BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang giat-giatnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. Badan Usaha Milik Negara, selanjutnya disebut BUMN, hadir sebagai salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa segala sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.1 Salah satu implementasi penguasaan negara dalam pasal konstitusi tersebut yaitu dalam bentuk BUMN yang selama ini mengusahakan produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak.2 Saat ini, Pemerintahan Joko Widodo ingin menumbuhkan perekonomian secara lebih agresif dan BUMN diharapkan menjadi salah satu pilar pendorong pertumbuhan ekonomi. Seperti halnya negara tetangga Indonesia yaitu Singapura dan Malaysia yang sukses membangun ekonomi nasionalnya dengan motor utama perusahaan negara.3 BUMN di Indonesia juga berpotensi untuk berperan besar seperti BUMN di negara-negara tersebut.
1
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pandji Anoraga, 1995, BUMN Swasta dan Koperasi, Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, hlm. 91. 3 Estu Suryowati, “Ini Perbandingan antara BUMN RI dengan Malaysia dan Singapura”, http:// bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/12/17/125700426/Ini.Perbandingan.antara.BUMN.RI.de ngan.Malaysia.dan.Singapura, diakses 17 September 2016. 2
2
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Tahun 2016 telah memberikan dana sebesar Rp 44,38 (empat puluh empat koma tiga puluh delapan) triliun untuk 20 (dua puluh) BUMN sebagai penambahan penyertaan modal negara.4 Pemberian penambahan penyertaan modal negara tersebut adalah dalam rangka mengoptimalkan peran BUMN sebagai agen pembangunan yang diharapkan dapat mewujudkan program-program prioritas yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Menteri BUMN, Rini Soemarno, menyatakan bahwa kontribusi BUMN kepada pemerintah sudah semakin tinggi dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya. Kontribusi BUMN pada APBN tahun anggaran 2015 diperkirakan telah mencapai Rp 220 (dua ratus dua puluh) triliun, yang terdiri atas setoran pajak sebesar Rp 183 (seratus delapan puluh tiga) triliun dan dividen sebesar Rp 37 (tiga puluh tujuh) triliun. Kontribusi BUMN tahun 2015 tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan kontribusi pada tahun 2014 yang hanya mencapai Rp 177 (seratus tujuh puluh tujuh) triliun.5 Namun sayangnya, pembangunan perekonomian yang sedang gencar dilakukan Indonesia tersebut menjadi pisau bermata dua. Hal ini dikarenakan di tengah pembangunan Indonesia yang begitu hebatnya, sejalan dengan itu korupsi semakin meningkat pula. Raja Sihanouk dari Kamboja pernah berkata bahwa ia akan tetap berusaha meningkatkan pembangunan di negaranya walaupun dengan
4
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2016. 5 Royke Sinaga, “Rini: Kontribusi BUMN bagi Perekonomian Makin Besar”, http://www.antara news.com/berita/524734/rini-kontribusi-bumn-bagi-perekonomian-makin-besar, diakses 17 September 2016.
3
konsekuensi akan meningkat pula korupsinya.6 Dalam hal ini, pernyataan Andi Hamzah yang menganalogikan bahwa ketika bertambah besar volume pembangunan, maka bertambah besar pula kemungkinan kebocoran adalah tepat.7 Direksi merupakan salah satu organ terpenting BUMN yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan BUMN.8 Dalam menjalankan pengurusan tersebut, direksi memiliki kapasitas untuk mengambil keputusan bisnis di mana keputusan bisnis yang diambil tersebut akan berdampak pada BUMN. Hal inilah yang menyebabkan direksi sering kali menjadi sasaran pemberantasan tindak pidana korupsi pada BUMN karena direksi memiliki kewenangan yang begitu besar untuk menentukan jalannya BUMN. Sebagai contoh adalah mantan Direktur Operasi I PT. Adhi Karya, Teuku Bagus M Noor, diputus bersalah melakukan tindak pidana korupsi pada tahun 2014 karena terlibat dalam penyimpangan dan rekayasa tender saat BUMN yang bergerak di sektor infrastruktur tersebut menjadi pelaksana proyek Hambalang.9 Selanjutnya, mantan Direktur Utama PT. Merpati Nusantara Airlines, Hotasi Nababan, diputus bersalah melakukan tindak pidana korupsi terkait sewa pesawat dengan menggunakan security deposit.10
6 7
8 9
10
Ibid., hlm. 1. Andi Hamzah, 2008, Perbandingan Pemberantasan Korupsi di Berbagai Negara, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 259. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 58/PID/TPK/2014/PT.DKI perihal Banding perkara Teuku Bagus Mokhamad Noor. Putusan Mahkamah Agung Nomor 417 K/Pid.Sus/2014 perihal Kasasi perkara Hotasi D.P. Nababan.
4
Masih pada tahun yang sama, mantan Direktur Utama PT. Sang Hyang Seri (SHS), Eddy Budiono, dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi terkait subsidi benih padi, kedelai, jagung hibrida, dan jagung komposit.11 Kemudian pada tahun 2015, mantan Direktur Utama PT. Garam, Slamet Untung Irrendenta, dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi terkait kasus penjualan 10.000 (sepuluh ribu) ton garam senilai Rp 5 (lima) miliar.12 Terungkapnya kasus-kasus tindak pidana korupsi yang menimpa direksi BUMN tersebut menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana sesungguhnya peran direksi sebagai salah satu organ terpenting dalam BUMN. Pada dasarnya, tujuan BUMN adalah untuk memperoleh keuntungan sehingga dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Namun demikian, direksi BUMN justru dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi sehingga semakin dikhawatirkan dan diragukan oleh masyarakat. Di sisi lain, direksi sebenarnya memiliki perlindungan terhadap setiap keputusan bisnis yang diambilnya sehingga seharusnya tidak dapat diadili meskipun keputusan tersebut merugikan BUMN. Doktrin perlindungan atas keputusan bisnis yang dilakukan oleh direksi tersebut disebut dengan business judgment rule.13 Dunia usaha yang penuh dengan ketidakpastian dan tingginya persaingan menunjukkan bahwa memang tidak selamanya BUMN selalu
11
12
13
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 14/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST perihal Pemeriksaan Tingkat Pertama perkara Eddy Budiono. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 62/Pid.Sus/TPK/2015/PN.SBY perihal Pemeriksaan Tingkat Pertama perkara Slamet Untung Irredenta. Munir Fuady, 2014, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 190.
5
memperoleh keuntungan. Berbagai risiko usaha dapat menyebabkan BUMN mengalami kerugian. Menyikapi maraknya bisnis BUMN yang mengalami kerugian dan kemudian dianggap merugikan keuangan negara sehingga termasuk sebagai tindak pidana korupsi, banyak pengurus BUMN yang kemudian menjadi merasa was-was dan dibayangi rasa ketakutan dalam mengambil keputusan bisnis. Hal ini dikarenakan keputusan bisnis yang diambilnya mungkin saja salah dan menimbulkan kerugian. Hal tersebut tentunya akan mengganggu kinerja direksi dalam melaksanakan pengurusan BUMN dan justru semakin dapat merugikan BUMN. Business judgment rule inilah yang kemudian dijadikan suatu jaminan pembebasan bagi direksi untuk berinovasi dan mengedepankan pengurusan yang bersifat korporatif dan profit oriented dalam BUMN.14 Fenomena kebimbangan yang dialami direksi BUMN dalam mengambil keputusan bisnis tersebut dapat terjadi karena pada dasarnya BUMN memiliki fungsi dan peranan yang unik. Di satu sisi BUMN dituntut sebagai badan usaha pengemban kebijaksanaan dan program pemerintah. Sedangkan, di sisi lain harus tetap berfungsi sebagai badan usaha komersial biasa yang mampu berjalan dan beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip usaha yang sehat. Kedua fungsi ini sering kali tidak dapat berjalan seiringan atau saling menunjang, dan bahkan tidak jarang justru saling bertentangan.15
14
Freddy Harris dan Teddy Anggoro, 2010, Hukum Perseroan Terbatas: Kewajiban Pemberitahuan oleh Direksi, Penerbit Ghalia Indonesia, Bogor, hlm. 59. 15 Pandji Anoraga, Op. cit., hlm. 69.
6
Kedua fungsi yang sulit untuk dijalankan tersebut sering kali justru digunakan aparat penegak hukum untuk menjadikan direksi BUMN sebagai sasaran pemberantasan tindak pidana korupsi. Aparat penegak hukum memanfaatkan unsur-unsur yang ada pada Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selanjutnya disebut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Unsur-unsur yang dimanfaatkan dalam kedua pasal tersebut yaitu melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, dan kerugian keuangan negara.16 Hal tersebut didukung dengan adanya fakta yang menunjukkan bahwa lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) tersangka korupsi selalu dijerat dengan menggunakan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, baik yang dijerat oleh Polri, Kejaksaan, maupun KPK. Kedua pasal tersebut sering digunakan oleh aparat penegak hukum karena mengandung norma kabur sehingga sangat mudah dibuktikan.17 Berdasarkan uraian di atas, perlu diteliti lebih lanjut mengenai peranan doktrin business judgment rule sebagai perlindungan direksi saat BUMN mengalami kerugian kemudian direksi dijadikan sasaran pemberantasan tindak pidana korupsi dengan menggunakan unsur-unsur pada Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu unsur melawan
16
17
Hotasi Nababan, 2015, Hukum Tanpa Takaran Penjara Korupsi Bagi Korban Penipuan, Q Communication, Jakarta, hlm. 259. Eddy O.S. Hiariej, “Pasal Keranjang Sampah”, Kompas, 7 Mei 2015.
7
hukum dan unsur menyalahgunakan kewenangan. Oleh karena itu, penting untuk diangkat sebagai suatu penelitian dalam bentuk penulisan hukum dengan judul: KORELASI
BUSINESS
MELAWAN
HUKUM
JUDGMENT DAN
RULE
UNSUR
TERHADAP
UNSUR
MENYALAHGUNAKAN
KEWENANGAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PADA BADAN USAHA MILIK NEGARA.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut. 1. Bagaimana perbandingan penerapan business judgment rule di Indonesia dengan di Amerika Serikat dalam tindak pidana korupsi? 2. Bagaimana korelasi business judgment rule terhadap unsur melawan hukum dan unsur menyalahgunakan kewenangan dalam tindak pidana korupsi pada BUMN?
C. Tujuan Penelitian Terdapat beberapa tujuan dilakukannya penelitian dalam bentuk penulisan hukum ini, antara lain sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui dan menganalisis perbandingan penerapan business judgment rule di Indonesia dengan di Amerika Serikat dalam tindak pidana korupsi.
8
2. Untuk mengetahui dan menganalisis korelasi business judgment rule terhadap unsur melawan hukum dan unsur menyalahgunakan kewenangan dalam tindak pidana korupsi pada BUMN.
D. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang dilakukan, ditemukan beberapa penelitian yang identik membahas mengenai business judgment rule dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut. 1. Ananda Megha Wiedhar Saputri, Penerapan Doktrin Business Judgment Rule sebagai Pertanggungjawaban Pidana dalam Tindak Pidana Korupsi oleh Korporasi (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 PK/Pid.Sus/2012 dalam Perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT. PUSRI Palembang), 2015, dalam Tesis program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta.18 Rumusan Masalah: a. Apakah dasar Mahkamah Agung menolak novum business judgment rule dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 PK/Pid.Sus/2012 dalam perkara pengadaan solenoid valve dan thrustor brake pada PT. PUSRI Palembang?
18
Ananda Megha Wiedhar Saputri, 2015, Penerapan Doktrin Business Judgment Rule sebagai Pertanggungjawaban Pidana dalam Tindak Pidana Korupsi oleh Korporasi (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 PK/Pid.Sus/2012 ddalam Perkara Pengadaan Solenoid Valve dan Thrustor Brake pada PT PUSRI Palembang), Tesis program Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
9
b. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana atas korporasi yang dapat diterapkan
dalam
Putusan
Mahkamah
Agung
Nomor
154
PK/Pid.Sus/2012 dalam perkara pengadaan solenoid valve dan thrustor brake pada PT. PUSRI Palembang? Kesimpulan: a. Doktrin business judgment rule tidak dapat diterapkan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 PK/Pid.Sus/2012 dalam perkara pengadaan solenoid valve dan thrustor brake pada PT PUSRI Palembang dikarenakan doktrin business judgment rule hanya dapat diberlakukan bagi direksi. b. Pertanggungjawaban pidana dalam kasus pengadaan solenoid valve dan thrustor brake dibebankan pada manager sesuai dengan teori identifikasi. Perbedaan: Perbedaan antara penelitian yang telah disebutkan di atas dengan penelitian yang dilakukan penulis dalam penulisan hukum ini, yaitu penelitian dalam tesis ini menjadikan Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 PK/Pid.Sus/2012 dalam perkara pengadaan solenoid valve dan thrustor brake pada PT. PUSRI Palembang sebagai objek penelitiannya. Terdakwa dalam putusan tersebut adalah manager PT. PUSRI Palembang yang artinya penelitian ini membahas mengenai apakah business judgment rule dapat diterapkan kepada seorang manager perseroan terbatas ataukah tidak. Sedangkan, dalam penulisan hukum yang dilakukan oleh penulis membahas mengenai business judgment rule sebagai perlindungan direksi dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi pada BUMN. Selain itu pula, penulis juga tidak membahas sama
10
sekali mengenai Putusan Mahkamah Agung Nomor 154 PK/Pid.Sus/2012 dalam perkara pengadaan solenoid valve dan thrustor brake pada PT. PUSRI Palembang dalam penulisan hukum ini.
2. Danu Bagus Pratama, Pertanggungjawaban Pidana Direksi BUMN yang Berbentuk Perseroan Terbatas dalam Tindak Pidana Korupsi di BUMN, 2015, dalam Jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.19 Rumusan Masalah: a. Bagaimana pertanggungjawaban pidana direksi BUMN dalam tindak pidana korupsi di BUMN? b. Kapan prinsip business judgment rule dapat diterapkan dalam tindak pidana korupsi di BUMN? Kesimpulan: Setiap kebijakan, praktik, atau prosedur kegiatan pengelolaan keuangan atau kekayaan milik negara yang dilakukan oleh korporasi atau badan hukum dalam hal ini dilakukan oleh direksi BUMN selaku pengurus perseroan terbatas, yang merupakan keputusan bisnis (business judgment rule) yang mengakibatkan kerugian bagi perseroan dapat dipandang merugikan Negara juga, sehingga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Walaupun dalam hal ini penerapan UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi tidak bersifat premium
19
Danu Bagus Pratama, 2015, Pertanggungjawaban Pidana Direksi BUMN yang Berbentuk Perseroan Terbatas dalam Tindak Pidana Korupsi di BUMN, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
11
remedium (upaya pertama) tetapi lebih berorientasi ultimum remedium (upaya terakhir). Dari penjelasan di atas dapat dijelaskan kembali bahwa prinsip business judgment rule dapat digunakan sebagai alasan pembenar yaitu alasan menghapuskan sifat melawan hukum atas perbuatannya sehingga yang telah dilakukan atau diperbuat oleh terdakwa dapat dikatakan menjjadi perbuatan yang patut dan benar apabila kebijakan tersebut memang diambil dengan penuh kehati-hatian, tidak ada kesewenang-wenangan dan tidak bertujuan untuk menguntungkan diri sendiri, kebijakan tersebut murni dilakukan untuk penyelamatan atau demi keuntungan yang diperoleh oleh BUMN (Perseroan Terbatas). Perbedaan: Perbedaan antara penelitian yang telah disebutkan di atas dengan penelitian yang dilakukan penulis dalam penulisan hukum ini, yaitu penelitian di dalam jurnal
tersebut
hanya
secara
umum
membahas
mengenai
pertanggungjawaban pidana direksi dalam tindak pidana korupsi dan pada saat kapankah direksi dapat menggunakan business judgment rule dapat digunakan sebagai perlindungan oleh direksi dalam tindak pidana korupsi. Rumusan masalah dalam jurnal tersebut memang identik dengan penulisan hukum yang dilakukan penulis, akan tetapi penulis memiliki variabel yang berbeda yaitu adanya unsur melawan hukum dan unsur menyalahgunakan kewenangan yang dijadikan penulis sebagai objek penelitian. Perbedaan yang mendasar dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti di dalam penulisan hukum ini adalah sangat jelas bahwa penulis secara komprehensif membahas
12
unsur melawan hukum dan unsur menyalahgunakan kewenangan dalam tindak pidana korupsi yang kemudian dikaitkan dengan adanya business judgment rule sebagai perlindungan direksi.
3. Frans Affandhi, et all, Business Judgment Rule Dikaitkan dengan Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh Direksi Badan Usaha Milik Negara terhadap Keputusan Bisnis yang Diambilnya, 2016, dalam Jurnal Universitas Sumatera Utara, Medan.20 Rumusan Masalah: a. Apakah business judgment rule dapat diterapkan dan digunakan oleh direksi BUMN yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara? b. Bagaimana business judgment rule dikaitkan dengan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh direksi BUMN Persero terhadap keputusan bisnis yang diambil? Kesimpulan: a. Business judgment rule dapat diterapkan dan digunakan oleh direksi BUMN yang diduga telah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara karena setiap direksi BUMN Persero berbadan hukum perseroan terbatas dapat dibela dengan menggunakan Pasal 97 UU PT apabila dituntut oleh pemegang saham (dalam hal ini
20
Frans Affandhi, et all, 2016, Business Judgment Rule Dikaitkan dengan Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan oleh Direksi Badan Usaha Milik Negara terhadap Keputusan Bisnis yang Diambilnya, Jurnal Universitas Sumatera Utara, Medan.
13
negara) atau dewan komisaris mengenai kebijakan yang diambilnya. Namun, dalam pembuktiannya direksi BUMN Pesero tersebut harus membuktikan bahwa dalam mengambil keputusan tersebut sudah menganut prinsip fiduciary duty, yaitu duty of care dan duty of loyalty. Hal ini merupakan ukuran bagi direksi BUMN Persero untuk menjalankan perusahaan dengan itikad baik dan tanggung jawab. Sebuah BUMN Persero tidak selamanya menguntungkan shareholders, melainkan dapat merugi. Namun, hal in tidak dapat seenaknya saja dalam menyalahkan direksi tersebut. b. Hubungan business judgment rule dengan tindak pidana korupsi yang diduga dilakukan oleh direksi BUMN Persero terhadap keputusan bisnis yang diambil adalah bahwa salah satu unsur yang harus dibuktikan terlebih dahulu adalah apakah kekayaan BUMN Persero adalah keuangan Negara. Berdasarkan dissenting opinion salah satu Majelis Hakim dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 62/PUU-XI/2013 tertanggal 03 Februari 2014, pada intinya menyatakan bahwa kekayaan BUMN Persero tidak dapat dikategorikan sebagai keuangan negara, karena kekayaan BUMN Persero merupakan kekayaan negara yang dipisahkan yang berasal dari keuangan negara yang dipisahkan. BUMN Persero sebagai badan hukum memisahkan harta kekayaan pemilik kekayaan badan hukum serta pengurusnya. Hal ini dikarenakan acuan dalam pengelolaan BUMN adalah UU PT dan UU BUMN. Dissenting opinion diperbolehkan dalam suatu putusan pengadilan karena pengambilan keputusan tidak berdasarkan
14
musyawarah mufakat, maka Majelis Hakim mengambil voting sehingga Majelis Hakim yang tidak sependapat tersebut, pendapatnya harus dimasukkan juga ke dalam putusan tersebut. Dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi sudah final dan mengikat, namun penggunaan dissenting opinion untuk dasar pembelaan seorang direksi BUMN adalah sah-sah saja. Dissenting opinion tersebut sebagai pintu masuk penerapan business judgment rule. Perbedaan: Rumusan masalah dalam penelitian yang telah disebutkan di atas memang identik dengan penelitian yang dilakukan penulis dalam penulisan hukum ini, yaitu yaitu business judgment rule dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi pada BUMN. Namun demikian, jurnal tersebut cenderung mengaitkan business judgment rule dengan unsur kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. Jurnal tersebut lebih menyoroti bahwa kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN bukan termasuk kekayaan negara sehingga seharusnya apabila BUMN mengalami kerugian maka itu bukan termasuk kerugian negara. Sedangkan penulis dalam penulisan hukum ini fokus mengkaji mengenai korelasi business judgment rule terhadap unsur melawan hukum dan unsur menyalahgunakan kewenangan dalam tindak pidana korupsi pada BUMN.
Berdasarkan perbedaan penelitian yang telah disebutkan di atas, dapat dikatakan masih belum ada penelitian yang menjadikan korelasi business
15
judgment rule terhadap unsur melawan hukum dan unsur menyalahgunakan kewenangan dalam tindak pidana korupsi pada BUMN sebagai objek penelitian. Selain itu, belum ada pula penelitian yang membahas mengenai perbandingan penerapan business judgment rule sebagai perlindungan direksi antara di Indonesia dengan di Amerika Serikat dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi. Dengan demikian, penelitian yang dilakukan dalam penulisan hukum ini berbeda dengan penelitian yang pernah ada sebelumnya. Apabila tanpa sepengetahuan penulis ternyata pernah ada penelitian yang sama dengan penelitian ini, maka diharapkan penelitian ini dapat melengkapi penelitian yang pernah ada.
E. Manfaat Penelitian Penulis berharap bahwa hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat, yaitu: 1. Manfaat bagi negara Penulisan hukum ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan bagi lembaga yang berwenang khususnya aparat penegak hukum agar memperhatikan segala permasalahan mengenai business judgment rule dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi pada BUMN serta perbandingan penerapan business judgment rule di Indonesia dengan di Amerika Serikat dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi; 2. Manfaat bagi ilmu pengetahuan
16
Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi dunia hukum di Indonesia dan bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang business judgment rule dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi pada BUMN serta perbandingan penerapan business judgment rule di Indonesia dengan di Amerika Serikat dalam kaitannya dengan tindak pidana korupsi.