BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Setiap orang akan tumbuh dan berkembang, lalu seiring perjalanan hidupnya maka
mereka akan membentuk keluarga kecilnya sendiri dengan pasangan yang mereka pilih untuk menemani mereka menjalani kehidupan hingga akhir hayatnya. Perkawinan adalah merupakan langkah setiap orang untuk mendapatkan keluarga kecilnya sendiri. Perkawinan mungkin saja bisa terjadi setiap harinya di belahan dunia manapun. Berdasarkan Pasal 6 ayat (1), Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan), disebutkan bahwa :“Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”. yang mana dalam penjelasan daripada Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, ialah bahwa perkawinan harus dilangsungkan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan dan tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Hal ini sejalan dengan asas-asas perkawinan, yang salah satu asasnya ialah asas persetujuan bebas (sukarela) yang artinya ialah pernikahan harus terlaksana karena suka sama suka tidak ada paksaan dari pihak lain walaupun dari pihak orang tua sendiri. Persetujuan bebas ini timbul karena sudah saling mengenal dengan baik satu sama lain, dan tidak ada halangan untuk melangsungkan perkawinan. Sehingga pada akhirnya kedua calon mempelai memiliki kesadaran dan keinginan untuk menjalani hidup bersama sesuai dengan hukum agama 1.
1
Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perdata Indonesia, Cet. Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 76-77.
Pada saat perkawinan telah berlangsung, maka perkawinan itu diharapkan akan menjadi perkawinan yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada saat perkawinan telah berlangsung juga maka dianggap telah terjadi penyatuan baik secara lahir maupun bathin antara seorang suami dengan seorang istri, oleh sebab itu segala sesuatunya dikemudian hari akan dihitung sebagai satu kesatuan apabila tidak diadakan perjanjian apapun. Penyatuan secara lahir yang dimaksud disini adalah hak dan kewajiban, atau piutang dan utang yang diperoleh selama perkawinan. Seperti apa yang tertera dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, dinyatakan bahwa : „Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama‟. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Subekti, dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum Perdata, bahwa sejak perkawinan terjadi, jika tidak diadakan perjanjian apapun maka akan ada suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri. Lebih lanjut Subekti juga menjelaskan bahwa percampuran kekayaan adalah seluruh piutang dan utang yang dibawa oleh masing-masing pihak ke dalam suatu perkawinan maupun yang akan muncul dikemudian hari.2 Kemudian mengenai konsep harta bersama, menurut Abdul Manan dalam buku Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Dan Harta Bersama, yang ditulis oleh Damanhuri ialah harta yang diperoleh selama ikatan perkawinan berlangsung dan tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapa.3 Penyatuan ini tentunya membawa efek yang baik ketika sepasang suami istri sadar bahwa kini mereka hidup berdampingan, artinya segala hal yang dilakukan oleh salah satu pihak akan
28.
2
Subekti, 1980, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XVIII, Intermasa, Jakarta, h. 31-32.
3
Damanhuri, 2012, Segi-Segi Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Cet. II, CV Mandar Maju, Bandung, h.
sangat dapat memberikan pengaruh bagi pihak lainnya, dalam hal ini istri ataupun suami dan anak-anak. Oleh sebab kesadaran ini maka mereka akan selalu mewaspadai langkah-langkah yang akan mereka ambil dalam setiap keputusan yang mereka buat mengenai apa saja, dengan cara saling terbuka dan mau menceritakan apapun. Penyatuan ini juga mampu memberikan dampak negatif ketika pasangan suami istri tidak saling terbuka antara satu sama lain yang dikarenakan kurangnya pemahaman bahwa setiap langkah salah satu pihak akan sangat dapat memberikan pengaruh bagi pihak lainnya, dan pada akhirnya karena ketidakterbukaan ini maka salah satu pihak akan dirugikan akibat langkah yang diambil oleh pihak lainnya. Semisal investasi diam-diam yang dilakukan suami atau istri, kebiasaan berjudi salah satu pihak hingga menimbulkan utang, kegemaran berbelanja salah satu pihak hingga tagihan kartu kredit membengkak, dan lain sebagainya. Didalam masyarakat kasus-kasus seperti diatas memang ada, dan ketika hal tersebut terjadi maka utang yang ditimbulkan akibat investasi yang dilakukan diam-diam, utang judi, dan kartu kredit, tidak hanya akan ditagih kepada pihak yang menimbulkan kerugian tersebut, tetapi juga kepada pasangannya yang dalam hal ini telah menjadi suami atau istri dari si pembuat kerugian, dan bisa saja ada kemungkinan pihak yang membuat kerugian tersebut akan pergi begitu saja meninggalkan pasangannya. Apabila ini terjadi tentu hal ini tidak adil bagi pihak yang tidak membuat kerugian tersebut, tetapi karena adanya hubungan hukum yang ditimbulkan dari adanya suatu perkawinan tersebut maka pihak yang tidak membuat kerugian ini mau tidak mau harus menanggungnya juga. Menghindari hal-hal tersebut maka membuat perjanjian perkawinan dapat menjadi solusi untuk berjaga-jaga agar terhindar dari kewajiban membayar utang-utang yang tidak pernah dibuat. Selain itu jika dalam sebuah perkawinan terjadi perceraian maka pengasuhan anak-anak
serta pembagian harta bersama tentu akan menjadi sengketa, namun semua itu dapat diantisipasi dengan adanya perjanjian perkawinan sehingga proses perceraian dapat berjalan lebih cepat. Sebagaimana yang diketahui bahwa bangsa Indonesia memiliki pandangan hidup yang bersifat kekeluargaan, masyarakat Bali yang merupakan bagian dari bangsa Indonesia pun pada akhirnya memiliki pandangan hidup yang sama yaitu bersifat kekeluargaan sehingga perkawinan dengan adanya perjanjian perkawinan dinilai oleh masyarakat Bali tidak sesuai dengan padangan hidup masyarakat Bali. Disamping itu pula, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang religius, sehingga berdasarkan ajaran-ajaran agama maka perkawinan adalah merupakan suatu ikatan suci yang bersifat sakral dan tidak sepantasnya terdapat perjanjian di dalam ikatan suci tersebut. Masyarakat Bali seperti yang diketahui merupakan bagian dari bangsa Indonesia, tentunya merupakan masyarakat yang religious pula, hal ini ditunjukkan dengan adat dan kebudayaan yang ada pada masyarakat Bali sangat erat kaitannya dengan agama dan kehidupan religius masyarakat Hindu. Keduanya telah memiliki akar sejarah yang demikian panjang dan mencerminkan konfigurasi ekspresif dengan dominasi nilai dan filosofi religius Hindu 4. Jika melihat pada ajaran agama Hindu, perkawinan disebut pula dengan istilah wiwah atau wiwaha, yang mana berdasarkan Kitab Manu Smrti, wiwaha memiliki sifat religius dan obligator karena dikaitkan dengan kewajiban seorang untuk mempunyai keturunan berikut kewajiban untuk menebus dosa-dosa orang tua dengan sarana menurunkan seorang putra, dalam hal ini artinya ialah bahwa seorang putra yang dihasilkan dari perkawinan inilah yang akan menebus dosa-dosa orang tuanya, itulah mengapa suatu perkawinan dikatakan suatu ikatan suci yang bersifat sakral5.
4
Wisata Bali, tanpa tahun, “Menyelami Adat dan Kebudayaan Masyarakat Bali”, URL : http://bali.panduanwisata.id/spot-wisata/menyelami-adat-dan-kebudayaan-masyarakat-bali-2/ , diakses tanggal 29 Juli 2015 5 Endang Sumiarni, 2004, Kedudukan Suami Isteri Dalam Hukum Perkawinan, Cet. I, Wonderful Publishing Company, Yogyakarta, h. 97-98.
Hal-hal yang telah disebutkan diatas adalah apa yang diajarkan oleh agama Hindu sebagaimana kepercayaan masyarakat Bali pada umumnya, namun demi kepastian hukum dan keselamatan kedua belah pihak kiranya perjanjian perkawinan dapat dilaksanakan karena adanya perkembangan jaman yang mengakibatkan berkembangnya pula tingkat kebutuhan manusia. Dalam hukum Indonesia sendiri terdapat aturan-aturan yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan, antara lain pada Buku I, BAB VII tentang Perjanjian Perkawinan, Pasal 139 sampai dengan Pasal 154 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dan pada Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan. Dengan adanya ketentuan perjanjian dalam peraturan perundang-undangan, secara logika perjanjian perkawinan jika diadakan sebenarnya bukanlah merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum ataupun bertentangan dengan falsafah bangsa Indonesia. Namun pada kenyataannya, produk hukum ini nyaris tidak pernah digunakan oleh masyarakat Bali, bahkan di Bali yang sebagaimana diketahui sangat sering bersinggungan dengan budaya luar dan tidak sedikit masyarakat Bali yang menikah dengan orang asing, pada kenyataannya masyarakat Bali pun sangat sedikit yang memiliki perjanjian perkawinan. Adanya ketentuan hukum Indonesia yang mengatur tentang perjanjian perkawinan yang mana artinya bahwa perjanjian perkawinan dapat dilaksanakan oleh masyarakat Bali dengan kenyataan bahwa masyarakat Bali kurang meminati atau nyaris tidak menggunakan produk hukum ini, hal inilah yang akan diteliti dalam penulisan skripsi ini yang berjudul “PELAKSANAAN PASAL 29 UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 TENTANG PERJANJIAN PERKAWINAN PADA MASYARAKAT DI BALI”.
1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan sebelumnya, maka dari itu ada dua rumusan masalah yang akan penulis angkat sebagai rumusan masalah dari skripsi ini, yaitu : 1. Bagaimanakah penerapan perjanjian perkawinan di dalam masyarakat Bali yang beragama Hindu? 2. Bagaimanakah akibat hukum dari diterapkan maupun tidak diterapkannya perjanjian perkawinan pada suatu perkawinan masyarakat Bali?
1.3.
Ruang Lingkup Masalah Didalam penulisan suatu karya tulis yang bersifat ilmiah maka diperlukan batas dalam
bahasan masalahnya agar dalam proses penulisannya materi yang diuraikan tersebut dapat terurai dengan alur yang runtut dan sistematis, sehingga jawaban dari pemecahan masalahnya dapat bersifat efektif dan efisien. Berdasarkan pada rumusan masalah yang ada, maka ruang lingkup masalah dari skripsi ini ialah mengenai penerapan perjanjian perkawinan di dalam masyarakat Bali dan akibat hukum dari diterapkan maupun tidak diterapkannya perjanjian perkawinan pada suatu perkawinan masyarakat Bali.
1.4.
Orisinalitas Penulisan ilmiah yang memfokuskan mengenai perjanjian perkawinan sebenarnya sudah
pernah diteliti sebelumnya, yaitu pada : N
PENULIS
JUDUL
O 1.
RUMUSAN
KETERANGAN
MASALAH Made Dewi
Rika Tesis : Akibat Hukum Perjanjian
1. Apakah akibat
Ditulis oleh untuk
hukum terhadap
memperoleh gelar
Kusuma,
Perkawinan
pembagian harta
Magister Kenotariatan
S.H.
Terhadap Harta
bersama yang tidak
(M.Kn.) di Magister
Bersama Setelah
diikuti dengan
Kenotariatan Universitas
Terjadinya
perjanjian
Brawijaya, pada tahun
Perceraian
perkawinan setelah
2010, yang mana pada
terjadinya
intinya tesis ini menulis
perceraian?
mengenai apakah akibat
2. Apakah dasar
hukum dari suatu
pertimbangan hakim
perceraian terhadap
untuk memutus
pembagian harta bersama
gugatan pembagian
yang tidak dibuktikan
harta bersama setelah
dengan perjanjian
terjadi perceraian?
perkawinan maupun yang dibuktikan dengan perjanjian perkawinan.
2.
Luh Krisna
Tesis:
1. Bagaimanakah
Ditulis untuk memperoleh
Damayanthi,
Kewenangan
kekuatan hukum
gelar Magister
S.H.
Notaris Dalam
perjanjian
Kenotariatan (M.Kn.) di
Pembuatan Akta
perkawinan yang
Magister Kenotariatan
Perjanjian
dibuat setelah
Universitas Brawijaya,
Perkawinan
berlangsungnya
pada tahun 2011, yang
Sesudah
perkawinan?
mana pada intinya tesis ini
Perkawinan Menurut Agama
menulis mengenai 2. Bagaimanakah
kewenangan dan
Hindu
kewenangan
keabsahan dari suatu
Dilangsungkan
notaris dalam
perjanjian perkawinan
membuat
yang dibuat oleh notaris.
perjanjian perkawinan? 3
Avina
Pelaksanaan Pasal 1.
Ditulis untuk memperoleh B
Rismadewi
29 Undang-
agaimanakah
gelar Sarjana Hukum (SH)
Undang No. 1
penerapan
di Universitas Udayana
Tahun 1974
perjanjian
pada tahun 2015
Tentang Perjanjian
perkawinan
Perkawinan Pada
dalam
Masyarakat Di
Bali yang beragama
Bali
Hindu?
di
masyarakat
2.
B agaimanakah akibat hukum
dari
diterapkan maupun tidak diterapkannya perjanjian perkawinan suatu
pada
perkawinan
masyarakat Bali?
1.5. Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum : 1. Melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan penulisan skripsi ini, maka hal yang telah diamalkan dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah dalam hal penelitian, yang mana penulisan skripsi ini mencoba untuk menggali kebenaran suatu pengetahuan ilmiah yang tidak pernah ada habisnya, dan sebagai bahan dalam penelitian ini yaitu ilmu yang didapat selama perkuliahan efektif dan fakta yang terjadi di dalam masyarakat. 2. Memberikan sumbangsih terhadap ilmu hukum dalam bidang keperdataan mengenai perjanjian perkawinan. 1.5.2 Tujuan Khusus :
1. Bertujuan untuk mengetahui penyebab-penyebab perjanjian perkawinan tidak dapat berlaku secara efektif pada masyarakat Bali, padahal perjanjian perkawinan diakui oleh hukum Indonesia, sehingga dengan mengetahui alasannya kita dapat menentukan langkah apa selanjutnya yang dapat diambil untuk pada akhirnya produk hukum ini efektif di kalangan masyarakat. 2. Bertujuan untuk mengetahui secara lebih dalam akibat hukum dari diterapkan maupun tidak diterapkannya perjanjian perkawinan pada suatu perkawinan masyarakat Bali.
1.6. Manfaat Penelitian 1.6.1 Manfaat Teoritis : 1. Dapat memberikan sumbangsih guna mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya mengenai perjanjian perkawinan. 2. Meningkatkan pengetahuan mahasiswa dalam bidang hukum perdata khususnya mengenai perjanjian perkawinan.
1.6.2 Manfaat Praktis : 1. Mengetahui penerapan perjanjian perkawinan didalam masyarakat Bali yang berada di Dusun Dukuh, Desa Kesiman Petilan, Kecamatan Denpasar Timur. 2. Mengetahui pandangan masyarakat Bali dan faktor-faktor yang menyebabkan perjanjian perkawinan kurang diminati untuk dilakukan oleh pasangan calon suami istri yang hendak melangsungkan perkawinan.
1.7.
Landasan Teoritis Landasan teoritis ialah meliputi filosofi, teori hukum, asas-asas hukum, norma, konsep-
konsep hukum, dan doktrin yang dipakai sebagai dasar untuk membahas pemasalahan, dalam hal ini membahas permasalahan pada rumusan masalah yang terdapat pada skripsi ini. Dalam skripsi ini terdapat beberapa landasan teoritis, yaitu : 1. Pasal 26, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, menyatakan bahwa : “Undangundang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata”. 2. Pasal 139, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menyatakan bahwa : “Dengan mengadakan perjanjian perkawinan, kedua calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini”. 3. Pasal 1, Undang-Undang Perkawinan, menyatakan bahwa : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan kekal bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 4.
Pasal 29 ayat (1), Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan bahwa :“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut”.
5. Kitab Manawa Dharmasastra IX.101-102 : hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap hukum tertinggi sebagai suami istri. 6. Kitab Manawa Dharmasastra IX. 74-77 : tentang ajaran agama hindu dalam perkawinan. 7. Teori Lawrence M. Friedman mengenai sistem hukum, yang mana system hukum digolongkan menjadi 3 yaitu struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum. 6 8. Teori Philipus M. Hadjon, mengenai perlindungan hukum yang terdiri dari perlindungan preventif dan represif. 7 9. Berdasarkan buku yang ditulis oleh I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, dijelaskan mengenai pengertian perjanjian ialah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 8 10. Pendapat Ali Afandi, dalam bukunya Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, dijelaskan mengenai perkawinan ialah suatu hal yang mempunyai akibat yang luas di dalam hubungan antara suami dan istri. Dengan perkawinan itu timbul suatu ikatan yang berisi hak serta kewajiban baik bagi istri maupun suami. 9 11. Pendapat Damanhuri, dalam bukunya yang berjudul Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, dijelaskan mengenai perjanjian perkawinan adalah tiap
6
7
Satjipto Rahardjo, 1980, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, h. 87.
Philipus M. Hadjon, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University, Yogyakarta, h. 124. 8 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2010, Implementasi Ketentuan-Ketentuan Hukum Perjanjian Kedalam Perancangan Kontrak, Cet. I, Udayana University Press, Denpasar, h. 28. 9 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Cet. III, PT. Bina Aksara, Jakarta, h. 93.
perjanjian yang dilangsungkan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang antara calon suami istri mengenai perkawinan mereka, tidak dipersoalkan mengenai isinya. 10 12. Pendapat Subekti, dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok Hukum
Perdata,
bahwa sejak perkawinan terjadi, jika tidak diadakan perjanjian apapun maka akan ada suatu percampuran antara kekayaan suami dan kekayaan istri. 11
Landasan teoritis yang ditampilkan berdasarkan norma dan doktrin ini, dapat digunakan untuk menggambarkan perjanjian perkawinan dalam ketentuan undang-undang (das sollen) untuk nantinya kita melihat keberlakuan perjanjian perkawinan berdasarkan hukum Indonesia, yang selanjutnya akan dihubungkan dengan kenyataan empiris (das sein). Sehingga dapat menemukan jawaban penelitian secara empiris tentang penerapan perjanjian perkawinan di dalam masyarakat Bali dengan dibantu data, sumber data, serta teknik pengumpulan data yang sesuai dengan metode penelitian empiris, pada masyarakat Bali yang terletak di Dusun Dukuh, Desa Kesiman Petilan, Kecamatan Denpasar Timur serta berdasarkan data yang diperoleh melalui Catatan Sipil Kota Denpasar, Catatan Sipil Kabupaten Badung, Catatan Sipil Kabupaten Gianyar, Pengadilan Negeri Denpasar, dan Pengadilan Negeri Gianyar.
1.8.
Metode Penelitian Didalam melakukan penelitian ilmiah, tentunya harus menggunakan metode-metode
ilmiah dalam penelitiannya. Dengan demikian, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu : 1.8.1 Jenis Penelitian
10 11
Damanhuri, Op.cit, h. 1. Subekti, Op.cit, h. 31.
Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah jenis peneilitian empiris yang berarti bahwa penelitian hukum ini akan berdasarkan pada efektivitas hukum di dalam masyarakat12. Dalam penelitian ini yang akan dipelajari dan diteliti secara mendalam adalah bagaimana law in action di dalam masyarakat Bali mengenai penerapan perjanjian perkawinan sebagai salah satu produk hukum yang dimiliki Indonesia. Akibat dari diadakannya penelitian dengan menggunakan jenis penelitian empiris ini yaitu jawaban atas rumusan masalah yang telah penulis paparkan sebelumnya akan tidak tersedia dalam sumber hukum konvensional seperti bahan-bahan hukum atau studi kepustakaan saja, tetapi ada didalam kehidupan masyarakat yang penulis teliti langsung.
1.8.2 Jenis Pendekatan Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundangundangan (The Statute Approach), dan pendekatan fakta (The Fact Approach). The Statute Approach yaitu penelitian dengan mengkaji permasalahannya berdasarkan undang-undang, dan The Fact Approach yaitu penelitian dengan mengumpulkan fakta-fakta yang terdapat langsung di lapangan yang penulis cari dan amati sendiri secara metodis untuk dijadikan bahan dalam menunjang penulisan skripsi ini. 1.8.3 Sifat Penelitian Dikarenakan penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian empiris, maka sifat penelitian skripsi ini adalah deskriptif, yang mana penelitian ini dilakukan
12
h. 43.
Bambang Sunggono, 1996, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Raja Grafindo Persada, Jakarta,
dengan tujuan untuk mendeskripsikan secara sitematis, faktual, dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakterisitik atau faktor-faktor tertentu.13 1.8.4 Data dan Sumber Data Didalam melakukan penelitian hukum empiris, terdapat dua jenis data yang akan digunakan, yaitu : 1. Data primer, merupakan data yang bersumber dari pengamatan di lapangan, dalam penelitian skripsi ini yaitu tepatnya pada masyarakat Bali yang terletak di Dusun Dukuh, Desa Kesiman Petilan, Kecamatan Denpasar Timur serta penelitian yang dilakukan pada Catatan Sipil Kota Denpasar, Catatan Sipil Kabupaten Badung, Catatan Sipil Kabupaten Gianyar, Pengadilan Negeri Denpasar, dan Pengadilan Negeri Gianyar. Dari pengamatan langsung ke lapangan akan diperoleh data yang relevan yang selanjutnya akan dianalisis. 2. Data sekunder, merupakan data yang bersifat kepustakaan. 1.8.5 Teknik PengumpulanData Teknik pengumpulan data dalam skripsi ini menggunakan studi dokumen, wawancara. 1. Teknik studi dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder dari penelitian hukum empiris, yang mana pada teknik ini dilakukan penelitian atas bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan yang diangkat pada skripsi ini. Studi dokumen dalam hukum dibedakan menjadi tiga, yaitu 14 :
13
14
Ibid, h. 36.
Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Buku Pedoman Pengenalan Bahan Hukum, Fakultas Hukum Unud, Denpasar, h. 8.
a. Bahan hukum primer, merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat, seperti konstitusi, peraturan perundang-undangan, hukum adat, yurisprudensi, dan traktat. Dalam penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan, ialah : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 3. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan b. Bahan hukum sekunder, bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yakni rancangan undang-undang, hasil penelitian, buku dan artikel. c. Bahan hukum tersier, bahan-bahan yang memberikan penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum. 2. Teknik wawancara, adalah teknik pengumpulan data dengan bertanya langsung kepada yang diwawancarai15. Dalam skripsi ini akan digunakan juga teknik wawancara dalam pengumpulan datanya untuk mendapatkan fakta-fakta yang terdapat di dalam masyarakat Bali seputar permasalahan yang penulis angkat pada penelitian ini. 1.8.6 Teknik Penentuan Sampel Penelitian Teknik penentuan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik non probality sampling, yang bentuknya adalah purposive sampling, yaitu penarikan sampel dilakukan dengan tujuan tertentu atau sampel ditentukan sendiri yang mana pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan karakteristik yang
15
Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Cet. IV, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 57.
merupakan ciri utama dari populasi16. Penarikan sampel akan dilakukan di wilayah Denpasar Utara dengan hanya memfokuskan pada masyarakat Bali yang beragama Hindu di wilayah Dusun Dukuh, Desa Kesiman Petilan, Kecamatan Denpasar Timur serta masyarakat yang menggunakan perjanjian perkawinan.
1.8.7 Pengolahan dan Analisis Data Sebagaimana yang telah dipaparkan pada sebelumnya bahwa penelitian ini merupakan jenis penelitian empiris yang sifatnya deskriptif, oleh sebab itu penelitian dengan teknik analisis kualitatif yang akan digunakan dalam pengolahan dan analisis data didalam penelitian skripsi ini.
16
Fakultas Hukum Universitas Udayana, Op.cit, h. 87.