BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut WHO (1994), apoteker mempunyai peran profesional dalam berbagai bidang pekerjaan meliputi regulasi dan pengelolaan obat, farmasi komunitas, farmasi rumah sakit, industri farmasi, kegiatan akademik, pelatihan tenaga kesehatan lainnya, dan penelitian. Peran profesional dalam semua bidang pekerjaan tersebut adalah memastikan hasil terapi obat optimal, baik dengan cara berkontribusi pada pembuatan, pasokan, dan pengendalian obat, maupun dengan cara memberikan informasi dan saran kepada pembuat resep dan pengguna produk-produk farmasi. Apoteker merupakan profesional kesehatan paling mudah diakses oleh publik, mereka menyediakan kebutuhan obat-obatan baik melalui resep ataupun tanpa resep. Selain memastikan secara akurat pasokan produkproduk yang tepat, kegiatan profesional mereka juga mencakup konseling pasien pada saat dispensing obat baik melalui resep maupun tanpa resep, informasi obat kepada profesional kesehatan lain, pasien dan masyarakat umum, dan berpartisipasi dalam program promosi kesehatan. Menurut Anderson (2002), farmasi adalah profesi kesehatan yang memiliki tanggung jawab untuk memastikan penggunaan obat-obatan dilakukan secara aman, efektif, dan rasional. Menurut Jan Smits, presiden Asosiasi Apoteker Belanda, perhatian utama apoteker adalah pasien, dengan penekanan pada keselamatan penggunaan obat, kepatuhan pasien, penyampaian informasi terkait obat, serta peningkatan ketepatan pada peresepan dan dispensing obat-obatan (Bouvy, dkk., 2011). Asosiasi Apoteker Amerika merumuskan peran apoteker
1 Universitas Sumatera Utara
komunitas mencakup berbagai pekerjaan mulai dari (a) memastikan ketepatan terapi dan hasilnya; (b) dispensing sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan lainnya; (c) melakukan promosi kesehatan dan pencegahan penyakit; hingga (d) memberikan kontribusi kepada manajemen sistem kesehatan (Wledenmayer, dkk., 2006). Menurut Kronus (1975), Ladinsky (1971), dan Quinney (1964), di farmasi komunitas terdapat konflik antara etika dan bisnis bersamaan dengan hadirnya farmasi komunitas itu sendiri. Konflik muncul karena farmasi komunitas adalah bisnis sementara apoteker komunitas adalah profesional layanan kesehatan. Apoteker komunitas berada dalam bisnis penjualan obat-obatan sekaligus memiliki tanggung jawab legal dan etis bagi pasien mereka (Resnik, dkk., 2000). Pada kenyataannya, disamping sebagai obyek profesi apoteker, sediaan farmasi adalah komoditas dagang yang tunduk pada kaidah-kaidah ekonomi. Apoteker dihadapkan pada konflik peran, apakah melakukan pekerjaan berciri profesional yang memposisikan sediaan farmasi sebagai obyek profesi, atau melakukan pekerjaan non-profesional yang memposisikan sediaan farmasi sebagai komoditas dagang. Cordina, dkk. (2008), berpendapat bahwa liberalisasi di Maldova salah satu negara di Eropa Timur, telah mendorong farmasi lebih sebagai bagian dari sektor komersial ketimbang sebagai bagian dari profesional dalam sistem kesehatan. Sementara Anderson (1977), berpendapat bahwa banyak waktu apoteker komunitas dihabiskan tanpa pekerjaan yang sesuai dengan kapasitasnya. Tugas-tugas tidak produktif yang hanya membutuhkan tingkat keterampilan teknis rendah, seharusnya dapat dikerjakan oleh tenaga teknis kefarmasian dengan biaya lebih ekonomis. 2 Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia, apoteker komunitas hanya menyediakan sedikit waktu, yaitu kurang dari 20 jam per minggu, baik untuk pekerjaan profesional maupun pekerjaan non-profesional dalam kegiatan sehari-hari. Konsep praktik farmasi komunitas tidak berkembang dengan baik, lebih tepat digambarkan sebagai toko obat. Apotek pada keyataannya lebih banyak dikelola oleh tenaga non-profesional yang tidak memiliki kualifikasi tertentu, dengan pengetahuan sangat terbatas tentang obat (Hermansyah, dkk., 2012). Ahaditomo (2002), ketua umum Pengurus Pusat ISFI periode tahun 20002005, menilai bahwa praktik farmasi komunitas di Indonesia sebagai praktik yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi. Sementara Bahfen (2006), seorang staf ahli menteri kesehatan bidang mediko legal, berpendapat bahwa sebelum tahun 2004 Indonesia mempunyai masalah dalam pengaturan praktik farmasi, oleh karena berbagai standar yang perlu diimplementasikan belum ada. Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 249 juta merupakan negara berpenduduk terbesar keempat dunia setelah Republik Rakyat Cina, India, dan Amerika Serikat. Mengacu pada Indikator Indonesia Sehat 2010 (Menkes RI, 2003), Indonesia membutuhkan sekitar 25 ribu apoteker komunitas untuk memberikan pelayanan farmasi. Saat ini jumlah apoteker yang terregistrasi di Komite Farmasi Nasional telah mencapai lebih dari 48 ribu orang tersebar di 33 provinsi (Anonim, 2014). Jumlah ini akan terus bertambah seiring dengan kelulusan apoteker setiap tahunnya dari 29 Perguruan Tinggi yang program pendidikan S1 farmasinya terakreditasi A dan B (APTFI, 2014; BAN PT, 2014). Dengan asumsi bahwa separoh dari apoteker terregistrasi adalah apoteker komunitas, penyebaran apoteker merata, dan pelayanan dilakukan secara 3 Universitas Sumatera Utara
profesional, jumlah tersebut dapat dikatakan sudah cukup. Masalahnya menjadi lain ketika fakta mengatakan bahwa penyebaran apoteker tidak merata dan pelayanan farmasi tidak dilakukan secara profesional. Penyebaran apoteker tidak merata disebabkan oleh adanya kecenderungan apoteker menumpuk di kawasan perkotaan, yang mengakibatkan kekurangan apoteker di kawasan kabupaten. Sementara pelayanan farmasi yang tidak dilakukan secara profesional pada dasarnya tidak lagi menuntut pemenuhan jumlah apoteker sesuai Indikator Indonesia Sehat 2010. Profesi farmasi diakui penting sebagai penyedia layanan kesehatan di banyak negara maju, akan tetapi di kebanyakan negara berkembang profesi farmasi masih kurang dimanfaatkan (Azhar, dkk., 2009). Pada tahun 1997, Fédération Internationale de Pharmaceutiques (FIP) menerbitkan dokumen standar kualitas pelayanan farmasi sebagai pedoman cara pelayanan farmasi yang baik (Good Pharmacy Practice), dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas praktik farmasi di seluruh negara (FIP, 1997). Selanjutnya pada tahun 1998, FIP menerbitkan dokumen cara pelayanan farmasi yang baik khusus untuk negara sedang berkembang (Good Pharmacy Practice in Developing Countries) (FIP, 1998a). Indonesia melalui kerja sama Direktorat Jenderal Pelayanan Kefarmasian dan Alat Kesehatan (Ditjen Yanfar dan Alkes), Departemen Kesehatan RI dengan organisasi profesi Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) merespon kedua dokumen FIP di atas dengan menyusun Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, antara lain bertujuan menyediakan pedoman praktik bagi apoteker dalam menjalankan profesi, dan untuk melindungi masyarakat dari pelayanan kefarmasian yang tidak profesional (Menkes, 2004). Standar Pelayanan 4 Universitas Sumatera Utara
Kefarmasian di Apotek meliputi Pengelolaan Sumber Daya, Pelayanan, dan Evaluasi Mutu Pelayanan. Permasalahan praktik farmasi komunitas di Indonesia ternyata tidak dapat terselesaikan hanya dengan diterbitkannya berbagai peraturan. Penelitian tentang profil pelayanan kefarmasian di apotek setelah 5 tahun Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek ditetapkan, menyimpulkan bahwa pelayanan kefarmasian di apotek masih dilaksanakan sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Obat keras tetap saja dikelola sebagai komoditas ekonomi yang seolah tanpa risiko pada penggunanya, dijual tanpa resep dokter dan dilakukan oleh siapa saja (Wiryanto, 2009). Hasil penelitian terhadap pelayanan permintaan obat-obat keras tanpa resep dokter di 25 apotek di kota Medan menunjukkan, bahwa semua apotek (100%) melayani permintaan obat antibiotika, 6 apotek (24%) melayani permintaan obat psikotropika, dan semua apotek (100%) melayani permintaan obat-obat untuk penyakit degeneratif. Dari segi siapa yang melayani permintaan obat-obat keras tanpa resep tersebut, 5 (8,9%) dilayani oleh apoteker, 22 (39,3%) dilayani oleh asisten apoteker, dan 29 (51,8%) dilayani oleh pegawai biasa (Elyarni, 2009). Sementara penelitian tentang kehadiran apoteker di 68 apotek di kota Medan menunjukkan, bahwa 52,9% tidak hadir setiap harinya, 26,5% hadir setiap hari pada jam tertentu, dan 20,6% hadir pada setiap jam buka apotek (Ginting, 2009). Penelitian lain yang dilakukan beberapa tahun kemudian tentang kehadiran apoteker di 52 apotek di kota Medan menunjukkan, bahwa 40,4% hadir sekali sebulan, 15,4% hadir sekali seminggu, 13,5% hadir 2 hingga 4 kali seminggu, 21,1% hadir setiap hari pada jam tertentu, dan 9,6% hadir pada setiap jam buka apotek (Gracia, 2013). 5 Universitas Sumatera Utara
Didorong oleh kebutuhan mendesak akan sebuah peraturan pelaksanaan, terutama menyangkut syarat keahlian dan kewenangan bagi pelaksanaan pekerjaan kefarmasian, pada tahun 2009 pemerintah RI menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Presiden RI, 2009). Pada tahun yang sama pemerintah RI menetapkan Undang-undang (UU) No. 36 tentang Kesehatan menggantikan UU No. 23 tahun 1992 (Pemerintah RI, 2009), dan ISFI menetapkan Kode Etik Apoteker Indonesia (ISFI, 2009a). Dengan ditetapkannya PP No. 51 tahun 2009 ini, maka telah tersedia perangkat hukum untuk kembali dilakukan langkah-langkah revitalisasi praktik farmasi komunitas di Indonesia. Langkah-langkah revitalisasi dimaksud adalah implementasi berbagai ketentuan baru dalam PP ini ke dalam praktik secara sistematis, terukur, dan bertahap, meliputi (a) mewujudkan definisi apotek sebagai “sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker”; (b) melakukan sertifikasi kompetensi apoteker; (c) melakukan regestrasi apoteker sebagai tenaga kesehatan; dan (d) mensyaratkan izin praktik bagi apoteker yang akan melakukan praktik. Ketidakberhasilan implementasi berbagai peraturan penting seperti PP No. 25 tahun 1980 dan Kepmenkes No. 1027 tahun 2004 mengindikasikan bahwa implementasi peraturan merupakan hal yang tidak mudah dilakukan di Indonesia. Dan ketidakberhasilan implementasi PP No. 51 tahun 2009 yang saat ini berlaku, merupakan ancaman bagi hilangnya peran vital farmasi komunitas, karena penanganan pekerjaan kefarmasian diserahkan kepada orang lain yang tidak mempunyai kompetensi dan kewenangan untuk itu. Konsekuensi selanjutnya adalah gagalnya penyelenggaraan pelayanan kefarmasian yang aman, bermutu, dan terjangkau, yang akan membawa implikasi kerugian bagi masyarakat pengguna obat, dan hilangnya masa depan profesi farmasi komunitas di Indonesia. 6 Universitas Sumatera Utara
Dibutuhkan strategi pembinaan dan pengawasan secara terencana, sistematis, terukur, dan bertahap menyangkut berbagai aspek kehidupan bagi pemangku kepentingan, baik komunitas profesi apoteker itu sendiri maupun profesi-profesi kesehatan lain, pemilik modal apotek, serta masyarakat pengguna obat. Peneliti tertarik mengemas strategi tersebut di atas sebagai sebuah model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas di Indonesia. Model konseptual dimaksud adalah sebuah konsep bertahap dan berkelanjutan, yang merupakan instrumen pembinaan dan pengawasan untuk memastikan proses revitalisasi praktik farmasi komunitas berjalan dengan baik. Revitalisasi praktik farmasi komunitas adalah serangkaian proses menjadikan vital kembali tugas dan fungsi praktik farmasi komunitas, mengacu pada peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi yang berlaku. 2.
Kerangka Pikir Penelitian Pada pasal 28H ayat 1 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 dinyatakan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Selanjutnya pada pasal 4 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan ditegaskan kembali bahwa “Setiap orang berhak atas kesehatan”. Dan pada pasal 5 ayat 2 bahwa “Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau”. Berkaitan dengan pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, pada pasal 98 ayat 2 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
7 Universitas Sumatera Utara
Kesehatan dikatakan bahwa “Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat”. Dan pada pasal 108 dikatakan bahwa “Praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Untuk menjalankan pasal-pasal dalam undang-undang tersebut di atas sebagaimana mestinya, terutama yang menyangkut syarat keahlian dan kewenangan bagi pelaksanaan praktik kefarmasian, pemerintah RI telah menetapkan PP No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Pada pasal 5 dinyatakan bahwa pelaksanaan pekerjaan kefarmasian meliputi pengadaan, produksi, distribusi atau penyaluran, dan pelayanan sediaan farmasi. Salah satu fasilitas pelayanan sediaan farmasi adalah apotek, yang didefinisikan sebagai sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktik kefarmasian oleh apoteker (Presiden RI, 2009). Berbagai perangkat hukum dan profesi telah tersedia, namun berbagai sikap tidak profesional dari mayoritas apoteker membuat situasi dan kondisi penyelenggaraan pelayanan kefarmasian menjadi tidak kondusif. Realitanya bahwa praktik farmasi komunitas di Indonesia saat ini, dideskripsikan oleh para pemerhati sebagai praktik yang tidak berpedoman pada perangkat hukum dan profesi (Anonim, 2002a; Anonim, 2002b; Ahaditomo, 2002; Anonim, 2002c). Oleh karena itu dibutuhkan upaya revitalisasi untuk menjadikan praktik farmasi 8 Universitas Sumatera Utara
komunitas di Indonesia kembali berpedoman pada perangkat hukum dan profesi, agar menghasilkan pelayanan kefarmasian yang aman, bermutu, dan terjangkau. Sesuai dengan pasal 24 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa tenaga kesehatan dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan standar praktik farmasi komunitas adalah standar untuk pemenuhan
berbagai
ketentuan
penyelenggaraan
pelayanan
kesehatan
sebagaimana dimaksud pada pasal 24 ayat 1 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan di atas. Standar praktik farmasi komunitas disusun dari elemen-elemen standar untuk memastikan terlaksananya berbagai ketentuan dalam perangkat hukum dan profesi, meliputi peran profesional apoteker, manajemen, dan sarana mengacu pada peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi yang berlaku, yaitu UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan (Pemerintah RI, 2009), PP No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Presiden RI, 2009), Kepmenkes RI No. 1027 tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Menkes RI, 2004), Kode Etik Apoteker Indonesia (ISFI, 2009a), Good Pharmacy Practice (WHO, 1996; FIP, 1997; FIP, 1998), serta mengacu pada hasil penelitian Chisholm, dkk., (2006), dan penelitian Cordina, dkk., (2008). Secara skematis proses penyusunan draf standar praktik farmasi komunitas dan perancangan instrumen penilaian tingkat pemenuhannya ditunjukkan pada Gambar 1.1, dan kerangka pikir penelitian model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas ditunjukkan pada Gambar 1.2.
9 Universitas Sumatera Utara
Gambar 1.1 Proses penyusunan standar dan perancangan model penentuan kriteria praktik farmasi komunitas 10 Universitas Sumatera Utara
Gambar 1.2 Kerangka pikir penelitian model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas 11 Universitas Sumatera Utara
Untuk mempermudah dan menyederhanakan, proses penentuan kriteria praktik dirancang menjadi sebuah model. Model terdiri dari instrumen penilaian tingkat pemenuhan standar dan instrumen penentuan kriteria praktik. Instrumen penilaian tingkat pemenuhan standar berupa kuesioner terdiri dari 2 atau 3 pilihan deskripsi elemen-elemen standar dalam skala tiga poin yaitu 0, 2, dan 4. Instrumen penentuan kriteria praktik merupakan instrumen pengolah data hasil pengisian instrumen penilaian tingkat pemenuhan standar, sehingga secara otomatis menghasilkan keluaran berupa perolehan poin kumulatif, kriteria akreditasi, kriteria praktik, kriteria aspek aktivitas standar, diagram jaring labalaba (spider web), dan tindak lanjut revitalisasi. Melalui model penentuan kriteria praktik, penyelenggaraan praktik farmasi komunitas akan terbagi menjadi beberapa kriteria praktik yang sekaligus dapat digunakan sebagai dasar penentuan kriteria akreditasi apabila diperlukan. Dari segi pembinaan dan pengawasan, praktik farmasi komunitas dengan kriteria bawah standar akan mendapatkan pembinaan agar dapat ditingkatkan hingga mencapai kriteria di atasnya, atau kalau tidak memungkinkan dapat dikenakan sangsi penutupan sementara sampai dengan pencabutan izin/penutupan tetap. Standar praktik farmasi komunitas dan model penentuan kriteria praktik akan menjadi bagian dari rancangan model revitalisasi praktik farmasi komunitas, menggunakan model Nolan (Langley, dkk., 1996) meliputi Plan, Do, Check, Action (PDCA), dan Continuos Quality Improvement sesuai tahapan aspek permasalahan yang menjadi sasaran revitalisasi. Secara skematis rancangan model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas ditunjukkan pada Gambar 1.3.
12 Universitas Sumatera Utara
Gambar 1.3 Rancangan model konseptual revitalisasi praktik farmasi komunitas
1.3 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan kerangka pikir penelitian di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah: a. Apakah standar praktik farmasi komunitas yang disusun dapat diterima oleh para apoteker komunitas di Indonesia sebagai pedoman untuk menjalankan praktik farmasi komunitas, sekaligus sebagai instrumen implementasi berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi. b. Apakah model penentuan kriteria praktik yang dirancang dapat digunakan sebagai instrumen untuk menentukan kriteria praktik farmasi komunitas di Indonesia.
13 Universitas Sumatera Utara
c. Apakah model konseptual revitalisasi yang dirancang dapat digunakan sebagai instrumen pembinaan dan pengawasan secara terencana, sistematis, terukur, dan bertahap, menuju terselenggaranya praktik farmasi komunitas sesuai standar di Indonesia. 1.4 Hipotesis Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah: a. Standar praktik farmasi komunitas yang disusun dapat diterima oleh apoteker komunitas di Indonesia sebagai pedoman dalam menjalankan praktik profesi, sekaligus sebagai instrumen implementasi berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi. b. Model penentuan kriteria praktik yang dirancang dapat digunakan sebagai instrumen untuk menentukan kriteria praktik farmasi komunitas di Indonesia. c. Model konseptual revitalisasi yang dirancang dapat digunakan sebagai instrumen pembinaan dan pengawasan secara terencana, sistematis, terukur, dan bertahap, menuju terselenggaranya praktik farmasi komunitas sesuai standar di Indonesia. 1.5 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan kerangka pikir penelitian, tujuan penelitian ini adalah: a. Menghasilkan standar praktik farmasi komunitas yang dapat diterima oleh apoteker komunitas sebagai pedoman dalam menjalankan praktik profesi, sekaligus sebagai instrumen implementasi berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi yang berlaku di Indonesia.
14 Universitas Sumatera Utara
b. Menghasilkan sebuah model penentuan kriteria praktik yang dapat digunakan sebagai instrumen untuk menentukan kriteria praktik farmasi komunitas di Indonesia. c. Menghasilkan sebuah model konseptual revitalisasi yang dapat digunakan sebagai instrumen pembinaan dan pengawasan secara terencana, sistematis, terukur, dan bertahap, menuju terselenggaranya praktik farmasi komunitas sesuai standar di Indonesia. 1.6 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah tersedianya sebuah model konseptual revitalisasi yang dapat ditawarkan kepada institusi terkait sebagai instrumen pembinaan dan pengawasan, untuk: (a) mewujudkan penyelenggaraan praktik farmasi komunitas sesuai standar, yang dapat menghasilkan pelayanan kefarmasian bermutu, aman, dan terjangkau, dan (b) mendorong dan memberikan kemungkinan bagi apoteker penanggung jawab apotek untuk dapat menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi yang berlaku.
15 Universitas Sumatera Utara