BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Krisis ekonomi dan financial yang melanda Indonesia pada tahun 1997 merupakan tahapan awal dari munculnya berbagai protes. Sehingga pada 1998, Soeharto sebagai representasi Orde baru rutuh. Jatuhnya Soeharto membuka kesempatan bagi berlangsungnya reformasi demokratis di Indonesia. Untuk memenuhi aspirasi rakyat yang digemakan oleh Gerakan Reformasi. Perubahanperubahan mendasar harus ditegakkan, termasuk perubahan menyeluruh pada pranata politik, sosial, ekonomi dan perubahan pada basis hubungan antara rakyat dan negara. Perubahan semacam itu hanya dapat diwujudkan melalui penyusunan satu agenda reformasi yang menyeluruh, sebagai hasil dari proses dialog yang terbuka, inklusif dan partisipatif. Perubahan struktural maupun fungsional sistem pemerintahan, dari sentralistik ke sistem desentralisasi merupakan salah satu amanat rakyat dari agenda reformasi. Otonomi daerah sebagai wujud dari desentralisasi disambut positif oleh berbagai elemen dalam masyarakat. Otonomi daerah merupakan proses awal untuk mewujudkan pembangunan demokrasi di tingkat lokal. Sebagaimana yang diamanatkan dalam UU No.22 dan UU No.25 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diamandemen dalam UU No.32 tahun 2004, banyak pihak berharap bahwa pelaksanaan otonomi daerah memberikan wewenang yang besar kepada kabupaten/kota sehingga mampu 1
mendorong percepatan terwujudnya tata pemerintahan yang baik dalam bingkai demokrasi substantial. Oleh karena itu para elite lokal mengambil perannya untuk menjalankan fungsi kontrol. Respon positif sangat tampak dari kalangan elite lokal. Munculnya semangat lokalitas dan kedaerahan menjadi sumbangsih bagi pembangunan daerah.
Beberapa
daerah
meresponnya
dengan
menghidupkan
kembali
pemerintahan adat, misalnya: Pemerintah Propinsi Sumatera Barat menghidupkan kembali Nagari untuk menggantikan bentuk desa jawa (Flamma,2004:4-7), di Kalimantan Barat, tokoh adat dayak khususnya para Temonggong juga berjuang menghadirkan kembali kedaulatan pemerintahan lokal dibawah kepemimpinannya (Flamma,2004:12-13). Tokoh adat adalah salah satu dari elite lokal yang perannya cukup signifikan dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis. Tidak bisa dipungkiri mereka memiliki andil didalamanya. Hal ini dikarenakan peran sosial yang mereka miliki, mempunyai pengaruh yang besar bagi masyarakat lokal. Mereka adalah panutan dan teladan bagi masyarakat sehingga mereka adalah sebuah simbol yang selalu dihormati dan dipatuhi. Perkembangan kehidupan demokrasi di aras lokal yang berupaya menghadirkan kembali romantisme kekuasaan masa lalu juga terjadi pula di Daratan Timor, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (selanjutnya : NTT). Kebangkitan kekuasaan tradisional dimaksud salah satunya dilakukan oleh Usif Sonba‟i sebagai raja tradisional suku Atoin Meto.
2
Secara historis, Pada zaman kerajaan, suku Atoin Meto terbagi dalam 3 (tiga) kerajaan, yaitu: Kerajaan Oenam/ Swapraja Fatuleu, Kerajaan Banam/ Swapraja Amanuban dan Kerajaan Onam/ Swapraja Amanatun (Krisdyatmiko, 2005:27). Usif Sonba‟i memerintah Kerajaan Oenam yang meliputi wilayah swapraja
Fatuleu,
Mollo,
Meomafo,
Insana
sampai
Biboki
(Krisdyatmiko,2005:41). Namun dalam tulisan yang berbeda, yang berjudul Soba; sebuah desa Atoin Meto menceritakan bahwa Kerajaan Oenam tidak hanya Fatuleu,
Mollo,
Meomafo
dan
Biboki
namun
hingga
Kupang
(Koentjaraningrat,1984:227). Kerajaan-kerajaan tersebut memiliki self-governing community dengan pola pemerintahan adat yang bernuansa Feodal. Adapun struktur pemerintahan Kerajaan Oenam pada zaman itu adalah sebagai berikut (Krisdyatmiko, 2005: 2830):
Gambar 1.1. Sistem kerajaan Oenam mula-mula. 3
A finit atau biasa juga disebut dengan Usif adalah penguasa tertinggi, Pah Tuaf merupakan penguasa atau pemilik wilayah yang bertanggung jawab atas kesejahteraan dan kehidupan raja, Amaf adalah pendukung Pah Tuaf, dan kedudukan dibawah amaf adalah Mafefa yang bertugas sebagai juru bicara raja maupun adat. Pah Tuaf membagi tugas pemerintahan kepada Meob di bidang keamanan dan ketertiban, dan pada Ana Tobe di bidang penataan dan pemanfaatan lingkungan. Mnais–Kuan merupakan pemuka pemerintahan adat yang memimpin sebuah Kuan-Ana (kampung kecil), dimana dalam tugas dan fungsinya MnaisKuan diatur oleh Amaf. Seorang Amaf membawahi dua atau tiga Mnais-Kuan. Struktur yang paling bawah adalah Tob (To Ana) merupakan rakyat biasa. Ketika masuknya kekuasaan kolonial (belanda) pada abad XVI, terjadilah perubahan tatanan sosial, politik dan budaya. Self goverment community atoin meto dimodifikasi oleh pemerintah kolonial melalui perubahan struktur pemerintahan dari bentuk kerajaan tradisional yang merdeka menjadi bentuk Swapraja yang tunduk kepada kekuasaan Kolonial. Perubahan struktur kekuasaan tersebut diiringi pula dengan pengangkatan usif-usif baru sebagai agen dalam struktur Swapraja yang merupakan pecahan/sempalan kerajaan tradisional sebelumnya. Diranah budaya pemerintah kolonial membawa perubahan melalui penanaman nilai-nilai baru yaitu; agama kristen yang menggeser kepercayaan tradisional. Perkembangan selanjutnya pasca kolonialisme, wilayah swapraja hasil modifikasi kolonial pada saat ini di adopsi oleh Pemerintah Indonesia dengan membagi wilayah Swapraja tersebut ke dalam 3 kabupaten, yaitu pertama, 4
Kabupaten Kupang yang memiliki wilayah administrasi eks Swapraja Amarasi, Fatuleu, dan Amfoan, kedua, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) memiliki wilayah administrasi eks Swapraja Mollo, Amanuban dan Amanatun, serta ketiga, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) memiliki wilayah administrasi eks Swapraja Miomafo, Insana dan Biboki. Adopsi karya kolonial tidak hanya terjadi di ranah struktur pemrintahan akan tetapi terjadi pula di ranah budaya yaitu legitimasi agama yang dibawa kolonial sebagai agama sah dalam sistem kepercayaan di indonesia serta menghapuskan sistem kepercayaan tradisional. Perubahan yang terjadi sejak kehadiran kolonialisme di pah meto (tanah Timor) hingga lahirnya NKRI, bermuara pada pergeseran kedudukan usif sonba‟i sebagai elit tradisional yang tunduk pada legitimasi yang dimiliki oleh suprastruktur kekuasaan yaitu negara. Akibat pergeseran tersebut usif sonba’i harus kembali memperjuangkan posisinya dalam Arena kekuasaan yang dahulu di dominasi oleh Usif Sonba‟i. Perjuangan demi memperoleh kembali legitimasi dan dominasi tersebut tidaklah mudah, walaupun era reformasi membuka ruang bagi hadirnya kembali entitas kekuasaan tradisional, akan tetapi akibat perubahan sosial yang telah terjadi demikian lama, maka Usif Sonba’i memulai perjuangan dominasi pada arena yang dipahaminya yaitu pemerintahan di desa Kauniki. Usif Sonba‟i sebagai elite lokal yang terlahir dari “basis tradisi” menunjukkan gagasan, bahwa dominasi dipahami sebagai sebuah gejala sosiologis yang dapat dilihat dengan hadirnya simbol-simbol dalam pranata sosial masyarakat Atoin Meto. Mereka senantiasa menjaga jalinan relasi diantara Usif dan Tob Ana. Jalinan relasi itu dalam kehidupan sosial sebagai suatu interaksi 5
struktur, disposisi (kecenderungan), dan tindakan yang saling mempengaruhi. Praktik sosial itu memiliki dua dimensi. Dimensi yang pertama adalah internalisasi segala sesuatu yang dialami dan diamati dari luar diri pelaku (agents). Dimensi kedua adalah pengungkapan dari segala sesuatu yang telah terinternalisasi dan menjadi bagian dari diri pelaku. Upaya melestarikan status quo, mengharuskan Usif Sonba‟i untuk terus menjalin relasi kuasa bersama Tob Ana dan masyarakat pendatang serta negara. Hal ini terbukti dan mampu menjadikan Usif Sonba‟i, yang tadinya merupakan elit lokal menjadi bagian dari negara di era demokrasi. seiring dengan perubahan yang terus berlangsung. Hal inilah yang mampu menjelaskan kekuasaan elit lokal cenderungan memiliki gejala politis. Demikian pula dengan Usif Sonba‟i yang juga terlibat baik diranah kultural maupun diranah politik. Di ranah kultural, dia menggunakan sumber daya kultural, ekonomi, sosial dan simboliknya untuk melestarikan dominasinya. Hal ini seakan menjelaskan bahwa elit lokal mampu menciptakan keteraturan yang mengikat keberlangsungan kehidupan dan sekaligus memastikan konsentrasi kekuasaan dalam dirinya. Usif Sonba‟i adalah manifestasi dari kepemimpinan kolektif di Kerajaan Oenam. Sedangkan pada ranah politik, Usif Sonba‟i juga merupakan representasi entitas tradisional. Kemampuan melakukan proses adaptasi dengan masuk dalam ranah politik guna mendapatkan legetimasi di era modern inilah yang menjelaskan Usif Sonba‟i sebagai entitas tradisional yang mampu menjadi representasi etnisitas dan manifestasi kepemimpinan kolektifitas. 6
Sampai saat ini, eksistensi Sonba‟i sebagai Usif masih diakui oleh masyarakat Atoin Meto tidak hanya di Desa Kauniki tapi juga di seluruh Daratan Timor. Hal ini tentunya tidak terlepas dari bangunan pengetahuan dan kepercayaan di lingkungannya. Usif Sonba‟i terus dicitrakan sebagai sumber wacana dan acuan stratifikasi sosial dengan segenap modal yang dimilikinya. Keikutsertaan Usif Sonba‟i dalam pemilihan Kepala Desa berkonsekuensi terhadap sistem pewarisan kekuasaan yang telah berlangsung berabad-abad. Padahal Usif Sonba‟i secara administrasi tidak memenuhi persyaratan, yakni harus memiliki ijazah. Sehingga dia tidak dapat dipilih sebagai Kepala Desa. Namun Sonba‟i memiliki peran dimana hanya dia yang diakui dan berhak menentukan siapa yang harus terpilih sebagai Kepala Desa di arena tersebut. Dalam proses ini terlihat relasi yang ditimbulkan dari struktur sosial, konsekuensi perbedaan yang mengiringinya, akumulasi modal yang dikuasainya, garis genealogis, serta strategi dan simbol–simbol kultural yang memobilisasi. Ini merupakan gejala sosial bahwasanya dominasi tidak lepas dari hubungan timbal balik baik antar mereka yang dominan dengan mereka yang terdominasi (Sumardi.S, 1991:30). Ketika pemilihan kepala desa dipahami sebagai upaya melestarikan kekuasaan, yang dapat dilihat secara praksis adalah Usif Sonba‟i tetap mendapatkan pengakuan dari masyarakat Atoin Meto meskipun pernah tidak terpilih. Mengapa hal demikian terjadi? Modal, arena dan habitus Usif Sonba‟i adalah sebuah strategi untuk tetap dominan. Pertarungan dalam pemilihan kepala desa di Kauniki dimaknai oleh usif Sonba’i sebagai arena penegasan kekuasaannya, Arena ini merupakan hasil irisan 7
dari perubahan yang terjadi dalam ranah sosial lainnya; yaitu ranah Politik, ranah ekonomi, dan ranah budaya. Menurut Waters (Lewis Terry: 2004) irisan (pertemuan) ke-3 ranah sosial tersebut menghasilkan sebuah dominasi kekuasan. Hal ini terjadi karena, ranah Politik adalah arena pengaturan-pengaturan sosial untuk konsentrasi dan aplikasi kekuasaan, sehingga perubahan yang terjadi dalam bentuk lembaga atau otorisasi dari zaman Pra kemerdekaan hingga era Otonomi daerah yang terjadi di Kauniki turut merubah transformasi praktikpraktik yang bisa memapankan kontrol Usif atas penduduk dan teritori di desa kauniki. Ranah ekonomi sebagai arena pengaturan-pengaturan sosial untuk produksi, pertukaran, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa yang nyata, telah melahirkan pertukaran-pertukaran antara usif sebagai pemilik modal ekonomi dengan masyakat desa kauniki demi imbalan, dan akumulasi kapital yang melanggengkan Kekuasan Usif Sonba‟i. Demikian halnya pada Ranah kultural sebagai arena pengaturan-pengaturan sosial untuk produksi, pertukaran, dan ekspresi simbol-simbol yang merepresentasikan fakta, makna, kepercayaan, dan nilai. Dalam ranah ini perubahan sosial yang telah terjadi selama kehadiran kolonial, lahinya NKRI hingga era Otonomi daerah menghendaki terjadinya pertukaran-pertukaran simbolis melalui penguatan dan modifikasi ritus, simbol dan nilai budaya atoin meto di Kauniki. Tulisan ini ingin mengelaborasi tentang bagaimana Usif Sonba‟i berupaya untuk tetap dominan melalui relasi kuasa dalam struktur sosial yang ada, relasi kekerabatan guna menjaga garis genealogis serta simbol – simbol kultural, sehingga menjadi modal yang senantiasa dapat dipertukarkan dalam interaksi 8
sosial - politik bahkan mampu menyesuaikan dengan semangat perubahan sosial. Hal inilah yang menarik untuk diketahui lebih lanjut tentang modal Usif Sonba‟i dan strateginya dalam melestarikan dominasinya untuk menghadapi perubahan di era kekinian.
B. Rumusan Masalah Sebagaimana pemaparan pada latar belakang diatas, penelitian ini fokus pada masalah “Modal
dan Strategi
Usif
Sonba‟i
dalam melestarikan
kekuasaannya” Adapun secara rinci masalah penelitian dapat dijabarkan ke dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana Strategi Usif Sonba‟i untuk tetap dominan dalam perubahan struktur pemerintahan di Desa Kauniki ? 2. Apakah Modal yang dimiliki Usif Sonba‟i untuk tetap dominan di Desa Kauniki? 3. Bagaimana Modal tersebut digunakan sebagai strategi untuk tetap dominan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan menjelaskan secara deskriptif perihal modal dan strategi Usif Sonba‟i sehingga keberadaannya masih diakui hingga saat ini. Adapun tujuan penelitian, secara spesifik dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Menemukan penjelasan secara deskriptif tentang strategi Usif Sonba‟i untuk tetap dominan dalam perubahan struktur pemerintahan di Desa Kauniki
9
2. Mengidentifikasi modal yang dimiliki Usif Sonba‟i untuk tetap diakui eksistensinya sebagai Usif atau Raja di Desa Kauniki. 3. Menemukan strategi Usif untuk tetap diakui sebagai Raja dengan mempergunakan modal yang dimilikinya.
2. Manfaat Penelitian Penelitian
mengenai
modal
dan
strategi
Usif
Sonba‟i
untuk
mempertahankan kekuasaannya diharapkan dapat memberikan konstribusi teoritis dalam memperluas diskursus sosial dan politik pada aras lokal. Melalui pendekatan-pendekatan yang lebih bercorak fenomenologis, historis-sosiologis, dan hermeneutis, diharapkan temuan-temuan konseptual hasil kajian lebih memperkuat dan memperkaya pengetahuan-pengetahuan dimaksud dengan karakter epistime lokalitasnya. Melalui penelitian ini, muncul gambaran tentang strategi elit lokal untuk tetap dominan di era demokrasi. Kenyataan ini sesuai dengan pendapat yang mengatakan
bahwa
kemunculan
kelompok
elite
merupakan
hasil
dari
kompleksitas organisasi-organisasi sosial, yang berkaitan dengan tantangan ekonomi dan politik heterogen, dan bukan sekedar proses alamiah bahwa mereka adalah manusia terpilih yang dikaruniai intelegensia tinggi oleh Tuhan. Secara praksis, temuan penelitian diharapkan pula bisa menyumbangkan academic values bagi kepentingan praksis sosial dan politik di Kabupaten Kupang, Provinsi NTT dan Pemerintahan pada umumnya. Setidaknya, hasil penelitian bisa digunakan sebagai referensi ilmiah bagi para elite lokal guna 10
kepentingan aktivitas politik yang dilakukannya baik untuk kepentingan saat sekarang maupun di masa mendatang.
D. Kajian Pustaka Tulisan mengenai elit tradisional suku Atoin Meto telah menjadi perhatian sejak awal abad ke XIX, F.A.E Van Wouden dalam disertasinya berjudul Structuurtypen in de Groote Oost, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa inggris dengan Judul Types The Social Structure Of Eastern Indonesia atau dalam edisi bahasa Indonesianya berjudul Klen, Mitos dan Kekuasaan, yang diterbitkan oleh Graffiti Pers Jakarta, tahun 1985, melaksanakan penelitiannya di Daerah Sumba, Flores, Kepulauan Timor, Buru, Ambon hingga Seram-Tanimbar. Van Wouden pada salah satu sub bab pembahasannya mendeskripsikan dan menganalisa struktur sosial di Kepulauan Timor termasuk didalamnya struktur pemerintahan Tradisional Usif Sonba‟i yang bersumber dari mitos dan perkawinan cross cousin (Van Wouden 1985:93-131). Mitos
dan pola
perkawinan tersebut pula menjadi dasar pembentukan stuktur sosial di Timor. Sebagian mitos dan pola perkawinan masih dilestarikan dan dijadikan sebagai modal dan strategi Sonba‟i untuk tetap diakui sebagai raja timor. Selain tulisan Van Wouden, Dr.Pieter Middelkoop seorang misionaris Belanda yang sangat berperan besar dalam penyebaran agama Kristen di Pulau Timor, sejak awal kedatangannya pada tahun 1922 hingga akhir tahun 1960, mendapatkan tugas khusus dari gerejanya untuk mempelajari bahasa Dawan/ Atoin Meto secara mendalam untuk digunakan dalam pewartaan injil. Dalam 11
perjalanan perwartaan injil, Dr. Pieter Milddelkoop menghasilkan berbagai karya antara lain buku berjudul “Lets over Sonba‟i het bekende vorstengeslacht op Timor”. Buku ini memuat berbagai variasi cerita tentang Usif Sonba‟i dan pengaruhnya pada berbagai kelompok Atoin Meto di Pulau Timor. Pada kumpulan tulisan Middelkoop lainnya yang dirangkum dan diterbitkan dengan judul “Atoni Pah Meto” pada tahun 1982 oleh BPK Gunung Mulia Untuk Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia Di Indonesia, Middelkoop membahas khusus tentang keberadaan sebagai keturunan raja terkenal (Middelkoop 1982: 62-109). Pada pembahasannya, Middelkoop mengawali dengan cerita tentang asal-usul berdasarkan mitos masyarakat yang dilayaninya. Kemudian Middelkoop mendeskripsikan Tindakan dan pengaruh Usif Sonba‟i dalam penguasaan mula-mula atas Suku Atoin Meto lewat mitos dan perkawinan. Tindakannya yang kejam saat menjalankan pemerintahan, penguasaan atas pola pikir suku Atoin Meto yang mentahbiskannya sebagai anak Tuan Langit (neno anan) atau yang oleh Middelkoop diistilahkan sebagai Mahluk Setengah Dewa. Middelkoop menutupnya dengan mengkisahkan perjuangan Usif Sonba‟i melawan penjajah Belanda serta menguraikan silsilahnya. Karya Middelkoop dalam Pemberitaan Injil di Timor telah pula berimplikasi terhadap pergeseran makna Usif Sonba‟i. Middelkoop menggunakan istilah Neno Anan (putera langit) sebagai Padanan dalam memperkenalkan dan menjelaskan Tuhan Yesus Kristus Anak Allah. Penggunaan istilah Neno Anan tersebut dengan sendiri menggeserkan posisi Usif Sonba‟i bukan sebagai Neno Anan (Middelkoop 1982: 99-102). 12
Selain kedua tulisan tersebut, Prof. Dr. H.G Schulte Nordholt seorang antropolog sosial yang ditugaskan oleh Pemerintahan penjajahan Belanda sebagai Kepala Pemerintahan di Timor Tengah Utara (Kabupaten TTU) juga banyak memiliki catatan dan laporan selama pelaksanaan tugasnya tentang perkembangan wilayah penugasannya. Nordholt mulai mengumpulkan catatan tentang cara berpikir dan bertindak masyarakat setempat, mitos dan ritus, serta sistem pemerintahan adat yang kemudian menjadi bahan disertasinya pada tahun 1966. Disertasi tersebut disempurnakan pada saat kunjungannya yang terakhir pada tahun 1970 dan diterbitkan pada Tahun 1971 dengan judul The Political system of The Atoni of Timor. Pada salah satu bab disertasinya yang diberi judul “The Immediate Sphere of Influence of
Sonba’i”, Nordholt mengkhususkan
pembahasan tentang Sonba‟i (Nordholt 1971: 262-307). Tulisan itu diawali dengan mengkisahkan mitos kedatangan Sonba‟i, mitos penciptaan tanaman di Pulau Timor, sistem kekerabatan, cara dan perilaku Sonba‟i sebagai Raja yang memunculkan pemberontakan dan menyebabkan perpecahan dalam Keluarga Sonba‟i (Mone/Mnatu- Feto/Muti) hingga perubahan sistem pemerintahan dan penguasaan wilayah sebagai akibat kehadiran kekuasaan Asing. Lebih spesifik, penelitian tentang peranan elit tradisional dalam kekuasaan di desa ditulis oleh Heru Pudjo Buntoro tahun 1988 dengan judul Karaena-Urena Suatu Studi tentang Hubungan Sosial dan Peranan Elit Tradisional di Desa Tolo Kabupaten Jeneponto (Amin M.M, dkk 1988: 115-197). Penelitian yang terpilih untuk
dipublikasikan
oleh
Pusat
Latihan
Penelitian
ilmu-Ilmu
Sosial,
mengdeskripsikan dan menganalisa tentang proses penyusutan kekuasaan yang 13
dialami oleh kelompok Karaeng di Tolo, sebagai akibat perubahan sosial serta upaya kelompok Karaeng untuk mempertahankan kekuasaannya di desa melalui Perapatan diri ke Negara, asimilasi dengan budaya baru khususnya agama (islam) dan upaya masuk ke dalam kelompok elit baru yang lebih terdiferensiasi. Penelitian selanjutnya yang menjelaskan tentang pertarungan antara kelompok Elit baru dan kelompok Elit tradisional dalam memperebutkan kekuasaan Pemerintahan desa ditulis oleh M.Syahbudin Latief dengan Judul Persaingan Calon Kepala Desa Di Jawa. Penelitian yang dilakukan di Desa Guworejo, Kecamatan Karang Malang, Kabupaten Sragen menganalisa proses pemilihan kepala desa yang diikuti oleh sejumlah calon dan mengerucut menjadi 2 (dua) orang calon dengan latar belakangnya masing-masing. Kedua calon tersebut merupakan simbol dari kelompok elit baru dan kelompok elit tradisional. Kelompok elit tradisional mengandalkan modal sosial berupa kekuatan hubungan kekerabatan yang bersumber pada cikal bakal pendiri desa, sedangkan kelompok elit baru menggunakan modal sosial berupa jaringan kepengurusan dan kader Partai yang berkuasa saat itu (Golkar). Kemudian dimanakah posisi tulisan ini diantara tulisan-tulisan yang telah ada? Penelitian tentang Usif Sonba‟i dalam konteks modal yang dimiliki dan penggunaan modal sebagai strategi untuk tetap dominan di Desa Kauniki belum pernah dilakukan. Hasil penelitian ini adalah untuk menemukan dan memahami upaya Usif Sonba‟i untuk tetap dominan di Desa Kauniki dalam perubahan gaya pemerintahan sebagai akibat otonomi daerah.
14
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya adalah pada perubahan strategi yang digunakan elite tradisional untuk menunjukkan dominasinya pada masyarakat dengan mengelola modal baik dengan cara menginvestasikannya maupun dengan cara mempertukarkannya sebagaimana perubahan sosial yang terjadi. Lebih lanjut, terdapat pula persamaan dari penelitian ini dengan penelitian lain yakni pada objek penelitian dimana penelitian lain juga membahas tentang elite tradisional yang turut berkontestasi di ruang kekuasaan dalam struktur pemerintah.
E. Perspektif Teoritik Untuk menganalisa hasil penelitian ini, peneliti menggunakan pemikiran Pierre Bourdieu tentang arena (ranah), strategi dan modal. Teori tersebut untuk menjelaskan bagaimana Usif Sonba‟i
tetap dominan di arena sosial yang
ditempatinya. Memang pada sebuah masyarakat selalu ada yang lebih dominan dan ada pula yang terdominasi. Dominasi tersebut bergantung dengan situasi (ranah) , kapital/modal serta habitus dan strategi pelakunya. Teori Bourdieu lebih cenderung menganalisa tindakan sebagai teks hidup yang dapat dianalisa. Fenomena sosial yang terjadi di lapangan dapat dianalisa dengan teori bourdiue ketika terjadi tindakan yang berusaha mengubah hubungan dominasi sosial dan sumber daya yang dimiliki, seperti: produksi, pengetahuan dan norma-norma etika (Haryatmoko, Basis,2003:11-12).
15
Pierre Bourdieu mengembangkan teori tindakan pada konsep habitus. Teori ini berusaha untuk menunjukkan bahwa agen mengembangkan strateginya sesuai dengan modal dan kebutuhan ruang sosial (arena) yang mereka huni. Strategi-strategi yang terbangun menyatu pada tindakan yang ditunjukan oleh agen tanpa disadari dalam kehidupan kesehariannya. 1. Arena sebagai sebuah perjuangan Dalam arena akan ditentukan apakah hubungan-hubungan yang terstruktur akan tetap dipertahankan atau dirubah. Pada ruang sosial (arena) didalamnya adalah perjuangan untuk mempertahankan atau meningkatkan posisi agen. Di dalam
perjuangan
tersebut,
agen
mencoba
mempertaruhkan
berbagai
modal/sumber daya dan akses terbatas yang dimilikinya. Atau dengan kata lain yang dipertaruhkan di dalam arena adalah akumulasi modal. Arena adalah ruang perjuangan dengan mempertaruhkan, misalnya benda kultural (gaya hidup), perumahan, kemajuan intelektual (pendidikan), pekerjaan, tanah, kekuasaan (politik), kelas sosial, prestise atau lainnya, dan mungkin berada pada tingkatan yang berbeda dengan spesifikasi dan derajat kekongkretan (Jenksin, Richard, 2010: 124). Dengan demikian, arena dibentuk dari jaringan relasi antara posisi yang dihuni oleh agen. Arena juga berupa sistem kekuasaan antara posisi-posisi ini, yang menentukan apakah suatu posisi dominan, subordinan, atau setara terhadap posisi lain, yang ditentukan oleh aksesnya terhadap sumberdaya tertentu yang dihargai dan diperebutkan dalam arena tersebut. Dengan demikian, sebuah arena selalu merupakan arena perebutan, pergulatan, dan perjuangan (Wacquant, 1992: 16
582-583). Konsep ini dibutuhkan untuk menempatkan arena sebagai sesuatu yang dinamis yang didalamnya bermacam-macam potensi hadir, baik karena pertarungan internal antara berbagai posisi maupun karena pergesekan dengan arena lain (Wacquant, 1992: 39). Jaringan relasi antar posisi dalam arena didasari oleh Habitus. Habitus menurut Bourdieu adalah sistem pengetahuan (kognitif) pada individu yang terdiri dari kecenderungan-kecenderungan terus-menerus yang berlangsung didalam diri pelaku sepanjang hidupnya, yang berfungsi sebagai basis pembentuk praktik yang terstruktur dan memperantarai individu dengan realitas sosial yang secara objektif disatukan. Skema habitus dan bentuk-bentuk klasifikasi primer bergerak dari bawah kesadaran dan bahasa, melampaui jangkauan pengamatan introspektif atau kontrol oleh keinginan pelaku. Habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian mereka secara spontan dan melakukan hubungan dengan pihak lain di luar dirinya. Dalam proses interaksi dengan pihak luar itu, terbentuklah ranah/arena. (Cheelen Mahar, 2009:xix). Arena sebagai ruang sosial yang dinamis, kedinamikaannya dipengaruhi oleh perubahan sosial. Dalam teori perubahan sosial (Piotr Sztompka:2007) menyatakan kemungkinan perubahan dalam suatu ruang sosial sebagai berikut : 1. Perubahan komposisi (misalnya; migrasi dari satu kelompok ke kelompok lain, menjadi anggota satu kelompok tertentu, pengurangan jumlah penduduk karena kelaparan, demobilisasi gerakan sosial, bubarnya suatu kelompok)
17
2. Perubahan struktur (misalnya, terciptanya kristalisasi kekuasaan, munculnya ikatan persahabatan, kekerabatan, terbentuknya kerja sama atau hubungan kompetitif) 3. Perubahan fungsi (misalnya spesialisasi dan diferensiasi pekerjaan) 4. Perubahan batas (misalnya; penggabungan beberapa kelompok, atau suatu
kelompok
keanggotaan
oleh
kelompok
kelompok dan
lain,
mengendurnya
demokratisasi
kriteria
keanggotaan
dan
penaklukan). 5. Perubahan hubungan antar subsistem (misalnya penguasaan rezim politik
atas
organisasi
ekonomi,
pengendalian
keluarga
dan
keseluruhan kehidupan privat oleh pemerintah totaliter). 6. Perubahan lingkungan (misalnya; bencana alam dan wabah )
Perubahan yang terjadi sejak terdominasinya struktur kekuasaan tradisional oleh negara sebagai suprastruktur kekuasaan, melahirkan perubahan sosial yang berimplikasi terhadap hadirnya perebutan ruang – ruang baru bagi masyarakat tradisional dan modern. Salah satu hal yang paling konkrit implikasi perubahan sosial yaitu hadirnya modernisasi dalam penelitian ini modernisasi dimaksud diawali oleh hadirnya kolonialisasi, modernisasi sangat mempengaruhi kehidupan politik, selanjutnya modernisasi politik selalu didefenisikan sebagai batas paling tegas antara masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Aspek yang paling penting dari modernisasi politik (Samuel P. Huntington; 2004) dapat dikristalisir dalam tiga kategori utama yaitu ; 1.
Modernisasi politik melibatkan adanya rasionalisasi kekuasaan, 18
pergantian sejumlah besar pejabat-pejabat politik tradisional, etnis, keagamaan, kekeluargaan oleh kekuasaan nasional yang bersifat sekuler. Perubahan ini menunjukkan bahwa pemerintahan adalah produk kerja manusia bukan hakikat alam ataupun Tuhan, sehingga tertib sosial yang baik harus mengandung ukuran sumber daya manusia yang tetap pada kekuasaan akhir dan takluk pada aturan hukum positif diatas segala peraturan yang ada. Artinya diperlukan integrasi nasional serta sentralisasi dan akumulasi kekuasaan lembaga- lembaga pembuat hukum nasional yang berwibawa tinggi. 2.
Pembangunan politik melibatkan diferensisasi fungsi politik yang baru dan pengembangan struktur khusus sebagai pelaksanaan seluruh fungsi tersebut. terperinci
Hierarkhi
administrasi
menjadi
kian
dan tegas, kompleks serta lebih disiplin. Jabatan dan
kekuasaan didistribusikan dengan bersandar pada ukuran prestasi kerja dan bukan askripsi. 3.
Pembangunan serta
politik
politik
ditandai
dengan
meningkatnya
yang
meliputi
seluruh
lapisan
peran
masyarakat.
Mendalamnya partisipasi dibidang politik ini dapat meningkatkan kadar kontrol penguasa atas masyarakat, seperti pada negara totaliter atau mempertegas pengawasan massa atas pemerintah, seperti dalam sistem demokrasi.
Dalam struktur masyarakat terdapat beragam arena. Arena mengisi ruang sosial. Arena adalah ruang kontestasi sosial yang dinamis. Sistem arena dapat 19
dibayangkan, sederhananya, seperti sebuah sistem planet, dimana setiap arena memiliki kekuatan dan strukturnya sendiri. Kemudian, bagimana mengenai relasi antara habitus dengan arena? Untuk itu pada bagian berikut dipaparkan produk dari relasi habitus dan arena secara bersamaan menghasilkan tindakan/praktik. Seluruh tindakan manusia terjadi dalam ranah sosial yang merupakan arena bagi perjuangan sumber daya. Atribut utama tindakan/praktik yang digunakan Bourdieu, yaitu sifat dasar strategi dan perjuangan posisi-posisi dalam arena.
2. Strategi dalam Konsep Ketika agen menjadi penanda batas paling tegas untuk berelasi sekaligus untuk mereproduksi kekuasaan maka strategi menjadi tak terhindarkan untuk dibahas sehingga dapat dipahami bahwa dominasi tidak datang dengan sendirinya tetapi melalui perjuangan-perjuangan posisi dalam ruang sosial. Bentuk –bentuk perjuangan posisi itulah yang dalam tulisan ini disebut sebagai strategi. Strategi yang dimaksud disini yaitu strategi reproduksi dan strategi pertukaran (Cheleen Mahar,dkk, 1990: 30). Strategi tersebut menjadi strategi kelas dominan dan kelas – kelas sosial lainnya untuk mempertahankan kekuasaan serta melanggengkan apa yang dikonstruksi leluhurnya sehingga dibudayakan dan terlihat alamiah. Sebagai
sesuatu
yang
alamiah,
hadirnya
perbedaan
kemampuan
memobilisasi terciptanya kelompok yang dominan dan terdominasi. Kelompok yang dominan inilah yang dikonsepsikan sebagai elite. Istilah elite lazim didefinisikan sebagai anggota suatu kelompok kecil (the rulling class) dalam masyarakat yang tergolong disegani, dihormati, kaya serta berkuasa. Kelompok 20
ini merupakan kelompok dominan yang menduduki posisi-posisi penting, memiliki kemampuan mengendalikan kegiatan ekonomi dan politik, serta berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan-keputusan krusial yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Untuk memperkuat posisi sosialnya, terkadang kelompok tersebut menciptakan organisasi-organisasi, aturan-aturan serta peranan yang ditunjang oleh suatu sistem tradisi untuk memenuhi kebutuhannya (Keller, 1995:4, Mills, 1956:3). Berkaitan dengan posisi elite sebagai agen di arena, maka bobot dan jumlah modal yang dimiliki yang menentukan. Elite yang menduduki posisi dalam arena tersebut menjalankan strategi. Melalui strategi inilah “elite yang menduduki
posisi
ini, baik
secara
individual
maupun
kolektif
untuk
mempertahankan atau memperbaiki posisi mereka dan menerapkan prinsipprinsip hierarkisasi yang paling sesuai dengan produk mereka sendiri. Strategi agen tergantung pada posisi mereka diarena” (Bourdieu dan Wacquant, 1992). Bourdieu membedakan ada dua jenis strategi dalam ranah yang biasa dipakai oleh para agen dalam perjuangan kekuasaan (Swartz 1996: 125), sebagai berikut:
a. Strategi Reproduksi Dalam upaya mempertahankan kekuasaan maka individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan akan selalu berupaya menjadikan modal bukan saja sebagai modal dalam berelasi tetapi juga penanda batas perbedaan antara pemilik modal dan non pemilik modal. Bahkan kecendrungan mengakumulasi modal lainnya dari modal yang sudah dimiliki sehingga kedudukan sosial menjadi tidak 21
terganggu bahkan tetap bertahan. Strategi ini dirancang atau diperantarai untuk mempertahankan dan meningkatkan posisi . Praktik – praktik ini diperantarai dengan berbagai disposisi ke arah masa depan yang sangat terbiasa dengan kemungkinan objektif. Strategi ini bergantung pada jumlah modal, kondisi instrumen produksi (hukum-hukum warisan, pasar tenaga kerja, sistem pendidikan). Kondisi instrumen – instrumen itu sendiri bergantung pada keadaan relasi – relasi kekuasaan antar berbagai kelas (Cheleen Mahar, dkk, 1990: 23). Modal yang tadinya merupakan penentu kelas sosial mereproduksi kekuasaan itu sendiri untuk mengakumulasi modal lainnya dengan cara mendominasi kebudayaan di sekelilingnya. Ketika kebudayaan kelompok dominan mendominasi maka pengontrolan terhadap sumber – sumber ekonomi, sosial, dan politik menjadi tak terhindarkan, disinilah perwujudan strategi reproduksi bagi kelas dominan kembali menguat (Cheleen Mahar, dkk, 1990: 110). Dalam bentuk strategi reproduksi yang lain, kelas-kelas yang ada terutama kelas dominan, menjaga eksistensi kelasnya dengan berusaha sedemikian rupa sehingga hal itu tampak alamiah, sehingga tanpa disadari terus dibudayakan. Dari sesuatu yang dianggap alamiah inilah kemudian proses strategi reproduksi terlahir. Proses strategi reproduksi itu dapat dilihat dari pemanfaatan perbedaan kelas, yaitu ketika kelas populer/ bawah tidak diperbolehkan kawin dengan kelas dominan, karena kelas populer dianggap tak sepadan dan setara dengan kelas dominan terutama dalam bersikap. Padahal sesungguhnya bukan karena keduanya tidak dapat dipersatukan tetapi hal ini lebih dikarenakan pada ketiadaan waktu 22
perjumpaan, latar belakang budaya atau habitus mereka yang berbeda. Lebih lanjut membuat kedua kelas tersebut juga sulit untuk saling memahami, sehingga kalaupun disatukan keduanya sulit untuk saling menerima karena telah dikonstruksi sedemikian rupa oleh kelas dominan/ kelas atas untuk selalu dipertanyakan. Hal ini juga berkorelasi dengan upaya menjaga identitas individual dan kelompok yang diinstrumentasikan melalui garis keturunan, klan, rumah tangga bahkan suku sehingga kelompok tersebut dapat mengasumsikan warisan budaya sebagai hak milik tak terbagi, tetapi pada saat yang sama mereproduksi perbedaan identitas untuk melakukan penggandaan produktifitas modal guna mendapatkan legetimasi kekuasaan dari kelas yang ada (Cheleen Mahar, dkk, 1990: 113). Institusi – institusi dominan yang telah terstruktur, didesain sedemikian rupa oleh kelas dominan untuk menguntungkan mereka yang dianggap memiliki modal. Sehingga gaya, selera, kecerdasan yang kelihatannya natural seolah-olah datangnya dari kelas dominan padahal sesungguhnya sikap dan kemahiran itu adalah budaya kelas. Dengan cara tersebut habitus dominan ditransformasi menjadi bentuk modal budaya yang diterima begitu saja dan menjadi kelaziman. Hal inilah kemudian menjadi saringan paling efektif
dalam proses-proses
reproduktif sebuah masyarakat hierarkhis.
b. Strategi Pertukaran Strategi
ini
lebih
dikenal
dengan
reconversion
strategi,
yang
berkorespondensi dengan pergerakan-pergerakan didalam ruang sosial yang 23
terstruktur dalam dua dimensi. Pertama, dalam hal jumlah modal terstruktur dan Kedua, lewat penstrukturan tipe–tipe modal yang dominan dan terdominasi. Orang–orang bergerak kesamping atau keatas dan kebawah bergantung pada modal, misalnya pertukaran modal ekonomi menjadi modal pendidikan – sebuah strategi yang memungkinkan bisnis mampu secara legitimate mempertahankan posisi para pewarisnya (Cheleen Mahar, dkk, 1990:23). Contoh lain yang dapat dilihat pertukaran modal simbolik/ kultural menjadi modal politik, sehingga dalam strategi ini ia mengasumsikan setiap kelas yang memiliki modal berkecendrungan menukarkan modal yang dimiliki asalkan dapat mengakumulasi modal lainnya dan itu bertujuan mempertahankan kedudukan – kedudukan sosial. Proses pertukaran ini bisa terjadi melalui perkawinan, politik, maupun bentuk-bentuk “kehormatan” lainnya atau juga dalam bentuk kedermawanan sehingga menutup ruang dipertanyakan kembali ruang pertukaran yang sekaligus melegitimasi pembagian kekuasaan yang tidak merata bagi para partisipan yang terlibat (Cheleen Mahar, dkk, 1990:25). Dengan demikian mereproduksi relasi – relasi kekuasaan yang sudah ada, menyamarkan perjuangan posisi dan strategi – strategi untuk memperoleh modal simbolik dalam rangka menguasai ranah yang ada. Dalam proses perkawinan dalam kelas dominan seperti yang telah disebutkan diatas sesungguhnya kelas dominan bukan saja bertambah jumlah modal yang ia miliki melainkan juga memobilisasi terciptanya modal sosial akibat hubungan – hubungan kekerabatan yang dibangun. Sehingga dengan demikian ada upaya yang tadinya terlihat bahwa pernikahan itu natural tetapi sesungguhnya 24
adalah upaya yang dilakukan kelas – kelas yang ada dan pada saat yang sama mereproduksi pemahaman disekelilingnya bahwa ia pantas karena memiliki hubungan-hubungan sosial dengan kelas lainnya yang setara. Sehingga modal sosial sekaligus modal kultural didapatkan serta berkemungkinan terakumulasinya modal ekonomi, karena asumsinya memiliki pertimbangan dan akumulasi modal yang sama. Sedangkan dalam upaya rekonfersi yang dilakukan dalam
proses
pengambilan kekuasaan politik yaitu penguasaan terhadap habitus yang ada oleh kelas dominan merupakan ruang dan peluang untuk dibangunnya kekuasaan akibat mobilisasi strategi pertukaran diantara kelas yang ada dan kelas yang bukan bagian dari habitus tetapi sungguh membutuhkan bentuk – bentuk legetimasi yang juga berasal dari kelas populer atau rendahan yang ditentukan oleh kelas dominan. Sebagai contoh misalnya modal sosial – kekerabatan yang dimiliki oleh kelas dominan merupakan modal awal, serta pada saat yang sama kelas dominan juga memiliki modal ekonomi lebih yang mampu diberikan pada kelas populer dan kelas populer sendiri tidak mampu menukarkan modal yang ia miliki selain kepatuhan dan loyalitas, disinilah proses pertukaran kepatuhan dan modal ekonomi serta didukung oleh modal sosial yang dimiliki kelas dominan, maka terciptalah apa yang dinamakan kekuasaan kelas dominan. Mobilisasi “kehormatan”, biasanya melalui hadiah-hadiah/ partisipasi kelas dominan dalam kegiatan – kegiatan budaya kelas, yang dilazimkan untuk dikonstruksi sedemikian rupa sehingga tercipta mobilisasi makna bahwa pemberian hadiah atau semacamnya oleh kelas dominan terhadap kelas populer 25
atau juga kepada kelas borjuasi kecil merupakan “kehormatan” yang ditunjukkan oleh kelas dominan pada kelas borjuasi kecil dan kelas populer sehingga kedua kelas ini harus memberi makna terhadap kehormatan dimaksud. Interpretasi makna inilah kemudian yang mengharuskan ketertundukan dan kepatuhan kelas populer dan kelas borjuasi kecil sehingga kelas dominan mendapatkan ruangnya sekaligus menemukan pembenaran terhadap proses pertukaran yang ada dalam ruang sosial. Sehingga dalam konteks politik, kelas dominan menjadi penentu karena bukan saja mengakumulasi modal yang ada dimasyarakat, dalam bentuk saling menjaga antar sesama kelas dan berelasi dengan kelas borjuasi kecil sehingga mendapatkan legetimasi simbolik, tetapi juga kelas dominan mendapatkan pembenarannya ketika dipahami bahwa upaya kelas dominan sebagai upaya melindungi habitus yang ada termasuk modal sosial yang terlanjur dikagumi. Kekaguman dalam budaya inilah yang turut mereproduksi kebanggaan dalam habitus untuk hadirnya relasi antara kelas populer, kelas borjuasi kecil dengan kelas dominan. Bentuk paling konkrit yang dapat dilihat dari kekaguman dimaksud adalah mendukung kelas dominan untuk menjadi simbol dari habitus yang ada, sebagai lambang kepercayaan paling pantas untuk menjadi representase dari budaya kelas itu sendiri. Strategi pertukaran menemukan ruangnya ketika pemilik kekuasaan simbolik mendapatkan kepercayaan dari habitus dan menjadikan habitus itu sendiri sebagai titik pusat kecenderungan yang memobilisasi harus tetap terciptanya dan terpeliharanya semangat saling percaya antara kelas dominan, 26
kelas borjuasi kecil dan terutama kelas populer. Kepercayaan inilah yang sesungguhnya secara instuitif mempengaruhi tetap berlangsungnya relasi kuasa kelas dominan dan kelas lainnya. 3. Modal dalam Definisi dan Konsep Menjadi suatu kelaziman, manusia sebagai mahluk sosial untuk berelasi dengan sesamanya dan menyesuaikan dengan lingkungan sekitarnya. Ketika manusia yang satu berelasi dengan manusia yang lain, pada saat yang sama muncul sekelompok manusia yang mampu mempengaruhi serta menjadikan manusia lain seturut dengan keinginan manusia yang memiliki kekuasaan, maka demikianlah apa yang dikonsepsikan sebagai kekuasan (Budiardjo, 2002:35) hadir dan menjadi penting dari relasi tersebut. Sebagai sesuatu yang alamiah, hadirnya perbedaan kemampuan diantara manusia memobilisasi terciptanya kelompok yang mendominasi dan kelompok yang didominasi. Kelompok yang mendominasi inilah yang kemudian dikonsepsikan sebagai elit, yaitu mereka yang memiliki keunggulan-keunggulan atau superioritas apabila dibandingkan dengan kelompok lainnya didalam masyarakat (Haryanto, 2005: 66) dan kelompok yang didominasi berada pada posisi sebaliknya. Mendominasi atau didominasi hanya dapat terjadi ketika mereka memiliki kesamaan pemahaman terhadap sesuatu yang dianggap sumber daya/modal yang oleh mereka sendiri dibutuhkan dan dapat menjamin kelangsungan hidup secara bersama. Begitu pentingnya sumber daya dimaksud sehingga menimbulkan upaya untuk selalu menjaga dan mampu mengikat kehidupan diantara sesama. Sumber daya menjadi bagian pertaruhan penting dari 27
kehidupan bersama dan merupakan penentu tetap lestarinya relasi tersebut. Sumber daya inilah yang kemudian dikonsepsikan oleh Bourdiue sebagai modal (Haryatmoko dalam Basis, 2003: 11). Lebih lanjut dalam penjelasannya bahwa itu dikatakan modal karena beberapa ciri layaknya modal dalam ilmu ekonomi yang mampu menjelaskan hubungan-hubungan sosial misalnya, Pertama; modal terakumulasi melalui investasi, Kedua; modal juga bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan, Ketiga; modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya (Haryatmoko dalam Basis, 2003: 11). Modal dipahami oleh Bourdieu sebagai sarana hubungan sosial artinya suatu energi sosial yang hanya ada dan membuahkan hasil – hasil dalam arena perjuangan dimana ia memproduksi dan mereproduksi disposisi untuk hadirnya kekuasaan. Proses memproduksi dan mereproduksi disposisi inilah yang disebut habitus. Sedangkan disposisi sendiri adalah sikap, kecenderungan dalam mempersepsi, merasakan, melakukan dan berpikir yang diinternalisasikan oleh individu, berkat kondisi objektif seseorang (Haryatmoko dalam Basis, 2003: 12). Dalam habitus setiap kepemilikan modal selalu terkait dengan kelas sosial, kelas tertentu menerima nilainya dan efektifitasnya dari hukum – hukum khas suatu arena; dalam prakteknya, dalam suatu arena khusus, semua disposisi dan kepemilikan objektif (kekayaan ekonomi dan budaya) atau dengan bahasa yang lebih sederhana dalam habitus ini tercipta kelas – kelas sosial, dimana kelas – kelas sosial ini bukan saja sebagai penanda batas kelas yang satu dengan yang 28
lain, terutama dalam cara mereka bersikap, berinteraksi dan berelasi tetapi juga kelas sosial ini menjadi penanda batas paling tegas antara pemilik modal dan mereka yang tidak memiliki modal. Sehingga sikap – sikap inilah yang kemudian menjadi penanda yang memproduksi sekaligus mereproduksi penerimaan terhadap dominasi dan perbedaan yang ada. Konsep habitus sendiri tidak bisa dipisahkan dari konsep ranah perjuangan (champ). Dua konsep ini sangat dasariah karena sesungguhnya saling mengandaikan hubungan dua arah; struktur – struktur bidang sosial dan struktur – struktur habitus yang telah terintegrasi pada pelaku. Konsep ranah perjuangan (champ)
menjadi
sangat
menentukan
karena
dalam
masyarakat
yang
terdiferensiasi lingkup hubungan-hubungan objektif mempunyai kekhasan yang tidak bisa direduksi pada hubungan yang mengatur bidang lain. Karenanya ranah dipahami sebagai ranah kekuatan yang secara parsial bersifat otonom dan juga didalamnya berlangsung perjuangan posisi-posisi. Perjuangan ini dipandang mentransformasi atau mempertahankan ranah kekuatan. Posisi – posisi ditentukan oleh pembagian modal khusus untuk para aktor yang berlokasi diranah tersebut. Ketika posisi dicapai mereka dapat berinteraksi dengan habitus untuk menghasilkan postur – postur (sikap badan, prise de position) berbeda yang memiliki suatu efek tersendiri pada ekonomi “pengambilan posisi” didalam ranah tersebut (Haryatmoko dalam Basis, 2003: 10). Untuk itu seperti yang telah disebutkan diatas pada dasarnya setiap bidang diwarnai kelompok masyarakat yang menguasai atau yang dikuasai. Dalam pembedaan inilah terletak
29
prinsip dasar pengorganisasian sosial. Namun dominasi sangat tergantung pada situasi, sumber daya dan strategi pelaku (Haryatmoko dalam Basis, 2003: 11). Untuk itu pemetaan hubungan – hubungan kekuasaan dalam masyarakat menurut Bouerdiu dengan mendasarkan pada logika posisi – posisi dan kepemilikan sumber daya. Pendekatan ini memperhitungkan bahwa setiap kelas sosial tidak dapat didefenisikan secara terpisah tetapi selalu berhubungan dengan kelas – kelas sosial lainnya. Para pelaku menempati posisi masing – masing yang ditentukan oleh dua dimensi; Pertama, menurut besarnya modal yang dimiliki dan kedua, sesuai dengan bobot komposisi keseluruhan modal mereka. Modal – modal itu memungkinkan membentuk struktur lingkup sosial, karena posisi pelaku didalam lingkup kelas- kelas sosial sangat tergantung pada kepemilikan modal itu sendiri. Modal itu bisa berupa modal kultural, modal ekonomi, modal sosial dan juga modal simbolik (Haryatmoko dalam Basis, 2003: 12). Modal kultural yang
dimiliki oleh seseorang, bisa berupa ijasah,
pengetahuan yang sudah diperoleh, kode-kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, cara bergaul, sopan santun dan sebagainya yang berperan didalam penentuan dan reproduksi kedudukan – kedudukan sosial. Sedangkan yang termasuk modal ekonomi yaitu kepemilikan terhadap kekayaan yang terakumulasi melalui investasi, didapatkan melalui warisan bahkan menurut Bouerdiue modal ini dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki kepada pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya. Selain itu Bentuk hubungan dan jaringan hubungan juga merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi kedudukan sosial, ini 30
yang kemudian dipahami sebagai modal sosial. Suatu modal yang tidak lepas dari kekuasaan simbolik. Modal simbolik merupakan kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan kesetaraan dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi. Modal simbolik bisa berupa petunjuk-petunjuk yang tidak kentara tetapi sesungguhnya merupakan upaya penunjukan status tinggi pemiliknya (Haryatmoko dalam Basis, 2003: 12). Untuk itu model pembagian kelas – kelas yang juga ditentukan oleh modal yang dimiliki sesunguhnya mendefenisikan ruang atau jarak yang dapat diramalkan dan memungkinkan perjumpaan, hubungan, simpati dan bahkan hasrat. Dalam pendominasian terhadap sejumlah modal inilah, kerap menjadi dasar bagi individu atau kelompok untuk memobilisasi terciptanya proses kesantunan dan menyantuni sehingga kepatuhan bisa diproduksi dan direproduksi dalam habitus. Dalam proses kesantunan, individu atau kelompok yang sudah ditandai dengan kelas-kelas sosial masing-masing berusaha menjaga dan mengkonfersikan kesantunan menjadi kepatuhan dari kelas sosial yang lebih rendah kepada individu atau kelompok yang lebih tinggi dimana memiliki akumulasi modal lebih. Sedangkan
dalam
proses
menyantuni,
modal
ekonomi
menjadi
konsekuensi modal yang diandalkan untuk menyantuni mereka yang dianggap tidak memiliki modal atau juga untuk berelasi dengan sesama pemilik modal sehingga proses relasi kultural tetap terjalin didalam ruang sosial. Didalam ruang sosial inilah proses memproduksi dan mereproduksi kekuasaan dari kelas tertentu 31
kepada kelas lainnya akibat kepemilikan terhadap modal yang juga dibutuhkan oleh kelas lainnya menjadi awalan untuk mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan. Untuk itu kepemilikan terhadap modal menjadi prasyarat utama bagi individu atau kelompok untuk tetap mempertahankan kedududkan sosial serta memelihara relasi diantara kelas-kelas sosial, sehingga dengan demikian jalinan relasi, diantara kelas – kelas sosial hanya dapat memproduksi dan mereproduksi kekuasaan sangat tergantung pada kepemilikan modal dan pertukaran yang mengiringinya. Semakin banyak modal yang mampu kelas sosial pertukarkan maka semakin banyak pula modal yang diakumulasikannya, sehingga dengan demikian kelas tersebut mampu mendominasi dan menunjukkan perbedaan diantara kelas – kelas yang ada didalam ruang sosial. Lebih lanjut kelas dapat dibedakan menurut kepemilikan sumber daya yaitu kelas dominan, kelas borjuasi kecil dan kelas populer. Kelas dominan ditandai dengan besarnya kepemilikan modal, kelas ini mengakumulasi berbagai modal. Kelas dominan menunjukan perbedaannya untuk mengafirmasi identitas khasnya dan memaksakan pada semua dengan melegetimasi suatu visi tentang dunia sosial. Kelas ini juga mendefenisikan dan menentukan budaya yang sah menurut struktur modal yang dimiliki. Sedangkan kelas/ kaum borjuasi kecil dianggap masuk kedalam kelompok borjuasi karena memiliki kesamaan sifat dengan kaum borjuasi, yaitu keinginan untuk menaiki tangga sosial. Praktik – praktik kehidupan mereka dan representase anggota – anggotanya sangat terarah dan dapat dijelaskan melalui keinginan untuk menaiki tangga sosial. Kelas borjuasi kecil sangat menghormati tatanan sosial 32
yang ada dan sangat rigoris dalam hal moral. Mereka sangat menonjolkan keinginan atau kehendaknya dalam hal budaya, meski mendasarkan pada peniruan terhadap budaya kelas dominan. Kelompok terakhir adalah kelas populer ditandai dengan tiadanya kepemilikan modal, mereka hampir tidak memiliki empat jenis modal yang telah diutarakan diatas. Nilai yang menyatukan mereka ialah sejumlah praktek dan reperesentase yang menemukan makna dalam keunggulan fisik dan penerimaan dominasi, mereka adalah pekerja/ buruh (Haryatmoko dalam Basis, 2003: 12). Kelas – kelas sosial yang disebutkan diatas dikenal sebagai strata sosial dalam masyarakat. Secara fungsional lahirnya strata sosial karena kebutuhan masyarakat terhadap sistem produksi yang dihasilkan oleh masing – masing strata (Soekanto, 2006:49) yang mengisyaratkan satu sama lain untuk tetap memelihara hubungan-hubungan yang bersifat relasional, dimana modal sangat menentukan keberlangsungan relasi sebagaimana pemaparan diatas. Untuk itu diperlukan penjelasan lebih lanjut bagaimana penguasaan terhadap modal dapat terkonfersi menjadi kekuasaan, baik berupa kekuasaan simbolik, kekuasaan ekonomi maupun kekuasaan politik yang kesemuanya bermain didalam ranah dan habitus. Dalam upaya mempertahankan dominasi kekuasaan, maka individu atau kelompok selalu memobilisasi sesuatu yang sekiranya mampu mempengaruhi masyarakat disekelilingnya untuk mendapatkan pengakuan atau legetimasi dengan tanpa disadari oleh yang lainnya. Tetapi pada saat yang sama ada upaya yang dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat dipandang sebagai seorang berkelas berstatus dan berwibawa (prestise) yang pada akhirnya apa yang ia lakukan dan 33
tentukan harus diterima sebagai sesuatu kebenaran. Dalam posisi inilah ia mendapatkan ruang untuk “mempengaruhi” masyarakat disekelilingnya agar mengikuti apa yang diinginkannya, sehingga secara tidak langsung rasa, selera, nilai masyarakat disekelilingnya ditentukan oleh pemilik modal simbolik. Sedangkan penguasaan terhadap modal ekonomi berhubungan dengan kepemilikan terhadap aset yang dibutuhkan dalam ranah kultural dimana modal – modal ini sangat mempengaruhi kelangsungan hidup kelas yang tidak memiliki modal sama sekali tetapi diharuskan untuk tetap eksis dalam mempertahankan hidup karena tekanan ekonomi dan terutama untuk tetap berelasi dengan kelas sosial lainnya, disinilah pertukaran kepatuhan dan proses menyantuni tercipta. Sehingga pemilik modal ekonomi melakukan kedermawanan, sementara yang tidak memiliki modal menunjukkan kepatuhan. Pertukaran inilah yang menurut Bourdieu sendiri sebagai pertukaran paling hebat dalam ruang – ruang sosial (Richard Harker,dkk, 2009:17). Untuk membahas lebih jauh tentang kekuasaan yang bersumber dari modal politik maka tak terhindarkan proses pertukaran antar modal menjadi bahasan penting. Berbicara tentang politik maka pada saat yang sama juga berbicara tentang akumulasi modal yang dimiliki oleh individu/ kelompok/ institusi. Sebagai contoh misalnya ketika unsur representase menjadi syarat dominan dalam demokrasi maka “modal suara pemilih”menjadi penting untuk dipertukarkan, sementara pada saat yang sama peluang untuk mendominasi dalam habitus dimiliki oleh kelas dominan sebagai pemilik modal dan penentu kecendrungan yang sah. Pertukaran itu bisa berupa kekuasaan formal yang 34
diberikan kelas/ institusi diluar habitus tetapi pada saat yang sama proses itu merupakan penguatan legetimasi atau upaya mendapatkan pengakuan dari masyarakat sekeliling pada kelas dominan. Sehingga dengan demikian individu atau kelompok yang memiliki modal bukan saja mengakumulasi modal yang ada dimasyarakat tetapi lebih dari itu mereka diuntungkan untuk tetap menjaga dan menjamin tetap bertahannya kedudukan sosial. Bertahannya individu atau kelompok dalam kedudukan sosial selalu diikuti dengan perjuangan mengakumulasi modal. Hal inilah yang kemudian memobilisasi semangat diantara kelas dominan untuk saling menjaga dan memiliki kesadaran bersama bukan saja senantiasa mengakumulasi modal untuk dimiliki tetapi juga saling mempertukarkan modal yang mereka miliki dalam rangka mereproduksi kekuasaan. 4. Hegemoni; Proses penguasaan Sonba’I Dalam konsep yang sederhana, hegemoni dimaknai sebagai proses penguasaan kelas dominan (Sonba‟I) kepada kelas bawah (masyarakat) dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Disini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai. Oleh karena itu, hegemoni dibangun diatas ide, dan bukan kekuatan fisik semata untuk mengontrol ruang sosial dan politik. Agar yang dikuasai mematuhi kelas dominan, kelas yang dikuasai tidak hanya perlu menginternalisasi nilai-nilai serta norma yang diwacanakan kelas dominan. Lebih dari pada itu, mereka juga harus memberi persetujuan atas subordinasinya (Muhadi Sugiono, 1999:31). 35
Hegemoni terlihat begitu aktif pada pengelolaan sumber daya kultural dan simbolik yang dimiliki Sonba‟I. Sonba‟I mampu menguasai basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus aturanaturan adat yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka birokrasi adat yang ditentukan Sonba‟I. Mekanisme penguasaannya dapat dijelaskan sebagai berikut; kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi. Kelas dominan merekayasa kesadaran kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan. Sebagai contoh usif Sonba‟I dalam isi natoni diceritakan sebagai Uis Neno (tuan langit), yang membawa keberkahan bagi maasyarakat. Dia juga diakui sebagai manusia yang memperkenalkan pertanian pada masyarakat. Bagi Gramsci, hegemoni harus mampu memuat ide tentang usaha untuk mengadakan perubahan sosial secara radikal dan revolusioner. Gagasan hegemoninya juga telah mengandung isu-isu pokok dalam studi kultural. Mafefa (juru bicara Sonba‟I) sebagai aktor intelektual dipahami sebagai suatu strata sosial yang menjalankan suatu fungsi organisasional dalam pengertian yang luas dan memberikan homogenitas dan suatu kesadaran mengenai funsinya sendiri. Seiring dengan perubahan waktu dan kemajuan teknologi, perlu disadari, hegemoni tidak semata-mata penindasan atau penguasaan secara fisik, tetapi juga penguasaan secara wacana. Hegemoni wacana inilah yang berbahaya, karena manusia tidak menyadari dirinya terhegemoni. Secara berlawanan, Gramsci mendudukkan hegemoni sebagai satu bentuk supremasi satu kelompok atau 36
beberapa kelompok yang ditopang oleh kekuasaan fisik, inilah kemudian yang dimanakan “dominasi”. Teori hegemoni gramsci mensyaratkan penggunaan kekuatan koersif negara sebagai pilihan terakhir, ketika kesadaran pada wacana yang dibangun kelas dominan menemui kegagalan. Ketika kekuatan koersif digunakan, hal itu menunjukkan kelemahan ideologis maupun kultural untuk menjaga kekuasaanya (ibid, 1999 :37). Sebuah hubungan hegemoni diegakkan ketika kelompok dominan berhasil mendapat persetujuan kelompok subordinat atas sbordinasi mereka. Dengan kata lain, kelompok yang dikuasai menerima ide-ide dan kepentingan politik kelompok berkuasa seperti layaknya milik mereka sendiri. Dengan demikian, legitimasi kekuasaan kelompok berkuasa tidak ditentang karena ideologi, kultur, nilai-nilai, norma dan politiknya sudah diinternalisasikan sebagai kepunyaan sendiri oleh kelompok subordinat. Begitu konsensus ini didapat, ideologi, nilai-nilai, norma, dan politik itu semakin terlihat “wajar dan legitimate” dan ini berarti penggunaan kekuatan koersif oleh negara menjadi tidak penting lagi. Menjelaskan mengapa suatu kelompok berkuasa harus memperjuangkan legitimasi kekuasaanya dari masa ke masa. Lebih lanjut, Gramsci mengemukakan sekali kelompok yang berkuasa dapat diterima dan diinternalisasi oleh massa atau kelompok lain, maka kelompok berkuasa itu telah memantapkan hegemoninya dan, dengan sendirinya, legitimasinya untuk memerintah telah terjamin.
37
5. Narasi Pola Kekuasaan Usif Sonba’i
Kekuasaan 6. Sonba’i
Perubahan7.Sosial Elit lokal
Elit Negara
8. Kauniki sebagai Arena Perjuangan
Habitus
Habitus Habitus
Modal Sosial Gambar 1.2 Modal Kultural Modal Simbolik Modal Ekonomi
Strategi Habitus
1.Reproduksi 2.Pertukaran
Habitus
1.Modal Sosial 2.Modal Kultural 3.Modal Simbolik 4.Modal Ekonomi
Pola Kekuasaan Usif Sonba’i dari Dulu hingga sekarang. Sonba‟i sebagai elit tradisional dikonstruksi oleh modal – modal yang dimilikinya, yaitu modal sosial, modal kultural, modal simbolik serta modal ekonomi. Modal sosial dilihat dari relasi kekerabatan yang dimilikinya, modal kultural dilihat dari struktur sosial yang melingkupinya, modal simbolik dilihat dari simbol – simbol kultural yang memobilisasi pengaruh bagi Tob (To Ana) itu sendiri, serta modal ekonomi dilihat dari kepemilikan sumber produksi dan benda – benda budaya yang mampu didistribusikannya untuk kepentingan interaksi sosial – politik. Ketika terjadi perubahan sosial yang memobilisasi hadirnya struktur baru di Desa Kauniki, maka Sonba‟i menjawabnya dengan cara masuk dalam struktur baru yakni menjadikan jabatan Kepala Desa sebagai bagian dari strategi guna 38
mengakumulasi modal sehingga tetap dominan. Hal inilah yang penulis maksudkan dengan strategi. Dua strategi tersebut yaitu strategi reproduksi dan strategi pertukaran. Dua Strategi tersebut digunakan untuk mempertukarkan sekaligus mengkonversi modal – modal yang dimiliki sehingga dapat mengakumulasi modal lainnya, serta mampu menyesuaikan dengan semangat perubahan. Pengakumulasian modal inilah yang kemudian menjelaskan Sonba‟i memiliki modal politik serta senantiasa memiliki caranya sendiri dalam mempertahankan kekuasaan di zaman modern.
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Sepanjang pelaksanaan penelitian, ternyata penyempurnaan tidak hanya menyangkut pusat perhatian penelitian, melainkan juga pada metode penelitiannya. Bogdan dan Taylor (1975; 126) memang menegaskan agar para peneliti sosial mendidik dirinya sendiri (to be educated is to learn to create a new. We must constantly create new methods and new approaches). Metode ini dipilih karena peneliti dapat menemukan fakta-fakta dan melakukan interpretasi berdasarkan pada data-data yang diperoleh, baik data dari hasil wawancara maupun data sekunder yang diperoleh melalui dokumendokumen yang telah ada. Data-data yang diperoleh di lapangan adalah data deskriptif berupa kata-kata orang (tertulis maupun lisan) serta tingkah laku yang 39
teramati, termasuk gambar (Bogdan dan taylor, 1975). Proses interpretasi ini tidak dilakukan dengan mengujinya secara ketat dari segi kuantitas, jumlah, intensitas ataupun frekuensinya (Denzin dan Lincoln,1994:4). Tujuan yang diperoleh dari penggunaan metodologi ini adalah menemukan dan menjelaskan bagaimana Usif Sonba‟I dan keturunannya menggunakan sumberdaya yang dimilikinya untuk dipertukarkan dan diinvestasikan untuk kepentingan keberlangsungan dominasi kekuasaannya. Pendekatan
kualitatif-deskriptif
digunakan
oleh
peneliti
karena
memudahkannya dalam mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata yang tidak hanya sekarang namun di masa silam juga. Mengingat kompleksnya pokok persoalan dalam penelitian ini, maka deskripsi histori saja tidak cukup. Sifat perubahan dalam arena dan dinamika kekuasaan Sonba‟I cukup dinamis dari masa kolonial hingga era reformasi. Sifat-sifat perubahan dan dinamika kekuasaan itu sendiri menghendaki agar deskripsi histori dilengkapi dengan penjelasan analitis. Berbeda dengan pendekatan deskriptif naratif yang terkesan positivistik, pendekatan deskriptif analitis tepat digunakan dalam penelitian yang bersifat sosio-historis. Dalam konteks penelitian sosio-historis pendekatan deskriptif analitis
menggunakan
pemaparan
sejarah
tidak
semata-mata
bertujuan
menceritakan kejadian masa lalu, akan tetapi bermaksud untuk mengkaji sebabsebab, kondisi lingkungan, konteks sosio-kultur, atau dengan kata lain pendekatan deskriptif analitis secara mendalam menganalisa faktor-faktor kausal, kondisional, kontekstual tentang unsur-unsur yang merupakan komponen dan eksponen dari proses yang dikaji (Sartono Kartodirdjo, 1988:2). 40
Berdasarkan konsep teoritis yang merujuk pada pemikiran Bourdiue tentang arena, dimana arena sosial tersebut bersifat dinamis dan dinamika perubahan dalam sebuah arena tidak terlepas dari pergerakan modal dan strategi yang dipengaruhi oleh perubahan sosial. Maka pendekatan deskriptif analitis mampu menggambarkan secara deskriptif tentang proses perubahan yang terjadi (sosio-historis) dan menganalisa proses perubahan tersebut sehingga peneliti dapat mengidentifikasi dan menjawab pertanyaan penelitiannya tentang “apa yang menjadi modal dan bagaimana usif sonba‟i berstrategi dengan mempergunakan modal yang dimilikinya dalam proses mempertahankan dominasinya dalam dinamika arena kekuasaan yang dipengaruhi oleh perubahan sosial”. Dalam proses penelitian dengan pendekatan deskriptif analitis, setiap analisa yang dilakukan dijabarkan secara deskripsi dan setiap deskripsi yang memadai tergantung pada cukupnya sebab-sebab yang ada didalam pakem teoritis yang digunakan (Sartono kartodirdjo, 1970:61-68). Peneliti menemukan bukti modal yang dimiliki Usif Sonba‟I dari masa lalu hingga saat ini, seperti kepemilikan lahan, ternak, pewarisan marga, tuturan adat, mitos tentang sonba‟I, dan sebagainya yang selanjutnya dipaparkan pada Bab III dan Bab IV. Fakta tentang sumberdaya yang dimiliki usif Sonba‟I dapat diamati langsung oleh peneliti selama proses penelitian berlangsung. Pendekatan ini mampu menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara ini berjalan, dimana hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari rekonstruksi masa lampau,
misalnya Usif Sonba‟I dan keturunannya masih
dianggap sebagai pemimpin oleh masyarakat di tengah berkuasaanya negara 41
karena dahulu Sonba‟I adalah raja babad tanah alas di daratan Timor Barat. Pendekatan ini juga digunakan untuk meninjau persoalan dari sebab- sebab tertentu suatu keadaan. Hal yang menjadi ciri dari penggunaan pendekatan ini selain dari pada sifatnya yang holistik-integratif, namun juga menjadikan catatan lapangan sebagai tulang punggung dari penelitian ini. Oleh karena itu, sejak hari pertama penelitian, peneliti telah membawa buku catatan untuk mencatat peristiwa apapun yang terkait atau bahkan tidak terkait dengan tujuan penelitian. Karena hal yang dimungkinkan tidak ada hubungannya dengan tujuan penelitian, bisa saja pada saat analisis data, catatan tersebut ternyata dibutuhkan. Untuk memperoleh catatan penelitian tersebut, peneliti menghabiskan waktu bersama para informan dan masyarakat sekitar dalam berbagai kegiatan di kampung. Peneliti terlibat dan sekaligus mengamati tindakan masyarakat. Peristiwa demi peristiwa telah dicatat sesegera mungkin atau sesudahnya. Catatan peristiwa di lapangan dan hasil percakapan dicatat lengkap dan disempurnakan dalam setiap hari. Catatan-catatan itu adalah rekaman dari semua yang diamati, dibicarakan, dipikirkan mengenai komunitas atau organisasi yang diamati, yakni masyarakat adat Atoin Meto. Catatan lapangan bukan laporan atau rangkuman, catatan itu hanya bahan mentah lengkap penelitian. Catatan dapat berupa diagram maupun sketsa dari apa yang telah diamati. Seiring waktu catatancatatan tersebut bisa menjadi arsip yang kaya dan bernilai.
42
2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Kauniki, Kecamatan Takari. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi penelitian ini, karena di wilayah tersebut pemerintahan desanya dipimpin oleh keturunan Usif Sonba‟i secara turun temurun. Seiring dengan perubahan gaya pemerintahan, Keturunan Usif Sonba‟i juga turut serta dalam arena perubahan tersebut. Desa Kauniki juga merupakan simbol sejarah kekuasaan suku atoin meto di daratan Timor.
3. Informan dan Teknik pemilihan Informan Penelitian ini fokus pada elite tradisional di Desa Kauniki, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Usif Sonba‟I dan keturunannya merupakan Fokus penelitian ini, dengan pertimbangan bahwa Usif Sonba‟I merupakan raja di bekas kerajaan Oenam yang saat ini menjadi Desa Kauniki. Hal yang memudahkan peneliti menelusuri data-data empirik terkait tema penelitian adalah karena peneliti memilih beberapa informan berdasarkan pengalaman yang diperoleh pada saat bekerja sebagai pegawai kecamatan di lokasi penelitian. Percakapan pendahuluan pernah peneliti lakukan selama bertugas di lokasi penelitian. Informan selanjutnya dipilih melalui keterangan dari informan pertama atau informan kunci yang membuka dan memberi informasi awal dalam penelitian. Teknik pemilihan informan melalui snow ball memudahkan peneliti selama kerja lapangan. Berikut adalah nama-nama informan tersebut: 1. Mesakh Sonba‟i Ote sebagai kepala desa Kauniki saat penelitian dilaksanakan, yang juga merupakan keturunan Usif Sonba‟i. 43
2. Alfons Sonbai Ote sebagai mantan kepala desa Oelnaineno, ayah dari Mesakh Sonba‟I Ote, beliau merupakan Usif Sonba‟i pertama yang masuk dalam struktur pemerintahan desa sebagai seorang kepala desa. 3. Nicholas Banfatin, Robert Calvin Bani dan F.H.Fobia sebagai tokoh adat dan termasuk dalam struktur adat masyarakat desa Kauniki dan kerajaan Oenam, yaitu sebagai juru bicara Raja atau Mafefa, dan Meo atau panglima perang. Ketiga informan ini juga mengalami secara langsung masa transisi dan perubahan struktur kekuasaan di era awal kemerdekaan. Robert Calvin bani; merupakan mafefa kerajaan Oenam di Kauniki, beliau merupakan Kepala Desa “gaya baru” pertama di Kauniki. F.H. Fobia; merupakan mafefa kerajaan Oenam di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) berasal dari keturunan Meo di Mollo (TTS). Beliau merupakan seorang Pamong Praja, pernah menjabat ketua Tim pengusulan Sobe Sonba‟i III sebagai Pahlawan Nasional. Penulis buku sejarah dan budaya atoin Meto. Nicholas Banfatin; merupakan Meo kerajaan Oenam, tokoh pendidikan Kecamatan Takari, seorang pensiunan Kepala sekolah. Beliau pernah menjadi tenaga bantuan pencatat pada Bagian Pembangunan Desa (BangDes) Kecamatan Fatuleu (cikal bakal kecamatan Takari) di awal kemerdekaan. 4. Wellem Sonba‟i Kapal mantan ketua LKMD dan saat ini menjabat sebagai sekretaris Desa Kauniki. 5. Camat Takari, dan beberapa orang tokoh di Kecamatan Takari antara lain Kepala polisi resort (kapolsek) Bapak Yeri Disi, Mantan Camat Takari bapak J.J. Amalo, SIP, dan pegawai Kecamatan Takari sebagai personifikasi strukur 44
kekuasaan baru (negara). 6. Masyarakat Desa Kauniki : a. Masyarakat asli; berasal dari 3 klen lingkar kekerabatan dalam yaitu; Kono, Bani, Suan, dan 4 klen lingkar kekerabatan luar yaitu; SekoMaubana, Mnaitse-Sanal, Welem-Bakusuni, Kiets-Kainoni. b. Masyarakat pendatang. 4.
Teknik Pengambilan Data Dalam penelitian ini data didapatkan melalui dua sumber yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer didapatkan langsung dari informan melalui wawancara dan observasi. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan, yaitu dengan mempelajari bahan-bahan tertulis, literaturliteratur hasil penelitian, artikel, foto-foto dan bahan statistik yang mempunyai relevansi dengan permasalahan penelitian. Penelitian ini dilakukan selama 3 bulan, dimana peneliti langsung tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat adat Atoin Meto di Desa Kauniki. Berikut penjelasan dari teknik pengumpulan data yang telah digunakan.
a. Observasi Observasi adalah suatu pengamatan yang khusus dan pencatatan yang sistematis ditujukan pada suatu fenomena, dengan menggunakan alat dan merekamnya juga dalam rangka penelitian, dengan maksud untuk mendapatkan data
yang
diperlukan
untuk
memecahkan
masalah
yang
dihadapi
(Denzin,1994:378) 45
Sebagai alat pengumpulan data, observasi dilakukan dengan pengamatan langsung oleh peneliti dengan mendatangi Desa Kauniki dan berkunjung langsung ke Kerajaan atau biasa disebut dengan Sonaf Sonba‟i, serta mendokumentasikannya. Peneliti juga sempat mengunjungi Batu Kauniki sebagai simbol mitologi , dan Kebun raja atau lahan raja sebagai simbol ekonomi, serta Pasar Mingguan Kauniki sebagai basis interaksi ekonomi dan simbolik. Selain itu peneliti juga melihat langsung padang gembalaan dan peternakan lepas sebagai simbol penguasaan ekonomi. Observasi langsung membantu peneliti mengungkap data yang belum dapat diungkap melalui wawancara. Sebagai contoh; data analisis tentang makna Manas Uan Ulan Uan (halaman 107-113) berawal dari pengamatan terhadap sistem pertanian masyarakat desa Kauniki. Demikian halnya data Analisis tentang Natoni (halaman 86-91) berawal dari pengamatan terhadap interaksi sosial masyarakat desa Kauniki dalam acara Lamaran/Pinangan pengantin.
b. Wawancara Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan langsung oleh pewawancara kepada informan, dan pertanyaan tersebut dicatat atau direkam (Iqbal, 2002; 85). Melalui wawancara, peneliti dapat bertukar pengetahuan dan pengalaman yang lebih luas dengan informan. Dengan wawancara juga, peneliti dapat menggali soal–soal penting yang belum terpikirkan dalam rencana penelitian. Wawancara telah dilakukan peneliti pada informan kunci secara bebas dan 46
mendalam (indept interview). Melalui wawancara bebas dan mendalam peneliti dapat dengan leluasa melakukan wawancara pada informan selayaknya obrolan biasa. Wawancara mendalam, bebas dan tidak terstruktur dipilih karena lebih fleksibel dalam penyusunan kata pada pertanyaan sehingga dapat disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, dan karakter informan. Wawancara dihentikan pada saat data yang diperoleh menunjukkan kesamaan atau tidak ada informasi yang baru. Data demikian juga dapat dikatakan telah sampai pada titik jenuh data. Proses lain yang dilakukan peneliti sebelum memulai wawancara adalah dengan meminta izin secara adat yakni dengan menyodorkan Okomama yang berisi sirih, pinang, kapur yang telah dihaluskan dan kadang juga beserta Sopi. Tanda bahwa permintaan izin kita diterima adalah ketika informan memakan isi dari Okomama yang kita sodorkan. Pada kondisi yang demikian, maka kita juga harus turut serta memakannya pula. Sembari makan sirih pinang dan kapur, pada saat itu pula dengan tanpa terstruktur wawancara dimulai. Peneliti hanya merekam pembicaraan informan p a d a
saat
mereka
m e n g i z i n k a n . Pada moment-moment tertentu, peneliti juga turut serta minum Sopi sembari melakukan wawancara, misalnya pada saat masyarakat adat sedang melakukan ritual adat atau tutur adat dalam upaya meminta izin pada leluhur . hal ini harus dilakukan untuk menghindari murka para leluhur sebelum mereka memberikan informasi pada peneliti.
47
5.
Unit Analisis Data. Hal yang cukup penting lagi untuk dibicarakan adalah mengenai unit
analisis. Kadang-kadang terdapat kesulitan untuk membedakan dimana posisi unit analisis diantara objek penelitian, subyek penelitian, dan sumber data. Dalam penelitian ini, bagaimana basis modal kekuasaan Usif dan bagaimana Usif mempertahankan kekuasaannya dengan mengelola basis modalnya disebut sebagai objek penelitian, dan yang dimaksud sebagai sumber data adalah informan yang telah memberikan data-data empiric dilapangan selama penelitian berlangsung. Selanjutnya, subjek penelitiannya adalah Usif Sonba‟i dan keturunannya. Kemudian, apa yang dimaksud unit analisis adalah satuan tertentu yang diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Arikunto,1997:121). Berarti dalam penelitian ini unit analisisnya adalah kelompok.
6. Teknik Analisis Data Analisis merupakan proses penyusunan data, supaya data dapat ditafsirkan peneliti. Menyusun data berarti mengelompokkan dalam pola atau kategori. Sedangkan tafsiran atau interpretasi artinya memberikan makna pada analisis dalam menjelaskan pola atau kategori, dan mencari hubungan antar berbagai konsep (Nasution, 1988) Proses analisis data dilakukan setelah semua data terkumpul. Analisis dikerjakan dengan cara memeriksa kembali data primer dan sekunder yang telah terkumpul. Hal ini dimungkinkan untuk membuat rangkuman, memilih hal-hal 48
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang dianggap penting terkait permasalahan penelitian. Dengan demikian dari data yang telah direduksi diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai permasalahan. Analisa data pada thesis ini mempergunakan analisa kualitatif, yang dilakukan secara bersamaan mulai dari reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Reduksi data merupakan pemilihan dan pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan serta tranformasi dari data mentah yang ada dilapangan (baik berupa hasil tertulis maupun wawancara) (Moelong 2004:109) dan penyajian data bermaksud untuk menyajikan sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan terhadap adanya penarikan kesimpulan. Setelah mengidentifikasi modal yang dimiliki Usif Sonba‟I dan Strateginya untuk tetap eksis dalam perubahan sebagaimana permasalahan penelitian, selanjutnya peneliti memilih data-data yang perlu ditonjolkan dalam analisa. Hal ini tidak terlepas dari kepentingan teoritis yang telah dipilih atau juga dapat berasal dari saran informan pada saat wawancara berlangsung. Disamping teknis diatas, tehnik penafsiran digunakan untuk menafsirkan juga cara-cara yang dilakukan Usif Sonba’i ketika berinteraksi dalam masyarakat melalui instrumen modal kekuasaan yang berkembang dimasyarakat dan simbol– simbol yang mengiringinya. Simbol dimaksudkan adalah Simbol-simbol adat yaitu rumah adat atau Sonaf, Totem dan kalimat–kalimat adat yang terdapat dalam Natoni. Kerangka pemahaman yang ingin digunakan dalam hal ini adalah Pertama, kemampuan melihat interaksi Usif sonba’i dalam menegaskan dominasi melalui modal–modal yang dimilikinya yang bermain (strategi) dalam komunitas 49
masyarakat desa Kauniki. Kedua, memahami tentang segala sesuatu yang mungkin terjadi dengan modal yang dimilikinya dalam periode yang berbeda yang melahirkan strategi untuk memobilisasi hadirnya pengakuan akan Dominasi kekuasaan Usif. Menurut Gadamer memahami merupakan bagian dari proses mencari makna (Michael T Gibson 2002: hal 70) karena itu penafsiran simbol ini bertujuan untuk mencari makna dibalik penggunaan simbol tersebut. Ketiga, berusaha untuk menarik kesimpulan dari penggunaan modal dalam interaksi tersebut. Tahap analisa berikutnya untuk memeriksa keabsahan data yang diperoleh dilapangan maka dapat digunakan tehnik triangulasi, yaitu memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Dalam thesis ini trianggulasi data hasil penelitian dilakukan pada sumber penyelidikan dan teori. Triangulasi
penyelidikan
dilakukan
dengan
cara
membandingkan
informasi yang didapat dari Usif Sonba‟i dengan apa yang dikatakan oleh informan lainnya demikian juga sebaliknya, atau membandingkan informasi dari perspektif lain mengenai hal yang sama. Trianggulasi bisa juga dilakukan dengan berdiskusi dengan orang yang berbeda pandangan tentang hal yang sama. Begitu juga telaah dari tulisan lain yang ada kaitannya dengan modal dan strategi Usif Sonba’i untuk menegaskan dominasi dalam arena (desa kauniki) yang dinamis. Trianggulasi teori dilakukan dengan mencermati teori yang digunakan, kemudian membandingkan hasil yang diperoleh dengan teori lainnya. Disamping itu Trianggulasi bisa dilakukan melalui logika yaitu cara untuk melihat 50
kemungkinan yang muncul dari analisis didukung oleh data yang ditemukan dilapangan. Semua data yang telah terkumpul direduksi, dideteksi dengan prosedur yang telah diungkapkan sebelumnya dan dari sini ditarik suatu kesimpulan.
51