BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota merupakan pusat dari berbagai macam aktivitas manusia. Adapun berbagai aktivitas manusia tersebut pada akhirnya mengindikasikan adanya pertambahan kebutuhan lahan yang juga berdampak pada berkurangnya tingkat vegetasi yang ada(Rahmah, 2014). Dewasa ini, berkurangnya area hijau akibat pembukaan lahan di perkotaan menyebabkan terjadinya efek urban heat island(Limas, Perdana, & Tannady, 2014). Menurut Environmental Protection Agency(2009) pada tahun 2005, efek ini merupakan masalah utama dalam setiap kota berkembang di dunia terhadap pemanasan global. Kota Semarang merupakan salah satu kota metropolitan dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi, yakni 4241jiwa/Km2(BPS Kota Semarang, 2015). Kota Semarang juga merupakan salah satu kota yang mengalami fenomena Urban Heat Island, yakni suhu di kawasan perkotaan Kota Semarang yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di kawasan pinggiran Kota Semarang(Sutiarti, 2014). Adapun pada dasarnya fenomena Urban Heat Island (UHI) memberikan dampak negatif berupa pengurangan kualitas air dalam perkotaan akibat polusi dari panas berlebihan(Environmental Protection Agency,2009), peningkatan pemakaian listrik sebesar 5 – 6 %(Environmental Protection Agency, 2005) dan akibat dari pemakaian listrik yang meningkat, mendukung penambahan penggunaan bahan bakar fosil yang menyebabkan timbulnya pemanasan global(UNEP, 2003). Adanya isu UHI Kota Semarang diikuti dengan berbagai dampak negatif dari UHI tersebut menunjukkan bahwa perencanaan Kota Semarang dengan salah satu tujuan penyelesaian fenomena UHI menjadi suatu hal yang mutlak dibutuhkan. Adapun dalam perancanaannya, penyelesaian fenomena UHI tentunya harus didahului dengan identifikasi dan analisis indikator-indikator yang berpengaruh terhadap fenomena UHI tersebut sehingga perencanaan dapat dilakukan dengan tepat. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa berkurangnya vegetasi dapat mempengaruhi fenomena UHI(Limas et al., 2014).Selain itu, suhu juga dipengaruhi oleh kondisi tutupan lahan permukaan(Zhang, Odeh, & Han, 2009). Oleh karena itu kajian tentang keterkaitan distribusi kerapatan vegetasi dan tutupan lahan terhadap suhu Kota Semarang secara spasial dilakukan. 1.2 Kajian Teori 1.2.1 Penginderaan Jauh Penginderaan jauh atau inderaja (remote sensing) adalah seni dan ilmu untuk mendapatkan informasi tentang obyek, area atau fenomena melalui analisa terhadap data
yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah ataupun fenomena yang dikaji(Somantri, n.d.-a). Penginderaan jauh dapat dilakukan untuk menganalisa lahan tanpa harus melakukan kontak langsung dengan lahan tersebut. Berdasarkan hal tersebut, diketahui bahwa proses awal identifikasi lahan yang merupakan kunci utama dalam proses perencanaan dapat dilakukan melalui penginderaan jauh(“Prinsip Dasar Penginderaan Jauh,” 1987). Adapun penginderaan jauh dapat diaplikasikan dalam bidang perencanaan, yaitu klasifikikasi tutupan lahan, arahan pengembangan lahan, analisis komoditas, dan lain-lain. Penginderaan jauh dapat dilakukan dengan aplikasi Er Mapper, Envi, Erdas, dan lain-lain. 1.2.2 Karakteristik Landsat 8 Landsat 8 merupakan kelanjutan dari misi Landsat yang untuk pertama kali menjadi satelit pengamat bumi sejak 1972 (Landsat 1) yang diterbangkan pertama kali pada 11 Februari 2013. Berikut karakteristik Landsat 8 Memerlukan waktu 99 menit untuk mengorbit bumi dan melakukan liputan pada area yang sama setiap 16 hari sekali.
Sumber: USGS, 2013
Tabel 1.1 Perbedaan Karakteristik Landsat 7 dan Landsat 8
Selain itu, dibandingkan dengan versi-versi sebelumnya, Landsat 8 memiliki beberapa keunggulan khususnya terkait spesifikasi band-band yang dimiliki maupun panjang rentang spektrum gelombang elektromagnetik yang ditangkap. Kelebihan tersebut terletak pada warna objek di citra yang tersusun atas 3 warna dasar, yaitu Red, Green dan Blue (RGB). Makin banyaknya band sebagai penyusun RGB komposit, maka warna-warna obyek menjadi lebih bervariasi. Deteksi terhadap awan
cirrus juga lebih baik dengan dipasangnya kanal 9 pada sensor OLI, sedangkan band thermal (kanal 10 dan 11) sangat bermanfaat untuk mendeteksi perbedaan suhu permukaan bumi dengan resolusi spasial 100 m. Pemanfaatan sensor ini dapat membedakan bagian permukaan bumi yang memiliki suhu lebih panas dibandingkan area sekitarnya Kelebihan lain dari Landsat 8 adalah adanya spesifikasi baru yang terpasang pada band landsat ini khususnya pada band 1, 9, 10, dan 11. Band 1 (ultra blue) dapat menangkap panjang gelombang elektromagnetik lebih rendah dari pada band yang sama pada landsat 7, sehingga lebih sensitif terhadap perbedaan reflektan air laut atau aerosol. Band ini unggul dalam membedakan konsentrasi aerosol di atmosfer dan mengidentifikasi karakteristik tampilan air laut pada kedalaman berbeda. Adapun terkait dengan resolusi spasial, Landsat 8 memiliki kanal-kanal dengan resolusi tingkat menengah, setara dengan kanal-kanal pada landsat 5 dan 7. Umumnya kanal pada OLI memiliki resolusi 30 m, kecuali untuk pankromatik 15 m. 1.2.3 Pengolahan Citra Penginderaan Jauh Secara umum pengolahan citra terbagi kedalam: 1. Pre-processing citra Image pre-processing merupakan kegiatan pra-analisa data citra satelit. Tujuan dari pengolahan data citra adalah mempertajam data geografis dalam bentuk digital menjadi suatu tampilan yang lebih berarti bagi pengguna, dapat memberikan informasi kuantitatif suatu obyek, serta dapat memecahkan masalah(“Prinsip Dasar Penginderaan Jauh,” 1987). Kegiatan dalam pengolahan citra meliputi: A. Radiometric correction (koreksi radiometrik) Koreksi radiometrik dilakukan agar informasi yang terdapat dalam data citra dapat dengan jelas dibaca dan diinterpretasikan. Kegiatan yang dilakukan dapat berupa: Penggabungan data, yaitu menggabungkan citra dari sumber yang berbeda pada area yang sama untuk membantu di dalam interpretasi. Sebagai contoh adalah menggabungkan data Landsat-TM dengan data SPOT. • Colodraping, yaitu menempelkan satu jenis data citra di atas data yang lainya untuk membuat suatu kombinasi tampilan sehingga memudahkan untuk menganalisa dua atau lebih variabel. Sebagai contoh adalah citra vegetasi dari satelit ditempelkan di atas citra foto udara pada area yang sama.
• Penajaman kontras. yaitu memperbaiki tampilan citra dengan memaksimumkan kontras antara pencahayaan dan penggelapan atau menaikan dan merendahkan harga data suatu citra. • Filtering, yaitu memperbaiki tampilan citra dengan mentransformasikan nilai-nilai digital citra, seperti mempertajam batas area yang mempunyai nilai digital yang sama (enhance edge), menghaluskan citra dari noise (smooth noise), dan lainnya. • Formula, yaitu membuat suatu operasi matematika dan memasukan nilai-nilai digital citra pada operasi matematika tersebut, misalnya Principal Component Analysis (PCA). B. Geometric correction (koreksi geometrik) Koreksi geometrik atau rektifikasi merupakan tahapan agar data citra dapat diproyeksikan sesuai dengan sistem koordinat yang digunakan. Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan acuan titik kontrol yang dikenal dengan Ground Control Point (GCP). 2. Klasifikasi citra Merupakan tahap intrepretasi informasi pada citra yang dibuat berdasarkan klas katagori tertentu. Klasifikasi Multispektral merupakan sebuah algoritma yang digunakan untuk memperoleh informasi thematik dengan cara mengelompokkan suatu fenomena/ obyek berdasarkan kriteria tertentu. Asumsi awal yang harus diperhatikan sebelum melakukan klasifikasi multispektral adalah bahwa tiap obyek dapat dikenali dan dibedakan berdasarkan nilai spektralnya. Klasifikasi citra biasanya dimanfaatkan dalam klasifikasi tutupan lahan. Secara umum, metode klasifikasi terbagi menjadi dua: Klasifikasi tidak terbimbing (unsupervised classification) Klasifikasi tidak terbimbing merupakan metode yang memberikan mandat sepenuhnya kepada sistem/komputer untuk mengelompokkan data raster berdasarkan nilai digitalnya masing-masing, intervensi pengguna dalam hal ini diminimalisasi. Klasifikasi tak terbimbing memiliki kelemahan yaitu pencirian spektal dengan kelas inormasi menjadi tidak konstan, sehingga perlu pemahaman yang lebih(Somantri, n.d.) Klasifikasi terbimbing (supervised classification) Klasifikasi terbimbing merupakan metode yang dipandu dan dikendalikan sebagian besar atau sepenuhnya oleh pengguna dalam proses pengklasifikasiannya. Intervensi pengguna dimulai sejak penentuan training area hingga tahap pengklasterannya. Klasifikasi terbimbing dalam hal ini mensyaratkan kemampuan pengguna dalam penguasaan informasi lahan terhadap areal kajian(Sanjoto, 2010).
1.2.4 Analisis Kerapatan Vegetasi dengan Analisis NDVI Indeks vegetasi atau normalized difference vegetation indeks (NDVI) adalah kajian ilmu geografi sains yang terus mengalami perkembangan yang dapat digunakan untuk kajian ilmu lain. Indeks vegetasi atau normalized difference vegetation indeks (NDVI) adalah indeks yang menggambarkan tingkat kehijauan suatu tanaman. Indeks vegetasi merupakan kombinasi matematis antara band merah dan band NIR yang telah lama digunakan sebagai indikator keberadaan dan kondisi vegetasi(Lillesand and Kiefer, 1990). Untuk kemudian dengan mudah dapat dijabarkan bahwa indeks vegetasi atau normalized difference vegetation indeks (NDVI) suatu tingkat kehijauan dari tanaman. Indeks vegetasi atau normalized difference vegetation indeks (NDVI) dapat diketahui dengan memanfaatkan sifat unik dari tanaman (vegetasi) yakni memancarkan dan menyerap gelombang untuk kemudian dapat dibedakan dengan obyek lainnya yang tidak memiliki sifat unik seperti vegetasi. Metode ini merupakan dasar untuk membedakan obyek vegetasi dengan obyek lainnya selain vegetasi.
Sumber: Lillesand and Kiefer, 1990
Gambar 1.1Kekuatan Klorofil Menyerap Cahaya Inframerah Dekat Gambar 1.1 menunjukkan bahwa pigmen dalam daun tanaman (klorofil) dapat
menyerap cahaya tampak (0,4-0,7 μm) yang digunakan dalam fotosintesis. Sedangkan struktur sel daun sangat mencerminkan cahaya inframerah dekat (0,7-1,1 μm). Semakin banyak daun tanaman, semakin panjang gelombang cahaya yang terpengaruh(Suganda, n.d.).
Selanjutnya untuk menentukan besaran indek vegetasi yang merupakan besaran nilai vegetasi yang diperoleh dari pengolahan sinyal digital data nilai kecerahan sebeberapa kanal data sensor satelit. Dengan demikian NDVI pada dasarnya yaitu membandingkan antara kanal infranerah dan kanal inframerah dekat sehingga diperoleh fenomena penyerapan cahaya merah (infranerah) dan pemantulan cahaya merah dekat (near-
infranerah) oleh klorofil membuat nilai kecerahan yang diterima sensor satelit akan jauh berbeda(Suganda, n.d.). Adapun konsep ini maka dikembangkannya suatu algoritma indeks vegetasi yaitu :NDVI = [NIR−RED]/[NIR+RED]. Indeks vegetasi yang ditunjukkan persamaan di atas mempunyai nilai minimum yakni -1 yang menunjukan bahwa kondisi wilayah tidak bervegetasi. Sebaliknya bahwa indeks vegetasi yang memiliki nilai 1 menunjukkan bahwa kondisi wilayah bervegetasi. Nilai indeks vegetasi yang diperoleh dapat diklasifikasikan kembali oleh NASA berupa pengklasifikasian warna yang merupakan wilayah bervegetasi atau tidak. 1.2.5 Ekstraksi Suhu dari Citra Ekstraksi suhu pada dasarnya didasarkan oleh nilai radiansi dari sensor. Adapun nilai dasar dari citra adalah Digital Number (DN), sehingga dalam proses ekstraksi suhu diperlukan kalibrasi DN menjadi nilai TOA radiance terlebih dahulu(Rahmi, n.d.) dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan = TOA radiance (nilai pancaran) = Band-specific multiplicative rescaling factor (ada di metadata) = Band-specific additive rescaling factor (ada di metadata) = DN pada setiap piksel dalam band citra Landsat Adapun nilai dari
sudah tertera pada lampiran metadata dari citra
landsat. Adapun setelah dikonversi ke dalam nilai radian, nilai radian dikonversi ke dalam bentuk suhu satuan Kelvin dengan rumus sebagai berikut: *
(
)+
Keterangan: T = suhu kecerahan = TOA radians = konstanta termal band = konstanta termal band Adapun untuk mengubah satuan suhu kelvin ke dalam bentuk celcius, dilakukan konversi secara manual melalui tool formula editor yang terdapat pada software pengolahan citra. 1.3 Rumusan Masalah Kota Semarang merupakan salah satu kota metropolitan yang memiliki kepadatan tinggi, yakni 4241jiwa/Km2(BPS Kota Semarang, 2015) dengan tingkat penggunaan lahan
yang cenderung bertambah setiap tahun(BPS Kota Semarang, 2014). Fenomena UHI di Kota Semarang(Sutiarti, 2014) menunjukkan bahwa perencanaan Kota Semarang sangat dibutuhkan terkait untuk menyelesaikan fenomena UHI yang memilki berbagai dampak negatif. Kajian keterkaitan kerapatan vegetasi dan tutupan lahan terhadap suhu di Kota Semarang diperlukan sebagai acuan pertimbangan perencanaan untuk menyelesaikan permasalahan UHI. Oleh karena itu, perlu adanya kajian spasial pengaruh keterkaitan kerapatan vegetasi dan tutupan lahan terhadap suhu di Kota Semarang. 1.4 Tujuan dan Sasaran 1.4.4 Tujuan Tujuan dari penulisan laporan ini adalah untuk mengkaji keterkaitan kerapatan vegetasi dan tutupan lahan terhadap suhu di Kota Semarang secara spasial. 1.4.5 Sasaran Sasaran yang diperlukan untuk untuk mengkaji keterkaitan kerapatan vegetasi dan tutupan lahan terhadap suhu di Kota Semarang secara spasial sadalah sebagai berikut:
Mengidentifikasi kerapatan vegetasi Kota Semarang
Menganalisis kerapatan vegetasi Kota Semarang
Mengidentifikasi tutupan lahan Kota Semarang
Mengidentifikasi suhu permukaan Kota Semarang
Menganalisis suhu permukaan Kota Semarang
Menganalisis keterkaitan kerapatan vegetasi dan tutupan lahan terhadap suhu permukaan Kota Semarang.
1.5 Ruang Lingkup Wilayah Ruang lingkup wilayah pada laporan ini adalah Kota Semarang dengan luas 373,7 2
Km yang terdiri dari 16 kecamatan. Adapun secara geografis Kota Semarang memiliki batas administrasi sebagai berikut: Bagian Utara
: Laut Jawa
Bagian Timur
: Kabupaten Demak
Bagian Barat
: Kabupaten Kendal
Bagian Selatan : Kabupaten Semarang
Sumber:Bappeda Kota Semarang
Gambar 1.2 Peta Administrasi Kota Semarang
1.6 Kerangka Pikir Semakin berkurangnya
Tutupan Lahan Kota
vegetasi di Kota Semarang
Semarang yang menunjukkan bertambahnya kawasan terbangun
Adanya fenomena Urban Heat Island
INPUT Bagaimana Keterkaitan Kerapatan Vegetasi dan Tutupan Lahan Terhadap Suhu Permukaan Kota Semarang
Identifikasi kerapatan
Identifikasi tutupan lahan
Identifikasi suhu permukaan
vegetasi
Kota Semarang
Kota Semarang PROSES
Analisis kerapatan
Analisis tutupan lahan
Analisis suhu permukaan
vegetasi
Kota Semarang
Kota Semarang
Kota Semarang
Kajian keterkaitan kerapatan vegetasi dan tutupan lahan terhadap suhu Kota Semarang
Kesimpulan dan rekomendasi
Sumber: Analisis Aida Ulfa Faza, 2015
OUTPUT
1.7 Kerangka Analisis
INPUT Tutupan Lahan Kota Semarang Permukaan Kota Semarang
Nilai radiansi permukaan Kota Semarang
PROSES
Analisis Kerapatan Vegetasi
OUTPUT Kelas Kerapatan Vegetasi Kota Semarang
Analisis Tututpan Lahan Kota
Tutupan Lahan Kota
Semarang
Semarang
Analisis suhu permukaan Kota SemaranAnalisis Kerentanan DBD
Kelas suhu permukaan
sesuai Kondisi Fisik
Kota Semarang
Kajian keterkaitan kerapatan vegetasi dan tutupan lahan terhadap suhu Kota Semarang
Kesimpulan dan Rekomendasi
Sumber: Analisis Aida Ulfa Faza, 2015
BAB II TAHAPAN PENELITIAN 2.1 Diagram Kerja Citra Landsat tahun 2015
Koreksi Radiometrik dan Atmosferik
Uji Ketelitian denganSurvei Lapangan menggunakan Google Earth dan sampel suhu
Koreksi Geometrik
Cropping
Citra Landsat 8 tahun 2015 Kota Semarang
Interpretasi dengan klasifikasi tidak terbimbing landsat 2015
Band 10 citra Landsat 8 tahun 205
Ekstraksi DN ke nilai radian Konversi nilai radian ke suhu dalam Kelvin Konversi suhu kelvin ke celcius
Tutupan Lahan Kota Semarang tahun 2015
Band 4 dan Band 5 citra Landsat 8 tahun 2015 Analisis NDVI
Klasifikasi tak terbimbing Kelas kerapatan vegetasi Kota Semarang
Kelas suhu Kota Semarag (dalam celcius)
Kajian keterkaitan kerapatan vegetasi dan tutupan lahan terhadap suhu Kota Semarang SIG
Rekomendasi Kesesuaian Lahan untuk Permukiman
Sumber: Analisis Aida Ulfa Faza, 2015
2.2 Tahapan Kerja Langkah kerja dibagi dalam tiga bagian,yaitu analisis tutupan lahan dengan klasifikasi terbimbing, analisis kerapatan vegetasi dengan NDVI yang keduanya menggunakan software Er Mapper dan analisis suhu Kota Semarang dengan software Envi. 2.2.1 Analisis Tutupan Lahan (Klasifikasi Terbimbing) 1. Buka Software Er Mapper
2. Masukkan Citra Landsat 2015 Open> pilih sembarang band. 3. Gabungkan band 1-9 untuk mendaptkan citra pankromatik. Penggabungan band dilakukan dengan klik kanan citra> Algorithm> Copy dan Paste Pseudo Layer delapan kali> Ganti nama tiap psedo layer dengan Band 1, Band 2, Band 3 dst.
4. Klik band 1, pilih Load Data Set, pilih band 1> this layer only> Ok. Lakukan berturut turut pada band 2 sampai band 9
5. Pada Menu Bar pilih File>Save As> beri nama band yang telah digabungkan 6. Buka citra yang telah digabungkan. File>Open> pilih file citra gabungan. Lakukan kombinasi band untuk mendapatkan „natural image‟, komposit band 4-3-2 dengan klik kanan algorithm> pilih 4-3-2> Refresh image with 99% clip on limit> Kemudia hasil citra dengan ‘natural image’ akan muncul
7. Koreksi geomatrik, pada menu bar pilih Process> Geocoding Wizard, pada menu Geocoding Type, pilih polynomial. Pada input file, masukkan file citra yang sudah dikoreksi radiometrik sebelumnya> kemudian pilih OK
8. Pada Polynomial Setup > Polynomial order diatur Linear
9. Pada opsi GCP Setup > Pada Output Coordinate Space dipilih Change > Pada Datum dipilih WGS84> Ok. Pada Projection utm dipilih > sutm49> Ok. Pada Coordinate system Eastings/ Northings dipilih
10. Pada GCP Edit, koordinat dimasukkan agar citra memiliki koordinat yang sesuai dengan keadaan geografinya. Pengambilan titik-titik diambil dari data Google Earth. Koordinat di Google Earth dilihat dengan cara klik ikon Pin dan titik koordinat Easting dan Northing akan muncul.Koordinat dari Google Earth dipilih> klik kanan Copy dan Paste di Er Mapper. 11. Titik koordinat dibuat dengan cara klik kanan pilih pointer pada tampilan citra yang menunjukkan lokasi yang diinginkan. Pengisian titik koordinat dilakukan minimal empat kali dengan klik tanda „plus‟ lalu koordinat dimasukkan dengan cara yang sama sesuai cara yang diatas. Klik On pada table coordinat, semakin kecil angka RMS maka semakin teliti koordinatnya.
12. Rectify>
File
nama
disimpan di Output info> Save File and Start Rectification
13. Croping peta, dengan klik utilities>Import vector and gis formats> Esri Shape File> Import
14. Pada input file name pilih shp Kota Semarang> Open. Pada opsi Map Projection piliih SUTM49> Pada Import Color pilih warna merah> Ok>
15. Edit Algorithm > Edit > Add Vector Layer >
Annotation/Map Composition
16. Pada Annotation Layer pilih Load data set > pilih file yang telah diimport sebelumnya (yang berformat erv) > pilih Annotate Vector Layer> Klik Select edit point > buat persegi yang mengitari shp Kota Semarang> klik Display Object Attributes > Tulis Kabupaten Kota Semarang> Apply> Close > Save Raster Region > Ok . Akan muncul Adding new region : Kota Semarang > close
17. Klik Edit formula > pilih kotak Red > Pada menu Standard pilih Inside region polygontest > Pada tulisan NULL digantin angka 255 > Regions > Pada opsi Regions pilih „Kota Semarang‟. Hal serupa dilakukan pada kotak Green dan Blue . Setelah semua dilakukan, klik Save as dengan format ers. .
18. Klasifikasi tutupan lahan Kota Semarang dilakukan secara terbimbing, hal tersebut dikarenakan interpreter merupakan penduduk Semarang dan sudah mengetahui Kota Semarang. a. Masukkan citra dengan file>open b. Pada menu bar> klik Edit> Create Regions
c. Klik Save as raster> Ok
d. Digit sampel tutupan lahan dengan klik Polygon> kemudian setelah selesai memiih objek, klik Display objects> ketikkan nama objek/tutupan lahan tersebut>Apply> Save> lakukan digit sampel secara berulang (dianjurkan untuk tiap objek yang diidentifikasi minimal terdapat dua sampel) e.
e.Tutuplah jendela ”Annotate vector layer”, selanjutnya akan muncul training area yang telah dideliniasi sebelumnya. f. Klik Process>Calculate Statistics> Process> Supervised Classification> Masukkan file citra yang telah diberi training area, tentukan nama file output, tentukan tipe klasifikasinya, pada opsi combination type pilih Maximum Likelihood Standard dan klik OK.
g. muncul klasifikasi
Kemudian status bar akan dan
menjelaskan
bahwa
terbimbing telah sukses
dilakukan.
19. Buka file hasil klasifikasi terbimbing> klik kanan algorithm> pada menu edit,raster layer> change display
20. Untuk merubah warna hasil training area sesuai dengan standar,klik Edit> Edit Class/Region Color and Name> Tentukan warna peta agar sesuai dengan standar yang ada>Save
21. Buka hasi peta klasifikasi terbimbing di ArcGis 22. Atur pewarnaan dan layout peta tutupan lahan Kota Semarang di ArcGis 2.2.2 Analisis Kerapatan Vegetasi (NDVI) 1. Masukkan band 4> Klik kanan> algorithm> copy dan paste pseudo layer satu kali. Ganti nama pseudo layer dengan nama Band 4 dan Band 5> Klik Load Data Set> pada band 4 pilih band 4> this layer only. Pada Pseudo layer band 5 pilih pada load data set band 5> this layer only> Ok
2.Klik Save As> beri nama gabungan band 4 dan band 5. 3. Koreksi geometrik dilakukan sesuai dengan tahapan pada koreksi geometrik pada analisis tutupan lahan 4. Croping Semarang dari band gabungan 4 dan 5 dengan cara yang sama (sesuai langkah kerja cropping citra pada analisis tutupan lahan sebelumnya). 5. File> Open> pilih gabungan band 4 dan band 5 yg sudah di crop. Klik kanan> Algorithm> Edit Formula> Ratios> Landsat TM NDVI. Pada input 1 pilih band 5 dan pada input 2 pilih band 4> File save as> beri nama analisis NDVI> Klik Edit Transform Limits> Klik Limits to actual> masukkan rentang angka -1 dan 1> OK
6. Buka file hasil analisis NDVI> File> Open> pilih file> klik algorithm> formula editor> masukan rumus “if i1>=-1 then 1 else if i1>= -0.32 and i1 <=0.32 then 2 else if i1>= 0.32 and i1<=0.55 then 3 else if i1> 0.55 i1<=0.78 then 4 else if i1> 0.78 and i1<1 then 5 else i1>apply changes
7. Mengeklaskan kerapatan analisis NDVI dengan klasifikasi tak terbimbing. Klik Process> Classification> ISOCLAS Unsupervised Classification. Pada input pilih file yang sudah dianalisis> pada output beri nama sesuai dengan keinginan> maksimum class: diisi 3 (karena ingin membua 3 kelas kerapatan), maksimum iteration isi: 200,pada maximum class: isi 3> OK
8. Buka file hasil pengkelasa. File> Open> pilih file edit warna pengkelasan dengan klik edit> Edit Class/ Region Color Name> pilih warna> OK. Klik algorithm>pada bagian edit pilih class display.
9. Simpan hasil olahan dan layout peta pada arcGIS 2.2.3 Analisis Suhu Kota Semarang Analisis suhu Kota Semarang dilakukan dengan menggunakan band 10 Landsat 8 tahun 2015 dan software Envi 4.8. 1.
Buka software ENVI 4.8. Klik File> Open Image File> pilih band 10> Open
2. Konversi nilai DN ke
Nilai
nilai radian dengan rumus
terdapat di metadata, di mana
= Band-specific multiplicative rescaling factor (ada di metadata) = Band-specific additive rescaling factor (ada di metadata) = DN pada setiap piksel dalam band citra Landsat
Pada Menu Bar, klik Basic Tools> Bandmath> Masukkan rumus dengan masingmasing nilai Band-specific multiplicative rescaling factor ,Band-specific additive dan rescaling factor seperti berikut:: ((0.00033420*float(B1))+0.10000
3. Setelah dikonversi ke bentuk radian, konversi ke bentuk suhu dengan satuan Kelvin dengan rumus ,
*
(
)pada Band Math,kemudian klik OK
Keterangan: T = suhu kecerahan = TOA radians = konstanta termal band = konstanta termal band
4. Konversi nilai suhu dengan satuan Kelvin ke satuan Celcius dengan memasukkan rumus (float(B1)-273 pada Band Math. Kemudian simpan data suhu dengan klik save
5. Croping citra di Envi 4.8 Buka citra yang akan di croping. Setelah citra terbuka, pada jendela layer klik menu Overlay > Vectors>Setelah jendela Vector Parameter muncul, klik menu File >Open Vector Layer. Muncul jendela Selector Vector Filenames lalu pilih file yang akan
dibuka. Pada format file, pilih shapefile [*.shp]. Pilih shp Kota Semarang> Atur koordinat, WGS 1984> SUTM 49. ENVI hanya mengolah file yang berformat *.evf. Oleh karena itu file shp tadi harus di konversi dahulu ke*.evf. Caranya yaitu pada jendela yang terbuka tadi, tentukan nama file dan tempat penyimpanannya pada pilihan Enter Output Filename [*.evf]. Kemudian klik OK.
10. 6. Maka pada citra akan muncul file shp tadi yang tumpang tindih dengan citranya. 7. Pada jendela Vector Parameters, klik menu File >>> Export Active Layer to ROI's. Kemudian pilih Convert all records of an EVF layer to one ROI.
8. Pada menu utama ENVI, klik Basic Tools > Subset data via ROI. Pilih file citranya > OK
9. Pada jendela Spatial Subset via ROI Parameters, klik input ROI-nya. Klik tanda panah pada Mask pixels outside of ROI agar menjadi YES. Tentukan nama dan tempat penyimpanannya
10. Tunggu prosesnya hingga selesai. Setelah itu pada jendela Available Band List muncul citra yang telah di crop tadi. 11. Buka file hasil cropping. Pengkelasan suhu Kota Semarang dilakukan. Pada layer citra, klik tools> Region of Interest> Band Tresholdto ROI> Ok> pilih band hail cropping> Masukkan nilai maksimal dan minimal> beri nama kelas> OK> Lakukan berturut-turut sesuai dengan kelas suhu yang inigin diperoleh> Yes
12. Simpan hasil klasifikasi dengan klik tools pada layer> Region of Interest> Create Class Image of ROIs.Tentukan
nama
output dan lokasi file> OK
13. Mengkonversi kelas ROIs ke vector untuk keperluan pemetaan di ArcGIS. File>Open> pilih file hasil pengkelasan ROIs> Pada menu Classification>Post Classification> Classification to vector> pilih file> pilih kelas-kelas yang telah dibuat. Tentukan nama dan convert file ke format evf.> OK
14. Klik Vector> Open Vector File.
15. Klik file> Export to Shpefile
16. SHP kelas suhu Kota Semarang kemudian dimasukkan ke ArcGIS. Klik categories>simbology> unique values untuk merubah warna legenda kelas suhu. 17. Layout peta kelas suhu Kota Semarang
2.3 Uji Klasifikasi Dalam tahapan ini uji klasifikasi dilakukan hanya pada beberapa variabel saja dari variabel yang digunakan pada kajian keterkaitan kerapatan vegetasi dan tutupan lahann terhadap suhu di Kota Semarang, yaitu pada variabel tutupan lahan saja. Hal tersebut dikarenakan tutupan lahan dapat mewakili kondisi tutupan lahan dan kerapatan vegetasi secara bersamaan. Berikut adalah perbandingan peta citra eksisting dengan hasil klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) dengan peta tutupan lahan oleh citra landsat 8 tahun 2015.
Tutupan Lahan Kota Semarang Tahun 2015
Berdasarkan perbandingan peta citra eksisting dengan tutupan lahan hasil klasifikasi tidak terdapat perbedaan yang mencolok, di mana bagian kuning pada tutupan lahan yang berarti permukiman, dan hal tersebut serupa dengan kondisi eksisting dari citra tutupan lahan dari Landsat 8 tahun 2015 Kota Semarang
BAB III PEMBAHASAN 3.1 Analisis Distribusi Kerapatan Vegetasi Kota Semarang
Sumber:Analisis data Landsat 8 tahun 2015
Gambar 3.1 Peta Kerapatan Vegetasi Kota Semarang
Berdasarkan analisis kerapatan vegetasi oleh NDVI, kerapatan vegetasi di Kota Semarang dibagi menjadi 3, yaitu kerapatan vegetasi jarang, sedang, dan padat. Berdasarkan observasi lapangan, kerapatan vegetasi jarang ada pada kawasan perairan seperti tambak dan waduk. Kerapatan vegetasi sedang ada pada kawasan terbangun seperti permukiman dan industri.
Adapun kerapatan vegetasi padat ada pada kawasan non-terbangun Kota
Semarang,yakni di bagian barat daya hingga barat Kota Semarang. Adapun secara lebih lanjut distribusi kerapatan vegetasi akan dilihat ada atau tidaknya kaitannya dengan suhu dan permukaan secara spasial.
3.2 Analisis Tutupan Lahan Kota Semarang
Sumber:Analisis data Landsat 8 tahun 2015
Gambar 3.2 Peta Tutupan Lahan Kota Semarang
Berdasarkan analisis terbimbing diketahui 9 kelas tutupan lahan Kota Semarang berdasarkan SNI 7645 tahun 2010 tentang Klasifikasi Tutupan Lahan, yakni permukiman, tambak ikan, belukar, hutan campuran, perkebunan, bangunan industry, sawah irigasi dan lahan terbuka. Berdasarkan peta tutupan lahan Kota Semarang diketahui bahwa tutupan lahan didominasi oleh permukiman di bagian tengah dan timur kota. Adapun vegetasi berada di bagian selatan dan timur Kota Semarang. Kawasan terbangun berupa permukiman dan bangunan industry cenderung membentuk suatu bentukan yang kompak (tidak tersebar). Secara lebih lanjut tutupan laha di Kota Semarang akan dilihat ada atau tidaknya keterkaitan secara spasial dengan suhu di Kota Semarang .
3.3 Analisis Suhu Kota Semarang
Sumber:Analisis data Landsat 8 tahun 2015
Gambar 3.3 Peta Distribusi Suhu Kota Semarang
Berdasarkan peta analisis suhu Kota Semarang diketahui bahwa suhu tertinggi di Kota Semarang adalah suhu dengan rentang 37.38.9 celcius dan suhu terendah adalah suhu dengan rentang 21-22.9 celcius. Adapan secara keseluruhan suhu di Kota Semaran didominasi oleh suhu dengan rentang
27-28.9 celcius hingga 33-334.9 (hampir mencapai 35 celcius).
Berdasarkan peta kelas suhu, diketahui adanya kecenderungan pembentukan klaster suhu, di mana rentang suhu 33-34.9 celcius memusah di bagian tengah dan timur Kota Semarang dan suhu dengan rentang 27-28.9 celcius cenderung membentuk klaster di bagian barat Kota Semarang, yakni di bagian pinggiran Kota Semarang.. Hal tersbeut menunjukkan adanya indikasi Urban Heat Islan (UHI) yakni lebih hangatnya suhu di pusat perkotaan di bandingkan dengan pinggiran kota
3.4 Kajian Kaitan Kerapatan Vegetasi dan Tutupan Lahan Terhadap Suhu Kota Semarang Tabel 3.1 Kajian Kaitan Kerapatan Vegetasi dan Tutupan Lahan Terhadap Suhu Kota Semarang
Sumber: Analisis Citra Landsat 8, 2015
Berdasarkan peta kerapatan vegetasi Kota Semarang, peta tutupan lahan Kota Semarang dan peta distribusi suhu Kota Semarang, dapat diketahui bahwa tutupan lahan permukiman dan bangunan industri memiliki kerapatan vegetasi sedang dan memiliki suhu yang panas, yakni 33-34.9 celcius (mencapau 35 celcius). Adapun tutupan lahan non terbangun baik berupa belukar, semak maupun lahan terbuka memiliki suhu agak sejuk hingga sedang, yakni 25-28.9 celcius. Tutupan lahan non terbangun dengan suhu agak sejuk hingga sedang memiliki kerapatan vegetasi
yang padat. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa kerapatan vegetasi da tutupan lahan pada dasarnya memperngaruhi suhu suatu perkotaan.
3.5 Uji Ketelitian Pada tahapan ini, variabel yang akan dilakukan uji ketelitian adalah tutupan lahan eksisting terakhir hasil klasifikasi, yaitu tahun 2015. Hal ini bertujuan untuk mengetahui berapa ketelitian hasil klasifikasi setelah melakukan uji lapangan. Uji lapangan yang dilakukan pada laporan ini tidak dilakukan terjun langsung ke lapangan, melainkan melihat kondisi kenyataan wilayah tersebut di Google Earth. Berikut adalah hasil pencocokan datanya; Tabel 1 Uji Ketelitian Tutupan Lahan Kecamatan Tugu
Tutupan Lahan
Lahan Terbangun
Lahan Terbangun 30 Lahan Bervegetasi 5 Genangan (Tambak, Sawah, dan Perairan 9 Darat) Jumlah 44 Sumber: Analisis Aida Ulfa Faza, 2015
3 50
Genangan (Tambak, Sawah, dan Perairan Darat) 4 5
3
75
87
56
84
184
Lahan Bervegetasi
Jumlah 37 60
Berdasarkan tabel di atas dapat dianalisis ketelitian dari hasil klasifikasi yaitu menggunakan rumus :
Sehingga diperoleh ketelitian dengan hitungan sebagai berikut;
Menurut ketetapan USGS ketelitian tersebut tergolong baik karena sudah memenuhi standar ketelitian untuk penginderaan jauh adalah sekitar 85%.
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 4.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kerapatan vegetasi dan tutupan lahan terhadap memiliki keterkaitan secara spasial terhadap suhu di Kota Semarang, 4.2 Rekomendasi Adanya isu fenomena UHI (Urban Heat Island) di mana suhu perkotaan yang panas dipengaruhi oleh tutupan lahan dan kerapatan vegetasi, maka diperukan adanya gerakan kota hijau sehingga permasalahan pemanasan suhu kota bahang (UHI) dapat diselesaikan. Gerakan kota hijau dapat dilakukan dengan mewujudkan hunian yang ramah lingkungan m yakni hunian yang memiliki vegetasi yang dapat diwujudkan dengan Green Roof dan pengaplikasian wajib RTH 30%.
DAFTAR PUSTAKA BPS Kota Semarang. (2014). Semarang Dalam Angka 2014. Semarang: Badan Pusat Statistik. Environmental Protection Agency. (2005). Green Roof Compendium. Retrieved from http://www.epa.gov/heatislands/mitigation/greenroofs.htm Environmental Protection Agency. (2009). Urban Heat Island Effect. Retrieved from http://www.epa.gov/heatisld/about/index.htm Gusti Ayu Ketut Sutiarti. (2014). Perubahan Kualitas Udara: Peningkatan Suhu di Semarang dan
Bandung.
Retrieved
from
http://kependudukan.lipi.go.id/id/kajian-
kependudukan/desa-kota/176-perubahan-kualitas-udara-peningkatan-suhu-di-semarangdan-bandung Lillesand and Kiefer. (1990). Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. (R. Dubahri, Ed.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Limas, A. V, Perdana, A., & Tannady, H. (2014). Pembahasan Mengenai Efek Urban Heat Island dan Solusi Alternatif Bagi Kota Jakarta. J@TI Undip, IX, 29–34. Prinsip
Dasar
Penginderaan
Jauh.
(1987),
1–44.
Retrieved
from
http://www.tropenbos.org/file.php/333/modul-penginderaan-jauh-dasar.pdf Rahmah, M. D. (2014). Analisis Kerapatan Vegetasi Untuk Area Permukiman Dengan Menggunakan Citra Satelit Landsat. Jurnal Bersama Kuliah Pengolahan Citra Digital. Rahmi, K. I. N. (n.d.). Metode Split Window Algortihm (SWA). Yogyakarta. Retrieved from https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ua ct=8&ved=0ahUKEwjX38fX2erJAhVYB44KHcfKAU4QFggaMAA&url=http%3A%2 F%2Fwww.researchgate.net%2Fprofile%2FKhalifah_Rahmi%2Fpublication%2F27241 9877_Tutorial_Ekstraksi_Suhu_Permukaan_Landsat_8%2Flinks%2F54e3f7fe0cf2dbf60 6951bd7&usg=AFQjCNF3LwnpDkJ3ks54SD8i0emwuWAKqQ&sig2=BKeiwQp_Mgp oUtXrLfY1XQ SNI 7645 tahun 2010 tentang Klasifikasi Tutupan Lahan Sanjoto, S. H. P. T. B. (2010). Pengantar Interpretasi Citra Penginderaan Jauh. Jakarta: LAPAN. Somantri,
L.
(n.d.-a).
Teknologi
Penginderaan
Jauh.
Bandung.
Retrieved
from
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/132314541LILI_SOMANTRI/makalah_Guru.pdf Somantri, L. (n.d.-b). Teknologi Penginderaan Jauh. Direktori UPI. Retrieved from http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/132314541-
LILI_SOMANTRI/makalah_Guru.pdf Suganda,
D.
(n.d.).
Panduan
Er
Mapper.
Bandung.
Retrieved
from
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRAFI/195805261986031DEDE_SUGANDI/Panduan_Prakt-Er_Mapper.pdf UNEP. (2003). How Will Global Warming Affect My World. Retrieved from http://www.unep.org/dec/docs/ipcc_wgii_guide-E.pdf USGS. (2013). Landsat 8 Instruments. Retrieved from http://landsat.usgs.gov/landsat8.php Zhang, Y., Odeh, I. O. a, & Han, C. (2009). Bi-temporal characterization of land surface temperature in relation to impervious surface area, NDVI and NDBI, using a sub-pixel image
analysis.
International
Journal
of
Applied
Earth
Observation
Geoinformation, 11, 256–264. http://doi.org/10.1016/j.jag.2009.03.001
and