BAB I PENDAHULUAN
I.1.
Latar Belakang Menurut Observatoire de la langue française (Pusat Analisis Bahasa
Prancis), jumlah penutur bahasa Prancis di seluruh dunia mencapai 220 juta orang. Hal tersebut menempatkan bahasa Prancis di peringkat ke-8 sebagai bahasa internasional. Dalam kategori bahasa resmi negara, bahasa Prancis menduduki peringkat kedua sebagai bahasa resmi dari 36 negara setelah bahasa Inggris1. Banyaknya masyarakat yang menggunakan bahasa Prancis memunculkan istilah francophonie yang digunakan pertama kali dalam majalah Esprit, November 1962, untuk menyatakan kebersamaan mereka.2 Francophonie adalah sekelompok masyarakat dan negara-negara yang menggunakan bahasa Prancis. Istilah tersebut merupakan kata benda yang menurunkan adjektiva Francophone. Francophone dapat diaplikasikan pada sekelompok masyarakat (kelompok etnis, penduduk, bangsa) berbahasa Prancis dan secara lebih luas dapat menulis dalam bahasa Prancis. Bahasa Prancis di sekelompok masyarakat tersebut bisa saja merupakan bahasa pertama atau kedua, bahasa nasional atau asing, asal bahasa tersebut memenuhi fungsi komunikasi (Combe, 2010:7). 1
web IFI (Institut Français Indonesia) http://www.institutfrancaisindonesia.com/pendidikan/perancis-bahasa-umum-bagi-220-juta-orang diakses pada tanggal 3 Desember 2013 pukul 19.30. 2 Siti Hariti Sastriyani. Dunia Sastra Francophone di Arab-Maghreb dalam Humaniora vol. 18 (Yogyakarta: Unit Pengkajian dan Publikasi Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2006), hlm. 79.
1
Perkembangan bahasa Prancis tidak lepas dari sejarah penyebarannya, misalnya melalui penjajahan. Negara-negara yang dijajah Prancis diwajibkan menggunakan bahasa tersebut sebagai bahasa resmi mereka; akibatnya, banyak perlawanan bangsa terjajah yang muncul untuk melepaskan diri dari pengaruh kolonialisme. Salah satunya melalui karya sastra yang disebut sebagai sastra poskolonial. Karya sastra poskolonial menggambarkan perlawanan masyarakat terjajah terhadap penjajah serta kemandirian atau kemerdekaan yang diperoleh dari pengalaman mereka sebagai bangsa terjajah. Penulisan karya sastra dengan menggunakan bahasa Prancis dianggap sebagai cara yang paling baik untuk mengungkapkan antikolonialisme.3 Poskolonial melibatkan tiga pengertian, yaitu (a) abad berakhirnya imperium kolonial di seluruh dunia, (b) segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman-pengalaman kolonial, dan (c) teori-teori yang digunakan untuk menganalisis masalah-masalah pascakolonialisme (Ratna, 2004:208). Menurut segi budaya, definisi poskolonial tersebut kerap dihubungkan dengan proses konstruksi budaya menuju budaya putih global (Sutrisno dan Putranto, 2004:10). Artinya kebudayaan kulit putih menjadi patokan bagi semua budaya dalam proses perkembangannya. Proses seperti ini masih terjadi bahkan ketika negara tersebut telah bebas dari masa kolonial. Tema poskolonial dapat ditemukan dalam karya-karya seorang pengarang dari Afrika bernama Ahmadou Kourouma. Novelis tersebut adalah pengarang karya sastra francophone yang lahir tahun 1927 di Boudiali, Pantai Gading, pada 3
Siti Hariti Sastriyani. Dunia Sastra Francophone di Arab-Maghreb dalam Humaniora vol. 18 (Yogyakarta: Unit Pengkajian dan Publikasi Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2006), hlm. 79-80.
2
masa kolonial Prancis. Ia pernah berpartisipasi dalam operasi militer Prancis di Indocina pada tahun 1950 sampai 1954. Kourouma kembali ke tanah kelahirannya ketika Pantai Gading meraih kemerdekaan pada tahun 1960; akan tetapi ketidaksepahamannya dengan pemerintah pada masa tersebut menyebabkan ia dipenjara dan menghabiskan beberapa tahun dalam pengasingan di Algeria sebelum akhirnya kembali ke Pantai Gading4. Pengalaman-pengalaman tersebut menginspirasi penulisan novel-novel Kourouma. Ia menulis beberapa novel yang membahas masalah-masalah sosial di Afrika seperti Les soleils des indépendances yang terbit pada tahun 1970. Novel tersebut bercerita tentang pemimpin suku bernama Fama di tengah permasalahan kekuasaan dan budaya di Afrika. Dua puluh dua tahun kemudian, terbit buku keduanya Monnè, outrages et défis yang berisi cerita tentang raja Djigui Keita dan penindasan terhadap rakyat kerajaan Soba sejak kedatangan pasukan nasrani. Novel ketiga, En attendant le vote des bêtes sauvages terbit pada tahun 1998. Novel tersebut berkisah tentang Jendral Koyaga dan para diktator yang menyebabkan kekacauan pada masa setelah kemerdekaan.5 Pada tahun 2000, Kourouma menulis sebuah novel berjudul Allah n'est pas obligé. Berbeda dengan karya-karya Kourouma sebelumnya yang tokoh sentralnya adalah raja atau pemimpin, karya sastra tersebut menampilkan kehidupan seorang anak sebagai tokoh utamanya. Allah n’est pas obligé mengangkat sisi lain kehidupan seorang anak yang menjadi tentara di tengah 4
http://www.africultures.com/php/?nav=personne&no=22333 diakses pada tanggal 23 Maret pukul 20.30 5 http://www.memoireonline.com/08/11/4703/m_La-peinture-du-conflit-politque-dans-Allah-nestpas-oblige-dAhmadou-Kourouma2.html diakses pada tanggal 23 Maret 2013 pukul 21.00
3
perang saudara di Afrika Barat. Hal tersebut merupakan sesuatu yang tragis, karena seharusnya anak-anak bersekolah dan bermain dengan teman-temannya. Novel Allah n’est pas obligé telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul Allah is not obliged. Karya sastra tersebut pernah mendapat beberapa penghargaan, diantaranya Prix Renaudot di tahun 2000, Prix Goncourt des Lyéens, dan Prix Amerigo-Vespucci di Festival International de Géographie pada tahun yang sama.6 Allah n’est pas obligé merupakan salah satu novel Kourouma yang mengangkat kehidupan kaum kulit hitam di Afrika Barat. Melalui tokoh Birahima, pengarang menyampaikan isu identitas yang terbentuk dalam kondisi poskolonial. Novel Allah n’est pas obligé menggambarkan kisah hidup seorang anak kulit hitam yang mengalami perubahan sosial dari kehidupan di desa ke kehidupan penuh petualangan ketika mencari bibinya. Selama pencarian tersebut ia terjebak dalam konflik peperangan yang mengakibatkan ia berinteraksi dengan kelompok sosial yang berbeda. Melalui novel tersebut, Kourouma memperlihatkan sisi lain kehidupan seorang anak di Afrika serta konflik akibat kolonialisme yang mempengaruhi identitasnya.
I.2.
Permasalahan Menurut Spivak, kolonialisme tidak akan hilang begitu saja ketika bekas
jajahan memperoleh kemerdekaan, karena struktur-struktur politik, ekonomi, dan kebudayaan masih meneruskan kolonialisme tersebut (Morton, 2004:1-2). 6
http://www.territoires-memoire.be/am27/484-qallah-nest-pas-obligeq-realite-brute diakses pada tanggal 24 Maret 2013 pukul 19.30.
4
Artinya, kelompok penjajah telah mewarisi nilai-nilai budaya kepada bangsa terjajah. Novel Allah n’est pas obligé menggambarkan kehidupan poskolonial di negara Afrika Barat, khususnya Pantai Gading, Liberia, dan Sierra Leone. Kolonialisme yang pernah terjadi di negara-negara tersebut menimbulkan pengaruh, salah satunya terhadap pembentukan identitas masyarakat terjajah, khususnya kulit hitam. Identitas kulit hitam tersebut direfleksikan melalui identitas tokoh utama, yaitu seorang anak dari Pantai Gading bernama Birahima. Dalam novel, kolonialisme dan permasalahan identitas diceritakan secara tidak langsung melalui kisah hidup Birahima yang dikemas dengan teknik penceritaan yang menarik. Teknik penceritaan yang digunakan memiliki hubungan dengan tema poskolonial dan menunjukkan identitas narator yang berperan sebagai tokoh utama.
I.3.
Rumusan Masalah Berdasarkan permasalahan tersebut, didapatkan rumusan masalah sebagai
berikut: 1. Teknik penceritaan yang membangun cerita dalam novel Allah n’est pas obligé. 2. Pengaruh kolonialisme dan pembentukan identitas kulit hitam di Afrika Barat.
I.4.
Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis.
Secara teoritis, penelitian ini memiliki tujuan untuk mengungkapkan pengaruh
5
kolonialisme dan pembentukan identitas dengan menerapkan teori naratologi dan poskolonial. Penelitian ini juga bertujuan mengembangkan penelitian-penelitian sebelumnya yang menggunakan teori naratologi dan poskolonial. Tujuan praktis dari penelitian ini adalah memperkenalkan kesastraan francophone khususnya novel Allah n’est pas obligé. Pembaca diharapkan dapat mengetahui jejak-jejak sejarah kolonialisme Prancis dan juga mengetahui permasalahan dan pengaruh kolonialisme pada umumnya setelah mengenal kesastraan
francophone.
menghasilkan
pemahaman
Selain
itu,
terhadap
hasil
penelitian
perbedaan
identitas
diharapkan
dapat
sehingga dapat
menumbuhkan rasa saling menghargai keberagaman tersebut.
I.5.
Landasan Teori Landasan teori berikut menjelaskan teori yang digunakan untuk
memecahkan rumusan masalah dalam penelitian. Teori naratologi digunakan untuk menganalisis teknik penceritaan yang membangun cerita dalam novel. Selain itu, penelitian ini menggunakan teori poskolonial untuk menganalisis pengaruh kolonialisme. Teori terakhir adalah teori identitas yang berfungsi memahami pembentukan identitas kulit hitam yang direfleksikan melalui tokoh utama dalam novel. I.5.1. Naratologi Menurut Gorys Keraf (1982:136), narasi merupakan suatu bentuk wacana yang berusaha mengisahkan suatu kejadian atau peristiwa sehingga seolah-olah pembaca melihat atau mengalami sendiri peristiwa
6
tersebut. Kejadian dan peristiwa tersebut terjadi dalam suatu rangkaian waktu. Dengan demikian, pengertian narasi itu mencakup dua unsur dasar yaitu perbuatan atau tindakan yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu. Ilmu yang mempelajari narasi tersebut disebut dengan naratologi. Naratologi terbentuk dari kata narration (bahasa Latin, berarti cerita, perkataan, kisah, hikayat) dan logos (ilmu). Naratologi juga disebut teori wacana (teks) naratif. Naratologi maupun teori wacana (teks) naratif diartikan sebagai seperangkat konsep mengenai cerita dan penceritaan (Ratna, 2009:128). Gérard Genette adalah salah satu tokoh yang membahas ilmu naratologi. Dalam bukunya Narrative Discourse (1986; Discours du récit; 1972), Genette menciptakan perbedaan antara story (cerita) dan discourse (wacana). Menurutnya, cerita terbuat dari materi-materi praverbal secara kronologis. Wacana menurut Genette berisi semua segi yang ditambahkan pada cerita oleh pengarang, terutama perubahan urutan waktu penyajian, kesadaran para pelaku, hubungan pengarang dengan cerita dan dengan penonton atau pembaca (Martin, 1986:108). Dalam analisis sastra, wacana sering disamakan dengan teks (Ratna, 2009:245). Genette membagi naratif menjadi tiga aspek, yaitu: histoire, récit, dan narration. Menurut Genette, histoire adalah perangkat peristiwa, sebagai isi naratif, récit adalah wacana atau teks naratif, sedangkan narration adalah tindak naratif yang menghasilkan teks (Ratna, 2009:252). Histoire mengandung urutan peristiwa sebelum disusun ke dalam kalimat.
7
Récit merupakan teks yang sudah ditulis, yang mengandung wacana. Dalam récit, peristiwa-peristiwa tidak harus muncul sesuai urutan kronologis. Narration mengandung hubungan antara penulis dengan pembaca. Dalam narasi, hubungan tersebut melibatkan komunikasi antara narator dan penerima narasi dalam cerita yang disebut narratee. Penelitian ini menekankan pada aspek narration, yaitu bagaimana pengarang menyampaikan cerita kepada pembaca melalui teknik penceritaan. Dalam sebuah teks naratif, komunikasi yang terjadi antara pengarang dan pembaca berjalan melalui partisipan-partisipan. Partisipanpartisipan dalam sebuah narasi tersebut digambarkan sebagai berikut. Real Author
Implied Author
(Narrator)
(Narratee)
Implied Reader
Real Reader
Real author dan real reader adalah pengarang dan pembaca dalam dunia nyata sedangkan dalam sebuah teks naratif, pengarang dan pembaca direpresentasikan oleh implied author dan implied reader. Implied author sering disebut sebagai diri kedua pengarang, pencipta norma-norma yang berlaku di dalam teks, sedangkan penerima norma tersebut adalah implied reader. Tidak seperti implied author, narator dapat berbicara dan menyampaikan cerita. Kadang-kadang di dalam teks, narator memiliki pendengar atau penerima cerita yang disebut narratee (Rimmon-Kenan, 1983:86-7). Pembahasan mengenai narration identik dengan sudut pandang penceritaan atau kedudukan narator dalam cerita. Kedudukan yang
8
dimaksud adalah narator berada di luar cerita atau terlibat dalam jalan cerita. Genette (1972:255-6) membagi kedudukan narator tersebut menjadi heterodiegetik dan homodiegetik. Narator yang tidak terlibat sebagai tokoh dalam cerita disebut narator heterodiegetik, sedangkan narator yang terlibat dalam jalan cerita disebut narator homodiegetik. Narator homodiegetik yang juga merupakan tokoh utama disebut narator autodiegetik. I.5.2. Poskolonial Secara etimologis poskolonial berasal dari kata ‘post’ dan kolonial. Kata kolonial berasal dari bahasa Romawi ‘colonia’ yang berarti tanah pertanian atau pemukiman. Secara etimologis, kolonial tidak mengandung arti penjajahan, penguasaan, pendudukan, dan konotasi eksploitasi lainnya. Konotasi negatif tersebut muncul sesudah terjadi interaksi yang tidak seimbang antara penduduk pribumi yang dikuasai penduduk pendatang sebagai penguasa (Ratna, 2004:205). Studi poskolonial lahir karena adanya interaksi yang tidak seimbang antara kaum penjajah dan terjajah. Para pemikir umumnya membedakan dua kelompok tersebut dengan Timur dan Barat karena adanya sejarah panjang kolonialisme negara-negara Eropa modern. Studi tersebut menganalisis praktik-praktik kolonialisme yang masih berlanjut sampai sekarang. Selain penjajahan Barat terhadap Timur, poskolonial juga mencakup penjajahan yang dilakukan kelompok mayoritas terhadap
9
minoritas atau kelompok yang terpinggirkan dalam struktur masyarakat (Martono, 2011:139,141). Frantz Fanon adalah seorang pemikir Prancis yang lebih tertarik membahas wacana poskolonial berdasarkan hubungan antara kelompok kulit putih dan kulit hitam. Sebagai seorang psikiatri, Fanon menggunakan pandangan poskolonial untuk menjelaskan efek psikologis yang dialami bangsa kulit hitam akibat penjajahan kulit putih. Pemikiran tersebut dituliskan dalam bukunya yang berjudul Peau Noire Masques Blancs (1952). Dalam tulisannya, Fanon menyimpulkan bahwa adanya kolonisasi telah melahirkan alienasi dan marginalisme psikologis yang sangat hebat. Sejarah kolonisasi kulit putih terhadap kulit hitam menempatkan kulit hitam sebagai objek konstruksi yang secara tidak sadar menerima status mereka sebagai kaum terjajah. Hal tersebut diungkapkan Fanon dalam kutipan berikut. Tout peuple colonisé – c’est-à-dire tout peuple au sein duquel a pris naissance un complexe d’infériorité, du fait de la mise au tombeau de l’originalité culturelle locale – se situe vis-à-vis du langage de la nation civilisatrice, c’est-à-dire de la culture métropolitaine. Le colonisé se sera d’autant plus échappé de sa brousse qu’il aura fait siennes les valeurs culturelles de la métropole. Il sera d’autant plus blanc qu’il aura rejeté sa noirceur, sa brousse. (Fanon,1952:14) Semua kaum terjajah – dengan kata lain, kaum yang dalam dirinya muncul perasaan inferior akibat keaslian budaya lokal mereka terkubur, menempatkan diri di hadapan bahasa yang menyebarkan peradaban, yaitu budaya metropolitan. Kaum terjajah akan semakin melepaskan diri dari budaya asalnya apabila mereka menerima nilai-nilai budaya metropolitan. Semakin mereka membuang budayanya, mereka akan menjadi semakin kebarat-baratan.
10
Dalam kutipan di atas Fanon menyatakan bahwa kaum terjajah memiliki kecenderungan untuk mengikuti budaya penjajah. Kaum penjajah melakukan konstruksi secara subjektif terhadap kaum terjajah dengan mengubur budaya lokal mereka sehingga timbul perasaan inferior. Hal tersebut dapat memunculkan kebingungan kaum terjajah, antara keinginan untuk mempertahankan budaya asli mereka atau mengadopsi budaya kaum terjajah. Fanon berpendapat bahwa semakin mereka berupaya mengikuti budaya penjajah, mereka akan semakin meninggalkan budaya asli mereka dan menjadi seperti kaum penjajah. I.5.3. Identitas Dahulu masyarakat percaya bahwa seseorang memiliki satu identitas tertentu. Debat-debat tentang hal tersebut kini menyimpulkan bahwa identitas bukan merupakan kualitas yang melekat pada seseorang tetapi identitas tumbuh dalam interaksi dengan orang lain dan berfokus pada bagaimana proses identitas tersebut dibentuk (Sarup, 1996:14). Sejalan dengan pernyataan tersebut, Giddens berpendapat bahwa identitas bukan sesuatu yang dimiliki seseorang ataupun entitas atau benda yang bisa ditunjuk tetapi cara memahami atau mengartikan diri melalui bahasa. Akan tetapi, cara seseorang memahami dan mengartikan diri selalu berubah karena perubahan situasi ke situasi lain sejalan dengan perubahan waktu dan ruang tertentu. Pemahaman identitas yang selalu berubah membuat Giddens menyebut identitas sebagai sebuah proyek. Artinya, identitas merupakan sesuatu yang diciptakan, sesuatu yang selalu dalam
11
proses, dan suatu gerak keberangkatan daripada kedatangan (Barker, 2004:175). Identitas diekspresikan melalui berbagai bentuk representasi yang dapat dikenali orang lain dan diri sendiri sehingga dapat dikatakan bahwa identitas merupakan sesuatu yang dapat dimaknai melalui tanda-tanda selera, kepercayaan, sikap, dan gaya hidup. Identitas dianggap bersifat personal sekaligus sosial dan menandai bahwa kita sama atau berbeda dengan orang lain (Barker, 2004:174). Representasi membuat identitas selalu berubah menurut ruang dan waktu. Hal tersebut terjadi karena konteks sosial dan kultural dalam suatu masyarakat di daerah tertentu memiliki konsep yang berbeda. Dalam bukunya Peau Noire Masques Blancs (1952), Fanon juga menyumbangkan pemikirannya tentang identitas, khususnya identitas kulit hitam. Fanon menjelaskan dampak psikologis yang dialami bangsa kulit hitam akibat dominasi kulit putih atau kaum terjajah dan penjajah pada umumnya serta cara mereka saling mengkonstruksi identitas dirinya dan kubu lawannya. Melalui sejarah kolonisasi, sang penjajah (kulit putih) melakukan konstruksi secara subjektif terhadap identitas kaum kulit hitam yang dijajah. Pada konteks yang luas, melalui proses sejarah pula, kaum terjajah berupaya memahami dan mengikuti simbol-simbol dan identitas yang dikonstruksi sang penjajah, bahkan pada tingkatan tertentu, mereka juga memiliki keinginan untuk menirukan dan mengganti kedudukan atau posisi sebagai sang penjajah. (Martono, 2011:153-6)
12
I.6.
Tinjauan Pustaka Setelah membaca berbagai sumber, ditemukan beberapa penelitian yang
menggunakan roman Allah n’est pas obligé sebagai objek material. Diantaranya adalah makalah berjudul Language in Ahmadou Kourouma’s "Allah n’est pas obligé" : Intercultural Dialogue in Literary Aesthetics7 yang disusun oleh Ikechukwu Aloysius Orjinta8. Makalah tersebut membahas bahasa yang dipakai oleh Ahmadou Kourouma dalam novel Allah n’est pas obligé. Dalam makalah 24 halaman
tersebut,
Orjinta
menemukan
bahwa
Ahmadou
menunjukkan
identitasnya dengan memadukan bahasa Prancis dan bahasa ibunya, yaitu bahasa Malinké. Bahasa Malinké yang disisipkan Ahmadou diberi keterangan definisi satu per satu untuk memudahkan pembaca memahami pesan. Dalam sebuah situs internet ditemukan makalah lain yang membahas kekacauan di masa perang dalam novel Allah n’est pas obligé. Makalah yang berjudul Les Enfants et Les Femmes dans Allah n’est Pas Obligé 9 ini ditulis oleh seorang guru peneliti dari Burkina Faso bernama Alain Joseph Sissao. Sissao mengatakan bahwa Kourouma menggunakan tentara anak Afrika sebagai dalih untuk mengajak pembaca masuk ke dalam teka-teki konflik bersenjata yang mengganggu beberapa negara di Afrika kontemporer terutama Liberia dan Sierra Leone. Tulisan Kourouma dianggap sebagai sebuah narasi yang bertujuan untuk menginformasikan dan memberontak untuk mengecam pimpinan perang. Makalah 7
Ikechukwu Aloysius Orjinta. Language in Ahmadou Kourouma’s Allah N’est Pas Obligé: Intercultural Dialogue in Literary Aesthetics (2011). http://www.grin.com/en/e-book/170287/language-in-ahmadou-kourouma-s-allah-n-est-pas-oblige diakses tanggal 17 April 2012 pukul 21.00 8 seorang Doktor dari Ludwig Maximilians Universitaet, Muenchen, Jerman. 9 Alain Joseph Sissao. Les Enfants et Les Femmes dans Allah n’est Pas Obligé (2005) http://biblio.critaoi.auf.org/42/ diakses pada tanggal 17 April 2012 pukul 21.30
13
tersebut juga mencoba menunjukkan bagaimana perempuan dan anak menjadi korban perang karena situasi mengerikan yang terjadi di tengah mereka. Selain itu, dalam sebuah web10 milik Universitatea Stefan cel Mare Suceava ditemukan artikel yang berbahasa Prancis berjudul De l'enfance tragique dans Allah n'est pas obligé de Kourouma : entre guerre et représentation littéraire de l'horreur oleh Aimé Gomis. Artikel tersebut membahas representasi ketakutan yang dialami pada masa kanak-kanak orang Afrika pada umumnya yang ditunjukkan melalui novel Allah n’est pas obligé. Dalam lingkup Fakultas Ilmu Budaya, belum ada skripsi yang menggunakan novel Allah n’est pas obligé sebagai objek material. Akan tetapi, ditemukan skripsi yang menggunakan teori serupa dengan penelitian, yaitu skripsi yang berjudul Humanisme dalam Drama Ondine karya Jean Giraudoux (Sebuah Pendekatan Naratologis) yang ditulis oleh Hanifah Nurcahyani dan Humanisme dalam Drama Les Justes karya Albert Camus (Sebuah Pendekatan Naratologis) yang ditulis oleh Siti Khusnul K. Kedua skripsi tersebut membahas pesan moral terutama humanisme dengan pendekatan naratologis. Teori naratologi yang digunakan dalam skripsi tersebut sama dengan teori yang digunakan peneliti, tetapi objek material dan sudut pandang yang diteliti berbeda. Selain itu, ditemukan skripsi lain yang menggunakan teori poskolonial berjudul Pluralisme : Kajian Sistem Lima Kode Roland Barthes dalam Roman Le Désert karya Albert Memmi yang ditulis oleh Risa Chairani. Dengan
10
http://www.libsearch.com/view/1624772 diakses tanggal 17 April 2012 pukul 21.1 Aimé Gomis. De l’enfance tragique dans Allah n’est pas obligé de Kourouma
14
menggunakan teori semiotik Roland Barthes, skripsi tersebut mengungkap makna pluralisme dalam roman sebagai solusi dari masalah poskolonial. Berdasarkan daftar penelitian yang berhubungan dengan roman Allah n’est pas obligé di atas, dapat dibuktikan bahwa belum ada karya ilmiah yang menggali teknik penceritaan dan dampak-dampak kolonialisme yang mempengaruhi pembentukan identitas tokoh utama dengan tinjauan naratologi dan poskolonial. Oleh karena itu, penelitian ini dapat dilakukan.
I.7.
Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dititikberatkan pada pengkajian terhadap unsur intrinsik
karya sastra dengan mengkaji teknik penceritaan novel serta pengaruh kolonialisme yang menyebabkan terbentuknya identitas pada masa poskolonial. Sasaran
penelitian
adalah
mengungkapkan
pengaruh
kolonialisme
serta
hubungannya dengan pembentukan identitas kulit hitam di Afrika Barat yang direfleksikan melalui tokoh Birahima dalam novel Allah n’est pas obligé.
I.8.
Metode Pengumpulan Data dan Analisis Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang terdapat dalam
novel Allah n’est pas obligé karya Ahmadou Kourouma sedangkan metode pengumpulan dan analisis data, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif memanfaatkan cara-cara penafsiran dengan menyajikannya dalam bentuk deskripsi (Ratna, 2004:46). Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
15
1. Menentukan karya yang dijadikan objek penelitian yaitu roman Allah n’est pas obligé karya Ahmadou Kourouma. 2. Melakukan pembacaan heuristik atau pembacaan tingkat pertama untuk memahami isi dan alur cerita, diikuti dengan pencatatan peristiwa penting dalam tabel berisi peristiwa, tokoh, waktu dan tempat. 3. Menemukan permasalahan yang muncul dalam novel. 4. Menganalisis data dengan tahapan sebagai berikut: a. Menganalisis makna judul novel b. Meneliti teknik penceritaan novel yang digunakan oleh pengarang dengan menggunakan teori naratologi. c. Menganalisis pengaruh kolonialisme dan hubungannya dengan pembentukan identitas dengan teori poskolonial. 5. Menyimpulkan hasil analisis data untuk menjawab permasalahanpermasalahan dan menyusunnya ke dalam bentuk laporan penelitian.
I.9
Sistematika Penyajian Berikut adalah sistematika penyajian dalam penelitian ini : BAB 1 : Pendahuluan Bab I memaparkan latar belakang, permasalahan, rumusan masalah dalam penelitian, tujuan penelitian, landasan teori yang digunakan, tinjauan pustaka, ruang lingkup penelitian, metode pengumpulan data dan analisis data, dan sistematika penyajian.
16
BAB II : Pembahasan Bab II berisi pengkajian makna judul novel, teknik penceritaan dan analisis pengaruh kolonialisme serta hubungannya dengan pembentukan identitas dalam novel Allah n’est pas obligé. BAB III : Kesimpulan Bab III terdiri dari kesimpulan terhadap penelitian, daftar pustaka, dan lampiran yang berisi ringkasan cerita Allah n’est pas obligé serta diagram peristiwa (événement).
17