatakan bahwa pola hubungan tersebut terbangun dari ketidakseimbangan struktur, sehingga 7
satu pihak bisa menjadi subordinat dari pihak lainnya. Kelompok pertama ini berpandangan bahwa pedagang memiliki potensi untuk mengeksploitasi petani. Oleh karena itu, berlangsungnya pola seperti ini sesungguhnya karena keterbatasan pilihan petani dalam menjalin hubungan (lemahnya posisi tawar petani). Pada pihak lainnya (kelompok kedua), ada pula yang memandang pedagang justru sebagai motor penggerak dari sistem agribisnis itu sendiri, karena pedagang pada dasarnya merupakan jembatan yang menghubungkan antara sistem tradisional di perdesaan dengan konsumen yang berada pada sistem sosial modern yang ada di perkotaan (Syahyuti, 2007; Syahyuti, 2008). Pandangan yang kedua secara teoritik didasarkan pada suatu pemikiran bahwa pola hubungan yang berlangsung lama dan terus menerus serta berpola menandakan adanya pertukaran dan alokasi sumber daya yang tidak sederhana serta tidak terlepas dari adanya norma, jaringan, kepercayaan, dan nilai, atau secara keseluruhan disebut modal sosial. Pada prinsipnya, jika suatu pertukaran mendapatkan suatu keuntungan, maka akan muncul pertukaran berikutnya yang diharapkan mendapatkan keuntungan pula. Kemudian apabila suatu pertukaran berlangsung terus menerus dalam jangka waktu lama, maka akan mengkristal menjadi suatu jaringan hubungan sosial. Memperhatikan kedua pandangan yang saling kontradiktif tersebut, maka penting untuk diuji, apakah pola hubungan kelembagaan seperti ini terjadi karena kuatnya modal sosial atau justru karena terbatasnya pilihan petani (lemahnya posisi tawar petani). Untuk menguji hal ini, maka harus dibuktikan secara empirik bagaimanakah peranan dan pengaruh modal sosial pada hubungan-hubungan tersebut.
8
Lebih jauh, kehadiran modal sosial pada suatu komunitas petani, telah diketahui akan melahirkan manfaat ekonomi yaitu berupa: fleksibilitas dalam bisnis, mengurangi resiko, menghemat waktu, mengurangi biaya transaksi dan monitoring. Di samping itu, secara teoritik kehadiran modal sosial akan menentukan komitmen usaha, capaian kinerja usahatani jagung, dan kesejahteraan petani. Namun kemudian, yang masih menjadi pertanyaan, apakah kehadiran modal sosial tersebut secara nyata dapat meningkatkan kesejahteraan petani ?. Pertanyaan terakhir ini, masih perlu dibuktikan secara empiris. Berdasarkan uraian di atas, maka pada studi ini dapat disusun beberapa masalah yang memerlukan penelaahan lebih lanjut, sebagai berikut: a. Masalah umum: Bagaimanakah pengaruh modal sosial dalam kemitraan petani dengan pedagang pengumpul jagung terhadap kesejahteraan petani. b. Masalah khusus: 1. Bagaimanakah pengaruh modal sosial terhadap komitmen usaha. 2. Bagaimanakah pengaruh komitmen usaha terhadap capaian kinerja usahatani jagung. 3. Bagaimanakah pengaruh simultan komitmen usaha dan capaian kinerja usahatani jagung (sebagai variabel antara pengaruh modal sosial) terhadap kesejahteraan petani.
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan pemahaman terhadap masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan tujuan penelitian, sebagai berikut: 9
1. Menganalisis pengaruh tidak langsung modal sosial terhadap kesejahteraan petani. 2. Menganalisis pengaruh modal sosial terhadap komitmen usaha. 3. Menganalisis pengaruh komitmen usaha terhadap capaian kinerja usahatani jagung. 4. Menganalisis pengaruh simultan komitmen usaha dan capaian kinerja usahatani jagung terhadap kesejahteraan petani.
D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini secara khusus diharapkan dapat memberikan informasi kepada berbagai pihak sebagai berikut: 1. Kepada instansi terkait, diharapkan dapat memberikan informasi dalam penentuan arah kebijakan pengembangan agribisnis jagung, yaitu berupa arah kebijakan pembinaan terhadap petani maupun terhadap pedagang sebagai dua elemen penting manusia dalam pengembangan agribisnis. 2. Kepada peneliti, diharapkan dapat memberikan informasi berkaitan dengan kelayakan beberapa indikator yang secara teoritis merupakan determinan dalam mengukur modal sosial di Indonesia. Kelayakan indikator tersebut dilihat dari kemungkinannya dapat dioperasionalkan dilapangan dengan unit analisis rumah tangga petani (tingkat mikro) atau komunitas (tingkat meso).
E. Kebaruan Penelitian Penelitian tentang peranan modal sosial pada hubungan petani dengan pedagang pengumpul belum banyak dikembangkan, sehingga dengan penelitian ini diharapkan dapat lebih memperkaya pemahaman akademis terkait pengaruh eksistensi modal
10
sosial pada hubungan kelembagaan dimaksud. Adapun kebaruan dalam penelitian ini secara lebih spesifik dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Mengukur pengaruh modal sosial terhadap kesejahteraan bersifat tidak langsung. Pada penelitian sebelumnya pengaruh modal sosial terhadap kesejahteraan atau produksi usahatani sering dimodelkan sebagai variabel yang berpengaruh langsung. 2. Mengukur modal sosial dalam struktur sosial vertikal dan horizontal. Pada penelitian ini modal sosial diukur tidak hanya pada hubungan petani dengan pedagang pengumpul jagung (hubungan bersifat vertikal) juga pada hubungan petani dengan petani (hubungan bersifat horizontal). 3. Mengukur modal sosial tidak hanya pada aspek statis tetapi juga pada aspek dinamis. Aspek statis yang diukur dalam penelitian ini mencakup norma, resiprositas, jaringan, dan kepercayaan, sedangkan aspek dinamisnya adalah berupa kemampuan menggerakkan yakni berupa kekuatan menumbuhkan motivasi untuk melakukan usahatani secara lebih baik 4. Sesuai dengan konsep ekonomika, mengukur modal sosial dengan menempatkan individu sebagai unit analisis.
11