I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teknologi mempunyai peran penting
dalam
upaya
meningkatkan
kesejahteraan hidup manusia. Menurut Xiaoyan dan Junwen (2007), serta Smith (2010), teknologi
terkait erat dengan pembangunan global, yang memiliki
manfaat dan risiko yang cukup kompleks. Teknologi mempunyai kekuatan besar dan berfungsi sebagai penggerak (driver) majunya pembangunan ekonomi global. Pada periode pengembangan ekonomi yang pesat saat ini, teknologi telah menjadi aset penting dalam suatu organisasi, terutama di perusahaan, sehingga manajemen teknologi muncul sebagai isu penting dalam pengelolaan perusahaan. Menurut
Gumbira-Sa’id et al. (2001) dan Sharif (2006), manajemen
teknologi terkait dengan pengelolaan dalam empat komponen teknologi yaitu perangkat keras (technoware), perangkat manusia (humanware), perangkat informasi (inforware), dan perangkat organisasi (orgaware), disingkat THIO. Komponen technoware adalah komponen teknologi atau fasilitas fisik yang memberdayakan fisik manusia dan mengontrol kegiatan operasional transformasi dalam proses input menjadi produk baru atau obyek. Komponen humanware adalah komponen teknologi yang memberikan ide pemanfaatan sumber daya alam dan teknologi untuk keperluan produksi. Komponen inforware adalah komponen teknologi, berwujud dokumen ilmu pengetahuan atau fakta yang mempercepat proses pembelajaran, mempersingkat waktu
operasional,
dan
penghematan sumber daya. Komponen orgaware adalah komponen teknologi
1
(berwujud kerangka kerja organisasi) yang mengkoordinasikan semua aktifitas produksi dan prosedur di suatu perusahaan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Penerapan teknologi yang tepat diperlukan untuk membantu meningkatkan keberhasilan usaha. Ke-empat komponen teknologi (THIO) saling berkaitan dan saling mempengaruhi. Kecanggihan technoware perusahaan dapat terwujud jika didukung tingkat kemampuan humanware yang tinggi, sedangkan kecanggihan orgaware dapat terwujud jika didukung tingkat kemampuan humanware dan inforware yang tinggi. Dengan demikian kombinasi yang tepat dari keempat komponen teknologi tersebut diperlukan dalam penerapannya. Bidang peternakan, khususnya unggas, mempunyai peluang yang besar untuk dikembangkan. Salah satu komoditas yang dihasilkan usaha perunggasan adalah daging, yang merupakan sumber protein hewani utama, disamping susu dan telur. Sumber protein hewani berhubungan dengan kecerdasan, memelihara stamina tubuh, mempercepat regenerasi sel, dan menjaga sel darah merah tidak mudah pecah (Daryanto 2009). Tingkat konsumsi sumber protein hewani oleh masyarakat merupakan salah satu faktor penentu mutu pangannya. Terdapat hubungan yang erat antara konsumsi protein hewani dan mutu sumber daya manusia. Mutu sumberdaya manusia yang dicirikan oleh tingkat harapan hidupnya, ditentukan oleh mutu pangan yang dikonsumsinya. Mutu pangan yang dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia masih rendah. Hal ini menyebabkan Indonesia berada di posisi 111 dari 181 negara dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan indeks 0,734. Jika
2
dibandingkan dengan indeks tahun 2006, mengalami kenaikan adalah 0,005, tetapi masih lebih rendah dari Filipina di posisi ke-106 dengan indeks 0,751 (UNDP 2009). Untuk meningkatkan mutu pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia, peningkatan konsumsi protein melalui konsumsi daging oleh masyarakat merupakan hal penting dalam rangka peningkatan mutu sumberdaya manusia (Daryanto 2009). Tingkat konsumsi daging oleh masyarakat umumnya berkorelasi positif terhadap Gross Domestic Product (GDP) per kapita. Semakin tinggi GDP per kapita, tingkat konsumsi daging oleh masyarakat yang bersangkutan semakin tinggi. Menurut data Food Agriculture Organization/FAO (2006),
rata-rata
konsumsi
daging
penduduk
Indonesia
adalah
4,5
kg/kapita/tahun, Malaysia (38,5), Thailand (14), Filipina (8,5), dan Singapura (28) (Daryanto 2009). Menurut UNCTAD (2008), GDP per kapita di Asia (termasuk Indonesia) mengalami pertumbuhan rata-rata 6,2 persen per tahun sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2007. Bila diasumsikan bahwa peningkatan GDP akan meningkatkan daya beli dan konsumsi daging, maka pertumbuhan GDP akan meningkatkan konsumsi daging penduduk Indonesia. Berdasarkan laporan BPS (2009) dan Daryanto (2009), pada tahun 2007, sub sektor peternakan memberikan kontribusi cukup nyata, yakni 4,51% dari sumbangan sektor pertanian sebesar 4,3% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan demikian, sektor peternakan menjadi salah satu sektor yang perlu
ditingkatkan
peranannya
dalam
perekonomian
nasional,
melalui
pengembangan industri peternakan, khususnya budidaya ayam broiler.
3
Namun, kebutuhan daging unggas dengan mutu tinggi belum dapat dipenuhi, disebabkan beberapa kendala yang dialami oleh peternak, antara lain : 1) Skala usaha umumnya kecil dengan kapasitas pemeliharaan rata-rata 5.000 ekor per siklus produksi per peternak; 2) Skala usaha kecil (termasuk di dalamnya peternakan rakyat) umumnya didukung sumberdaya manusia dengan keterampilan rendah; 3) Keterbatasan dalam permodalan, penguasaan teknologi, manajemen, pemasaran hasil, dan akses terhadap pelayanan pendukung (Hafsah 2000; Sumardjo et al. 2004). Dampak dari kendala yang dihadapi adalah munculnya ancaman-ancaman berupa penyakit, fluktuasi harga produk, fluktuasi harga sarana produksi, ketidak pastian pasar, keuntungan yang belum optimal, dan hal-hal lain yang kurang menguntungkan bagi usaha. Kondisi tersebut mengakibatkan mutu dan kuantitas pasokan ayam broiler berfluktuatif, serta kontinuitas pasokan tidak dapat dijamin. Bahkan, ekspor daging ayam dalam bentuk segar beku oleh Indonesia ke negara lain seperti Jepang sempat terhenti pada tahun 2004 karena adanya wabah Avian Influenza (AI), dan baru dapat dibuka kembali setelah beberapa persyaratan dan prosedur tertentu dipenuhi (Deptan 2006). Berdasarkan kenyataan tersebut maka penanganan secara seksama dan terus menerus perlu dilakukan terhadap ancaman wabah AI dan penyakit lainnya melalui penerapan sistem biosekuriti yang ketat mulai dari pembibitan, penetasan, kandang, pabrik pakan dan tempat pemotongan ayam. Disamping hal tersebut, upaya-upaya pengembangan agroindustri ayam ras pedaging perlu diarahkan untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi dan keberlanjutan usaha (Hasyim et al. 2005).
4
Tantangan pengembangan agroindustri ayam broiler semakin besar pada era globalisasi saat ini yang meliputi : 1) produksi yang kompetitif, 2) globalisasi nilai sosial dan humanisasi pasar, dan 3) perubahan fundamental preferensi konsumen (Saragih 1998; Sumardjo et al. 2004). Menurut UNCTAD (1997), untuk mencapai keberhasilan dalam pemasaran produk-produk yang dihasilkan oleh usaha-usaha ekspor daging unggas di negara-negara berkembang diperlukan sistem yang cocok, yaitu integrasi vertikal yang diartikan sebagai suatu usaha pola kemitraan antara usaha hulu sampai hilir. Melalui sistem tersebut diharapkan dapat menghasilkan produk berupa daging yang bermutu baik secara konsisten karena dalam sistem tersebut terdapat proses alih teknologi dari perusahaan mitra kepada peternak plasma. Keberhasilan tersebut juga ditentukan oleh kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam yang melimpah dan hasilhasil pertaniannya untuk diproses menjadi produk konsumsi yang beragam dan dapat memenuhi selera konsumen. Hal tersebut hampir selalu melibatkan para agrotechnopreneur dalam pemanfaatan kemampuan dan kapasitas teknologi di bidang agribisnis dan agroindustri (Gumbira-Sa’id 2009). Usaha yang menerapkan pola kemitraan secara efektif akan berhasil apabila kemitraan tersebut didasarkan pada prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Hak dan kewajiban para pihak yang bermitra harus dilaksanakan secara konsisten (Gumbira-Sa’id 2001). Sistem kemitraan ayam broiler pola PIR, melibatkan para pihak. Pihak yang terlibat langsung yakni perusahaan inti sebagai penanggung-jawab utama, dan peternak plasma sebagai anggotanya. Untuk mengetahui tingkat kemampuan
5
yang dimiliki dan posisi teknologi yang diterapkan oleh perusahaan inti dan perusahaan penyokong perlu dilakukan audit teknologi terhadap perusahaanperusahaan tersebut. Dengan demikian, informasi yang diperoleh dapat memperkuat asumsi bahwa perusahaan-perusahaan tersebut berkemampuan tinggi untuk melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya sebagai perusahaan inti dan perusahaan penyokong. Salah satu perusahaan di Indonesia yang telah berhasil mengembangkan peternakan ayam pedaging terpadu adalah Charoen Pokphand Indonesia (CPIN) yang berdiri tahun 1972. Sejak tahun 1997, CPIN mengembangkan usahanya pada sektor pengolahan daging unggas. Berdasarkan Laporan Tahunan CPIN (2009), produksi pakan dan day old chick (DOC) merupakan produk utama CPIN disamping ayam olahan. Penguasaan pasar dalam negeri adalah 39% untuk pakan dan 37% untuk DOC, menjadikan CPIN sebagai pemimpin pasar sejak tahun 1990-an di Indonesia. Kedua produk tersebut merupakan sarana produksi utama dalam usaha ternak ayam broiler. Keberhasilan usaha CPIN dalam produksi pakan ternak dan DOC tersebut, didukung adanya sistem kemitraan khususnya ayam broiler pola PIR. CPIN bermitra usaha dengan STA (PT. Sahabat Ternak Abadi), yaitu salah satu perusahaan perunggasan di Indonesia yang menjalankan bisnisnya melalui sistem kemitraan pola PIR. Dalam sistem kemitraan tersebut, STA bertindak sebagai perusahaan inti dan CPIN sebagai perusahaan penyokong sarana produksi ternaknya (sapronak/pakan dan DOC). Untuk mendapatkan informasi tingkat teknologi usaha yang tepat untuk dapat digunakan sebagai acuan dalam bermitra, maka perlu dilakukan kajian
6
yang mendalam tentang beberapa komponen teknologi yang terdiri dari komponen technoware, humanware, inforware, dan orgaware/ THIO pada peternak plasma. Jika model teknologi tersebut dapat diwujudkan, maka dapat membantu perusahaan mitra dalam membina peternak plasmanya untuk lebih berhasil. B. Permasalahan Kinerja sektor pertanian pada tahun 2007 meningkat cukup tajam sebesar 4,3% terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dibandingkan dua tahun sebelumnya yang hanya 0,12% dan 0,56% (Daryanto 2009). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Melalui program-program yang difokuskan pada pemenuhan konsumsi daging oleh masyarakat. Tantangan yang dihadapi adalah masih rendahnya konsumsi daging penduduk Indonesia yaitu 4,5 kg/kap/tahun, lebih rendah jika dibandingkan Negara-negara Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura. Tingkat konsumsi daging yang rendah tersebut berkaitan erat dengan tingkat PDB yang relatif masih rendah (FAO 2006, diacu dalam Daryanto 2009). Seiring dengan pertumbuhan PDB sebesar 6,5% pada tahun 2008 dan pentingnya kontribusi sektor pertanian terhadap PDB, terdapat peluang besar untuk membangun agroindustri yang lebih berhasil. Berdasarkan pertimbangan bahwa potensi agroindustri khususnya yang berbasis ternak ayam broiler cukup besar dalam perekonomian nasional, pengembangan bisnis dengan sistem yang
7
tepat perlu dilakukan. Menurut UNCTAD (1997) dan Soemardjo et al. (2004), sistem agribisnis yang cocok adalah integrasi vertikal atau koordinasi vertikal. Koordinasi vertikal pada usaha ternak broiler melibatkan beberapa lembaga yang berkaitan secara vertikal dan memberikan sumbangan dalam proses produksi, yakni perusahaan pembibitan dan penetasan, pabrik pakan ternak, perusahaan obat hewan, peternak, perusahaan pemotongan ayam (Rumah Potong Ayam disingkat RPA), perusahaan pengolahan dan pemasarannya (USDA 2003; Sumardjo et al. 2004). Lembaga-lembaga tersebut mempunyai tingkat risiko kegagalan yang berbeda, dan risiko kegagalan yang paling tinggi dialami oleh peternak. Sebagai penghasil ayam pedaging hidup, beberapa kendala ataupun kelemahan yang dialami terdiri dari kasus penyakit, lemahnya permodalan dan rendahnya keterampilan peternak termasuk teknologi sebagaimana yang dilaporkan oleh Santosa (2009). Pada usaha ayam broiler sistem kemitraan dengan pola PIR, diharapkan terjadi transfer teknologi, aliran modal kerja, dan transfer keterampilan manajemen dari perusahaan ke peternakan rakyat, sehingga usaha lebih berhasil. Menurut Hafsah (2000), potensi keberhasilan dalam kemitraan cukup menjanjikan dengan syarat pengusaha kecil yang bermitra dengan pengusaha besar mampu untuk saling mengisi dan berkomitmen, sehingga terjalin kemitraan yang berkelanjutan. Pola kemitraan jangka pendek memerlukan strategi agar dapat diarahkan mencapai pola kemitraan jangka panjang sehingga dapat member keuntungan pada pihak yang bermitra terutama dalam hal peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha. Kinerja kemitraan dapat dicapai dengan
8
menggunakan suatu metode yang dirancang dan disepakati oleh pihak yang bermitra. Dalam usaha peternakan, banyak faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mencapai keberhasilan termasuk variabel-variabel penentu yang saling terkait satu sama lain. Oleh karena itu pada tahap perencanaan usaha pola kemitraan dengan sasaran keberhasilan jangka pendek maupun jangka panjang dibutuhkan informasi tentang variabel-variabel kunci penentu keberhasilan. Sampai saat ini informasi tentang variabel-variabel kunci bagi perusahaan mitra dan peternak belum tersedia, termasuk kriteria-kriteria kinerja kemitraan usaha secara keseluruhan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi variabel-variabel kunci dari teknologi yang terdiri dari empat komponen THIO pada usaha ternak ayam broiler plasma. Hasil yang diperoleh merupakan informasi yang berguna untuk perancangan model teknologi pada usaha ternak plasma dalam sistem kemitraan. C. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk merumuskan suatu model teknologi yang melibatkan faktor-faktor penentu dalam usaha pola kemitraan ayam ras pedaging sehingga dapat memberikan solusi optimal dalam implementasi kemitraan agroindustri ayam ras pedaging (broiler). Secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut : 1. Melakukan audit teknologi untuk mendapatkan informasi posisi teknologi yang dimiliki suatu Perusahaan-Inti dalam sistem kemitraan ayam broiler pola Perusahaan-Inti Rakyat (PIR).
9
2. Menemukan variabel-variabel kunci keberhasilan usaha plasma dalam sistem kemitraan ayam broiler pola Perusahaan-Inti Rakyat (PIR) pada masingmasing komponen teknologi, meliputi : technoware, humanware, inforware, dan orgaware. 3. Mengetahui tingkat kelayakan usaha dari segi finansial pada peternak plasma dalam sistem kemitraan ayam broiler pola Perusahaan-Inti Rakyat (PIR). 4. Melakukan sintesis model teknologi pada sistem kemitraan pola PIR ayam broiler. D. Manfaat Penelitian 1. Sebagai bahan rujukan ilmiah dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya dalam usaha budidaya ayam ras pedaging melalui pola kemitraan. 2. Memberikan informasi dan sumbangan pemikiran tentang usaha pengembangan kemitraan agroindustri berbasis ternak ayam ras pedaging (broiler). 3. Manajemen teknologi yang dikembangkan diharapkan dapat membantu dalam penyusunan rencana kemitraan oleh perusahaan inti agroindustri berbasis ternak ayam ras pedaging (broiler). E. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Pengumpulan informasi secara menyeluruh, serta terpadu tentang faktorfaktor penentu keberhasilan usaha ternak plasma dalam kemitraan industri ternak ayam ras pedaging (broiler) yang berkategori berhasil.
10
2. Audit teknologi terhadap perusahaan inti dan perusahaan penyokongnya yang dilakukan untuk memastikan bahwa perusahaan tersebut berkemampuan tinggi dalam perannya sebagai perusahaan inti pada kemitraan pola Perusahaan Inti-Rakyat (PIR). 3. Analisa dibatasi pada pengembangan industri peternakan berbasis ayam ras pedaging (broiler) yang terkait dengan peternakan rakyat melalui kemitraan inti-plasma. Ruang lingkup penelitian di atas diilustrasikan dalam bagan alur berdasarkan komponen masukan, proses, sasaran, dan keluaran (Gambar 1). Daftar pertanyaan dibuat terdiri dari tiga bagian sesuai dengan peruntukannya yaitu : 1) Audit teknologi, 2) Potensi kemitraan, dan 3) Variabel-variabel kunci. Daftar pertanyaan untuk audit teknologi didasarkan pada wilayah penaksiran sesuai Technology Audit Model/TAM (Khalil 2000) terhadap teknologi yang dimiliki perusahaan inti, meliputi technoware, humanware, inforware, dan orgaware (THIO). Daftar pertanyaan untuk mengukur potensi kemitraan didasarkan pada metode Womack et al. (1990), dan daftar pertanyaan terhadap peternak plasma didasarkan dari faktorfaktor penentu keberhasilan usaha terhadap peternak plasma dalam kemitraan industri ternak ayam ras pedaging (broiler) yang berkategori berhasil dan dianalisis dengan metode Structural Equation Modelling (SEM). Data hasil survei lapangan tersebut dikelompokkan sebagai masukan. Proses pengolahan data mencakup audit teknologi perusahaan inti, analisis potensi kemitraan, analisis pengaruh faktor-faktor penentu keberhasilan kemitraan, dan analisis finansial usaha plasma (Gambar 1). Keluaran dari proses tersebut adalah
11
informasi posisi teknologi perusahaan inti dengan kemampuan yang handal untuk melaksanakan kewajibannya sebagai perusahaan inti, kemitraan dengan kategori baik, model teknologi usaha plasma dengan kandungan variabel-variabel kunci yang berpengaruh kuat terhadap keberhasilan, dan usaha plasma ternak broiler yang layak secara finansial seperti yang diperlihatkan pada Gambar 1.
Masukan - Faktorfaktor kunci keberhasilan usaha plasma ternak broiler pola PIR
Proses Metode -Audit teknologi perusahaan inti -Analisis potensi kemitraan -Analisis pengaruh faktor penentu keberhasilan dan struktural variabel laten -Analisis Finansial -Survei lapangan terhadap usaha plasma ayam broiler yang berhasil pada pola PIR -Metode Structural Equation Modelling (SEM)
Keluaran Sasaran
-Posisi teknologi di perusahaan inti -Penerapan manajemen teknologi meliputi technoware, humanware, inforware, dan orgaware (THIO) -Administrasi keuangan usaha ternak plasma ayam broiler yang berhasil pada pola PIR
-Kemampuan yang handal perusahaan inti -Kemitraan dengan kategori baik -Model teknologi usaha plasma dengan kandungan faktor-faktor kunci berpengaruh kuat -Usaha plasma ternak broiler yang layak secara finansial
Gambar 1. Ruang Lingkup Penelitian Model Teknologi Pada Sistem Kemitraan Agroindustri Ayam Broiler
12