BAB I PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan pola normal bagi kehidupan orang dewasa. Seorang perempuan dianggap sudah seharusnya menikah ketika dia memasuki usia 21 tahun dan laki-laki memasuki usia 23 tahun (Brehm, Campbell, Miller, & Perlman, 2002). Papalia, Olds, dan Feldman (2004) juga menyatakan bahwa usia yang ideal untuk menikah bagi perempuan adalah 19-25 tahun, sedangkan bagi laki-laki adalah 20-25 tahun. Tingkatan usia ini merupakan usia terbaik untuk menikah, baik untuk memulai kehidupan rumah tangga maupun untuk mengasuh anak pertama (the first time parenting). Di Indonesia, usia rata-rata seorang perempuan untuk menikah adalah 21 tahun dan usia rata-rata laki-laki untuk menikah adalah 24 tahun (Xenos dalam Sarwono, 2002). Akan tetapi, dalam beberapa waktu terakhir ini telah terjadi perubahan yang dramatis dimana orang menunda waktu untuk segera menikah. Di Amerika, seorang perempuan akan menikah ketika berusia 25 tahun dan laki-laki berusia 27 tahun, bahkan terdapat juga individu yang menunda pernikahannya lebih dari usia tersebut (Brehm et al, 2002). Begitu juga di Indonesia, banyak individu dewasa baik laki-laki maupun perempuan yang menunda hingga usia 24 sampai dengan 34 tahun (Jones dalam Robinson & Bessell, 2002). Dengan begitu, terbentuklah gaya hidup yang baru bagi orang dewasa di Indonesia. Weiten dan Llyod (2006) menyatakan bahwa salah satu gaya hidup baru yang sangat menonjol adalah melajang (single life). Santrock (1995) menyatakan
1
Universitas Sumatera Utara
bahwa terdapat beberapa keuntungan yang diperoleh dari hidup melajang yaitu waktu kerja yang fleksibel, melakukan mobilitas secara bebas, kehidupan pribadi yang tidak terganggu, dan adanya otonomi terhadap diri sendiri. Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Sunarto (2000) yang berpendapat bahwa saat ini perkawinan bukan lagi menjadi prioritas utama bagi individu yang sudah mencapai usia dewasa. Fenomena tersebut tentunya tidak sesuai dengan pernyataan Papalia, Olds, dan Feldman (2004) yang menyatakan bahwa individu yang sudah mencapai usia dewasa seharusnya sudah memiliki pasangan dan kemudian membentuk suatu keluarga. Erickson (dalam Myers, 1999) juga menyebutkan bahwa fokus utama yang seharusnya dilakukan individu ketika memasuki usia dewasa adalah menjalin hubungan intim dengan seseorang dan memiliki komitmen dengan pasangannya tersebut. Dalam hal ini, wujud dari komitmen tersebut adalah pernikahan yang merupakan suatu cara terbaik untuk mendapatkan seorang anak. Idealnya suatu pernikahan didalam akan terdapat keintiman, pertemanan, kedekatan, aktifitas seksual, persahabatan, dan pertumbuhan emosional (Papalia, Olds, & Feldman, 2004) Menurut Stenberg (dalam Hogg & Vaughan, 2002) yang dimaksud dengan komitmen adalah perasaan emosional tentang kehangatan, kedekatan, dan berbagi dengan orang lain. Komitmen itu akan terjadi saat individu telah memiliki penilaian kognitif terhadap hubungan yang dijalaninya dan mempunyai niat untuk mempertahankan hubungan intim tersebut. Akan tetapi, bila individu dewasa mengalami kegagalan dalam memperoleh dan membentuk keintiman dengan
2
Universitas Sumatera Utara
seseorang, maka individu akan merasakan keadaan yang sangat menyakitkan dan merasa dirinya tidak lengkap tanpa pasangan yang disebut dengan loneliness (Morris & Maisto, 2005). Oleh karena itu, penting bagi seorang individu baik laki-laki maupun perempuan untuk mulai membangun hubungan intim dengan orang lain dan kemudian berkomitmen dengan pasangannya. Bagi individu dewasa, gaya hidup melajang ini kemudian dapat menjadi suatu masalah bagi dirinya. Santrock (1995) menyatakan bahwa terdapat keprihatinan pada orang dewasa yang muncul sebagai akibat dari melajang, antara lain ketiadaan hubungan intim dan mengalami loneliness. Weiten dan Llyod (2006) juga menyebutkan bahwa salah salah satu karakteristik yang melekat pada individu dewasa yang melajang adalah mereka mengalami loneliness karena tidak memiliki hubungan kedekatan emosional dengan seseorang. Menurut Brehm et al (2002), hidup melajang dapat dikategorikan ke dalam beberapa sub kelompok yaitu belum pernah menikah (never married), berpisah atau bercerai (separated or divorced), dan janda (widowed). Pada kelompok yang belum pernah menikah, loneliness terjadi karena individu belum memiliki dan menemukan pasangan yang ideal bagi dirinya, sedangkan pada kelompok yang berpisah atau bercerai dan janda, loneliness yang terjadi disebabkan oleh kehilangan hubungan perkawinan yang dimiliki oleh individu. Berkaitan dengan adanya gaya hidup baru yang menonjol pada masa dewasa dini, yaitu melajang maka penelitian ini akan difokuskan pada individu yang belum pernah menikah (never married) .
3
Universitas Sumatera Utara
Secara umum, orang yang melajang (baik laki-laki maupun perempuan) mengalami tingkat loneliness yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang sudah menikah (Brehm et al, 2002). Pernyataan tersebut dipertegas lagi oleh Papalia, Olds, dan Feldman (2004) yang mengemukakan bahwa stereotip yang terdapat dikalangan orang yang melajang adalah bahwa mereka cenderung mengalami loneliness yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang telah menikah. Rubenstein dan Shaver (dalam Brehm et al, 2002) menyatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya loneliness pada individu yang melajang adalah ketika individu tersebut tidak lagi memiliki hubungan yang adekuat dengan seseorang ataupun pasangannya. Hal ini diperkuat lagi oleh Heffner (dalam Weiten & Llyod, 2006) yang mengemukakan bahwa loneliness yang terjadi karena retaknya hubungan yang romantis atau tidak memiliki seseorang yang khusus dalam hidup individu, maka dapat menimbulkan perasaan lonely yang semakin kuat. Loneliness itu sendiri adalah suatu kondisi dimana seseorang merasakan perasaan yang tidak menyenangkan dan individu merasa bahwa hubungan yang dia inginkan tidak memberikan kepuasan pada dirinya (Sigelman & Rider, 2003). Adapun perasaan yang muncul saat individu merasa lonely adalah desperation, depression, impatient boredom, dan self-deprecation (Rubenstein & Shaver, dalam Brehm et al, 2002). Hal ini diperkuat lagi oleh McWhirter (dalam Rokach, 1998) yang menyatakan bahwa loneliness dapat menimbulkan perasaan depresi, keinginan untuk bunuh diri, sikap bermusuhan, alkoholik, menyalahkan diri
4
Universitas Sumatera Utara
sendiri, dan penyakit psikosomatis. Hawkely et al (2003) menambahkan bahwa loneliness yang dialami oleh seseorang dapat membawa individu kepada penyakit yang lebih berbahaya baik kesehatan mental dan psikisnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa loneliness yang terjadi pada seseorang dapat membawa dampak yang negatif bagi kesehatannya. Di Indonesia, loneliness diartikan sebagai kesepian, namun pada penggunaannya loneliness mempunyai makna yang dalam dari kata kesepian. Untuk selanjutnya, penelitian ini akan menggunakan kata loneliness yang menggambarkan suatu keadaan atau situasi kesepian, sedangkan kata lonely menggambarkan perasaan kesepian yang dialami individu. Loneliness
yang
dirasakan
oleh
individu
dipengaruhi
oleh
pengatribusiannya terhadap penyebab dari loneliness yang dialami. Dane, Deaux, dan Wrightsman (1993) menyatakan bahwa loneliness yang dialami seseorang tergantung
pada
pengatribusian
yang
dilakukan
terhadap
penyebab
ketidakbahagiaannya. Proses mengatribusikan penyebab dari suatu kejadian atau peristiwa yang dialami oleh seseorang dikenal dengan istilah causal attribution (Brehm et al, 2002). Causal attribution ini merupakan penjelasan mengenai faktor-faktor yang bertanggung jawab terhadap peristiwa atau kejadian yang dialami oleh seseorang yaitu dari perilakunya atau hal lain di luar dirinya (Weiner, dalam Pervin, 2005). Di dalam causal attribution yang menjadi faktor penyebab munculnya loneliness adalah karakteristik kepribadian dan faktor situasional (Perlman & Peplau, dalam Brehm et al, 2002). Selanjutnya Brehm et al (2002) menyatakan bahwa karakteristik kepribadian memegang peranan yang besar terhadap terjadinya
5
Universitas Sumatera Utara
loneliness pada seseorang. Adapun karakteristik kepribadian dalam causal attribution yang menjelaskan faktor kepribadian tersebut adalah locus of control (Rotter, dalam Pervin, 2005). Rotter (dalam Hogg & Vaughan, 2002) menyatakan locus of control merupakan suatu keyakinan bahwa kejadian atau peristiwa yang dialami oleh individu merupakan akibat dari perilakunya sendiri (internal) atau karena adanya faktor lain seperti nasib, keberuntungan dan pengaruh orang lain (eksternal). Ia juga menambahkan bahwa individu yang lebih berorientasi internal percaya bahwa peristiwa atau kejadian dalam hidupnya terjadi karena perilakunya sendiri. Sebaliknya, pada individu yang lebih berorientasi eksternal percaya bahwa kejadian atau peristiwa yang dialaminya diakibatkan oleh adanya faktor lain di luar dirinya. Lebih lanjut, Stone dan Jackson (dalam Howard, 1996) berpendapat bahwa individu yang mempunyai locus of control internal berkeyakinan bahwa mereka mempunyai kontrol yang lebih dalam mengendalikan kejadian ataupun peristiwa yang dialaminya, dan menganggap bahwa perubahan yang terjadi adalah karena kemampuan atau usahanya sendiri. Sebaliknya, pada individu yang mempunyai locus of control eksternal berkeyakinan bahwa mereka tidak mempunyai kontrol atau memiliki kontrol yang sedikit terhadap kejadian yang dialaminya. Rotter (dalam Schultz & Schultz, 1994) menyatakan bahwa individu dengan locus of control internal dilaporkan sedikit mengalami kecemasan, memiliki self-esteem yang tinggi, lebih bertanggung jawab terhadap tindakan yang dilakukannya, dan mempunyai kesehatan mental yang baik dibandingkan individu
6
Universitas Sumatera Utara
dengan locus of control eksternal. Selain itu, individu yang mengembangkan orientasi internal meyakini bahwa keterampilan, kerja keras, tinjauan terhadap masa depan, dan perilaku yang bertanggung jawab akan memberikan hasil yang positif. Sedangkan individu yang mengembangkan orientasi eksternal meyakini bahwa suatu kejadian ditentukan oleh kesempatan, tindakan orang lain dan faktorfaktor yang tidak dapat dikontrolnya (Rotter, dalam Baron & Byrne, 1992). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa individu dengan locus of control internal akan menganggap bahwa dirinya memiliki kontrol yang lebih dalam menghadapi kejadian atau peristiwa yang dialaminya daripada individu dengan locus of control eksternal. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kuat lemahnya loneliness dipengaruhi locus of control baik internal maupun eksternal. Kedua jenis locus of control tersebut memiliki ciri-ciri yang berbeda dalam menghadapi loneliness yang dapat memperkuat atau memperlemah loneliness itu sendiri. Oleh karena itu, maka peneliti tertarik untuk mengetahui apakah ada perbedaan loneliness yang dialami individu lajang yang memiliki locus of control internal dan locus of control eksternal.
I. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada perbedaan loneliness pada individu lajang ditinjau dari locus of control, baik secara umum maupun berdasarkan aspek-aspek dari loneliness itu sendiri..
7
Universitas Sumatera Utara
I. C. Manfaat penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memperluas ruang lingkup dan menambah wacana dalam ilmu psikologi khususnya psikologi klinis, psikologi kesehatan, psikologi kepribadian, psikologi sosial, dan psikologi perkembangan. Meskipun penelitian ini lebih berfokus pada pengembangan psikologi klinis dalam pemberian informasi mengenai loneliness yang dialami individu lajang dan locus of control. Namun, diharapkan hasil penelitian ini nantinya juga dapat memberi sumbangan pada pemahaman teoritis mengenai dinamika loneliness pada psikologi kesehatan, dan psikologi sosial, tugas perkembangan individu dewasa dini khususnya individu lajang pada psikologi perkembangan, serta kontribusi teoritis pada topik locus of control dalam pembahasan psikologi kepribadian..
2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini dapat memberikan informasi dan pemahaman kepada masyarakat dalam mengetahui gambaran loneliness. b. Sebagai
upaya
untuk
mengantisipasi
terjadinya
loneliness
yang
menghambat individu lajang untuk menjalin hubungan dengan seseorang dan membentuk komitmen dengannya. c. Hasil Penelitian ini diharapkan juga dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya dalam menemukan cara yang tepat untuk mengurangi
8
Universitas Sumatera Utara
loneliness yang dialami oleh individu sehingga terhindar dari dampak negatif yang ditimbulkan loneliness. d. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi masukan ataupun pemahaman pada masyarakat bahwa locus of control sebagai salah satu faktor kepribadian perlu untuk diperhatikan, dimana factor tersebut turut mempengaruhi perilaku individu dalam keberhasilannya berinteraksi dengan orang lain.
I. D. Sistematika Penulisan BAB I Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang pemilihan masalah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti topik ini, tujuan penelitian yang merupakan fokus perhatian dalam penelitian ini, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II Landasan Teori Bab ini berisi pembahasan secara teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan permasalahan. Teori-teori yang dimuat adalah teori tentang loneliness; pengertian loneliness, tipe-tipe loneliness, faktor-faktor yang mempengaruhi loneliness, perasaan loneliness, penyebab loneliness, locus of control; pengertian locus of control, jenis locus of control, aspek-aspek locus of control, dinamika perbedaan loneliness dengan locus of control dan hipotesa penelitian.
9
Universitas Sumatera Utara
BAB III Metode Penelitian Bab ini berisi identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, karakteristik subjek penelitian dan teknik pengambilan sampel, metode pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur, hasil uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian, dan metode analisa data penelitian.
BAB IV Analisa dan Interpretasi Data Bab ini memuat tentang pengolahan data penelitian, gambaran umum subjek penelitian, hasil utama penelitian, dan hasil tambahan penelitian yang membahas data-data penelitian ditinjau dari teori yang relevan.
BAB V Kesimpulan, Saran, dan Diskusi Bab ini terdiri dari kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian, diskusi penelitian, serta saran-saran yang diperlukan baik untuk penyempurnaan penelitian atau untuk penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
10
Universitas Sumatera Utara