1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 menjadi dasar normatif dalam menyusun kebijakan perekonomian nasional, di mana tujuan pembangunan ekonomi harus berdasarkan demokrasi yang bersifat kerakyatan dengan keadilan
sosial
bagi
seluruh rakyat
Indonesia
melalui
pendekatan
kesejahteraan dan mekanisme pasar, yaitu: 1 1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara 3. Bumi, air dan kekayaan alam lainnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia 4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas asas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional 5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang. Pasal 33 ini mengandung unsur demokrasi yang bersifat kerakyatan dalam bidang ekonomi, yang menekankan adanya kesempatan yang sama bagi 1
Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, BAB XIV, Pasal 33
2
setiap warga negara untuk berpartisipasi di dalam proses produksi dan pemasaran barang dan jasa dalam iklim usaha yang sehat, efektif dan efisien sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan bekerjanya ekonomi pasar yang wajar. Tetapi, banyak orang sepakat bahwa hal ini baru pada tatanan konsep, belum sesuai apa yang diharapkan masyarakat. Industri minyak goreng merupakan industri yang memiliki nilai strategis dan juga merupakan kebutuhan masyarakat luas, karena fungsinya sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Perkembangan industri minyak goreng di Indonesia telah menempatkan minyak goreng dengan bahan baku kelapa sawit sebagai komoditi yang
paling banyak
dikonsumsi oleh masyarakat saat ini. Hal tersebut disebabkan oleh rendahnya ketersediaan bahan baku lain selain kelapa sawit. Stabilisasi harga minyak goreng merupakan salah satu dari sekian rupa program kebijakan pemerintah yang secara tidak langsung dilakukan dalam upaya menjaga standar kelayakan hidup masyarakat. Produk minyak goreng menjadi salah satu barang yang penting untuk dikendalikan pemerintah karena menyangkut kepentingan masyarakat banyak (yang masih menggunakan minyak goreng sebagai mediasi pengolahan hampir sebagian besar makanan yang dikonsumsinya). Berdasarkan estimasi statistik tahun 2007, rata-rata konsumsi minyak goreng per kapita di Indonesia mencapai 10,4 kg per tahun. Fenomena beberapa tahun terakhir terkait dengan gejolak harga CPO dunia, secara faktual mempengaruhi terjadinya gejolak harga minyak goreng di pasar
3
domestik. Melambungnya harga CPO dari kisaran harga US$ 600/ton pada bulan Februari 2007 menjadi US$ 1.300/ton pada minggu I bulan Maret 2008 menjadi alasan logis yang menjelaskan melambungnya harga minyak goreng sawit di pasar domestik ketika itu dari kisaran harga Rp 7.000/kg pada bulan Februari 2007 menjadi Rp 12.900,- per kg pada bulan Maret 20081. Hal ini dapat dijelaskan karena 80% biaya produksi pengolahan minyak goreng sawit merupakan biaya input (bahan baku) CPO 2. Namun demikian, ketika terjadi penurunan harga di pasar input (CPO), harga minyak goreng pada pasar domestik diindikasikan tidak merespon secara proporsional. Fenomena inilah yang melatarbelakangi dugaan terjadinya perilaku ataupun praktek persaingan usaha tidak sehat yang dilakukan oleh para pelaku usaha minyak goreng di Indonesia sehingga mengkondisikan harga minyak goreng relatif tetap tinggi meskipun variabel input (CPO) telah mengalami penurunan harga yang signifikan. Sistem pemasaran dalam minyak goreng dapat dilihat dari jenis minyak goreng yang dipasarkan di mana untuk minyak goreng kemasan (bermerek), produsen menunjuk satu perusahaan distributor untuk melakukan distribusi ke seluruh wilayah pemasarannya, namun tidak terbatas ke seluruh retail modern. Pemilihan distributor tersebut dapat dilakukan terhadap perusahaan yang merupakan afiliasinya maupun perusahaan lain yang sama 2
Data BPS dikutip Tjahya Widayanti, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan ketika berdiskusi dengan KPPU pada tanggal 5 Februari 2009
4
sekali tidak memiliki afiliasi. Kontrol produsen terhadap minyak bermerek hanya sampai distributornya saja dan distributor mendapatkan marketing fee berkisar 5%. Sedangkan sistem pemasaran minyak goreng curah, sebagian besar produsen tidak menunjuk distributor dan melakukan penjualan secara langsung. Hal tersebut terkait dengan karakteristik produk itu sendiri yang sangat berfluktuasi harganya dan daya tahan produk yang tidak terlalu lama. Produsen biasanya hanya melayani pembelian dalam jumlah besar kepada konsumen antara (pembeli besar) dengan sistem jual beli putus. Fakta lain yang terungkap adalah kebijakan pemerintah terkait dengan perdagangan minyak goreng di Indonesia dilakukan dengan membuat program bernama „minyak kita‟. Program ini dilaksanakan melalui regulasi pemerintah,
yakni
Peraturan
Menteri
Perdagangan
Nomor:
02/M-
DAG/PER/I/2009 tentang Minyak Goreng Kemasan Sederhana. Program minya kita dibuat dengan tujuan menstabilkan harga minya goreng dan untuk meningkatkan kualitas konsumsi minyak goreng masyarakat di mana secara faktual sebagian besar yaitu sekitar 80% masyarakat Indonesia masih mengkonsumsi minyak goreng curah. Produk minyak kita dibuat sebagai realisasi kerja sama pemerintah dengan produsen minyak goreng guna menyediakan kebutuhan minyak goreng yang lebih higienis dengan harga yang terjangkau. Oleh karena itu, minyak kita diproduksi oleh produsen dengan kualitas lebih tinggi dari minyak goreng curah namun masih di bawah standar minyak
5
goreng kemasan bermerek. Dalam rangka mendukung program tersebut, pemerintah mengeluarkan anggaran sebesar Rp 800.000.000.000 (delapan ratus miliar rupiah) untuk tahun 2009 dan Rp 240.000.000.000 (dua ratus empat puluh miliar rupiah) untuk tahun 2010 sebagai subsidi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi produsen yang ikut berpartisipasi dalam program tersebut. Setiap perusahaan yang mengikuti program pemerintah tersebut harus memenuhi prosedur dan ketentuan yang terkait dengan design dan spesifikasi produk. Secara prosedur, perusahaan yang akan ikut berpartisipasi dalam program tersebut harus mendaftarkan diri secara langsung atau melalui asosiasi, dalam hal ini GMNI atau AIMMI. Dari fakta ini terjadi kenaikan harga CPO yang diawali pada bulan Februari 2007 hingga Maret 2008, namun pada bulan Agustus 2008 hingga bulan Desember 2008 terjadi penurunan yang cukup tajam. Selanjutnya pasca tahun 2008 harga CPO mulai mengalami kenaikan kembali. Atas temuan ini pada tanggal 15 September 2009 sampai dengan 23 Maret 2010, KPPU telah melakukan monitoring 3, pemeriksaan pendahuluan4 dan pemeriksaan lanjutan5 terhadap 21 (dua puluh satu) pelaku usaha di bidang minyak goreng.
3
Monitoring adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Sekretariat Komisi untuk mendapatkan kelengkapan dan kejelasan mengenai pelanggaran yang diduga atau patut diduga dilakukan oleh pelaku usaha berdasarkan data dan informasi yang berkembang di masyarakat. 4 Pemeriksaan pendahuluan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa Pendahuluan terhadap laporan dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan perlu atau tidak perlu dilakukan pemeriksaan lanjutan. 5 Pemeriksaan lanjutan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Tim Pemeriksa lanjutan terhadap adanya dugaan pelanggaran untuk menyimpulkan ada atau tidaknya adanya dugaan pelanggaran.
6
Kesimpulan tim pemeriksa yang pada pokoknya menyatakan adanya indikasi kuat terjadinya pelanggaran Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 11 Undang-Undang Persaingan Usaha yang dilakukan oleh seluruh terlapor dalam perkara nomor 24/KPPU-I/2009. Pasal 4, 5 dan 11 UU Persaingan Usaha dimaksud berbunyi sebagai berikut: 1.
Pasal 4 : 1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk secara bersama-sama melakukan penguasaan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan
terjadinya
praktik
monopoli
dan
atau
persaingan usaha tidak sehat. 2) Pelaku usaha patut diduga dianggap secara bersama-sama melakukan penguasaan produk dan atau pemasaran barang dan atau jasa, sebagaimana dimaksud ayat (1), apabila 2 (dua) atau 3 (tiga) pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang dan atau jasa tertentu. 2.
Pasal 5 : 1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang
7
dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama. 2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan atau suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku. 3.
Pasal 11 : Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya, yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Berdasarkan pasal tersebut, KPPU memutuskan bahwa para pelaku usaha di atas telah melakukan oligopoli, penetapan harga dan kartel terhadap industri minyak goreng di Indonesia. Dalam hal ini KPPU berkeyakinan bahwa pembuktian adanya sebuah kartel dapat dilakukan dengan hanya menggunakan pembuktian indirect evidence (pembuktian tidak langsung) 6, dengan penjelasan sebagai berikut: 1) Bukti
Komunikasi
(communication
evidence).
Bukti
komunikasi dapat berupa fakta adanya pertemuan dan atau komunikasi antar pesaing meskipun tidak terdapat substansi 6
OECD, Prosecuting Cartels without Direct Evidence of Agreement, Policy Brief Edisi Juni 2007
8
dari pertemuan tersebut. Dalam perkara ini, pertemuan dan atau komunikasi baik secara langsung maupun tidak langsung dilakukan oleh para terlapor pada tanggal 29 Pebruari 2008 dan tanggal 9 Pebruari 2009. Bahkan dalam pertemuan dan atau komunikasi tersebut dibahas antara lain mengenai harga, kapasitas produksi dan struktur biaya produksi. 2) Bukti ekonomi (economic evidence) Terdapat 2 (dua) tipe ekonomi yaitu bukti yang terkait dengan struktur dan perilaku. Dalam perkara ini, Industri minyak goreng baik yang curah maupun kemasan memiliki struktur pasar yang terkonsentrasi pada beberapa pelaku usaha (oligopoli). Bukti ekonomi yang berupa perilaku tercermin dari adanya price parallism. 3) Facilitating practices yang dilakukan melalui price signaling dalam kegiatan promosi dalam waktu yang tidak bersamaan serta pertemuan-pertemuan atau komunikasi antar pesaing melalui asosiasi. Namun demikian para pelaku usaha menolak keputusan KPPU, dengan alasan utama bahwa KPPU tidak bisa menjerat para pelaku usaha dengan tuduhan kartel dengan menggunakan indirect evidence (pembuktian
9
tidak langsung). Pembuktian tidak langsung adalah pembuktian yang tidak dapat menjelaskan secara terang dan spesifik mengenai materi kesepakatan antar pelaku usaha yang terdiri dari bukti ekonomi dan bukti komunikasi. Bukti komunikasi yang membuktikan adanya komunikasi dan atau pertemuan antar pelaku kartel, namun tidak bisa menjelaskan mengenai substansi yang dibicarakan. Penolakan putusan KPPU ini didukung oleh beberapa profesional di bidang persaingan usaha diantaranya Professor Ningrum Natasya Sirait. Prof. Ningrum mengatakan bahwa pembuktian kartel harus hati-hati dan konsistensi harus jelas. KPPU tidak memiliki data yang cukup untuk melakukan perhitungan statistik dalam menetapkan keputusan. Hal itu terlihat dalam pernyataan keputusan KPPU. Dalam putusannya, majelis komisi menemukan fakta tidak tersedianya data produksi dan volume perdagangan minyak goreng sawit di pasar domestik. Atas dasar ini, Prof. Ningrum mengatakan seharusnya tidak dapat disebut kartel. Sebagaimana diketahui hampir di seluruh negara yang menerapkan hukum persaingan, mayoritas kartel dinyatakan sebagai perbuatan yang bersifat per se illegal7 karena tidak perlu dibuktikan lagi dampak atau akibat dari perbuatan tersebut. Disamping itu, kartel merupakan pelanggaran serius
7
Perse illegal adalah apabila suatu aktifitas mempunyai akibat merusak, hakim tidak perlu sampai harus mempermasalahkan rasionalitas dari peristiwa yang sama sebelum menentukan bahwa peristiwa tersebut merupakan pelanggaran hukum persaingan.
10
dalam hukum persaingan akan tetapi sangat sulit pembuktiannya karena adanya kesepakatan atau perjanjian antara pelaku usaha pesaing menjadi bukti esensial dan signifikan. Perdebatan mengenai pembuktian kartel ini menurut hemat penulis sangat menarik untuk ditelusuri, sehingga menjadi jelas kedudukan hukum keputusan KPPU mengenai kartel minyak goreng, termasuk bagaimana upaya keberatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha industri minyak goreng B.
Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis akan membatasi permasalahan pokok sehingga permasalahan-permasalahan yang diidentifikasi adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah dampak pengaturan kartel terhadap industri minyak goreng? 2. Bagaimana pembuktian kartel yang dilakukan KPPU dalam memutuskan perkara kartel minyak goreng? 3. Bagaimana upaya keberatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha?
C.
Tujuan Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk memperoleh data dan informasi yang berkaitan dengan pembuktian kartel berdasarkan UU Persaingan Usaha,
11
khususnya terhadap Keputusan KPPU Nomor 24/KPPU-I/2009 tentang Kartel Minyak Goreng. Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk: 1. mengetahui bagaimana dampak pengaturan kartel terhadap industri minyak goreng. 2. mengetahui bagaimana pembuktian kartel yang dilakukan KPPU dalam memutuskan perkara kartel minyak goreng. 3. Mengetahui bagaimana upaya keberatan yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat: 1. menambah pengetahuan dan wawasan penulis dalam penelitian dan penulisan karya ilmiah 2. memberikan manfaat berupa sumbangan pemikiran bagi dunia teori dan dunia praktik hukum pada umumnya, khususnya di bidang hukum ekonomi yang terkait dengan aspek hukum persaingan usaha 3. secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat berguna: a. sebagai sumbangan pemikiran bagi yang mendalam bidang hukum ekonomi dan perdagangan pada umumnya, dan hukum antimonopoli dan pada khususnya, terutama para ahli dan
12
sarjana hukum yang bertugas di kantor kementerian negara, lembaga-lembaga pemerintah non kementerian, lembagalembaga peradilan, para pengusaha, dan instansi-instansi negara lainnya, baik di pusat maupun di daerah, yang seharihari menangani hal-hal yang berhubungan dengan penelitian dimaksud, baik secara langsung maupun tidak langsung. b. Sebagai sumber pemikiran bagi mereka yang tertarik untuk meneliti masalah ini lebih lanjut. D.
Tinjauan Pustaka Persaingan usaha merupakan syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terselenggaranya ekonomi pasar. 8 Model persaingan telah diakui sebagai alternatif unggul bagi pembangunan ekonomi. 9 Hukum persaingan usaha dalam rangka mendukung sistem ekonomi pasar diciptakan agar persaingan antar pelaku usaha tetap hidup, persaingan pelaku usaha dilakukan secara sehat, dan konsumen tidak dieksploitasi oleh pelaku usaha. 10
8
Norman S. Pakpahan, Pokok-pokok pikiran tentang Hukum Persaingan Usaha, ELIPS, Jakarta, 1994, hlm 2 9 Luis Tineo dan Maria Coppola Ed, Kebijakan Mengenai Persaingan dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Laporan tentang Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan, World Bank, hlm 2 10 Jurnal Hukum Bisnis, Membudayakan Persaingan Sehat, Editorial dalam Jurnal Hukum Bisnis, Volume 19 Mei-Juni 2002, hlm 4
13
Dalam teori ekonomi, persaingan yang sempurna (perfect competition) adalah suatu kondisi pasar yang ideal. 11 Paling tidak ada empat asumsi uang melandasi agar terjadi persaingan yang sempurna pada suatu pasar tertentu12. Pertama, pelaku usaha tidak dapat menentukan secara sepihak harga atas produk atau jasa. Adapun yang menentukan harga adalah pasar berdasarkan ekuilibrium permintaan dan penawaran (supply and demand). Dengan demikian pelaku usaha dalam persaingan sempurna tidak bertindak sebagai price maker melainkan hanya bertindak sebagai price taker. Kedua, barang atau jasa yang dihasilkan oleh pelaku usaha adalah betul-betul
sama
(product
homogenity).
Selanjutnya,
pelaku
usaha
mempunyai kebebasan untuk masuk ataupun keluar dari pasar (perfect mobility of resources). Terakhir, konsumen dan pelaku usaha memiliki informasi
yang
sempurna
(perfect
information)
tentang
kesukaan
(preferences), tingkat pendapatan (income levels), biaya dan teknologi yang digunakan untuk menghasilkan barang atau jasa. Persaingan sempurna adalah suatu keadaan ideal yang jarang ditemukan dalam kenyataan. Penting untuk diketahui bahwa persaingan sempurna hampir tidak pernah terjadi dalam dunia nyata dan hanya digunakan sebagai acuan untuk kepentingan ilmiah saja, juga bukan merupakan tujuan 11
Hikmahanto Juwana, Perseroan Terbatas dan Undang-Undang Anti Monopoli, makalah disampaikan pada pendidikan lanjutan ilmu hukum bidang hukum perusahaan, Lembaga Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000, hlm 1 12 Robert S. Pindyct and Daniel L., Microeconomics, USA: Prentice Hall International Inc, 1998, hlm 283-284, dalam Hikmahanto Juwana, ibid, hlm 1
14
kebijakan persaingan yang sebenarnya, 13 namun persaingan dianggap sebagai suatu yang esensial dalam ekonomi pasar (market economy)14 Persaingan juga perlu dijaga konsistensinya demi tercapainya efisiensi, baik bagi masyarakat konsumen maupun bagi setiap perusahaan. Adanya
persaingan memungkinkan tersebarnya kekuatan pasar
dan
menyebabkan kesempatan berusaha menjadi terbuka lebih lebar yang memberi peluang bagi pengembangan dan peningkatan kewiraswastaan (enterpreneurship)
yang akan menjadi modal utama bagi kegiatan
pembangunan ekonomi bangsa. 15 Berdasarkan pemikiran tersebut, dapat dikatakan bahwa persaingan merupakan suatu yang diperlukan bagi tercapainya efisiensi. Persaingan usaha merupakan hal yang baik bagi masyarakat dalam banyak hal, antara lain: 16 1. Persaingan mendorong produsen dan distributor menurunkan biaya 2. Persaingan mendorong produsen untuk menciptakan variasi produk yang akan menarik bagi para pembeli 3. Persaingan mendorong pemasok untuk mengembangkan barang dan jasa baru
13
Collen Laughlin, et, All, Laporan Kebijakan Persaingan Indonesia (Report on Competition Policy in Indonesia), USAID Project No.04970372, hlm 5 14 Hikmahanto Juwana, Hukum Persaingan dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999, Makalah disampaikan pada Program Persaingan Usaha untuk staf Sekretariat KPPU, Oktober 2001, hlm 2 15 Norman S. Pakpahan, Ibid, ELIPS, Jakarta, 1994, hlm 2 16 The Promoting Deregulation and Competition Project, Op. Cit, Asian Development Bank, Jakarta, 2001, hlm 1
15
4. Persaingan mendorong pemasok untuk memberikan layanan yang lebih baik kepada konsumen. Persaingan usaha dapat dibedakan atas persaingan sehat (fair competition) dan persaingan tidak sehat (unfair competition).17 Persaingan tidak sehat pada akhirnya dapat mematikan persaingan, yang kemudian memunculkan monopoli. Monopoli adalah pasar tanpa persaingan. Sebenarnya masalah persaingan usaha semata-mata merupakan urusan antar para pelaku swasta (private economic power) dan negara tidak turut campur, tetapi mengingat dunia usaha perlu diciptakan level playing field yang sama maka negara perlu turut campur18 dengan bersumber pada power of economic regulation19. Secara garis besar keikutsertaan negara pada dunia usaha dalam kaitannya dengan persaingan dapat diidentifikasikan dalam tiga hal. 20 Pertama, negara adalah pihak yang menerbitkan perundang-undangan untuk mengatur persaingan. Selanjutnya, negara perlu turut campur mengingat pelaku usaha yang melakukan persaingan tidak sehat perlu dikenakan sanksi dimana sanksi pidana maupun administratif merupakan monopoli negara. Terakhir, keterlibatan negara adalah dalam rangka menjadi “wasit” bagi dunia usaha yang menentukan siapa pelaku usaha yang melakukan pelanggaran. 17
Jurnal Hukum Bisnis, Op cit, hlm 4 Hikmahanto Juwana, Op cit, hlm 6 19 Jurnal Hukum Bisnis, Op cit, hlm 4 20 Hikmahanto Juwana, Op cit, hlm 6 18
16
Keterlibatan negara dijalankan oleh suatu komisi khusus yang bertugas untuk itu.21 Untuk memandu terjadinya persaingan usaha yang sehat sehat sehingga memungkinkan terselenggaranya ekonomi pasar sebagaimana mestinya, diperlukan perangkat hukum persaingan sebagai aturan main yang dipatuhi oleh semua pelaku kegiatan ekonomi. 22 Di sinilah arti penting dibuatnya undang-undang antimonopli sebagai suatu perangkat hukum untuk memandu terjadinya persaingan sehat bagi tercapainya efisiensi. Terdapat dua efisiensi yang ingin dicapai oleh undang-undang anti monopoli, yaitu efisiensi bagi produsen dan bagi masyarakat atau productive efficiency dan allocative effisiensi. Keterlibatan negara dengan bersumber pada power of economic regulation dalam persaingan usaha telah diwujudkan dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat sebagai perangkat hukum yang merupakan panduan bagi terjadinya persaingan sehat di Indonesia yang lebih dikenal dengan sebutan Persaingan Usaha. E.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah :
21
Jurnal Hukum Bisnis, Op cit, hlm 4
22
Norman S. Pakpahan, Op cit, hlm 3
17
1. Sebagai sumbangan pemikiran bagi yang berkecimpung di bidang hukum ekonomi dan perdagangan pada umumnya dan hukum anti monopoli pada khususnya, terutama para ahli dan sarjana hukum yang bertugas di kementerian negara dan non kementerian, lembaga-lembaga peradilan, para pengusaha dan instansi-instansi negara lainnya baik di pusat maupun di daerah yang sehari-hari menangani hal-hal yang berhubungan dengan penelitian dimaksud, baik secara langsung maupun tidak. 2. Sebagai sumbangan pemikiran bagi mereka yang tertarik untuk meneliti masalah ini lebih lanjut. F.
Keaslian Penelitian Tesis ini dibuat oleh penulis sebagai hasil karya sendiri berdasarkan bahan-bahan yang dikumpulkan dari kepustakaan dan sumber-sumber yang dikutip maupun dirujuk.
G.
Metode Penelitian 1. Obyek Penelitian. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan juridis normatif, maka penelitian ini berbasis pada analisis norma hukum, baik hukum dalam arti law as it is written in the book (dalam peraturan perundang-undangan) maupun hukum dalam arti law as it is decided by judge through judicial process (putusan-
18
putusan pengadilan). Penelitian yuridis normatif hanya merupakan studi dokumentasi dengan mempergunakan sumber-sumber data sekunder seperti peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, teori-teori hukum dan pendapat para sarjana hukum terkemuka. Dengan demikian obyek yang dianalisis dalam penelitian ini adalah norma hukum, baik peraturan perundangundangan maupun putusan komisi negara dalam hal ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). 2. Jenis data yang dikumpulkan. Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan. Namun, untuk melengkapi atau mendukung analisis terhadap data sekunder, maka diperlukan wawancara dengan narasumber yang dinilai memahami beberapa konsep atau pemikiran yang ada di dalam data sekunder dalam batas-batas metode penelitian normatif. Data kepustakaan yang dikumpulkan oleh peneliti digolongkan dalam tiga bahan hukum, yaitu bahan bahan hukum primer, bahan-bahan hukum sekunder dan bahanbahan hukum tertier. Bahan-bahan hukum primer meliputi produk lembaga legislatif, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat yang berhubungan dengan penelitian yaitu peraturan perundang-undangan dan Keputusan KPPU.
19
Bahan-bahan sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang berupa buku-buku teks, penelusuran internet, artikel ilmiah, jurnal, majalah dan surat kabar, makalah, skripsi dan tesis. Sedangkan bahan hukum tertier
meliputi bahan hukum yang dapat
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yaitu bahan hukum ekonomi. Sementara data melalui wawancara dilakukan terhadap narasumber yang dinilai memahami hukum acara persaingan usaha, khususnya yang menyangkut permasalahan penulisan, yakni para komisioner di KPPU dan pakar hukum persaingan usaha. Adapun lokasi penelitian untuk memperoleh data dilaksanakan di : 1) Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Jl. Ir. H. Juanda Nomor 36, Jakarta Pusat 2) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 3) Lembaga Kajian Persaingan Usaha, Fakultas Hukum Universitas Indonesia 4) Perpustakaan Nasional RI 5) Perpustakaan Sekretariat Negara RI Analisis penelitian dilaksanakan dengan cara:
20
1. Analisis terhadap data dan informasi hasil studi kepustakaan non yuridis dilakukan secara kualitatif dan bahan hasil studi kepustakaan yuridis dilakukan secara normatif. 2. Analisis terhadap data dan informasi hasil penelitian lapangan dilakukan secara kualitatif. Dengan demikian analisis penelitian dilakukan secara kualitatif, artinya menganalisis data dan informasi yang diperoleh berdasarkan kualifikasinya sesuai dengan norma hukum yang berlaku.