BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan pokok manusia terbagi atas 3 golongan besar, yakni sandang, pangan dan papan. Makanan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang paling crucial karena menyangkut kehidupan manusia itu sendiri secara langsung. Konsumsi pangan merupakan faktor utama untuk memenuhi kebutuhan gizi yang selanjutnya bertindak menyediakan energi bagi tubuh, mengatur proses metabolisme, memperbaiki jaringan tubuh serta untuk pertumbuhan (Harper et al.,1986). Makanan mengandung sejumlah nutrisi yang diperlukan untuk mendukung proses kehidupan manusia. FAO (Food and Agriculture Organization) dan WHO (World Health Organization) mengemukakan perlunya pemenuhan nutrisi makro berupa energi (karbohidrat), protein dan lemak, serta nutrisi mikro berupa vitamin, mineral, air dan serat secara seimbang dalam asupan makanan harian. Makanan sehat menjadi suatu isu yang mengemuka terkait pola makan dengan pemenuhan gizi seimbang, terutama dalam kehidupan masyarakat perkotaan yang serba sibuk dan mengandalkan kepraktisan. Makanan selingan / cemilan menjadi fokus utama disini, mengingat jenis penganan ini umumnya dibutuhkan pada saat beraktivitas di luar rumah, sehingga pemenuhan kebutuhan akan cemilan ini umumnya didapatkan di luar, seperti warung, mini market, supermarket, atau mall
2
terdekat. Beraneka ragam makanan selingan dapat dijumpai di pasar, mulai dari jenis makanan ringan kering (snack), jajan pasar, hingga sejumlah penganan fresh lain. Industri makanan dan minuman (food and beverage industry) menjadi lahan bisnis yang paling digemari oleh banyak pemain. Hal ini mengingat tingkat pemenuhan kebutuhan akan makanan dan minuman yang tinggi, memiliki stabilitas permintaan yang cukup stabil serta memiliki tingkat pertumbuhan yang pesat. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), Adhi S. Lukman, mengungkapkan potensi pertumbuhan industri makanan dan minuman yang pesat sebesar 10-13% pada tahun 2011 (Trust Industrial, n.d.). Jumlah ini mencakup hampir 2 kali lipat dari tingkat pertumbuhan pada tahun 2010 yang dikemukakan oleh BPS, yakni sebesar 6,64%. BPS (2011) mengungkapkan bahwa pemenuhan kebutuhan akan makanan dan minuman mengambil lebih dari 50% porsi pengeluaran tahunan masyarakat secara umum. Lebih lanjut BPS mengungkapkan tingkat pertumbuhan industri makanan dan minuman yang pesat, dimana mencapai 4,01% pada kuartal I 2011, yang mengalami kenaikan hampir dua kali lipat dibandingkan periode 2010 sebesar 2,73%. Jumlah penduduk Indonesia yang mencapi lebih dari 220 juta jiwa dan terus berkembang, mengungkapkan besarnya potensi market yang dapat digarap dari industri ini. Faktorfaktor tersebut menarik minat banyak pihak juga memunculkan berbagai polemik di masyarakat, terkait banyaknya pemberitaan media yang mengungkap berbagai praktek kecurangan dalam proses pembuatan makanan dan minuman yang dijual bebas di pasaran.
3
Penganan yang dijual dalam keadaan fresh memiliki keunggulan lebih daripada penganan instan yang telah melewati sejumlah proses pengawetan. Pertanyaan yang kemudian mengemuka adalah, jenis penganan segar apakah yang memenuhi kriteria sebagai makanan selingan yang bernutrisi dan benar-benar dapat memposisikan dirinya sebagai makanan yang mampu menjaga metabolisme tubuh? Jika makanan selingan memiliki porsi yang terlalu ringan atau tidak memiliki kandungan nutrisi yang baik, tentunya tidak efektif sebagai sebuah makanan yang dimaksudkan untuk tetap menjaga metabolisme tubuh. Keterbatasan jumlah produsen yang bergerak dalam bidang penyediaan makanan ringan / cemilan sehat berbahan dasar daging menjadi suatu isu sekaligus potensi pasar yang baik pula disini.
1.1.1. Nutrisi dan Pola Makan Sehat
Para ahli kesehatan dunia setuju bahwa pola makan yang sehat merupakan dasar pemeliharaan kesehatan dan kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi setiap aspek kesehatan manusia sepanjang hidup, baik secara fisik dan emosional (eatingpatterns, n.d.). American Journal of Epidemiology (Yunsheng Ma et al., 2003, p. 85-92) mendeskripsikan istilah eating patterns atau pola makan yakni sebagai suatu frekuensi kegiatan makan itu sendiri, suatu distribusi temporal dari kegiatan makan sepanjang hari. Pengaturan pola makan 3 kali sehari diperkaya dengan 2 kali makanan selingan (cemilan)
4
di antara waktu makan utama, merupakan pola makan efektif yang mampu menstimulasi metabolisme tubuh, menjaga kestabilan kadar gula darah dan menjaga terjadinya overeating yang mengakibatkan obesitas (15 Tips, n.d.). Pola makan ini kemudian terkait pula dengan suatu konsep gizi seimbang, yakni terkait pada kualitas nutrisi yang terkandung dalam makanan yang dibutuhkan oleh tubuh dalam keseharian. Berpedoman pada angka kecukupan gizi internasional yang ditetapkan oleh FAO (Food and Agriculture Organization) dan WHO (World Health Organization), diperlukan adanya pemenuhan kebutuhan akan nutrisi makro berupa energi (karbohidrat), protein dan lemak, serta nutrisi mikro berupa vitamin, mineral, air dan serat secara seimbang dalam asupan makanan harian. Departemen
Kesehatan
melalui
Direktorat
Gizi
Masyarakat,
mengemukakan 13 Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) sebagai suatu acuan bagi pemenuhan kebutuhan nutrisi dan pola konsumsi masyarakat Indonesia yang baik, yang kemudian diimplementasikan dalam bentuk slogan 4 sehat 5 sempurna di Indonesia sejak tahun 1950 (Soekirman et al., 2005, p.2). PUGS mencakup 12 pesan yang perlu diperhatikan, yakni: 1. Makanlah aneka ragam makanan 2. Makanlah makanan yang memenuhi kecukupan energi 3. Pilihlah makanan berkadar lemak sedang dan rendah lemak jenuh 4. Gunakan garam beryodium 5. Makanlah makanan sumber zat besi
5
6. Berikan ASI saja kepada bayi sampai umur 4 bulan dan tambahkan MP-ASI sesudahnya 7. Biasakan makan pagi 8. Minumlah air bersih, aman yang cukup jumlahnya 9. Lakukan aktifitas fisik secara teratur 10. Hidari minuman yang berakohol 11. Makanlah makanan yang aman bagi kesehatan 12. Bacalah label pada makanan yang dikemas.
Gambar 1.1. Pedoman Umum Gizi Seimbang Sumber: Departemen Kesehatan RI, 2005
6
1.1.2. Anak, Nutrisi dan Proses Pertumbuhan
Tumbuh kembang anak secara optimal merupakan harapan setiap orang tua. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bahwa banyak orang tua sangat cermat dalam memilih asupan nutrisi dan makanan bagi buah hati mereka, khususnya pada tahapan usia dini seperti balita dan sekolah dasar, dimana anak masih belum dapat mengatur sendiri pola makan mereka secara optimal. Disini peran orang tua dalam proses pemilihan makanan menjadi suatu hal yang crucial untuk menentukan tingkat pertumbuhan dan perkembangan anak. Statistik menunjukkan konsumsi makanan jadi pada tahun 2010 mencakup 14,6% total konsumsi masyarakat Indonesia. Hal ini melebihi sepertiga dari konsumsi jenis padi-padian yang memiliki proporsi konsumsi terbesar, yakni sebesar 36,9% pada tahun 2010 dengan tingkat kenaikan konsumsi rata-rata sebesar lebih dari 2% per tahun selama kurun waktu 10 tahun terakhir (Badan Pusat Statistik, 2011). Perkembangan jaman dan era globalisasi menyebabkan semakin banyaknya jenis-jenis produk dan brand asing yang masuk ke pasar. Demikian pula dengan pasar makanan dan minuman yang semakin dibanjiri oleh berbagai brand asing. Beragam jenis makanan junk food yang praktis dan memiliki cita rasa enak semakin memperkuat posisinya di masyarakat. Chicken nugget, sereal berpemanis, daging olahan, minuman manis, kentang
7
goreng, donat dan pizza, menurut survei merupakan 7 jenis makanan favorit anak yang tidak sehat dan berpotensi memicu obesitas pada jangka panjang (Mikail & Chandra, 2011). Rasa yang enak dan cara pengolahan yang praktis membuat makananmakanan ini menjadi pilihan masyarakat di tengah tingkat kesibukan yang padat. Jenis makanan ini juga menjadi favorit anak-anak sehingga menjadi pilihan banyak orang tua yang sibuk sebagai alternatif solusi cepat dan mudah bagi pemenuhan lauk-pauk buah hati mereka. Hal ini merupakan suatu permasalahan tipikal di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, sebagaimana dikemukakan Greey dalam Journal Growing Nutrition Needs (2007), bahwa junk food menjadi pilihan favorit anak dibandingkan dengan jenis makanan sehat. Anak-anak pada jenjang usia ini juga cenderung pemilih dalam hal makanan, dimana mereka hanya ingin mengkonsumsi jenis-jenis makanan tertentu saja sesuai kegemaran mereka. Namun jenis-jenis makanan tersebut juga memunculkan sejumlah permasalahan baru, seperti kandungan nutrisi dan faktor kesehatan. Kandungan nutrisi yang rendah dan penambahan sejumlah bahan pengawet dalam proses pembuatannya, menyebabkan jenis makanan tersebut tidak sesuai untuk dinikmati dalam jangka panjang. Konsumsi satu jenis makanan saja secara terus menerus juga menyebabkan pemenuhan nutrisi yang tidak seimbang bagi proses tumbuh kembang anak.
8
A. Kebutuhan Nutrisi Anak
Anak usia sekolah umumnya diklasifikasikan secara umum pada range usia 6-12 tahun, sebagaimana juga ditetapkan oleh World Health Organization (Lucas, 2004; Muaris, 2010). Anak-anak pada fase ini mulai belajar bersosialisasi dengan lingkungan sosial sekolah yang luas, mengembangkan kemampuan kognitif, interaksi sosial, serta mengenal nilai-nilai sosial budaya di sekitarnya (Supartini, 2004, p.114), sehingga membutuhkan asupan nutrisi yang beragam untuk mendukung aktivitas keseharian mereka yang cenderung padat serta proses tumbuh kembang yang optimal, baik fisik, intelektual, emosi, serta sosial budaya. Pemenuhan nutrisi yang optimal pada fase ini sangat berpengaruh pada proses pertumbuhan, kesehatan dan kecerdasan pada fase berikutnya. Konsumsi aneka varian makanan dibutuhkan bagi pemenuhan nutrisi yang seimbang dalam fase ini. United States Department of Agriculture (1999) mengemukakan Food Guide Pyramid for Young Children sebagai panduan bagi orang tua dalam memilih asupan nutrisi anak, sebagai berikut:
9
Gambar 1.2. USDA Food Guide Pyramid for Kids Sumber: United States Department of Agriculture, 2005
10
Gambar 1.3. Food Serving Pyramid Sumber: United States Department of Agriculture, 1999
Piramida ini terbagi dalam 6 golongan warna yang mewakili 5 kelompok besar makanan ditambah dengan 1 kelompok minyak (USDA, 1999). Warna jingga dalam piramida di atas mewakili golongan serealia dan biji-bijian, seperti beras, gandum, oatmeal, dan sebagainya. Kelompok ini berada dalam bagian terbawah piramida, menempati porsi terbesar dalam kebutuhan nutrisi harian sebesar 6 sajian per hari, karena merupakan sumber utama energi, karbohidrat kompleks, serat, serta sejumlah vitamin dan mineral. Warna hijau mewakili golongan sayuran, yang berada pada tingkat yang sama dengan warna merah yang mewakili golongan buah-
11
buahan, dengan porsi pemenuhan sebesar 3 sajian per hari. Kedua kelompok ini mengandung vitamin dan mineral kompleks serta asupan serat dalam jumlah besar. Warna biru mewakili susu dan produk-produk olahannya, sebagai sumber kalsium dan vitamin D yang penting dalam proses pertumbuhan. Kelompok ini berada dalam tingkat yang sama dengan warna ungu yang mewakili kelompok protein hewani dan nabati, seperti daging, ikan, telur dan kacang-kacangan, yang merupakan sumber protein, zat besi dan zinc. Kedua kelompok ini memiliki porsi pemenuhan yang setara, yakni sebesar 2 sajian per hari. Kelompok terakhir diwakili dengan warna kuning yang merepresentasikan minyak dan sejumlah makanan lain seperti permen, yang sebaiknya dikonsumsi dalam porsi kecil. Hal ini mengingat kandungan lemak, gula dan kalori dalam kadar tinggi, namun rendah dalam kandungan vitamin dan mineral.
B. Perilaku Makan
Aktivitas yang padat menyebabkan dibutuhkannya sejumlah asupan nutrisi yang sehat dalam jumlah tepat, dimana umumnya meliputi 4-5 kali waktu makan termasuk makanan selingan. Anak-anak pada fase ini mulai belajar mengenal lebih banyak varian makanan dan cenderung pemilih terhadap jenis makanan tertentu saja akibat
12
penurunan sedikit tingkat nafsu makan (MRC Human Nutrition Research, 2001; EUFIC, 2006). Jenis-jenis makanan ringan, cemilan ataupun jajanan yang mengandung banyak karbohidrat, gula, garam, dan penyedap rasa menjadi favorit sebagian besar anak, dimana umumnya memiliki kandungan nutrisi dan serat rendah yang membuat anak cepat kenyang, mengganggu nafsu makan anak dan tidak menyehatkan. Padahal, penelitian
menunjukkan
bahwa
makanan
selingan
ternyata
berkontribusi sebanyak lebih dari sepertiga kebutuhan kalori total harian (Lucile Packard Children’s Hospital at Stanford, n.d.). Karena itu pemilihan makanan selingan yang sehat dan bernutrisi dalam porsi seimbang sangat menunjang dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi harian anak secara optimal. Keengganan anak-anak untuk mengkonsumsi sayur mayur juga merupakan permasalahan tipikal di kalangan orang tua (Soenardi, 2000). Studi menyebutkan 56% anak tidak menyukai sayur dan buah (Anonim, 2010). Hal ini perlu diperhatikan dengan cermat oleh orang tua, mengingat buah dan sayur memiliki kandungan nutrisi yang tinggi dan baik bagi perkembangan anak.
13
1.1.3. Tingkat Konsumsi Sayur dan Buah
FAO menggolongkan sayur dan buah dalam kelompok pangan yang dikenal sebagai dietary desirable pattern, sebagaimana dikutip Aswatini, Noveria dan Fitranita (Karsin, 2004). Keduanya merupakan sumber vitamin dan mineral esensial dalam pemenuhan nutrisi harian tubuh yang berasosiasi dengan tingkat kesehatan dalam jangka panjang. Sayangnya, sejumlah data justru menunjukkan tingkat konsumsi sayur dan buah masyarakat Indonesia yang rendah. Hasil Riset Kesehatan Dasar 2007 menunjukkan bahwa 93,6% penduduk Indonesia berusia di atas 10 tahun kurang mengkonsumsi sayur dan buah. Hal ini didasarkan pada kategori cukup konsumsi sayur dan buah, yakni minimal 5 porsi setiap hari (Departemen Kesehatan, 2009). Direktur Budidaya dan Pasca Panen Sayur dan Tanaman Obat Ditjen Holtikultura Kementerian Pertanian, Yul Bahar, menyebutkan bahwa tingkat konsumsi sayur masyarakat Indonesia saat ini rata-rata hanya sebesar 41,9 kg/kapita/tahun. Jumlah ini sangat jauh dibandingkan standar konsumsi yang ditetapkan oleh FAO sebesar 73 kg/kapita/tahun. Survei dalam workshop yang diadakan oleh Kementrian Kesehatan lebih lanjut menunjukkan bahwa 27% masyarakat Indonesia tidak memasukan sayur dalam menu keseharian mereka (Pitakasari, 2011).
14
Tingkat konsumsi sayur dan buah ini juga bervariasi di sejumlah daerah di Indonesia. Data BPS (2007) mengindikasikan tingkat konsumsi sayur yang lebih rendah di daerah perkotaan dibandingkan daerah pedesaan. Sebagai contoh, DKI Jakarta sebagai ibukota negara memiliki proporsi ratarata pengeluran per kapita untuk sayur mayur sebesar 11,7% yang mencapai kurang dari sepertiga pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi pada tahun 2007. Jumlah ini lebih rendah daripada rata-rata proporsi pengeluaran untuk sayur mayur seluruh Indonesia sebesar 12,1%. Hal ini sangat bertentangan dengan
proporsi konsumsi sayur yang terjadi di daerah
pedesaan, misalnya Maluku Utara, yang mencapai proporsi tertinggi sebesar 23,6%, 2 kali lipat lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk makanan dan minuman jadi yang hanya mencapai 12,8% pada tahun 2007 (BPS, 2007).
1.1.4. Tingkat Konsumsi Daging
Daging merupakan sumber protein hewani serta sejumlah vitamin dan mineral esensial bagi tubuh. Daging dan bagian-bagian organ tubuh hewan mengandung senyawa vitamin yang lengkap, mulai dari vitamin A, Bkompleks (thiamin, riboflavin, niacin, biotin, vitamin B6 dan B12, asam pantothenic dan folacin), hingga vitamin D, E, dan K; sebagaimana diungkap Food and Agriculture Organization dalam FAO Food and Nutrition Papers (Bender, 1992). Daging juga merupakan sumber mineral yang kaya, seperti
15
zat besi, tembaga, seng dan mangan. Karena itu konsumsi daging menjadi suatu hal yang penting dalam memenuhi asupan nutrisi harian yang seimbang. Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi daging terbukti memiliki korelasi positif dengan tingkat kecerdasan dan nilai human development index suatu negara (Daryanto, 2009). Secara umum, tingkat konsumsi daging masyarakat Indonesia tergolong rendah dibandingkan negara-negara lain, baik daging sapi, ayam maupun
ikan.
Direktorat
Pangan
dan
Pertanian
Indonesia
(2010)
mengemukakan rata-rata konsumsi daging sapi segar penduduk Indonesia hanya sekitar 2,24 kg per tahun per kapita, dengan peta sebaran yang terpusat sebesar 60% wilayah Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Hal ini berpengaruh pada tingkat konsumsi yang tidak merata, dengan DKI Jakarta, Bali dan Kalimantan Timur sebagai daerah dengan tingkat konsumsi daging terbesar senilai lebih dari 10 kg/kapita/tahun (Direktorat Pangan dan Pertanian BAPPENAS, 2006). Jumlah tersebut masih jauh di bawah standar konsumsi daging segar yang dicanangkan FAO pada tahun 2008, yaitu sebesar 33 kg/tahun/kapita dalam rangka memerangi kekurangan gizi.
16
Tabel 1.1. Rata-rata Konsumsi Protein (gram) per Kapita Menurut Kelompok Makanan, 1999, 2002 - 2010 No.
Komoditi
1999
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
25.04
24.42
24.29
24.05
23.69
23.33
22.43
22.75
22.06
21.76
1
Padi-padian
2
Umbi-umbian
0.43
0.43
0.44
0.53
0.45
0.41
0.4
0.42
0.33
0.32
3
Ikan
6.07
7.17
7.91
7.65
8.02
7.49
7.77
7.94
7.28
7.63
4
Daging
1.33
2.26
2.62
2.54
2.61
1.95
2.62
2.4
2.22
2.55
5
Telur dan susu
1.43
2.33
2.22
2.38
2.71
2.51
3.23
3.05
2.96
3.27
6
Sayur-sayuran
2.23
2.49
2.75
2.57
2.52
2.66
3.02
3.01
2.58
2.52
7
Kacang-kacangan
4.81
6.36
5.85
5.52
6.31
5.88
6.51
5.49
5.19
5.17
8
Buah-buahan
0.33
0.45
0.46
0.43
0.43
0.39
0.57
0.52
0.41
0.47
9
Minyak dan lemak
0.42
0.53
0.54
0.48
0.48
0.45
0.46
0.39
0.34
0.34
10
Bahan minuman
0.79
1.13
1.01
1.03
1.08
1
1.13
1.06
0.98
1.05
11
Bumbu-bumbuan
0.66
0.79
0.69
0.71
0.82
0.81
0.76
0.73
0.68
0.69
12
Konsumsi lainnya
0.53
0.75
0.74
0.76
1.03
0.95
1.43
1.37
1.21
1.21
13
Makanan jadi
4.62
5.34
5.84
6.01
6,44*
5.83*
7,33*
8,36*
8,10*
8,03*
JUMLAH
48.67
54.45
55.37
54.65
55.27
53.65
57.66
57.49
54.35
55.01
Keterangan
: * Termasuk minuman beralkohol **2003, 2004 dan 2006 mencakup 10.000 panel; dan 2007, 2008 dan 2009 mencakup panel 68.800 rumah tangga
Sumber
: Badan Pusat Statistik, 2011
Data di atas mengindikasikan jumlah konsumsi daging yang hanya mencapai 4,6% dari total keseluruhan total konsumsi protein masyarakat Indonesia pada periode 2010. Tingkat pertumbuhan konsumsi daging juga cenderung lambat, dengan laju rata-rata sebesar 4,28% per tahun pada periode 2003-2007 (Kemetrian Pertanian, Dirjen Peternakan, n.d.).
17
Demikian pula dengan konsumsi daging ayam. Sebagaimana dikemukakan oleh Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (Gappi), Anton Supit, hingga saat ini tingkat konsumsi daging ayam masyarakat
Indonesia
tergolong
sangat
rendah,
yakni
sebesar
4,8
kg/tahun/kapita dengan kecenderungan peningkatan lebih dari 20% pada tahun 2008 (Suhendra, 2009; KPPU, 2010). Data tersebut lebih lanjut mengindikasikan jumlah konsumsi daging ayam yang mencakup 84,07% dari total konsumsi daging ternak lainnya di Indonesia, dimana sepertiganya terpusat di wilayah DKI Jakarta. Namun, jumlah ini ternyata masih jauh dibandingkan dengan negara lain seperti Malaysia yang mencapai tingkat konsumsi
38,5
kg/tahun/kapita
dan
Amerika
Serikat
sebesar
46
kg/tahun/kapita.
1.1.5. Benchmarking
Setiap
bidang
usaha
memiliki
kompetitornya
masing-masing.
Demikian pula bidang usaha jajanan/cemilan di Indonesia, khususnya DKI Jakarta yang memiliki tingkat kompetisi tinggi. Dari hasil observasi yang dilakukan, kompetitor utama yang ada di area sekolah adalah penjaja makanan keliling, seperti gorengan, siomay, batagor, burger, pizza, minuman ringan, dan sebagainya. Penjual makanan
18
ringan dan jajanan yang biasa dijual di kantin sekolah, warung serta mini market juga menjadi kompetitor bagi usaha ini.
Tabel 1.2. Perbandingan Kompetitor Kompetitor
Harga
Health Concern
Gorengan
Rp. 500 - 1.000
Tidak
Burger
Rp. 6.000 - 10.000
Tidak
Pizza
Rp. 6.000 - 15.000
Tidak
Siomay
Rp. 5.000 - 10.000
Tidak
Batagor
Rp. 5.000 - 10.000
Tidak
Makanan ringan / snack
Rp. 1.000- 10.000
Tidak
Roti, donat
Rp. 2.000 - 5.000
Tidak
Minuman ringan
Rp.1.500 - 5.000
Tidak
Sumber: Data primer yang diolah, 2012
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa kompetitor yang ada tidaklah begitu peduli terhadap kesehatan konsumen. Tingkat persaingan harga antar kompetitor juga cenderung tinggi, mengingat ragam pilihan jajanan yang luas. Namun bidang usaha ini ternyata tetap memiliki daya tarik tersendiri, sekalipun dengan jumlah kompetitor yang besar. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar kompetitor berskala kecil hingga menengah, bersifat lokal, dan belum memperhatikan faktor kesehatan dalam produk yang ditawarkan. Health concern yang semakin meningkat di masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat ibukota seperti Jakarta, menjadi suatu peluang bagi pembangunan bisnis baru di bidang ini.
19
Selain kompetitor sekolah tersebut, kompetitor dengan produk sejenis yang paling mendekati produk Sö Ré Ji adalah Bulaf. Bulaf merupakan produsen beraneka ragam sosis, dengan adanya varian sosis sayuran yang memiliki kemiripan dengan produk Sö Ré Ji. Namun Bulaf memiliki kelemahan karena tidak begitu dikenal oleh masyarakat, sekalipun telah berdiri selama 3 tahun. Hal ini mengungkapkan potensi pasar yang masih memungkinkan untuk dimasuki oleh Sö Ré Ji secara luas. Dari sisi harga, Bulaf menawarkan harga yang tergolong menengah, tidak terlalu murah, namun juga tidak terlalu mahal, yakni berkisar antara Rp. 20.000 - Rp. 35.000. Faktor pembeda utama disini adalah bahwa Bulaf hanya menjual frozen product, sedangkan Sö Ré Ji selain menjual frozen product juga menjual produk ready to eat melalui penggunaan booth. Dari hasil perbandingan tersebut, dapat disimpulkan bahwa peluang Sö Ré Ji untuk memasuki pasar ini masih cukup luas, yang dapat diperbesar dengan perencanaan dan pemilihan strategi yang tepat untuk pengembangan dan perluasan bisnis di masa mendatang.
1.2. Tujuan
Tujuan pembuatan business model berdasarkan latar belakang dan sejumlah survei pasar yang ada, meliputi:
20
1. Memenuhi kebutuhan akan makanan selingan berkualitas berbahan dasar daging dan sayuran segar 2. Membantu memenuhi asupan nutrisi harian, terutama protein hewani, serat, vitamin dan mineral esensial dengan berbagai manfaat yang dikandungnya 3. Solusi untuk mengkonsumsi daging dan sayuran secara lengkap, mudah dan menyenangkan 4. Membantu memenuhi kebutuhan masyarakat akan adanya makanan sehat yang bebas dari kandungan bahan-bahan berbahaya 5. Inovasi baru dari produk sosis, mulai dari bahan dasar, proses, kandungan nutrisi, hingga penyajian dan cara menikmati
1.3. Manfaat
Dengan adanya pembentukan business model ini, diharapkan dapat tercapai sejumlah manfaat berikut: 1. Memberikan manfaat nyata kepada masyarakat luas berupa adanya produsen makanan ringan / cemilan berkualitas yang bernutrisi, halal, sehat, dan bebas bahan-bahan berbahaya 2. Sebagai inpirasi bagi entrepreneur muda lainnya dalam pembentukan jenis-jenis bisnis baru yang inovatif, baik dalam hal produk, value, maupun metode dalam menikmati suatu produk