BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Peradilan adalah kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara untuk menegakkan hukum dan keadilan.1 Kekuasaan negara yang dimaksud adalah kekuasaan kehakiman yang merupakan judicial power yakni kekuasaan yang menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (rule of law) dalam Negara Hukum Republik Indonesia. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh lembaga peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Semua lembaga peradilan tersebut bernaung di bawah Mahkamah Agung yang merupakan Peradilan Negara Tertinggi.2 Setiap lembaga peradilan mempunyai tugas dan kekuasaan yang berbeda. Salah satu contoh yaitu peradilan agama mempunyai kekuasaan absolut untuk menerima, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara1
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, h 6 Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang yang mengatur Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan negara tertinggi terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang tersebut, kemudian dirubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. Tahun 2009 undang-undang tentang Mahkamah Agung dirubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. 2
1
2
perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.3 Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menyebutkan bahwa perkara yang menjadi kekuasaan absolut peradilan agama meliputi a. Perkawinan b. Waris c. Wasiat d. Hibah e. Wakaf f. Zakat g. Infaq h. Shadaqah i. Ekonomi Syari'ah4. Peradilan Agama juga mempunyai kekuasaan relatif yakni kekuasaan untuk menangani perkara-perkara yang berada di wilayah hukum tempat Peradilan Agama tersebut berada.5 Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama (PA) sebagai pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota, dan daerah hukumnya meliputi wilayah
3
Jaih Mubarok (ed), Peradilan Agama di Indonesia, h. 3 Pasal 49, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Undang-undang tersebut merupakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. 5 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h. 202 4
3
kabupaten atau kota dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) sebagai pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, sekretaris dan juru sita. Sedangkan susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, dan sekretaris. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyebutkan hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang tersebut. Adapun sumber hukum acara yang dipakai di peradilan agama adalah sebagai berikut: 1. Reglement op de Burgerlink Rechtsvordering (B.Rv) 2. Het Herzience Indonesie Reglement (HIR) 3. Rechtsreglement Voor De Buitengewesten (R.Bg) 4. Burgerlijke Wetbook voor Indonesia (B.W.) 5. Peraturan Perundang-undangan a) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Acara Perdata dalam hal banding bagi Pengadilan Tinggi di Jawa Madura. b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UndangUndang tersebut.
4
c) Inpres Nomor 1 Tahun 1999 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam d) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. e) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama f) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tersebut g) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan h) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah i) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI mengenai acara perdata dan hal-hal yang berhubungan dengan kasasi dalam proses berperkara di Mahkamah Agung RI yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan diperbarui dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 6. Yurisprudensi 7. Surat-surat Edaran Mahkamah Agung RI 8. Doktrin atau Ilmu Pengetahuan Sengketa perdata antara orang Islam yang menjadi wewenang peradilan agama diajukan pada Pengadilan Agama di wilayah tempat tinggal orang yang
5
hendak berperkara. Hal ini berdasarkan kompetensi relatif yang dimiliki oleh Pengadilan Agama. Keputusan yang diberikan oleh Pengadilan Agama terhadap para pencari keadilan tidak selamanya bisa diterima. Pertimbangan dan dasar hukum yang dipergunakan hakim dalam memutuskan suatu perkara, terkadang dirasa memihak atau tidak menguntungkan bagi pihak yang merasa dirugikan oleh putusan hakim Pengadilan Agama. Terhadap ketidakpuasan para pencari keadilan terdapat upaya hukum. Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undangundang kepada seorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim. 6 Upaya hukum yang digunakan bagi pihak yang merasa keberatan dengan putusan Pengadilan Agama adalah upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan tingkat banding memeriksa kembali perkara yang diajukan banding. Tujuan dari pemeriksaan tingkat banding adalah untuk mengoreksi dan mengeluarkan segala kesalahan dan kekeliruan dalam penetapan hukum, tata cara mengadili, meluruskan penilaian fakta dan pembuktian. Bentuk putusan Pengadilan Tinggi Agama bisa berupa menguatkan, membatalkan sebagian, atau membatalkan putusan Pengadilan Agama sebelumnya. Salah satu contoh putusan Pengadilan Tinggi Agama yang membatalkan putusan Pengadilan Agama yakni putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya
6
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, h. 142
6
Nomor: 259/Pdt.G/2008 PTA.Sby yang membatalkan putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor: 297/Pdt.G/2008/PA.Tbn dalam perkara gugatan pembatalan hibah. Penggugat menghibahkan sebidang tanah yang terletak di Desa Jatimulyo Kecamatan Plumpang Kabupaten Tuban kepada cucu keponakannya yang bernama Tergugat. Hibah dilakukan pada tanggal 17 Oktober 2006 di hadapan Kepala Desa Jatimulyo yang disaksikan oleh Sekertaris Desa, Kepala Dusun dan Kaur Pem. Penggugat pada saat menghibahkan tanahnya kepada Tergugat mensyaratkan kebutuhan sehari-hari, biaya pengobatan, dan segala macam biaya sampai Penggugat meninggal harus ditanggung oleh Tergugat. Akad hibah dituangkan dalam sebuah akta hibah yang dibuat dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak beserta saksi-saksi yang menyaksikan akad hibah tersebut. Sebelum ikut tinggal bersama Tergugat, Penggugat tinggal bersama saudaranya. Saudara Penggugat kemudian meninggal, setelah kematian saudara Penggugat atau sekitar pada bulan Februari 2006 kemudian Penggugat tinggal bersama keluarga Tergugat. Selama satu tahun Penggugat tinggal bersama keluarga Tergugat. Penggugat merasa pelayanan yang diberikan keluarga Tergugat kurang baik, karena selalu ada kata-kata kasar yang dilontarkan keluarga Tergugat pada Penggugat. Pada intinya, Penggugat kecewa dengan pelayanan keluarga Tergugat.
7
April 2007, Penggugat memutuskan untuk keluar dari rumah Tergugat dan memilih tinggal bersama cucu keponakan lainnya. Penggugat kemudian meminta kembali tanah yang telah dihibahkan kepada Tergugat, akan tetapi Tergugat menolak untuk mengembalikan tanah tersebut. Tanah tersebut oleh Penggugat telah diminta secara baik-baik kepada Tergugat, akan tetapi karena tidak ada itikad baik dari Tergugat untuk mengembalikan tanah tersebut serta tidak terpenuhi syarat hibah, kemudian Penggugat mengajukan gugatan penarikan kembali tanah yang telah di hibahkan tersebut kepada Pengadilan Agama Tuban selaku badan peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Pengadilan Agama Tuban menerima, memeriksa, dan mengadili serta memberikan putusan terhadap sengketa tersebut. Pengadilan Agama Tuban berdasarkan akta hibah di bawah tangan yang diajukan oleh Penggugat, menyatakan bahwa hibah telah terjadi hibah sebidang tanah dari pihak Penggugat kepada pihak Tergugat dan pelaksanaan dari hibah tersebut sah, akan tetapi harta yang dihibahkan melebihi ketentuan Pasal 210 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, Pengadilan Agama Tuban memutuskan bahwa tanah yang menjadi hak Tergugat hanya 1/3 dari tanah tersebut. Pihak Tergugat tidak puas terhadap putusan Pengadilan Agama Tuban, kemudian menempuh upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Agama Surabaya
selaku
pengadilan
tingkat
banding
yang
berwenang
untuk
menyelesaikan sengketa tersebut. Pengadilan Tinggi Agama Surabaya menerima, memeriksa, dan mengadili serta memberikan putusan terhadap sengketa tersebut.
8
Dalam pemeriksaan tingkat banding ditemukan fakta, bahwa surat pernyataan hibah yang dibuat oleh Penggugat dan Tergugat di depan Kepala Desa Jatimulyo batal demi hukum. Hal ini dikarenakan dalam akta tersebut terdapat kerancuan dalam penulisan tanggal dalam surat pernyataan hibah tersebut. Berdasarkan
fakta
tersebut,
Pengadilan
Tinggi
Agama
Surabaya
menyatakan bahwa surat pernyataan hibah yang dibuat oleh Penggugat dan Tergugat adalah batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan demikian, Pengadilan Tinggi Agama Surabaya berpendapat bahwa hibah tersebut tidak ada, dan membatalkan putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor: 297/Pdt.G/2008/PA.Tbn Pengadilan Agama Tuban dan Pengadilan
Tinggi Agama Surabaya
mempunyai pandangan berbeda mengenai akta hibah di bawah tangan dalam kasus ini. Pengadilan Agama Tuban menilai akta hibah di bawah tangan tersebut sebagai alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, serta mengikat bagi kedua belah pihak. Sementara Pengadilan Tinggi Agama Surabaya menilai bahwa akta hibah di bawah tangan tersebut tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan hanya sebagai alat bukti pelengkap saja.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka didapatkan beberapa permasalahan
9
1. Bagaimana putusan PA Tuban Nomor: 297/Pdt.G/2008/PA.Tbn dan PTA Surabaya Nomor: 259/Pdt.G/2008 PTA.Sby tentang kekuatan akta hibah di bawah tangan? 2. Mengapa
PTA
Surabaya
membatalkan
putusan
PA
Tuban
Nomor:
297/Pdt.G/2008/PA.Tbn? 3. Bagaimana analisis hukum acara perdata terhadap putusan PTA Surabaya Nomor: 259/Pdt.G/2008 PTA.Sby?
C. Kajian Pustaka Topik utama yang dijadikan obyek penelitian oleh penulis dalam karya tulis ilmiah ini adalah masalah kekuatan akta di bawah tangan yang merupakan salah satu alat bukti yang dipakai dalam hukum acara peradilan agama. Masalah akta di bawah tangan di Indonesia bukanlah hal yang baru bagi masyarakat pada umumnya dan para mahasiswa pada khususnya. Namun kajian tentang kekuatan akta di bawah tangan dalam hibah belum pernah ada yang membahasnya. Akan tetapi, pembahasan tentang alat bukti sudah pernah dilakukan sebagaimana yang telah dilakukan, di antaranya oleh
Nurmala Asri, dalam tulisannya
“Implementasi Syahadah Istifadah dalam Penyelesaian Sengketa Perwakafan di Pengadilan Karang Asem Bali (Studi Komparatif Antara Hukum Perdata dan
10
Hukum Islam)”7, penelitian ini membahas tentang saksi yang tidak melihat dan tidak mendengar secara langsung suatu kejadian. Selain itu dalam tulisan Fadilah “Analisis Hukum Islam terhadap Kekuatan Alat Bukti Tulisan dalam Kasus Gugatan Tanah Wakaf di Pengadilan Agama Sidoarjo”8 membahas tentang kekuatan alat bukti tulisan, dalam hal ini tanah wakaf dirubah menjadi hak milik yang sudah bersetifikat yang merupakan akta autentik. Akan tetapi dikemudian hari tidak bisa membuktikan keautentikannya dan dikalahkan dengan cerita sejarah mengenai asal usul tanah tersebut. Dua pembahasan di atas menjelaskan tentang alat bukti yang dipakai dalam gugatan wakaf. Sekilas hampir sama dengan yang dibahas oleh penulis, akan tetapi, di sini penulis lebih memfokuskan pada alat bukti akta di bawah tangan dalam gugatan pembatalan hibah di Pengadilan Agama Tuban yang kemudian menempuh upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Agama Surabaya.
D. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui putusan PA Tuban No 297/Pdt.G/2008/PA.Tbn dan PTA Surabaya No 259/Pdt.G/2008 PTA.Sby tentang kekuatan akta hibah di bawah tangan. 7
Nurmala Asri, Implementasi Syahadah Istifadah dalam Penyelesaian Sengketa Perwakafan di Pengadilan Karang Asem Bali (Studi Komparatif antara Hukum Perdata dan Hukum Islam), skripsi Jurusan Ahwal As-Syaksiyah Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2004. 8 Fadilah, Analisis Hukum Islam terhadap Kekuatan Alat Bukti Tulisan dalam Kasus Gugatan Tanah Wakaf di Pengadilan Agama Sidoarjo, skripsi Jurusan Ahwal As-Syaksiyah Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2007
11
2. Untuk mengetahui alasan PTA Surabaya membatalkan putusan PA Tuban No 297/Pdt.G/2008/PA.Tbn. 3. Untuk mengetahui bagaimana analisis hukum acara perdata terhadap putusan PTA Surabaya No 259/Pdt.G/2008 PTA.Sby.
E. Kegunaan Hasil Penelitian Dari hasil penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat minimal untuk hal-hal sebagai berikut
1. Teoritis Memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu, khususnya ilmu hukum Islam terkait dengan kekuatan akta hibah di bawah tangan dalam pembuktian di persidangan. 2. Praktis a. Sebagai bahan untuk dijadikan pedoman atau landasan hukum bagi para hakim atau siapa saja dalam menilai kekuatan alat bukti akta di bawah tangan dalam pembuktian di persidangan kasus gugatan pembatalan hibah. b. Dapat digunakan sebagai penunjang bagi penyusun karya ilmiah berikutnya dalam permasalahan yang hampir sama.
12
c. Untuk memenuhi persyaratan kelulusan strata satu pada jurusan Ahwalus Syakhsiyah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Sunan Ampel
F. Definisi Operasional Sebelum penulis membahas lebih jauh perihal akta di bawah tangan, dan juga dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam mencerna istilahistilah pokok yang dipakai oleh penulis, maka penulis perlu menjelaskan atau memberikan definisi terhadap istilah-istilah pokok yang nantinya berfungsi sebagai landasan operasional dalam penulisan skripsi ini, yang tentunya terkait dengan judul skripsi ini yaitu: KEKUATAN AKTA HIBAH DI BAWAH TANGAN
(Studi
Kasus
Pembatalan
Putusan
PA
Tuban
Nomor:
297/Pdt.G/2008/PA.Tbn oleh PTA Surabaya Nomor: 259/Pdt.G/2008 PTA.Sby). Yang dimaksud istilah pokok yaitu: 1. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki9. 2. Akta di bawah tangan yaitu suatu tulisan yang semata-mata dibuat untuk membuktikan suatu hal atau peristiwa, akan tetapi tidak dibuat oleh atau dengan perantara seorang pejabat yang berwenang10. 9
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 144 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, h. 179
10
13
3. Pengadilan Agama adalah lembaga Peradilan Agama yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara dalam tingkat pertama. Pengadilan Agama yang dimaksud dalam skripsi ini adalah Pengadilan Agama Tuban yang beralamatkan di Jl.Sunan Kalijaga No.27 Tuban. 4. Pengadilan Tinggi Agama adalah lembaga Peradilan Agama yang bertugas menerima, memeriksa, mengadili dan memutuskan perkara pada tingkat banding. Pengadilan Tinggi Agama yang dimaksud dalam skripsi ini adalah Pengadilan Tinggi Agama Surabaya yang beralamatkan di Jl. Mayjen Sungkono No.7 Surabaya
G. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yakni penelitian yang dimaksudkan untuk mengungkapkan gejala secara holistik-kontekstual melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci11. 1. Data yang Dikumpulkan a) Data kewenangan PA Tuban dan PTA Surabaya dalam menilai kekuatan akta hibah di bawah tangan
11
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, h. 8
14
b) Data pertimbangan dan dasar hukum majelis hakim PA Tuban dan PTA Surabaya dalam menilai kekuatan akta hibah di bawah tangan c) Data tentang analisis hukum acara perdata tentang kekuatan akta hibah di bawah tangan 2. Sumber Data a) Data primer yaitu: putusan Pengadilan Agama Tuban Nomor: 297/Pdt.G/2008/PA.Tbn, putusan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya No 259/Pdt.G/2008 PTA.Sby, hakim Pengadilan Agama Tuban dan hakim Pengadilan Tinggi Agama Surabaya b) Data sekunder yaitu: bahan pustaka (literatur buku) yang berkaitan dengan pokok permasalahan.
3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis yaitu: a. Studi Dokumentasi
:Dokumentasi adalah barang-barang tertulis. Studi dokumentasi adalah menyelidiki bendabenda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat dan sebagainya12. Dalam hal ini penulis mentelaah teks putusan Pengadilan Agama
12
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik, h.158
15
Tuban No 297/Pdt.G/2008/PA.Tbn dan teks putusan
Pengadilan Tinggi Agama Surabaya
No 259/Pdt.G/2008 PTA.Sby. b. Wawancara (interview)
:Wawancara
adalah
sebuah
dialog
yang
dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.13 Wawancara dilakukan dengan dialog dan tanya jawab dengan
hakim
Pengadilan
Tinggi
Agama
Surabaya dan hakim Pengadilan Agama Tuban. 4. Teknis Analisis Data Teknis yang penulis gunakan adalah deskriftif analisis komparatif dengan pola pikir induktif, artinya menggambarkan hasil penelitian tentang adanya
pembatalan
putusan
Pengadilan
Agama
Tuban
Nomor:
297/Pdt.G/2008/PA.Tbn oleh Pengadilan Tinggi Agama Surabaya Nomor: 259/Pdt.G/2008 PTA. Sby tentang kekuatan akta hibah di bawah tangan, mulai dari deskripsi kasus, dasar hukum dan pertimbangan yang digunakan hakim sampai isi putusan yang kemudian dianalisis dengan teori atau dalil yang bersifat umum tentang akta di bawah tangan, dan kemudian mengkomparasikan keduanya, sehingga mendapatkan perbedaan dan persamaan diantara keduanya.
13
Ibid., h. 155
16
H. Sitematika Pembahasan Sistematika pembahasan dipaparkan dengan tujuan untuk memudahkan penulisan dan pemahaman. Oleh karena itu skripsi ini disusun dalam beberapa bab, tiap bab terdiri dari sub bab. Adapun sistematika pemabahasan ini adalah sebagai berikut: Bab pertama pendahuluan, merupakan pola umum yang menggambarkan keseluruhan skripsi, yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab kedua, pada bab ini memfokuskan pada kerangka teoritis tentang hibah secara umum dan macam-macam alat bukti. Bab ketiga, pada bab ini menjelaskan tentang Pengadilan Agama Tuban dan Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, deskripsi gugatan pembatalan hibah dengan alat bukti akta di bawah tangan, dasar hukum dan pertimbangan hakim beserta
putusan Pengadilan Agama Tuban, dasar hukum dan pertimbangan
hakim beserta putusan Pengadilan Tinggi Agama tentang kekuatan akta hibah di bawah tangan. Bab keempat, pada bab ini merupakan analisis terhadap dasar hukum dan pertimbangan hakim beserta putusan Pengadilan Agama Tuban, analisis terhadap dasar hukum dan pertimbangan hakim beserta Agama Surabaya
putusan
Pengadilan Tinggi
17
Bab kelima penutup, merupakan bab akhir dalam skripsi ini yang terdiri dari sub bab kesimpulan dan saran.