BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan bangsa yang terdiri dari berbagai etnik dan memiliki latar belakang budaya yang beraneka ragam. Budaya adalah hasil budi dan daya yang berupa cipta, karsa dan rasa yang didalamnya mengandung kebiasaan
manusia
sebagai
anggota
masyarakat.
Menurut
Bronislow
Malinowsky, kebudayaan di dunia memiliki tujuh unsur universal, yaitu bahasa, religi, sistem pengetahuan, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem teknologi dan kesenian. 1 Dengan memandang kesenian sebagai unsur dalam kebudayaan, maka fungsi kesenian dalam kehidupan manusia yaitu sebagai pedoman hidup bagi masyarakat pendukungnya dalam melaksanakan kegiatan khususnya yang bertalian dengan keindahan. Secara umum, kesenian dapat dibagi menjadi beberapa cabang antara lain: seni tari, seni musik, seni rupa, dan seni pertunjukan. Cabang-cabang kesenian tradisional juga dapat digolongkan dalam kesenian tradisional dan kesenian modern. Kesenian tradisional adalah bentuk kesenian yang lahir berdasarkan nilai-nilai tradisi masyarakatnya, dan kesenian modern lahir karena adanya pengaruh modernisasi yang usianya relatif muda.
1
M.Munandar Sulaeman, Ilmu Budaya Dasar Suatu Pengantar, Bandung: Rafika Aditama. 1998, hlm.14
Universitas Sumatera Utara
Wayang kulit merupakan kesenian tradisional yang telah ada sejak beberapa abad yang lalu yaitu sejak zaman prasejarah, yang kemudian berkembang sesuai zamannya dengan mengambil cerita dari Ramayana dan Mahabarata yang berasal dari India dan kemudian diadopsi oleh masyarakat Jawa pada masa masuknya Islam di Jawa sekitar abad ke-15. 2 Wayang kulit adalah bayangan yang merujuk pada boneka dari kulit binatang (belulang kerbau), pipih, di pahat, di warna dan bertangkai. 3 Masyarakat
Indonesia
memeluk
kepercayaan
animisme
berupa
pemujaan roh nenek moyang yang disebut hyang atau dahyang, yang
2
Sumber : Berdasarkan silsilah keturunan dalang yang berasal dari pulau Jawa yang diperbaharui tahun 1982. Melalui daftar silsilah keturunan dalang-dalang wayang kulit, dapat dilihat bahwa kesenian wayang kulit memiliki peranan penting dalam menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Jawa yang berada di pulau Jawa. Agama Islam mulai masuk ke Pulau Jawa sekitar abad 15 sebelum keruntuhan kerajaan Majapahit dan mulai berdiri Kerajaan Demak sebagai kerajaan Islam yang pertama serta mulai mengambil alih kekuasaan Majapahit, salah satunya melalui kebudayaan secara khusus pada kesenian wayang kulit. Para Wali dan Sultan sebagai penyebar agama Islam di pulau Jawa mulai merintis kesenian yang bercirikan Islam, agar menarik simpati masyarakat Jawa maka kesenian yang sudah ada di poles berbentuk ke Islaman. Misalnya kesenian wayang kulit yang sudah merupakan kesenian dari masyarakat Jawa. Pada masa periode Islam wayang kulit mengalami perubahan dan perkembangan yang mendasar, sehingga sekarang sudah dibakukan dalam beberapa bentuk gagrak. Hasil karya para Wali mulai menyempurnakan wayang kulit antara lain pada bentuk muka, yang semula berwajah tampak dari depan dirubah menjadi tampak samping; warna wayang yang semula hanya putih dari bubuk bakaran tulang dan hitam dari jelaga dikembangkan menjadi berbagai warna, tangan-tangan raksasa pada boneka wayang semula menyatu dengan tubuhnya (tidak dapat digerakkan dibuat lengan tangan sambungan atau sendi sehingga dapat digerakkan), selain itu juga menambah ragam wayang. Para Wali mengubah tokoh wayang kulit yang semula adalah para dewa dalam agama Hindu menjadi babad dengan silsilah wayang purwa yang disesuaikan dengan misi Islam yaitu dengan mengatur posisi mulai dari para dewa, pendahulu Bharata, keturunan Bharata, sampai kerajaan Mataram Kuno, Majapahit, dan SurakartaYogyakarta semuanya disusun dibawah satu keturunan Nabi Adam. Perkembangan wayang pada periode Islam makin memperjelas kesinambungan perjalanan seni tradisi di Indonesia, bahkan ada beberapa daerah di luar Jawa yang mengenal wayang, hal ini diperkirakan akibat asimilasi budaya yang menggunakan wayang sebagai media penyebaran ajaran agama. 3 Setyo Budi, Wayang Wahyu Katolik Surakarta Spesifikasi dan Karakteristiknya, Bandung: Proyek Penelitian Pendidikan Tinggi Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Bandung, 2002, hlm.2
Universitas Sumatera Utara
diwujudkan dalam bentuk arca atau gambar. Dalam perkembangannya wayang dibagi kedalam beberapa periode antara lain : a. Periode Prasejarah Pada dasarnya pertunjukan wayang kulit adalah sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa. Pada saat itu bangsa Indonesia yang masyarakatnya masih menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Pada zaman itu para pendahulu kita telah membuat alat-alat pemujaan berupa patung-patung sebagai media untuk memanggil roh-roh atau arwah nenek moyang yang dinamakan Hyang, seperti yang telah tertulis di atas. Hyang dipercaya dapat memberikan pertolongan dan perlindungan, tetapi terkadang juga menghukum dan mencelakakan mereka. Dalam tradisi upacara yang dianggap sakral tersebut mereka menggunakan media perantara yaitu seorang yang dianggap sakti, selain itu mereka juga menggunakan tempat dan waktu yang khusus untuk mempermudah proses pemujaan. 4 b. Periode Hindu-Budha Perupaan wayang dalam budaya tradisional selalu berkaitan dengan perlambangan sesuai pandangan dalam batas-batas kepercayaan dan agama yang mempengaruhi segi-segi kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Tradisi penciptaan wayang dari budaya prasejarah muncul kembali dalam perwujudan wayang batu pada pahatan relief candi dan patung pada zaman Hindu, hal ini merupakan hasil peleburan antara pandangan terhadap nenek
4
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, Jakarta : Dian Rakyat, 1992, hlm. 253
Universitas Sumatera Utara
moyang dengan pemujaan dewa-dewa agama Hindu. Cerita wayang yang semula menggambarkan tokoh para leluhur, legenda kepala suku, atau nenek moyang lambat laun hilang dengan citra dewa-dewa Hindu dari daratan India yaitu cerita tentang Ramayana dan Mahabharata. c. Periode Islam Wayang kulit pada periode Islam mengalami perubahan dan perkembangan mendasar, hingga sampai pada puncak klasiknya dan dibakukan dalam beberapa bentuk seperti sekarang ini. Hasil karya para wali dalam menyempurnakan antara lain pada bentuk muka yang semula wajah tampak dari depan dirubah menjadi tampak dari samping, warna wayang yang semula hanya putih dari bubuk bakaran tulang dan hitam dari jelaga dikembangkan menjadi berbagai warna, tangan-tangan raksasa yang semula menyatu dengan tubuhnya dibuat lengan tangan sambungan atau sendi sehingga dapat digerakkan, selain itu juga menambah ragam wayang. 5 d. Periode Kolonial Wayang sebagai seni pertunjukan masih berkembang pada zaman kolonial, terutama ketika pemerintahan Mataram II di bawah Raja Amangkurat II (1680) dengan bantuan Belanda memindahkan ibukotanya dari Pleret ke Kartasura.
Pada
saat
yang
bersamaan
bentuk-bentuk
wayang
mulai
disempur nakan. Pada zaman ini pertunjukan wayang kulit telah menggunakan iringan gamelan dan tembang yang dibawakan oleh seorang sinden, namun
5
R. Sutrisno, Sekilas Dunia Wayang dan Sejarahnya, Surakarta : ASKI, 1983, hlm.
40
Universitas Sumatera Utara
pertunjukan wayang pada saat itu tidak lagi berfungsi sebagai upacara agama, tetapi telah menjadi bentuk kesenian klasik tradisional dan hanya sebagian kecil masyarakat yang sesekali masih mempergelarkan untuk upacara ritual. 6 e. Periode Pasca kemerdekaan Selama
masa
penjajahan
Jepang
(1942-1945)
tidak
terjadi
perkembangan bentuk wayang maupun penciptaan wayang-wayang baru. Sesudah melewati masa kemerdekaan Indonesia, bermunculan bentuk-bentuk wayang kreasi baru termasuk jenis cerita dan tujuan pementasannya. Pada periode ini pertunjukan wayang juga merupakan suatu bentuk kesenian bukan lagi sebagai sebuah upacara keagamaan atau acara ritual. Dalam hal ini wayang menjadi suatu seni teater total dari seorang dalang ketika mengisahkan lakon yang memiliki fungsi tidak hanya sebagai hiburan tetapi juga sebagai sarana pendidikan dan komunikasi massa, pendidikan kesenian, pendidikan satra, filsafat dan agama. Pada periode ini salah satu jenis wayang yang muncul adalah wayang suluh pancasila yang diciptakan pada tahun 1947 di Madiun. Wayang ini menceritakan tentang kondisi politik pada saat itu. Pertunjukan wayang di setiap negara memiliki teknik dan gayanya sendiri, dengan demikian wayang Indonesia merupakan buatan orang Indonesia asli yang memiliki cerita, gaya dan dalang yang luar biasa yang mampu memainkan kesenian wayang dengan baik.
6
Sri Mulyono, Wayang, Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya, Jakarta : Haji Masagung, 1975, hal. 87
Universitas Sumatera Utara
Dari beberapa periode tersebut wayang kulit terus berkembang hingga sampai ke Sumatera Timur dan mulai banyak digemari di kota Medan yaitu pada awal tahun 1970. Kesenian wayang kulit tersebut mulai digemari di kota Medan pada awal tahun 1970-an karena pada saat itu kesenian wayang merupakan salah satu hiburan bagi penduduk Medan yang memiliki nilai tinggi karena dalam pertunjukan tersebut mengandung banyak nasehat yang disampaikan oleh seorang dalang. Berbeda dengan kesenian Jawa yang lain misalnya seperti kuda lumping, ludruk, reog, dan sebagainya yang hanya sekedar menampilkan hiburan saja. Kesenian wayang kulit pada dasarnya telah ada sejak beberapa abad yang lalu namun mulai berkembang di kota Medan yang dibawa oleh orang-orang Jawa yang didatangkan ke Sumatera Timur sebagai buruh perkebunan. Orang-orang Jawa yang menyebar ke pelosok kota Medan dan membuat perkumpulan yang dihuni oleh orang-orang Jawa. Sekumpulan orang-orang Jawa ini lah yang memperkenalkan kesenian wayang kulit di kota Medan. Meskipun diketahui bahwa masyarakat kota Medan didiami oleh berbagai etnis seperti Melayu, Batak, Karo, Mandailing, Minangkabau, namun orang-orang Jawa tetap dapat mempertahankan kesenian dan budaya yang mereka bawa dari daerah asal yaitu Jawa. Meskipun banyak kesenian Jawa yang berkembang di kota Medan seperti yang telah diuraikan, tetapi kesenian wayang kulit yang paling banyak diminati oleh masyarakat Jawa. Karena didalam kesenian ini terdapat nilai-nilai budi pekerti yang dapat diambil dan dijadikan sebagai pedoman hidup dalam kehidupan mereka seharihari.
Universitas Sumatera Utara
Wayang memang telah tumbuh dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari bagi masyarakat Jawa, yang kemudian menyebar ke berbagai wilayah Nusantara termasuk Sumatera Utara. Proses penyebaran ini berlangsung bersamaan dengan kedatangan orang-orang Jawa ke Sumatera Timur dalam jumlah besar sejak berdirinya Onderneming-onderneming sekitar tahun 1864. 7 Pada saat itu orang-orang Jawa merupakan pekerja Onderneming milik Belanda yang di kenal dengan istilah Koeli Koentrak. Pada awalnya para kuli kontrak dari pulau Jawa menjadikan wayang kulit sebagai hiburan untuk melepas lelah dan sebagai obat penawar rindu ke kampung halaman mereka. Seiring dengan perkembangan yang ada dalam perkebunan, para pengusaha Onderneming melancarkan politik sistem buruh kontrak Belanda yang tetap menginginkan orang Jawa sebagai buruh mereka, dengan cara membuat sarana hiburan seperti kesenian dan kantong-kantong perjudian agar kuli kontrak (orang Jawa) menghambur-hamburkan uangnya sampai habis, dengan demikian jika masa kontrak telah habis mereka akan memperbaharui kontraknya kembali. Sarana hiburan berupa pasar malam dalam perkebunan diadakan ketika para kuli kontrak perkebunan menerima gaji mereka. Kuli kontrak khususnya masyarakat Jawa di pukau dengan sajian hiburan kebudayaan mereka seperti pementasan ronggeng dan wayang kulit. Dalam sarana hiburan 7
Pengertian Onderneming dalam buku Toean Keboen dan Petani karangan Karl J.Pelzer adalah perusahaan perkebunan milik Belanda bermodal asing lengkap dengan perangkat administrasi. Pada mulanya Onderneming yang di buka di wilayah Sumatera Timur merupakan perkebunan tembakau, kemudian dikembangkan menjadi perkebunan karet, kelapa sawit, dan teh.
Universitas Sumatera Utara
berupa pertunjukan kesenian secara perlahan disusupkan praktek judi kecilkecilan yang dapat menghabiskan gaji para kuli dalam satu malam. Ketika uang habis dalam arena perjudian, mereka harus memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan memperpanjang kontrak yang baru untuk bekerja di perkebunan. Pada pertengahan abad ke-19 wilayah Sumatera Timur telah didiami oleh berbagai kelompok etnis seperti Melayu, Batak Karo, dan Simalungun, mereka inilah yang dikenal sebagai penduduk asli Sumatera Timur. 8 Masyarakat Jawa mulai berdatangan ke Sumatera Timur sejak tahun 1865, pada awalnya mereka berada di penampungan para pekerja yang berada di sekitar pelabuhan Belawan, kemudian mereka dikirim ke perkebunan untuk bekerja dan menetap di sana. Walaupun masyarakat Jawa ini telah berada di perantauan mereka tetap dapat menjalankan tradisi kebudayaan mereka dengan pertunjukan wayang kulit, ludruk, ketoprak, campur sari dan jaran kepang,
meskipun
mereka telah berbaur dengan etnis lain. Selain itu terlihat dari kehidupan orangorang Jawa yang sangat kuat memegang tradisi leluhurnya baik dari tutur kata, kekerabatan, hubungan sosial dan seni budayanya. Bagi orang-orang Jawa keluarga inti merupakan orang yang terpenting dalam meneruskan suatu tradisi. Mereka itulah yang memberi bimbingan moral dan mengajarkan nilai-nilai budaya Jawa kepada kerabat-kerabat terdekat sehingga kebudayaan masyarakat Jawa tetap dapat berkembang.
8
Anthoni Reid, Perjuangan Rakyat : Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, Jakarta: Sinar Harapan, 1987, hlm. 87
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat Jawa yang telah tinggal dan menetap di Sumatera Timur sejak tahun 1865 ditandai dengan dibukanya perkebunan di Sumatera Timur umumnya telah mengalami pembauran dengan penduduk asli yang dikenal dengan istilah Melayunisasi. Proses Melayunisasi ini lebih ditekankan kepada para pendatang yang umumnya tidak beragama Islam. Karena menjadi Melayu adalah keinginan sebagian besar para pendatang mengingat kultur dominan lokal di Medan saat itu adalah Melayu Islam. Karena penduduk asli Sumatera Timur adalah etnis Melayu. Bukti adanya pembauran masyarakat Jawa dengan masyarakat Melayu dapat dilihat dalam kompleks pemakaman keluarga Sultan Langkat Melayu di Tanjung Pura terdapat makam orang Jawa. 9 Wujud kebudayaan Jawa yang telah mengalami proses asimilasi yang lain dalam segi kesenian Jawa juga mengalami perpaduan, misalnya ketoprak dor yang dimainkan dengan musik Jawa tetapi dibawakan dalam bahasa Melayu. 10 Kesenian tradisional Jawa dapat dipertunjukkan secara utuh yang tidak mengalami proses pembauran di wilayah Sumatera Timur, akibatnya banyak tumbuh kelompok-kelompok kesenian tradisional Jawa di Sumatera Timur seperti kuda lumping, ronggeng, reog, dan ludruk. Karena proses perkembangan zaman, kesenian ini secara perlahan mulai mengalami 9
Masyarakat Jawa yang dimakamkan di pemakaman keluarga Sultan Langkat Melayu karena telah menjadi Melayu yang merupakan syarat utama kepada para pendatang untuk diterima di kesultanan Melayu. 10 Ketoprak dor merupakan kesenian Jawa, tetapi dalam unsur musik dengan terlihat adanya perbedaan dengan musik Melayu Islam. Sebagai pengiring lagu yang dinyanyikan menggunakan alat musik according, sedangkan di Jawa Ketoprak memakai alat musik gamelan dan dalam lakon yang dibawakan tidak selalu tentang kisah kesatria Jawa tetapi juga mengenai riwayat kuli-kuli di perkebunan Sumatera Timur.
Universitas Sumatera Utara
kemunduran akibat pengaruh modernisasi. Kesenian tradisional Jawa di Sumatera Timur mengalami kemajuan dan berada di puncaknya pada zaman awal pemerintahan orde baru sekitar tahun 1970-an, dapat di lihat banyaknya peminat dari masyarakat Sumatera Timur khususnya masyarakat Jawa untuk mengadakan pementasan kesenian asli mereka. Kesenian tradisional Jawa yang paling populer dan digemari oleh masyarakat Jawa adalah wayang kulit, karena bentuk pertunjukan ini menceritakan tentang sejarah, agama dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Wayang kulit sebagai bentuk pertunjukan kesenian tradisional, seperti halnya bentuk-bentuk kesenian yang lain awal mulanya mempunyai fungsi yang bersifat sakral, seperti pada upacara-upacara ritual keagamaan. Akan tetapi, dengan adanya dinamika kebutuhan hidup dan kemajuan teknologi serta perkembangan komunikasi sosial turut pula memberikan dampak yang tidak sedikit terhadap fungsi dan sifat seni pertunjukan wayang kulit yang lambat laun menjadi kabur. Demi kelangsungan pertunjukan wayang kulit terlihat adanya kecenderungan dalam bentuk komersialisme dan hiburan, bila perlu dapat ditampilkan kapan saja sesuai dengan kebutuhan dan selera penggemar. Seperti diketahui keberadaan masyarakat Jawa di Kota Medan, meskipun telah mengalami pembauran dengan beberapa suku, mereka masih tetap memegang teguh adat dan tradisi kebudayaannya. Dalam kesenian tradisional wayang kulit, terkandung nilai-nilai etika yang terdapat dalam pancasila,
karena
pertunjukan
wayang
kulit
tema
dan
lakon
yang
dipertunjukkan berisi nilai-nilai pendidikan, agama dan budaya. Akan tetapi,
Universitas Sumatera Utara
kesenian tradisional wayang kulit ini eksistensinya sejak tahun 1990 sudah mulai berkurang di Medan, hal ini karena pengaruh perkembangan arus modernisasi yang masuk dari berbagai daerah yang bukan berasal dari Jawa. Penyebab lain karena pertunjukan kesenian wayang kulit sangat sulit dijangkau oleh masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah, karena biaya pertunjukan yang dikeluarkan cukup mahal dan juga pertunjukan wayang kulit sudah dianggap sebagai hiburan kuno untuk disajikan bagi masyarakat Jawa yang berdomisili di kota Medan. Sebagai hiburan, kesenian wayang kulit penikmatnya hanyalah orang tua yang memang sudah mengetahui seluk beluk pewayangan.
1.2 Rumusan Masalah Seiring dengan banyaknya suku yang terdapat di Medan, dengan begitu gaya hidup masyarakatnya semakin modern dan kebutuhan hidup yang lebih praktis tentulah hal ini menimbulkan permasalahan terhadap eksistensi dari kesenian tradisional wayang kulit dan apakah keberadaanya masih relevan dengan kondisi masyarakat sekarang. Dalam penelitian ini penulis memberikan batasan periodeisasi yang akan diteliti mulai dari tahun 1970 sampai dengan 1990. Dimulai tahun 1970 hal ini atas pertimbangan bahwa mulai tahun tersebut kesenian tradisional Jawa telah berkembang di Medan, sedangkan pada tahun 1990 keberadaan kesenian tersebut mulai terancam eksistensinya dan tidak lagi populer dipertunjukkan.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini disebabkan karena kesenian ini telah dikomersilkan dan adanya budaya lain yang masuk melalui arus modernisasi. Rumusan masalah yang akan di teliti adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana latar belakang kesenian wayang kulit di kota Medan ? 2. Bagaimana perkembangan kesenian wayang kulit di kota Medan ? 3. Bagaimana dampak modernisasi terhadap keberadaan kesenian wayang kulit di kota Medan ? 4. Apakah fungsi dan peran kesenian wayang kulit di kota Medan ?
1.3 Tujuan dan Manfaat Manusia tidak pernah lepas dari masa lalunya, melalui pengetahuan tentang masa lalu akan dapat di ambil langkah selanjutnya untuk melaksanakan yang terbaik bagi kehidupan. Secara umum penelitian yang dimaksud untuk mendeskripsikan eksistensi sebenarnya kesenian wayang kulit di Medan, khususnya ditekankan pada
aspek
sosial,
budaya,
sejarah
lahirnya,
perkembangan
serta
penyebarannya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber referensi dalam studi tentang wayang kulit dan sebagai bahan tambahan pemikiran untuk langkah
selanjutnya
agar
keberadaan
kesenian
wayang
kulit
dapat
dipertahankan kelestariannya. Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengungkapkan latar belakang kesenian wayang kulit di kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
2. Mengungkapkan perkembangan kesenian wayang kulit di kota Medan. 3. Menjelaskan dampak modernisasi terhadap kesenian wayang kulit di kota Medan. 4. Menjelaskan fungsi dan peran kesenian wayang kulit di kota Medan.
Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai tambahan refensi jika ada yang melanjutkan penelitian ini. 2. Menjadi satu informasi penting bagi masyarakat Indonesia pada umumnya dan terutama bagi masyarakat Jawa baik yang menetap di Medan maupun Pulau Jawa. 3. Menjadi satu tambahan literatur dan kajian terhadapa sejarah kesenian wayang kulit bagi Suku Jawa.
1.4 Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini selain melakukan penelitian ke lapangan, penulis juga menggunakan beberapa literatur kepustakaan berupa buku-buku dan dokumen sebagai bentuk studi kepustakaan yang akan dilakukan selama penelitian. Buku-buku tersebut digunakan sebagi pendekatan awal dari penelitian selanjutnya. Karl J. Pelzer dalam bukunya yang berjudul Toean Keboen dan Petani, menguraikan tentang politik-politik para tuan kebun dalam menjerat para kuli yang bekerja pada mereka. buku ini juga menulis tentang bagaimana kedatangan masyarakat Jawa dari pulau Jawa untuk bekerja di perkebunan-
Universitas Sumatera Utara
perkebunan asing yang ada di Sumatera Timur. Kehidupan para kuli Jawa di perkebunan baik itu menyangkut kebutuhan sosial antar sesama pekerja maupun pekerja dengan majikan yang ada di perkebunan. Tujuan penulis menggunakan buku ini sebagai bahan acuan karena didalamnya menceritakan bagaimana kehidupan para kuli perkebunan terutama yang berasal dari Pulau Jawa. Jan Breman dalam bukunya yang berjudul Menjinakkan sang Kuli Politik Kolonial pada awal abad ke-20. Dalam buku ini menceritakan awal kedatangan para kuli kontrak ke tanah Sumatera Timur serta dalam buku ini juga menjelaskan kehidupan para kuli sebagai masyarakat perkebunan yang berada di bawah tekanan para tuan kebun serta gejolak-gejolak yang terjadi didalamnya. Secara rinci juga dijelaskan bagaimana upaya para tuan kebun untuk
memikat
para kuli kontrak agar bertahan untuk bekerja di
perkebunan.Tujuan penulis mengambil buku ini dalam penelitiannya karena menceritakan kedatangan awal masyarakat Jawa sebagai ujung tombak sampainya kesenian tradisional masyarakat Jawa di Sumatera Timur. Suwaji Bustami dalam bukunya yang berjudul Gemar Wayang, menceritakan arti dari kesenian wayang kulit yang disertai dengan beberapa cerita Ramayana yang di adopsi sesuai dengan kehidupan sekarang. Buku ini merupakan sumber yang sangat penting bagi penelitian karena menjelaskan arti dan bentuk dari setiap warna yang terdapat pada wayang kulit secara keseluruhan yang menggambarkan sifat dan watak manusia.
Universitas Sumatera Utara
1.5 Metode Penulisan Agar hasil penelitian dapat maksimal dan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan maka diterapkan metode untuk mengumpulkan data yang berhubungan dengan masalah yang akan diteliti, agar hasilnya benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Penulis memulai penelitian ini dengan menggunakan metode Heuristik, yaitu mengumpulkan informasi mengenai bahan yang berhubungan dengan penelitian ini, antara lain mengenai data masuk dan perkembangan wayang kulit di Medan Sumatera Utara dengan menggunakan literatur dari buku-buku, dokumen-dokumen, situs internet dan wawancara dengan informan yang memiliki informasi mengenai perkembangan wayang kulit di Medan Sumatera Utara. Ketika mengadakan penelitian yang berhubungan dengan informan penulis melakukan pendekatan dengan bantuan ilmu-ilmu sosial lainnya seperti ilmu Sosiologi dan ilmu Antropologi yang dianggap dapat digunakan dalam proses penelitian yang sedang dilakukan penulis. Tujuan penggunaan ilmu-ilmu bantu seperti ilmu sosiologi dan ilmu antropologi ini hanya sebagai metode perbandingan dan pendekatan sosial dalam penulisan skripsi ini. Selanjutnya setelah dikumpulkan dilakukan Kritik Sumber (intern dan ekstern) terhadap data dan sumber-sumber tersebut. Kemudian Interpretasi yang menafsirkan sumber-sumber yang terkumpul agar menjadi fakta sejarah yang valid. Langkah yang terakhir adalah Historiografi yaitu tulisan sejarah yang sistematis dan kronologis.
Universitas Sumatera Utara