BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Harkat dan martabat manusia merupakan sesuatu yang harus dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara. Kewajiban negara untuk menghormati, menjunjung tinggi dan melindungi harkat dan martabat manusia yang merupakan bagian integral dari penghormatan Hak Asasi Manusia (HAM) sesungguhnya sudah diamanatkan oleh Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD-NRI Tahun 1945) dan Pancasila. Adanya kebijakan-kebijakan di bidang hukum pidana juga bertujuan untuk melaksanakan amanah dari Pancasila dan UUD-NRI Tahun 1945 terkait perlindungan harkat dan martabat manusia. Proses kriminalisasi terhadap suatu tindakan juga berfungsi sebagai generale prevention atau upaya-upaya pencegahan terhadap tindak pidana yang timbul di masyarakat melalui sarana hukum pidana yang tidak dapat dipisahkan dari tujuan yang diamanahkan oleh UUD-NRI 1945 dan Pancasila untuk menghormati, menjunjung tinggi dan melindungi harkat dan martabat manusia. Kriminalisasi secara umum dimaknai sebagai sebuah proses legislasi yang dilakukan oleh pembuat undang-undang untuk menjadikan suatu tindakan tertentu sebagai tindak
1
2
pidana, padahal tindakan atau perbuatan tersebut sebelumnya tidak dikenai sanksi pidana.1 Berbicara mengenai perlindungan harkat dan martabat manusia dengan sarana hukum pidana, sesungguhnya negara sudah mulai menerapkan sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda. Salah satu bentuk dari perlindungan harkat dan martabat manusia adalah adanya pasal-pasal yang terkait dengan tindak pidana terhadap kesusilaan. Seiring dengan perkembangan jaman, semakin berkembang modus-modus tindak pidana yang melanggar kesusilaan dan tentunya melanggar harkat dan martabat manusia. Perempuan memiliki posisi sebagai kaum marginal yang rentan menjadi objek dari tindak pidana. Salah satu jenis tindak pidana yang berkaitan dengan perempuan adalah tindak pidana perdagangan orang. Isu terkait tindak pidana perdagangan orang masih menjadi isu laten dikarenakan semakin hari modus yang digunakan semakin berkembang sehingga korbannya semakin meningkat. Modus yang semakin berkembang ini semakin menyulitkan aparat penegak hukum dalam mengungkap jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang. Bentuk-bentuk dari tindak pidana perdagangan orang juga bermacammacam. Mayoritas korban dari tindak pidana perdagangan orang adalah kaum perempuan dan anak-anak. Modus yang digunakan mulai dari tindakan prostitusi atau pelacuran, buruh migran, pekerja rumah tangga dan sebagainya.Pemantauan yang dilakukan oleh International Organization of 1
Simplexius Asa,2011,”Suatu Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Kriminalisasi Perilaku Beresiko dalam Peraturan Daerah Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia”,Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hlm.10
3
Migration (IOM) menunjukkan jumlah kasus tindak pidana perdagangan orang meningkat di tahun 2013. IOM sudah menerima laporan sebanyak 1.045 kasus pelaporan tindak pidana perdagangan orang dari bulan Januari sampai Juli 2013. Sebanyak 85% kasus dialami oleh perempuan.2Tindak pidana perdagangan orang di Indonesia terangkum dalam berbagai macam tujuan seperti eksploitasi seksual, pekerja rumah tangga, pekerja migran, pekerja anak dan perkawinan pesanan. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang dimaksudkan dengan perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Definisi tindak pidana perdagangan orang yang ada dalam UndangUndang Nomor 21 Tahun 2007 ini pada dasarnya sejalan dengan ketentuan dalam Article 3a United Nation Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, General 2
Ira Guslina Sufa, 18 Oktober 2013, “Pekerja Migran Rentan Jadi Korban Trafficking”, http://www.tempo.co/read/news/2013/10/18/173522597/Pekerja-Migran-Rentan-Jadi-KorbanTrafficking diakses pada tanggal 29 Oktober 2014 pukul 07:00
4
Assembly Resolution 55/25 of 15 November 2000 (Palermo Protocol, 15 November 2000), yang berbunyi: "Trafficking in persons" shall mean the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the-purpose of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs” (Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebutuntuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi meliputi tindakan yang bertujuanuntuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh) Protokol di atas baru diratifikasi pada tahun 2009 melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pengesahan Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons, Especially Women and Children, Supplementing the United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Protokol untuk Mencegah, Menindak dan Menghukum Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak-Anak, Melengkapi Konvensi
Perserikatan
Transnasional
yang
Bangsa-Bangsa
Terorganisasi).
Menentang
Dalam
protokol
Tindak tersebut
Pidana yang
dimaksudkan dengan eksploitasi adalah tindakan yang bertujuanuntuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual, kerja
5
atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2009. Hal ini juga diatur dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
bahwa
eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. Tindak pidana perdagangan orang dan tindakan pelacuran merupakan dua hal yang saling terkait antara satu dengan yang lain. Pelacuran berpeluang mengarah ke tindak pidana perdagangan orang. Namun demikian dalam praktik masih menimbulkan problematika terkait dengan penerapannya karena adanya dualisme dasar penegakan hukum terutama dengan kebijakankebijakan daerah yang mempunyai standar penegakan hukum berbeda terkait kewenangan aparat di tingkat penyidikan dan sanksi pidana yang diterapkan. Selain itu, selama ini undang-undang juga belum memberikan definisi tegas terhadap tindakan pelacuran. Komisioner Komisi Nasional Perempuan, Andy Yentriyani, dalam kuliah umum di Universitas Al-Azhar Indonesia menyampaikan bahwa jumlah korban tindak pidana perdagangan orang secara pasti sulit diperoleh.
6
Korban tindak pidana perdagangan orang diperkirakan 3-5 juta setiap tahunnya dan lebih dari 79% adalah untuk tujuan eksploitasi seksual dimana korban sebagaian besar terdiri dari perempuan dan anak. Data tahunan rutin dan terpilah tentang tindak pidana perdagangan orang di tingkat nasional belum tersedia meskipun di Indonesia telah ada gugus tugas khusus yang memfokuskan pada perdagangan orang serta telah ada Peraturan Daerah (Perda) hampir di semua provinsi yang mengatur pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.3 Tingginya tingkat perdagangan orang yang bertujuan untuk eksploitasi seksual menandakan masih rendahnya perlindungan terhadap kaum perempuan di Indonesia. Berdasarkan Annual Trafficking in Person Report dari US Department of State kepada Kongres sebagaimana diamanatkan dalam The Trafficking Victims Protection Act di tahun 2007, Indonesia masih berada dalam kelompok tier2 atau peringkat kedua dimana tingkat perdagangan orang di Indonesia masih terbilang cukup tinggi walaupun sudah ada upaya untuk memberantas perdagangan orang ditandai dengan pengesahan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.4 Pelacuran merupakan penyakit masyarakat yang menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Farley sebagaimana dikutip oleh Suhar Nanik, di tahun 2003, pelacuran 3
Andy Yentriyani,30 Juli 2014, “Perdagangan Orang dalam Perspektif Psikologi Media”, Kuliah Umum Universitas Al-Azhar Indonesia, Jakarta 4 Iqbal Fadil, 13 Juni 2007, “AS: Indonesia Masuk Peringkat Tier 2Trafficking”, http://news.detik.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/06/tgl/13/time/232412/idnews/79347 0/idkanal/10 diakses pada tanggal 19 Januari 2015
7
mengakibatkan multipel traumatik diantaranya 71% kekerasan fisik, 63% perkosaan, 89% tidak menyukai prostitusi tetapi tidak berdaya untuk keluar dan 68% lainnya mengalami PTSD (Post Traumatic Stress Disorder).5 Dalam tindakan pelacuran terdapat beberapa elemen yang terlibat di dalamnya. Menurut Mudjijono,yang pernah melakukan penelitian tentang kegiatan pelacuran di Pasar Kembang (Sarkem), pelacuran Sarkem merupakan suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pekerja seks, jongos, mucikari, pemilik kamar dan konsumen itu sendiri.6 Pelaku-pelaku pelacuran
yang
berbeda
peranannya
tersebut
menentukan
pertanggungjawaban atas dirinya apabila tindakan pelacuran itu sendiri dikenakan pasal-pasal pidana. Pelacuran ibarat salah satu hulu sungai yang bermuara ke arah tindak pidana perdagangan orang. Pengesahan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tidak semata-mata sebagai formalitas dalam mewujudkan konsistensi upaya memberantas perdagangan orang. Kedekatan korelasi antara tindakan pelacuran dan tindak pidana perdagangan orang seharusnya dapat menjadikan undang-undang tersebut sebagai penyumbat aliran yang memungkinkan peluang terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Kenyataannya belum ada penegakan hukum yang tegas terhadap tindakan pelacuran di Indonesia baik dalam bidang penyidikan dan penuntutan. Putusan-putusan pengadilan di
5
Suhar Nanik, dkk.,”Fenomena Keberadaan Prostitusi dalam Pandangan Feminisme”, http://wacana.ub.ac.id/index.php/wacana/article/viewFile/276/235 diakses pada tanggal 11 Oktober 2014 pukul 08:18 6 Mudjijono, 2005, Sarkem Reproduksi Sosial Pelacuran, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, hlm.31
8
Indonesia pun masih belum memiliki keseragaman dalam menjerat pelaku pelacuran dengan pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007. Eksistensi tindakan pelacuran tetap ada dari masa ke masa tersebut memunculkan pertanyaan mengapa sampai saat ini penegakan hukum terhadap tindakan pelacuran belum maksimal dalam menerapkan pasal-pasal tindak pidana perdagangan orang sehingga perlu diteliti sampai sejauh mana peluang tindakan pelacuran untuk dapat dijerat dengan undang-undang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang dan sejauh mana penerapan undang-undang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang terhadap praktik pelacuran sampai dengan saat ini. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan dengan mengambil judul Penerapan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Terhadap Tindakan Pelacuran.
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimanakah peluang Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang untuk diterapkan terhadap tindakan pelacuran?
2.
Bagaimana penerapan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang terhadap tindakan pelacuran dalam putusan pengadilan selama ini?
9
C. Tujuan Penelitian Penelitian hukum ini memiliki beberapa tujuan, diantaranya: 1.
Tujuan Objektif a. Mengetahui peluang Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang untuk diterapkan terhadap tindakan pelacuran b. Mengetahui penerapan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang terhadap tindakan pelacuran dalam putusan pengadilan selama ini
2.
Tujuan Subjektif Penelitian hukum ini bertujuan untuk memenuhi prasyarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan meningkatkan kualitas dan kemampuan diri peneliti di dalam penelitian dan penelitian hukum.
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dengan adanya penelitian ini meliputi: 1. Manfaat Akademis Penelitian
hukum
ini
diharapkan
dapat
berkontribusi
dalam
perkembangan ilmu hukum pidana terutama dalam hal hukum pelaksanaan pidana di bidang tindak pidana perdagangan orang. Diharapkan
bagi
penelitian-penelitian
berkontribusi dalam memberikan data awal.
selanjutnya
juga
dapat
10
2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti, diharapkan mampu meningkatkan keterampilan penelitian dan penelitian hukum serta mempertajam kemampuan analisis yuridis dan daya berpikir kritis; b. Bagi
aparat
penegak
hukum,
diharapkan
dapat
menambah
pengetahuan dan menjadi bahan pertimbangan dalam penegakan hukum tindakan pelacuran yang memiliki peluang ke arah tindak pidana perdagangan orang; c. Bagi
masyarakat,
diharapkan
mampu
untuk
membangkitkan
kesadaran hukum untuk membantu mencegah adanya peluang tindak pidana perdagangan orang yang dikemas dengan tindakan prostitusi atau pelacuran sehingga nantinya dapat berimbas kepada menurunnya tingkat kriminalitas.
E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian sebelumnya terkait dengan penerapan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang antara lain berjudul: 1.
Penegakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Wilayah
11
Hukum Pengadilan Negeri Surabaya.7Penelitian ini dilakukan pada tahun 2010 oleh Aditya Chandra Darmawan. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah terkait rumusan masalah yang diajukan dan juga ruang lingkup penelitian. Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian sebelumnya adalah terkait dengan upaya penegakan hukum dan hambatan serta penanggulangan dalam mengatasi terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Ruang lingkup penelitian sebelumnya juga difokuskan di wilayah Pengadilan Negeri Surabaya. 2.
Penegakan
Hukum
Terhadap
Tindak
Pidana
Perdagangan
Anak.8Penelitian dilakukan pada tahun 2009 oleh Wina Leni Saragih. Penelitian ini memfokuskan pada perdagangan orang yang objeknya adalah anak-anak. Adapun rumusan masalah yang diajukan adalah terkait penegakan hukum serta kendalanya dengan mengambil lokasi penelitian di Medan. 3.
Geliat Pekerja Seks di Bawah Tekanan Perda (Studi Kasus Implementasi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran di Kabupaten Bantul).9 Penelitian dilakukan oleh Hellatsani Widya Ramadhani tahun 2012. Walaupun penelitian sebelumnya juga membahas mengenai tindakan pelacuran namun dalam
7
Aditya Chandra Darmawan, 2010, “Penegakan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Wilayah Hukum Pengadilan Negeri Surabaya”, Skripsi, Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada 8 Wina Leni Saragih, 2009, “Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Perdagangan Anak”, Skripsi, Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada 9 Hellatsani Widya Ramadhani, 2012, “GeliatPekerja Seks di Bawah Tekanan Perda (Studi Kasus Implementasi Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2007 tentang Larangan Pelacuran di Kabupaten Bantul)”, Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Program Studi Manajemen Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada
12
penelitian sekarang ini lebih melihat dari sudut pandang hukum pidana yang berlandaskan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Penelitian ini lebih melihat dari sudut pandang sosiologis mengenai implementasi Perda Larangan Pelacuran dari perspektif pekerja seks di Parangkusumo serta implikasinya
terhadap
prostitusi
dan
kesehatan
reproduksi
di
Parangkusumo, sedangkan dalam rumusan masalah penelitian kali ini mengangkat permasalahan mengenai penerapan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007.